LA EDDY
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
La Eddy
NRP B161090081
RINGKASAN
Pearl quality in cultured pearl is determined by the pearl sac formed around
the implanted nucleus. To get a good pearl sac formation, it was conducted a
study on the selection of donor oyster as a source of saibo, position of
implantation in the body of the host oyster, age of donor oyster as a donor of saibo,
sex of the host oyster, and the depth of rearing of host oyster during the
development of the pearl sac.
This study consisted of several steps to determine the effect of different
species and genus of donor oysters, different positions of nucleus implantation,
different ages of donor oyster, different sexes of host oysters, and different depths
of rearing on the pearl sac formation in the Pinctada maxima host osyters.
Parameters observed were the cumulative number of oysters that experience death
and rejection of nucleus, percentage of successful oyster to form the pearl sac,
speed of pearl sac growth and percentage of nucleus coverage by pearl sac,
oxygen consumption, haemolymph glucose, calcium and phosphorus
concentrations, histological structure of pearl sac development, marine water
temperature, salinity, and pH.
The results showed that the Pinctada maxima oyster implantation can use
other species and genuses of oysters as sources of saibo. Pearl sac formation in
the Pinctada maxima host oyster implanted with saibo obtained from Pinctada
margaritifera oyster was better when compared with those implanted with saibo
obtained from Pteria penguin and Atrina vexillum donor oysters. Pearl sac
formation can be done on the the intestine, anus, and ventral gonad. Pearl sac
formation in the Pinctada maxima host oyster was better when nucleus was
implanted in the ventral position of the gonads as compared when implantation
was conducted at the intestine and anus. Pearl sac formation in Pinctada maxima
host oyster was better when using saibo from donor oyster with the age of 28
months when compared with the ages of 14 and 21 months. Pearl sac formation in
the female oyster was better than in the male oyster. Pearl sac formation was
better when the host oyster was reared at a depth of 3 and 6 meters as compared to
when the host oysters were reared at the depth of 9 and 12 meters.
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
PROSES PEMBENTUKAN KANTUNG MUTIARA
PADA TIRAM Pinctada maxima
LA EDDY
Disertasi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Doktor
pada
Program Studi Ilmu-ilmu Faal dan Khasiat Obat
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014
Penguji pada Ujian Tertutup:
1. Dr drh. Damiana Rita Ekastuti, MS
Staf Pengajar Departemen AFF, Fakultas Kedokteran Hewan IPB
2. Dr.Ir. Fredinan Yulianda, M.Sc
Staf Pengajar Departemen MSP, Fakultas Perikanan dan Kelautan IPB
Disetujui oleh
Komisi Pembimbing
Dr. dra. Nastiti Kusumorini Prof. Dr. Ir. Ridwan Affandi, DEA
Anggota Anggota
Diketahui oleh
Prof. Dr. Drh. Agik Suprayogi, M.Sc, AIF Dr. Ir. Dahrul Syah, M.ScAgr
La Eddy
B 161090081
i
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI i
DAFTAR GAMBAR ii
DAFTAR TABEL x
DAFTAR LAMPIRAN xi
1 PENDAHULUAN 1
Latar Belakang 1
Tujuan Penelitian 3
Manfaat Penelitian 3
Kebaruan Penelitian (Novelty) 3
2 TINJAUAN PUSTAKA 5
Jenis-Jenis Tiram Mutiara 5
Anatomi Tubuh Tiram Mutiara 5
Reproduksi Tiram Mutiara 11
Faktor-Faktor Ekologi yang Mempengaruhi Pertumbuhan Tiram
Mutiara 11
Fisiologi Pembentukan Mutiara 13
3 HISTOLOGI DAN PERUBAHAN FISIOLOGIS SELAMA
PEMBENTUKAN KANTUNG MUTIARA PADA TIRAM Pinctada
maxima DENGAN IMPLANTASI SAIBO DARI GENUS DAN
SPESIES TIRAM DONOR YANG BERBEDA 19
Pendahuluan 21
Bahan dan Metode 23
Hasil 24
Pembahasan 38
Simpulan 41
4 HISTOLOGI DAN PERUBAHAN FISIOLOGI PEMBENTUKAN
KANTUNG MUTIARA TIRAM Pinctada maxima YANG
DIIMPLANTASI PADA USUS, ANUS, DAN VENTRAL GONAD 41
Pendahuluan 43
Bahan dan Metode 44
Hasil 45
Pembahasan 57
Simpulan 62
5 PROSES PEMBENTUKAN KANTUNG MUTIARA PADA TIRAM
Pinctada maxima DENGAN MENGGUNAKAN SAIBO YANG
DIDAPATKAN DARI UMUR TIRAM YANG BERBEDA 62
Pendahuluan 64
Bahan dan Metode 64
Hasil 65
Pembahasan 77
Simpulan 79
6 PROSES PEMBENTUKAN KANTUNG MUTIARA PADA TIRAM
Pinctada maxima JANTAN DAN BETINA 79
Pendahuluan 81
ii
DAFTAR GAMBAR
implantasi (II) masih terlihat sel-sel inflamasi dan hemosit yang mulai
menurun. Minggu ketiga setelah implantasi (III), tidak terlihat jumlah
sel-sel inflamasi dan hemosit (mulai sembuh). Minggu keempat
setelah implantasi (IV), tidak terlihat lagi hemosit dan sel-sel
inflamasi. (H&E.x100). 30
20 Histologi infiltrasi hemosit selama perkembangan kantung mutiara
pada tiram Pinctada maxima setelah diimplatasi dengan saibo dari
tiram Pinctada maxima. Anak panah menunjukkan adanya hemosit.
Minggu pertama setelah implantasi (I) terlihat adanya sel-sel inflamasi
dan hemosit yang tinggi. Minggu kedua setelah implantasi (II) masih
terlihat sel-sel inflamasi dan hemosit yang mulai menurun. Minggu
ketiga setelah implantasi (III), mulai sembuh ditandai dengan tidak
terlihat lagi sel-sel inflamasi dan hemosit. Minggu keempat setelah
implantasi (IV), tidak terlihat hemosit dan sel-sel inflamasi.
(H&E.x100). 31
21 Histologi perkembangan kantung mutiara selama 4 minggu
pengamatan dengan perlakuan saibo tiram Atrina vexillum. Minggu
pertama (21A), Minggu kedua (21B), Minggu ketiga (21C), dan
Minggu keempat (21D): (a) Nukleus, (b) Lapisan sel-sel epitel
mukosa yang terdiri atas sel-sel epitel kuboidal (c) Basement
membrane, (d) Lapisan submukosa, (e) Tunika muskularis, (f)
Vakuola, (g) Pyknosis, dan (h) Hemosit. (H&E. x400). 32
22 Histologi perkembangan kantung mutiara selama 4 minggu
pengamatan dengan perlakuan saibo tiram Pteria penguin.
Keterangan: Minggu pertama (22A), Minggu kedua (22B), Minggu
ketiga (22C), dan Minggu keempat (22D): (a) Nukleus, (b) Lapisan
sel-sel epitel mukosa yang terdiri atas sel-sel epitel kuboidal (c)
Basement membrane, (d) Lapisan submukosa, (e) Tunika muskularis,
(f) Vakuola, (g) Pyknosis, dan (h) Hemosit. (H&E. x400). 33
23 Histologi perkembangan kantung mutiara selama 4 minggu
pengamatan dengan perlakuan saibo tiram Pinctada margaritifera.
Keterangan : Minggu pertama (23A), Minggu kedua (23B), Minggu
ketiga (23C) dan Minggu keempat (23D): (a) Nukleus, (b) Lapisan
sel-sel epitel mukosa yang terdiri atas sel-sel epitel kuboidal (c)
Basement membrane, (d) Lapisan submukosa, (e) Tunika muskularis,
(f) Vakuola, dan (g) Pyknosis. (H&E. x400). 34
24 Histologi perkembangan kantung mutiara selama 4 minggu
pengamatan dengan perlakuan saibo tiram Pinctada maxima.
Keterangan : Minggu pertama (24A), Minggu kedua (24B), Minggu
ketiga (24C), dan Minggu keempat (24D): (a) Nukleus, (b) Lapisan
sel-sel epitel mukosa yang terdiri atas sel-sel epitel kuboidal (c)
Basement membrane, (d) Lapisan submukosa, (e) Tunika muskularis,
(f) Vakuola, (g) Pyknosis, dan (h) Hemosit. (H&E. x400). 35
25 Jumlah kumulatif tiram Pinctada maxima yang mengalami penolakan
inti selama 4 minggu setelah implantasi pada lokasi yang berbeda.
Keterangan : bagian usus (), anus (), ventral gonad (). 46
v
Lapisan sel-sel epitel mukosa yang terdiri atas sel-sel epitel kuboidal
(c) Basement membrane, (d) Lapisan submukosa, (e) Tunika
muskularis, (f) Vakuola, dan (g) Pyknosis. (H&E. x400). 53
33 Histologi perkembangan kantung mutiara selama 4 minggu
pengamatan pada tiram Pinctada maxima yang diimplantasi di bagian
ventral gonad. Keterangan : Minggu pertama (33A), Minggu kedua
(33B), Minggu ketiga (33C) dan Minggu keempat (33D): (a) Nukleus,
(b) Lapisan sel-sel epitel mukosa yang terdiri atas sel-sel epitel
kuboidal (c) Basement membrane, (d) Lapisan submukosa, (e) Tunika
muskularis, (f) Vakuola, dan (g) Pyknosis. (H&E. x400). 54
34 Jumlah kumulatif tiram mutiara yang mengalami kematian setelah
diimplantasi dengan menggunakan saibo yang berasal dari tiram
dengan umur berbeda selama 4 minggu pengamatan. Keterangan : 14
bulan (), 21 bulan (), 28 bulan (). 66
35 Jumlah kumulatif tiram yang mengalami penolakan inti setelah
diimplantasi dengan menggunakan saibo yang berasal dari tiram
dengan umur berbeda selama 4 minggu pengamatan. Keterangan: 14
bulan (), 21 bulan (), 28 bulan (). 66
36 Persentase tiram yang berhasil membentuk kantung mutiara pada
tiram Pinctada maxima setelah diimplantasi dengan menggunakan
saibo yang berasal dari tiram dengan umur berbeda selama sebulan
pengamatan. Keterangan : 14 bulan (), 21 bulan () dan 28 bulan
bulan (). 67
37 Histologi infiltrasi hemosit selama perkembangan mutiara pada tiram
Pinctada maxima setelah diimplatasi dengan saibo yang berasal dari
tiram yang berumur 14 bulan. Keterangan: Anak panah menunjukkan
adanya hemosit. Minggu pertama setelah implantasi (I) terlihat adanya
sel-sel inflamasi dan hemosit yang tinggi. Minggu kedua setelah
implantasi (II) masih terlihat sel-sel inflamasi dan hemosit yang mulai
menurun. Minggu ketiga setelah implantasi (III), masih terlihat jumlah
sel-sel inflamasi dan hemosit. Minggu keempat setelah implantasi
(IV), tidak terlihat lagi hemosit dan sel-sel inflamasi. (H&E. x100). 69
38 Histologi infiltrasi hemosit selama perkembangan mutiara pada tiram
Pinctada maxima setelah diimplatasi dengan saibo yang berasal dari
tiram yang berumur 21 bulan. Keterangan: Anak panah menunjukkan
adanya hemosit. Minggu pertama setelah implantasi (I) terlihat adanya
sel-sel inflamasi dan hemosit yang tinggi. Minggu kedua setelah
implantasi (II) terlihat sel-sel inflamasi dan hemosit yang mulai
menurun. Minggu ketiga setelah implantasi (III), jumlah sel-sel
inflamasi dan hemosit sangat sedikit, luka mulai sembuh. Minggu
keempat setelah implantasi (IV), tidak terlihat lagi hemosit dan sel-sel
inflamasi, luka telah sembuh. (H&E. x100). 70
39 Histologi infiltrasi hemosit selama perkembangan mutiara pada tiram
Pinctada maxima setelah diimplatasi dengan saibo yang berasal dari
tiram yang berumur 28 bulan. Keterangan: Anak panah menunjukkan
adanya hemosit. Minggu pertama setelah implantasi (I) terlihat adanya
vii
DAFTAR TABEL
DAFTAR LAMPIRAN
1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
mempengaruhi hasil akhir mutiara, seperti warna, kulit, bentuk, deposisi nacre,
dan bobot mutiara. Deposisi nacre ditemukan lebih tinggi di xenografts yang
terdiri atas Pinctada maxima sebagai donor dan Pinctada margaritifera sebagai
tiram inang (host) dari pada xenograft timbal balik dan allografts. Warna dan
permukaan mutiara juga sangat dipengaruhi oleh jenis tiram donor yang
digunakan sebagai xenografts, misalnya tiram Pinctada maxima sebagai tiram
inang (host) yang diimplantasi dengan saibo dari Pinctada margaritifera hasilnya
akan memproduksi lebih banyak mutiara berwarna hitam dan bila sebaliknya
maka akan memproduksi mutiara berwarna perak (McGinty et al. 2010). Kajian
tentang umur tiram yang akan dijadikan saibo sampai saat ini masih terus
dilakukan. Sayatan histologis mantel tiram Pinctada fucata yang telah berumur 1
tahun dan 7 tahun memperlihatkan adanya conchiolin secretion atau protein yang
terlibat dalam pelapisan mutiara sehingga dapat disimpulkan bahwa secara in
vivo tiram Pinctada fucata yang telah berumur 7 tahun memiliki kemampuan
regenerasi mantel yang lebih baik sehingga dapat dijadikan sebagai tiram donor.
Namun, penelitian ini masih perlu dibuktikan karena harus dilanjutkan ke proses
implantasi saibo sehingga dapat diketahui pembentukan kantung mutiara (Rao et
al. 2010).
Saibo yang telah terimplantasi akan berkembang menyerupai kantung yang
mengelilingi inti kemudian mensekresikan bahan-bahan yang diperlukan pada
pelapisan mutiara. Secara histologi, pada tiram Pinctada margaritifera Polynesia
Prancis terlihat bahwa bagian dalam mantel (innermantel) mengalami degradasi
dan hanya tersisa bagian luar mantel (outer mantel). Bagian luar mantel inilah
yang akan mengalami pertumbuhan dan perkembangan kemudian membentuk
kantung mutiara yang membutuhkan waktu rata-rata sekitar 30 hari. Waktu yang
dibutuhkan untuk pembentukan kantung mutiara sering kali berbeda-beda pada
setiap tiram, bila terlalu lama maka akan mempengaruhi kualitas mutiara karena
mengurangi waktu proses pelapisan inti (Cochennec-Laureau et al. 2010).
Bagian gonad merupakan organ yang disayat untuk peletakan saibo dan inti,
oleh karena itu saat implantasi dilakukan maka perlu mengetahui tingkat
kematangan gonad. Selain itu, posisi peletakan saibo dan inti juga berpengaruh
pada hasil mutiara karena menurut laporan Chellam et al. (1991) pada Pinctada
fucata, warna mutiara yang dihasilkan mungkin akan berwarna kuning emas,
pink, putih atau krem, bergantung pada perbedaan tempat peletakan saibo dan inti.
Mutiara yang dihasilkan di daerah ventral gonad berwarna putih atau emas,
sedangkan yang diproduksi di daerah dorsal gonad yang dekat dengan hepato-
pankreas biasanya berwarna abu-abu atau putih. Mutiara yang bentuknya
sempurna biasanya sering kontak dengan organ-organ internal, seperti hati, dan
usus. Mutiara yang dihasilkan dekat dengan otot reftraktor cenderung tidak bagus
dengan permukaan yang tidak rata, bentuknya seperti tonjolan yang tidak
beraturan. Namun laporan ini juga tidak menerangkan tentang proses
pembentukan kantung mutiara tetapi hanya melihat mutiara yang dihasilkan.
Setelah implantasi maka tiram tersebut harus mengalami proses yang namanya
tento atau pemeliharaan di laut dengan posisi umbo di bawah dengan tujuan untuk
perbaikan luka akibat sayatan dan pembentukan kantung mutiara. Pemeliharaan
dilakukan di laut dengan kedalaman tertentu, namun sampai sekarang kajian ini
masih belum jelas sehingga perlu dilakukan penelitian yang mengungkapkan
kedalaman optimal untuk menghasilkan kantung mutiara yang baik.
3
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
Informasi yang diperoleh dari penelitian ini akan melengkapi data biologis
dan fisiologi pada budi daya mutiara. Selain itu, temuan ini diharapkan dapat
digunakan sebagai dasar teknik implantasi mutiara agar mendapatkan mutiara
secara efektif dan efisien dengan kualitas maksimal.
Gambar 1 Kerangka konseptual pendekatan masalah dan tahapan penelitian pembentukan kantung mutiara.
5
2 TINJAUAN PUSTAKA
Filum : Mollusca
Kelas : Pelecypoda
Ordo : Anycomyria
Famili : Pteriidae
Genus : Pinctada
Spesies : Pinctada maxima
Famili ini umumnya dapat menghasilkan mutiara. Ciri morfologi tiram Pinctada
maxima adalah tubuhnya dilindungi oleh sepasang cangkang yang tipis dan keras.
Selain jenis ini, ada beberapa jenis tiram mutiara yang dapat ditemukan di
perairan Indonesia, yakni Pinctada margaritifera, Pinctada fucata, Pinctada
chimnitzii, dan Pteria penguin. Semua anggota famili ini hidup di laut. Moluska
lain penghasil mutiara yang sejauh ini dikenal berasal dari kelompok abalone dan
beberapa gastropoda lain serta beberapa jenis bivalvia air tawar (Winanto 2004).
Pada prinsipnya, semua molluska bercangkang dapat menghasilkan mutiara,
akan tetapi tidak semua dapat menghasilkan mutiara yang baik dan memiliki
kualitas tinggi. Mutiara yang dihasilkan dari jenis bivalvia air tawar memiliki nilai
jual yang rendah dibandingkan mutiara yang dihasilkan tiram air laut.
Tubuh tiram mutiara terdiri atas 2 bagian, yaitu bagian ekternal (cangkang)
dan internal mencakup kaki, mantel, dan kumpulan organ visceral. Kaki
merupakan salah satu bagian tubuh yang bersifat elastis, terdiri atas susunan
jaringan otot, yang dapat meregang. Tiram mutiara termasuk monomary atau
6
hewan yang memiliki otot tunggal dengan fungsi untuk membuka dan menutup
cangkang. Secara keseluruhan tubuh internal tiram mutiara tersaji pada Gambar 3.
