Anda di halaman 1dari 10

Bab I

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Kebudayaan adalah kompleks yang mencakup pengetahuan, kepercayaan,kesenian, moral,


hukum, adat istiadat dan kemampuan-kemampuan sertakebiasaan-kebiasaan yang didapatkan
oleh manusia sebagai anggota masyarakat.
(Soerjono Soekanto, Pengantar Sosiologi, hal 188-189).
Inti kebudayaan setiap masyarakat adalah sistem nilai yang dianut oleh masyarakat
pendukung kebudayaan yang bersangkutan. Sistem nilai tersebut mencakup konsepsi-
konsepsi abstrak tentang apa yang dianggap buruk harus dihindari dan apa yang dianggap
baik harus selalu diikuti (Soerjono Soekanto, Pengantar Sosiologi. Hal. 208).
Status gizi adalah ukuran keberhasilan dalam pemenuhan nutrisi untuk anak yang
diindikasikan oleh berat badan dan tinggi badan anak. Status gizi juga didefinisikan sebagai
status kesehatan yang dihasilkan oleh keseimbangan antara kebutuhan dan masukan nutrien.
Penelitian status gizi merupakan pengukuran yang didasarkan pada data antropometri serta
biokimia dan riwayat diit (Beck, 2000: 1).
Sebagai suatu konsep budaya, makanan (food) bukanlah semata-mata suatu produk
organik dengan kualitas-kualitas biokimia yang dapat dipakai oleh organisma termasuk
manusia untuk mempertahankan hidupnya. Akan tetapi makanan sebagai sesuatu yang akan
dimakan, diperlukan pengesahan budaya. Lewat konsep-konsep budaya itulah sejumlah
makanan yang menurut ilmu gizi sangat bermanfaat untuk dikonsumsi, tetapi dalam
prakteknya bisa jadi justru dihindari.

1
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A.Pengertian

Kebudayaan adalah kompleks yang mencakup pengetahuan, kepercayaan, kesenian,


moral, hukum, adat istiadat dan kemampuan-kemampuan serta kebiasaan- kebiasaan yang
didapatkan oleh manusia sebagai anggota masyarakat.(Soerjono Soekanto, Pengantar
Sosiologi,halaman188-189).

Status gizi adalah ukuran keberhasilan dalam pemenuhan nutrisi untuk anak yang
diindikasikan oleh berat badan dan tinggi badan anak. Status gizi juga didefinisikan sebagai
status kesehatan yang dihasilkan oleh keseimbangan antara kebutuhan dan masukan nutrien.
Penelitian status gizi merupakan pengukuran yang didasarkan pada data antropometri serta
biokimia dan riwayat diit (Beck, 2000: 1).

B. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Terjadinya Masalah Gizi

b.1. Faktor External

Faktor eksternal yang mempengaruhi status gizi antara lain:

1) Pendapatan

Masalah gizi karena kemiskinan indikatornya adalah taraf ekonomi keluarga, yang
hubungannya dengan daya beli yang dimiliki keluarga tersebut (Santoso, 1999).

2) Pendidikan

Pendidikan gizi merupakan suatu proses merubah pengetahuan, sikap dan perilaku orang tua
atau masyarakat untuk mewujudkan dengan status gizi yang baik (Suliha, 2001).

3) Pekerjaan

Pekerjaan adalah sesuatu yang harus dilakukan terutama untuk menunjang kehidupan
keluarganya. Bekerja umumnya merupakan kegiatan yang menyita waktu. Bekerja bagi ibu-
ibu akan mempunyai pengaruh terhadap kehidupan keluarga (Markum, 1991).

2
4) Budaya

Budaya adalah suatu ciri khas, akan mempengaruhi tingkah laku dan kebiasaan
(Soetjiningsih, 1998).

b.2. Faktor Internal

Faktor Internal yang mempengaruhi status gizi antara lain :

1) Usia

Usia akan mempengaruhi kemampuan atau pengalaman yang dimiliki orang tua dalam
pemberian nutrisi anak balita (Nursalam, 2001).

