Anda di halaman 1dari 8

JURNAL KOMPLIKASI ANESTESI

VOLUME 2 NOMOR 1, NOVEMBER 2014

LAPORAN KASUS

Penatalaksanaan Anestesi
pada Operasi Kraniotomi Cedera Kepala Berat

Inggita Dyah P, Sri Raharjo, Sudadi


*Staf Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif Fak. Kedokteran UGM Yogyakarta

ABSTRAK
Telah dilakukan penatalaksanaan anestesi pada wanita 38 tahun dengan diagnosis SDH akut et causa fraktur
temporoparietal dextra yang akan dilakukan tindakan craniotomi decompresi dan removal hematom. Dari
pemeriksaan didapatkan status fisik ASA III E dengan GCS E1VTM2. Anestesi dilakukan dengan General
Anestesi dengan teknik Rapid Sequence Intubation dan untuk pemeliharaan digunakan propofol continous
dan fentanyl continous tanpa penggunaan agen inhalasi dan N2O. Operasi berlangsung selama 155 menit
dengan hemodinamik stabil dan perdarahan kurang lebih 1000 cc. Post operasi pasien dirawat di PACU
tanpa dilakukan ekstubasi.

Kata kunci: cedera kepala, anestesi, kraniotomi

ABSTRACT
A 38 year old woman with diagnose of acute sub dural hematome because of right temporoparietal fracture
that would have decompression craniotomy dan hematome removal had been anesthesize. The patient was
ASA III E with the Glasgow Coma Scale E1VTM2. The tehnique was general anesthesia with rapid sequence
intubation, and propofol and fentanyl continus for the maintenance, without the use of inhalation agent and
N2O. The surgery duration was 155 minutes with stabile haemodynamic, the bleeding was 1000 cc. Post
surgery patients admitted to the PACU without performing extubation

Keywords: traumatic brain injury, craniotomy, anesthesia.

39
Jurnal Komplikasi Anestesi ~ Volume 2 Nomor 1, November 2014

PENDAHULUAN rumah sakit pasien mengendarai motor kemudian


Setiap tahunnya, cedera kepala menyumbang menabrak mobil. Riwayat makan dan minum
angka kematian dan cacat permanen yang terakhir tidak diketahui.
cukup besar. Bahkan di Amerika Serikat, cedera
kepala mencapai angka sepertiga kematian yang PEMERIKSAAN FISIK
berhubungan dengan trauma. Dari 1,7 juta kasus Keadaan Umum : Tampak lemah, T 128/55, Nadi 87x/
menit, RR 16x/menit, saturasi
cedera kepala, 52.000 mengalami kematian, 100%, GCS E1VTM2
275.000 dirawat di rumash sakit, 1,365 juta diobati Kepala/Leher : Pupil 5mm/3mm Reflek Cahaya-/-
Terpasang ETT no 7, kedalaman
dan dipulangkan dari ruang rawat darurat1. 21cm
