Anda di halaman 1dari 9

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Tindakan operasi atau pembedahan merupakan pengalaman yang sulit bagi hapir
semua pasien. Berbagai kemungkinan buruk bisa saja terjadi yang akan
membahayakan bagi pasien. Maka tak heran jika seringkali pasien dan
keluarganya menunjukkan sikap yang agak berlebihan dengan kecemasan yang
mereka alami. Kecemasan yang mereka alami biasanya terkait dengan segala
macam prosedur asing yang harus dijalani pasien dan juga ancaman terhadap
keselamatan jiwa akibat segala macam prosedur pembedahan dan tindakan
pembiusan (Barradero, 2013).

Kebanyakan prosedur bedah dilakukan di kamar operasi rumah sakit, meskipun


beberapa prosedur yang lebih sederhana tidak memerlukan hospitalisasi dan
dilakukan di klinik-klinik bedah dan unit bedah ambulatori. Perawat mempunyai
peranan yang sangat penting dalam setiap tindakan pembedahan baik pada masa
sebelum, selama maupun setelah operasi. Intervensi keperawatan yang tepat
diperlukan untuk mempersiapkan klien baik secara fisik maupun psikis. Tingkat
keberhasilan pembedahan sangat tergantung pada setiap tahapan yang dialami dan
saling ketergantungan antara tim kesehatan yang terkait (dokter bedah, dokter
anstesi dan perawat) di samping peranan pasien yang kooperatif selama proses
perioperatif (Barradero, 2013). Individu dengan masalah kesehatan yang
memerlukan intervensi pembedahan mencakup pula pemberian anastesi atau
pembiusan yang meliputi anastesi lokal, regional atau umum.

Dalam satu jam pertama pemberian anestesi akan terjadi penurunan pada suhu inti
tubuh sebesar 0,51,5oC. Mekanisme penurunan suhu selama anestesi adalah
kehilangan panas pada kulit akibat dari proses radiasi, konveksi, konduksi, dan
juga evaporasi yang lebih lanjut menyebabkan redistribusi dan penurunan laju
metabolisme. Kehilangan kalor melalui kulit merupakan mekanisme yang paling
dominan selama anestesi. Suhu inti tubuh perlahan-lahan turun saat panas hilang
dari permukaan kulit dan produksi panas melambat akibat penurunan metabolisme
(Ando et al, 2012)

Hipotermia didefinisikan keadaan suhu inti yang kurang dari 35oC dan merupakan
suatu faktor risiko independen terjadinya mortalitas setelah trauma. Bila suhu
kurang dari 36oC yang dipakai sebagai patokan maka insidensi hipotermia
berkisar 50 70% dari seluruh pasien yang menjalani pembedahan dan 30% di
antaranya dengan suhu 35oC. Hipotermia merupakan komplikasi yang masih
sering terjadi selama periode pembedahan, terutama di negara-negara yang
berkembang karena kekurangan sarana untuk mempertahankan suhu pasien pada
normotermia (Zhou et al, 2014)

Salah satu pencegahan hipotermia adalah teknik pemberian asam amino. Asam
amino merupakan senyawa organik yang mempunyai gugus fungsional karboksil
(-COOH) dan juga amina (-NH2). Mekanisme asam amino dalam mencegah
hipotermia belum diketahui secara pasti. Terdapat beberapa teori yang
menjelaskan asam amino dalam mengurangi hipotermia. Asupan nutrisi, salah
satunya ialah asam amino akan dicerna serta dimetabolisme untuk menghasilkan
energi yang sebagian besar dalam bentuk panas. Asam amino dapat meningkatkan
laju metabolik yang lebih tinggi dibanding dengan karbohidrat atau lemak.
Pemberian asam amino, baik enteral maupun parenteral merangsang metabolisme
oksidatif dan meningkatkan metabolisme sekitar 20%. Metode ini telah
dipergunakan untuk menjaga suhu tubuh intraoperatif dan juga mengurangi
komplikasi hipotermia pascaoperasi (Agus dkk, 2015). Berdasarkan uraian diatas
mahasiswa tertarik membahas jurnal mengenai penerapan asam amino pada
perawatan pasien intra operatif untuk pencegahan hipotermi.

