Anda di halaman 1dari 11

Tinjauan Pustaka

SIFILIS PADA INFEKSI HUMAN IMMUNODEFICIENCY


VIRUS
Fitria Agustina, Lili Legiawati, Rahadi Rihatmadja,Sjaiful Fahmi Daili

Departemen Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin


FK Universitas Indonesia/RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta

ABSTRAK
Sifilis dan infeksi menular seksual lain yang menyebabkan lesi genital atau respons inflamasi merupakan faktor risiko
penting dalam transmisi human immunodeficiency virus (HIV). Sifilis dan infeksi HIV merupakan penyakit yang dapat
ditularkan melalui hubungan seksual. Di beberapa negara berkembang, sifilis masih dianggap sebagai penyebab penting
kematian. Sifilis terbukti meningkatkan penyebaran infeksi HIV melalui transmisi seksual. Koinfeksi sifilis dan infeksi HIV
dapat mengubah manifestasi klinis, progresivitas penyakit lebih cepat, penegakan diagnosis lebih sulit, peningkatan risiko
komplikasi neurologis, dan risiko kegagalan terapi dengan rejimen standar lebih besar. Pasien sifilis dengan infeksi HIV lebih
sering datang pada stadium penyakit lebih lanjut dan gejala klinis tidak khas. Hasil pemeriksaan serologis dapat mengalami
perubahan, antara lain peningkatan hasil negatif palsu dari tes antibodi nontreponemal karena fenomena prozon dibandingkan
dengan pasien tanpa infeksi HIV. Hal tersebut sering menjadi kendala dalam keberhasilan pengobatan, sehingga diperlukan
pemeriksaan serologis yang teliti dan kompetensi dokter dalam mendiagnosis agar dapat dilakukan tatalaksana yang tepat bagi
pasien.

Kata kunci: sifilis, HIV

ABSTRACT
Syphilis and others sexual infections which cause genital ulcers or inflammation respons are important factors in
human immunodeficiency virus (HIV) transmission. Syphilis and HIV infection are both transmitted sexually. In some
developing countries, syphilis is still considered as an important cause of mortality. It increases sexual transmitted of HIV.
Syphilis and HIV co-infection can alter clinical features, rapid progression of the disease, make difficulties in diagnosis, increase
neurological involvement, and higher the risk of treatment failure to the standard regimen. In syphilis patients with HIV co-
infection usually come with late stage of the disease and not specific clinical manifestation. There is increasing false negative
results in serologic tests of nontreponemal antibody in patients with HIV co-infection because of prozone phenomena. These
problems become obstacles in successful of treatment syphilis with standard regimen. Accurate serologic tests and capability the
doctor to diagnose are very important due to proper treatment for the patients.

Key words: syphilis, HIV

PENDAHULUAN

Sifilis dan infeksi human immunodeficiency virus (HIV) merupakan penyakit yang dapat
ditularkan melalui hubungan seksual, sehingga tidak mengherankan jika seseorang menderita keduanya
sekaligus.1 Di beberapa negara berkembang hingga tahun 1998, sifilis masih dianggap sebagai
penyebab penting kematian, dan dalam kaitannya dengan penyebaran infeksi HIV terbukti
meningkatkan transmisi seksual HIV.2 Pengaruh infeksi HIV terhadap sifilis dapat mengubah
manifestasi klinis, progresivitas penyakit lebih cepat, penegakan diagnosis lebih sulit, peningkatan
risiko komplikasi neurologis, dan risiko kegagalan terapi dengan rejimen standar lebih besar.3,4
World Health Organization (WHO) memperkirakan sekitar 12 juta kasus sifilis baru terjadi di
seluruh dunia setiap tahunnya, terutama di Asia Utara dan Tenggara, Afrika sub-Sahara, Amerika
Latin, dan Karibia.5 Pada kelompok pria homoseksual di Amerika Serikat, Irlandia dan Inggris, angka
kejadian sifilis diduga kembali meningkat, sejalan dengan meningkatnya jumlah individu terinfeksi
HIV dalam beberapa tahun terakhir.6-8 Dari data laporan morbiditas poliklinik Divisi Infeksi Menular
Seksual Rumah Sakit Umum Pusat Nasional dr. Cipto Mangunkusumo (RSCM) bulan Januari-
Desember 2005, proporsi kepositivan kasus baru sifilis stadium I (S I) sebesar 0.14%, sifilis stadium II
(S II) 0.7%, dan sifilis laten (S laten) 0.56%.9
Pada tahun 2004 di seluruh dunia diperkirakan sekitar 40 juta orang terinfeksi HIV, sebagian
besar di Afrika sub-Sahara. Pertumbuhan epidemik tercepat di Eropa Timur dan Asia Tengah. 5 Di
Indonesia pada tahun 2004, diperkirakan 130 ribu orang penduduk terinfeksi HIV, sebagian besar
terjadi pada kelompok dengan kebiasaan berisiko tinggi seperti wanita dan pria pekerja seksual dengan
kliennya, pria homoseksual, dan pengguna obat suntik.10,11
Rasio koinfeksi sifilis dan HIV bergantung dari prevalensi kedua infeksi tersebut dalam
komunitas atau kelompok yang diteliti.1 Pada satu penelitian di Amerika Serikat tahun 1996, lebih dari
1000 kasus HIV akuisita pada kelompok heteroseksual, sebelumnya didahului oleh infeksi sifilis. 5
Penelitian di Spanyol tahun 1998 melaporkan kepositifan serologik sifilis sebesar 13% dari 1161 kasus
pasien HIV, meningkat 4% dalam 38 bulan masa observasi.1 Bloker dkk*. melakukan penelitian
terhadap 30 kasus sifilis di Amerika Serikat untuk melihat rasio koinfeksi HIV, melaporkan kepositifan
serologik antibodi HIV sebesar 15,7% (27,5% pada pria dan 12,4% pada wanita). Kassu A dkk.12
melakukan penelitian di Etiopia terhadap 706 orang subyek, didapatkan kepositifan serologik antibodi
HIV sebesar 5% dan kepositivan serologik sifilis hanya sebesar 6% pada kelompok HIV-positif.
Kepositivan serologik sifilis pada pasien terinfeksi HIV di poliklinik Pokdisus AIDS RSCM/FKUI
sebesar 3,26%. 13