Gambar 3 Anatomi tubuh tiram Pinctada fucata yang terdiri atas otot adductor
(AM), byssus (B), visceral mass (VM), Mantel (M), Mulut (F), proses
pertumbuhan cangkang (GP), insang (G) (Acosta-Salmn et al. 2004).
Jantung terdiri atas ventrikel tunggal dan sepasang kontraktil auricles berdinding
tipis. Jantung menerima darah dari tubuh (insang dan mantel) masuk ke ventrikel
jantung, aliran darah balik dicegah oleh semacam katup, kemudian darah dialirkan
lewat aorta anterior dan posterior dan, akhirnya darah dialirkan ke otot adduktor,
rektum, dan anus. Darah dialirkan ke seluruh tubuh dengan aorta anterior melalui
serangkaian arteri kecil dan bersirkulasi perlahan-lahan, sedangkan darah
deoksigenasi dikumpulkan dalam vena kemudian dibawa ke dalam insang atau
organ ekskretoris. Darah dari ginjal dialirkan ke mantel dan hati. Selanjutnya
darah kembali ke jantung melalui vena branchial eferen. Darah dari tiram mutiara
tidak berwarna (Saucedo et al. 2008). Sistem ekskresi tiram mutiara terdiri atas
sepasang kelenjar nephridia dan banyak perikardial kecil dari proyeksi dinding
auricles. Setiap nephridium terhubung ke perikardium dengan saluran lebar.
Pericardial merupakan kelenjar aksesori di dinding auricles yang memiliki fungsi
sekretoris. Sistem saraf tiram mutiara berbentuk lateral simetris dan memiliki tiga
pasang ganglia yang terdiri atas ganglia otak pada sisi kerongkongan, pedal
bergabung untuk membentuk ganglion tunggal di dasar kaki dan ganglia parieto-
splanknik pada permukaan anterior otot adduktor.
Bagian Cangkang
.
Bagian Mantel
Mantel adalah organ tubuh tiram yang menutupi organ bagian dalam dan
sebagian melekat dengan otot aduktor. Secara makro, mantel terdiri atas 4 zona,
yaitu zona sentral, zona marginal, zona pallial, dan isthmus (tersaji pada Gambar
5). Zona sentral berfungsi untuk melindungi organ dalam, zona marginal
merupakan zona bagian luar yang berhubungan dengan periostracal groove,
isthmus berhubungan dengan engsel bagian dalam, serta zona pallial yang sangat
9
penting karena dipakai sebagai saibo ketika implantasi dilakukan serta berisi
jaringan saraf dan arteri pallial (Acosta-Salmn dan Southgate 2005).
Gambar 5 Fotograf zona mantel Pinctada margaritifera yang terdiri atas zona
marginal (Mz), zona sentral (Cz), zona pallial (Pz), dan isthmus (It)
(Acosta-Salmn dan Southgate 2005).
Secara garis besar, pada cairan ekstrapallial moluska air tawar maupun air
laut ditemukan kation seperti Na, K, dan Ca, serta anion seperti HCO3, Cl, dan
SO4 (Ma et al. 2007). Kalsium (Ca2+) dan karbonat (HCO3-) akan membentuk
kristal CaCO3 dengan melibatkan hemolimf dan jaringan tubuh seperti bagian
ekstrapallial serta cangkang.
Formasi cangkang dibentuk dengan memproduksi CaCO3 sesuai dengan
reaksi:
pertukaran Ca/H melewati membran luar dari epitel mantel (Wilbur dan Saleuddin
1983).
Lokasi terlindung
Lokasi yang ideal untuk pembenihan tiram mutiara ialah berdekatan dengan
pantai yang secara alami terlindung dari pengaruh angin dan gelombang besar
yang dapat menyebabkan kondisi perairan menjadi keruh. Lokasi yang terlindung
sangat diperlukan untuk pemeliharaan, khususnya untuk induk. Hal ini
dikarenakan selain dapat terhindar dari stress fisiologis, seperti mengeluarkan
semua isi gonad atau memijah sebelum waktunya. Lokasi pembenihan yang
terlindung dapat dijumpai di daerah sekitar teluk atau pulau-pulau kecil.
12
Dasar perairan
Kondisi dasar perairan seperti karang berpasir atau berkarang merupakan
lokasi yang baik untuk peletakan inlet atau pipa untuk mengambil air laut guna
keperluan operasional pembenihan. Selain itu dapat memilih lokasi dengan dasar
perairan pecahan-pecahan karang.
Arus
Arus yang kuat dapat mengaduk dasar perairan sehingga parairan menjadi
keruh dan dapat bercampur dengan substansi lain yang tidak diinginkan. Selain
itu, pasang surut air laut harus diperhatikan karena dapat menyediakan dan
menggantikan air secara total dan terus-menerus sehingga perairan terhindar dari
kemungkinan adanya limbah atau bahan pencemar lainnya.
Salinitas
Tiram mutiara tidak dapat hidup pada salinitas di bawah 15 ppt dan di atas
50 ppt karena dapat mengakibatkan kematian hingga 100%. Tiram mutiara dapat
hidup pada salinitas antara 24-50 ppt. Salinitas yang optimal bagi pertumbuhan
tiram mutiara adalah 32-35 ppt, oleh karena itu pemilihan lokasi pembenihan
sebaiknya di perairan yang memiliki salinitas kisaran ini.
Suhu
Umumnya, tiram mutiara tidak dapat hidup di bawah suhu 18oC , sedangkan
untuk kelangsungan hidup tiram mutiara membutuhkan lingkungan dengan suhu
berkisar 25-30oC. Suhu air kisaran 27-30oC juga dianggap cukup layak untuk
kehidupan tiram mutiara.
Dalam kondisi laboratorium, suhu yang bervariasi dapat mempengaruhi
waktu penempelan larva tiram mutiara. Pada suhu 28,2-29,8C, larva akan
menempatkan diri untuk menetap dan melekat pada substrat setelah berumur 24
hari. Selanjutnya, pada rentang suhu 24,3-27,2C, larva baru akan melekat setelah
32 hari. Sementara pada suhu rendah, sebagian besar tiram mutiara akan
menghabiskan waktunya untuk melakukan metamorfosis secara lengkap dan
melekatkan diri untuk menetap. Selain itu suhu air dapat mempengaruhi proses
metabolisme. Perubahan suhu, walaupun kecil, selama pemeliharaan larva dapat
mengakibatkan kematian. Pada suhu 24-30C, tiram mutiara (Pinctada
margaritifera) sangat aktif melakukan kegiatan metabolisme, sedangkan pada
suhu 18-20C tiram mutiara tidak aktif lagi. Suhu air yang baik untuk
pemeliharaan larva berkisar 25-27C. Di Balai Budi Daya Laut Lampung, larva
dan spat Pinctada maxima menunjukkan kelangsungan hidup dan pertumbuhan
yang baik pada kisaran suhu antara 26-28C.
Kecerahan
Kecerahan air penting karena berhubungan dengan kedalaman penetrasi
cahaya yang dibutuhkan oleh organisme, bila sedikit cahaya (agak gelap) maka
cangkang tiram akan terbuka lebar, sedangkan bila cahaya terang cangkang
kurang terbuka lebar. Oleh karena itu, proses pemeliharaan larva dan spat harus
dalam keadaan agak gelap sehingga tiram tersebut merasa nyaman dalam
melakukan filtrasi makanan.
13
Pada saat larva masih stadia veliger, kecerahan yang tidak terlalu tinggi
akan melindungi tubuhnya dari radiasi sinar ultraviolet karena larva masih bersifat
fototaksis positif (menyukai cahaya) dan umumnya proses metamorfosis
memerlukan sinar yang sesuai dan kebutuhan sinar pada tiap spesies tidak sama.
Kecerahan air antara 4,5-6,5 m sangat baik untuk dijadikan lokasi pemeliharaan
induk.
kantung mutiara hampir terbentuk yang terdiri atas lapisan sel epitel pipih dan
berbentuk kubus yang didukung oleh serat-serat halus stroma. Matriks organik
teramati pada rongga inti yang menandai tahap awal proses mineralisasi, namun
matriks organik sering terdistorsi oleh hadirnya sisa-sisa atau puing-puing sel
gamet di dalam rongga inti. Setelah 30 hari, kantung mutiara telah terbentuk
sempurna, sebagaimana tersaji pada Gambar 7 (Cochennec-Laureau et al. 2010).
Pembentukan Mutiara
Mutiara dihasilkan secara alami dan budi daya. Mutiara yang dihasilkan
secara alami dapat ditemukan di alam, namun sudah sangat langka. Teori
pembentukan mutiara alami terjadi akibat adanya partikel padat yang terjebak
dalam tubuh tiram, terutama antara bagian mantel dan cangkang bagian dalam.
Mantel akan menyelubungi partikel padat tersebut. Bagian mantel kemudian
menyelubungi partikel padat tersebut, dan bagian mantel inilah yang disebut
sebagai kantung kantung mutiara (tersaji pada Gambar 8). Namun, belum ada
bukti ilmiah yang mendukung teori ini karena dari beberapa mutiara alami yang
dibedah menunjukkan bahwa bagian inti mutiara bukanlah partikel padat (Strack
2006).
15
Mutiara budi daya terdiri atas 2 bentuk, yakni berupa mutiara blister
(setengah lingkaran) dan mutiara bulat. Mutiara blister dihasilkan dengan cara
melekatkan inti di dinding cangkang bagian dalam (tersaji pada Gambar 9),
sedangkan mutiara bulat (tersaji pada Gambar 10) dihasilkan dengan cara
implantation atau implantasi, yaitu dengan menyisipkan inti bersama selembar
organ mantel (irisan daging tiram mutiara lain yang dikenal dengan nama saibo)
ke gonad tiram mutiara. Mantel yang dijadikan saibo diambil dari zona pallial
mantel karena zona ini berisi banyak jaringan saraf dan arteri pallial. Mantel atau
saibo yang disisipkan akan berkembang mengelilingi inti menyerupai kantung
sehingga disebut kantung mutiara (Acosta-Salmn dan Southgate 2005).
Pembentukan kantung mutiara menjadi sangat penting karena akan menentukan
kualitas mutiara. Untuk mendapatkan kantung mutiara yang baik maka harus
melakukan kajian tentang pemilihan saibo. Beberapa penelitian telah
membuktikan bahwa saibo dapat menentukan warna mutiara sesuai yang
diinginkan. Warna mutiara bervariasi sesuai dengan kesukaan seseorang, ada yang
berwarna pink, kuning, perak, dan hitam (Gambar 11), tetapi tidak hanya dari segi
warna, mutiara juga dinilai dari segi ukuran, bentuk, permukaan, dan kilauan
mutiara (Gambar 12)
16
Gambar 11 Berbagai macam warna mutiara yang dapat dihasilkan melalui budi
daya mutiara.
17
polos, gerakan intraseluler, memori, pertumbuhan saraf, dan respons imun. Saat
tiram mutiara mengalami luka sayatan akibat implantasi inti maka diduga akan
mempengaruhi kerja sel, terutama kerja fosfolipase C (PLC) yang menghidrolisis
ikatan fosfodiester pada phosphatidylinositol 4,5-bisphosphate untuk
menghasilkan diasilgliserol (DAG) dan inositol 1,4,5-trifosfat yang dikenal
dengan second mesenger. Sinyal IP3 menyebabkan pelepasan kalsium dari
retikulum endoplasma dengan bantuan pompa Ca2+-ATPase (Ca2+ terkumpul dalam
sitosol akibat disekresikan oleh RE), dan pelepasan kalsium dari mitokondria
dengan bantuan antiport Ca2+-Na+. Phosphatidylserine akan mengaktivasi
phosphokinase C (PKC) untuk berikatan dengan DAG. Selain itu, akibat
kelebihan Ca2+ sitosolik maka sel akan terus mentranspor Ca2+ ke CES sehingga
Ca2+ sitosol menjadi normal kembali. CAM mengalami perubahan konformasi
pada saat mengikat kalsium, yang memungkinkan untuk mengikat protein khusus
untuk penanganan khusus. CAM memiliki bobot molekul sekitar 16.700 yang
dapat mengikat hingga empat ion kalsium, dan dapat menjalani modifikasi
pascatranslasi sehingga dapat disesuaikan dengan kebutuhan sel target, seperti
pelapisan mutiara.
Fungsi CaLP (Calmodulin-Like Protein) ialah mengikat protein untuk
memfasilitasi trasformasi kalsite di lapisan prismatik menjadi aragonite pada
lapisan nacre (Marin dan Luquet 2004; Marin et al. 2007). Penelitian lain tentang
CaLP pada tiram mutiara jenis Pinctada fucata menemukan bahwa dengan
pewarnaan imunohistologi pada cangkang dideteksi CaLP di sekitar lapisan
prismatik (kalsite) dan bagian nacre (aragonite). Secara in vitro CaLP
berpengaruh pada pembentukan kristal kalsite, serta CaLP berkombinasi dengan
protein yang larut dalam air akan membentuk kristal aragonite pada nacre,
sehingga CaLP dimungkinkan berperan selama pembentukan nacre pada mutiara
(Yan et al. 2007).
Peran matriks protein sangat penting dalam mencapai proses biomineralisasi
(Michenfelder et al. 2003) karena secara histologi matriks protein sudah mulai
terlihat setelah beberapa hari implantasi (Cochennec-Laureau et al. 2010). Enzim
alkaline fosfatase sangat berperan dalam biomineralisasi mutiara karena menurut
Chen et al. (2005) pada Pinctada fucata, asam amino arginina dan lisina
merupakan substrat yang diaktifkan oleh enzim alkaline fosfatase selama
pembentukan mutiara di nacre. Hal ini menjadi menarik karena tidak menjelaskan
peran enzim alkaline fosfatase pada organ lain selama pembentukan mutiara,
sehingga Xie et al. (2007) menemukan bahwa enzim alkaline fosfatase
terdistribusi di hepatic duct sampai diverkula pencernaan serta Jing et al. (2007)
menjelaskan bahwa secara imunohistokimia, asam fosfat positif ditemukan pada
bagian kelenjar pencernaan dan filament atau lembaran insang. Fungsi signal
protein C yang tertinggi terletak pada lipatan luar mantel dan insang, serta adanya
peranan enzim alkaline fosfatase dalam proses tersebut (Chen et al. 2004).
Peran matriks protein sangat penting dalam mencapai proses biomineralisasi
(Michenfelder et al. 2003), karena secara histologi matriks protein sudah mulai
terlihat setelah beberapa hari implantasi (Cochennec-Laureau et al. 2010). Pearlin
dan peral keratin berinteraksi untuk menginduksi nukleasi aragonite (Matsushiro
et al. 2003). Protein matriks organik (OMPs) terlibat dalam pembentukan
cangkang dan mutiara (Zhang dan Zhang 2006). Pada tiram mutiara, struktur
utama dari berbagai OMPs telah diklasifikasikan berdasarkan distribusi atau pola
19
ekspresi gen ke dalam tiga kategori, yaitu OMPs yang ada dalam lapisan
nacreous, di lapisan prismatik, dan di antara kedua lapisan tersebut (ruang
ektrapallial). Sebagian besar OMPs diperkirakan menjalani modifikasi
posttranslasi, terutama untuk nacrein (Miyamoto et al. 2005), glikosilasi dengan
oligosakarida yang mengandung sulfit dan asam sialat (Takakura et al. 2008).
Selain komponen protein, matriks organik dari tiram mutiara berisi struktur
polisakarida dan kitin (Suzuki dan Nagasawa 2007). Lebih jauh lagi Kong et al.
(2009) telah melaporkan bahwa prisilkin-39 memiliki dua fungsi, yaitu
pembentukan kitin dan regulasi bahan-bahan mineral pada bagian prismatik
cangkang tiram Pinctada fucata.
Dengan demikian, komponen matriks organik dari cangkang tiram mutiara
telah mengungkapkan adanya berbagai molekul yang mungkin berinteraksi dan
berkoordinasi untuk pembentukan dan penentuan struktur cangkang polimorfik
(Matsushiro et al. 2003). Menurut Jackson et al. (2010) bahwa informasi tentang
OMPs masih dapat dilakukan melalui analisis transkriptome dari jaringan mantel.
Fungsi dari berbagai komponen matriks organik dalam kaitannya dengan
pembentukan dan penentuan struktur cangkang polimorfik telah diselidiki oleh
kombinasi pendekatan yang berbeda, yaitu kristalisasi secara in vitro kalsium
karbonat (Zaremba et al. 1996) dan secara in vivo dari seluruh proses
pembentukan cangkang dengan " flat pearl" " (Fritz et al. 1994). Eksperimen
terbaru yang dilakukan secara invivo oleh Suzuki et al. (2009) dengan
menggunakan metode interferensi RNA untuk memodifikasi sintesis salah satu
matriks protein, yaitu Pif97 dan Pif80, ke dalam sel-sel epitel luar. Hasilnya
menunjukkan bahwa Pif97 dan Pif80 berperan dalam mengatur kristalisasi
kalsium karbonat pada pembentukan nacre Pinctada fucata.
Hal-hal tersebut di atas telah menjelaskan bahwa komponen matriks organik
memainkan peran penting dalam penentuan struktur cangkang. Sel-sel epitel luar
memainkan peran sentral dalam pembentukan cangkang. Ion anorganik untuk
kristalisasi kalsium karbonat diangkut ke ruang extrapallial dan semua komponen
matriks cangkang disintesis dan disekresikan oleh sel-sel ini. Pembentukan
mutiara juga digambarkan seperti hal-hal tersebut di atas.
maxima. Sebanyak tiga ratus dua puluh tiram Pinctada maxima digunakan sebagai
tiram inang dengan rancangan acak lengkap 4 x 4 pola faktorial dengan 20
ulangan. Faktor pertama adalah sumber saibo yang terdiri atas 4 level, yakni
Atrina vexillum, Pteria penguin, Pinctada margaritifera, dan Pinctada maxima.
Faktor kedua adalah waktu setelah implantasi inti dengan 4 level, yakni 1, 2, 3,
dan 4 minggu. Parameter yang diamati adalah persentase tiram yang berhasil
membentuk kantung mutiara, kecepatan pertumbuhan kantung mutiara dan
persentase penutupan inti oleh kantung mutiara, perkembangan histologis kantung
mutiara, konsumsi oksigen, serta kadar glukosa, kalsium, dan fosfor hemolimf.