2) Kondisi Fisik

Mereka yang sakit, yang sedang dalam penyembuhan dan yang lanjut usia, semuanya
memerlukan pangan khusus karena status kesehatan mereka yang buruk. Bayi dan anak-anak
yang kesehatannya buruk, adalah sangat rawan, karena pada periode hidup ini kebutuhan zat
gizi digunakan untuk pertumbuhan cepat (Suhardjo, et, all, 1986).

3) Infeksi

Infeksi dan demam dapat menyebabkan menurunnya nafsu makan atau menimbulkan
kesulitan menelan dan mencerna makanan (Suhardjo, et, all, 1986).

C.Pengaruh Budaya Terhadap Status/ Masalah Gizi

Sebagai suatu konsep budaya, makanan (food) bukanlah semata-mata suatu produk
organik dengan kualitas-kualitas biokimia yang dapat dipakai oleh organisma termasuk
manusia untuk mempertahankan hidupnya. Akan tetapi makanan sebagai sesuatu yang akan
dimakan, diperlukan pengesahan budaya. Lewat konsep-konsep budaya itulah sejumlah
makanan yang menurut ilmu gizi sangat bermanfaat untuk dikonsumsi, tetapi dalam
prakteknya bisa jadi justru dihindari.
Contoh :

3
Adanya pantangan bayi dan anak tidak diberikan daging, ikan, telur, dan makanan yang
dimasak dengan santan dan kelapa parut sebab dipercaya akan menyebabkan cacingan, sakit
perut, dan sakit mata .
Bagi gadis dilarang makan buah: pepaya, nanas dan jenis pisang tertentu (yang dianggap tabu)
karena ada hubungan yang erat dengan siklus masa haid, hubungan kelamin dan reproduksi .
Jadi, anjuran atau larangan mengkonsumsi sejumlah makanan demikian itu didasarkan atas
pengetahuan-pengetahuan dan kepercayaan-kepercayaan yang dianggap atau diyakini
bersumber pada ajaran agama, budaya (tradisi), atau kelaziman sosial. Tentu persepsi dan
ukuran-ukurannya tidak selamanya sesuai menurut ukuran ilmu medis atau ilmu gizi. Oleh
karena itu, kalau terjadinya malnutrisi atau gizi rendah bagi sebagian penduduk, terutama
anak-anak, bumil (ibu hamil) busui (ibu menyusui) dan kaum tua, tidak semata-mata karena
kemiskinan (faktor ekonomi) tetapi bisa jadi karena alasan-alasan budaya, di mana ada
ketersediaan makanan tetapi terpaksa tidak dikonsumsi karena kepercayaan atau
ketidaklaziman atau karena larangan agama..

D. Pembatasan Budaya Terhadap Kecukupan Gizi, antara lain :

1. Kegagalan melihat hubungan antara makanan dan kesehatan


Adalah kesenjangan yang besar dalam pemahaman tentang bagaimana makanan itu dapat
digunakan sebaik-baiknya untuk kesehatan, misal :
Susunan hidangan yang cenderung ditafsirkan berdasar kuantitasnya tanpa
memperhatikan kualitas.
Kepercayaan / tabu terhadap makanan yang tidak menguntungkan kesehatan bila tabu
tersebut diterapkan.
2. Kegagalan untuk mengenali kebutuhan gizi pada anak-anak.
Kegagalan budaya masyarakat memahami bahwa anak-anak memerlukan makanan
khusus.
Kepercayaan/tabu terhadap makanan yang merugikan anak-anak.
Ketidaktahuan gizi / kecukupan gizi anak.