ETIOPATOGENESIS

Schaudin dan Hoffman pada tahun 1905 berhasil mengidentifikasi Spirochaeta pallida
sebagai bakteri penyebab sifilis.14 Klasifikasi sangat sulit dilakukan, karena spesies Treponema tidak
dapat dibiakkan in vitro. Sebagai dasar diferensiasi terdapat 4 spesies yaitu T. pallidum yang
menyebabkan sifilis, T. pertenue yang menyebabkan frambusia, T. endemicum yang menyebabkan
bejel, dan T. carateum yang menyebabkan pinta.15-17 Spirochaeta sendiri berasal dari bahasa Yunani
yang berarti coiled hair.18
Treponema pallidum subspesies pallidum merupakan agen penyebab sifilis. Organisme
tersebut merupakan parasit obligat bagi manusia.15,18,19 Treponema pallidum berbentuk spiral, negatif-
Gram dengan panjang antara 6-20 m dan diameter antara 0,09-0,18 m. Pada umumnya dijumpai 16-
18 busur, yang terdiri atas membran luar (outer sheath), ruang periplasma dengan flagel periplasma,
dan lapisan peptidoglikan. Terdapat 3 macam gerakan yaitu rotasi cepat sepanjang aksis panjang heliks,
fleksi sel, dan maju seperti gerakan pembuka tutup botol.15,16,18
Treponema pallidum dapat berenang dalam lingkungan viscous (contohnya rongga mulut,
traktus intestinal), tetapi hanya dapat berputar dalam air karena gesekan minimal. Kontak dengan
udara, antiseptik, atau cahaya matahari akan membunuh mikroba tersebut. Jika diletakkan di luar tubuh
dalam lingkungan gelap dan lembab hanya bertahan tidak lebih dari 2 jam. Replikasi terbatas T.
pallidum didapatkan pada kultur sel epitel kelinci, dengan waktu untuk memperbanyak 2 kali lipat
adalah 30 jam, tetapi replikasi terjadi lambat dan hanya dapat dipertahankan beberapa generasi. 18
Genom lengkap dari T. pallidum terdiri atas satu kromosom sirkular yang terdiri dari 1.138.006 pasang
basa dan diperkirakan mengkode 1.041 gen.19
Transmisi seksual sifilis dimungkinkan karena inokulasi pada abrasi akibat trauma seksual
yang menyebabkan respons lokal sehingga terjadi erosi, lalu ulkus. Kejadian tersebut diikuti dengan
penyebaran treponema ke kelenjar getah bening regional dan penyebaran hematogen pada bagian lain
tubuh. Hingga kini belum sepenuhnya dimengerti bagaimana mekanisme kuman menyerang jaringan. 20
Pada sebagian besar stadium sifilis sering ditemukan gambaran vaskulitis obstruktif pembuluh
darah kecil, serta perivascular cuffing dengan sel bulat, sel plasma, dan adanya proliferasi sel endotel.
Gangguan vaskularisasi pada lesi turut berperan dalam mengakibatkan perubahan jaringan. 20 Infiltrat
pada lesi sifilis didominasi oleh limfosit dan makrofag.21
Sifilis dan infeksi menular seksual lain yang menyebabkan lesi genital atau respons inflamasi
merupakan faktor risiko penting dalam transmisi HIV. Faktor pada sifilis yang diperkirakan memiliki
kontribusi untuk terjadinya proses transmisi HIV adalah :

________________________________________
*) Dikutip dari kepustakaan 1
1) Kerusakan sawar epitel sebagai pintu masuk (atau keluar) HIV. 15
2) Kedatangan sejumlah besar makrofag dan sel T membuat lingkungan kaya
akan reseptor HIV.15
3) Produksi sitokin oleh makrofag yang distimulasi lipoprotein treponemal
dapat meningkatkan replikasi HIV.15
4)Treponema pallidum dapat menginduksi ekspresi gen HIV-1 dari monosit
dan makrofag.22
5) Lipoprotein T. pallidum dapat menginduksi CCR5 dari monosit yang
merupakan ko-reseptor utama transmisi HIV.23

ASPEK IMUNOLOGIS SIFILIS PADA INFEKSI HIV

Pasien dengan infeksi HIV mengalami disregulasi respons imun tubuh. Hal tersebut
menyebabkan turunnya jumlah sel Th (helper) dan limfopenia. Limfosit T tidak dapat memproduksi
interleukin-2 dalam jumlah normal, respons hipersensitivitas tipe lambat melemah, dan aktivitas sel
natural killer menurun. Produksi antibodi spesifik dapat terganggu.24
Treponema pallidum tidak banyak memiliki lipopolisakarida, tetapi kuman tersebut
mengandung banyak lipoprotein. Secara in vitro maupun in vivo telah dibuktikan bahwa lipid-modified
protein merupakan aktivator poten terhadap sel efektor yang berkaitan dengan imunitas nonspesifik.21
Oleh karena itu, pada awal pembentukan chancre respons imun nonspesifik yang akan berperan
terutama adalah monosit, makrofag, dan sel endotelial terhadap Treponema.21,25
Sifilis mengaktifkan baik imunitas humoral maupun selular, dan keduanya diperlukan untuk
eradikasi kuman.17 Kini telah ditemukan bahwa hipersensitivitas tipe lambat merupakan mekanisme
imun yang utama untuk pemusnahan bakteri dan penyembuhan lesi sifilis. 21,25
Pada pasien terinfeksi HIV terjadi gangguan sistem imun humoral dan selular. Perubahan
kualitas imunologis pada pasien dengan infeksi HIV dapat menyebabkan penyembuhan lesi primer
sifilis yang lambat, akselerasi terjadinya lesi sifilis sekunder, atau keduanya. 26 Penurunan atau
hilangnya imunitas selular pada pasien terinfeksi HIV menyebabkan peningkatan kemampuan
Treponema untuk bermultiplikasi di berbagai jaringan, sehingga dapat terjadi ulserasi genital persisten,
guma, dan progresivitas neurosifilis yang lebih cepat.27
Kofoed dkk.28 melaporkan bahwa pada pasien terinfeksi HIV, jumlah sel limfosit T CD4+
menurun dan jumlah virus HIV meningkat selama infeksi sifilis. Keadaan tersebut secara statistik
bermakna hanya pada sifilis primer dan sifilis sekunder, dengan jumlah awal sel limfosit T CD4+
sebelum terinfeksi sifilis sebesar 500 sel/L. Setelah terapi sifilis, jumlah sel limfosit T CD4+ akan
meningkat dan jumlah virus HIV akan menurun seperti keadaan awal sebelum terinfeksi sifilis.
Namun, Sadiq dkk. melaporkan bahwa tidak terdapat hubungan antara perubahan jumlah sel limfosit T
CD4+ dan jumlah virus HIV-1 dalam darah dan semen dengan kejadian sifilis stadium dini. 29

