Anda di halaman 1dari 19

BAB I

PENDAHULUAN

Cedera kepala merupakan suatu masalah kesehatan dan sosioekonomi

publik di seluruh dunia. Cedera kepala menyebabkan banyaknya tingkat

kecacatan pada dewasa muda dengan usia produktif, kesakitan dan kematian. Hal

ini semakin bertambah seiring dengan peningkatan penggunaan kendaraan

bermotor pada negara berinkam rendah dan menengah. Menurut WHO, pada

tahun 2020 kecelakaan lalulintas akan menjadi penyebab cedera ketiga terbayak di

dunia. Saat ini, kriminalitas juga disebutkan menjadi salah satu faktor penyebab

terjadinya cedera kepala.1

Salah satu konsep sentral peneitian-penelitian yang dilakukan yaitu

kerusakan neurologis akibat cedera kepala tidak terjadi bukan pada saat terjadinya

cedera melainkan berkembang dalam beberapa jam hingga beberapa hari.

Kemudian, peningkatan hasil akhir dari perkembangan kerusakan neurologis

sekunder menghasilkan penurunan perfusi serebral pada bagian otak yang

mengalami cedera sehingga penatalaksanaan yang diberikan saat ini mencegah

terjadinya terjadinya hal tersebut. Pencegahan ini terbukti dapat menurunkan

angka kematian pada cedera kepala dalam kurun waktu 30 tahun terakhir,

walaupun keparahan cedera (diukur menggunakan GCS), usia, dan yang lainnya

juga turut menentukan prognosis pada cedera kepala.2

1
BAB II

KASUS

Pasien laki-laki umur 14 tahun datang dengan keluhan penurunan kesadaran

sejak 4 jam sebelum masuk rumah sakit setelah mengalami kecelakaan dengan

motor. Penurunan kesadaran terjadi hingga pasien tiba di rumah sakit. Pasien

dibonceng temannya dan tidak memakai helm. Keluhan ini disertai adanya

bengkak kehitaman pada sekeliling kedua mata, keluar darah dari hidung dan

kedua lubang telinga, serta muntah darah berwarna coklat sebanyak 5 kali. Setelah

dirawat selama 3 hari di ruang ICU pasien sadar dan tidak mengingat kejadian

sebelum, saat, dan sesudah kecelakaan. Keluhan ini baru pertama kali dialami dan

tidak ada riwayat trauma kepala sebelumnya. Dari pemeriksaan tanda vital

didapati kesadaran GCS E1M5V1, tanda vital lain dalam batas normal. Dari

pemeriksaan fisik ditemukan edema pada regio frontal, racoon eye bilateral,

epistaksis, dan perdarahan telinga bilateral. Pada ekstremitas ditemukan vulnus

ekskoriatum pada digiti I,II, dan III ekstremitas inferior dekstra. Dari pemeriksaan

darah rutin ditemukan kadar eritrosit 2.710.000 /mm3, Hb 7,9 g/dL, hematokrit

22,7%, dan kadar leukosit 15.900 /mm 3, sementara pemeriksaan kimia darah

dalam batas normal. Pada pemeriksaan radiologi ditemukan adanya subgaleal

hematom pada regio fronto parietal dekstra dan sinista, edema cerebri, fraktur os.

frontal dekstra, subarachnoid hemorrhage (SAH), dan constitusional hemorrhage

pada regio frontalis dekstra.

2
Berdasarkan data-data tersebut, diagnosis klinis pasien ini adalah penurunan

kesadaran, epistaksis, hematorea, racoon eyes, vomiting, amnesia retrogard, dan

parese N. Kranialis III. Diagnosis topisnya adalah cerebrum, dengan etiologi

trauma kapitis. Maka kesimpulan diagnosis pasien ini adalah cedera kepala berat

(kontusio serebri, SAH, fraktur os. frontal dekstra, serta suspek fraktur basis

cranii).