Dokter anestesi terlibat secara menyeluruh Thorax : Cor: Suara 1-2 murni, bising (-),
dalam penanganan pasien cedera kepala, mulai reguler
Pulmo: vesikuler (+) normal,
di Unit Gawat Darurat (UGD), kamar bedah, dan wheezing -/-, ronkhi -/-
perawatan di Unit Terapi Intensif / Intensive Care Abdomen : Peristaltik (+) normal, tidak
terdapat nyeri tekan
Unit (ICU). Pengelolaan perioperatif ini memerlukan
Ekstremitas : Oedem (-)
pengetahuan yang mendalam mengenai fisiologi
otak yang normal dan patofisiologi cedera kepala
PEMERIKSAAN PENUNJANG
akut sehingga harus dimengerti tentang fisiologi
AL : 12.400 Albumin : 3,5 pH : 7,4
dan farmakologi dari aliran darah otak (Cerebral
AE : 3,81 SGOT : 55 pO2 : 68,4
Blood Flow/CBF), metabolisme cerebral, dan Hb : 11,2 SGPT : 39 pCO2 : 29,3
tekanan intrakranial (Intracranial Pressure/ICP) 2. Hmt : 32,5 BUN : 21.4 HCO3 : 19,4
Tujuan utama assesment dan manajemen AT : 177.000 Creatinin : 0,5 BE : -4
pasien dengan cedera kepala adalah Golongan : A GDS : 173 AaDO2 : 129,7
mempertahankan CBF yang adekuat serta PPT : 17,4/14,2 Natrium : 134 FiO2 : 0,3
mencegah iskemia serebral dan hipoksia. Pada INR : 1,27 Kalium : 3,6
pasien dengan cedera kepala, autoregulasi normal APTT : 30,6/29,3 Chlorida : 108
CBF menjadi hilang dan CBF menjadi proporsional
dengan cerebral perfusion pressure (CPP). Rontgen thorax: bronchopneumonia,cor normal
Obat ideal untuk pemeliharaan anestesi
harus mengurangi ICP, mempertahankan Head CT Scan:
pasokan oksigen ke otak, dan melindungi otak - ICH di lobus occipitoparietalis dextra
dari cedera iskemik. Tidak ada anestesi yang - SDH di lobus frontoparietotemporooccipitalis
memenuhi persyaratan tersebut, terutama untuk dextra
kasus cedera kepala. Pemilihan teknik daan obat - Herniasi subfalcine
anestesi bergantung pada pertimbangan patologi - Intraantral hematom
intrakranial dan kondisi sistemik seperti gangguan - Intranasal hematom
kardiopulmonal dan adanya trauma multipel3. - Contusional temporoparietal sinistra
- Subluksasi temporomandibular joint sinistra
LAPORAN KASUS
Pasien Ny.S, umur 50 tahun dengan diagnosis Assesment: Status Fisik ASA III E
SDH akut et causa fraktur temporoparietal kanan
rencana akan dilakukan tindakan Craniotomi TEKNIK ANESTESI: GA Intubasi
Dekompresi dan Removal Hematom. Premedikasi : Fentanyl 200 mcg , Lidocaine 80 mg
Induksi : Propofol 50 mg
ANAMNESIS Fasilitas Intubasi : Rocuronium 50 mg

