Anda di halaman 1dari 14

Fashion Blogger dan Generasi Visual Indonesia: Dipuja atau Dicerca?

Saya seorang blogger. Lebih tepatnya seorang fashion blogger. Apa sih fashion

blogger itu? Sedikit refleksi diri disini, saya juga ga tahu apa. Banyak orang yang bilang

kalau fashion adalah bidang yang paling sering dianggap remeh. Sering dianggap tidak

penting ya karena kata kata yang nyambung sama fashion ya pakaian, tren, gaya,

aksesoris.1 Saya, mengikuti Barnard dan juga Elizabeth Wilson, berspekulasi bahwa

fashion dianggap remeh dan hanya mengenai hal-hal tidak penting ya karena

hubungannya yang erat dengan perempuan. Perempuan mana yang tidak suka bersolek

dan berpenampilan menarik? Saya curiga, jangan-jangan saya jadi fashion blogger juga

karena saya perempuan.

Fashion blogger sebenarnya sudah ada dari dulu-dulu. Perkembangan trennya

sudah lama di luar negeri. Blogger terkenal seperti Bryan Boy, yang aslinya dari Filipina,

dan juga dengan bangga mempersembahkan dirinya sebagai mahluk dunia ketiga, sudah

sering mondar-mandir di fashion show desainer kelas dunia, duduk-duduk di baris depan

dengan laptopnya dan kamera digital. Tavi Gevinson, seorang gadis 15 tahun dari

Amerika, saat masih SMP sudah diundang untuk duduk dan menikmati runway di deretan

depan. Dia sudah di kagumi oleh orang orang dunia fashion karena esay-esay pendek di

blog miliknya yang tajam dan kritis. Di Perancis, ibukotanya fashion, sudah banyak

blogger yang masih mahasiswa atau bahkan karyawan magang di studio fashion desainer

kelas dunia yang membuat blog dan berbagi tentang dunianya. The Cherry Blossom Girl

1
Paling tidak Malcolm Barnard dalam bukunya Fashion as Communication berpendapat begitu.
Pendapatnya berdasarkan penelitiannya yang ekstensif mengenai fashion.

Annisa R. Beta Page 1 jutannisa@gmail.com


dan Pandora, misalnya, membagikan foto-foto cantik mereka memakai barang-barang

desainer kenamaan.

Di Indonesia, perkembangan fashion blog baru diakui setahun belakangan ini, dan

langsung diikuti dengan tumbuhnya jamur-jamur blog fashion kecil-kecilan yang ujung-

ujungnya hilang begitu saja tanpa jejak (untung blog saya masih bertahan sampai

sekarang). Ada beberapa blog yang terkenalnya minta ampun sampai diajak jadi

perwakilan beberapa produk yang ngandalin imej anak muda dan bahkan jadi desainer

dadakan, dan ada blog yang terkenal karena sering dicemooh tapi tetap aja jadi bahan

omongan.

Perkembangan fashion blog di mata para penulis fashion atau majalah fashion

masih dipandang setengah mata, sampai akhirnya majalah Vogue, kitab fashion dunia,

mengakui keberadaan para fashion blogger ini. Di edisi bulan Maret, Vogue menuliskan:

Every generation in fashion has its force to be reckoned with, but this

group is the first of its kind. It blogs about style and is making a global industry

sit up and take notice […] Blogging can command a profile in the fashion world,

bringing a certain kind of power and previlege […] they offer different

commentaries about fashion, beauty, and lifestyle that can’t be found in the

mainstream meadia […] There is a specificity to their discourses, one that highly

subjective and generationally specific, born of the desire to share their own

particular opinions, tastes, and obsessions.2

2
Mark Holgate, Logged On. VOGUE US, March 2010.

Annisa R. Beta Page 2 jutannisa@gmail.com


Karena sang kitab fashion sudah menurunkan titah kepada para hambanya, maka

dunia fashion blog membludak dan semakin menjadi-jadi. Banyak perusahaan juga

memanfaatkan situasi ini. Sudah menjadi kebiasaan untuk para blogger terkenal buat

nerima barang gratisan dan memakainya. Memberikan komentar, memamerkan barang

tersebut, dan kemudian memberikan rekomendasi. Di Amerika sendiri, bahkan

pemerintahnya sampai membuat peraturan untuk para blogger beruntung ini untuk

menuliskan jika barang tersebut diberikan atau dipinjamkan oleh Federal Trade

Comission3.