GAMBARAN KLINIS SIFILIS PADA INFEKSI HIV

Stadium sifilis tidak diubah oleh infeksi HIV. Namun, manifestasi klinis dan progresivitas
penyakit dapat dipengaruhi oleh infeksi HIV.32 Sifilis diklasifikasikan sebagai sifilis kongenital dan
sifilis didapat. Secara epidemiologi, WHO menggolongkan sifilis dalam sifilis dini (<1 tahun) dan
sifilis lanjut (>1 tahun). Pembagian secara klinis menjadi sifilis primer (S I), sifilis sekunder (S II),
laten dini (<1 tahun), laten lanjut (>1 tahun), sifilis tersier (S III) . 4,17,18
Manifestasi klinis sifilis atipikal dilaporkan pada pasien HIV-positif dengan jumlah sel
limfosit CD4+ rendah.27 Beberapa kemungkinan manifestasi klinis atipikal pada individu terinfeksi
HIV telah dilaporkan, antara lain chancre multipel pada S I, concomitant multiple genital ulcer pada S
II, dan peningkatan frekuensi meningitis sifilis akut pada sifilis dini, peningkatan sifilis okular. Secara
khusus terjadi pergeseran dari manifestasi primer ke sekunder dan progesivitas penyakit yang lebih
agresif.1,3,15
Pada pasien sifilis dengan infeksi HIV, lebih sering terlihat manifestasi klinis S II
dibandingkan dengan pasien tanpa infeksi HIV. Dan di antara pasien HIV-positif dengan manifestasi
klinis S II tersebut, masih sering disertai adanya chancre.26,31
Sifilis Primer (S I)

Pada individu HIV-negatif, sifilis primer terjadi setelah periode inkubasi 14-21 hari di tempat
inokulasi sebagai papul yang tidak nyeri, cepat membesar dan berulserasi disebut sebagai chancre.
Chancre kadang tidak terlihat atau tidak disadari oleh pasien. Ciri khas ulkus ditandai oleh indurasi
(teraba keras di sekeliling ulkus), permukaan bersih, dinding tidak bergaung, tidak nyeri (jika tidak
disertai infeksi bakteri lain) dan soliter. Letak ulkus dapat ditemukan di luar area anogenital, yaitu bibir,
lidah, tonsil, puting susu, dan jari.1,4,16,20,32
Sifilis primer pada individu dengan infeksi HIV dapat berupa chancre multipel atau chancre
atipikal berupa ulkus nyeri dan lunak di sekelilingnya.1,4,16,20,32 Hall dkk.32 melaporkan bahwa individu
terinfeksi HIV lebih sering memiliki lesi inisial berupa chancre multipel (70%), dibandingkan dengan
individu HIV-negatif (34%). Pada beberapa pasien terkadang tidak ditemukan chancre primer, atau
chancre primer tidak terlihat. Dapat terjadi limfadenopati regional. 4
Komplikasi pada mata dapat terjadi berupa infeksi okular, yaitu uveitis, keratitis, neuritis
optik, konjungtivitis, atrofi optik dan korioretinitis. 3 Namun, tidak terdapat tanda yang patognomonik.
Kelainan mata yang terbanyak adalah uveitis (inflamasi intraokular) yang dapat terjadi pada semua
stadium dan dapat sembuh spontan, namun angka kekambuhannya tinggi bila sifilis tidak diobati. 1,32

Sifilis Sekunder (S II)

Sifilis sekunder biasanya ditemukan 2-8 minggu setelah infeksi awal dan dapat terjadi sampai
6 bulan setelah penyembuhan lesi primer.4,15 Sifilis sekunder dapat juga muncul sebelum chancre
primer menghilang. Pada stadium tersebut replikasi spirochaeta terus berlangsung dengan penyebaran
infeksi yang melibatkan berbagai sistem organ. Ruam kulit merupakan gejala yang paling sering
terlihat (80-95% kasus). Pada lebih dari 95% kasus ruam kulit berupa makula, makulopapular, papular
atau anular. Erupsi nodular dan pustular jarang terjadi. Ruam kulit sering terlihat pada batang tubuh
dan ekstremitas yang dapat melibatkan telapak tangan dan telapak kaki.4,17,33 Ruam kulit S II dapat
menyerupai berbagai kelainan kulit, yaitu pitiriasis versikolor, pitiriasis rosea, skabies, erupsi alergi
obat, dan eritema multiforme. Pada individu terinfeksi HIV yang mendapatkan obat antiretroviral, ruam
tersebut sering salah diagnosis sebagai erupsi obat alergik.32 Pada kulit kepala dapat dijumpai alopesia
yang disebut moth-eaten alopecia yang dimulai di daerah oksipital. Di daerah lembab terdapat papul
basah yang disebut kondiloma lata.17 Gejala konstitusi, limfadenopati generalisata, artralgia, mialgia,
dan gejala neurologis mungkin terjadi. Tanpa terapi, manifestasi S II berlangsung beberapa hari sampai
beberapa minggu, biasanya menyembuh spontan dalam 4-12 minggu dan masuk ke stadium laten.4
Pada pasien terinfeksi HIV, ruam kulit S II sering muncul dengan concomitant multipel genital ulcer.31
Lesi oral dapat terjadi dengan atau tanpa infeksi HIV dan sering pada S II. Paru dan pleura
jarang terlibat, tetapi spirochaeta dapat terdeteksi dalam cairan pleura akibat pneumonia, meskipun
jumlah limfosit CD4+ masih baik. Sindrom nefrotik merupakan komplikasi ko-infeksi HIV dengan S
II.1

Sifilis Laten (S laten)

Sifilis laten adalah stadium tanpa gejala klinis tetapi dengan pemeriksaan serologis positif.
Individu dengan infeksi HIV menunjukkan keadaan yang sama seperti individu yang tidak terinfeksi
HIV, yaitu sifilis laten terjadi asimtomatik dan diagnosis ditegakkan atas dasar tes serologi sifilis yang
positif. Sifilis laten diklasifikasikan sebagai laten dini (<1 tahun), laten lanjut (>1 tahun), atau sifilis
laten dengan durasi yang tidak diketahui.4,15,17,32,33

Sifilis Tersier (S III)

Stadium S III terjadi beberapa bulan sampai beberapa tahun setelah sifilis laten. Sifilis tersier
merupakan infeksi kronik sifilis dengan perjalanan progresif yang akan menyebabkan gangguan fungsi
dan/atau kerusakan berbagai sistem organ. Sifilis tersier merupakan penyakit serius dan dapat
menyebabkan kematian pada pasien yang tidak diterapi. Manifestasi yang paling sering adalah
neurosifilis, sifilis kardiovaskular, dan guma.4,15,17,20 Pada pasien HIV-positif, progresivitas menjadi
guma dan neurosifilis lebih cepat terjadi.1,34
- Guma
Patogenesisnya belum jelas, tetapi diduga guma terjadi sebagai respons hipersensitivitas
terhadap antigen Treponema di jaringan. Lesi berbentuk nodus atau plak berwarna merah gelap dengan
diameter antara beberapa milimeter hingga sentimeter. Lesi mula-mula kenyal, tetapi kemudian
melunak seiring dengan terjadinya nekrosis jaringan. Guma dapat melibatkan organ dan jaringan
pendukung di sekitarnya dan dapat bersifat destruktif.17,20,33
Pemeriksaan histologis dari lesi mendukung diagnosis dan T. pallidum dapat diidentifikasi
dari nodus dengan pemeriksaan imunofluoresen.35 Progresivitas untuk terjadi guma sangat cepat pada
pasien dengan infeksi HIV.*