4
E. Makanan Dalam Konteks Budaya

Studi tentang makanan dalam konteks budaya merujuk pada persoalan--persoalan praktis
serta perilaku konkret masyarakatnya. Kepercayaan suatu masyarakat tentang makanan
berakibat pada kebiasaaan (praktek) makan serta berakibat pula pada kondisi gizinya. Bagi
antropologi kebiasaan makan sebagai sesuatu yangsangat kompleks karena menyangkut
tentang cara memasak, suka dan tidak suka, serta adanya berbagai kepercayaan (religi),
pantanganpantangan dan persepsi mitis (tahayul) yang berkaitan dengan kategori makan:
produksi, persiapan dan konsumsi makanan (Foster & Anderson:1986:313). Melalui
fenomena itu, dan dalam perkembangannnya, kategori makan akan berhadapan dan berkaitan
dengan kategorikategori budaya lainnya seperti, kategori kehidupan sosial, agama, kehidupan
perekonomian, ilmu pengetahuan, teknologi dan sebagainya.

Peran makanan dalam kebudayaan merupakan kegiatan ekspresif yang memperkuat kembali
hubungan -- hubungan dengan kehidupan sosial, sanksisanksi, agama, ekonomi, ilmu
pengetahuan, teknologi dengan berbagai dampaknya. Dengan kata lain, kebiasaan makan atau
pola makan tidak hanya sekadar mengatasi tubuh manusia saja, melainkan dapat memainkan

peranan penting dan mendasar terhadap ciriciri dan hakikat budaya makan.

Berbicara tentang konsep makanan, maka makanan dapat berasal dari laut, tanaman yang
tumbuh di pertanian, yang dijual di pasar tradisional maupun supermarket. Makanan tidaklah
sematamata sebagai produk organik hidup dengan kualitas biokimia, tetapi makanan dapat
dilihat sebagai gejala budaya. Gejala budaya terhadap makanan dibentuk karena berbagai
pandangan hidup masyarakatnya. Suatu kelompok masyarakat melalui pemuka ataupun
mitosmitos (yang beredar di masyarakat) akan mengijinkan warganya memakan makanan
yang boleh disantap dan makanan yang tidak boleh disantap. ``Ijin'' tersebut menjadi
semacam pengesahan atau legitimasi yang muncul dalam berbagai peraturan yang sifatnya
normatif.

Masyarakat akan patuh terhadap hal itu. Munculnya pandangan tentang makanan yang boleh
dan tidak boleh disantap menimbulkan kategori ``bukan makanan'' bagi makanan yang tidak

5
boleh disantap. Hal itu juga memunculkan pandangan yang membedakan antara nutrimen
(nutriment) dengan makanan (food).

Dalam kebudayaan manusia, maka makanan selalu memiliki nama, baik nama yang berasal
dari berbagai daerah (misalnya gudeg untuk makanan khas Yogya, empek empek untuk
makanan khas Palembang, soto sulung untuk makanan khas Surabaya dan sebagainya)
maupun dari luar negeri (burger, spaghetti, pizza, ice cream, sushi, dan sebagainya). Melalui
sebutan nama pada makanan tersebut, hubungan makanan dan bahasa terjadi. Sebenarnya
dengan penamaan itu, perasaan orang terbangkitkan dan beberapa keinginan juga
menyertainya ketika melakukan tindakan tertentu.

Makanan yang disebut sebagai jajan pasar akan hadir ketika masyarakat Jawa melakukan
ritual ``slametan'' dan makanan itu sebagai salah satu syarat sesaji.

6
BAB III

PENUTUP

A. kesimpulan

Lewat pengetahuan budaya itu, masyarakat manusia mengkategorikan makanan ke dalam


