Anda di halaman 1dari 16

IJTIHAD PASCA IMAM MADZHAB

BAB I
A.PENDAHULUAN
Ijtihad pasca imam mazhab, secara langsung mellui tangan para murid yang telah berhasil
menyusun hasil Ijtihadnya dalam bentuk kitab fiqh sebagai panduan beramal. Ijtihad merupakan
kunci untuk menyelesaikan problem yang dihadapi oleh umat Islam sekarang dan yang akan
datang, ia merupakan sumber ketiga ajaran Islam setelah Al-,Quran dan Hadis, inilah yang
membuat Islam dinamis, sesuai dengan tempat dan zaman (shalihun likulli zaman wa makan).
Pandangan yang menitik beratkan tentang ijtihad yang di lakukan pasca imam mazhab adalah
adanya proses pembukuan ushul fiqh, berupa kitab matan, syarh, ataupun mukhtashar, yang
sebelumnya di promotori oleh al-Syafii, hal demikian begitu juga serupa dengan fiqh. Ijtihad di
periode ini lebih banyak dengan proses karya ilmiyahnya, mengingat kualitas dan kridibelitas
yang tak sejajar dengan mujtahid periode sebelumnya(mazhab).
B.LATAR BELAKANG
Penulisan makalah ini di latar belakangi karena sebagai bentuk pemenuhan tugas mata kuliah
ushul fiqh yang di bimbing oleh Prof. Dr. Kasuwi Saiban Mag. Di lain sisi penulisan makalah ini
di wujudkan karena sebagai bahan tolak ukur pembelajaran, seberapa besar pengetahuan dan
abilitas penyerapan ilmu pengetahuan yang tertuangkan dalam bentuk jurnalistik atau karya
ilmiah. Selain itu juga adanya ghirroh atau dorongan yang kuat dalam menuntut ilmu
pengetahuan yang tiada habisnya. spesifiknya lebih mengacu pada kajian ilmu ushul fiqh, yang
kali ini mendalami dalam tema ijtihad pasca imam mazhab.
C.RUMUSAN MASALAH
Pasca kurun imam-imam mazhab berakhir, ulama beranggapan bahwa pintu ijtihad telah
tertutup dan sangat di mustahilkan untuk berijtihad, serupa hal demikian terjadilah fase yang di
namakan fase disintegrasi atau masa taklid dan konsolodasi mazhab.Dengan adanya hal ini,
apakah benar pintu ijtihad telah tertutup pasca imam mazhab?, bagaimana bentuk ijtihad pasca
imam-imam mazhab?.
D.MANFAAT DAN TUJUAN.
Harapan penulis, makalah ini bermanfaat, bisa di pergunakan sebagai mana mestinya dan
sebagai bahan interview pemikiran dalam proses taallum al-tarbiyyah al-islami atau sebagai
muqorin(pembanding) pada sumber-sumber yang ada, sehingga kita bisa termotivasi untuk bisa
lebih baik dari pada sebelumnya atau sejajajar dari pada sebelumnya(khoirin au mitsliha), supaya
kita tidak tergolong dari orang-orang yang rugi,man kana yaumuhu khoirun min amsihi fahuwa
robihun.
E.METODE PENULISAN
Literatur penulisan makalah ini berdasarkan pada sistmatika pada buku-buku adopsi yang ada,
lebih mengacu pada sisi historisitas yang berlangsung dan termaktub pada sumber-sumber yang
ada, selain itu dalam pengembangannya penulis juga menggunakan metode eksploratif deduktif.

BAB II
PEMBAHASAN
Ijtihad Pasca Imam Imam Mazhab
di tulis oleh: Mujib1[1]
A.Sekilas pandangan tentang ijtihad dan mujtahid.
Secara etimologis, ijtihad berakar pada kata : ja ha da yang berarti: kesulitan atau
kesusahan Kata ijtihad berasal dari kata aljuhdu (dengan dhammah atau fathah huruf jiim
berarti kemauan dan kesulitan masyaqqah; kata ini sepola dengan nafah. Misalnya ungkapan
wajtahid fil amri yang berarti mencurahkan kemampuan dan daya mencapai sesuatu guna
mencapai apa yang diinginkan yang berupa tujuan akhir.
Para ushuliyyun (pakar ushul fiqh) dan fuqaha dalam mendefinisikan ijtihad berkata, Ijtihad
adalah mencurahkan segenap upaya untuk mendapatkan hukum syariat dari sumber aslinya..
1.Pembagian mujtahid.
a. Mujtahid Muthlaq, yaitu orang yang mampu menggali atau mengambil hokum-hokum cabang
dari dalil-dalilnya, dan mampu pula menerapkan metode dan dasar-dasar pokok yang ia susun
sebagai landasan ijtihajnya.Mujtahid ini terbagi menjadi dua yani mujtahid mutlaq mustaqil dan
mujtahid mutlaq muntasib2[2].