Di Indonesia sendiri, karena fashion show tidak seramai di luar negri, maka para

fashion blogger mempunyai ciri khas yang berbeda. Kebanyakan fashion blogger di

Indonesia bukanlah para pelaku fashion atau orang dalam dunia fashion. Rata-rata hanya

para orang biasa—yang kebanyakan perempuan—yang mempublikasi gaya berpakaian

mereka sehari-hari. Tentu saja, gaya berpakaian sehari-hari yang di post tidak bisa yang

biasa saja, setidaknya itu yang saya lihat dari para fashion blogger terkenal Indonesia.

Gaya para fashion blogger ini memang sangat menarik. Karena saya juga seorang

fashion blogger, saya sering membuka berbagai blog untuk melihat dan membandingkan,

sebuah observasi kecil-kecilan. Cara menilai blog itu menarik atau tidak, pantas atau

tidak untuk saya buka setiap hari, saya dasarkan pada penampilan visualnya.

Pertama, apakah blog itu tampilannya menggoda, tapi tidak norak? Hal ini agak

sulit. Batasan antara menarik dan terlalu banyak warna, bagaikan benang jahitan. Tipis.
3
http://www.ftc.gov/opa/2009/10/endortest.shtm#

Annisa R. Beta Page 3 jutannisa@gmail.com


Ada blog yang suka menggunakan tampilan mengilap, atau gambar bergerak, atau

animasi loncat-loncat, yang maknanya juga tidak ada. Yang seperto itu saya lewati

langsung. Jika penampilannya dengan warna merah muda, atau biru, atau simple putih,

tapi punya header blog yang menarik dan membuat saya ingin baca, maka saya akan

lanjut baca terus. Kontras antara warna background tidak norak dan cocok, pilihan warna

yang dipakai cukup menarik dan tidak berlebihan. Tampilan blog yang menarik, simpel

dan padat cenderung lebih saya sukai.

Kedua, apakah si blogger punya foto-foto dengan pakaian-pakaian yang menarik?

Foto merupakan andalan bagi seorang fashion blogger. Kamera tidak harus yang

profesional, tapi warna dan fokusnya terlihat. Bukan kamera handphone atau blackberry

yang buram, apalagi dengan refleksi diri di cermin sambil memegang telepon genggam.

Foto sangatlah penting, karena merupakan satu-satunya media untuk menyampaikan ke

pembaca apa yang dipakai atau apa yang sedang menarik. Tidak ada foto atau gambar,

maka bukanlah fashion blog.

Ketiga, pakaian dan aksesoris. Seperti saya bilang tadi, karena fashion keburu

dianggap orang cuma berhubungan dengan pakaian, aksesoris, tren, dan gaya, ya

makanya kalau baca fashion blog, intinya adalah pakaian dan aksesorisnya.

Keempat, sebenarnya cukup menantang: bahasa. Jarang ada fashion blogger

Indonesia yang memakai bahasa ibu pertiwi, bahasa Indonesia. Hampir semua fashion

blog terkenal menggunakan bahasa Inggris, dan tentu saja bahasa Inggris yang baik dan

Annisa R. Beta Page 4 jutannisa@gmail.com


benar, walaupun mungkin kemampuan si blogger kalau sudah giliran menggunakan

bahasa Indonesia yang baik dan benar wajib di pertanyakan. Jujur, dengan bahasa

Inggris, para blog ini lebih mudah mengembangkan sayapnya dan menyediakan media

bagi para pembaca non-Indonesia. Teks blog selalu menggunakan bahasa Inggris ala

sekarang. Para blogger terkenal rata-rata fasih sekali dengan kekinian bahasa Inggris.

Dari semua prasayarat diatas yang semuanya tampil dalam kemasan visual

menjadi bungkusan penting bagi para blogger. Dengan semua itu, blog menjadi layak

tampil, dan para pembaca, yang menjadi fokus dan target bisa menjadi pengunjung

langganan dan memilih untuk mengunjungi blog itu secara setia. Saya mau bercerita soal

dua fashion blog yang berkontradiksi, yang satu dipuja dan satu dicerca. Saya

merefleksikan semua ini sebagai pembaca blog akut dan bertanya kepada diri sendiri,

kenapa?