dua istilah yaitu nutrimen (nutriment) dan makanan (food).
Nutriment adalah suatu konsep biokimia, suatu zat yang mampu untuk memelihara dan
menjaga kesehatan organisme yang menelannya, terlepas dari apakah makanan itu
diperbolehkan atau dilarang dalam kaitannya dengan budaya. Sedang food, adalah suatu
konsep budaya. Sebagai konsep budaya, maka di dalamnya terdapat penjelasan budaya
mengenai kategori (bahan) makanan anjuran lawan makanan tabu (larangan); makanan
prestise lawan makanan rendah; makanan dingin lawan makanan panas, dan sebagainya.
Sebagai suatu konsep budaya, makanan (food) bukanlah semata-mata suatu produk organik
dengan kualitas-kualitas biokimia yang dapat dipakai oleh organisma termasuk manusia
untuk mempertahankan hidupnya. Akan tetapi makanan sebagai sesuatu yang akan dimakan,
diperlukan pengesahan budaya. Lewat konsep-konsep budaya itulah sejumlah makanan yang
menurut ilmu gizi sangat bermanfaat untuk dikonsumsi, tetapi dalam prakteknya bisa jadi
justru dihindari. Sejumlah peternak itik maupun ayam yang setiap harinya bisa menghasilkan
telur misalnya, bisa jadi sebagian anggota keluarganya, seperti ibu yang tengah hamil (bumil)
atau ibu yang sedang menyusui (busui) dan anak-anak usia di bawah lima tahun (balita),
hampir-hampir tidak pernah mengkonsumsi daging ayam dan telur. Perilaku tidak
mengkonsumsi ayam dan telur di sini tidak karena penghematan diri tetapi karena adanya
kepercayaan bahwa telur adalah makanan pantangan bagi bumil, busui, dan balita.

B. SARAN

Untuk dapat hidup sehat, manusia perlu makan. Untuk itu kita perlu mengkonsusmsi
makanan yang bernilai gizi tinggi terutama bagi anak-anak dalam masa tumbuh kembang, Ibu
hamil dan ibu menyusui.

7
Nutrimen versus Food
Untuk dapat hidup sehat, manusia perlu makan. Tetapi tidak setiap jenis makanan yang tersediakan,
tidak dengan sendirinya dipilih atau diperbolehkan untuk dimakan. Hal ini karena masalah aktivitas
makan tidak semata-mata sebagai aktivitas fisik manusia untuk pemenuhan naluriahnya seperti
lapar, tetapi juga di dalamnya dilekati oleh pengetahuan budaya. Lewat pengetahuan budaya itu,
masyarakat manusia mengkategorikan makanan ke dalam dua istilah yaitu nutrimen (nutriment) dan
makanan (food).
Nutriment adalah suatu konsep biokimia, suatu zat yang mampu untuk memelihara dan menjaga
kesehatan organisme yang menelannya, terlepas dari apakah makanan itu diperbolehkan atau
dilarang dalam kaitannya dengan budaya. Sedang food, adalah suatu konsep budaya. Sebagai konsep
budaya, maka di dalamnya terdapat penjelasan budaya mengenai kategori (bahan) makanan anjuran
lawan makanan tabu (larangan); makanan prestise lawan makanan rendah; makanan dingin lawan
makanan panas, dan sebagainya.
Sebagai suatu konsep budaya, makanan (food) bukanlah semata-mata suatu produk organik dengan
kualitas-kualitas biokimia yang dapat dipakai oleh organisma termasuk manusia untuk
mempertahankan hidupnya. Akan tetapi makanan sebagai sesuatu yang akan dimakan, diperlukan
pengesahan budaya. Lewat konsep-konsep budaya itulah sejumlah makanan yang menurut ilmu gizi
sangat bermanfaat untuk dikonsumsi, tetapi dalam prakteknya bisa jadi justru dihindari. Sejumlah
peternak itik maupun ayam yang setiap harinya bisa menghasilkan telur misalnya, bisa jadi sebagian
anggota keluarganya, seperti ibu yang tengah hamil (bumil) atau ibu yang sedang menyusui (busui)
dan anak-anak usia di bawah lima tahun (balita), hampir-hampir tidak pernah mengkonsumsi daging
ayam dan telur. Perilaku tidak mengkonsumsi ayam dan telur di sini tidak karena penghematan diri
tetapi karena adanya kepercayaan bahwa telur adalah makanan pantangan bagi bumil, busui, dan
balita. Anjuran atau larangan mengkonsumsi sejumlah makanan demikian itu didasarkan atas