- Neurosifilis
Lynn, dkk.1 melaporkan bahwa insidens neurosifilis pada pasien HIV-positif yang tidak
mendapat terapi sifilis sebesar 23,3%, sedangkan pada pasien HIV-negatif hanya 10%. Neurosifilis
dapat terjadi setiap saat setelah infeksi inisial akibat penyebaran spirochaeta ke susunan saraf pusat.
Pada individu dengan infeksi HIV, neurosifilis lebih sering terjadi pada awal periode infeksi sifilis, saat
S II atau S laten.4,32 Neurosifilis sebaiknya dipertimbangkan dalam diagnosis banding penyakit
neurologis pada individu terinfeksi HIV.36 Gejala neurologis yang timbul yaitu abnormalitas saraf
kranial (terutama kelumpuhan otot ekstraokular atau otot wajah, tinitus atau hilangnya pendengaran)
dan gejala meningitis. Uveitis atau penyakit mata lain dapat berhubungan dengan neurosifilis. 4,35

- Kardiovaskular
Berbeda dengan neurosifilis, laporan tentang keterlibatan vaskular pada pasien sifilis dengan
infeksi HIV hanya sedikit. Kelainan tersebut berupa aneurisma arteri, keterlibatan arteri karotis
komunis dan aorta abdominal. 1 Gejala yang timbul dapat berupa angina.20

Tulang dan sendi


Artritis dapat menjadi manifestasi awal sifilis pada pasien dengan infeksi HIV. Sinovitis dapat
terjadi yang menandakan penurunan jumlah limfosit CD4+.1 Komplikasi S I atau S II berupa osteitis
dan osteomielitis jarang terjadi pada pasien dengan atau tanpa infeksi HIV. Nyeri tulang merupakan
gejala umum keterlibatan tulang. Lesi litik dapat terjadi. Osteitis tulang tengkorak pernah dilaporkan
pada pasien infeksi HIV seperti osteitis ulnaris dengan komplikasi fraktur patologis. 1

DIAGNOSIS

Diagnosis sifilis pada pasien terinfeksi HIV didasarkan kriteria konvensional,


yaitu30,34 :
1. Demonstrasi T. pallidum
(dari lesi atau kelenjar getah bening yang terinfeksi pada sifilis dini)
Mikroskop lapangan gelap (dark field microscopy)
Direct fluorescent antibody (DFA) test
Untuk lesi oral atau lainnya yang sering terkontaminasi dengan Treponema komensal.
Polymerase chain reacion (PCR) test
Untuk lesi oral atau lainnya yang sering terkontaminasi dengan Treponema komensal.

2. Tes serologi sifilis (TSS)


Tes nontreponemal / Tes cardiolipin (reagen):
Venereal Disease Research Laboratory test (VDRL), rapid plasma reagin (RPR).

Tes treponemal / Tes spesifik:


Treponema pallidum haemaglutination test (TPHA), Treponema pallidum particle
agglutination test (TPPA), fluorescent treponemal antibody absorption test (FTA-abs),
microhemagglutination assay for antibodies to Treponema pallidum (MHA-TP), treponemal
enzyme immunoassay (EIA) untuk deteksi imunoglobulin G (IgG), imunoglobulin G dan M
(IgG dan Ig M), atau imunoglobulin M (IgM).
__________________
*) Dikutip dari kepustakaan 34
Pemeriksaan biopsi lesi, pemeriksaan mikroskop lapangan gelap, atau tes DFA dapat
membantu diagnosis sifilis dalam keadaan gejala klinis mendukung, namun tes serologis tidak reaktif
ataupun interpretasi yang tidak jelas.36
World Health Organization (WHO) sampai tahun 1982 masih merekomendasikan
pemeriksaan VDRL/RPR dan TPHA sebagai screening sifilis. Rekomendasi terbaru WHO,
pemeriksaan EIA sebagai alternatif yang tepat untuk menggantikan VDRL/RPR dan TPHA sebagai
screening sifilis.37

