PENDAHULUAN
Tindakan operasi atau pembedahan merupakan pengalaman yang sulit bagi hapir
semua pasien. Berbagai kemungkinan buruk bisa saja terjadi yang akan
membahayakan bagi pasien. Maka tak heran jika seringkali pasien dan
keluarganya menunjukkan sikap yang agak berlebihan dengan kecemasan yang
mereka alami. Kecemasan yang mereka alami biasanya terkait dengan segala
macam prosedur asing yang harus dijalani pasien dan juga ancaman terhadap
keselamatan jiwa akibat segala macam prosedur pembedahan dan tindakan
pembiusan (Barradero, 2013).
Dalam satu jam pertama pemberian anestesi akan terjadi penurunan pada suhu inti
tubuh sebesar 0,51,5oC. Mekanisme penurunan suhu selama anestesi adalah
kehilangan panas pada kulit akibat dari proses radiasi, konveksi, konduksi, dan
juga evaporasi yang lebih lanjut menyebabkan redistribusi dan penurunan laju
metabolisme. Kehilangan kalor melalui kulit merupakan mekanisme yang paling
dominan selama anestesi. Suhu inti tubuh perlahan-lahan turun saat panas hilang
dari permukaan kulit dan produksi panas melambat akibat penurunan metabolisme
(Ando et al, 2012)
Hipotermia didefinisikan keadaan suhu inti yang kurang dari 35oC dan merupakan
suatu faktor risiko independen terjadinya mortalitas setelah trauma. Bila suhu
kurang dari 36oC yang dipakai sebagai patokan maka insidensi hipotermia
berkisar 50 70% dari seluruh pasien yang menjalani pembedahan dan 30% di
antaranya dengan suhu 35oC. Hipotermia merupakan komplikasi yang masih
sering terjadi selama periode pembedahan, terutama di negara-negara yang
berkembang karena kekurangan sarana untuk mempertahankan suhu pasien pada
normotermia (Zhou et al, 2014)
Salah satu pencegahan hipotermia adalah teknik pemberian asam amino. Asam
amino merupakan senyawa organik yang mempunyai gugus fungsional karboksil
(-COOH) dan juga amina (-NH2). Mekanisme asam amino dalam mencegah
hipotermia belum diketahui secara pasti. Terdapat beberapa teori yang
menjelaskan asam amino dalam mengurangi hipotermia. Asupan nutrisi, salah
satunya ialah asam amino akan dicerna serta dimetabolisme untuk menghasilkan
energi yang sebagian besar dalam bentuk panas. Asam amino dapat meningkatkan
laju metabolik yang lebih tinggi dibanding dengan karbohidrat atau lemak.
Pemberian asam amino, baik enteral maupun parenteral merangsang metabolisme
oksidatif dan meningkatkan metabolisme sekitar 20%. Metode ini telah
dipergunakan untuk menjaga suhu tubuh intraoperatif dan juga mengurangi
komplikasi hipotermia pascaoperasi (Agus dkk, 2015). Berdasarkan uraian diatas
mahasiswa tertarik membahas jurnal mengenai penerapan asam amino pada
perawatan pasien intra operatif untuk pencegahan hipotermi.