Sesuai dengan diagnosis tersebut, maka penatalaksanaan pada pasien ini

yaitu kepala ditinggikan 30o, O2 3-4 liter per menit, infus NaCl 0,9% 14 tetes per

menit, manitol 200 cc loading dose dalam 30 menit kemudian dilanjutkan dengan

dosis mantanance 4 x 100 cc dalam 30 menit di tappering off perhari, injeksi

citicolin 2 x 500 mg/IV/hari, ranitidin 2 x 25 mg /IV/ hari, injeksi ketorolac 3 x 15

mg/IV/ hari, injeksi asam traneksamat 3 x 250 mg/ IV/ hari, drip sohobion 1 amp/

kolf dan pemasangan kateter. Pasien dikonsulkan pada dokter spesialis anastesi

dan dirawat diruang ICU.

Dalam perawatan di ICU pasien diberikan fentanil 30 mg/jam, sedacum 1

mg/jam/ dan juga dihitung kebutuhan cairan perhari yang mencapai 1500-1800 cc.

Pasien diberikan antibiotik ceftriaxon 2 x 1 gram/ IV/hari, lalu digantikan dengan

imipenem 1 gram/ IV/ hari pada hari perawatan ke-6 dan levofloxacin pada hari

perawatan ke-13. Pemasangan NGT dilakukan pada hari ketiga kemudian mulai

diberikan diet cair 6 x 100 cc. Transfusi darah 1 kantong WBC diberikan pada hari

perawatan ke tiga sehingga pada pemeriksaan darah rutin berikutnya kadar Hb

sudah meningkat menjadi 10,3 g/dL. Selain itu, jika suhu tubuh pasien > 38 o C

3
maka harus diberikan paracetamol 3 x 500 mg drips dalam 15-30 menit dan jika

pasien kejang diberikan diasepam 1 ampul tiap kejang. Pasien ini dirawat di ruang

ICU dari hari perawatan ke 1 hingga 10, kemudian dipindahkan ke ruang

perawatan Neurologi. Pada pemeriksaan fisik, didapati ptosis kelopak mata kanan

pasien. Pasien dibolehkan pulang setelah dirawat selama 23 hari.

4
BAB III

DISKUSI

Telah dilaporkan suatu kasus dengan diagnosis cedera kepala berat

( kontusio serebri, SAH, fraktur os. frontal dekstra, serta suspek fraktur basis

cranii ). Menurut standar pelayanan medis persatuan dokter spesialis saraf

Indonesia cedera otak atau cedera kepala adalah cedera yang mengenai kepala dan

otak, baik yang terjadi secara langsung (kerusakan primer/ primary effect)

maupun tidak langsung (kerusakan sekunder/secondary effect). 3 Berbeda dengan

pengertian tersebut, Bruns dan Hauser4 menyatakan bahwa cedera kepala

merupakan istilah yang nonspesifik dan kuno, mencakup cedera eksternal yang

jelas secara klinis pada wajah, kulit kepala, dan kranium dengan atau tanpa cedera

pada otak. Sedang cedera otak didefinisikan sebagai perubahan fungsi otak seperti

konfusi, perubahan kesadaran, kejang, koma, dan defisit neurologis sensoris

maupun motorik fokal yang dihasilkan dari kekuatan benda tumpul maupun

penetrasi pada kepala.4

Insiden cedera kepala secara umum pada negara berkembang adalah 200

per 100000 populasi pertahun.4 Data dari Center of Disease and Prevention (CDC)

menyatakan kejadian cedera kepala di Amerika Serikat pada 2006 mencapai 403

per 100.000 orang pertahun, sedangkan insidennya mencapai 1,7 juta orang

dimana 52.000 orang meninggal, 275.000 orang dirawat dirumah sakit, dan

1.365.000 orang dirawat di departemen emergensi. Selain itu, diperkirakan 38 juta

pasien cedera kepala menerima perawatan dalam bentuk lain atau tidak mendapat

perawatan medis sama sekali.5 Laporan CDC pada tahun 2010 menyatakan usia 0-

5
4 tahun merupakan usia tersering terjadinya cedera kepala diikuti usia 15-19 tahun

dan > 75 tahun.5 Yulius6 dalam laporannya menuliskan usia yang sering

mengalami cedera kepala adalah usia dewasa muda 15-24 tahun dan diatas 75

tahun. Cedera kepala paling sering di alami oleh pria (75%) dibandingkan wanita.