TES SEROLOGI SIFILIS PADA INFEKSI HIV

Respons serologis yang berbeda terjadi pada pasien sifilis dengan infeksi HIV dibandingkan
dengan HIV-negatif. Perbedaan tersebut adalah: 1) peningkatan hasil tes serologi negatif pada S I dan S
II, 2). peningkatan hasil negatif palsu dari tes antibodi nontreponemal karena fenomena prozon, 3).
rasio yang tinggi terhadap kegagalan untuk menghilangkan antibodi nontreponemal, 4). serokonversi
menjadi negatif tes antibodi spesifik Treponemal setelah terapi.
Produksi antibodi terhadap antigen T. pallidum terjadi lebih lambat pada pasien HIV-positif,
sehingga terjadi peningkatan hasil tes serologi negatif pada S I dan S II. 27
Pasien dengan infeksi HIV mengalami disregulasi sel-B poliklonal nonspesifik yang
menyebabkan titer serologi tes nontreponemal lebih tinggi. Peningkatan titer ini berpengaruh terhadap
spesifisitas tes serologi nontreponemal karena akan menyebabkan kemungkinan yang lebih besar hasil
positif palsu biologis pada pasien HIV-positif.30,38 Hasil positif palsu pada tes nontreponemal juga
dapat terjadi pada keadaan sindrom antifosfolipid, karena kardiolipin yang biasa digunakan pada
pemeriksaan VDRL dapat bereaksi dengan antibodi antifosfolipid. 39 Keadaan lain yang menyebabkan
hasil positif palsu pada tes serologi nontreponemal yaitu infeksi virus, infeksi bakteri, infeksi protozoa,
penyakit autoimun, dan penggunaan obat-obat narkotika.17 Lebih lanjut, peningkatan titer ini
mengakibatkan fenomena prozon karena titer antibodi yang sangat tinggi menyebabkan hasil tes
nontreponemal menjadi negatif palsu. Fenomena ini biasanya terjadi pada S II. Hal ini dapat diatasi
dengan mengencerkan spesimen. Kejadian ini lebih sering pada pasien terinfeksi HIV. 30,38
Beberapa ahli berpendapat, hasil tes nontreponemal yang positif, terutama dengan titer >1:8,
sebaiknya diinterpretasikan sebagai indikasi infeksi aktif. Perlu dilakukan tes secara berkala untuk
memastikan ada atau tidaknya keterlambatan seroaktivitas sebagai tes konfirmasi. Namun, yang lebih
menjadi perhatian adalah tes diagnostik untuk S I, karena hasil yang negatif belum dapat
menyingkirkan kemungkinan sifilis.30
Pada pasien HIV-positif, penurunan titer serologis tes nontreponemal setelah terapi lebih
rendah dibandingkan dengan pasien HIV-negatif. Perbedaan tersebut jelas terlihat jika titer awal
serologis tes nontreponemal sebelum terapi 1:32. Jarak waktu antara terapi dan penurunan titer dua
kali lipat, lebih lama pada pasien HIV-positif dibandingkan dengan pasien HIV-negatif.40
Pada pasien HIV dengan disfungsi imunitas yang progresif dan jumlah sel limfosit T CD4+
<200 /l, tes treponemal tidak tepat dilakukan untuk identifikasi infeksi sifilis karena sensitivitas tes
treponemal hanya 62% pada pasien HIV-positif yang simtomatik.41
Antibodi spesifik Treponemal akan selalu positif seumur hidup hampir pada seluruh kasus
pasien sifilis tanpa infeksi HIV meskipun telah berhasil diterapi. Namun, pasien sifilis dengan HIV
simtomatik, sifilis episode tunggal, VDRL 1:32, dan perbandingan sel limfosit CD4+ dan CD8 0,6,
akan mengalami serokonversi menjadi negatif terutama tes serologi antibodi spesifik treponemal.1,41
Beberapa hal yang menyebabkan hasil positif palsu pada tes treponemal antara lain adalah
lupus eritematosus sistemik, malaria, mononukleosis infeksiosa, hepatitis infeksiosa, lepra lepromatosa,
bruselosis, pneumonia atipikal, tuberkulosis miliar, tifoid, kehamilan, dan infeksi treponemal lain
(frambusia, pinta, bejel).17
Pada pasien terinfeksi HIV sangat sulit untuk membedakan penyebab peningkatan titer
serologis tes sifilis yang terjadi. Oleh karena peningkatan titer dapat terjadi karena infeksi baru, terapi
yang tidak tepat, atau karena infeksi HIV itu sendiri.30
Karena diagnosis sifilis dengan pemeriksaan serologis lebih sulit pada pasien terinfeksi HIV,
sebaiknya dipertimbangkan pemeriksaan laboratorium langsung terhadap lesi yang dicurigai.
Permeriksaan yang dilakukan yaitu mikroskopik lapangan gelap (dark field microscopy) dan biopsi
pada lesi untuk pemeriksaan histopatologi.1,30 Namun, masih banyak pusat pelayanan kesehatan yang
tidak memiliki sarana pemeriksaan mikroskop lapangan gelap, tes DFA, dan tes PCR (sensitivitas
95%), sehingga terkadang sifilis pada pasien HIV-positif tidak terdiagnosis.30
ANALISIS CAIRAN SEREBROSPINAL

Sebelum ditemukan penisilin, pemeriksaan cairan serebrospinal (CSS) dengan cara pungsi
lumbal (PL) rutin dilakukan pada pasien sifilis untuk menentukan durasi terapi. Namun, pada awal
abad ini, diketahui keuntungan pemeriksaan CSS yaitu dapat memprediksi perkembangan gejala
neurosifilis. Abnormalitas CSS seperti pleiositosis dan peningkatan konsentrasi protein terjadi pada
70% sifilis dini.3
Centers for Disease Control and Prevention (CDC) merekomendasikan pemeriksaan CSS
pada pasien dengan gejala / tanda neurologis dan oftalmikus, kejadian S III aktif (misalnya aortitis,
guma, iritis), kegagalan terapi, infeksi HIV dengan sifilis laten atau sifilis dengan durasi yang tidak
diketahui (PL dilakukan sebelum terapi penisilin). Pungsi lumbal juga diindikasikan untuk semua
pasien dengan sifilis laten dan tes serologi non-treponemal 1:32. Jika hasil pemeriksaan CSS
menunjukan abnormalitas yang sesuai neurosifilis, terapi untuk neurosifilis direkomendasikan. 3
Pada pasien terinfeksi HIV terjadi peningkatan risiko neurosifilis, kegagalan terapi dan
relaps, namun angka prevalensi yang pasti masih belum diketahui. Diagnosis neurosifilis pada
pasien infeksi HIV sulit, karena pengaruh sifilis dan HIV terhadap CSS menyebabkan abnormalitas
CSS.3,42
Cairan serebrospinel (CSS) dengan pleiositosis >5 sel/L dan peningkatan kadar protein
mendukung neurosifilis. Namun, infeksi HIV sendiri dapat menyebabkan pleiositosis dan peningkatan
konsentrasi protein yang mungkin tidak dapat dibedakan dengan neurosifilis. Pleiositosis >20 sel/L
lebih mungkin disebabkan oleh infeksi spirochaeta daripada infeksi HIV.3,4,43
Titer VDRL-CSS yang reaktif mengkonfirmasi diagnosis neurosifilis. Pemeriksaan ini sangat
spesifik, namun kurang sensitif. Nilai sensitivitasnya hanya 39%. Hasil positif palsu titer VDRL-CSS
terjadi karena kontaminasi darah pada trauma PL. Meskipun terdapat keterbatasan pemeriksaan VDRL-
CSS, namun pemeriksaan ini dapat dijadikan tes acuan untuk diagnosis neurosifilis secara
laboratoris.3,4
Beberapa ahli merekomendasikan pemeriksaan fluorescent treponemal antibody absorption
test (FTA-abs) untuk CSS. Pemeriksaan ini kurang spesifik untuk neurosifilis dibandingkan dengan
VDRL-CSS, tetapi lebih sensitif. Sehingga beberapa ahli mengambil kesimpulan bahwa hasil CSS
FTA-abs negatif menyingkirkan diagnosis neurosifilis.3,42
Dalam 1 tahun pleiositosis dan titer VDRL-CSS akan normal pada pasien tanpa infeksi HIV
dengan terapi standar neurosifilis menggunakan rejimen penisilin. Sementara itu pasien dengan infeksi
HIV, hitung jumlah leukosit, kadar protein, dan titer VDRL dalam CSS menjadi normal secara
perlahan. Titer VDRL-CSS kecil kemungkinannya untuk normal setelah terapi standar penisilin. Dan
titer VDRL-CSS lebih sulit untuk kembali normal jika jumlah CD4+ 200 /L dibandingkan dengan
jumlah CD4+ >200 /L. Oleh karena itu pada pasien sifilis dengan infeksi HIV, sulit menyingkirkan
kegagalan terapi sehingga diindikasikan pemberian rejimen terapi yang lebih intensif.3
Treponema pallidum tidak dapat dikultur langsung dari CSS, sehingga keberhasilan terapi
neurosifilis dilihat dari normalisasi petanda CSS yaitu jumlah leukosit, kadar protein dan titer VDRL.
Kadar protein CSS tidak terlalu baik untuk dijadikan indikator keberhasilan terapi neurosifilis karena
menurun lebih perlahan dibandingkan jumlah leukosit dan titer VDRL. Titer VDRL-CSS reaktif yang
menetap setelah terapi tidak terlalu penting dalam menilai respons terhadap terapi dibandingkan hitung
jumlah leukosit. Menurut CDC, keberhasilan terapi dilihat dari penurunan jumlah leukosit dalam 6
bulan dan normalisasi kadar CSS yang lainnya dalam 2 tahun. Namun, besarnya angka penurunan
belum diketahui dengan pasti.3