Riwayat asma, alergi, hipertensi, diabetes Pemeliharaan : Fentanyl continous, Propofol


continous
mellitus disangkal. Dua jam sebelum masuk

40
Penatalaksanaan Anestesi pada Operasi Kraniotomi ...

Operasi berjalan selama 155 menit. Post dan ICP. Oleh karena itu, hiperventilasi dapat
operasi pasien ditransport ke post anesthesia care menyebabkan iskemia. Penurunan PaO2 akan
unit (PACU) tanpa dilakukan ekstubasi dan bantuan menyebabkan vasodilatasi dengan konsekuensi
repirasi dengan menggunakan ventilasi mekanik. terjadi peningkatan ICP4.
Hemodinamik durante operasi: Patofisiologi dan gejala sisa yang muncul pada
- Sistolik : 90 - 110 mmHg trauma kepala melibatkan baik cedera primer
- Diastolik : 50 - 60 mmHg maupun sekunder. Cedera primer disebabkan
- HR : 58 - 80 x per menit karena trauma awal yang mengakibatkan
- Saturasi : 9 8-100 % pengaruh fisik pada jaringan otak dari akselerasi ke
- Perdarahan : 500 cc deselerasi atau kekuatan perputaran dan mungkin
- Urin out put durante operasi: 1000 cc menyebabkan terjadinya retak tengkorak, kontusio
otak, hematom intrakranial (intraparenkim,
PEMBAHASAN epidural, dan subdural), atau cedera akson difus/
Tujuan utama assesment dan manajemen diffuse axonal injury (DAI) 5.
pasien dengan cedera kepala adalah DAI merupakan kerusakan akson yang luas
mempertahankan CBF yang adekuat dan yang disebabkan oleh kekuatan pergeseran karena
mencegah iskemia serebral dan hipoksia. Pada akselerasi dan deselerasi kepala yang cepat.
pasien dengan cedera kepala, autoregulasi normal Penyebab tersering adalah kecelakaan kendaraan
CBF menjadi hilang dan CBF menjadi proporsional bermotor, selain terjatuh, karena serangan, dan
dengan CPP yang ditentukan secara langsung oleh trauma lain bukan karena kecelakaan. Pasien
MAP dan ICP dengan rumus: dengan DAI pada umumnya mengalami penurunan
kesadaran setelah trauma, dan dapat berkembang
CPP = MAP ICP menjadi kondisi vegetatif yang menetap. Bila
pasien tersebut membaik, maka pada umumnya
Tengkorak adalah struktur yang kaku dengan mengalami gangguan kognitif 5.
kapasitas yang terbatas, yang terdiri dari 80% otak, Akhir-akhir ini, perhatian lebih difokuskan
10% darah, dan 10% cairan serebrospinal. Struktur- pada cedera sekunder yang signifikan dan
struktur ini tidak dapat dimampatkan, sehingga bagaimana outcome pada pasien dengan cedera
peningkatan volume karena sebab apapun, tanpa kepala. Proses inflamasi dan eksitotoksik yang
disertai pengurangan volume dari bagian yang lain mengikuti cedera, akan menghasilkan edema
akan meningkatkan ICP4. lebih lanjut, peningkatan tekanan intra kranial
Mekanisme utama dalam mempertahankan (ICP/Intracranial Pressure), dan penurunan
CPP adalah memastikan MAP yang adekuat untuk tekanan perfusi otak (Cerebral Perfusion Pressure/
mencegah peningkatan ICP yang berlebihan. Pada CPP). Cedera sekunder juga dapat dihasilkan dari
individu normal, ICP berkisar 0-10 mmHg dan sangat perubahan fisiologis setelah cedera primer yang
dipengaruhi oleh autoregulasi CBF. Vasokonstriksi disebabkan karena hipoksemia dan hipotensi.
dan vasodilatasi pembuluh darah serebral akan Literatur sebelumnya menggambarkan bahwa dua
muncul sebagai respon terhadap MAP, PaO2, faktor mayor yang menyebabkan terjadinya cedera
PaCO2, dan viskositas darah. Walaupun respon ini sekunder pada pasien dengan cedera kepala adalah
menjadi tumpul pada cedera kepala, pencegahan hipotensi dengan tekanan darah sistolik kurang
cedera otak sekunder dapat dilakukan dengan dari 90 mmHg dan hipoksemia (PaO2 60 mmHg) 5.
memanipulasi variabel-variabel ini. Peningkatan Pembedahan dan anestesi dapat membawa
PaCO2 akan menyebabkan vasodilatasi dan pasien kepada cedera sekunder yang baru, misalnya
peningkatan CBF yang dapat meningkatkan ICP, karena adanya hipotensi selama operasi baik
sedangkan penurunan PaCO2 akan menyebabkan karena kehilangan darah yang berlebihan ataupun
vasokonstriksi yang akan menurunkan CBF karena agen anestesi, juga karena hiperglikemia

41
Jurnal Komplikasi Anestesi ~ Volume 2 Nomor 1, November 2014

karena respon stress operasi5. mengalami penurunan CBF dan autoregulasi.