Pasien dalam laporan kasus ini berusia 14 tahun dan berjenis kelamin pria.

Pasien ini mengalami cedera kepala akibat kecelakaan lalu lintas.

Penyebab cedera kepala berhubungan erat dengan demografi dan usia.4,7 Pada

penelitian di beberapa negara bagian Amerika, Australia dan Cina yang dicatat

oleh Bruns dan Hauser4 tampak bahwa kecelakaan mobil, motor, maupun sepeda

bertanggungjawab untuk 32-50% kasus cedera kepala. Sedangkan di Bronx,

cedera kepala akibat kriminalitas memiliki proporsi terbanyak. Secara umum,

CDC melaporkan penyebab tersering cedera kepala yaitu jatuh (39%) terutama

pada kelompok usia 0-4 tahun dan > 75 tahun, diikuti kekerasan atau benturan

(17,6%) dan kecelakaan lalu lintas (14,1%) yang banyak terjadi pada usia 20-24

tahun.5 Penyebab lain cedera kepala yaitu olahraga dan rekreasi, serta senjata api.4

Klasifikasi cedera kepala dibagi menurut mekanismenya (tertutup dan

penetrasi), menurut keparahan klinis, serta menurut kerusakan struktural (sesuai

hasil pencitraan).7 Secara umum klasifikasi yang banyak digunakan adalah

menurut keparahan klinis cedera kepala dengan mengacu pada CGS dan amnesia

post trauma yang dibagi menjadi cedera kepala ringan, sedang dan berat (Tabel

1).8

6
Tabel 11. Pembagian cedera kepala menurut tingkat keparahannya8

Keparahan cedera GCS Durasi amnesia post-traumatik


Ringan 13-15 < 24 jam
Sedang 9-12 1-6 hari
Berat 3-8 > 7 hari

Menurut SPM Perdossi, sesuai berat ringannya cedera kepala dibagi

menjadi:3

1. Minimal = Simple Head Injury (SHI)


a. Nilai skala koma glasgow 15 (normal)
b. Kesadaran baik
c. Tidak ada amnesia
2. Cedera Otak Ringan (COR)
a. Nilai skala koma glasgow 14 atau
b. Nilai skala koma glasgow 15, dengan
c. Amnesia pasca cedera < 24 jam, atau
d. Hilang kesadaran < 10 menit
e. Dapat disertai gejala klinik lainnya, misalnya : mual, muntah, sakit kepala

atau vertigo
3. Cedera Otak Sedang (COS)
a. Nilai skala koma glasgow 9 13
b. Hilang kesadaran > 10 menit tetapi kurang dari 6 jam
c. Dapat atau tidak ditemukan adanya defisit neurologist
d. Amnesia pasca cedera selama kurang lebih 7 hari (bisa positif atau negatif)

4. Cedera Otak Berat (COB)


a. Nilai skala koma glasgow 5-8
b. Hilang kesadaran > 6 jam
c. Ditemukan defisit neurologist
d. Amnesia pasca cedera > 7 hari
5. Kondisi Kritis
a. Nilai skala koma glasgow 3-4
b. Hilang kesadaran > 6 jam
c. Ditemukan defisit neurologi