TERAPI

Pada dasarnya terapi sifilis pada pasien terinfeksi HIV secara umum sama dengan pasien
tanpa infeksi HIV, bergantung pada stadium dan ada atau tidaknya neurosifilis.4 Namun, pasien dengan
infeksi HIV sering mengalami abnormalitas neurologis yang sulit dibedakan dengan neurosifilis.
Sehingga sebagian ahli berpendapat pengobatan neurosifilis sebaiknya diberikan kepada semua pasien
HIV-positif dengan infeksi sifilis.34
Pasien HIV-positif pada stadium sifilis dini mempunyai risiko gagal terapi menggunakan
rejimen penisilin benzatin, namun tidak terdapat penelitian controlled trial dengan rejimen terapi
apapun untuk sifilis lanjut. Menurut CDC (1998) individu asimtomatik dengan ko-infeksi HIV dan
sifilis lanjut yang umumnya disertai dengan keterlibatan neurologis sebaiknya diterapi dengan rejimen
penisilin prokain.35
Banyak ahli berpendapat bahwa pasien sifilis stadium dini dengan infeksi HIV sebaiknya
diterapi dengan penisilin dosis lebih tinggi dari dosis yang direkomendasikan oleh CDC, karena invasi
T. pallidum pada susunan saraf pusat terjadi pada sifilis stadium dini.44

Sifilis Dini

Infeksi HIV tidak mengubah respons sifilis dini terhadap terapi, sehingga CDC tetap
merekomendasikan penisilin benzatin 2,4 juta unit, intramuskular (IM), dosis tunggal,4,32,34,45 atau dapat
diberikan penisilin prokain 750.000 unit, IM, setiap hari, selama 10 hari. 34 Terdapat beberapa kasus
individu HIV-positif dengan S I dan S II yang diterapi dengan penisilin benzatin memiliki progresivitas
cepat menjadi neurosifilis. Penemuan klinis ini didukung dengan menetapnya treponema di dalam CSS
pada pasien terinfeksi HIV setelah terapi. Sehingga di beberapa tempat berpedoman bahwa terapi
minimal untuk S I dan S II tanpa keterlibatan neurologis pada pasien terinfeksi HIV sebaiknya dengan
penisilin benzatin 2 dosis, masing-masing 2,4 juta unit, interval 1 minggu, dan dosis ketiga dapat
dipertimbangkan. Dapat pula diberikan terapi penisilin prokain 1,2 juta unit, IM, setiap hari, selama 10
hari.28,32 Bordon dkk.44 melaporkan pemberian penisilin benzatin 2,4 juta unit, tiga kali seminggu,
memberikan respons yang baik terhadap klinis dan serologis pasien sifilis stadium dini dengan infeksi
HIV.
Alternatif pada kondisi alergi penisilin adalah4,34:
Doksisiklin, 100mg, oral, 2x/hari, selama 14 hari.
Eritomisin, 500 mg, oral, 4x/hari, selama 14 hari.
Tetrasiklin, 500mg, oral, 4x/hari, selama 14 hari. Namun, terapi ini terdapat kegagalan dalam
menormalkan kembali CSS, sehingga tidak direkomendasikan.
Ceftriakson, 1g, IM atau intravena (IV), setiap hari, selama 8-15 hari.
Azitromisin, 2g, dosis tunggal, dilaporkan angka kegagalan terapi tinggi. Rejimen ini sebaiknya
digunakan hanya jika pilihan lain tidak dapat digunakan dan dilakukan pemantauan yang ketat.

Sifilis laten lanjut

Kira-kira 5-30% pasien terinfeksi HIV dengan titer RPR 1:8 tanpa gejala klinis sifilis, dan
mempunyai CSS abnormal yang sesuai dengan neurosifilis.32 Jika pemeriksaan CSS normal maka
diterapi dengan penisilin benzatin, 2,4 juta unit, IM, setiap minggu, selama 2 atau 3 minggu. Dosis total
7,2 juta unit.4,32,45 Atau dapat diberikan penisilin prokain 750.000 unit, IM, setiap hari, selama 17
hari.35 Pada alergi penisilin dapat dilakukan desensitisasi penisilin. Sebagai alternatif, diberikan
doksisiklin 100mg, oral, 2x/hari, selama 28 hari.4,35 Jika hasil CSS positif, terapi sesuai dengan
neurosifilis.32
Kofoed dkk. melaporkan bahwa doksisiklin dapat menjadi pilihan terapi yang baik untuk S I,
S II, S laten dini dan S laten lanjut pada pasien sifilis dengan koinfeksi HIV. Namun, angka kegagalan
terapi masih tetap terjadi. Respons serologis untuk sifilis sebaiknya dimonitor dengan baik. 36

Neurosifilis

Terapi ini diterapkan pada semua stadium sifilis dengan gejala neurologis dan okular atau
pemeriksaan CSS neurosifilis. Idealnya pasien dirawat dan diberikan penisilin IV dalam pengawasan
ketat. Pasien dengan alergi penisilin jika memungkinkan dilakukan desensitisasi.4,45
Terapi lini pertama adalah penisilin prokain, 2-2,4 juta unit, IM, sekali sehari, ditambahkan
probenesid 500mg, oral, 4x/hari, selama 10-17 hari.4,35,45 Rejimen alternatif dapat diberikan kristal
penisilin G dalam aqua, 18-24 juta unit perhari (3-4 juta unit setiap 4 jam, atau infus kontinu), selama
10-14 hari.4, Dapat juga diberikan benzil penisilin, 1,8-2,4 juta unit perhari (0,3-0,4 juta unit setiap 4
jam, atau infus kontinu), selama 17 hari.35
Lini kedua adalah doksisiklin 200mg, oral, 2x/hari, selama 28 hari atau amoksisilin 2g, oral,
3x/hari ditambahkan probenesid 500mg, oral, 4x/hari, selama 28 hari. Seluruh pasien dengan
neurosifilis dipertimbangkan untuk pemberian kortikosteroid pada awal terapi untuk menghindari
reaksi Jarisch-Herxheimer.35
Bordon dkk.44 melaporkan bahwa penisilin merupakan terapi efektif untuk pasien sifilis
dengan infeksi HIV pada semua stadium. Setelah terapi, seluruh pasien menjadi asimtomatik dan titer
tes RPR menjadi negatif atau menurun.
REAKSI JARISCH-HERXHEIMER