Tiram inang Pinctada maxima diimplantasi dengan saibo dari genus yang
berbeda, yaitu Atrina vexillum dan Pteria penguin, hanya berhasil membentuk
kantung mutiara masing-masing sebesar 30 dan 45%. Namun, pada tiram
Pinctada maxima yang diimplantasi dengan saibo dari genus yang sama (Pinctada
margaritifera) memiliki persentase tiram yang berhasil membentuk kantung
mutiara mencapai 70% dan saat saibo berasal dari spesies yang sama (Pinctada
maxima) memiliki persentase tiram berhasil membentuk kantung mutiara sedikit
lebih tinggi mencapai 80%. Namun, kecepatan pembentukan kantung mutiara dan
persentase penutupan inti oleh kantung mutiara tiram Pinctada maxima dengan
implantasi saibo dari jenis tiram Pteria penguin, Atrina vexillum dan Pinctada
margaritifera hanya sekitar 20% lebih rendah dibandingkan dengan spesies yang
sama (Pinctada maxima). Konsentrasi glukosa hemolimf dan konsumsi oksigen
tidak terpengaruh oleh spesies dan genus tiram donor yang berbeda. Pembentukan
kantung mutiara pada tiram Pinctada maxima dengan saibo dari spesies yang
sama memberikan hasil terbaik dibandingkan dengan spesies yang berbeda,
seperti tiram Pinctada margaritifera serta dari genus yang berbeda, seperti Pteria
penguin dan Atrina vexillum.
ABSTRACT
oysters. Three hundred and twenty Pinctada maxima host oysters were assigned
into a completely randomized design with a 4 x 4 factorial arrangement with 20
replications. The first factor was the source of saibo consisted of 4 levels i.e.,
Atrina vexillum, Pteria penguin, Pinctada margaritifera, and Pinctada maxima
oysters. The second factor was time after nucleus implantation with 4 levels i.e.,
1, 2, 3, and 4 weeks. The parameters observed were the percentage of successful
oyster to form the pearl sac, the speed of pearl sac growth and the percentage of
nucleus coverage by the pearl sac and histological development of the pearl sac,
oxygen consumption, haemolymph glucose, calcium, and phosphorus
concentrations. Pinctada maxima host oysters implanted with saibo from different
genus of Atrina vexillum and Pteria penguin only succeeded in forming pearl sac
by 30 and 45%, respectively. However, in Pinctada maxima oysters implanted
with saibo from the same genus with different species, Pinctada margaritifera
oyster, the percentage of host oysters succeeded in forming pearl sac 4 weeks
observation after nucleus implantation reached 70% and when implanted saibos
were from the same species, Pinctada maxima, the percentage of oysters
succeeded in forming pearl sac was slightly higher and reached 80%. However,
the speed of pearl sac formation and the percentage of nucleus coverage by pearl
sac in Pinctada maxima host oysters implanted with saibos obtained from
different genus and species of Pteria penguin, Atrina vexillum and Pinctada
margaritifera only around 20% lower than in those implanted with saibos
obtained from the same species of Pinctada maxima donor oysters. Haemolymph
glucose concentrations and oxygen consumption were not affected by the different
species and genus of donor oysters. Different species and genus of donor oysters
showed a different haemolymph calcium and phosphorus concentrations patterns
during 4 weeks pearl sac formation after nucleus implantation. In conclusion,
pearl sac formation in Pinctada maxima host oysters gave the best result when the
saibos used were from the same species as compared to those from different
species such as Pinctada margaritifera oysters and from different genus such as
Pteria penguin and Atrina vexillum.
Pendahuluan
Mutiara hasil budi daya yang berasal dari tiram Pinctada maxima umumnya
sangat disukai karena memiliki kualitas yang tinggi. Kualitas mutiara hasil budi
daya salah satunya ditentukan oleh kualitas saibo. Saibo diambil dari bagian
mantel tiram lain, tepatnya bagian pallial, karena memiliki jaringan saraf dan
arteri pallial (Acosta-Salmn et al. 2004). Secara histologis, mantel terdiri atas
selaput jaringan penghubung yang dilindungi oleh sel-sel epitel. Bagian yang
berhubungan dengan cangkang sebelah dalam disebut epitel luar atau outer mantel
yang menghasilkan kristal kalsium karbonat (CaCO3) dalam bentuk kristal
aragonit, yang lebih dikenal sebagai nacre atau mother of pearl dan kristal
kalsite yang merupakan pembentuk lapisan prismatik pada cangkang (Cahn 1949).
22
Setelah implantasi saibo dan inti, maka bagian inner mantel dari saibo
mengalami degradasi dan yang tersisa adalah bagian outer mantel, selanjutnya
bagian outer mantel berkembang dari sel-sel epitel yang kompleks menjadi sel-sel
epitel yang sederhana dan akhirnya membentuk kantung mutiara dengan menutupi
inti secara keseluruhan (Cochennec-Laureau et al. 2010). Sel-sel tiram donor
dapat bertahan sebagai kantung mutiara sampai masa panen mutiara (Arnaud-
Haond et al. 2007). McGinty et al. (2011) menunjukkan bahwa sel-sel donor juga
aktif dalam proses transkripsi, terutama mensekresi matriks protein nacreous yang
berkontribusi terhadap pembentukan mutiara.
Kelangsungan hidup jaringan mantel yang diimplantasi menunjukkan bahwa
ada kerja sama biologis yang kompleks antara dua genus yang unik selama proses
biomineralisasi inti (Cochennec-Laureau et al. 2010). Pada tiram Pinctada fucata
setelah 12 dan 18 bulan implantasi ditemukan sel-sel mantel tiram donor yang
bertahan sebagai kantung mutiara dan berkontribusi untuk pembentukan nacre
mutiara (Masaoka et al. 2013).
Beberapa penelitian sebelumnya juga telah menemukan bahwa adanya
kecenderungan warna nacre dari cangkang tiram donor dapat mempengaruhi
keseluruhan warna mutiara yang dihasilkan (Taylor 2002; Zhifeng et al. 2012).
Telah terdeteksi dua matriks protein nacre (N44 dan N66) pada kantung mutiara.
Penelitian ini juga telah mengkonfirmasi untuk enam matriks protein lain, yakni
Nacrein, EFCBP, N16, ACCBP, MSI60, dan N19 (Wang et al. 2009).
Penelitian xenografts antara tiram Pinctada maxima dan Pinctada
margaritifera menunjukkan bahwa hasilnya tidak mempengaruhi pembentukan
kantung mutiara, walaupun demikian mempengaruhi hasil mutiara seperti warna,
kondisi permukaan, bentuk, ketebalan nacre, dan bobot mutiara. Lapisan nacre
ditemukan lebih besar di xenografts yang terdiri atas Pinctada maxima sebagai
donor dan Pinctada margaritifera sebagai tiram penerima (host) dari pada
perlakuan xenograf terbalik dan allografts. Warna dan kondisi permukaan
mutiara juga sangat dipengaruhi oleh jenis tiram donor yang digunakan sebagai
xenografts , misalnya tiram Pinctada maxima sebagai tiram penerima (host) yang
diimplantasi dengan mantel (saibo) dari Pinctada margaritifera. Hasilnya dari
perlakuan tersebut akan diperoleh lebih banyak mutiara warna hitam dan bila
sebaliknya maka akan diperoleh mutiara warna perak (McGinty et al. 2010).
Mantel dari jenis tiram lain dapat di ditransplantasikan, tetapi akan ditolak oleh
sistem kekebalan tubuh. Oleh karena itu, para ilmuwan mutiara harus dapat
mengembangkan metode baru untuk menekan sistem kekebalan tubuh
(Fukushima et al. 2014).
Beberapa penelitian di atas telah membuktikan bahwa pemilihan saibo
menjadi sangat penting karena saibo menentukan kualitas mutiara, terutama
warna mutiara. Selain itu, hasil perlakuan xenografts telah membuktikan bahwa
saibo dapat diambil dari jenis tiram lain. Untuk itu, perlu mempertegas hasil
temuan di atas dengan melakukan kajian tentang pembentukan kantung mutiara
pada tiram Pinctada maxima dengan menggunakan saibo dari famili yang sama
(Atrina vexillum, Pteria penguin, dan Pinctada margaritifera). Kajian ini
dilakukan untuk membandingkan perkembangan kantung mutiara tiram Pinctada
maxima dengan menggunakan sumber saibo yang berbeda.
23
Hewan Penelitian
Bagian mantel yang dijadikan sebagai saibo diambil dari bagian pallial.
Saibo jenis tiram Atrina vexillum memiliki bagian pallial mantel yang
permukaanya berwarna putih bercampur kuning, serat-serat otot terlihat jelas,
lebih tipis bila dibandingkan dengan Pteria penguin, setelah disayat saibo menjadi
lebih keras (Gambar 13A). Saibo jenis tiram Pteria penguin memiliki bagian
pallial mantel yang permukaannya berwarna putih bercampur hitam, tidak terlalu
tebal bila dibandingkan dengan saibo tiram Pinctada margaritifera dan serat-serat
otot hanya sedikit terlihat (Gambar 13B). Untuk jenis tiram Pinctada
margaritifera memiliki bagian pallial yang permukaannya berwarna putih
bercampur kuning, agak tebal, serat-serat otot hanya sedikit terlihat, setelah
disayat saibo masih terasa lembut, saibo tiram jenis ini mirip seperti saibo tiram
Pinctada maxima (Gambar 13C). Saibo jenis tiram Pinctada maxima memiliki
bagian pallial mantel yang permukaannya berwarna hitam bercampur kuning,
tidak terlalu tebal bila dibandingkan dengan saibo tiram Pinctada margaritifera
dan serat-serat otot hanya sedikit terlihat (Gambar 13D).
24
Gambar 13 Deskripsi jenis saibo yang diambil dari beberapa jenis tiram Atrina
vexillum (A), Pteria penguin (B), Pinctada margaritifera (C), dan
Pinctada maxima (D).
Paramater Pengamatan
Pengamatan dilakukan setiap minggu selama sebulan, parameter yang
diukur dan diamati meliputi: jumlah kumulatif tiram yang mengalami kematian
dan penolakan inti, persentase tiram yang berhasil membentuk kantung mutiara,
kecepatan dan persentase penutupan inti mutiara, konsumsi oksigen, kadar
glukosa, kadar kalsium dan fosfor hemolimf (tersaji pada Lampiran 2),
perkembangan histologis struktur kantung mutiara (lampiran 3), data pendukung
meliputi suhu, salinitas, dan pH air.
Analisis Data
Data yang telah didapatkan kemudian dianalisis sidik ragam dengan
menggunakan software SAS (Statistic Analisis System) versi 9.1.3 (Mattjik dan
Sumertajaya 2006).
Hasil
30
Jumlah kumulatif
25
kematian (%)
20
15
10
05
00
1 2 3 4
Minggu setelah implantasi
50
Jumlah kumulatif tiram
40
penolakan inti (%)
yang mengalami
30
20
10
00
1 2 3 4
Minggu ke -
100
60
40
20
0
Saibo
Minggu ke-
Jenis Saibo
1 2 3 4
Kecepatan Saibo Mengelilingi Inti Mutiara (mm/hari)
Tiram Av 1.220.08b 1.750.08b 2.220.82a 2.460.82b
Tiram Pp 1.370.17ab 1.890.09ab 2.220.08a 2.510.08ab
Tiram Pmg 1.460.14ab 1.890.08ab 2.370.08ab 2.650.08ab
Tiram Pmx 1.560.08a 1.930.08a 2.510.08a 2.800.08a
Persentase Penutupan Inti Mutiara (%)
Tiram Av 37.210.78c 58.921.56c 74.421.55b 87.342.37c
Tiram Pp 43.933.23b 64.082.37b 74.940.90b 89.410.10c
Tiram Pmg 43.411.55b 66.661.55b 75.450.90b 93.021.55b
Tiram Pmx 49.102.37a 70.542.05a 93.021.55a 97.160.90a
Keterangan : Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang berbeda pada kolom yang sama
menunjukkan perbedaan nyata (t<0.05). Keterangan : Av (Atrina vexillum), Pp
(Pteria penguin), Pmg (Pinctada margaritifera), Pmx (Pinctada maxima).
sel-sel epitel telah membentuk monolayer yang mengelilingi inti, namun belum
sempurna (21D).
terbentuk, namun belum sempurna, sedangkan saibo Pteria penguin dan Atrina
vexillum masih terlihat sel-sel epitel kuboid yang masih mengalami nekrosis.
Hasil kuantitatif histologi (Tabel 2) menunjukkan bahwa infiltrasi hemosit
terjadi paling tinggi pada minggu pertama setelah implantasi, namun menurun di
minggu kedua dan minggu ketiga, tetapi minggu keempat tidak terlihat lagi.
Infiltrasi hemosit lebih rendah bila implantasi dilakukan dengan menggunakan
saibo dari genus yang sama tetapi lebih tinggi bila menggunakan saibo dari genus
berbeda. Saibo yang berasal dari genus sama lebih cepat terdegradasi membentuk
sel-sel epitel sederhana (selapis saja) dibandingkan dengan saibo dari genus
berbeda. Hal ini sama dengan jumlah sel-sel epitel yang mengalami pyknosis dan
vakuola. Jumlah sel-sel epitel yang mengalami pyknosis pada minggu pertama
lebih tinggi pada tiram yang diimplantasi dengan menggunakan saibo dari tiram
berbeda jenis.
Minggu ke-
Jenis Saibo
1 2 3 4
+
Infiltrasi hemosit (lobus/ LP )
Tiram Av 16.3 2.5*** 9.32.1** x x
Tiram Pp 15.3 1.2*** 7.72.1** x x
Tiram Pmg 7.7 1.5** 4.71.5** x x
Tiram Pmx 5.7 0.6** 3.61.2* x x
Jumlah lapisan sel-sel epitel
Tiram Av 5-6 3-4 2-3 1-2
Tiram Pp 3-4 2-3 1-2 1-2
Tiram Pmg 3-4 2-3 1-2 1-2
Tiram Pmx 2-3 1-2 1 1
Jumlah sel-sel epitel yang mengalami pyknosis (sel/LP++)
Tiram Av 20.02.0a 14.31.5a 8.72.1a 4.71.2
Tiram Pp 18.32.5a 12.31.5a 8.01.7a 4.01.0
Tiram Pmg 17.72.1a 7.31.5b 4.71.2b 4.01.7
b b b
Tiram Pmx 5.70.6 4.71.1 4.31.2 3.71.2
Jumlah vakuola (sel/LP++)
Tiram Av 7.71.5a 6.31.5a 5.01.0b 6.30.5ab
Tiram Pp 8.71.5a 6.20.6a 4.30.6b 7.72.1a
a a a
Tiram Pmg 7.31.5 5.70.6 8.60.5 5.01.0b
Tiram Pmx 3.70.6b 3.80.5a 5.01.0b 6.30.6ab
Keterangan : Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang berbeda pada kolom yang sama
menunjukkan perbedaan nyata (t<0.05). Keterangan : Av (Atrina vexillum), Pp
(Pteria penguin), Pmg (Pinctada margaritifera), Pmx (Pinctada maxima). LP+
(Lapang pandang dengan pembesaran 100 kali), LP++ (Lapang pandang dengan
pembesaran 400 kali) *** (Tinggi),**(Sedang), *(Rendah), x (Tidak terlihat).
37
Konsumsi oksigen pada semua perlakuan sumber saibo tidak berbeda nyata.
Dengan demikian, perbedaan jenis saibo tidak mempengaruhi laju metabolisme
tiram. Rataan konsumsi oksigen, kadar glukosa, kalsium, dan fosfor hemolimf
selama 4 minggu pengamatan disajikan pada Tabel 3. Suhu lingkungan selama
pemeliharaan tiram mengalami fluktuasi sebesar 26.2-30.4oC dan salinitas sebesar
32 ppt. Suhu selama pengamatan laju konsumsi oksigen sebesar 27.5-28oC dan
salinitas sebesar 32 ppt. Kadar glukosa dengan menggunakan saibo tiram Atrina
vexillum memiliki kadar glukosa yang lebih tinggi bila dibandingkan dengan
saibo tiram Pteria penguin, Pinctada margaritifera, dan Pinctada maxima
Perlakuan saibo tiram Pinctada maxima memiliki kadar kalsium dan fosfor
lebih tinggi bila dibandingkan dengan perlakuan saibo tiram Atrina vexillum,
Pteria penguin, dan Pinctada margaritifera. Rataan kadar kalsium pada semua
perlakuan adalah sekitar 250.43-289.41 ppm, sedangkan kadar fosfor berkisar
38
3.55-10.89 ppm. Walaupun pada setiap minggu kadar kalsium dan fosfor
mengalami fluktuasi, tubuh tiram selalu berusaha untuk menjaga homeostatis.
Pada minggu pertama, perlakuan saibo tiram Atrina vexillum memiliki kadar
fosfor lebih tinggi bila dibandingkan dengan perlakuan saibo tiram Pteria
penguin, Pinctada margaritifera, dan Pinctada maxima, tetapi pada minggu
kedua, ketiga, dan keempat perlakuan saibo tiram Pinctada maxima memiliki
kadar fosfor lebih tinggi bila dibandingkan dengan perlakuan saibo tiram Pteria
penguin, Atrina vexillum, dan Pinctada margaritifera.
Pembahasan
Hasil penelitian ini menegaskan bahwa ketika sumber saibo itu berasal dari
spesies yang sama atau genus yang sama maka keberhasilan implantasi dan
pembentukan kantung mutiara meningkat secara dramatis bila dibandingkan
dengan tiram yang berasal dari genus yang berbeda. Kegagalan implantasi
terutama disebabkan oleh meningkatnya penolakan saibo dan kematian tiram
inang yang diimplantasi dengan saibo dari genus yang berbeda. Namun, ketika
implantasi itu berhasil, pertumbuhan dan perkembangan kantung mutiara pada
tiram Pinctada maxima sebagai tiram inang hanya berbeda sekitar 20% dengan
saibo yang berasal dari genus yang berbeda. Kelangsungan hidup dan penolakan
inti dengan menggunakan saibo yang berasal dari spesies yang sama dalam
rentang normal. Namun, ketika tiram donor berasal dari genus yang berbeda maka
kelangsungan hidup menurun dan penolakan inti meningkat drastis dan keluar dari
rentang normal. Tiram Pinctada maxima yang berada pada industri mutiara,
kelangsungan hidup tiram inang yang diimplantasi adalah 90-98% dan penolakan
inti adalah 70-90% (Taylor et al. 2008). Namun, pada tiram Pinctada
margaritifera sebagai tiram inang, penolakan inti selama 3 bulan setelah
implantasi mencapai 45,4% (Cochennec-Laureau et al. 2010) dan hasil ini serupa
dengan yang ditemukan di tiram Pinctada maxima yang diimplantasi dengan
saibo dari genus yang berbeda.