Kriteria indentifikasi klinis cedera kepala mencakup satu atau lebih kriteria

yaitu disorientasi, penurunan kesadaran, amnesia post trauma dan adanya

abnormalitas neurologis lainnya.9 Pada anamnesis dilakukan pengumpulan data

terutama mengenai usia, mekanisme cedera, adanya muntah setelah cedera nyeri

7
kepala, kejang, dan amnesia post trauma. Pada pemeriksaan fisik dilakukan

penilaian GCS secara berkelanjutan, tanda-tanda vital, peningkatan tekanan

intrakranial seperti pupil yang asimetris, berdilatasi dan tidak menunjukan refleks

cahaya, tanda-tanda adanya trauma terbuka, tanda-tanda adanya fraktur dasar

tengkorak seperti racoon eye, battle sign, rhinorea dan otorhea (kebocoran cairan

serebrospinal), dan parese nervus kranialis, tanda trauma diatas klavikula, dan

tanda adanya intoksikasi alkohol. CT-scan merupakan pilihan utama pemeriksaan

pada cedera kepala.8

Pada pasien ini dari anamnesis dan pemeriksaan klinis tanda vital didapati

adanya penurunan kesadaran > 6 jam dan amnesia post traumatik dan GCS

E1M5V1, sehingga pasien secara klinis dapat didiagnosa dengan cedera kepala

berat. Adanya darah epistaksis, hematorhea serta racoon eyes, menunjukan adanya

kemungkinan terjadi fraktur dasar tengkorak. Diagnosis topis pada kasus ini dapat

di lihat dari pemeriksaan radiologi yakni didapati adanya konstitusional

hemorrhage pada regio frontal dekstra. Selain itu dari pemeriksaan radiologi juga

ditemukan subgaleal hematom pada fronto parietal kanan dan kiri, edema cerebri,

fraktur os. frontal dekstra dan subarachnoid hemorrhage (SAH).

Sesuai pengertiannya, kerusakan otak pada cedera kepala terbagi dua.

Pertama kerusakan primer yang menyebabkan gangguan substansi otak dan

pembuluh darah.7 Kerusakan primer merupakan hasil dari kekuatan eksternal,

sebagai konsekuensi dari benturan langsung, akselerasi yang cepat atau deselerasi,

objek yang dapat melakukan penetrasi (contohnya senjata api) atau ledakan. Asal,

intensitas, arah, dan durasi dari kekuatan ini menentukan pola dan luasnya

8
kerusakan.1 Pada kasus ini, pasien tidak megingat kejadian kecelakaan sehingga

tidak diketahui bagaimana mekanisme benturan yang terjadi.

Kekuatan fisik pada cedera kepala dapat menimbulkan fraktur tulang

tengkorak, cedera pada parenkim otak dan cedera vaskuler yang menyebabkan

perdarahan10 sama seperti pada pasien ini. Pada tingkat makroskopik, kerusakan

dapat berupa kontusio fokal, hematom intra dan ekstraserebral (epidural, subdural,

subarachnoid), dan edema difus. Kontusio fokal merupakan lesi traumatik yang

sering terjadi terutama pada daerah kontak.1 Kontusio serebri atau intraserebral

hematom khas pada trauma tumpul. Ini merupakan hasil dari pola kompleks

transmisi dan refleksi kekuatan dalam ruang intrakranial, sehingga kontusio sering

terjadi pada lokasi sisi yang terkena benturan, dan sering pada sisi yang

berlawanan yang disebut cedera countercoup. Kontusio terdiri dari area jaringan

yang memar yang kehilangan integritas sawar darah otak, dan menciptakan daerah

heterogen dari parenkim serebral yang cedera bercampur dengan darah yang

mengalami ekstravasasi. Kontusio serebri biasanya berkembang setelah 12-24 jam

hingga tampak pada CT-Scan. Selain itu, kontusio serebri meningkatkan efek

massa melalui edema serebral pada otak yang cedera, perdarahan dari pembuluh

darah kecil dan dapat bergabung untuk membentuk perdarahan intrakranial.