1.2 Tujuan
1.3 Manfaat
TINJAUAN TEORI
Hipotermia didefinisikan keadaan suhu inti yang kurang dari 35oC dan merupakan
suatu faktor risiko independen terjadinya mortalitas setelah trauma. Bila suhu
kurang dari 36oC yang dipakai sebagai patokan maka insidensi hipotermia
berkisar 50 70% dari seluruh pasien yang menjalani pembedahan dan 30% di
antaranya dengan suhu 35oC. Hipotermia merupakan komplikasi yang masih
sering terjadi selama periode pembedahan, terutama di negara-negara yang
berkembang karena kekurangan sarana untuk mempertahankan suhu pasien pada
normotermia (Zhou et al, 2014)
Suhu tubuh adalah perbedaan antara jumlah panas yang dihasilkan tubuh dengan
jumlah panas yang hilang ke lingkungan luar. Mekanisme kontrol suhu pada
manusia menjaga suhu inti (suhu jaringan dalam) tetap konstan pada kondisi
lingkungan dan aktifitas fisik yang ekstrim, namun suhu permukaan berubah
sesuai aliran darah kekulit dan jumlah panas yang hilang kelingkungan luar. Suhu
normal pada manusia berkisar dari 36-38 o (96,6 sampai 100,7oF). Pada rentang
ini jaringan dan sel tubuh akan berfungsi secara optimal. Nilai suhu tubuh juga
ditentukan oleh lokasi pengukuran, pengukuran suhu bertujuan memperoleh nilai
suhu jaringan dalam tubuh. Lokasi pengukuran untuk suhu inti yaitu rectum,
membrane timpani, arteri temporalis, arteri pulmonalis, esophagus dan kandung
kemih. Lokasi pengukuran suhu permukaan yaitu kulit, oral dan aksila (Potter &
Perry, 2009).
1. Ringan = 34-36C
Kebanyakan orang bila berada pada suhu ini akan menggigil secara hebat,
terutama di seluruh ekstremitas. Bila suhu tubuh lebih turun lagi, pasien mungkin
akan mengalami amnesia dan disartria. Peningkatan kecepatan nafas juga
mungkin terjadi.
2. Sedang = 3034C
Terjadi penurunan konsumsi oksigen oleh sistem saraf secara besar yang
mengakibatkan terjadinya hiporefleks, hipoventilasi, dan penurunan aliran darah ke
ginjal. Bila suhu tubuh semakin menurun, kesadaran pasien bisa menjadi stupor,
tubuh kehilangan kemampuannya untuk menjaga suhu tubuh, dan adanya resiko
timbul aritmia.
3. Berat = <30C
Pasien rentan mengalami fibrilasi ventrikular, dan penurunan kontraksi miokardium,
pasien juga rentan untuk menjadi koma, pulse sulit ditemukan, tidak ada reflex,
apnea, dan oligouria (Kliegman, 2007).
Perubahan suhu tubuh di luar kisaran normal akan mempengaruhi titik pengaturan
hipotalamus. Perubahan ini berhubungan dengan produksi panas berlebihan,
kehilangan panas berlebihan, produksi panas minimal, kehilangan panas minimal
atau kombinasi hal diatas. Sifat perubahan akan mempengaruhi jenis masalah
klinis yang dialami klien (Potter & Perry,2009).
Hipotermia merupakan salah satu perubahan suhu yang diakibatkan panas yang
hilang saat pajanan lama terhadap lingkungan dingin akan melebihi kemampuan
tubuh untuk menghasilkan panas. Hipotermia yang disengaja dapat dilihat selama
prosedur operasi untuk menurunkan kebutuhan metabolisme. Hipotermia yang
tidak disengaja biasanya terjadi perlahan dan tidak terlihat selama beberapa jam.
Saat suhu tubuh turun ke 35oC, klien bisa mengalami menggigil, kehilangan
ingatan, depresi dan gangguan akal. Jika suhu tubuh turun di bawah 34,4 oC,
terjadi penurunan denyut jantung, fekuensi nafas dan tekanan darah, kulit menjadi
sianotik. Jika hipotermia terus berlanjut, klien akan mengalami disritmia jantung,
kehilangan kesadaran dan tidak respon terhadap nyeri. Pada hipotermia berat
seseorang memperlihatkan tanda klinis seperti kematian (Potter dan perry, 2009).
Dalam taksonomi NANDA Hipotermia merupakan diagnosis keperawatan pada
domain 11 (keamanan/perlindungan) kelas 6 yaitu termoregulasi (Herdman,
2012).