Peningkatan kematian dan penolakan inti tiram inang Pinctada maxima
ketika diimplantasi dengan saibo yang diperoleh dari genus yang berbeda atau
tiram donor berbeda mungkin akibat stres yang disebabkan luka sayatan dan
reaksi imun terhadap jaringan yang dicangkokkan dari genus yang berbeda.
Proses implantasi menginduksi stress dan reaksi kekebalan pada tiram inang
sehingga mempengaruhi sistem endokrin dan kekebalan tubuh (Li et al. 2010).
Pengamatan histologi menunjukkan bahwa ada infiltrasi hemosit yang tinggi
dalam jaringan ikat di sekitar gonad tiram inang. Hemosit berfungsi dalam
perbaikan luka, pencernaan, dan transportasi nutrisi, ekskresi dan kekebalan
(Cheng et al. 2004). Namun, hemosit dan infiltrasi sel-sel inflamasi pada tiram
inang Pinctada maxima yang berhasil membentuk kantung mutiara selama 4
minggu implantasi saibo dari genus dan spesies yang berbeda tidak berbeda.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa tiram inang Pinctada maxima
setelah diimplantasi dengan saibo yang berasal dari genus yang berbeda
mengalami stres yang lebih tinggi seperti yang ditunjukkan oleh konsentrasi
glukosa hemolimf yang lebih tinggi dibandingkan dengan saibo dari spesies dan
genus yang sama. Pola-pola konsentrasi glukosa hemolimf, hemosit, dan infiltrasi
39
ke-30 terlihat sel-sel epitel kuboid sederhana dan sel epitel skuamosa tanpa silia
(Chatchavalvanich et al. 2010).
Pengalaman di lapangan mungkin mengarahkan penggunaan genus yang
sama atau bahkan spesies yang sama dari tiram donor untuk meningkatkan retensi
inti dan jumlah tiram hidup selama implantasi inti. Data ini dapat digunakan
dalam mengembangkan teknik xenograft dalam meningkatkan kualitas mutiara
yang dihasilkan dalam produksi mutiara dengan menggunakan spesies yang
berbeda dan genus yang berbeda dari tiram donor. Meskipun kematian dan
penolakan inti oleh tiram inang meningkat ketika saibo berasal dari genus yang
berbeda, saat implantasi berhasil dan kantung mutiara telah tumbuh mengelilingi
inti, laju pertumbuhan kantung mutiara dan kecepatan penutupan inti oleh kantung
mutiara hanya lebih rendah sekitar 20%. Hasil penelitian ini jelas menunjukkan
bahwa tiram inang Pinctada maxima jika diimplantasi dengan saibo dari genus
yang berbeda dapat mengembangkan kantung mutiara yang merupakan awal dari
sintesis mutiara. Penggunaan xenograft dapat meningkatkan kualitas mutiara
(McGinty et al. 2010),
Untuk mengurangi jumlah tiram yang mengalami penolakan inti dan
kematian yang tinggi pada tiram inang dapat diselesaikan dengan menggunakan
anestesi dan relaksan sehingga mengurangi stres pada tiram inang (Acosta-
Salmn dan Davis 2007). Pengaruh genus yang berbeda dari tiram donor pada
pertumbuhan dan perkembangan kantung mutiara telah jelas. Tiram inang
Pinctada maxima dapat diimplantasi dengan saibo dari genus yang berbeda dan
spesies yang berbeda menunjukkan degradasi yang lebih lambat dari outer mantel
untuk membentuk satu lapisan sel epitel kuboid selama 4 minggu setelah
implantasi inti. Tiram inang Pinctada maxima yang diimplantasi dengan saibo
dari spesies yang sama (Pinctada maxima), satu minggu setelah implantasi inti
menunjukkan degradasi outer mantle yang cepat untuk membentuk monolayer sel
epitel kuboid. Saat kantung mutiara terbentuk, langkah berikutnya dalam sintesis
mutiara ialah sintesis dan deposisi lapisan matriks organik mengelilingi inti
(Awaji dan Machii 2011). Meskipun kualitas mutiara yang dihasilkan sebagian
besar ditentukan oleh genotipe tiram donor, bahan yang digunakan untuk sintesis
mutiara (lapisan matriks) disediakan oleh tiram inang (Jerry et al. 2012). Sampai
saat ini, mekanisme regulasi dan pensignalan dalam regulasi ketersediaan substrat
di lokasi sintesis mutiara, terutama di lapisan sel-sel kantung mutiara belum
dipahami dengan baik. Data yang ditemukan dalam penelitian ini jelas
menunjukkan bahwa genus yang berbeda dan jenis tiram donor secara signifikan
mempengaruhi pola konsentrasi kalsium dan fosfor hemolimf sebagai mineral
utama yang diperlukan untuk sintesis matriks mutiara. Bagaimana pengaruh pola
yang berbeda dari konsentrasi kalsium dan fosfor hemolimf pada kualitas mutiara
yang dihasilkan diperlukan studi lebih lanjut. Keadaan osmotik dan salinitas air
laut sangat mempengaruhi sistem osmoregulasi dan sinyal osmotik dan ekspresi
gen penyandi saluran ion (Lockwood dan Somero 2011; Zhao et al. 2012; Meng
et al. 2013). Namun, hal ini tidak terkait dengan keadaan osmotik dan salinitas air
laut yang berbeda. Perbedaan dapat dikaitkan dengan interaksi sel-sel antara
jaringan yang diimplan dan sel inang di tempat implantasi.
41
Simpulan
mengelilingi inti mutiara. Posisi peletakan inti dan saibo di bagian ventral gonad
memberikan hasil yang terbaik, tetapi bagian usus dan anus dapat dijadikan
sebagai alternatif posisi untuk multi lokasi implantasi pada tiram Pinctada
maxima.
Kata kunci: Anus, Kantung mutiara, Usus, Ventral Gonad, Pinctada maxima.
ABSTRACT
An experiment was conducted to study the pearl sac formation in Pinctada
maxima oyster implanted nuclei in different sites. One hundred and eighty oysters
were assigned into a completely randomized design with a 3 x 4 factorial
arrangement with 20 replications. The first factor was the site of nucleus
implantation consisted of 3 levels i.e., intestine, anus, and ventral gonad. The
second factor was time after implantation with 4 levels i.e., 1, 2, 3, and 4 weeks.
Saibos used were obtained from Pinctada maxima oyster aged 28 months. The
parameters observed were the percentage of successful oyster to form the pearl
sac, the speed and percentage of pearl sac formation, developmental histology of
the pearl sac. Haemolymph glucose, calcium, and phosphorus concentrations
were measured as new biological data in the process of pearl sac formation.
Oysters implanted nuclei in the ventral gonad had the highest percentage that form
pearl sac (80%) 4 weeks after nucleus implantation as compared to those
implanted in the intestines and anus (45 and 55%, respectively). The number of
nucleus rejection and oyster mortality was high in oysters implanted in the
intestine and anus. The speed and percentage of pearl sac formation was the
highest in oyster implanted in the ventral gonad as compared to those implanted in
the anus and intestine. Oysters implanted in the ventral gonad had increased
hemolymph calcium and phosphorus concentrations with the advance of pearl sac
formation. Haemolymph glucose concentration was the highest in the first week
after implantation and decreased and reached the lowest concentrations 4 weeks
after implantation. Oysters implanted nucleus in the ventral gonad had the lowest
haemolymph glucose concentration during 4 weeks of pearl sac development.
Oxygen consumption was not affected by the location of nucleus implantation.
Histological structure of the pearl sac developments were similar in all positions
of nucleus implantation, began with the degradation of inner mantel and
progression of epithelial cells surrounding the epithelial monolayer of pearl
nucleus. Position of saibo and nucleus implantation in the ventral gonad gave the
best result in pearl sac formation as compared to those in the intestine and anus;
43
however the intestine and anus can be used as alternative locations of nucleus
implantation in pearl culture in Pinctada maxima for multiple implantations.
Key words: Nucleus implantation, Anus, Intestine, Ventral gonad, Pearl sac,
Pinctada maxima.
Pendahuluan
seperti pada tiram Pinctada fucata (Velayudhan et al. 1994; Awaji dan Machii
2011) dan Pinctada margaritifera (Cochennec-Laureau et al. 2010), studi
histokimia mantel dan sel sekretoris kantung mutiara pada tiram Pinctada maxima
(Dix 1972). Pengamatan juga telah dilakukan terhadap perubahan histologis tiram
inang selama pembentukan kantung tiram mutiara Pinctada maxima (Scoones
1996; Mamangkey et al. 2009) tetapi terbatas pada implantasi di bagian ventral
gonad. Data dan informasi ini sangat penting dalam memahami dasar histologis
dan pembentukan kantung mutiara tiram inang di lokasi yang berbeda dari tubuh
tiram.
Studi secara genetik sintesis mutiara telah dilakukan dan kualitas mutiara
yang dihasilkan ditentukan oleh genetik tiram donor (McGinty et al. 2010;
McGinty et al. 2011; Masaoka et al. 2013). Meskipun kualitas mutiara yang
dihasilkan ditentukan oleh genotipe tiram donor (Masaoka et al. 2013), mineral
dan bahan organik yang diperlukan untuk sintesis mutiara diproduksi dan dipasok
oleh tiram inang. Data perubahan fisiologis, seperti kadar glukosa, kalsium, dan
fosfor hemolimf selama pembentukan kantung mutiara pada tiram Pinctada
maxima sebagai host yang diimplantasi pada lokasi berbeda di luar gonad tidak
tersedia. Ketersediaan bahan organik dan kalsium dalam hemolimf tiram inang
sangat penting untuk keberhasilan produksi mutiara sejak disintesis dari matriks
organik yang membutuhkan asam amino dan deposisi mineral (Aoki 1966;
Mamangkey et al. 2009; Chatchavalvanich et al. 2010; Cochennec-Laureau et al.
2010).
Penelitian ini dirancang untuk memberikan dasar histologis, data biologis,
dan fisiologis tiram inang yang diimplantasi di lokasi yang berbeda selama
pembentukan kantung mutiara untuk meningkatkan pemahaman tentang
pembentukan kantung mutiara dan kemungkinan beberapa lokasi implantasi di
tiram inang Pinctada maxima. Studi ini merupakan laporan pertama tentang profil
kadar glukosa, kalsium, fosfor hemolimf tiram inang selama pembentukan
kantung mutiara dengan lokasi implantasi inti yang berbeda.
Materi Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan dari bulan Maret sampai dengan April 2012 di
Pulau Garaga Obi (01o25S, 127o20E), Provinsi Maluku Utara tepatnya di
perusahaan mutiara CV. Duta Aru Indah. Tiram donor dan host menggunakan
tiram Pinctada maxima yang didapatkan dari perusahaan mutiara. Penelitian
menggunakan rancangan acak lengkap (RAL) pola faktorial 3x4 dengan 20 kali
ulangan. Faktor pertama adalah posisi implantasi yang terdiri atas 3 level, yakni
usus, anus, dan ventral gonad. Faktor kedua adalah waktu setelah implantasi yang
terdiri atas minggu ke- 1, 2, 3, dan 4. Setiap lokasi implantasi menggunakan 80
ekor tiram Pinctada maxima.
45
Total tiram yang digunakan sebanyak 240 ekor yang terdiri atas tiga puluh
enam (36) tiram yang berhasil diimplantasi digunakan untuk pengukuran
hemolimf (kadar glukosa, kalsium, dan fosfor), kecepatan dan persentase
penutupan inti oleh kantung mutiara (3 x 4 dengan 3 ulangan). Tiga puluh enam
(36) tiram yang berhasil diimplantasi digunakan untuk pengukuran parameter
histologis. Seratus delapan (108) tiram digunakan untuk pengukuran kematian dan
penolakan inti. Untuk pengukuran persentase tiram yang berhasil membentuk
kantung mutiara selama 4 minggu percobaan, total 60 tiram yang digunakan (3
group x 20 ulangan). Prosedur penelitian tersaji pada Lampiran 1.
Paramater Pengamatan
Analisis Data
Data yang telah didapatkan kemudian dianalisis sidik ragam dengan
menggunakan software SAS (Statistic Analysis System) versi 9.1.3 (Mattjik dan
Sumertajaya 2006).
Hasil
40
25
yang mengalami kematian
Jumlah kumulatif tiram
20
15
(%)
10
05
00
1 2 3 4
Minggu setelah implantasi
Data menunjukkan bahwa implantasi inti di bagian usus dan anus memiliki
persentase tiram yang berhasil membentuk kantung mutiara sekitar 50% atau
setengah dari posisi ventral gonad. Persentase tiram yang berhasil membentuk
kantung mutiara pada perlakuan posisi peletakan inti yang berbeda tersaji pada
Gambar 27. Tiram dengan posisi peletakan inti di bagian ventral gonad memiliki
persentase tiram yang berhasil membentuk kantung mutiara adalah sebesar 80%,
sementara pada posisi peletakan inti di bagian usus dan anus, persentase tiram
yang membentuk kantung mutiara secara berturut-turut hanya sebesar 45 dan
55%.
47
100
90
Saat inti diterima dan tidak ada penolakan inti oleh tiram inang, maka pola
infiltrasi hemosit dan respons inflamasi dari jaringan tidak berbeda atau serupa di
setiap lokasi yang berbeda dari implantasi tiram Pinctada maxima. Data yang
diperoleh pada penelitian ini menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan respons
dari jaringan usus, anus, dan ventral gonad. Histologi infiltrasi hemosit selama
perkembangan kantung mutiara tiram Pinctada maxima di bagian usus disajikan
pada Gambar 28. Tiram yang diimplantasi di usus dapat membentuk kantung
mutiara, namun pada minggu pertama setelah implantasi terlihat sel-sel inflamasi
dan hemosit yang tinggi. Dua minggu setelah implantasi, jumlah sel-sel inflamasi
dan hemosit mulai menurun. Tiga minggu setelah implantasi, jumlah sel-sel
inflamasi dan hemosit sangat rendah dan luka mulai pulih. Pada akhir
pengamatan, yakni 4 minggu setelah implantasi, tidak ada hemosit dan sel-sel
inflamasi ditemukan.
49
pyknosis sehingga terlihat 2-3 sel-sel epitel kuboid. Lapisan submukosa mulai
berdilatasi dan tunika muskularis tidak mengalami perubahan (Gambar 32B).
Minggu ketiga setelah implantasi, lapisan epitel mukosa hanya terlihat 1-2 lapis
saja yang sedang mengalami degenerasi ditandai dengan adanya vakuola. Lapisan
submukosa masih mengalami dilatasi (Gambar 32C). Minggu keempat setelah
implantasi, sel-sel epitel kuboid mengalami degenerasi dan akhirnya nekrosis.
Lapisan submukosa mengalami dilatasi sehingga terlihat lebih besar dan sebagian
telah membentuk sel-sel epitel satu lapis. (Gambar 32D).
sel-sel epitel mukosa telah mengalami degradasi sehingga hanya terdiri atas 1-2
lapisan sel-sel epitel kuboid, sedangkan di bagian usus terlihat masih tebal sekitar
3-4 lapisan dan bagian anus sekitar 2-3 lapisan. Pada minggu ketiga setelah
impalntasi, di bagian ventral gonad telah terbentuk sel-sel epitel monolayer
sedangkan di bagian usus dan anus masih belum terbentuk sel-sel epitel
monolayer, masih terlihat 1-2 sel-sel epitel kuboid. Pada minggu keempat setelah
implantasi, di bagian ventral gonad terlihat sel-sel epitel monolayer telah
mengelilingi inti, sedangkan di bagian usus dan anus sudah terlihat sel-sel epitel
monolayer, namun belum sempurna karena masih ditemukan 2 lapisan sel-sel
epitel kuboid.
Hasil kuantitatif histologi (Tabel 5) menunjukkan bahwa terjadi infiltrasi
hemosit yang tinggi pada implantasi di bagian usus dan anus, tetapi lebih rendah
pada bagian ventral gonad. Sel-sel epitel lebih cepat mengalami degradasi pada
implantasi di bagian ventral gonad dibandingkan bagian usus dan anus yang lebih
lambat. Hal yang sama juga terlihat pada jumlah sel-sel epitel yang mengalami
pyknosis dan vakuola.
Konsumsi oksigen, kadar glukosa, kalsium, dan fosfor hemolimf pada tiram
pinctada maxima dengan posisi peletakan inti yang berbeda tersaji pada Tabel 6.
Tingkat metabolisme yang ditunjukkan dengan konsumsi oksigen pada semua
perlakuan tidak terpengaruh oleh lokasi implantasi inti dan waktu setelah
implantasi inti. Implantasi inti di usus dan anus tidak mengubah tingkat
metabolisme tiram bila dibandingkan di ventral gonad sebagai lokasi standar
implantasi inti. Rataan konsumsi oksigen berkisar 0,0034-0,0037 (mg/L /jam).
Suhu lingkungan selama pemeliharaan tiram mengalami fluktuasi sebesar
26.2-30.4oC, salinitas sebesar 32 ppt dan pH berkisar 7.2-7.9, sedangkan suhu
selama pengamatan laju konsumsi oksigen sebesar 27.5-28oC.
Tabel 6 Rataan konsumsi oksigen, kadar glukosa, kadar kalsium, dan kadar
fosfor hemolimf pada tiram Pinctada maxima dengan posisi peletakan
inti yang berbeda.
Posisi Minggu ke-
Peletakan Inti 1 2 3 4
-1 -1 -1
Konsumsi oksigen (mgl O2 g jam )
Bagian Usus 0.00350.0004 0.00370.0002 0.00350.0001 0.00360.0001
Bagian Anus 0.00350.0002 0.00350. 0002 0.00370.0002 0.00360.0001
Ventral Gonad 0.00350.0004 0.00340.0003 0.00360.0001 0.00350.0002
Kadar glukosa hemolimf (mg/dL)
Bagian Usus 1.390.32b 0.910.55b 1.280.24 1.100.47a
a a
Bagian Anus 2.660.25 1.740.14 1.400.29 0.750.07a
Ventral Gonad 2.250.11a 1.700.47a 1.580.28 0.180.04b
Pembahasan
maka tingkat penolakan inti yang tinggi dalam usus dan anus dapat dikaitkan
dengan kegiatan ini.
Penelitian ini menemukan bahwa jumlah tiram yang mengalami penolakan
inti di posisi ventral gonad lebih besar dari jumlah tiram yang mati. Fenomena
yang sama juga ditemukan pada implantasi inti di usus dan anus. Untuk
mengurangi jumlah tiram yang mengalami penolakan inti, maka anestesi
dianjurkan pada saat implantasi inti. Faktor-faktor lain yang dapat mempengaruhi
penolakan inti adalah kesalahan teknis selama proses implantasi dan stres
mekanik.