Kontusio serebri paling sering perjadi di lobus frontalis dan temporal dan jarang

terjadi pada lobus oksipitalis, batang otak, dan serebelum.10,11

Pada pemeriksaan radiologi pasien ini, tampak adanya perdarahan

intraserebral pada lobus frontalis kanan. Dapat diasumsikan bahwa sisi kontak

dengan benturan pada pasien ini ada pada sisi kanan. Hal ini dapat juga diperkuat

9
dengan adanya fraktur os. frontalis dekstra dan hematom subgaleal yang lebih

besar pada sisi frontoparietal kanan.

Gambar 1. Gambar CT-Scan kepala memperlihatkan perdarahan intraserebral pada daerah


fontalis dekstra, disertai edema serebri.

Gambar 2. Gambar CT-Scan kepala memperlihatkan hematom subgaleal dekstra

Gambar 3. Gambar CT-Scan kepala memperlihatkan fraktur os frontalis dekstra

Gambar 4. Gambar CT-Scan kepala memperlihatkan fraktur impresi os. frontalis dekstra

10
Mekanisme kerusakan otak yang kedua yaitu cedera sekunder yang terjadi

karena perubahan struktur anatomi dan fungsional otak pada tahap lanjut. Cedera

sekunder dibagi dua intrakranial dan ekstrakranial atau sistemik. Cedera sekunder

intrakranial meliputi edema serebri, hematom, hidrosefalus, hipertensi

intrakranial, vasospasme, eksitotoksisitas, toksisitas kalsium, infeksi dan kejang.

Cedera sekunder sistemik meliputi hipotensi (tekanan darah sistoik < 90 mmHg),

hipoksemia (PaO2 < 60 mmHg, atau saturasi O2 < 90%), hipokapnia (PaCO2 < 35

mmHg), hiperkapnia (PaCO2 > 45 mmHg), hipertensi (tekanan darah sistolik >

160 mmHg, atau MAP > 110 mmHg), anemia (Hb < 100g/L, atau hematokrit <

0,30), hiponatremia (Na Serum < 142 mEq/L), hiperglikemia (glukosa darah > 10

mmol/L), hipoglikemia (glukosa darah < 4,6 mmol/L), demam (termperatur >

37,5oC) dan hipotermia (termperatur < 35,5oC).9 Hal-hal inilah yang menjadi

fokus penatalaksanaan cedera kepala berat.

Penatalaksanaan cedera kepala meliputi penatalaksanaan emergensi,

penatalaksanaan pada unit parawatan intensif (ICU) dan pembedahan.11 Prinsip

umum penatalaksanaan cedera kepala yaitu meningkatkan perfusi otak dan

menurunkan tekanan intara kranial untuk mecegah terjadinya herniasi.12 Menurut

SPM Perdossi3 penanganan cedera otak sedang dan berat (kontusio serebri)

meliputi :

a. Terapi Umum
Untuk kesadaran menurun
Lakukan Resusitasi

11
Bebaskan jalan nafas (Airway), jaga fungsi pernafasan (Breathing),

Circulation (tidak boleh terjadi hipotensi, sistolik sama dengan atau lebih

dari 90 mmHg), nadi, suhu (tidak boleh sampai terjadi pireksia)


Keseimbangan cairan dan elektrolit dan nutrisi yang cukup, dengan kalori

50% lebih dari normal


Jaga keseimbangan gas darah
Jaga kebersihan kandung kemih, kalau perlu pasang kateter
Jaga kebersihan dan kelancaran jalur intravena
Rubah rubah posisi untuk cegah dekubitus
Posisi kepala ditinggikan 30 derajat
Pasang selang nasogastrik pada hari ke 2, kecuali kontra indikasi yaitu pada

fraktur basis kranii


Infus cairan isotonis
Berikan Oksigen sesuai indikasi
b. Terapi Khusus
a. Medikamentosa
Mengatasi tekanan tinggi intrakranial, berikan Manitol 20%
Simptomatis : analgetik, anti emetik, antipiretik
Antiepilepsi diberikan bila terjadi bangkitan epilepsi pasca cidera
Antibiotika diberikan atas indikasi
Anti stress ulcer diberikan bila ada perdarahan lambung
b. Operasi bila terdapat indikasi
c. Rehabilitasi:
Mobilisasi bertahap dilakukan secepatnya setelah keadaan klinik stabil
Neurorestorasi dan Neurorehabilitasi diberikan sesuai dengan