1[1] Penulis adalah mahasiswa semester satu STAIMA MAHAD ALI AL HIKAM MALANG 2011/2012.
b. Mujtahid Mazhab, Mujtahid ini juga terbagi menjadi dua macam, yani mujtahid takhrij dan
mujtahid tarjih3[3].
2. Sekilas pandangan tentang ijtihad pasca imam mazhab.
Banyak yang mengatakan bahwa pintu ijtihad masa pasca imam-imam mazhab telah tertutup,
hal yang di maksud demikian adalah tertutupnya berijtihad membuat dasar hokum(hujjah) baru
atau dengan mendirikan mazhab sendiri, hal tersebut dikarenakan minimnya seseorang yang
mempunyai ke ahlian yang sejajar dengan mereka, namun hakikatnya adalah bukan berarti
sepenuhnya pintu ijtihad tertutup, karena hokum itu bisa berubah tergantung zaman, tempat, dan
keadaan, jadi ada besar kemungkinan untuk bisa ber ijtihad, hanya saja sedikit kemungkinan
untuk bisa mencapai derajat mujtahid imam-mazhab(mujtahid muthlaq mustaqil).
Setelah mujtahid mazhab(mutlaq muntasib) berakhir, bukan berarti pintu ijtihad tertutup,
namun yang bisa diijtihadi oleh ulama pasca imam mazhab tidak sejajar dengan mereka , tidak
mudah bahkan mustahil seseorang membuat mazhab sendiri(ana mujtahidul mazhab)4[4].
Karena sumber-sumber hokum sudah di paparkan semuanya oleh mereka (mujtahid mazhab),
ijtihad yang bisa dilakukan pasca ini adalah dengan metode penuqilan dan muqoronatul mazahib.
B.Sejarah dan Aktifitas Tasyri Pasca Imam Imam Mazhab.
Masa pasca masa Imam Mazhab ini terbagi menjadi 2 yani; masa taklid dan konsolidasi
mazhab atau pada fase disintegrasi dan masa periode masa stagnasi dan kemunduran tasyridan
kebangkitan(periode pasca runtuhnya baghdad) hingga masa sekarang atau moder n.
1. Masa taklid dan konsolidasi mazhab atau pada fase disintegrasi.
Periode berlangsung dari abad (ke-IV H) hingga jatuhnya Baghdad (VII H). Pada periode ini,
aktifitas tasyri hanya berkutat pada era taklid dan pensyarahan hasil ijtihad para mujtahid

2[2] Mujtahid muthlaq mustaqil adalah orang-orang yang mampu menyusun metode dasar hokum
agama, tidak taklid(mengikuti) dasar hokum orang lain, mampu menggali hokum dari sumber pokoknya
dan dalil yang di tetapkan sebagai hujjah. Seperti imam-imam mazhab(mazhab arbaah). Mujtahid
muthlaq muntasib adalah orang yang mempunyai derajat Mujtahid muthlaq mustaqil, hanya saja mereka
tidak menyusun sendiri, tetapi menempuh jalan yang di tempuh oleh imam mereka, tidak taklid pada
imamnya, hanya saja menggunakan keterangan imamnya untuk penelitian sumber pengambilannya.
Misalnya dari mazhab SyafiI al-Muzani(w.264) dan dari Hanafiyah al-Hasan ibn Ziyad(w.204). Lihat: Prof.
Dr. Muhaimin, MA dkk, Kawasan Dan Wawasan Studi Islam, hal. 188

3[3] Prof. Dr. Muhaimin, MA dkk, Kawasan Dan Wawasan Studi Islam, hal.188-189

4[4] Dialog interaktif Gus M. Yusron Assidqy, selasa(malam rabu) 3 Januari 2012 di Mahad Ali al-HIkam
Malang.
periode sebelumnya(era imam imam mazhab). Di sisi politik , pada periode ini memunculkan
beberapa kejadian -kejadian penting; yang dimulai dengan pengaruh Bani Buwaihi(334-
447H/945-1055M)yang menguasai Persia kemudian, dilanjutkan oleh Bani Saljuk(447-
656H/1055-1258M) yang di pmpin oleh Nizamul Mulk dan di kalahkan oleh Dinasti
Hasysyasyin pimpinan Hasan Ibnu Sabah , meskipun Bani Saljuk sempat berdiri lagi namun
akhirnya di kalahkan total pada Perang Salib oleh Paus Urbanus II(1096-1099)5[5], dan di tutup
oleh penyerbuan besar -besaran dari pasukan Mongol yang membuat Baghdad hancur. Periode
ini berlangsung sekitar 4 abad , yaitu di mulai munculnya Bani Buwaihi di pemerintahan
Abbasiyah pada pertengahan abad ke 4 hingga runtuhnya Baghdad sebagai pusat pemerintahan
Dinasti Abbasiyah sekaligus pusat peradaban Islam pada abad ke 46[6].
1).Masa Taklid.
Semangat dan kemerdekaan ijtihad yang marak mewarnai aktifitas tasyri di berbagai periode
sebelumnya, seolah-olah lenyap dan diganti dengan semangat dan jiwa baru yang justru menjadi
titik awal kemunduran tasyri, yani taklid. Kalaupun ditemukan, adanya hanya praktek ijtihad
yang dilakukan oleh tokoh-tokoh tasyri generasi ini, namun yang ada hanyalah mujtahid
muqoyyad atau mazhab7[7]. mujtahid ini terbagi menjadi dua bagian, yani Mujtahid
Takhrij(Mujtahid Asbab al- Wurud), dan Mujtahid Tarjih(Mujtahid Fatwa)8[8] yang lebih
jelasnya pada sub bab berikutnya.
Faksionalisme atau sektarisme(pengelompokan) Mazhab juga tak dapat terelakkan. Tradisi ini
berkembang pesat menjamah hamper ke setiap sudut wilayah Islam, walaupun pada saat itu
fenomena faksionalisme mulai mengerucut hanya pada empat Mazhab Sunni(Hanafi, Maliki,
5[5] Prof. Dr. Muhaimin, MA dkk, Kawasan Dan Wawasan Studi Islam, hal. 228