Penyebab umum kematian selama implantasi inti di kerang mutiara adalah
infeksi luka yang ditimbulkan pada saat operasi implantasi. Namun, penyakit,
biofouling, kerusakan cangkang, dan polusi juga mungkin bertanggung jawab
terhadap kematian tiram. Secara umum, angka kematian tiram rata-rata di bawah
10% (Chellam et al. 1991) dan tingkat kematian yang diamati pada tiram yang
diimplantasi di ventral gonad adalah serupa, tetapi implantasi di usus dan anus
mengalami kematian hampir dua kali dibandingkan dengan di ventral gonad.
Pengamatan di tiram Pinctada margaritifera telah dilaporkan bahwa sebagian
besar tiram yang mati menunjukkan cedera ireversibel saluran pencernaan dan
kerusakan akibat luka tersebut, yang dibuat selama operasi implantasi, dan disertai
dengan reaksi inflamasi yang kuat (Cochennec-Laureau et al. 2010). Oleh karena
pengamatan penelitian ini dilakukan pada tiram yang sukses dalam pembentukan
kantung mutiara, maka tiram yang diimplantasi dengan posisi implantasi inti
yang berbeda menunjukkan perbedaan dalam reaksi inflamasi walaupun bagian
ventral gonad lebih sedikit. Sejak implantasi dilakukan di usus dan anus, proses
implantasi itu sendiri dapat menyebabkan cedera dari saluran pencernaan yang
akhirnya menyebabkan angka kematian lebih tinggi di lokasi usus dan anus.
Kemungkinan reaksi inflamasi yang kuat selama cedera saluran pencernaan yang
dialami oleh tiram inang dapat menjadi alasan untuk tingkat penolakan inti yang
lebih tinggi dan kematian tiram selama 4 minggu pengamatan pembentukan
kantung mutiara.
Terlepas dari rendahnya tingkat keberhasilan implantasi dan pembentukan
kantung mutiara karena tingginya tingkat penolakan inti dan kematian pada tiram
inang di posisi implantasi usus dan anus, saat implantasi berhasil dan kantung
mutiara dibentuk, pengamatan histologis menunjukkan pola yang sama pada
pembentukan kantung mutiara. Keberhasilan tiram dalam membentuk kantung
mutiara selama 4 minggu pengamatan, intensitas hemosit dalam jaringan yang
diimplantasi adalah serupa pada tiram yang diimplantasi di usus, anus, dan ventral
gonad. Namun, kecepatan pertumbuhan kantung mutiara dan persentase
penutupan inti oleh kantung mutiara pada tiram yang diimplantasi di usus dan
anus lebih rendah dibandingkan dengan tiram yang diimplantasi di ventral gonad,
yaitu hanya sekitar 80%. Semakin rendah pertumbuhan dan perkembangan
kantung mutiara pada tiram yang diimplantasi di usus dan anus mungkin terkait
dengan kontribusi dan interaksi antara sel yang dicangkokkan dengan sel-sel pada
tempat implantasi serta ketersediaan substrat sebagai prekursor proliferasi sel- sel
kantung mutiara di posisi implantasi inti. Sel-sel di usus dan anus mungkin tidak
dapat mendukung pasokan nutrisi untuk pertumbuhan dan perkembangan kantung
mutiara tidak sebaik sel-sel gonad. Selain itu, perbedaan kecepatan pembentukan
kantung mutiara diamati dalam penelitian ini tidak terkait dengan lingkungan
59
eksternal tiram inang, seperti salinitas dan suhu yang akan mempengaruhi
perubahan fisiologis dalam tubuh tiram inang. Penelitian ini dilakukan dalam
kondisi lingkungan perairan yang sama. Suhu air dilaporkan mempengaruhi
kecepatan pembentukan kantung mutiara (Machii dan Nakahara 1957) melalui
efek suhu air pada aktivitas mitosis sel epitel kantung mutiara (Awaji dan Machii
2011).
Pengamatan sebelumnya melaporkan bahwa posisi yang berbeda dari
implantasi inti dan saibo di tiram Pinctada fucata mempengaruhi warna dan
bentuk mutiara yang dihasilkan (Chellam et al. 1991). Hal itu diketahui bahwa
kualitas dan warna mutiara yang dihasilkan ditentukan oleh genotipe tiram donor,
karena genotipe donor tidak berbeda, perbedaan warna dan bentuk dari mutiara
yang dihasilkan dapat dikaitkan dengan kondisi lingkungan internal dan lokal di
sekitar implantasi yang berbeda. Posisi yang berbeda selama implantasi inti (usus,
anus, dan ventral gonad) memiliki kapasitas yang berbeda dalam memasok nutrisi
yang diperlukan untuk pertumbuhan dan proliferasi kantung mutiara. Efek dari
posisi implantasi inti pada pembentukan kantung mutiara dapat dikaitkan dengan
pasokan nutrisi dan gerakan mekanis organ dalam tubuh. Tiram mutiara memiliki
pencernaan dan organ reproduksi yang menyatu sehingga pergerakan mekanis
pencernaan dan organ reproduksi mempengaruhi pembentukan kantung mutiara
(Saucedo et al. 2005; Saucedo et al. 2008).
Pertumbuhan dan perkembangan sel-sel kantung mutiara selama
mengelilingi dan menutupi inti ditentukan oleh tingkat proliferasi jaringan yang
diimplantasi untuk membentuk lapisan epitel sekretoris yang mensintesis dan
mendeposit matriks organik, kemudian mengontrol dan menentukan deposit
mineral di sekitar inti (Aoki 1966; Dix 1972; Mamangkey et al. 2009). Proliferasi
sel kantung mutiara ditentukan oleh sinyal yang mengontrol proliferasi sel dan
ketersediaan nutrisi yang dibutuhkan untuk perbanyakan sel. Selama pertumbuhan
dan perkembangan sel-sel kantung mutiara, sel-sel ini mengekspresikan
genotipenya sendiri (Inoue et al. 2011; Liu et al. 2012; Marie et al. 2012) untuk
mensintesis protein baik sebagai enzim, kofaktor, atau faktor pertumbuhan yang
mengontrol proliferasi (mitosis) sel, ketersediaan substrat dan prekursor untuk
proliferasi sel. Oleh karena itu, ketersediaan nutrisi dan prekursor baik sebagai
bahan organik (asam amino, lipid, monosakarida, dan mineral) mempengaruhi
proliferasi dan aktivitas mitosis sel. Peningkatan komposisi media kultur mirip
dengan komposisi hemolimf selama kultur in vitro kantung mutiara terlihat
bahwa terjadi peningkatan aktivitas dari sel epitel kantung mutiara (Awaji dan
Machii 2011). Hal ini juga menunjukkan bahwa peningkatan konsentrasi Ca2+
media kultur dalam kultur sel in vitro menghasilkan peningkatan sekresi nacrein
(Gong et al. 2008). Bagaimanapun, perkembangan sel kantung mutiara dalam
mendapatkan nutrisi yang dibutuhkan untuk proliferasi dan mitosis tidak
diketahui. Tampaknya, tidak ada informasi tentang pengaturan ketersediaan
nutrisi dalam sel kantung mutiara untuk mendukung proliferasi sel-sel tersebut.
Data konsentrasi hemolimf sebagai tempat distribusi nutrisi selama pertumbuhan
dan perkembangan kantung mutiara tidak tersedia.
Sel-sel berinteraksi melalui molekul bioaktif yang tidak diketahui terlibat
dalam pembentukan kantung mutiara. Dalam proses pembentukan kantung
mutiara, sel-sel epitel luar (outer epithel) dari allograft mantel menjadi sel-sel
skuamosa yang terus mengalami proliferasi (Machii 1968; Awaji dan Suzuki
60
pertumbuhan (Hermann et al. 2000; Lelong et al. 2000; Akalal et al. 2003; Zhou
et al. 2010).
Sayatan pada usus, anus, dan ventral gonad membuat tiram mengalami
stress yang ditandai dengan adanya infiltrasi hemosit. Lacoste et al. (2002b)
sebelumnya telah menunjukkan bahwa stress meningkatkan jumlah total hemosit
pada tiram Crassostrea gigas. Stress mempengaruhi beberapa aktivitas hormon,
seperti CRH (corticotropin releasing hormone), ACTH (adrenocorticotrophic
hormone), sitokin, noradrenalin, adrenalin, dopamin, dan kortisol. Stress
mengaktifkan sistem endokrin seperti corticotropin releasing hormone (CRH)
yang merangsang pelepasan hormon adrenocorticotrophic (ACTH). Adanya
ACTH menstimulasi pelepasan asam-asam amino biogenik, yang akhirnya
menimbulkan efek sekunder pada tiram (Hooper et al. 2007).
Kadar glukosa hemolimf selama 4 minggu pengamatan setelah implantasi
memiliki pola yang sama dengan penyembuhan luka dan inflamasi. Inflamasi
pada minggu pertama terjadi peningkatan, tetapi menurun pada minggu keempat
implantasi. Hal yang sama juga ditemukan pada kadar glukosa hemolimf.
Peningkatan kadar glukosa hemolimf berasosiasi dengan tingginya stress selama
implantasi sebagai respons terhadap inflamasi pada tiram inang (Lacoste et al.
2002b). Selama stress, terjadi peningkatan kortisol (Hooper et al. 2007) yang
dikaitkan dengan peningkatan konsentrasi glukosa. Peningkatan stres selama awal
implantasi terjadi infiltrasi hemosit dan kadar glukosa hemolimf. Saat luka
implantasi telah sembuh, hemosit rendah dan kadar glukosa hemolimf mencapai
tingkat terendah. Kadar glukosa hemolimf menurun sesuai dengan kemajuan
pertumbuhan kantung mutiara setelah implantasi dapat menunjukkan
kemungkinan peningkatan penyerapan glukosa tanpa peningkatan mobilisasi
glukosa atau penyerapan ke hemolimf. Glukosa diperlukan untuk sumber energi
metabolisme basal dan mendukung kegiatan sintetik conchiolin. Conchiolin
organik di alam terdiri atas mukopolisakarida (Chellam et al. 1991). Namun, tidak
ada data yang tersedia untuk membandingkan konsentrasi glukosa hemolimf pada
tiram selama pertumbuhan dan perkembangan kantung mutiara. Beberapa
penelitian telah menganalisis hemolimf seperti logam berat dan asam amino
bebas pada moluska, termasuk Pinctada fucata (Kawai 1981), namun data ini
tidak terkait dengan fase pertumbuhan kantung mutiara.
Pola kadar kalsium dan fosfor hemolimf selama pertumbuhan kantung
mutiara setelah implantasi inti berbeda dari glukosa. Meskipun sintesis mutiara
tidak dimulai selama 4 minggu setelah implantasi, peningkatan kalsium dan fosfor
dalam hemolimf menunjukkan persiapan kalsium, fosfor, dan mungkin untuk
produksi mutiara. Dilaporkan bahwa setelah pembentukan kantung mutiara, sel-
sel epitel kantung mutiara mulai mensekresikan matriks protein cangkang
bersama-sama dengan transpor aktif kalsium dan ion bikarbonat (Wilbur dan
Saleuddin 1983) yang dapat mempengaruhi konsentrasi kalsium dalam hemolimf.
Sel-sel dari kantung mutiara memperoleh makanan dari jaringan sekitarnya
(hemolimf) (Chellam et al. 1991).
Studi ini menunjukkan bahwa implantasi inti mempengaruhi kadar kalsium
dan fosfor hemolimf. Penting untuk dicatat bahwa tiram yang diimplantasi pada
ventral gonad memiliki pola konsentrasi kalsium dan fosfor yang meningkat
secara linear. Hal ini menunjukkan bahwa tiram Pinctada maxima mulai
mempersiapkan mineral yang diperlukan untuk sintesis mutiara, meskipun
62
Simpulan
Pembentukan kantung mutiara dapat dilakukan pada bagian usus, anus, dan
ventral gonad. Pembentukan kantung mutiara pada posisi implantasi inti di
bagian ventral gonad lebih baik bila dibandingkan dengan implantasi di bagian
usus dan anus.
ABSTRACT
Pendahuluan
Mutiara dihasilkan secara alami dan budi daya. Mutiara hasil budi daya
diproduksi dengan cara mengimplantasi potongan mantel yang dinamakan saibo
dan inti ke bagian organ dalam tubuh tiram (Kawakami 1954; Machii 1968; Awaji
dan Suzuki 1995; Masaoka et al. 2013). Mantel yang dijadikan saibo diambil dari
zona pallial mantel karena zona ini berisi banyak jaringan saraf dan arteri pallial
(Acosta-Salmn dan Southgate 2005). Penelitian Rao et al. (2010) menjelaskan
bahwa sayatan histologi mantel tiram Pinctada fucata yang telah berumur 1 dan 7
tahun memperlihatkan adanya conchiolin secretion yang terlibat dalam proses
pelapisan mutiara. Secara in vitro tiram Pinctada fucata yang telah berumur 7
tahun memiliki kemampuan regenerasi mantel yang lebih baik sehingga dapat
dijadikan tiram donor. Hal ini menjelaskan bahwa secara in vivo, tiram yang telah
berumur 7 tahun lebih baik dijadikan sebagai tiram donor dibandingkan dengan
tiram yang berumur 1 tahun. Namun penelitian ini masih harus dibuktikan karena
belum diimplantasi ke tiram inang.
Setelah implantasi saibo dan inti, saibo membentuk kantung mutiara.
Pembentukan kantung mutiara dimulai dengan degradasi bagian inner mantel dan
hanya tersisa bagian outer mantel (Cochennec-Laureau et al. 2010). Bagian outer
mantel terdiri atas jaringan epitel yang mampu beregenerasi dengan cepat (Norton
et al. 2000). Regenerasi jaringan epitel membentuk kantung mutiara menjadi
sangat penting karena menentukan kualitas mutiara, seperti warna, bentuk,
kilauan, dan permukaan mutiara. Untuk mendapatkan kantung mutiara yang baik
maka harus melakukan seleksi tiram donor agar mendapatkan saibo yang
berkualitas (Taylor 2002). Tayale et al. (2012) menjelaskan bahwa penggunaan
tiram donor (saibo) yang berasal dari alam (liar atau bukan hasil budi daya) lebih
baik karena meningkatkan kualitas mutiara yang dihasilkan seperti kilauan,
ketebalan nacre, bobot, dan warna mutiara. Kekurangan penelitian ini hanya
belum dapat menentukan umur tiram donor tersebut.
Kajian tentang umur tiram yang akan dijadikan saibo sampai saat ini masih
belum banyak yang dilaporkan. Biasanya perusahaan mutiara tidak
memperhatikan umur tiram mutiara yang akan dijadikan saibo, namun hanya
memperhatikan asal tiram yang digunakan sebagai saibo. Hal ini dilakukan karena
tiram donor (saibo) menentukan warna mutiara. Untuk mendapatkan mutiara
dengan kualitas tinggi diperlukan pemilihan saibo yang baik, salah satunya dari
faktor umur sehingga dapat mempersiapkan umur tiram yang digunakan sebagai
saibo secara berkelanjutan. Oleh karena umur saibo sangat penting dalam
menentukan kualitas mutiara maka diperlukan kajian tentang umur tiram yang
tepat untuk dijadikan sebagai saibo. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji
penggunaan saibo yang berasal dari tiram dengan umur yang berbeda pada proses
pembentukan kantung mutiara tiram Pinctada maxima.
Hewan Penelitian
perusahaan mutiara CV. Duta Aru Indah. Tiram donor dan host menggunakan
tiram Pinctada maxima yang didapatkan dari perusahaan mutiara, tetapi tiram
donor memiliki perbedaan umur, yakni 14, 21, dan 28 bulan. Penelitian
menggunakan rancangan acak lengkap (RAL) pola faktorial 3x4 dengan 20 kali
ulangan. Faktor pertama adalah umur saibo yang terdiri atas 3 level 14, 21, dan
28 bulan. Faktor kedua dalah waktu setelah implantasi yang terdiri atas minggu
ke- 1, 2, 3, dan 4. Setiap implantasi umur saibo menggunakan 80 ekor tiram
Pinctada maxima.
Total tiram yang digunakan sebanyak 240 ekor yang terdiri atas tiga puluh
enam (36) tiram yang berhasil diimplantasi digunakan untuk pengukuran
hemolimf (kadar glukosa, kalsium, dan fosfor), kecepatan dan persentase
penutupan inti oleh kantung mutiara (3 x 4 dengan 3 ulangan). Tiga puluh enam
(36) tiram yang berhasil diimplantasi digunakan untuk pengukuran parameter
histologis. Seratus delapan (108) tiram digunakan untuk pengukuran kematian dan
penolakan inti. Untuk pengukuran persentase tiram yang berhasil membentuk
kantung mutiara selama 4 minggu percobaan, total 60 tiram yang digunakan (3
group x 20 ulangan). Prosedur penelitian tersaji pada Lampiran 1.
Paramater Pengamatan
Analisis Data
Hasil
Jumlah tiram yang mengalami kematian dan penolakan inti pada umur saibo
14, 21, dan 28 bulan tidak berbeda, tetapi jumlah tiram yang mengalami
penolakan inti lebih besar dibandingkan dengan tiram yang mengalami kematian.
Perlakuan umur saibo 14, 21, dan 28 bulan menyebabkan tiram mengalami
kematian secara berturut-turut sebesar 10, 8.3, dan 5% sedangkan yang
mengalami penolakan inti secara berturut-turut sebesar 15, 11.7, dan 15%.
12
mengalami kematian
10
Jumlah kumulatif
08
tiram yang
06
(%)
04
02
00
1 2 3 4
Minggu setelah implantasi
16
penolakan inti (%)
Jumlah kumulatif
14
12
10
08
06
04
02
00
1 2 3 4
Persentase tiram yang membentuk kantung mutiara dengan umur saibo yang
berbeda selama 4 minggu pengamatan disajikan pada Gambar 36. Perlakuan umur
saibo 14 bulan memiliki persentase tiram yang membentuk kantung mutiara
sebesar 75%, sedangkan umur saibo 21 bulan dan 28 bulan sebesar 80%, hanya
berbeda 5% lebih tinggi dari umur saibo 14 bulan.