kebutuhan

Pada pasien ini, proses resusitasi dan penanganan awal telah dilakukan di

rumah sakit lain sebelum dirujuk ke RSUD dr. M Haulussy Ambon. Namun, saat

tiba di instalasi gawat darurat, airway, breath, dan circulation tetap diperiksa dan

dipastikan baik, dengan pengukuran tanda vital yang hasilnya masih dalam batas

normal.

12
Peningkatan tekanan intrakrarnial biasanya diturunkan dengan terapi

hiperosmolar melalui dua mekanisme.10,12 Pertama, pembentukan gradien osmolar

sepanjang sawar darah otak, dengan gradasi tersebut, aliran cairan keluar dari otak

dan masuk dalam sirkulasi. Mekanisme kedua yaitu perluasan plasma yang cepat

yang dapat menurunkan hematokrit dan viskositas darah sehingga aliran darah

otak sehingga pasokan oksigen ke otak dapat terpenuhi. Manitol dan salin

hipertonik diyakini memiliki kedua mekanisme ini dalam menurunkan tekanan

intrakranial. Pada pasien ini untuk menurunkan tekanan intra kranial diberikan

manitol 200 cc loading dose dalam jam kemudian dilanjutkan dengan dosis

mantanance 4 x 100 cc dalam 30 menit. Pada kepustakaan dosis manitol yang

dapat diberikan yaitu 0,25-1 g/Kg berat badan.11

Perawatan umum lainnya dapat dilakukan untuk menurunkan tekanan

intrakranial seperti meninggikan posisi kepala dari tempat tidur 30O-45O (posisi ini

juga mengurangi risiko pneumonia yang berhubungan dengan ventilasi), menjaga

kepala dan leher pasien dalam posisi netral, mencegah kompresi vena jugular

interna dan eksterna, serta mencegah konstipasi dan peningkatan tekanan

intraabdominal.9

Pemberian antibiotik juga diberikan pada pasien ini untuk mencegah

infeksi dengan memberikan antibiotik (ceftriakson, imipenem, dan levofloxacin).

Anti stres ulcer yang diberikan berupa anti histamin 2 yaitu ranitidin 2 x 25 mg

/IV/12 jam.2

13
Oksigen dipasok ke otak melalui hemoglobin yang beredar di dalam darah.

Hemoglobin dan hematokrit merupakan salah satu faktor penting yang

berpengaruh dalam integritas autoregulasi dan stastu metaboloik otak sehingga

kadarnya dalam darah haruslah mencukupi. Rekomendasi yang diberikan untuk

kadar hemoglobin dan hematokrit dalam darah secara berturut-turut yaitu 10

mg/dL dan 30-35%.11 Pada pasien ini terjadi penurunan kadar hemoglobin (7,9

g/dL) dan hematokrit (22,7) sehingga dilakukan transfusi darah pada hari ke-3

sehingga pada pengukuran darah selanjutnya kadar hemoglobin dan hematokrit

telah meningkat menjadi 10,3 dan 33,1%.

Keseimbangan cairan pada pasien ini dipastikan dengan melakukan

penghitungan kebutuhan cairan perhari yang mencapai 1500-1800 cc perhari dan

dengan pemberian cairan secara intravena berupa ringer laktat (RL) dan NaCl.

Tujuan penatalaksanaan cairan dan elektrolit adalah untuk memastikan dan

menjaga terjadinya euvolemia. Keseimbangan cairan yang buruk berdampak pada

tekanan intra kranial, tekanan arteri rata-rata (MAP), dan tekanan perfusi kranial.