6[6] Lihat :Tim KIP MHM Lirboyo 2006, Sejarah Tasyri Islam, hal. 4

7[7] Mujtahid muqoyyad atau mazhab adalah ulama yang mampu mencetuskan hokum-hokum yang
belum pernah di jelaskan oleh imam mazhab dengan tetap berpegang pada kaidah-kaidah ushul mazhab,
di antaranya; Ahmad Ibn Umar al-Kashsaf(w.261 M), Abu Jafar Ahmad al-Thahawi(w.380 M), Abu Hasan
al-Karkhi(260-340), al-Halwani, al-Sarakhsi, Ahmad Ibn al-Hasan al-BardaI, dan Qadli Khan. Dari
Hanafiyah; al-Abhari, Ibnu Abi Zaid al-Qairawani. Dari Malikiyah; Abu Ishaq al-Syairazi, al-Mawardi,
Muhammad Ibn Jarir al-Thabari, Abi Nashir, dan Ibn Huzaimah dari syafiiyah, dan Abu Ali Ibn Musa, Ibn
Ali Yala dari Hanabilah. Kelas III Aliyah 1997 MHM, Mengenal Isthilah Dan Rumus Fuqoha(Lirboyo,
Kediri:1997), hal 7;Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh(Beirut: Dar al-Fikr al-Muashir, cet.IV,
2002), juz I, hal 63

8[8] Prof. Dr. Muhaimin, MA dkk, Kawasan Dan Wawasan Studi Islam, hal. 189
Syafii, dan Hanbali) dan beberapa corak dari Mazhab Syiah. Mazhab-mazhab itulah yang
perode ini mulai menampilkan bentuknya yang sistematis dan mapan, sedang mazhab-mazhab
lain seperti al-AuzaI, Sufyan al-Tsauri, Ibn Abi Laila, Abu Tsaur, dan Laits ibn Sad, sedikit-
demi sedikit terkikis dan akhirnya hilang dari peredaran.Sejumlah tokoh-tokoh fiqh ternama juga
lahir di peiode ini, terutama di periode Bani Saljuk dan Dinasti Fathimiyah di Mesir, seperti al-
Karkhi, al-Juwaini, Imam al-Haramain, al-Ghazali, Ibn al-Arabi, Ibn Rusyd, Abu Ishaq al-
Isfirayini, al-RafiI, al-Nawawi, dan lain lain.
Selanjutnya, fenomena taklid dan faksionalisme mazhab menjadi ciri khas tersendiri di awal era
ini. Kemudian tradisi penambahan atribut berupa nama mazhab yang ditempatkan dibelakang
nama pribadi tokoh tertentu mulai menjamur, seperti sebutan al-SyafiI dan al-Syafiiyyah bagi
pengikut mazhab SyafiI, al-Hanafi dan al-Ahnaf bagi pengikut mazhab Hanafi, al-Maliki dan al-
Malikiyah bagi pengikut mazhab Maliki, dan al-Hanbali dan al-Hanabilah bagi pengiku mazhab
Hanbali.9[9]
Selain kedua karakter diatas, ciri utama tasyri era ini adalah dimulainya babak baru dikotomi
syariat dari sistem hokum Negara yang terjadi pasca intervensi politis Bangsa Mongol atas
wilayah Islam.Bangsa Mongol tidak lagi membolehkan berkembangnya syariat sebagai undang-
undang karena di nilai berpotensi subversif10[10].
a.Tradisi taklid .
Yang dimaksud dengan taklid disini adalah totalitas penerimaan rumusan hokum syariat Islam
dari seorang imam tertentu, dan anggapan bahwa ketetapan itu muthlak harus di ikuti oleh
muqollid, seolah-olah ada dalil nash yang mewajibkan hal itu11[11].
Dalam mendeskripsikan kondisi tasyri di periode ini, al-Hajwi berkata,tradisi taklid telah
menguasai para ulama. Mereka cukup puas dengan hanya bertaklid. Dan kondisi ini terus
berkembang, sebaliknya ijtihad kian hari semakin menghilang. Puncaknya terjadi pada
pertengaahan abad ke IV H. karena pada saat itu mayoritas ulama tela puas dengan
mendasari fiqh mereka pada fiqh Abu Hanifah, Malik, al-Syafii, dan Hanbal. Kontribusi

9[9] Abu Ameenah Bilal Philips, Asal Usul Dan Perkembangan Fiqh, ter. M. Fauzi Arifin(Bandung: Nusa
Media dan Nuansa, 2005), hal. 140

10[10] Karen Amstrong, Sepintas Sejarah Islam, ter. Ira Puspito Rini(Yogyakarta:Ikon Teralita, 2002),
hal.119