Tujuan utama manajemen anestesi dapat Sehingga, selama operasi, hiperventilasi digunakan
dirangkum sebagai berikut5: secara hati-hati dalam waktu yang singkat untuk
1. Memberikan anestesi dan analgesi yang mengontrol ICP dan memfasilitasi penampakan
adekuat area operasi selama kraniotomi. Sebelum
2. Optimalisasi kondisi pembedahan penutupan dura, untuk mencegah terjadinya
3. Mencegah terjadinya cedera sekunder tension pneumocephalus sebaiknya dikembalikan
akibat hipotensi, hipoksemia, hipo-karbi, pada kondisi normokarbia. Pada kondisi dimana
hiperkarbi, hipoglikemia, dan hipergli- hiperventilasi diperlukan, untuk mencegah efek
kemia yang merugikan hipokarbi terhadap CBF dan
4. Menjaga CPP yang adekuat oksigenasi jaringan otak, maka sebaiknya FiO2
5. Mencegah peningkatan ICP ditingkatkan5.
Prinsip dasar penggunaan ventilator pada Bhalla et al5 menyebutkan bahwa hipotensi
pasien cedera kepala adalah ventilasi dan intraoperatif akan meningkatkan insidensi
oksigenasi yang adekuat sambil membatasi efek mortalitas, dan durasi hipotensi intra operatif
merugikan dari ventilasi mekanik pada fungsi secara berkebalikan berhubungan dengan outcome
kardiovaskuler5. fungsionalnya. Pada autoregulasi yang masih
Oksigenasi dipertahankan pada PaO2 60 intak, bila MAP mengalami peningkatan, maka
mmHg (PaO2 8 kPa), sejalan dengan terjadinya akan terjadi vasokonstriksi cerebral sekunder yang
peningkatan CBF, (cerebral blood volume) CBV, dan berfungsi mempertahankan CBF pada baseline.
ICP secara linear dengan angka PaO2 60 mmHg Vasokonstriksi cerebral akan menghasilkan
(PaO2 8 kPa). Walaupun angka PaO2 selama penurunan CBV yang kemudian akan menurunkan
anestesi dipertahankan 60 mmHg ( 8 kPa), angka ICP. Oleh karena itu kontrol MAP yang efektif
diatas level ini tidak memberikan pengaruh pada intraoperatif sangat dibutuhkan5.
CBF, CBV, ataupun ICP. Bila oksigenasi adekuat Obat ideal untuk pemeliharaan anestesi
tidak dapat dipertahankan dengan menggunakan harus mengurangi ICP, mempertahankan pasokan
konsentrasi oksigen inspirasi (FiO2) 0,5-0,6, maka oksigen ke otak, dan melindungi otak dari cedera
positive end expiratory pressure (PEEP) dapat iskemik. Tidak ada standar emas anestesi yang
ditingkatkan. Tetapi perlu diperhatikan pula memenuhi keperluan ini untuk cedera kepala.
bahwa peningkatan PEEP dapat mempengaruhi Pemilihan anestesi bergantung pada pertimbangan
CPP karena efeknya tidak hanya pada fungsi patologi intrakranial dan kondisi sistemik seperti
kardiovaskuler tetapi juga pada ICP. Sehingga gangguan kardiopulmonal dan adanya trauma
pada pasien dengan cedera kepala, lebih baik multipel 3.
meningkatkan tekanan jalan nafas dan menambah Ada perbedaan yang bermakna bila kita
oksigenasi dengan meningkatkan fraksi oksigen membandingkan penggunaan agen anestesi
dan tekanan puncak inflasi dibanding dengan intravena dan agen volatil perihal efeknya pada
meningkatkan PEEP 5. CBF, CBV, dan CMRO2. Tetapi tidak terdapat data
Meskipun hiperventilasi menyebabkan yang menunjukkan adanya perbedaan outcome
terjadinya hipokapnia yang menyebabkan yang bermakna dari dua agen ini. Agen intravena
vasokonstriksi cerebral dan pengurangan CBF seperti thiopental, propofol, dan etomidate
dan CBV, kemudian menurunkan ICP, tetapi mengurangi CMRO2, menghasilkan vasokonstriksi
tidak terdapat hubungan antara CBF dan cerebral cerebral dan penurunan CBF, CBV, dan ICP.
metabolic rate oxygen (CMRO2) dimana hipokarbia Dengan autoregulasi yang intak, penurunan MAP
menurunkan CBF tanpa efek pada CMRO2 sehingga dikompensasi dengan vasodilatasi cerebral untuk
pasien berpotensi mengalami iskemik terutama mempertahankan CBF, sehingga meningkatkan
selama periode trauma pada daerah yang sudah CBV dan juga ICP. Pemberian fentanyl dan