***

Sudah pernah coba mengunjungi blog Diana Rikasari4? Blognya menjadi ratu

diantara semua macam blog yang ada di Indonesia. Kunjungi saja Indonesian Matters,

website yang membuat rangking blog Indonesia berdasarkan jumlah kunjungan, Diana

Rikasari duduk di posisi nomer satu, dan sudah lama sekali tidak lengser dari posisi itu.

4
http://dianarikasari.blogspot.com

Annisa R. Beta Page 5 jutannisa@gmail.com


Blognya mengundang paling tidak 3000 pembaca tiap hari. Gila ya? Mungkin

website- website besar jumlah pengunjungnya bisa kalah saing dengan blog yang bahkan

masih dibawahi blogspot ini.

Diana merupakan juara satu dan idola majalah fashion anak muda masa kini. Dia

sudah sering di wawancara dan diprofilkan oleh berbagai majalah remaja. Koran-koran

besar Indonesia juga pernah membahas fenomena fashion blog dengan Diana sebagai

representasinya. Dia juga beberapa kali tampil di televisi di acara make over. Dia selebriti

dadakan yang besar dari usahanya sendiri dan nasib yang baik, sehingga sudah berjuta-

juta kali orang membuka blognya tiga tahun belakangan ini.

Setahu saya, Diana bukanlah orang dalam fashion atau anak dari desainer, atau

punya darah keturunan kerajaan fashion Indonesia. Di liputan Media Indonesia5, Diana

mengakui bahwa semua ini berawal dari keinginannya untuk menuliskan kesehariannya

saja. Kemudian dia belajar untuk terus konsisten dan menjaga tampilan blognya agar

terus fokus, mengikuti fashion stylenya yang kadang eksentrik. The Jakarta Post6 bahkan

mengakui bahwa blog Diana yang merepresentasikan ribuan fashion blog lain di

Indonesia yang sudah menjadi bagian dari budaya populer dan gaya hidup.

Saya, sebagai pembaca, cukup setia untuk mengunjungi blognya Diana bukan

karena ada peer pressure atau kewajiban. Saya suka gaya Diana, ya, yang memang betul,

konsisten. Tampilan blognya rapih, warna pink melatarbelakangi teks dan gambar, tetapi

5
http://3.bp.blogspot.com/_nUPYyDwuQmg/SevNxk57PFI/AAAAAAAAFZA/rJtv8t9ZE3c/s1600-
h/media+indonesia2.JPG
6
http://www.thejakartapost.com/news/2010/02/28/local-fashion-scene-moves-online.html

Annisa R. Beta Page 6 jutannisa@gmail.com


tidak ada yang menabrak. Hampir setiap hari dia posting pakaian yang intriguing dari

segi kreatif.

Tapi yang menurut saya paling menarik, dan cenderung bikin sirik, bukan hanya

kemampuan Diana untuk bergaya, tetapi barang-barang yang dimilikinya. Alamak,

umurnya baru 25 tahun tapi barang-barang yang dimilikinya mungkin baru bisa saya

miliki kalau saya sudah keriput nanti dan kerja habis-habisan sampai saya kena stroke.

Diana jika tidak dihujani hadiah oleh produsen fashion lokal (yang dia akui, di

Media Indonesia, terkadang dia pakai, terkadang tidak, karena tidak ingin komersial),

akan memakai barang yang ia beli atau milik mamanya. Produk-produk yang dia beli,

saya tahu sekali, dan kebanyakan orang yang menyukai fashion pasti tahu, harganya bikin

dahi berkerut karena harganya. Sepanjang pengelihatan saya, Diana punya Marc Jacobs,

Chanel, Balenciaga, Anya Hindmarch, dan juga berbagai barang retail luar negeri dari

Forever 21, Topshop, Dorothy Perkins, Zara, Mango, Tory Burch, Ugg, dan masih

banyak lagi merk-merk untuk kalangan menengah atas yang saya tidak berani ngelihat

label harg nya.

Tidak, Diana tidak pernah menyombong-nyombongkan apa yang dia punya.

Memang sudah peraturannya fashion blog untuk menyebutkan barang apa yang dipakai,

dengan sedikit komentar yang berhubungan dengan barang tersebut7. Tapi

ketidaksombongan atau mungkin kewajaran Diana inilah yang membuat para


7
Komentar komentar tentang barang-barang fashion yang selalu didaftarkan berasal dari mana atau
merknya apa sebenarnya udah dibudidayakan di majalah fashion dari jaman dulu. Silahkan cek Roland
Barthes, The Fashion System. Secara ekstensif beliau membahas mengenai teks-teks ini dari segi semiotika.