67
100
Saat inti diterima dan tidak ada penolakan inti oleh tiram inang, maka pola
infiltrasi hemosit dan respons inflamasi dari jaringan tidak berbeda atau serupa
pada setiap tiram Pinctada maxima yang diimplantasi dengan saibo yang berasal
dari umur tiram yang berbeda. Histologi dari infiltrasi hemosit selama
perkembangan kantung mutiara tiram Pinctada maxima yang diimplantasi dengan
saibo yang berasal dari tiram yang telah berumur 14 bulan disajikan pada Gambar
37. Tiram Pinctada maxima yang diimplantasi dengan saibo yang berasal dari
tiram yang telah berumur 14 bulan terjadi pembentukan kantung mutiara, namun
pada minggu pertama setelah implantasi terlihat sel-sel inflamasi dan hemosit
yang tinggi. Dua minggu setelah implantasi, jumlah sel-sel inflamasi dan hemosit
mulai menurun. Tiga minggu setelah implantasi, jumlah sel-sel inflamasi dan
hemosit sangat rendah dan luka mulai pulih. Pada akhir pengamatan, yakni 4
minggu setelah implantasi, tidak ada hemosit dan sel-sel inflamasi.
69
sel epitel kuboid, namun sebagian masih terlihat 2 lapis saja. Lapisan submukosa
masih mengalami dilatasi (Gambar 40C). Minggu keempat setelah implantasi, sel-
sel epitel kuboid mengalami degenerasi dan hanya terlihat selapis sel-sel epitel
kuboid saja (monolayer of epithelial cells) dan bagian lain tidak mengalami
perubahan (Gambar 40D).
Tabel 9 Rataan konsumsi oksigen, kadar glukosa, kadar kalsium, dan kadar
fosfor hemolimf pada tiram Pinctada maxima dengan perlakuan umur
saibo yang berbeda selama 4 minggu pengamatan.
Pembahasan
Kadar kalsium dan fosfor pada penelitian ini tidak berbeda nyata
antarperlakuan. Menurut Wilbur dan Saleuddin (1983) cairan tubuh dan
komposisi ion dalam hemolimf (Na+, K+, Ca2+,Mg2+,Cl- dan HCO3-) diatur secara
hati-hati oleh hormon agar selalu dalam keadaan homeostatis selain itu regulasi
ion, eksresi, dan reabsorbsi diatur oleh ginjal.
Pada tiram Pinctada fucata, deposisi CaCO3 tidak dapat dikontrol oleh
matriks protein selama awal implantasi. Namun, ekspresi yang signifikan dari
matriks protein pada kantung mutiara dideteksi pada hari ke 30-35 setelah
implantasi. Pada hari 30, telah ada lapisan tipis CaCO3 yakni amorf CaCO3. Pada
hari 35, lapisan nacreous telah terbentuk, matriks protein menunjukkan adanya
bioaktivitas pengembangan mutiara. Matriks protein mengontrol fase kristal,
bentuk, ukuran, nukleasi, dan agregasi kristal CaCO3 (Liu et al. 2011).
Protein lain seperti sarko/reticulum endoplasma Ca2+-ATPase (SERCA)
juga berperan dalam mempertahankan homeostatis ion kalsium dan ditemukan
paling tinggi di insang dan mantel (Fan et al. 2007). Matriks protein dari nacre
memainkan peranan penting dalam fase mineralisasi dan diferensiasi sel-sel yang
terlibat dalam proses biomineralisasi karena secara invitro matriks protein dapat
mempercepat nukleasi kristal kalsium karbonat dan meningkatkan aktivitas enzim
alkaline fosfatase sehingga mendorong pembentukan kristal aragonit (Zhang dan
Zhang 2006).
Simpulan
ABSTRAK
Penelitian tahap ini bertujuan untuk mengkaji pembentukan kantung mutiara
pada tiram Pinctada maxima jantan dan betina. Penelitian menggunakan
rancangan acak lengkap (RAL) pola faktorial 2x4 dengan 20 kali ulangan. Faktor
pertama adalah jenis kelamin 2 level yang terdiri atas jantan dan betina. Faktor
kedua adalah waktu setelah implantasi yang terdiri atas minggu ke- 1, 2, 3, dan 4.
Paramater yang diamati meliputi persentase tiram yang berhasil membentuk
kantung mutiara, penolakan inti, kematian, kecepatan pertumbuhan kantung
mutiara dan persentase penutupan inti, histologi kantung mutiara, konsumsi
oksigen, kadar glukosa, kalsium, dan fosfor hemolimf. Hasil menunjukkan bahwa
implantasi pada tiram betina memiliki persentase tiram yang berhasil membentuk
80
kantung mutiara sebesar 80%, sedangkan pada tiram jantan sebesar 75%.
Penolakan inti dan kematian tiram pada jenis kelamin jantan dan betina tidak
berbeda. Kecepatan pertumbuhan kantung mutiara dan persentase pembentukan
kantung mutiara pada tiram betina lebih baik dibandingkan tiram jantan. Kadar
kalsium dan fosfor hemolimf tidak berbeda namun lebih tinggi pada tiram betina,
sedangkan kadar glukosa hemolimf dan konsumsi oksigen tidak berbeda nyata,
namun lebih rendah pada tiram betina. Perkembangan struktur morfologi dan
struktur histologis kantung mutiara pada semua perlakuan tidak berbeda.
ABSTRACT
This study was designed to study the effect of male and female host oysters
on the pearl sac formation in Pinctada maxima oyster. The experiment was
designed in a completely randomized design with 2 x 4 factorial arrangement and
20 replications. The first factor was sex of host oyster consisted of 2 levels i.e.,
males and females. The second factor was week after implantation with 4 levels
i.e., 1, 2, 3, and 4 weeks. The parameters observed were the percentage of
successful oyster to form the pearl sac, the speed and percentage of pearl sac
formation, histology of the pearl sac growth and development, haemolymph
glucose, calcium, and phosphorus concentrations. The results showed that the
percentage of host oysters that succeeded in forming a pearl sac was 80 and 75%
in female and male host oysters, respectively. Speed of pearl sac growth and the
percentage of nucleus coverage by the pearl sac in female host oysters were better
than that in males host oysters. There was no difference in nucleus rejection and
mortality in male and female host oysters. Haemolymph calcium, phosphorus,
and glucose concentrations, oxygen consumption, and developmental morphology
and histology of the pearl sac were not different between male and female host
oysters. It was concluded that pearl sac formation in the female host oyster was
better than that in male host oyster.
Key word: Female oyster, Implantation, Male oyster, Pearl sac formation,
Pinctada maxima
81
Pendahuluan
Materi Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan dari bulan Mei sampai dengan Juni 2012 di
Pulau Garaga Obi (01o25S, 127o20E) Provinsi Maluku Utara tepatnya di
perusahaan mutiara CV. Duta Aru Indah. Tiram donor dan host menggunakan
tiram Pinctada maxima yang berjenis kelamin jantan dan betina, didapatkan dari
perusahaan mutiara. Implantasi saibo bersifat allograf, yaitu jika implantasi pada
tiram betina maka saibo juga diambil dari tiram betina, begitupun sebaliknya pada
tiram jantan. Penelitian menggunakan rancangan acak lengkap (RAL) pola
faktorial 2x4 dengan 20 kali ulangan. Faktor pertama adalah jenis kelamin yang
terdiri atas 2 level, yakni jantan dan betina. Faktor kedua adalah waktu setelah
implantasi yang terdiri atas 4 minggu yakni minggu ke- 1, 2, 3, dan 4. Setiap jenis
kelamin menggunakan 80 ekor tiram Pinctada maxima.
Total tiram yang digunakan sebanyak 160 ekor yang terdiri atas dua puluh
empat (24) tiram yang berhasil diimplantasi digunakan untuk pengukuran
hemolimf (kadar glukosa, kalsium, dan fosfor), kecepatan dan persentase
penutupan inti oleh kantung mutiara (2 x 4 dengan 3 ulangan). Dua puluh empat
(24) tiram yang berhasil diimplantasi digunakan untuk pengukuran parameter
histologis. Tujuh puluh dua (72) tiram digunakan untuk pengukuran kematian dan
penolakan inti. Untuk pengukuran persentase tiram yang berhasil membentuk
kantung mutiara selama 4 minggu percobaan, total 40 tiram yang digunakan (2
group x 20 ulangan). Prosedur penelitian tersaji pada Lampiran 1.
Paramater Pengamatan
Analisis Data
Data yang telah didapatkan kemudian dianalisis sidik ragam dengan
menggunakan software SAS (Statistic Analysis System) versi 9.1.3 (Mattjik dan
Sumertajaya 2006).
Hasil
Persentase tiram yang mengalami penolakan inti lebih besar dari tiram yang
mengalami kematian. Besarnya persentase tiram yang membentuk kantung
mutiara pada jenis kelamin betina disebabkan karena hanya sedikit tiram yang
mengalami kematian dan penolakan inti. Tiram yang mengalami kematian
disajikan pada Gambar 43, dan tiram yang mengalami penolakan inti disajikan
pada Gambar 44. Persentase tiram yang mengalami kematian pada tiram jantan
dan betina sama besar, yakni 8.3% sedangkan persentase tiram yang mengalami
penolakan inti pada tiram jantan dan betina secara berturut-turut adalah sebesar
16.7 dan 11.7%.
Persentase tiram yang berhasil membentuk kantung mutiara pada tiram
jantan dan betina tersaji pada Gambar 45. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
persentase tiram yang berhasil membentuk kantung mutiara pada tiram betina
sebesar 80%, sedangkan pada tiram jantan sebesar 75%, hanya berbeda 5%.
9
yang mengalami kematian
8
Jumlah kumulatif tiram
7
6
5
(%)
4
3
2
1
0
1 2 3 4
Minggu setelah implantasi
20
10
0
1 2 3 4
Minggu setelah implantasi
100
90
Persentase tiram yang
80
70
60
50
40
30
20
10
0
. Jenis Kelamin
Tabel 10 Rataan kecepatan saibo mengelilingi inti mutiara dan rataan persentase
penutupan inti mutiara pada tiram Pinctada maxima jantan dan betina
selama 4 minggu pengamatan.
Minggu ke
Jenis Kelamin
1 2 3 4
Kecepatan Saibo Mengelilingi Inti Mutiara (mm/hari)
Jantan 1.460.08b 1.930.09 2.180.08b 2.510.08b
a a
Betina 1.650.08 2.080.08 2.510.08 2.800.08a
Hasil infiltrasi hemosit pada tiram jantan dan betina tidak ada perbedaan.
Histologi dari infiltrasi hemosit selama perkembangan kantung mutiara tiram
Pinctada maxima jantan disajikan pada Gambar 46. Pada tiram jantan, akibat
implantasi terjadi infiltrasi hemosit yang tinggi, namun dua minggu setelah
implantasi, jumlah sel-sel inflamasi dan hemosit mulai menurun. Tiga minggu
setelah implantasi, luka mulai sembuh dan tidak terlihat sel-sel inflamasi dan
hemosit. Pada akhir pengamatan, yakni 4 minggu setelah implantasi, tidak ada
hemosit dan sel-sel inflamasi. Hal ini menunjukkan bahwa luka saat implantasi
telah sembuh.
86
Hal serupa juga dialami oleh tiram betina (Gambar 47), implantasi
menyebabkan infiltrasi hemosit yang tinggi, namun dua minggu setelah
implantasi, jumlah sel-sel inflamasi dan hemosit mulai menurun. Tiga minggu
setelah implantasi, jumlah sel-sel inflamasi dan hemosit sudah tidak terlihat dan
luka mulai sembuh. Pada akhir pengamatan, yakni 4 minggu setelah implantasi,
tidak ada hemosit dan sel-sel inflamasi ditemukan.
87
mutiara telah terbentuk berupa sel epitel kuboid monolayer yang mengelilingi inti
dan membentuk kantung mutiara serta masih mengalami degenerasi (49D).
Tabel 12 Rataan konsumsi oksigen, kadar glukosa, kadar kalsium dan fosfor
hemolimf pada tiram Pinctada maxima jantan dan betina selama 4
minggu pengamatan.
Jenis Minggu ke-
Kelamin 1 2 3 4
Konsumsi oksigen (mgl O2-1 g-1 jam-1)
Jantan 0.00360.0003 0.00360. 0001 0.00360.0001 0.00370.0001
Betina 0.00350.0004 0.00340.0003 0.00360.0001 0.00350.0002
Kadar glukosa hemolimf (mg/dL)
Jantan 2.720.24 2.460.33 1.410.16 0.750.19a
Betina 1.920.80 1.640.46 1.250.41 0.190.003b
Kadar kalsium hemolimf (ppm)
Jantan 278.933.45 276.361.40 281.450.64b 283.740.89
Betina 283.601.38 274.990.70 289.410.68a 288.400.53
Kadar fosfor hemolimf (ppm)
Jantan 6.661.00 7.370.80 8.371.06b 7.911.23
a
Betina 7.070.41 7.330.73 10.890.57 8.041.93
Keterangan : Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang berbeda pada kolom yang sama
menunjukkan perbedaan nyata (t<0.05).
Pembahasan
dan suhu yang akan mempengaruhi perubahan fisiologis dalam tubuh tiram.
Penelitian ini dilakukan dalam kondisi lingkungan perairan yang sama. Suhu air
dilaporkan mempengaruhi kecepatan pembentukan kantung mutiara (Aoki 1956;
Machii dan Nakahara 1957; Aoki 1966) melalui efek suhu air pada aktivitas
mitosis sel epitel kantung mutiara (Awaji dan Machii 2011).
Pengamatan dalam penelitian ini menunjukkan bahwa tiram jantan memiliki
tingkat metabolisme yang lebih tinggi seperti yang ditunjukkan oleh konsumsi
oksigen yang lebih tinggi meskipun secara statistik tidak berbeda. Konsentrasi
glukosa hemolimf, dapat dikaitkan dengan kondisi stres. Tiram inang jantan
memiliki kondisi stres yang lebih tinggi dibandingkan dengan tiram betina. Tiram
jantan berhubungan dengan hormon seperti testosteron yang berkaitan dengan
peningkatan metabolisme dan aktivitas fisik. Namun, laporan sebelumnya
menunjukkan bahwa tiram betina memiliki tingkat metabolisme yang lebih tinggi
dalam kaitannya dengan pertumbuhan dan perkembangan gamet (Chvez-Villalba
et al. 2011; Chvez-Villalba et al. 2013). Data ini menunjukkan bahwa gonad
betina memfasilitasi ketersediaan nutrisi untuk pengembangan kantung mutiara
dan untuk mendukung proses mineralisasi selama sintesis dan pembentukan
mutiara. Konsentrasi glukosa hemolimf tiram jantan dan betina meningkat selama
minggu pertama, namun menurun setelah implantasi di minggu keempat.Tiram
jantan memiliki konsentrasi glukosa hemolimf lebih tinggi. Data ini menunjukkan
bahwa tiram jantan memiliki respons stres yang lebih tinggi untuk implantasi
dibandingkan dengan betina. Respons stres ini dapat memberikan kontribusi
terhadap keberhasilan implantasi yang lebih rendah dan penolakan inti yang lebih
tinggi pada tiram jantan. Stres merangsang glukoneogenesis dan mobilisasi
glukosa dari glikogen yang mengakibatkan konsentrasi glukosa hemolimf
meningkat (Veldhuijzen dan Cuperus 1975; Veldhuijzen dan Van BeeK 1975).
Hamano et al. (2005) menunjukkan bahwa insulin seperti substrat (ILS)
memainkan peran penting dalam mempertahankan kadar glukosa pada tiram.
Konsentrasi glukosa hemolimf selama 4 minggu setelah implantasi inti
menunjukkan pola yang sama dengan penyembuhan luka dan respons inflamasi.
Tingkat peradangan adalah yang tertinggi selama dua minggu pertama setelah
implantasi dan mencapai level terendah pada minngu keempat setelah implantasi.
Konsentrasi glukosa hemolimf yang meningkat mungkin memiliki hubungan
dengan stres yang tinggi selama awal implantasi karena respons inflamasi dari
tiram inang (Lacoste et al. 2002). Selama stres, kortisol dilaporkan terjadi
peningkatan (Hooper et al. 2007), dikaitkan dengan konsentrasi glukosa yang
meningkat. Peningkatan stres selama awal implantasi seiring dengan peningkatan
infiltrasi hemosit dan kadar glukosa hemolimf. Saat cedera akibat implantasi
disembuhkan maka hemosit menjadi lebih rendah dan kadar glukosa hemolimf
mencapai tingkat terendah. Konsentrasi glukosa hemolimf menurun dengan
kemajuan pertumbuhan kantung mutiara, kemungkinan terjadi penyerapan
glukosa yang meningkat tanpa terjadi peningkatan dalam mobilisasi glukosa atau
penyerapan ke hemolimf. Glukosa diperlukan untuk sumber energi untuk
metabolisme basal dan untuk mendukung kegiatan sintetik serta sintesis bahan
untuk mineralisasi, seperti conchiolin. Conchiolin organik terdiri atas
mucopolisakarida (Chellam et al. 1991). Namun, tidak ada data yang tersedia
untuk membandingkan konsentrasi glukosa hemolimf pada tiram selama
pertumbuhan dan perkembangan kantung mutiara.
94
Beberapa data telah dikumpulakan seperti analisis garam, logam berat, dan
asam amino bebas dalam hemolimf berbagai moluska, termasuk Pinctada fucata
(Kawai 1981), namun data ini tidak terkait dengan fase pertumbuhan kantung
mutiara. Semakin tinggi kadar kalsium dan fosfor hemolimf pada tiram inang
betina dibandingkan dengan tiram inang jantan menunjukkan ketersediaan mineral
untuk mendukung pertumbuhan dan pengembangan kantung mutiara serta sintesis
matriks organik selama pembentukan kantung mutiara. Telah dilaporkan bahwa
setelah pembentukan kantung mutiara, sel-sel epitel kantung mutiara mulai
mensekresikan matriks cangkang bersama-sama dengan transpor aktif ion
kalsium dan bikarbonat (Wilbur dan Saleuddin 1983). Ada kemungkinan bahwa
estrogen dapat merangsang mobilisasi mineral dari tempat penyimpanannya
dalam jaringan untuk persiapan kalsium dan fosfor sebagai persyaratan untuk
pembentukan kantung mutiara dan sintesis mutiara. Meskipun sintesis mutiara
tidak dimulai pada 4 minggu pengamatan setelah implantasi, tetapi konsentrasi
kalsium dan fosfor hemolimf mengalami peningkatan. Hal ini menunjukkan
bahwa telah terjadi persiapan kalsium dan fosfor yang mungkin untuk produksi
mutiara.
Simpulan
Pembentukan kantung mutiara pada tiram berjenis kelamin betina lebih baik
bila dibandingkan dengan jenis kelamin jantan.