Hipotermia terjadi ketika tubuh tidak dapat memproduksi panas yang cukup untuk
menggantikan panas yang hilang keluar ke lingkungan. Hipotermia dapat terjadi
ketika tubuh kehilangan panasnya. Tubuh dapat kehilangan panasnya melalui
radiasi, konveksi, dan evaporasi. Kehilangan panas yang paling signifikan saat
dingin terjadi karena tercelup di air yang dingin atau terpajan suhu udara yang
rendah (dingin) dan angin kencang saat kondisi berpakaian basah (Wald, Peter H,
2002). Suhu tubuh adalah jumlah panas yang dihasilkan di dalam tubuh, ditambah
panas dari lingkungan yang masuk dan keluar tubuh. Faktor risiko yang dapat
menyebabkan cidera karena dingin (cold injury) yaitu terkait dengan agent (suhu
dingin), host (manusia), dan lingkungan (angin dingin, kelembaban, durasi
terpajan, jumlah aktivitas, dan pakaian pelindung) (Wald, Peter H, 2002).
Beberapa faktor risiko cold injury yang terdapat manusia yaitu keadaan fisik yang
buruk, kelelahan, umur (sangat tua atau sangat muda), kekurangan asupan kalori,
memiliki penyakit baik akut maupun kronik (penyakit jantung), termasuk
prosedur medis yang menyebabkan penurunan suhu tubuh secara signifkan pada
pasien)
Salah satu pencegahan hipotermia adalah teknik pemberian asam amino. Asam
amino merupakan senyawa organik yang mempunyai gugus fungsional karboksil
(-COOH) dan juga amina (-NH2). Mekanisme asam amino dalam mencegah
hipotermia belum diketahui secara pasti. Terdapat beberapa teori yang
menjelaskan asam amino dalam mengurangi hipotermia. Asupan nutrisi, salah
satunya ialah asam amino akan dicerna serta dimetabolisme untuk menghasilkan
energi yang sebagian besar dalam bentuk panas. Asam amino dapat meningkatkan
laju metabolik yang lebih tinggi dibanding dengan karbohidrat atau lemak.
Pemberian asam amino, baik enteral maupun parenteral merangsang metabolisme
oksidatif dan meningkatkan metabolisme sekitar 20%. Metode ini telah
dipergunakan untuk menjaga suhu tubuh intraoperatif dan juga mengurangi
komplikasi hipotermia pascaoperasi (Agus dkk, 2015).
BAB 3
RINGKASAN JURNAL
Dalam satu jam pertama pemberian anestesi akan terjadi penurunan pada suhu inti
tubuh sebesar 0,51,5oC. Mekanisme penurunan suhu selama anestesi adalah
kehilangan panas pada kulit akibat dari proses radiasi, konveksi, konduksi, dan
juga evaporasi yang lebih lanjut menyebabkan redistribusi dan penurunan laju
metabolisme. Kehilangan kalor melalui kulit merupakan mekanisme yang paling
dominan selama anestesi. Suhu inti tubuh perlahanlahan turun saat panas hilang
dari permukaan kulit dan produksi panas melambat akibat penurunan
metabolisme.
Salah satu pencegahan hipotermia adalah teknik pemberian asam amino. Asam
amino merupakan senyawa organik yang mempunyai gugus fungsional karboksil
(-COOH) dan juga amina (-NH2). Mekanisme asam amino dalam mencegah
hipotermia belum diketahui secara pasti. Terdapat beberapa teori yang
menjelaskan asam amino dalam mengurangi hipotermia. Asupan nutrisi, salah
satunya ialah asam amino akan dicerna serta dimetabolisme untuk menghasilkan
energi yang sebagian besar dalam bentuk panas. Asam amino dapat meningkatkan
laju metabolik yang lebih tinggi dibanding dengan karbohidrat atau lemak.
Pemberian asam amino, baik enteral maupun parenteral merangsang metabolisme
oksidatif dan meningkatkan metabolisme sekitar 20%. Metode ini telah
dipergunakan untuk menjaga suhu tubuh intraoperatif dan juga mengurangi
komplikasi hipotermia pascaoperasi.