Annisa R. Beta Page 7 jutannisa@gmail.com


pembacanya, maksudnya saya dan sekitar 3000 orang lainnya, rajin mengunjungi

blognya. Diana mampu mengkombinasikan barang-barang ini sehingga tampil lebih

menarik. Semuanya ditambahkan dengan gaya pribadinya.

Ditambah lagi, gaya hidup Diana yang membuat saya sirik. Diana sangatlah urban

. Coba dilihat, dia sering berkumpul bersama teman-temannya di kafe, berbelanja dan

mengunjungi acara yang hip, dan juga berjalan-jalan ke tempat yang mungkin, orang

seperti saya, baru bisa kunjungi kalau sudah menabung setahun dua tahun.

Nah karena blog memang bergantung pada pembaca, maka ada semacam dialog

antara pembaca dan Diana. Diana, dalam The Jakarta Post8, mengakui bahwa fashion

blogger bisa membentuk tren, namun karena dia sudah dikenal oleh masyarakat, maka di

blognya ia harus lebih bertanggung jawab dalam apa yang ditulis di blog, dipakai, dan

bahkan apa yang dia lakukan. Dari bertanggung jawab ini, saya anggap sebagai

pengakuan dirinya untuk bisa terus mengikuti dengan permintaan para pembacanya.

Komunikasi antara penggemarnya dan Diana terus terjadi selama Diana terus mengurus

blog. Dan karena Diana mampu menampilkan dan memberikan sesuatu diminati, maka

selama itu pula, blognya bisa terkenal.

***

8
"But in a broader context, fashion blogs allow bloggers to be involved in shaping upcoming trends both
directly and indirectly. And we get recognized for it and become a brand of our own. Once we've reached
this stage I personally don't see anything negative about it, except that we then have to carry a bigger
responsibility in what we do, wear and blog about."

Annisa R. Beta Page 8 jutannisa@gmail.com


Dari blog yang terkenal dan dipuja puja, mari kita bergeser ke blog yang terkenal

karena dicerca: Hotta Lotta9. Apa dosanya Tara, sang pemilik blog, sampai orang

mengunjungi blognya hanya untuk memberi komentar sadis, yang makin menjadi jadi

dan sama dengan cyber bullying?

Sudah hampir dua tahun lebih Tara mempunyai blog. Tetapi bahkan sampai tahun

2010, bulan Juli ini, masih ada saja komentator anonim yang memberikan komentar

sadis10. Jujur, saya sendiri tahu blog Tara dari teman saya yang juga ketawa dan geli

sendiri melihat blog ini. Pertama kali saya melihat juga, saya tertawa. Saya tertawa

karena blog dan gaya Tara tidak sesuai dengan dua dari empat syarat saya diatas.

Prasayarat dari kacamata saya, perempuan berpendidikan dari kelas menengah yang

membanding-bandingkan usaha Tara untuk tampil menarik sama dengan usaha berani

mati.

Pertama, foto yang Tara post di blognya rata-rata menggunakan kamera

handphone dengan kualitas gambar yang rendah sekali. Seperti saya sudah bilang tadi,

karena fashion blog berhubungan dengan erat dengan pakaian dan aksesorisnya, satu-

satunya cara untuk membagikan gaya dengan para pembaca adalah dengan foto. Tara

sepertinya memilih untuk tidak mencoba menggunakan kamera yang sedikit lebih baik

atau mungkin cara lain yang bisa memperbaiki kualitas gambar. Selain kualitas foto,

beberapa pose Tara sangat datar. Padahal dalam fashion blog seorang blogger harus

menjadi model, merepresentasikan dirinya sendiri dengan barang-barang fashion


9
http://hottalotta.blogspot.com
10
Lihat ke link ini https://www.blogger.com/comment.g?
blogID=753891624051657141&postID=2012031824764547961&isPopup=true Ada komentator yang
sampai berkata astaghfirullah dan mencerca gayanya, mengecap Tara alay.

Annisa R. Beta Page 9 jutannisa@gmail.com


kesukaannya. Tara cenderung memilih pose yang itu itu saja, dan sayangnya pose-pose

tersebut cenderung dicemooh orang. Ia tidak seberani atau sekreatif Diana dalam

bergaya.