42
Penatalaksanaan Anestesi pada Operasi Kraniotomi ...

sufentanyl juga memberikan efek yang serupa minimal pada konsentrasi ekshalasi < 1 MAC.
meskipun agen ini tidak memiliki efek langsung Oleh karena itu, sebaiknya digunakan dengan
pada vaskuler cerebral. Efek ini dapat diterapi konsentrasi rendah pada pasien dengan cedera
dengan pemberian agen vasoaktif seperti fenilefrin kepala5.
untuk mengembalikan MAP ke baseline5. Penggunaan nitrous oxide (N2O) selama
Propofol mendepresi metabolisme serebral pembedahan intrakranial masih menjadi
sesuai dengan dosisnya, dan mirip dengan kontroversi. Pemberian N2O akan menimbulkan
barbiturat, akan memproduksi isoelektrik dilatasi pembuluh darah otak, sehingga akan
elektroensefalografi (EEG) pada dosis klinis meningkatkan ICP. Pasien yang mempunyai
yang relevan. Pulih sadar yang cepat akan hipertensi intrakranial atau penurunan komplians
mempermudah evaluasi neurologis post anestesia. intrakranial jangan diberikan N2O 3.
Karena propofol memiliki aktivitas inotropik N2O akan meningkatkan ICP, CBF, dan
negatif yang bermakna selain efek vasodilatasinya, CMRO2, dan juga akan mengganggu autoregulasi.
propofol dapat mengurangi CPP bila dosis besar Tetapi sebenarnya efek ini diantagonis oleh opioid,
diberikan dalam waktu yang singkat. Propofol juga benzodiazepine, barbiturat, propofol, atau agen
memberikan proteksi serebral melalui potensial inhalasi golongan eter. Tetapi penggunaannya
antioksidannya atau melalui aksi antagonis memang harus dihindari bila didapatkan udara
glutamat pada reseptor N-methyl-D-aspartate dalam ventrikel, selama drainase ventrikuler, atau
(NMDA) 6. pada situasi yang meningkatkan terjadinya emboli
Propofol menurunkan CBF dan CMRO2 udara di vena8. Pada pasien ini, pengganti analgetik
sesuai dengan dosisnya. Pada pasien bedah dari N2O adalah dengan pemberian fentanyl
saraf yang hipovolemi, bila mendapat dosis besar kontinyu.
propofol, dapat terjadi penurunan tekanan darah Penggunaan agen non depolarizing
arteri rerata. Karena itu sebelum induksi dengan neuromuscular blocking tidak mempunyai efek
propofol, volume intravaskuler harus dipulihkan langsung pada ICP dan dapat digunakan untuk
atau dipakai obat induksi yang lain. Infus kontinyu memberikan relaksasi selama operasi. Walaupun
propofol dapat digunakan intraoperatif sebagai agen blok neuromuskuler mengurangi konsumsi
bagian dari teknik total intravena anesthesia (TIVA) oksigen dan sementara dapat mengurangi ICP
2
. karena menghilangkan tonus otot rangka thorak,
Pada penggunaan propofol, autoregulasi penggunaan postoperatif tidak direkomendasikan
dan respon terhadap CO2 tetap dipertahankan. karena meningkatkan efek samping yang berat
Propofol dapat menurunkan ICP. Dan karena termasuk infeksi dan perpanjangan perawatan di
menurunkan MAP, efek propofol terhadap CPP rumah sakit5.
harus betul-betul dipantau2. Relaksan otot yang adekuat diperlukan untuk
Pada penelitian terbaru menunjukkan adanya ventilasi mekanik dan menurunkan ICP. Pasien
penurunan saturasi oksigen juguler (SJO2) selama jangan sampai mengalami batuk karena akan
anestesi dengan propofol. Dan propofol juga menyebabkan terjadinya tahanan vena serebral.
mengurangi CBF lebih dari CMRO2, sehingga dapat Rocuronium berguna untuk intubasi karena onset
menimbulkan iskemia. Karena itu harus hati-hati aksinya yang cepat dan efek dinamik intrakranialnya
melakukan hiperventilasi pada anestesi dengan kurang. Rocuronium juga direkomendasikan untuk
propofol 2. Dosis propofol kontinu yang dianjurkan pemeliharaan4.
adalah 25-75 mcg/kgBB/menit7. Monitoring ICP digunakan untuk mencegah
Semua agen volatil (isoflurane, sevoflurane, dan memberikan terapi pada hipertensi
dan desflurane) menurunkan CMRO2 dan intrakranial sangat penting pada penanganan
menyebabkan vasodilatasi cerebral, sehingga pasien dengan cedera kepala. Pilihan tipe monitor
meningkatkan CBF, CBV, dan ICP. Efek akan adalah alat intraparenkim dan alat intraventrikuler