1.2 Tujuan

1.2.1 Tujuan Umum


Mengetahui efektifitas pelaksanaan terapi tawa pada lansia dengan depresi di
masyarakat.
1.2.2 Tujuan Khusus
a. Mengidentifikasi keefektifan pemberian asam amino pada pasien intra
operatif untuk pencegahan hipotermi.
b. Menganalisis kemungkinan pemanfaatan pemberian asam amino pada pasien
intra operatif selama pemberian anastesi sebagai pencegahan hipotermi jika
diterapkan di lapangan.

1.3 Manfaat

1.3.1 Manfaat Praktis


Penulis mengharapkan bahwa pelaksanaan pemberian asam amino di kamar
operasi dapat dimanfaatkan oleh perawat sebagai inovasi untuk mencegah
hipotermi pada pasien intraoperative.

1.3.2 Manfaat Teoritis

Penulis berharap ini dapat digunakan untuk memberikan masukan bagi


perkembangan ilmu pengetahuan tentang penatalaksanaan dan pencegahan
hipotermi pada pasien yang dilakukan anastesi.
BAB II

TINJAUAN TEORI

2.1 Definisi Hipotermia

Hipotermia didefinisikan keadaan suhu inti yang kurang dari 35oC dan merupakan
suatu faktor risiko independen terjadinya mortalitas setelah trauma. Bila suhu
kurang dari 36oC yang dipakai sebagai patokan maka insidensi hipotermia
berkisar 50 70% dari seluruh pasien yang menjalani pembedahan dan 30% di
antaranya dengan suhu 35oC. Hipotermia merupakan komplikasi yang masih
sering terjadi selama periode pembedahan, terutama di negara-negara yang
berkembang karena kekurangan sarana untuk mempertahankan suhu pasien pada
normotermia (Zhou et al, 2014)

Suhu tubuh adalah perbedaan antara jumlah panas yang dihasilkan tubuh dengan
jumlah panas yang hilang ke lingkungan luar. Mekanisme kontrol suhu pada
manusia menjaga suhu inti (suhu jaringan dalam) tetap konstan pada kondisi
lingkungan dan aktifitas fisik yang ekstrim, namun suhu permukaan berubah
sesuai aliran darah kekulit dan jumlah panas yang hilang kelingkungan luar. Suhu
normal pada manusia berkisar dari 36-38 o (96,6 sampai 100,7oF). Pada rentang
ini jaringan dan sel tubuh akan berfungsi secara optimal. Nilai suhu tubuh juga
ditentukan oleh lokasi pengukuran, pengukuran suhu bertujuan memperoleh nilai
suhu jaringan dalam tubuh. Lokasi pengukuran untuk suhu inti yaitu rectum,
membrane timpani, arteri temporalis, arteri pulmonalis, esophagus dan kandung
kemih. Lokasi pengukuran suhu permukaan yaitu kulit, oral dan aksila (Potter &
Perry, 2009).

Hipotermia adalah gangguan medis yang terjadi di dalam tubuh, sehingga


mengakibatkan penurunan suhu karena tubuh tidak mampu memproduksi panas
untuk menggantikan panas tubuh yang hilang dengan cepat. Kehilangan panas
karena pengaruh dari luar seperti air, angin, dan pengaruh dari dalam seperti
kondisi fisik (Lestari, 2010).
2.2 Klasifikasi Hipotermia

Hipotermi dapat diklasifikasikan berdasarkan sumber paparan yaitu :

1. Hipotermi Primer : terjadi akibat paparan langsung individu yang sehat


terhadap dingin.
2. Hipotermi sekunder : mortalitas banyak terjadi pada fase ini dimana terjadi
kelainan secara sistemik.