Kedua, pakaiannya. Tadi saya bilang, Diana punya koleksi pakaian dari berbagai

merk, dalam dan luar negeri. Semuanya membuat pembaca seperti saya berkhayal: kalau

saya punya kemampuan untuk beli barang-barang itu, apa saya akan bisa segaya Diana?

Tara, di pihak lain, tidak memiliki koleksi barang desainer, atau istilahnya yang

branded. Rata-rata pakaian yang dipakainya merupakan barang yang bisa didapatkan

semua orang dengan harga yang saya tahu, biasa saja. Pakaian Tara tidak membuat saya

mengerutkan dahi, padu padan pakaiannya juga bisa saya lihat sehari-hari.

Mengenai dua persyaratan lainnya, tampilan blog Hotta Lotta milik Tara

sebenarnya sudah baik. Minimalis dan simple. Mudah dibaca. Bahasa Inggris Tara masih

rata rata, tapi paling tidak masih bisa dimengerti dan tidak kacau. Tetapi karena dunia

fashion bukanlah dunia yang adil, lemahnya Tara dikedua syarat lain, terkadang

cenderung membuat pembaca lupa, bahwa dia berhak mempunyai blog dan

mempublikasikan apapun tanpa dihina.

***

Tapi kacamata saya harus saya bisa ganti, memandang sedikit objektif bahwa

seberapapun terkenalnya Diana Rikasari tidak kemudian mengharuskan blognya menjadi

Annisa R. Beta Page 10 jutannisa@gmail.com


alat perbandingan terhadap blog lain, seperti Hotta Lotta. Maksud saya, semua orang di

abad 21 ini berhak mempunyai blog, menulis dan memfoto apapun tanpa ditibankan

syarat apapun.

Di sisi lain, pembaca seperti saya sebenarnya punya kebebasan sebesar-besarnya

untuk memilih blog mana yang harus dibaca dan disukai. Internet merupakan media yang

luas, dan tidak ada yang memerintahkan seorang pembaca untuk wajib menyukai satu

blogger dan menghina yang lain. Tapi kenapa saya dan pembaca lain masih sempat-

sempatnya mentertawakan atau memandang rendah HottaLotta dengan komentar-

komentar sadis, yang berarti saya harus membuka blognya dan kemudian berniat

mengetik komen? Kenapa saya dan pembaca lain tidak membuka hal-hal yang kita suka

saja, dan dengan demokrasi yang disediakan oleh internet, memilih dan mendalami kita

suka? Kenapa ada yang dihina dan dipuja?

Jika Idi Subandy Ibrahim menulis artikel atau buku lagi mengenai budaya populer

dan fashion, mungkin beliau akan dengan dalam membahas masalah voyeurism yang

berbahaya ditengah masyarakat urban Indonesia yang membaca fashion blog. Dalam

bukunya Budaya Populer sebagai Komunikasi, beliau mengutip Kellner (1995):

[…] budaya media telah muncul dalam bentuk citra, bunyi, dan tontonan

yang membantu membangun struktur kehidupan sehari-hari, mendominasi waktu

luang, membentuk pandangan politik dan perilaku sosial, dan menyediakan bahan

Annisa R. Beta Page 11 jutannisa@gmail.com


bagi orang-orang untuk membangun identitas-identitas […] budaya media juga

merupakan media yang dipertentangkan (contested terrain), di mana kelompok-

kelompok sosial yang utama dan ideologi-ideologi yang sailing bersaing berjuang

demi dominasi dan individu-individu menjalani perjuangan ini melalui citra,

wacana, mitos dan tontonan budaya media.

Diana Rikasari dan Hotta Lotta menjadi arena konstetasi ideologi masyarakat

urban di Indonesia masa kini. Diana Rikasari merupakan representasi kuat dari kalangan

menengah atas yang menjalani hidup ala urban dream. Ia lulusan S2 luar negeri, berasal

dari keluarga berkecukupan, memiliki gaya hidup ideal, membeli barang fashion adalah

kegiatan di waktu luangnya, dan aktivitas lain yang ia lakukan termasuk dalam kategori

‘urban’. Lihat kamar Diana yang sering menjadi background fotonya, unik dan menarik,

berisi barang-barang yang kombinasinya seperti kamar-kamar yang sering saya lihat di

majalah atau buku interior design. Dan tentu saja koleksi barang fashionnya yang beyond

expectation.