43
Jurnal Komplikasi Anestesi ~ Volume 2 Nomor 1, November 2014

yang dihubungkan melalui kateter dengan drain dibanding normal saline dalam resusitasi awal
eksternal. Pada umumnya alat-alat tersebut pasien dengan cedera kepala. Resusitasi dengan
diletakkan pada akhir pembedahan, sehingga saline hipertonis yang diberikan prehospital
hanya dapat dilakukan pada perawatan di ICU berhubungan dengan penurunan tingkat biomarker
dan bukan intraoperatif5. keterbatasan fasilitas (S100B, neuron-spesific enolase, dan membrane
menyebabkan teori tersebut tidaak dapat basic protein). Sebuah penelitian prospektif dan
diaplikasikan selama pengelolaan pasien tersebut. acak yang membandingkan resusitasi prehospital
Dari beberapa penelitian disebutkan bahwa pasien cedera kepala dengan hipotensi,
posisi kepala dan elevasi kepala memberikan menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan outcome
pengaruh pada ICP. Bila memungkinkan, posisi neurologis antara protokol resusitasi dengan salin
kepala pasien sebaiknya dipertahankan pada posisi hipertonik atau cairan resusitasi standard5.
netral dan pada midline untuk mencegah obstruksi Pendapat kontroversial lain yang berhubungan
vena jugularis. Fleksi kepala, rotasi kepala ke kanan dengan penatalaksanaan pasien dengan cedera
atau ke kiri, atau menurunkan pasien pada posisi kepala adalah hubungan antara hiperglikemia
Trendelenburg secara signifikan meningkatkan dengan outcome yang jelek. Terdapat pendapat
ICP terutama pada pasien yang komplians yang berbeda mengenai perlu tidaknya penanganan
intrakranialnya terganggu. Elevasi pasien 15-30 yang agresif pada populasi ini. Penyebab
dapat menurunkan ICP selama CPP adekuat5. hiperglikemia setelah trauma kepala adalah karena
Untuk mencegah terjadinya hipovolemik dan peningkatan glukoneogenesis dan glikogenolisis
hipotensi, pasien dengan cedera kepala sebaiknya akibat respon katekolamin, pelepasan kortisol, dan
diberikan resusitasi cairan untuk mencapai kondisi intoleransi glukosa. Cedera otak sekunder dapat
normovolemik. Untuk kebanyakan pasien,cairan muncul akibat hiperglikemia, yang menyebabkan
yang dipilih adalah cairan isotonik. Meskipun terjadinya peningkatan kecepatan glikolisis yang
Ringer Laktat sering digunakan selama periode ditunjukkan dengan peningkatan rasio laktat/
perioperatif, perlu diingat bahwa konsentrasi piruvat, menyebabkan terjadi asidosis metabolik
sodium cairan ini adalah 130 mEq/liter, kurang dalam parenkim otak, produksi reactive oxygen
dari konsentrasi sodium serum. Bila dibandingkan species (ROS) yang berlebihan, dan kematian sel
dengan pemberian normal saline, pasien yang neuron melalui proses imun, inflamasi, dan fungsi
mendapatkan ringer laktat akan mengalami mitokondria. Beberapa penelitian menunjukkan
penurunan kadar natrium dan osmolaritas. adanya outcome yang jelek pada pasien cedera
Sehingga disarankan menggunakan normal kepala dengan hiperglikemia, tetapi hanya
saline untuk resusitasi awal dan untuk cairan terdapat sedikit data yang membuktikan bahwa
pemeliharaan dan pengganti untuk mayoritas penanganan hiperglikemia akan memperbaiki
pasien dengan cedera kepala. Untuk pemberian outcome5.
cairan kristaloid dibandingkan dengan koloid, Terapi hiperosmolar seperti manitol
bila dibandingkan keuntungan dan kerugiannya, merupakan agen standar yang digunakan sebagai
data penelitian menyebutkan bahwa resusitasi terapi hiperosmoler. Prinsip terapi hiperosmoler
dengan cairan yang mengandung albumin akan didasarkan pada perbedaan gradien osmotik antara
meningkatkan kematian dibanding dengan yang plasma dan parenkim jaringan otak, sehingga akan
menerima normal saline. Diantara pasien cedera mengurangi cairan dan ICP. Sawar darah otak
kepala berat (GCS 3-8), 61 dari 146 pasien dalam yang utuh dibutuhkan dalam proses ini. Pemberian
grup albumin meninggal, dibanding dengan 32 dari manitol akan memperbaiki rheologi darah dan
144 pasien dalam grup saline5. menghasilkan peningkatan tahanan vaskuler
Untuk cairan hipertonik, meskipun efektif cerebral (vasokonstriksi cerebral) dan penurunan
dalam penanganan peningkatan ICP, tetapi tidak CBV dan ICP. Tersedia dalam cairan 20% atau
banyak data yang mendukung kelebihannya 25%, dosis manitol bervariasi dari 0,25 1 gram/