ABSTRACT
This study was designed to determine the effect of different depths of
rearing on the formation of pearl sac in Pinctada maxima oyster. Three hundred
and twenty oysters were assigned into a completely randomized design with a 4 x
4 factorial arrangement with 20 replications. Saibo used was aged 28 months
Pinctada maxima oyster, nucleus position in the ventral gonad and using female
oysters. The first factor was the depth of rearing consisted of 4 levels i.e., 3, 6, 9,
and 12 meters. The second factor was time after implantation with 4 levels i.e., 1,
2, 3, and 4 weeks. The parameters observed included oxygen consumption,
haemolymph glucose concentrations, haemolymph calcium and phosphorus
concentrations, the percentage of successful oyster to form the pearl sac, the speed
and percentage of pearl sac formation, and histology of the pearl sac. The results
showed that the depth of rearing 3 and 6 meters had percentage of oyster
succeeded in forming pearl sac was 80% while the depth of 9 meters was 60%
and 12 meters was 45%. Oxygen consumptions of oysters reared 3, 6, and 9
meters were higher than that of oysters reared at the depth of 12 meters. The
speeds and the percentages of the pearl sac formation in oysters reared at the
depth of 3 and 6 meters were higher than those of reared at the depth of 9 and 12
meters. Pearl sac histology, hemolymph glucose concentrations were not
significantly different among all treatments. Oysters reared at the depth of 3
meters had haemolymph calcium concentrations slightly higher than those reared
96
Pendahuluan
Bahan Penelitian
Metode Penelitian
Total tiram yang digunakan sebanyak 320 ekor yang terdiri atas empat
puluh delapan (48) tiram yang berhasil diimplantasi digunakan untuk pengukuran
hemolimf (kadar glukosa, kalsium, dan fosfor), kecepatan dan persentase
penutupan inti oleh kantung mutiara (4 x 4 dengan 3 ulangan). Empat puluh
delapan (48) tiram yang berhasil diimplantasi digunakan untuk pengukuran
parameter histologis. Seratus empat puluh empat (144) tiram digunakan untuk
pengukuran kematian dan penolakan inti. Untuk pengukuran persentase tiram
yang berhasil membentuk kantung mutiara selama 4 minggu percobaan, total 80
tiram yang digunakan (4 group x 20 ulangan). Prosedur penelitian tersaji pada
Lampiran 1.
Paramater Pengamatan
Analisis Data
Hasil
25
yang mengalami kematian
Jumlah kumulatif tiram
20
15
(%)
10
05
00
1 2 3 4
Minggu setelah implantasi
40
20
10
00
1 2 3 4
Minggu setelah implantasi
100
membentuk kantung mutiara
90
Persentase tiram yang
80
70
60
(%)
50
40
30
20
10
0
Kedalaman
pulih. Pada akhir pengamatan, yakni 4 minggu setelah implantasi, luka telah
sembuh karena tidak ada hemosit dan sel-sel inflamasi.
inti, sedangkan di kedalaman 6, 9, dan 12 meter masih tersisa 1-2 lapisan sel-sel
epitel kuboid. Pada minggu keempat setelah implantasi, di kedalaman 3 dan 6
meter telah terbentuk kantung mutiara berupa sel epitel kuboid monolayer yang
mengelilingi inti dan membentuk kantung mutiara, sedangkan di kedalaman 9 dan
12 meter telah terbentuk sel-sel epitel monolayer tetapi belum sempurna.
Hasil kuantitatif histologi (Tabel 14) menunjukkan bahwa pada awal
implantasi terjadi infiltrasi hemosit yang tinggi pada semua tingkat kedalaman
terutama kedalaman 6, 9 dan 12 meter, tetapi mulai menurun pada minggu kedua
dan akhirnya tidak terlihat di minggu ketiga dan keempat. Sel-sel epitel lebih
cepat terdegradasi pada kedalaman 3 dan 6 meter dibandingkan dengan 9 dan 12
meter. Jumlah sel-sel epitel yang mengalami pyknosis lebih sedikit pada
kedalaman 3 meter dibandingkan kedalaman 6, 9 dan 12 meter.
Tabel 16 Rataan konsumsi oksigen, rataan kadar glukosa, kadar kalsium, dan
kadar fosfor hemolimf pada tiram Pinctada maxima yang dipelihara
pada kedalaman berbeda selama 4 minggu pengamatan.
Minggu ke-
Kedalaman
1 2 3 4
Konsumsi oksigen (mgl O2-1 g-1 jam-1)
3 Meter 0.00360.0004a 0.00350.0001a 0.00350.0006a 0.00360.0009a
6 Meter 0.00330.0007ab 0.00350.0003a 0.00370.0002a 0.00370.0001a
9 Meter 0.00230.0003b 0.00320.0004ab 0.00330.0003ab 0.00340.0001a
12 Meter 0.00170.0003b 0.00230.0004b 0.00250.0002b 0.00230.0001b
Kadar glukosa (mg/dL)
c
3 Meter 1.920.80 1.640.46b 1.250.41a 0.090.003c
6 Meter 1.770.50b 1.580.29b 1.430.29 1.460.33a
b b
9 Meter 1.840.31 1.490.52 1.370.51 1.400.37a
12 Meter 2.640.16a 1.670.92b 1.380.35 0.220.05b
Kadar kalsium (ppm)
3 Meter 274.990.70a 283.601.38a 288.390.53a 289.410.68a
6 Meter 282.670.12a 281.740.83a 251.100.41b 279.730.44b
9 Meter 281.181.27a 265.200.38c 278.4111.54a 271.491.23c
12 Meter 272.391.23c 267.930.18c 284.350.66a 287.642.31a
Kadar fosfor (ppm)
a
3 Meter 7.070.41 7.330.73 8.041.93a 8.511.60a
6 Meter 9.851.52a 6.021.23 5.351.30b 6.891,81ab
9 Meter 8.741.32ab 6.171.36 7.631.06b 6.061,41ab
12 Meter 7.380.76b 7.811.23 6.651.00b 5.621,35b
Keterangan : Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang berbeda pada kolom yang sama
menunjukkan perbedaan nyata (t<0.05).
Pembahasan
Keseimbangan energi pada tiram dapat dipengaruhi oleh beberapa hal antara
lain kemampuan pencernaan, absorpsi, ekskresi, dan respirasi. Suhu sangat
berpengaruh pada kemampuan respirasi tiram. Semakin meningkat suhu maka
semakin tinggi laju metabolisme, tetapi setelah mencapai suhu maksimal maka
terjadi penurunan laju metabolisme. Secara umum, suhu air laut semakin menurun
seiring dengan bertambahnya kedalaman sehingga pada kedalaman 3 dan 6 meter,
tiram mengkonsumsi oksigen yang lebih besar dari kedalaman 9 dan 12 meter.
Taylor (1976) menunjukkan bahwa konsumsi oksigen dapat ditandai dengan
membukanya cangkang untuk tujuan bernapas, peningkatan aktivitas jantung dan
respirasi pada bivalvia Arctica islandica mengikuti periode penutupan cangkang.
Hal ini digunakan sebagai interpretasi representasi pembayaran kembali utang
oksigen selama masa anaerob.
Penelitian ini menemukan bahwa pada perlakuan kedalaman 3 dan 6 meter
kecepatan dan persentase penutupan inti mutiara lebih besar dibandingkan dengan
pada perlakuan kedalaman 9 dan 12 meter. Hal ini menjelaskan bahwa semakin
tinggi kedalaman pemeliharaan tiram maka semakin rendah suhu sehingga
112
sama dengan sistem kekebalan tubuh (Mount et al. 2004). Hemosit memainkan
peran utama dalam pertahanan kekebalan moluska dan berpartisipasi aktif untuk
proses perbaikan cangkang. Hemosit mungkin terlibat langsung dalam
mineralisasi cangkang dengan menyimpan CaCO3 sebagai deposito intraseluler
(Cheng dan Chen 2000; Mount et al. 2004). Namun, peran hemosit dengan sel
epitel mantel selama proses mineralisasi cangkang masih perlu diklarifikasi
(sekresi nacre dari sel mantel dapat dievaluasi melalui pembentukan nacre
dalam medium kultur) (Van Phuc et al. 2011).
Fakta penelitian ini membuktikan bahwa setelah melakukan implantasi
maka tiram harus dipelihara pada kedalaman tertentu karena mempengaruhi
pembentukan kantung mutiara, jumlah tiram yang mengalami kematian, dan
penolakan inti.
Simpulan
Pembentukan kantung mutiara pada kedalaman 3 dan 6 meter lebih baik bila
dibandingkan dengan kedalaman 9 dan 12 meter.
8 PEMBAHASAN UMUM
Penelitian ini menemukan bahwa penggunaan saibo dari tiram jenis lain
seperti Pteria penguin, Pinctada margaritifera dan tiram Atrina vexillum dapat
dilakukan pada tiram inang Pinctada maxima karena dapat membentuk kantung
mutiara. Hal ini dilakukan karena saibo menentukan warna dari mutiara.
Penelitian sebelumnya telah membuktikan bahwa saibo menentukan warna
mutiara (Taylor 2002). Saibo dari tiram Pinctada margaritifera memiliki
kecepatan dan persentase pembentukan kantung yang lebih baik bila
dibandingkan dengan saibo tiram Pteria penguin dan Atrina vexillum (Tabel 1),
tetapi yang perlu dicatat bahwa saibo dari tiram jenis lain dapat digunakan untuk
pembentukan kantung mutiara. Urutan gen dari tiram donor ditemukan di kantung
mutiara saat panen sehingga mendukung hipotesis bahwa sel-sel donor secara
aktif terlibat dalam biomineralisasi mutiara. Kemampuan tiram Pinctada fucata
sebagai tiram host selama perkembangan kantung mutiara dan proses pelapisan
inti menggambarkan suatu adaptasi yang unik karena berpotensi untuk terlibat
dalam proses transkripsi matriks protein cangkang. Sel-sel gonad memiliki
kapasitas untuk berdiferensiasi menjadi sel yang berbeda jenis (mengambil peran
fungsional sel mantel) sebagai suatu reaksi imunologi terhadap pengenalan sel
mantel selama implantasi, serta adanya proliferasi sel mantel (Fang et al. 2008).
Hasil penelitian ini memberikan bukti bahwa saibo dapat diambil dari tiram jenis
lain sehingga dapat meningkatkan kualitas mutiara, terutama warna karena warna
ditentukan oleh saibo. Penelitian ini masih memerlukan kajian yang lebih lama
karena menyangkut kemampuan tiram host dalam mengatur biomineralisasi inti
sampai masa panen mutiara.
Hasil ini menunjukkan bahwa pemilihan warna dari mutiara dapat dilakukan
dengan menggunakan saibo dari tiram jenis lain yang dapat diimplantasikan pada
tiram Pinctada maxima, walaupun demikian masih terlalu dini untuk mengambil
kesimpulan ini. Proses pembentukan kantung mutiara dengan menggunakan saibo
114
yang didapatkan dari tiram jenis lain membutuhkan waktu lebih dari 30 hari
karena secara histologi, minggu keempat setelah implantasi masih terlihat sel-sel
epitel kuboid yang masih mengalami pyknosis dan masih terus berdegenerasi
membentuk sel-sel epitel monolayer yang sempurna. Pada tiram Pinctada fucata
(saibo alograf) membutuhkan waktu lebih dari 21 hari untuk membentuk kantung
mutiara (Awaji dan Machii 2011), sedangkan kerang air tawar seperti Hyriopsiss
chlegelii membutuhkan waktu 30 hari untuk membentuk kantung mutiara (Shi et
al. 1985). Kerang mutiara air lainnya yakni Hyriopsis (Limnoscapha) myersiana,
H.(L.) desowitzi, dan Chamberlainia hainesiana terlihat kantung mutiara
sepenuhnya dibentuk dalam waktu 15 hari (Panha dan Kosavititkul 1997) dan
kerang lainnya seperti Chamberlainia hainesiana, Hyriopsis (Limnoscapha)
myersiana, H. (H.) bialatus, Pseudodon inoscularis cumingi, H. (L.) dezowitzi,
Pseudodon vondembuschianus ellipticus dan Pseudodon membutuhkan waktu
sekitar 30 hari untuk membentuk kantung mutiara (Chatchavalvanich et al. 2010).
Penggunaan saibo yang didapatkan dari tiram jenis lain tidak mempengaruhi
kebutuhan energi tubuh karena tidak terlihat perbedaan pada konsumsi oksigen
namun harus diperhatikan bahwa tiram mengalami banyak kematian dan
penolakan inti. Luka akibat implantasi dapat menyebabkan tiram mengalami
kematian dan penolakan inti lebih banyak disebabkan oleh kemampuan tiram
dalam menerima benda asing sehingga tubuh menolak benda asing tersebut.
Penelitian ini menemukan jumlah tiram yang mengalami kematian dan
penolakan inti pada perlakuan posisi peletakan saibo dan inti di bagian ventral
gonad sebesar 20%, sedangkan pada bagian anus sebesar 45% dan bagian usus
sebesar 55%, sedangkan kecepatan dan persentase perkembangan kantung mutiara
pada penempatan saibo dan inti di bagian anus dan usus lebih rendah
dibandingkan bagian ventral gonad, yakni kurang dari 20%. Hal ini berhubungan
dengan gerakan mekanis dari organ dalam sehingga memperlambat degradasi
inner mantel dari saibo. Selain itu, diduga berhubungan dengan peran gonad
namun sampai sekarang belum ada penjelasan yang berarti tentang keterlibatan
gonad selama pembentukan kantung mutiara. Hal yang lain adalah tingginya
penolakan inti pada tiram yang diimplantasi di usus dan anus karena terjadi
penghambatan interaksi antara sel-sel epitel mantel (saibo) dengan jaringan ikat
dari tiram inang. Tingginya aktivitas peristaltik usus dan anus akibat implantasi
inti maka semakin menghambat fusi antara jaringan mantel (saibo) dengan
jaringan ikat dari tiram inang. Hasil ini juga dapat menjadikan dasar posisi
peletakan saibo dan inti pada tiram jenis lain yang memiliki ukuran tubuh yang
lebih besar, tetapi masih perlu dilakukan kajian yang lebih lanjut sehingga dapat
dilakukan implantasi pada beberapa lokasi dalam tubuh tiram. Hasil histologi
menunjukkan bahwa sel-sel epitel lebih cepat terdegradasi pada implantasi di
bagian ventral gonad dibandingkan dengan bagian usus dan anus. Minggu
pertama setelah implantasi pada bagian ventral gonad hanya terlihat 2-3 lapisan
sel-sel epitel kuboid tetapi di bagian usus masih terlihat 5-6 lapisan dan bagian
anus masih terlihat 4-5 lapisan, setelah minggu berikutnya sampai minggu
keempat, pada bagian ventral gonad, lebih cepat membentuk sel-sel epitel
monolayer, namun pada bagian usus dan anus lebih lambat.
Pemilihan saibo harus memperhatikan umur tiram. Umur tiram yang
dijadikan saibo sering kali tidak diperhatikan selama proses implantasi sehingga
kantung mutiara yang terbentuk tidak selalu bagus. Saibo yang diambil dari tiram
115
Simpulan
2. Pembentukan kantung mutiara dapat dilakukan pada bagian usus, anus, dan
ventral gonad. Pembentukan kantung mutiara pada posisi implantasi inti di
ventral gonad lebih baik bila dibandingkan dengan implantasi di bagian usus
dan anus.
3. Pembentukan kantung mutiara dengan menggunakan saibo dari tiram yang
telah berumur 28 bulan lebih baik bila dibandingkan dengan saibo dari tiram
yang berumur 14 dan 21 bulan.
4. Pembentukan kantung mutiara pada tiram berjenis kelamin betina lebih baik
bila dibandingkan dengan jenis kelamin jantan.
5. Pembentukan kantung mutiara pada kedalaman 3 dan 6 meter lebih baik bila
dibandingkan dengan kedalaman 9 dan 12 meter.
Saran
DAFTAR PUSTAKA
dismutase (SOD) from pearl oyster Pinctada fucata. Fish & shellfish
immunology 34(3):946-950.
Aoki S. 1956. Formation of the pearl-sac in the pearl-oyster (Pinctada martensii),
with reference to the autumn and early winter pearl-culture. Bull. Natl.
Pearl Res. Lab 1:41-46.
Aoki S. 1966. Comparative histological observations on the pearl sac tissues
forming nacreous, prismatic and periostracal pearls. Nippon Suisan
Gakkaishi 32:1-10.
Arjarasirikoon U, Kruatrachue M, Sretarugsa P, Chitramvong Y, Jantataeme S,
Upatham ES. 2004. Gametogenic processes in the pearl oyster, Pteria
penguin (Roding, 1798) (Bivalvia, Mollusca). Journal of Shellfish
Research 23(2):403-410.
Arnaud-Haond S, Goyard E, Vonau V, Herbaut C, Prou J, Saulnier D. 2007. Pearl
formation: persistence of the graft during the entire process of
biomineralization. Marine biotechnology 9(1):113-116.
Awaji M, Machii A. 2011. Fundamental studies on in vivo and in vitro pearl
formation: contribution of outer epithelial cells of pearl oyster mantle and
pearl sacs: Terrapub.
Awaji M, Suzuki T. 1995. The pattern of cell proliferation during pearl sac
formation in the pearl oyster. Fisheries Science 61(5):747-751.
Bayne B. 1971. Oxygen consumption by three species of lamellibranch mollusc
in declining ambient oxygen tension. Comparative Biochemistry and
Physiology Part A: Physiology 40(4):955-970.
Cahn AR. 1949. Pearl culture in Japan: General Headquarters, Supreme
Commander for the Allied Powers, National Resources Section.
Carlson BM. 2011. Principles of regenerative biology: Amsterdam ELsevier
Academic Press
Chatchavalvanich K, Nagachinda A, Kovitvadhi U, Kovitvadhi S, Thongpan A,
Meejui O. 2010. Histological development of pearl-sac formation in Thai
freshwater mussels. Kasetsart Journal (Natural Sciences) 44:202-209.
Chvez-Villalba J, Soyez C, Aurentz H, Le Moullac G. 2013. Physiological
responses of female and male black-lip pearl oysters (Pinctada
margaritifera) to different temperatures and concentrations of food.
Aquatic Living Resources 26(03):263-271.
Chvez-Villalba J, Soyez C, Huvet A, Gueguen Y, Lo C, Moullac GL. 2011.
Determination of gender in the pearl oyster Pinctada margaritifera.
Journal of shellfish Research 30(2):231-240.
Chellam A, Victor A, Dharmaraj S, Velayudhan T, Rao KS. 1991. Pearl oyster
farming and pearl culture. FAO Corporate Document Repository.