Reaksi Jarisch-Herxheimer merupakan respons sistemik akut yang berhubungan dengan


pelepasan antigen treponemal dan endotoksin setelah pengobatan dalam 24 jam. Biasanya dimulai 2-8
jam setelah pengobatan penisilin dosis pertama. Lebih sering terjadi pada sifilis dini dibandingkan
sifilis lanjut. Reaksi tersebut tidak penting, kecuali terdapat keterlibatan neurologis, oftalmologis,
ataupun terjadi pada wanita hamil (dapat menyebabkan fetal distress ataupun kelahiran prematur).
Angka kejadiannya lebih sering pada pasien terinfeksi HIV. Rolf dkk.* melaporkan reaksi Jarisch-
Herxheimer terjadi pada 22% pasien terinfeksi HIV, dibandingkan hanya 12% pada pasien tanpa
infeksi HIV. Gejala menyerupai flu yaitu demam, malaise, artralgia, kecenderungan limfadenopati,
perburukan ruam kulit dan lesi mukokutan. Reaksi akan menyembuh dalam 24 jam.4,30,35 Reaksi ini
dapat dihindari dengan pemberian prednison 10-20mg, 3x sehari, selama 3 hari, dimulai 24 jam
sebelum terapi sifilis diberikan.20

TINDAK LANJUT

S I dan S II

Pasien sifilis yang terinfeksi HIV sebaiknya dievaluasi secara klinis dan serologis untuk
memantau terjadinya kegagalan terapi pada bulan ke-3, 6, 9,12, dan 24 setelah pengobatan.
Keberhasilan terapi ditandai dengan penurunan titer RPR atau VDRL pada 6-12 bulan setelah terapi.
Jika tidak terjadi penurunan titer kemungkinan disebabkan karena kegagalan terapi atau reinfeksi. 4,36
Relaps atau reinfeksi ditandai dengan peningkatan titer RPR atau VDRL 4x lipat.42 Meskipun tidak
terbukti bermanfaat, beberapa ahli merekomendasikan dilakukan PL untuk pemeriksaan CSS 6 bulan
setelah terapi. Pemeriksaan CSS dan pengobatan ulang dilakukan untuk pasien terinfeksi HIV yang
mengalami kegagalan terapi atau tidak terdapat penurunan titer tes nontreponemal 6-12 bulan setelah
terapi.4,36

Sifilis laten

Pasien sebaiknya dievaluasi secara klinis dan serologis pada bulan ke-6, 12, 18, dan 24 setelah
terapi. Keberhasilan terapi ditandai oleh penurunan titer RPR atau VDRL pada 12-24 bulan setelah
terapi. Jika tidak terjadi penurunan titer kemungkinan disebabkan karena kegagalan terapi atau
reinfeksi. Pengaturan terapi disesuaikan berdasarkan hasil pemeriksaan tersebut. 4,36

PENUTUP

Sifilis akan meningkatkan risiko penularan HIV. Pasien sifilis dengan infeksi HIV lebih sering
datang pada stadium penyakit yang lebih lanjut dan gejala klinis yang tidak khas. Untuk itu diperlukan
pemeriksaan serologis yang teliti dan kemampuan dokter yang baik dalam mendiagnosis sehingga
dapat dilakukan tatalaksana yang tepat bagi pasien.