44
Penatalaksanaan Anestesi pada Operasi Kraniotomi ...

kg berat badan dan tidak melebihi osmolaritas keuntungan hipotermia pada 108 pasien yang
serum (320 mOsm/liter). Efek diuresis dari manitol diberikan hipotermia dini (33C dalam 4,4 jam
dapat menyebabkan terjadinya hipovolemia setelah cedera) atau normotermia. Beberapa efek
dan hipotensi. Dan terdapat kekhawatiran pula samping yang dilaporkan pada hipotermia adalah
bahwa dengan penurunan volume otak pada kasus munculnya hipotensi, bradikardia, aritmia, sepsis,
perdarahan intrakranial (epidural atau subdural dan koagulopati5.
hematom) akan melepaskan tamponade yang Secara historis, kortikosteroid digunakan
mencegah terjadinya perdarahan lebih lanjut. sebagai bagian manajemen farmakologi pada
Oleh karena itu disarankan pemberian manitol pasien dengan cedera kepala, berdasarkan laporan
dilakukan sampai darah dievakuasi5. adanya penurunan edema dan perbaikan outcome
Selain itu, akhir-akhir ini digunakan pula cairan pada pasien dengan tumor otak. Tetapi penelitian
saline hipertonis, umumnya menggunakan cairan multicenter akhir-akhir ini menunjukkan adanya
saline 3%. Sebagai tambahan efeknya pada otak, peningkatan mortalitas atau disabilitas berat
saline hipertonis memberikan keuntungan pada pada pasien cedera kepala yang mendapatkan
efek hemodinamik termasuk restorasi volume metilprednisolon dalam 8 jam setelah trauma. Efek
intravaskuler, peningkatan inotropi, konstriksi dan berat ini berhubungan dengan supresi adrenal,
kapasitas pembuluh darah, dan penurunan tahanan peningkatan resiko infeksi, dan perdarahan
vaskuler. Efek ini menyebabkan peningkatan MAP gastrointestinal5.
dan CPP pada mayoritas pasien. Dalam suatu Keputusan apakah pada akhir operasi dilakukan
penelitian dibuktikan efikasi cairan ini dalam ekstubasi atau tidak tergantung pada beratnya
mengatasi peningkatan ICP yang refrakter yang trauma, adanya cedera lain seperti abdominal dan
gagal merespon pemberian terapi konvensional, thoracal, adanya penyakit penyerta, dan tingkat
termasuk manitol. Pada penelitian terhadap kesadaran sebelum operasi. Pasien muda yang
operasi tumor otak supratentorial, relaksasi otak sebelum operasi memiliki kesadaran penuh dapat
lebih baik pada pasien yang menerima saline diekstubasi setelah pengambilan lesi, tetapi pasien
hipertonik dibandingkan dengan grup manitol. dengan DAI sebaiknya tetap diintubasi9.
Sodium serum lebih tinggi pada grup saline Hal yang sama juga disampaikan oleh
hipertonik, sedangkan keluaran urin lebih tinggi Newfield dan Cotrell3 bahwa ekstubasi di ruang
pada kelompok manitol. Tetapi tidak terdapat operasi tidak disarankan pada pasien dengan
perbedaan untuk lamanya dirawat di ICU atau lama penurunan kesadaran sebelum operasi dan yang
rawat di rumah sakit5. selama operasi mengalami pembengkakan otak
Hipotermia moderat akan menurunkan atau memang diharapkan muncul setelah operasi.
CMRO2 menyebabkan terjadinya vasokonstriksi, Pasien-pasien yang mengalami cedera trauma
penurunan CBF/CBV dan ICP. Keuntungan lain multipel juga merupakan kandidat ventilasi post
adalah penekanan perubahan sawar darah otak operasi. Seperti pada pasien ini tidak dilakukan
karena cedera kepala dan penurunan pelepasan ekstubasi karena kesadaran pre operasi.
neurotransmiter eksitatori termasuk laktat, yang
menyebabkan terjadinya cedera otak sekunder. KESIMPULAN
Pada penelitian meta analisis akhir-akhir ini, 1. Patofisiologi dan gejala sisa yang muncul pada
diperlihatkan bahwa terdapat penurunan mortalitas trauma kepala melibatkan baik cedera primer
yang bermakna walaupun terdapat peningkatan maupun sekunder.
outcome neurologis yang menguntungkan padsa 2. Tujuan utama manajemen perioperatif pada
pasien yang mendapatkan hipotermia, terutama pasien dengan cedera kepala adalah untuk
bila pendinginan dipertahankan lebih dari 48 jam. mencegah cedera sekunder. Pemilihan
Tetapi kontras dengan hasil tersebut, National anestesi dan manajemen umum terhadap
Acute Brain Injury Study gagal menunjukkan pernafasan, sirkulasi, metabolisme, dan cairan