Hipotermi juga dapat diklasifikasikan berdasarkan temperature tubuh, yaitu :

1. Ringan = 34-36C
Kebanyakan orang bila berada pada suhu ini akan menggigil secara hebat,
terutama di seluruh ekstremitas. Bila suhu tubuh lebih turun lagi, pasien mungkin
akan mengalami amnesia dan disartria. Peningkatan kecepatan nafas juga
mungkin terjadi.

2. Sedang = 3034C
Terjadi penurunan konsumsi oksigen oleh sistem saraf secara besar yang
mengakibatkan terjadinya hiporefleks, hipoventilasi, dan penurunan aliran darah ke
ginjal. Bila suhu tubuh semakin menurun, kesadaran pasien bisa menjadi stupor,
tubuh kehilangan kemampuannya untuk menjaga suhu tubuh, dan adanya resiko
timbul aritmia.

3. Berat = <30C
Pasien rentan mengalami fibrilasi ventrikular, dan penurunan kontraksi miokardium,
pasien juga rentan untuk menjadi koma, pulse sulit ditemukan, tidak ada reflex,
apnea, dan oligouria (Kliegman, 2007).

2.3 Efek Hipotermia Terhadap Tubuh Manusia

Perubahan suhu tubuh di luar kisaran normal akan mempengaruhi titik pengaturan
hipotalamus. Perubahan ini berhubungan dengan produksi panas berlebihan,
kehilangan panas berlebihan, produksi panas minimal, kehilangan panas minimal
atau kombinasi hal diatas. Sifat perubahan akan mempengaruhi jenis masalah
klinis yang dialami klien (Potter & Perry,2009).

Hipotermia merupakan salah satu perubahan suhu yang diakibatkan panas yang
hilang saat pajanan lama terhadap lingkungan dingin akan melebihi kemampuan
tubuh untuk menghasilkan panas. Hipotermia yang disengaja dapat dilihat selama
prosedur operasi untuk menurunkan kebutuhan metabolisme. Hipotermia yang
tidak disengaja biasanya terjadi perlahan dan tidak terlihat selama beberapa jam.

Saat suhu tubuh turun ke 35oC, klien bisa mengalami menggigil, kehilangan
ingatan, depresi dan gangguan akal. Jika suhu tubuh turun di bawah 34,4 oC,
terjadi penurunan denyut jantung, fekuensi nafas dan tekanan darah, kulit menjadi
sianotik. Jika hipotermia terus berlanjut, klien akan mengalami disritmia jantung,
kehilangan kesadaran dan tidak respon terhadap nyeri. Pada hipotermia berat
seseorang memperlihatkan tanda klinis seperti kematian (Potter dan perry, 2009).
Dalam taksonomi NANDA Hipotermia merupakan diagnosis keperawatan pada
domain 11 (keamanan/perlindungan) kelas 6 yaitu termoregulasi (Herdman,
2012).

2.4 Faktor Penyebab Hipotermia

Hipotermia terjadi ketika tubuh tidak dapat memproduksi panas yang cukup untuk
menggantikan panas yang hilang keluar ke lingkungan. Hipotermia dapat terjadi
ketika tubuh kehilangan panasnya. Tubuh dapat kehilangan panasnya melalui
radiasi, konveksi, dan evaporasi. Kehilangan panas yang paling signifikan saat
dingin terjadi karena tercelup di air yang dingin atau terpajan suhu udara yang
rendah (dingin) dan angin kencang saat kondisi berpakaian basah (Wald, Peter H,
2002). Suhu tubuh adalah jumlah panas yang dihasilkan di dalam tubuh, ditambah
panas dari lingkungan yang masuk dan keluar tubuh. Faktor risiko yang dapat
menyebabkan cidera karena dingin (cold injury) yaitu terkait dengan agent (suhu
dingin), host (manusia), dan lingkungan (angin dingin, kelembaban, durasi
terpajan, jumlah aktivitas, dan pakaian pelindung) (Wald, Peter H, 2002).
Beberapa faktor risiko cold injury yang terdapat manusia yaitu keadaan fisik yang
buruk, kelelahan, umur (sangat tua atau sangat muda), kekurangan asupan kalori,
memiliki penyakit baik akut maupun kronik (penyakit jantung), termasuk
prosedur medis yang menyebabkan penurunan suhu tubuh secara signifkan pada
pasien)