11[11] Muhammad Khudlari Bik, Tasyri al-Tasyri al-Islami(Surabaya:al-Hidayat, tt), hal. 323
pemikiran imam-imam tersebut di nilai menyamai nash al-Quran dan as-sunnah yang tidak
berani mereka tentang12[12].
Senada dengan al-Hajwi, Farouq Abu Zaid mengatakan, Kondisi rapuh yang menimpa dunia
Islam semenjak pertengahan abad ke IV H sampai runtuhnya kekuasaan Abbasiyah di Baghdad
membawa dampak yang hebat bagi rapuhnya fiqh. Akibatnya, tertutuplah pintu ijtihad dan
terbelenggunya pemikiran. Berkembanglah kemudian semangat taklid di kalangan pakar fiqh.
Dalam menyikapi berbagai permasalahan dan fenomena masyarakat, mereka tidak lagi
melakukan isthinbath al-ahkam secara langsung dari sumber hokum, al-Quran hadis. Mereka
lebih suka mengikat diri dengan pemikiran-pemikiran atau pendapat-pendapat
pendahulunya13[13].
b. Sebab-Sebab Taklid
Tumbuh dan berkembangnya mentalitas taklid pada periode ini di sebabkan oleh beberapa
faktor, baik internal atau eksternal. Diantara sebagian kecil faktor tersebut ialah14[14];
a. Instabilitas sosial politik.
b. Rumusan hokummazhab fiqh dianggap sudah pari purna.
c. Fanatisme bermazhab(Taashshub).
d. Melemahnya semangat ijtihad.
e. Tertutupnya pintu ijtihad.
2). Konsolidasi Mazhab.
Dalam hal ini, Khudlori Bik menyebutkan tiga fokus aktifitas tasyri ilmiyah pakar-pakar fiqh
periode ini; pertama, menganalisa alasan hokum(illat) yang dideduksikan oleh imam
mazhab;kedua, mentarjih(menyeleksi) berbagai pendapat mazhab ;ketiga, pembelaan terhadap
eksistensi mazhab15[15].
Fokus pertama lebih sering di lakukan ulama-ulama Hanafiyah, dengan cara:
memanfaatkan pengetahuan tentang illat hokum, menganalogiskan kasus baru dengan

12[12] Ahmad Ali Ilyan, Tarikh al-Tasyri wa al-Fiqh al-Islami(Riyadl:Dar Eshbelia, 2001), hal. 273

13[13] Lihat: Munim A.Sirry, Sejarah Fiqh Islam(Surabaya :Risalah Gusti, Cet.II, 1996hal.128

14[14] Lihat: Ilyan, Tarikh, hal. 274-276; Abd al-Wahhab Khalaf, Khulashah Tarikh al-Tasyri(Surabaya:al-
Haramain, Cet. VIII, tt), hal. 95-99; Ali Jumah Muhammad, al-Madkhal ila Dirasah al-Mazahib al-
Fiqhiyah(Kairo: Dar al-Salam, 2004), hal. 355-356; Philips, Asal, hal. 149-150

15[15] Khudlari, Tarikh, hal 320


permasalahan yang pernah terjamah hokumnya oleh pemikiran imam mazhab, serta
memanfaatkan kaidah ushul yang menjadi pedoman imam mazhab dalam berijtihad. Dari sinilah
dikenal isthilah mujtahid mazhab dan mujtahid takhrij. Termasuk dalam kategori pertama
(mujtahid mazhab16[16]) adalah; al-Hasan ibn al-Ziyad(Hanafiyah), Ibn al-Qosim dan
Ashab(Malikiyah), al-Buwaithi dan al-Muzani(Syafiiyah). Sedangkan kategori
kedua(mujtahid takhrij) adalah; al-Khashaf, al-Thahawi, dan al-Karkhi(Hanafiyah), al-Lakhmi,
Ibn al-Arobi, dan Ibn Rusd(Malikiyah), dan al-Ghazali serta Ishaq al-Isfirayini(Syafiiyah) 17
[17].
Fokus kedua adalah tarjih atau penyelesaian pendapat, yang di lakukan dengan dua
pendekatan, yani dari segi periwayatan dan dari segi diroyah(analisa substansi hokum). Dari
kedua corak ini,dalam fiqh kemudian dikenal dengan ahl al-tarjih atau mujtahij tarjih. diantara
ulama ini adalah; al-Qadwari dan Abu Bakr ibn Abd al-Jalil al-Marghainaini, pemilik buku
induk mazhab Hanafi yang terkenal, yani al-Hidayah. Sedangkan dari mazhab SyafiI di
antaranya adalah Imam al-Haramain18[18].
Fokus ketiga adalah upaya mengukuhkan eksistensi mazhab(konsolidasi mazhab) dengan cara
mengekspos atau mempublikasikan keunggulan dan kelebihan imam mazhab serta dengan
mengetahkan argument sebagai bukti akurasi hasil ijtihad imam mazhab dan mencari titik
kelemahan pendapat hokum yang bersebrangan dengan imam masing-masing19[19].
Selain ketiga fokus di atas, aktifitas lainya pada periode ini adalah upaya sistematika hokom-
hokum fiqih setiap mazhab, dengan mendokumentasikan dan menuliskan pemikiran mazhab,
membuat komentar(syarh), meringkas(mukhtashar), menguraikan kemusykilan berikut
kontraversinya(baik antara imam mazhab dengan muridnya ataupun dengan imam mazhab lain) 20
[20] , dengan kata lain, aktifitas tasyri selain dari ketiga fokus di atas di periode ini adalah;
a. Penulisan Fiqh.