45
Jurnal Komplikasi Anestesi ~ Volume 2 Nomor 1, November 2014

juga penting untuk memperbaiki outcome William and Wilkins, 2007


3. Tujuan utama assesment dan manajemen 4. Ali, Bilal; Drage, Stephen; Management of
tersebut adalah mempertahankan CBF yang Head Injuries; Anesthesia Tutorial of The Week
adekuat dan mencegah iskemia serebral dan 46, 2007
hipoksia. 5. Bhalla, Tarun; Dewhirst, Elisabeth;
4. Pada pasien dengan cedera kepala, Sawardekar, Amod; Dairo, Olamide; Tobias,
autoregulasi normal CBF menjadi hilang Joseph; Perioperative Management of The
5. Tidak ada standar emas anestesi yang Pediatric Patient with Traumatic Brain Injury;
memenuhi keperluan ini untuk cedera Pediatric Anestesia, 2012 ; 22: 627-640
kepala. Pemilihan anestesi bergantung pada 6. Baughman, Verna; Brain Protection During
pertimbangan patologi intrakranial dan kondisi Neurosurgery; Anesthesiology Clinics of North
sistemik seperti gangguan kardiopulmonal America; 2002; 20 : 315-327
dan adanya trauma multipel. 7. Dunn, PF; Clinical Anesthesia Procedures of
The Massachusetts General Hospital, 7th ed;
DAFTAR PUSTAKA Lippincot Williams & Wilkins, 2007
1. Faul, Mark; Xu, Likang; Wald, Marlena; 8. Mishra, LD; Rajkumar, N; Hancock, SM;
Coronado, Victor; Traumatic Brain Injury in The Current Controversies in Neuroanaesthesia,
United States, Emergency Department Visits, Head Injury Management and Neuro Critical
Hospitalizations and Deaths 2002-2006, www. Care; Continuing Education in Anaesthesia,
cdc.gov/TraumaticBrainInjury, 2010 Critical Care and Pain; Volume 6 Number 2,
2. Bisri, Tatang; Penanganan Neuroanestesia 2006
dan Critical Care Cedera Otak Traumatik; Saga 9. Morgan, GE; Mikhail, MS;Murray, MJ; Clinical
Olahcitra, 2012 Anesthesiology; 4th edition McGraw Hill
3. Newfield, E; Cotrell, JE; Handbook of Companies, 2006
Neuroanesthesia, Fourth Edition;Lippincott

46

Anda mungkin juga menyukai