Chen H, Xie L, Yu Z, Xu G, Zhang R. 2005. Chemical modification studies on
alkaline phosphatase from pearl oyster (Pinctada fucata): a substrate
reaction course analysis and involvement of essential arginine and lysine
residues at the active site. The international journal of biochemistry & cell
biology 37(7):1446.
Chen L, Xie L, Dai Y, Xiong X, Fan W, Zhang R. 2004. Cloning and
characterization of an mRNA encoding a novel G protein -subunit
abundant in mantle and gill of pearl oyster Pinctada fucata. Comparative
119
Machii A, Nakahara H. 1957. Studies on the histology of the pearl-sac, II. On the
speed of the pearl-sac formation different by season. Bull Nat Pearl Res
Lab 2:107-112.
Malagoli D, Casarini L, Sacchi S, Ottaviani E. 2007. Stress and immune response
in the mussel Mytilus galloprovincialis. Fish & shellfish immunology
23(1):171.
Mamangkey NGF, Acosta-Salmon H, Southgate PC. 2009. Use of anaesthetics
with the silver-lip pearl oyster, Pinctada maxima (Jameson). Aquaculture
288(34):280-284.
Mamangkey NGF, Southgate PC. 2009. Regeneration of excised mantle tissue by
the silver-lip pearl oyster, Pinctada maxima (Jameson). Fish & Shellfish
Immunology 27(2):164-174.
Marie B, Joubert C, Tayal A, Zanella-Clon I, Belliard C, Piquemal D,
Cochennec-Laureau N, Marin F, Gueguen Y, Montagnani C. 2012.
Different secretory repertoires control the biomineralization processes of
prism and nacre deposition of the pearl oyster shell. Proceedings of the
National Academy of Sciences 109(51):20986-20991.
Marin F, Luquet G. 2004. Molluscan shell proteins. Comptes Rendus Palevol
3(6):469-492.
Marin F, Luquet G, Marie B, Medakovic D. 2007. Molluscan shell proteins:
primary structure, origin, and evolution. Current topics in developmental
biology 80:209-276.
Masaoka T, Samata T, Nogawa C, Baba H, Aoki H, Kotaki T, Nakagawa A, Sato
M, Fujiwara A, Kobayashi T. 2013. Shell matrix protein genes derived
from donor expressed in pearl sac of Akoya pearl oysters (Pinctada
fucata) under pearl culture. Aquaculture 384387(0):56-65.
Matsumoto T, Nakamura AM, Mori K, Akiyama I, Hirose H, Takahashi Y. 2007.
Oyster estrogen receptor: cDNA cloning and immunolocalization. General
and comparative endocrinology 151(2):195-201.
Matsushiro A, Miyashita T, Miyamoto H, Morimoto K, Tonomura Bi, Tanaka A,
Sato K. 2003. Presence of protein complex is prerequisite for aragonite
crystallization in the nacreous layer. Marine Biotechnology 5(1):37-44.
Mattjik AA, Sumertajaya IM. 2006. Perancangan percobaan dengan aplikasi SAS
dan Minitab. Jilid I. Edisi ke-2. Institut Pertanian (IPB)-Press, Bogor.
McGinty EL, Evans BS, Taylor JUU, Jerry DR. 2010. Xenografts and pearl
production in two pearl oyster species, P. maxima and P. margaritifera:
Effect on pearl quality and a key to understanding genetic contribution.
Aquaculture 302(34):175-181.
McGinty EL, Zenger KR, Taylor JU, Evans BS, Jerry DR. 2011. Diagnostic
genetic markers unravel the interplay between host and donor oyster
contribution in cultured pearl formation. Aquaculture 316(1):20-24.
Meng J, Zhu Q, Zhang L, Li C, Li L, She Z, Huang B, Zhang G. 2013. Genome
and transcriptome analyses provide insight into the euryhaline adaptation
mechanism of Crassostrea gigas. PLoS One 8(3):e58563.
Menge BA, Chan F, Lubchenco J. 2008. Response of a rocky intertidal ecosystem
engineer and community dominant to climate change. Ecology Letters
11(2):151-162.
124
Stefano GB, Zhu W, Mantione K, Jones D, Salamon E, Cho JJ, Cadet P. 2003. 17-
beta estradiol down regulates ganglionic microglial cells via nitric oxide
release: Presence of an estrogen receptor beta transcript.
Neuroendocrinology Letters 24(3/4):130-136.
Strack E. 2006. Pearls: Rhle-Diebener-Verlag, Stuttgart, Germany. 707 pp.
Suzuki M, Nagasawa H. 2007. The structure-function relationship analysis of
Prismalin14 from the prismatic layer of the Japanese pearl oyster,
Pinctada fucata. FEBS journal 274(19):5158-5166.
Suzuki M, Saruwatari K, Kogure T, Yamamoto Y, Nishimura T, Kato T,
Nagasawa H. 2009. An acidic matrix protein, Pif, is a key macromolecule
for nacre formation. Science 325(5946):1388-1390.
Suzuki T, Funakoshi S. 1992. Isolation of a fibronectin-like molecule from a
marine bivalve, Pinctada fucata, and Its secretion by amebocytes(Cell
Biology). Zoological science 9(3):541-550.
Suzuki T, Yoshinaka R, Mizuta S, Funakoshi S, Wada K. 1991. Extracellular
matrix formation by amebocytes during epithelial regeneration in the pearl
oyster Pinctada fucata. Cell and tissue research 266(1):75-82.
Takakura D, Norizuki M, Ishikawa F, Samata T. 2008. Isolation and
characterization of the N-linked oligosaccharides in nacrein from Pinctada
fucata. Marine biotechnology 10(3):290-296.
Takeuchi T, Endo K. 2006. Biphasic and dually coordinated expression of the
genes encoding major shell matrix proteins in the pearl oyster Pinctada
fucata. Marine biotechnology 8(1):52-61.
Taussky HH, Shorr E. 1953. A microcolorimetric method for the determination of
inorganic phosphorus. J Biol Chem 202(2):675-685.
Tayale A, Gueguen Y, Treguier C, Le Grand J, Cochennec-Laureau N,
Montagnani C, Ky C-L. 2012. Evidence of donor effect on cultured pearl
quality from a duplicated grafting experiment on Pinctada margaritifera
using wild donors. Aquatic Living Resources 25(3).
Taylor A. 1976. Burrowing behaviour and anaerobiosis in the bivalve Arctica
islandica (L.). Journal of the Marine Biological Association of the United
Kingdom 56(01):95-109.
Taylor J, Strack E, Southgate P, Lucas J. 2008. Pearl production. The Pearl
Oyster: pp : 273-302.
Taylor JJU. 2002. Producing golden and silver south sea pearls from Indonesian
hatchery reared Pinctada maxima. World Aquaculture 2002:23rd-27th.
Tmkin I. 2006. Morphological perspective on the classification and evolution of
Recent Pterioidea (Mollusca: Bivalvia). Zoological Journal of the Linnean
Society 148(3):253-312.
Van Phuc P, Viet PQ, Hoang NM, Tam NT, Kim P. 2011. Research on in vitro
culture and inducing nacre crystal formation of freshwater pearl mussel
mantle epithelial cell Sinohyriopsis cumingii. International Journal of
Fisheries and Aquaculture 3(6):105-113.
Velayudhan T, Chellam A, Dharmaraj S, Victor A. 1994. Histology of the mantle
and pearl-sac formation in the Indian pearl oyster Pinctada fucata (Gould).
Indian Journal of Fisheries 41(2):70-75.
Veldhuijzen JP, Cuperus R. 1975. Effects of starvation, low temperature and the
dorsal body hormone on the in vitro synthesis of galactogen and glycogen
126
in the albumen gland and the mantle of the pond snail Lymnaea stagnalis.
Netherlands Journal of Zoology 26(1):119-135.
Veldhuijzen JP, Van BeeK G. 1975. The influence of starvation and of increased
carbohydrate intake on the polysaccharide content of various body parts of
the Pond Snail Lymnaea stagnalis. Netherlands Journal of Zoology
26(1):106-118.
Victor ACC, Chellam, A., Dharmaraj, S., (2000). Pearl Culture. In Marine
Fisheries Research and Management. Ed. Pillai VNaM, N.G. Central
Marine Fisheries Research Institute: Pp. 775-785.
Wada K. 1984. Breeding study of the pearl oyster, Pinctada fucata [in Japan].
Bulletin of National Research Institute of Aquaculture. Japan.
Wada K, Komaru A. 1994. Effect of selection for shell coloration on growth rate
and mortality in the Japanese pearl oyster, Pinctada fucata martensii.
Aquaculture 125(1) : 59-65.
Wang N, Kinoshita S, Riho C, Maeyama K, Nagai K, Watabe S. 2009.
Quantitative expression analysis of nacreous shell matrix protein genes in
the process of pearl biogenesis. Comparative Biochemistry and Physiology
Part B: Biochemistry and Molecular Biology 154(3):346-350.
Wilbur K, Saleuddin A. 1983. The mollusca. Shell formation 4(Part 1):235-287.
Winanto T. 2004. Memproduksi benih tiram mutiara: Penebar Swadaya.
Winanto T, Soedharma D, Affandi R, Sanusi HS. 2009. Pengaruh suhu dan
salinitas terhadap respon fisiologi larva tiram mutiara Pinctada maxima
(Jameson). Jurnal Biologi Indonesia 6(1):51-69.
Winanto T, Soekendarsi E, Paonganan Y. 2001. Hatchery production of spat of
pearl oyster Pinctada maxima (Jameson) in Indonesia. Phuket Marine
Biological Center Special Publication 25(1):189-192.
Xie LP, Wu YT, Dai YP, Li Q, Zhang RQ. 2007. A novel
glycosylphosphatidylinositol-anchored alkaline phosphatase dwells in the
hepatic duct of the pearl oyster, Pinctada fucata. Marine biotechnology
9(5):613-623.
Yamaguchi Y, Hearing VJ, Itami S, Yoshikawa K, Katayama I. 2005.
Mesenchymal-epithelial interactions in the skin: Aiming for site-specific
tissue regeneration. Journal of Dermatological Science 40(1):1-9.
Yan Z, Fang Z, Ma Z, Deng J, Li S, Xie L, Zhang R. 2007. Biomineralization:
functions of calmodulin-like protein in the shell formation of pearl oyster.
Biochimica et Biophysica Acta (BBA)-General Subjects 1770(9):1338-
1344.
Zaremba CM, Belcher AM, Fritz M, Li Y, Mann S, Hansma PK, Morse DE,
Speck JS, Stucky GD. 1996. Critical transitions in the biofabrication of
abalone shells and flat pearls. Chemistry of Materials 8(3):679-690.
Zhang C, Zhang R. 2006. Matrix proteins in the outer shells of molluscs. Marine
Biotechnology 8(6):572-586.
Zhao X, Yu H, Kong L, Li Q. 2012. Transcriptomic responses to salinity stress in
the Pacific oyster Crassostrea gigas. PloS one 7(9):e46244.
Zhifeng G, Fengshao H, Hai W, Kai G, Xin Z, Yaohua S, Aiming W. 2012.
Contribution of donor and host oysters to the cultured pearl colour in
Pinctada martensii. Aquaculture Research. 45(7): 1126-1132.
127
LAMPIRAN
b. Pemilihan saibo
Penelitian tahap pertama menggunakan saibo yang diambil dari
tiram Atrina vexillum, Pteria penguin, Pinctada margaritifera dan jenis
yang sama (Pinctada maxiama). Penelitian tahap kedua menggunakan
saibo dari jenis yang sama (Pinctada maxima) namun posisi peletakannya
di bagian usus, anus, dan ventral gonad. Penelitian tahap ketiga
menggunakan saibo yang didapatkan dari tiram yang telah berumur 14, 21,
dan 28 bulan. Untuk tahap keempat dan kelima menggunakan saibo dari
tiram jenis yang sama dengan tiram inang (Pinctada maxima). Bagian
mantel yang diambil sebagai saibo yakni bagian pallial mantel. Saibo yang
telah didapatkan kemudian dipotong-potong sebesar 3 x 3 x 1 mm,
kemudian diletakkan dalam larutan fisiologis dan siap untuk digunakan.
c. Tahap implantasi
Tiram yang akan diimplantasi diletakkan dengan posisi berdiri
sehingga tiram mutiara kekurangan oksigen dan setelah tiram mutiara
membuka cangkang maka digunakan alat pembuka cangkang (shell
opener) untuk membuka cangkang. Setelah cangkang terbuka, baji
128
d. Tahap pemeliharaan
Setelah implantasi maka tiram dipelihara di laut dengan meletakkan
tiram mutiara pada posisi dorsal di atas atau dikenal dengan proses tento.
Selama pemeliharaan, pengambilan sampel dilakukan sesuai dengan waktu
yang ditentukan. Semua proses ini dilakukan dengan hati-hati agar tiram
tidak terlalu mengalami stress. Untuk perlakuan kedalaman maka tiram
dipelihara pada kedalaman 3, 6, 9, dan 12 meter.
Preparasi Larutan:
Larutan A : (Asam Trikhloro acetat= TCA 17%)
Larutan B ((NH4)6Mo7O24.4H2O 10%=ammonium molibdat 10%)
- 10 g ammonium molibdat ditambah 60 mL aquadest
- Ditambahkan 28 mL H2SO4 pekat secara bertahap
- Dibuat larutan sampai 100 mL dengan menambah aquadest
- Didinginkan larutan tersebut dalam suhu kamar
Larutan C (dibuat sesaat sebelum analisis)
- 10 mL larutan B + 60 mL aquadest + 5 g FeSO4.7H2O
- Dibuat larutan sampai 100 mL dengan menambah aquadest
Larutan standar untuk P
- Larutkan 4.394 g KH2PO4 dalam aquadest sampai 1000 mL
(untuk mendapatkan konsentrasi P=1000 ppm)
Perhitungan:
BM KH2PO4=136.09 BA: P = 30.9738
136.09/30.9738 X 1000 mg X 1000 mL/1000 mL = 4.394 g
KH2PO4
Larutan pengikat anion-anion pengganggu (Cl3La.7H2O) :
- Larutkan 6.6838 g Cl3La.7H2O dalam aquadest sampai 25 mL
- Larutan Cl3La.7H2O berfungsi mengikat anion-anion pengganggu
seperti anion sulfat (SO4) dan fosfat (PO4)
Perhitungan :
BM Cl3La.7H2O=371.38 BA: La = 138.91
371.38/138.91 X 100 g X 25 ml/1000 mL = 6.6838 Cl3La.7H2O
(Konsentrasi La dalam larutan = 100.000 ppm).
Prosedur Kerja:
1. Dibuat konsentrasi larutan standar P = 2, 3, 4, dan 5 ppm dalam 5 mL
sehingga diperlukan :
2 ppm = 2 ppm/25 ppm X 5 mL = 0.4 mL KH2PO4
3 ppm = 3 ppm/25 ppm X 5 mL = 0.6 mL KH2PO4
4 ppm = 4 ppm/25 ppm X 5 mL = 0.8 mL KH2PO4
5 ppm = 5 ppm/25 ppm X 5 mL = 1.0 mL KH2PO4
2. Masing-masing volume tersebut ditambah 2 mL larutan C dan aquadest
sampai volume akhir 5 mL.
130
KM
PTKM = x 100
TP
Nilai KM = TP - (Jumlah tiram yang mati + Jumlah tiram yang mengalami
penolakan inti)
LKM
PPIM = x 100
LI
Nilai LI menggunakan rumus luas bola yakni 4r2, sedangkan nilai LKM
didapatkan dengan menggunakan metode grafis bujur sangkar (kertas grafik mm).
Konsumsi oksigen
(DOx - DOy )
dO2dt-1 =
(g.t)
Keterangan :
dO2dt-1 = Laju konsumsi oksigen ( mg O2g-1 jam-1)
DOx = Kandungan oksigen terlarut pada awal percobaan (mgL-1)
DOy = Kandungan oksigen terlarut pada akhir percobaan (mgL-1)
g = Berat tiram (g)
t = Lama pengamatan (jam)
5. Organ pada tissue cassete diletakkan pada mesin blocking pada suhu 60C,
kemudian organ dilapisi dengan paraplast cair, dan didinginkan hingga
blok parafin membeku. Selanjutnya blok tersebut disimpan dalam freezer
20C hingga pemotongan dengan mesin mikrotom dilakukan.
6. Blok dipotong dengan menggunakan pisau pada mesin mikrotom dengan
ketebalan 3-6 m secara vertikal dan horizontal dikarenakan kantung
mutiara berkembang secara menjulur kemudian menutupi inti.
7. Potongan jaringan tersebut diletakkan pada permukaan air dalam
waterbath yang bersuhu 46C.
8. Sementara itu kaca obyek yang telah diberi kode diberi satu tetes larutan
glyserol 99,5% dan larutan ewith atau albumin (dengan perbandingan 1:1)
dan diratakan pada permukaan kaca obyek.
9. Jaringan pada waterbath dilekatkan pada kaca obyek tersebut dengan cara
mencelupkan sebagian kaca obyek dengan kemiringan 45.
10. Preparat tersebut diletakkan pada rak khusus dan disimpan pada oven yang
bersuhu + 60C sampai pewarnaan dilakukan.
B. Proses pewarnaan hematoxyline dan eosin (HE)
1. Preparat yang akan diwarnai diletakkan dalam rak (1 rak maksimal 15
preparat) dan dicelupkan secara berurutan pada larutan dan waktu sebagai
berikut:
1) Xylol 3 menit
2) Xylol 3 menit
3) Etanol absolut 3 menit
4) Etanol absolut 3 menit
5) Etanol 90% 3 menit
6) Etanol 80% 3 menit
7) Dibilas dengan air yang mengalir. 1 menit
8) Larutan hematoksilin 6-7 menit
9) Dibilas dengan air yang mengalir. 1 menit
10) Larutan Scot 1 menit
11) Dibilas dengan air mengalir.. 1-3 menit
12) Larutan eosin 1-5 menit
13) Dibilas dengan air mengalir. 1 menit
14) Etanol 70% 1 menit
15) Etanol 90% 10 celupan
16) Etanol absolut 10 celupan
17) Etanol absolut. 1 menit
18) Xylol 3 menit
19) Xylol. 3 menit
20) Xylol 3 menit
2. Area di sekeliling jaringan dilap dengan menggunakan tissue, dikeringkan
sampai cairan menguap kemudian dimasukkan dalam cairan xylol.
3. Preparat diangkat dari larutan xylol dalam keadaan basah langsung diberi
satu tetes larutan DPX dengan menggunakan syring kaca lalu ditutup
dengan kaca penutup. Kelebihan cairan dilap dengan tissue.
4. Hasil pewarnaan dilihat dibawah mikroskop.
133
RIWAYAT HIDUP