16[16] Atau sama saja dengan mujjtahid muthlaq muntasib

17[17] Khalaf, Khulashah, hal. 99-100

18[18] Khalaf, Khulashah, hal. 101

19[19] Lihat :Tim KIP MHM Lirboyo 2006, Sejarah Tasyri Islam, hal. 301

20[20] Lihat: Jumah, al-Madkhal, hal. 356


Dalam perkembangannya, sistematika ini hanya berafiliasi pada kitab induk, seperti al-
Mudawwamah wa al-Mukhthalithah oleh Suhnun(w.240) murid Ali ibn al-Qasim(murid Asad)
revisi dari buku al-Asadiyah oleh Asad ibn al-Furat(w.212). Mereka adalah pengikut mazhab
Maliki dari Afrika Utara. Kemudian kitab al-Wadiah oleh Abd al-Malik ibn al-Hubaib, dan
al-Uthbah oleh al-Uthbi(murid Abd al-Malik ibn al-Hubaib).
Sedangkan dari mazhab Syafii, buku induknya ialah al-Umm karya imam Syafii, serta al-
Buwaithi dan al-Muzani, kedua-duanya mengarang kitab yang judulnya sama,yani al-
Mukhtashar. Ketiga kitab tersebut memuat pemikiran fiqh Syafiiyah ketika di Mesir, atau biasa
di kenl dengan qaul jadid.
Sedangkan dari mazhab Hanbali, buku fiqh yang paling masyhur pada msa ini ialah al-Mughni
karya Ibn al-Quddamah(w.620 H) dari Damaskus yang memuat berbagai macam persoalan fiqh
mazhab Hanbali tebalnya kisaran 10 jilid21[21]. Hingga Izz al-Din ibnAbd al-Salam
berkomentar Aku tidak puas dengan berbagai fatwa sampai aku memiliki al-Mughni.
b. Perkembangan dan Penulisan Ushul Fiqh.
Perjalan ushul fiqh pasca imam Syafii mengalami perjalanan signifikan di karenakan adanya
masa taklid dan konsolidasi di antara mazhab-mazhab, sejalan dengan hal ini kajian tentang
ushul fiqh hanya mengkaji ulang yang ada, kemudian mencurahkan segenap pemikiran untuk
saling menguatkan pendapat mazhab tersebut22[22].
Literatur penulisan yang mendominasi di pdriode ini terbagi menjadi dua corak. Pertama,
ushul fiqh mutakallimin yang banyak dilakukan ulama kalam, dengan landasan bahwa materi
ushul fiqh memiliki keterikatan dengan permasalahan furuiyah, dengan sistematika menitik
beratkan pada pentahqiqan(editorial) dan pemaparan argumentasi rasional sebagai bukti
kevalidan setiap dalil fiqh tanpa mendeskripsikan persoalan fiqhnya, karenanya ushul fiqh tidak
tunduk kepada fiqh, melainkan fiqh yang harus menyelaraskan dengan kaidah ushul. Kedua,
ushul fiqh Hanafiyah, yang banyak di pakai oleh kalangan ulama Hanafiyah, dalam metodiknya
mereka lebih menekankan pada persoalan-persoalan furuiyah, dengan ungkapan lain analisa
ushul fiqh sengaja dilakukan untuk memperkuat atau menjustifikasikan fiqh mazhab. Karena

21[21] Al-Maraghi, Pakar Fiqh, hal. 195-196

22[22] Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqh(Dar al-Fikr al-Arabi,1958), hal. 16-18
sifatnya yang demikian, ushul fiqh cenderung tunduk pada fiqh dan tidak menutup kemungkinan
berubahnya hokum fiqh sesuai perubahan yang telah ada23[23].
a). Buku- Buku Ushul Fiqh Mutakallimin.
Mula-mula yang di jadikan pijakan adalah al-Risalah, dengan adanya komentar(syarh) dan
penjelas isi al-Risalah, dintaranya oleh; Abu Bakr al-Syairafi(330H), Abu al-Walid Muhammad
ibn Abd Allah al-Naisaburi(w.365H), dan untuk masa baru ini oleh Imam al-Haramain(478H)
dan Muhammad Syakir. Setelah dua abad ke II , metode penulisannya berformat sistem naql
24
[24], kemudian dengan metode baru dengn format naql dengan banyak penguraian. Diantara
kitab-kitab ini adalah al-Mankhul min Taliqat al-Ushul, Syifa al-Ghalil fi Bayan Masalik al-
Talil, dan al-Mushtashfa karya Abu Hamid Muhammad ibn Muhammad ibn Ahmad al-
Ghazali(w.505H), murid Imam al-Haramain. Ketiga karya ini merupakan suatu kesatuan yang
saling melengkapi dan tak bisa di pisahkan. Hanya saja yang paling terkenal dan di publikasikan
adalah al-Mushtashfa yang terdiri dari dua jilid.
Perlu di ketahui bahwa buku-buku ushul fiqh mutakallimin adalah gabungan dari beberapa
mazhab, baik mazhab teologi yang diwakili Mutazilah ataupun dengan mazhb fiqh, berbeda
dengan ushul fiqh Hanafiyah atau fuqoha yang hanya di dominasi oleh mazhab hanafiyah saja.
b). Buku- Buku Ushul Fiqh Hanafiyah
Buku ushul fiqh yang menggunakan metode ushul fiqh Hanafiyah pertama kali di tulis
sepertiga pertama abad IV oleh Muhammad ibn Mahmud, yang populer dipanggil Abu Manshur
al-Maturidi(w.333H), pendiri mazhab teolog al-Maturidiyah dengan judul Maakhidz al-Syarai
yang masih berbentuk manuskrip. Sedangkan pertama kali yang menulis buku-buku ushul fiqh
Hanafiyah dari aliran mazhab Hanafiyah ialah Abu al-Hasan al-Karkhi(w.340H) yang berjudul
Risalah al-Karkhi yang populer dikenal dengan Ushul al-Karkhi yang juga masih berupa
manuskrip.
c. Perkembangan dan Penulisan Kaidah Fiqhiyah
Muhammad Yasin al-Fadani, mengatakan bahwa tokoh yang pertama kali membuka pintu
diskurs kaidah fiqh adalah Abu Thahir al-Dabbasi dari mazhab Hanafiyah, yang mengemas ke
dalam 17 kaidah termasuk al yaqinu la yuzalu bi al-syak , kemudian di susul oleh al-Qadli