__________________
*) Dikutip dari kepustakaan 30
DAFTAR PUSTAKA

1. Lynn WA, Lightman S. Syphilis and HIV: a dangerous combination. The Lancet Infectious Diseases Juli
2004; 4: 1061-8.
2. Dorigo-Zetsma JW, Belewu D, Meless H, Sanders E, Countinho RA, Schaap A, dkk. Performance of
routine syphilis serology in the ethiopian cohort on HIV/AIDS. Sex Transm Infect 2004; 80: 96-9.
3. Chan DJ. Syphilis and HIV co-infection: when is lumbar puncture indicated ?. Current HIV Research
2005; 3: 95-98.
4. AIDS Education & Training Centers National Resource Center. Clinical manual for management of the
HIV-infected adult, 2005 edition. Terakhir diperbarui 2006. Tersedia dari: http://www.aidsetc.org
5. Marra MC. Syphilis and Human Immunodeficiency Virus. Arch Neurol 2004; 61:1505-08.
6. Primary and secondary syphilis among men who have sex with men New York city, 2001. Dalam:
Morbidity and Mortality Weekly Report 7th September 2002; 51:38.
7. Hopkins S, Lyons F, Coleman C, Courtney G, Bergin C, Mulcahy F. Resurgence in infectious syphilis in
Ireland. Sex Transm Dis 2004; 31: 317-21.
8. Simms I, Fenton KA, Ashton M, Turner KME, Crawley-Boevey EE, Gorton R, dkk. The re-emergence
of syphilis in United Kingdom: The new endemic phases. Sex Transm Dis 2005; 32: 220-6.
9. Laporan morbiditas poliklinik divisi Infeksi Menular Seksual RSCM tahun 2005.
10. Pisani E, Girault P, Gultom M, Sukartini N, Kumalawati J, Jazan S, dkk. HIV, syphilis infection, and
sexual practices among transgenders, male sex workers, and other men who have sex with men in
Jakarta, Indonesia. Sex Transm Infect 2004; 80: 536-40.
11. Statistik kasus HIV/AIDS di Indonesia 2004. Ditjen PPM dan PL Depkes RI.
12. Kassu A, Mekonnen A, Bekele A, Abseno N, Melese E, Moges F. HIV and syphilis infection among
elderly people in Northwest Ethiopia. J Infect Dis 2004; 57: 264-7.
13. Rihatmadja R. Proporsi kepositivan uji serologik terhadap virus herpes simpleks tipe 2 dan Treponema
pallidum pada pasien yang terinfeksi human immunodeficiency virus di poliklinik pokdisus AIDS
RSCM/FKUI Jakarta [tesis]. Jakarta: Univesitas Indonesia; 2006.
14. Baughh RE, Musher DM. Immune-mediated mechanism in syphilis. Dalam: Cunningham MW, Fujinami
RS, ed. Effect of microbes on the immune system. Philadelphia: Lippincot Williams & Wilkins; 2000. h.
219-32.
15. Stamm LV. Biology of Treponema pallidum. Dalam: Holmes KK, Mardh PA, Sparling PF, Lemon SM,
Stamm WE, Piot P, dkk, ed. Sexually transmitted diseases. Edisi ke-3. New York: McGraw-Hill; 1999.
h. 467-72.
16. Hutapea NO. Syphilis. Dalam: Daili SF, Indriatmi W, Zubier F, Judanarso J, ed. Infeksi menular seksual.
Edisi ke-3. Jakarta: Balai Penerbit; 2005. h. 70-87.
17. Sanchez MR. Syphilis. Dalam: Freedberg IM, Eisen AZ, Wolff K, Austen, et al, eds. Fitzpatricks
Dermatology in general medicine. 6th ed. New York: McGraw-Hill; 2003. h. 2163-88.
18. Dingel W. Syphilis. Tersedia dari: http://www.tjclarkinc.com
19. Weinstock GM, Hardham JM, McLeod MP, Sodergren EJ, Norris SJ. The genome of Treponema
pallidum: new light on the agent of syphilis. FEMS Microbiology Reviews 1998; 22: 323-32.
20. Goh BT. Syphilis in adult. Sex Transm Infect 2005; 81: 448-52.
21. Sellati TJ, Waldrop SL, Salazar JC, Bergstresser PR, Picker LJ, Radolf JD. The cutaneous response in
humans to Treponema pallidum lipoprotein analogues involves cellular elements of both innate and
adaptive immunity. J Immunol 2001; 166: 4141-40.
22. Theus SA, Harrich DA, Gaynor R, Radolf JD, Norgard MV. Treponema pallidum, lipoprotein, and
synthetic lipoprotein analogues induce human immunodeficiency virus type-1 gene expression in
monocytes via NF-B activation. J Infect Dis 1998; 177: 941-50.
23. Sellati TJ, Wilkinson DA, Sheffield JS, Koup RA, Radolf JD, Norgard MV. Virulent Treponema
pallidum, lipoprotein, and enhance their susceptibility to infection by human immunodeficiency virus
type-1. J Infect Dis; 181: 283-93.
24. Hyde RM. Immunodeficiency disorder. Dalam: Nieginski EA, Martinez JP, Linkins E, Siegfried D,
Bolger L, dkk, ed. Immunology. Edisi ke-4. Phyladelphia: Lippincott Williams & Wilkins; 2000. h. 149-
160.
25. E Rebecca, LaFond, Lukehart SA. Biological basis for syphilis. Cinical Microbiology Review January
2006; 19: 29-49.
26. Hutchinson CM, Hook EW, Shepard M, Verley J, Rompalo AM. Altered clinical presentation of early
syphilis in patients with Human Immunodeficiency Virus infection. Ann Intern Med 1994; 121: 94-9.
27. Gwanzura L, Latief A, Basset M, Machekano R, Katzenstein DA, Mason PR. Syphilis serology and HIV
infection in Harare, Zimbabwe. Sex Transm Inf 1999; 75: 426-30.
28. Kofoed K, Gerstoft J, Mathiesen LR, Benfield T. Syphilis and human immunodeficiency virus (HIV)-1
coinfection: influence on CD4 T-cell count, HIV-1 viral load, and treatment response. Sex Transm Dis
2006; 33: 143-8.
29. Sadiq ST, McSorley J, Copas AJ, Bennet J, Edwards SJ, Kaye S, dkk. The effects of early syphilis on
CD4 counts and HIV-1 RNA viral loads in blood and semen. Sex Transm Dis 2005; 81: 380-5.
30. Hall CS, Klausne JD, Bolan GA. Managing syphilis in the HIV-infected patient. Current Infectious
Disease Reports 2004; 6: 72-81.
31. Rompolo AM, Lawlor J, Seaman P, Quinn TC, Zenilman JM, Hook EW. Modification of syphilitic
genital ulcer manifestation by coexistent HIV infection. Sex Transm Dis 2001; 28: 448-53.
32. Musher DM. Early syphilis. Dalam: Holmes KK, Mardh PA, Sparling PF, Lemon SM, Stamm WE, Piot
P, dkk, ed. Sexually transmitted diseases. Edisi ke-3. New York: Mc Graw-Hill; 1999. h. 479-85.
33. Sparling PF. Natural history of syphilis. Dalam: Holmes KK, Mardh PA, Sparling PF, Lemon SM,
Stamm WE, Piot P, dkk, ed. Sexually transmitted diseases. Edisi ke-3. New York: McGraw-Hill; 1999.
h. 473-8.
34. Lewis D, Goh B, French P, Young H, Wilson H, Jenkins J, dkk. 2002 national guidlines on the
management of early syphilis. Terakhir diperbarui 2002. Tersedia dari: http://www.guideline.gov
35. Lewis D, Goh B, French P, Young H, Wilson H, Jenkins J, dkk. 2002 national guideline for management
of late syphilis. Terakhir diperbarui 2002. Tersedia dari: http:// www.guideline.gov
36. Disease characterized by genital ulcers 2002. Tersedia dari: http://www.cdc.gov
37. Young H. Guidelines for serological testing for syphilis. Sex Transm Dis 2000; 76: 403-5.
38. Jurado RL, Campbell J, Martin PD. Prozone phenomenon in secondary syphilis. Has its time arrived?.
Artikel dari Pubmed, 1993; 152: 21.
39. Tambunan KL. Sindroma antifosfolipid. Subbagian Hematologi-Onkologi Medik, Bagian Ilmu Penyakit
Dalam, FKUI-RSUPNCM, 2005.
40. Yinnon AM, Doniger PC, Polito R, Reichman RC. Serologic response to treatment of syphilis in patients
with HIV infection. Arch Intern Med 1996;156: 321-5.
41. Hass JS, Bolan G, Larsen SA, Clement MJ, Bacchetti P, Moss AR. Sensitivity of treponemal test for
detecting prior treated syphilis during human immunodeficiency virus infection. J Infect Dis 1990; 162:
862-6.
42. Fisher M, Nandwani R, Nelson M, Peters B, Radcliffe K, Williams I. Clinical standards for the screening
and management of acquired syphilis in HIV-positive adult. Terakhir diperbarui Februari 2002. Tersedia
dari: http:// www.guideline.gov
43. Marra CM, Tantalo LC, Maxwell CL, Dougherty K, Wood B. Alternative serebropinal fluid tests to
diagnose neurosyphilis in HIV-infected individuals. American Academy of Neurology 2004; 63: 110-14.
44. Bordon J, Vasquez CM, Aguado JF, Sopena B, Hermida AO, Torron JN, dkk. Response to standard
syphilis treatment in patients infected with human immunodeficiency virus. Clin Microbial Infect Dis
1999; 18: 729-32.
45. Centers for Disease Control and Prevention. Sexually transmitted disease treatmnt guidelines 2002.
MMWR 2002; 51: 20-32.

Alamat penulis:

Departemen IK. Kulit dan Kelamin


FKUI/RSUP Dr. CIpto Mangunkusumo
Jl. Diponegoro 71 Jakarta Pusat
Telp/Fax: 021 31935383

Email: Dr_fitria_irzan@yahoo.com

Anda mungkin juga menyukai