Kristaloid isotonik seperti normal saline (NS) merupakan cairan yang

direkomendasikan. Cairan hipotonik seperti NS, NS, dekstrose 5% (D5%)

harus dihindari. Ringer laktat merupakan cairan yang sedikit hipotonik sehingga

bukan merupakan pilihan kecuali pada keadaan resusitasi cairan yang banyak

pada cedera kepala berat karena dapat menurunkan osmolaritas serum. Cairan

yang mengandung glukosa seperti D10% atau lebih harus dihindari pada 24-48

jam pertama, kecuali pada keadaan hipogikemia.2 Pemberian nutrisi secara

parenteral pada pasien ini juga dilakukan untuk memenuhi kebutuhan nutrisi

14
dengan pemberian diet cair sebanyak 6 x 100 cc melalui nasogastrik tube pada

hari ke-3. Penggantian nutrisi biasanya dimulai tidak lebih dari 72 jam setelah

cedera.2

Indikasi pembedahan didasarkan pada pergeseran garis tengah, lokasi

perdarahan, dan tekanan intrakranial pasien. Pergeseran garis tengah lebih dari 5

mm biasanya dipertimbangkan untuk dilakukan pembedahan. Lokasi perdarahan

intraserebral yang disarankan untuk dilakukan pembedahan yaitu pada jarak

kurang dari 1 cm dari korteks. Selain itu, jika perdarahan mencapai 50 ml, maka

pembedahan sebaiknya dilakukan.11,13. Pada pasien ini, hasil CT-scan menunjukan

adanya indikasi peningkatan tekanan intrakranial dengan adanya edema serebri,

namun pembedahan tidak dianjurkan pada pasien ini karena tidak terjadi

pergeseran garis tengah. Selain itu jarak perdarahan ke korteks dan jumlah volume

perdarahan juga belum dilakukan pengukuran.

Usia yang lebih tua, glasgow koma skor rendah, tidak adanya reaktivitas

pupil, dan adanya cedera ekstrakranial merupakan variabel yang telah

diidentifikasi sebagai faktor prognostik untuk hasil yang buruk. Glasgow koma

skor menunjukkan hubungan linear yang jelas dengan kematian. 14 Pada pasien ini,

walaupun GCS awal rendah, namun dengan usia yang masih muda, fungsi

neurologis yang baik, absennya cedera ekstrakranial dan penanganan yang sesuai

membuat prognosis ad vitam pasien ini dubia ad bonam. Prognosis ad

fungsionamya dubia ad bonam karena pasien sampai saat keluar RS tidak

menunjukan adanya defisit neurologis yang bermakna namun harus tetap

dilakukan pemantauan serta prognosis ad sanasionamnya dubia ad bonam.

15
BAB IV

KESIMPULAN

Pasien laki-laki umur 14 tahun datang dengan keluhan penurunan kesadaran

sejak 4 jam sebelum masuk rumah sakit setelah mengalami kecelakaan dengan

motor. Keluhan ini disertai adanya bengkak berwana kehitaman pada sekeliling

kedua mata, keluar darah dari hidung dan kedua lubang telinga, serta muntah

darah berwarna coklat sebanyak 5 kali. Setelah dirawat selama 3 hari dirawat di

ruang ICU pasien sadar dan tidak mengingat kejadian sebelum, saat, dan sesudah

kecelakaan. Keluhan ini baru pertama kali dialami dan tidak ada riwayat trauma

kepala sebelumnya. Dari pemeriksaan tanda vital didapati kesadaran GCS

E1M5V1, tanda vital lain dalam batas normal. Berdasarkan data-data tersebut,

diagnosis klinis pasien ini adalah cedera kepala berat yaiti cedera yang mengenai

kepala dan otak, baik yang terjadi secara langsung (kerusakan primer/ primary

effect) maupun tidak langsung (kerusakan sekunder/secondary effect). Pada

pemeriksaan radiologi ditemukan adanya subgaleal hematom pada fronto parietal

dekstra et sinista, edema cerebri, fraktur os. frontal dekstra, subarachnoid

hemorrhage (SAH), dan constitusional hemorrhage pada regio frontalis dekstra.