8
pengetahuan-pengetahuan dan kepercayaan-kepercayaan yang dianggap atau diyakini bersumber
pada ajaran agama, budaya (tradisi), atau kelaziman social. Tentu persepsi dan ukuran-ukurannya
tidak selamanya sesuai menurut ukuran ilmu medis atau ilmu gizi. Oleh karena itu, kalau terjadinya
malnutrisi atau gizi rendah bagi sebagian penduduk, terutama anak-anak, bumil (ibu hamil) busui
(ibu menyusui) dan kaum tua, tidak semata-mata karena kemiskinan (faktor ekonomi) tetapi bisa jadi
karena alasan-alasan budaya, di mana ada ketersediaan makanan tetapi terpaksa tidak dikonsumsi
karena kepercayaan atau ketidaklaziman atau karena larangan agama.. Misalnya, bayi dan anak tidak
diberikan daging, ikan, telur, dan makanan yang dimasak dengan santan dan kelapa parut sebab
dipercaya akan menyebabkan cacingan, sakit perut, dan sakit mata. Bagi gadis dilarang makan buah:
pepaya, nanas dan jenis pisang tertentu (yang dianggap tabu) karena ada hubungan yang erat
dengan siklus masa haid, hubungan kelamin dan reproduksi (Tan, 1976: 49-50). Adanya pengetahuan
dan kepercayaan seperti itu menjadikan peranan orang tua, wong pinter, dan dukun (bayi) sering
menjadi dan dijadikan preferensi dalam hal memilih dan mengkonsumsi makanan daripada para ahli
gizi itu sendiri. Dalam konteks seperti ini maka proses untuk memperkenalkan pola makanan yang
dianggap bergizi dan sehat, termasuk anjuran untuk mulai mencukupi bahan pangan sendiri bagi
masyarakat desa, perlu adanya strategi-strategi yang bisa mengubah cara berfikir masyarakat tanpa
menimbulkan ketersinggungan atau penolakan.

Seseorang atau suatu kelompok masyarakat mengalami gizi buruk atau kekurangan gizi bukan hanya
karena masalah ekonomi, akan tetapi bisa juga diakibatkan oleh kepercayaan atau budaya seseorang.
Banyak sekali terdapat suatu kelompok masyarakat yang mengalami gizi buruk dikarenakan mereka
percaya kepada kepercayaan atau kebudayaan mereka. Terkadang mereka mengalami gizi buruk
padahal ekonomi mereka mencukupi. Ini karena mereka tidak mau memakan makanan yang
seharusnya mereka makan karena mereka percaya kepada kebudayaan dan kpercayaan mereka,
padahal makanan tersebut mengandung banyak zat gizi yang dibutuhkan tubuh. Hal ini
menyebabkan banyaknya suatu kelompok masyarakat yang kekurangan gizi, padahal dalam kelompok
masyarakat itu terdapat cukup banyak makanan yang mengandung gizi. Terkadang kecil sekali
kemungkinan kita dapat memperbaiki gizi disuatu daerah, jika apa yang kita sarankan itu
bertentangan dengan kebudayaan mereka. Mempelajari ilmu antropologi kita akan mengetahui
bagaimana menangani masalah kesehatan atau kekurangan gizi suatu masyarakat serta dengan ilmu
ini kita dapat meyakinkan masyarakat tentang pentingnya kesehatan dan betapa pentingnya
makanan yang mengandung gizi untuk tubuh kita. Kita juga dapat menyarankan kepada masyarakat
untuk mengkonsumsi makanan yang mengandung banyak gizi yang tidak bertentangan dengan
kebudayaan mereka. Memang kita akan kesulitan untuk merubah perilaku seseorang yang
diakibatkan oleh budaya, hal itu akan memakan atau membutuhkan proses yang lama dan panjang.

Sumber: http://id.shvoong.com/social-sciences/sociology/2258247-makanan-dalam-konteks-
budaya/#ixzz2aIv2T1NL

9
10

Anda mungkin juga menyukai