23[23] Lihat :Tim KIP MHM Lirboyo 2006, Sejarah Tasyri Islam, hal. 305-306

24[24] Secara etimologi adalah memindah, mengalih, mengutip. Secara isthilah berarti pengutipan suatu
pendapat atau nash dari sumbernya secara langsung beserta riwayatnya.
Husain dari mazhab Syafiiyah yang membagi menjadi 4 kaidah pokok yani; al-yaqinu la
yuzalu bi al-syak, al-masyaqqotu tajlibu al-taisir, al-dlararu yuzalu, dan al adatu
muhakkamah25[25].
Sementara itu, Ali Jumah mengatakan bahwa buku pertama kali kaidah fiqhiyah adalah
Risalah al-Karkhi(w.340H) yang merumuskan 36 kaidah fiqh mazhab Hanafi, yang masing-
masing dinmai al-ushul .dan 17 diantaranya adalah koleksi Abu Thahir, yang kemudian ia
kembangkan menjadi 36 kaidah26[26].
Sekitar satu abad berikutnya, tokoh Malikiyah juga aktif mengembangkan dan menulis kaidah
fiqh, Abd al-Wahab al-Baghdadi(w.422H) dikenal sebagai penulis pertama kali kaidah fiqh dari
Malikiyah yang berjudul al-Nadlair, kemudian Ahmad ibn Idris al-Qarafi(w.684) dengan judul
Anwar al-Buruq fi al-Furuq yang memuat 548 buah kaidah.
Sedangkan mazhab Hanbali boleh dibilang tertinggal dari ketiga mazhab lainya, di akhir
periode ini Abu Abd Allah Muhammad ibn Abd Allah al-Samuri(w.616) tampil sebagai pelopor
penulisan buku kaidah fiqh mazhab Hanbali yang di beri judul al-Faruq.
d. Dialektika Mazhab, Embrio Ilmu Jadal
Dialektika dan perdebatan hokum antar mazhab memang sudah muncul bersamaan dengan
munculnya mazhab itu sendiri. kita tentu masih ingat perdebatan antara al-SyafiI dan
Muhammad ibn al-Hasan al-Syaibani(murid Abu Hanifah di Irak), atau polemic antara Malik di
Madinah dan Laits ibn Sad di Mesir yang terjadi pada masa Abbasiyah I. Hanya saja,
perdebatan yang terjadi saat itu tidak sampai menimbulkan pertikaian dan permusuhan, masing-
masing mujtahid termotivasi untuk mencari solusi hokum yang benar untuk menghasilkan
rumusan hokum syariat hokum yang valid dan sesuai dengan kandungan nash dan tuntutan
syariah. Mereka juga saling menghormati satu sama lain, al-Syafii sering memuji Muhammad
ibn al-Hasan al-Syaibani, padahal ia pakar hadis yang juga tokoh rivalnya al-SyafiI dalam setiap
forum diskuisi. aku tidak pernah melihat orang yang lebih pintar dari Muhammad ibn al-
Hasan, demikian kata al-Syafii27[27].
Berbeda dengan dealektika yang terjadi di era ini, motivasi yang ditujukan hanya pada
pembelaan mazhab masing-masing, bahkan ada yang sengaja pamer kebolehan berdebat untuk