2.5 Pengaruh Pemberian Asam Amino terhadap Suhu Tubuh

Salah satu pencegahan hipotermia adalah teknik pemberian asam amino. Asam
amino merupakan senyawa organik yang mempunyai gugus fungsional karboksil
(-COOH) dan juga amina (-NH2). Mekanisme asam amino dalam mencegah
hipotermia belum diketahui secara pasti. Terdapat beberapa teori yang
menjelaskan asam amino dalam mengurangi hipotermia. Asupan nutrisi, salah
satunya ialah asam amino akan dicerna serta dimetabolisme untuk menghasilkan
energi yang sebagian besar dalam bentuk panas. Asam amino dapat meningkatkan
laju metabolik yang lebih tinggi dibanding dengan karbohidrat atau lemak.
Pemberian asam amino, baik enteral maupun parenteral merangsang metabolisme
oksidatif dan meningkatkan metabolisme sekitar 20%. Metode ini telah
dipergunakan untuk menjaga suhu tubuh intraoperatif dan juga mengurangi
komplikasi hipotermia pascaoperasi (Agus dkk, 2015).
BAB 3
RINGKASAN JURNAL

Perbandingan antara Penggunaan Asam Amino dan Ringer Laktat terhadap


Penurunan Suhu Inti Pasien yang Menjalani Operasi Laparotomi Ginekologi
dengan Anestesi Umum

Dalam satu jam pertama pemberian anestesi akan terjadi penurunan pada suhu inti
tubuh sebesar 0,51,5oC. Mekanisme penurunan suhu selama anestesi adalah
kehilangan panas pada kulit akibat dari proses radiasi, konveksi, konduksi, dan
juga evaporasi yang lebih lanjut menyebabkan redistribusi dan penurunan laju
metabolisme. Kehilangan kalor melalui kulit merupakan mekanisme yang paling
dominan selama anestesi. Suhu inti tubuh perlahanlahan turun saat panas hilang
dari permukaan kulit dan produksi panas melambat akibat penurunan
metabolisme.

Salah satu pencegahan hipotermia adalah teknik pemberian asam amino. Asam
amino merupakan senyawa organik yang mempunyai gugus fungsional karboksil
(-COOH) dan juga amina (-NH2). Mekanisme asam amino dalam mencegah
hipotermia belum diketahui secara pasti. Terdapat beberapa teori yang
menjelaskan asam amino dalam mengurangi hipotermia. Asupan nutrisi, salah
satunya ialah asam amino akan dicerna serta dimetabolisme untuk menghasilkan
energi yang sebagian besar dalam bentuk panas. Asam amino dapat meningkatkan
laju metabolik yang lebih tinggi dibanding dengan karbohidrat atau lemak.
Pemberian asam amino, baik enteral maupun parenteral merangsang metabolisme
oksidatif dan meningkatkan metabolisme sekitar 20%. Metode ini telah
dipergunakan untuk menjaga suhu tubuh intraoperatif dan juga mengurangi
komplikasi hipotermia pascaoperasi.

Tujuan penelitian ini mengetahui efek penggunaan asam amino preoperatif


terhadap suhu inti tubuh. Penelitian menggunakan metode kuantitatif intervensi
dengan rancangan uji klinis acak terkontrol buta tunggal pada 40 orang pasien
berusia 1857 tahun dengan status fisik American Society of Anesthesiologists
(ASA) I dan II yang menjalani operasi laparotomi ginekologi
Dari penelitian ini, terlihat bahwa tindakan pemberian asam amino dua jam
preoperasi bersifat memperlambat penurunan suhu inti tubuh. Selain itu,
kelompok asam amino tidak mengalami hipotermia selama berlangsungnya
pembedahan sehingga dapat dikatakan bahwa pemberian infus asam amino 2
mL/kgBB/jam selama dua jam preoperasi dapat mencegah hipotermia selama
operasi.

Anda mungkin juga menyukai