Maka kesimpulan diagnosis pasien ini adalah cedera kepala berat (kontusio

serebri, SAH, fraktur os. frontal dekstra, serta suspek fraktur basis cranii).

16
Prinsip umum penatalaksanaan cedera kepala yaitu meningkatkan perfusi

otak dan menurunkan tekanan intara kranial untuk mecegah terjadinya herniasi.

Pada pasien ini untuk mencapai tujuan tersebut dilakukan head up 30o, O2 3-4 liter

per menit, transfusi darah 1 kantong WBC pada hari perawatan ke tiga, serta

manitol 200 cc loading dose dalam jam kemudian dilanjutkan dengan dosis

mantanance 4 x 100 cc dalam 30 menit. Terapi lain yang diberikan sesuai seperti

teori penatalaksanaan cedera kepala.

Usia yang lebih tua , glasgow koma skor rendah , tidak adanya reaktivitas

pupil, dan adanya cedera ekstrakranial merupakan variabel yang telah

diidentifikasi sebagai faktor prognostik untuk hasil yang buruk. Glasgow koma

skor menunjukkan hubungan linear yang jelas dengan kematian.

17
DAFTAR PUSTAKA

1. Maas AJR, Stocchetti N, Bullock R. Moderate and severe traumatic injury

in adults. Lancet Neural. 2008; 7: 728-41.

2. Bruch JM, Francios RJ, Moore EE, Trauma. In : Brunicardi FC, Dana KA,
Timothy RB, David LD, John GH, Pollock RE Editors. Schwartz Principle
of Surgery 8th Edition. New York: McGraw-Hills; 2007.

3. Perdossi. Standar Pelayan Medis. Perdossi. 2006

4. Bruns J, Hauser WA. The epidemiology of traumatic brain injury: a

review. International League Agains Epilepsy. 2003; 44 :2-10.

5. US Department of Health and Human Serices. Trumatic brain injury in the

united states emergency department visit, hospitalization and death 2002-

2006. US Department of Health and Human Serices. 2010.

6. Yulius T. Gangguan Asam-Basa karena Hipernatremia pada Cedera

Kepala. Anestesia & Critical Care. Jakarta September 2010; 28 (3) : 34-55
7. Chesnut RM. Head trauma. In : Mulholand MW, Lillemoe KD, Doherty

GM, Maier RV, Upchurch GR Editors. Greenfield's Surgery: Scientific

Principles and Practice. 4th Edition. New York : Lippincott Williams &

Wilkins; 2006

18
8. The New Zealand Guidelines Group .Traumatic Brain Injury: Diagnosis,

Acute Managemet and Rehabilitation. The New Zealand Guidelines

Group. 2007

9. Haddad SH, Arabi YM. Crinical care management of severe traumatic

brain injury in adults. Scandinavian Journal of Trauma, resucitation, and

emergency medicine. 2012; 20: 1-15.

10. Kumar V, Cotran RS, Robbins SL. Buku Ajar Patologi Robbins. Edisi ke-

7. Editor Hartono H, Darmaniah N. Jakarta: Pener20bit buku kedokteran

EGC; 2007

11. Letarte P. The Brain. In: Feliciano CV, Mattox KL, Moore EE Editors.

Trauma. 6thEdition. New York : McGraw-Hill; 2008.

12. Brain Trauma Fondation. Guidelines for the management of severe

traumatic brain injury 3rd edition. Journal of Neurotrauma. 2007; 24.

13. Reichart R, Frank S. Intracerebral hemorrhage, indication for surgical

treatment and surgical techniques. The Open Critical Care Medicine

Journal. 2011: 4: 68-71.

14. Perel P, Arango M, Clayton T, Edwards P, Komolafe E, Poccock S,

Roberts I,et al. Predicting outcome after traumatik brain injury: practical

prognostic models based on large cohort of international patients. British

Medical Journal; 2008.

19

Anda mungkin juga menyukai