25[25] Al- Fadani, al-Fawaid, juz.1, hal 70

26[26] Lihat :Jumah, al-Madkhal, hal 325

27[27] Khudlari, Tarikh, hal. 233-234, bandingkan: Jumah, al-Madkhal, hal. 82.
meraih pujian, dan penghargaan dari pemerintah28[28]. Bahkan ketika masa Buwaihi terjadi
pertikaian antara Sunni dan Syiah yang mengakibatkan pertumpahan darah, pada masa ini juga
terjadi perdebatan khilafiyah fiqh antara Syafiiyah, Malikiyah, danHanafiyah, sedangkan
Hanabilah dan mazhab-mazhab lain kurang mendapatkan perhatian serius.
Ibnu Khaldun mengatakan: sungguh, khilafiyah adalah ilmu yang mulia dan bermanfaat
untuk mengetahui sumber pengambilan hokum para imam serta dalil yang digunakan. Orang
yang berusaha menelaahnya akan terlatih dalam mengemukakan pemikiran yang di
inginkan29[29].
Dalam konteks khilafiyah ini, terdapat beberapa buku metode berdebat, diantaranya ialah al-
Tajrid karya Abu Hasan al-Baghdadi(w.428), al-Maakhidz karya al-Ghazali, al-Taliqat karya
Abu Zaid al-Dabusi, dan Uyunu al-Adilah karya Ibn al- Qashar.
Ibnu Khaldun mendefinisikan ilmu dialektika adalah sebagi disiplin ilmu pengetahuan tentang
pedoman atau kaidah-kaidah berdebat, baik yang mempertahankan pendapat ataupun yang
menolaknya, baik yang berhubungan dengan yurisprudensi(ijtihad) maupun masalah lainnya.
Buku pertama ilmu jadal adalah al-Irsyad karya Umaidi dengan format yang ringkas30[30].
2. Periode masa stagnasi dan kemunduran tasyridan kebangkitan(periode pasca runtuhnya
baghdad) hingga masa sekarang atau (656 -Abad 15 H/ 1258-Abad 21M).
1). Periode masa stagnasi dan kemunduran tasyri
Periode masa stagnasi, sebagai kelanjutan dari tradisi taklid yang tumbuh pada masa
sebelumnya , di susul kemudian dengan masa kebangkitan atas kesadaran umat dari
ketertinggalan mereka di berbagai bidang. Masa stagnasi yang berlangsung hingga kisaran abad
ke 12 merupakan masa ketika umat Islam hanya mengandalkan pemikiran imam -imam mazhab
terdahulu. Khudlari bik mengatakan, Tidak ada seorangpun yang(pasca periode imam mazhab)
yang mencapai skill mujtahid kecuali hanya sedikit dari mereka 31[31]. Ulama yang bisa
menggantikan mereka di antaranya; Izz al-Din ibn Abd al-Salam 32[32](w.660H), Ahmad Ibn
28[28] Khudlari, Tarikh, hal. 334

29[29] khaldun, Muqaddimah, 587

30[30] khaldun, Muqaddimah, hal.389

31[31] Muhammad Khudlari Bik, Tasyri al-Tasyri al-Islami(Surabaya:al-Hidayat, tt), hal.365-366.

32[32] Perintis kaidah fiqhiyah 4 menjadi menjadi satu yani, darul mafasid muqoddamun ala jalbil
mashalikh.
Taimiyah(w.728H), Taqi al-Din al-Subqi(w.756H), Taj al-Din al-Subqi(w.756H), Ibn al-Qayyim
al-Jauziyah(w.751H), Jalal al-Din al-Mahalli(w.864), Jalal al-Din al-Suyuthi(w.911H),dan lain
sebagainya.
I.Hal-hal yang menyebabkan stagnasi
i. Hancurnya Baghdad.
Secara praktis karena kota Baghdad dihancurkan oleh tentara mongol yang merupakan kota
kebudayaan dan pengetahuan Islam, berpengaruh hebat bagi kemunduran Islam pada periode
berikutnya, di samping itu juga, buju-buku perpustakaan dibakar dan juga karena adanya kendali
di bawah orang-orang komunis.
ii. Miskomunikasi ulama.
Kondisi semacam ini sangat kontras di era ini, Ulama Mesir jarang yang kenal dengan Ulama
Syam, begitu juga sebaliknya, di samping itu juga semangat berbagi keilmuan mulai berkurang,
di samping pancaran cahaya yang sudah mulai meredup.
iii. Intervensi ilmu-ilmu non-syariat
Masuknya penjajah eropa menjadikan dikotomi antar Negara dan syariat(sekularisme), begitu
juga undang-undang Islam diganti dengan undang-undang versi barat, hal ini berlangsung hingga
kini kecuali segelintir dari Negara-negara Islam, seperti Saudi Arab(Hanbali), Pakistan(Hanafi),
Iran(Syiah Jafari).
2). Periode masa kebangkitan(periode pasca runtuhnya baghdad) hingga masa sekarang atau
modern.
Munculnya tokoh-tokoh besar seperti, al-Nawawawy, Ibnu al-Taimiyyah, dan al-Syaukany-
tanpa menghilangkan rasa hormat pada mereka, ternyata belum mampu membangkitkan ghairah
umat untuk bangkit dari keterpurukan tersebut.
Walhasil kebangkitan mulai terlihat pada abad 12 hingga sekarang , yani ketika intelektual
Islam mulai melihat realitas yang menunjukkan bahwa hasil rumusan imam-imam masa lalu
meskipun banyak yang masih relevan namun banyak pula yang perlu ditinjau ulang. Hal itu
dilakukan demi terciptanya rumusan-rumusan hokum yang bisa menyesuaikan dengan realitas
kekinian . mulalah diadakan diskusi -diiskusi membahas perubahan dalam mazhab-mazhab fiqih.
Sehingga muncul beberapa tokoh pembaharu Islam seperti Muhammad Ibn Abd al-Wahab,
Muhammad Abduh, Jamaluddin al-Afghani, Hasan al-Banna, Abu al-Ala al-Maududi, Wahbah
al-Zuhaili,Yusuf Qardhawi, dan lain sebagainya .
Mujtahid ini biasa di kenal mijtahid kontemporer, mayoritas metode yang mereka gunakan
adalah dengan metode moqoronatul mazahib. untuk lebih jelasnya akan kita bahas pada pada
tema selanjutnya.
Mungkin hanya ini yang dapat kami(penulis) sampaikan, tentunya tak ada gading yang tak
retak, banyak kekurangan yang masih perlu di benahi, karena itulah kami mohon maaf yang
sebesar-besarnya.
Wa Allahu alamu bi al-shawab.