Tara dari Hotta Lotta? Semuanya terlalu biasa saja. Gaya hidupnya tidak berbeda

dari orang kebanyakan. Ia datang ke acara-acara yang sejuta remaja Jakarta bisa datangi

dengan mudah, tidak perlu undangan khusus atau hubungan dengan orang-orang khusus.

Pakaian dan produk-produk fashion yang ia koleksi bisa didapatkan orang Jakarta dengan

mudah di mal. Rumah dan background foto Tara menunjukkan tempat tinggal generik

Annisa R. Beta Page 12 jutannisa@gmail.com


yang sering kita lihat di tengah-tengah hiruk pikuk rumah-rumah yang berdempetan di

kota.

Jika Diana tampil sangat natural dengan citra diri (self-image) yang global, maka

Tara dengan mudah dapat dimasukkan ke kategori perjuangan citra diri. Tara mencoba

memiliki citra global dengan bahasa Inggrisnya dan fashion blognya. Menariknya, jika

Diana mungkin bukanlah representasi umum kebanyakan masyarakat urban Indonesia

(ingat, urban tidak sama dengan kaya, lihatlah Jakarta secara menyeluruh) dan sebenar-

benarnya Tara lah perwakilan tepat dari masyarakat urban dengan merk pakaian yang

dipakainya, representasi tempat tinggalnya, dan gaya hidupnya, lalu kenapa harus ada

cemooh atau sikap penolakan dari pembaca?

Globalisasi masuk ke rumah kita tanpa mengetuk pintu dan tanpa ada jendela atau

pintu yang rusak11. Pikiran dan ideologi yang kita pegang sudah diresapi olehnya.

Berpenampilan global sama dengan berpenampilan urban yang ideal. Bukankah

berpakaian dengan merk-merk mahal lebih mulia dan lebih bernilai tinggi dalam dunia

fashion Indonesia jika dibandingkan dengan merk-merk pakaian generik? Bukankah itu

alasan utama industri tas palsu atau factory outlet berkembang pesat?

Maka tampilan Diana di blognya menjadi ideal. Ia berbeda karena tampilan

visualnya dan apa yang bisa ia deskripsikan dan kemudian diinterpretasikan sebagai

sesuatu yang superior bagi pembaca. Bahasa Inggrisnya yang kental dengan aksen

11
Idi Subandy Ibrahim, Budaya Populer sebagai Komunikasi: Dinamika Popscape dan Mediascape di
Indonesia Kontemporer, Jalasutra: Yogyakarta. 2007. Hal.xvii

Annisa R. Beta Page 13 jutannisa@gmail.com


California, pakaian dan tasnya yang bermerk dan diyakini berkualitas tinggi, gaya

hidupnya dan acara-acara yang dihadirinya dirasakan pembaca sebagai sesuatu yang

sudah seharusnya. Lalu, tidakkah Tara dari Hotta Lotta menjadi liyan? Blognya

terhantam idealisme para pembaca anonim yang memberikan komentar sadis atau ejekan,

juga oleh pembacanya diluar sana yang mungkin juga membuka blognya, tanpa perlu

meninggalkan komentar. Tara menjadi yang lain karena ia tidak setara, tidak ideal. Ia

terlalu biasa. Untuk membawanya menembus tembok idealisme visual tersebut, maka

Tara mungkin harus menjadi orang kaya dan meyakinkan sekelompok pembaca dengan

koleksi barang fashion yang hebat, gaya hidup ala orang-orang menengah keatas, untuk

mendapatkan sedikit tempat dan apresiasi. Jika tidak, Diana akan terus menjadi penguasa

yang ideal dan Tara, rakyat biasa.

Membaca fashion blog merupakan kegiatan mengintip ke lubang pintu gaya hidup

seseorang dengan lemari pakaiannya. Dengan syarat, kesemuanya harus sesuai imaji dan

ekspektasi pembaca. Identitas sang blogger yang terbungkus dalam foto, gaya, dan

pakaiannya dan kemudian menjadi self-brand tidak akan jadi apa-apa tanpa penyesuaian

diri dan indentifikasi dari para pembacanya. Jika benar spekulasi terkini bahwa saya,

anda, kita adalah generasi visual, maka gejolak untuk menilai segala sesuatu dari sudut

visual akan selalu terbagi dua: memuja atau menghina.

Annisa R. Beta Page 14 jutannisa@gmail.com

Anda mungkin juga menyukai