BAB III
KESIMPULAN
Banyak yang mengatakan bahwa pintu ijtihad masa pasca imam-imam mazhab telah tertutup,
hal yang di maksud demikian adalah tertutupnya berijtihad membuat dasar hokum(hujjah) baru
atau dengan mendirikan mazhab sendiri, hal tersebut dikarenakan minimnya seseorang yang
mempunyai ke ahlian yang sejajar dengan mereka, namun hakikatnya adalah bukan berarti
sepenuhnya pintu ijtihad tertutup, karena hokum itu bisa berubah tergantung zaman, tempat, dan
keadaan, jadi ada besar kemungkinan untuk bisa ber ijtihad, hanya saja sedikit kemungkinan
untuk bisa mencapai derajat mujtahid imam-mazhab(mujtahid muthlaq mustaqil).
Masa pasca masa Imam Mazhab ini terbagi menjadi 2 yani; pertama, masa taklid dan
konsolidasi mazhab atau pada fase disintegrasi dan kedua, masa periode masa stagnasi dan
kemunduran tasyridan kebangkitan(periode pasca runtuhnya baghdad) hingga masa sekarang
atau modern. Bentuk ijtihad yang di lakukan pasca imam mazhab adalah;
1.mujtahid mutlaq muntasib.
Hal ini ada sebagian ulama ada yang mengkategorikan kedalam mujtahid mazhab. metode
ijtihad ini lebih sering di lakukan ulama-ulama Hanafiyah, yani dengan cara: memanfaatkan
pengetahuan tentang illat hokum, menganalogiskan kasus baru dengan permasalahan yang
pernah terjamah hokumnya oleh pemikiran imam mazhab, serta memanfaatkan kaidah ushul
yang menjadi pedoman imam mazhab dalam berijtihad, menempuh jalan yang di tempuh oleh
imam mereka, tidak taklid pada imamnya, hanya saja menggunakan keterangan imamnya untuk
penelitian sumber pengambilannya, ulama yang termasuk dalam kategori ini (mujtahid mazhab)
diantaranya adalah; al-Hasan ibn al-Ziyad(Hanafiyah),Ibn al-Qosim dan Ashab(Malikiyah), al-
Buwaithi dan al-Muzani(Syafiiyah).
2. Mujtahid Mazhab takhrij.
Metode ijtihad sama dengan metode yang dilakukan mujtahid muthlak muntasib, diantara tokoh
yang tergolong Mujtahid Mazhab takhrij adalah; al-Khashaf, al-Thahawi, dan al-
Karkhi(Hanafiyah), al-Lakhmi, Ibn al-Arobi, dan Ibn Rusd(Malikiyah), dan al-Ghazali serta
Ishaq al-Isfirayini(Syafiiyah).
3. Mujtahid Mazhab tarjih.
Metode ijtihad ini adalah dengan mentarjih atau penyelesaian pendapat, yang di lakukan dengan
dua pendekatan, yani dari segi periwayatan dan dari segi diroyah(analisa substansi hokum).
Diantara ulama ini adalah; al-Qadwari dan Abu Bakr ibn Abd al-Jalil al-Marghainaini, pemilik
buku induk mazhab Hanafi yang terkenal, yani al-Hidayah. Sedangkan dari mazhab SyafiI di
antaranya adalah Imam al-Haramain.
DAFTAR PUSTAKA
Ilyan, Ahmad Ali, Tarikh Al-Tasyri Wa Al-Fiqh Al-Islami, Riyadl, Dar Eshbelia, 2001.
Karen Amstrong, Sepintas Sejarah Islam, Ter. Ira Puspito Rini, Yogyakarta, Ikon Teralita, 2002.
Prof. Dr. Muhaimin, MA Dkk, Kawasan Dan Wawasan Studi Islam, Jakarta, Kencana, 2007.
Sirry , Munim Ahmad, Sejarah Fiqh Islam, Surabaya, Risalah Gusti, Cet.II, 1996.
Tim KIP MHM Lirboyo 2006, Sejarah Tasyri Islam, Lirboyo, FPPI, 2006.
Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh, Beirut, Dar al-Fikr al-Muashir, 2002.
Zahrah, Muhammad Abu , Ushul Fiqh, Dar Al-Fikr Al-Arabi,1958.

Anda mungkin juga menyukai