Anda di halaman 1dari 80

PERANCANGAN INFOGRAFIS TUNAGRAHITA SEBAGAI

PENYAKIT YANG MENYERANG ANAK

Tugas Akhir
diajukan untuk melengkapi
persyaratan mencapai
gelar sarjana

Nama : ARDISON
NPM : 201346500012

PROGRAM STUDI DESAIN KOMUNIKASI VISUAL


FAKULTAS BAHASA DAN SENI
UNIVERSITAS INDRAPRASTA PGRI
2017
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Anak tunagrahita adalah anak yang memiliki kecerdasan di bawah rata-rata

yang terjadi pada saat masa perkembangan dan memiliki hambatan dalam

penilaian adaptif. Secara harafiah kata tuna adalah merugi, sedangkan grahita

adalah pikiran, dengan demikian ciri utama dari anak tunagrahita adalah lemah

dalam berpikir atau bernalar. Kurangnya kemampuan belajar dan adaptasi sosial

berada di bawah rata-rata (Mulyono Abdulrachman, 1994 : 19). Untuk mengatasi

hambatan-hambatan tersebut, anak tunagrahita diberikan cara pelayanan

pendidikan yang berbeda dengan anak normal dan harus disesuaikan dengan

taraf kelainannya. American Association On Mental Deliciency (AAMD) dalam

Mumpuniarti (2007 : 13) mengatakan klasifikasi tunagrahita adalah tunagrahita

ringan dengan IQ berkisar 50-70, tunagrahita sedang dengan IQ berkisar 30-50

dan tunagrahita berat dan sangat berat dengan IQ berkisar < 30.

Dari ketiga jenis taraf ketunagrahitaan tersebut, yang diungkap dalam

penelitian ini adalah kelompok tunagrahita ringan. Anak tunagrahita ringan

adalah anak yang mengalami hambatan dalam berbagai aspek, diantaranya dalam

kemampuan mental, bahasa, motorik, emosi dan social. Menurut Edgar Dole

dalam Moh Efendi (2006 : 89) mengatakan bahwa sesorang dikatakan

tunagrahita jika

(1) secara social tidak cakap,

(2) secara mental di bawah anak normal sebayanya,

(3) Kecerdasannya terhambat sejak lahir atau pada usia muda dan

(4) kematangannya terhambat.


Layanan pendidikan bagi anak tunagrahita ringan harus disesuaikan

dengan karakteristik dan kemampuan anak. Layanan tersebut dapat dilaksanakan

di sekolah berupa rancangan program pembelajaran yang diberikan dalam bentuk

mata pelajaran umum dan mata pelajaran khusus. Mata pelajaran umum seperti

pelejaran Agama, Bahasa Indonesia, Ilmu Pengetahuan Sosial, Ilmu Pengetahuan

Alam, Matematika, Pendidikan Kewaraganegaraan, Pendidikan Jasmani dan

Kesehatan sedangka untuk mata pelajaran khusus adalah Pembelajaran Bina Diri.

Program pembelajaran ini diharapkan dapat membantu anak tunagrahita ringan

agar mampu menuju kemandirian dan kedewasaan seoptimal mungkin.

Pembelajaran Bina Diri meliputi kemampuan merawat diri, bisa juga

disebut menolong diri sendiri atau mengurus diri sendiri. Kemampuan merawat

diri didapatkan tidak langsung diwariskan dari orangtua. Anak tunagrahita ringan

kemampuan berpikirnya sangat terbatas, dan mereka mengalami kesulitan dalam

mempelajari merawat dirinya. Apa yang oleh anak normal pada umumnya dapat

dipelajari secara incidental atau melalui pengamatan, maka untuk anak

tunagrahita ringan harus melalui proses pembelajaran dan dengan usaha yang

keras. Pembelajaran tersebut dimulai dengan program yang mudah atau ringan,

sederhana, sistematis, khusus dan dalam taraf yang selalu diulang- ulang.

Kemampuan merawat diri mencakup beberapa hal yang berkaitan dengan

kepentingan anak sehari- hari antara lain; makan dan minum, kebersihan dan

kerapian diri yang meliputi kebersihan badan, berpakaian, berhias diri,

keselamatan diri dan adaptasi social atau lingkungan. Dengan pembelajaran

merawat diri sendiri atau bina diri diharapkan anak tunagrahita ringan tersebut

dapat mengurus dirinya atau merawat dirinya tanpa bergantung pada orang lain.

Sesuai dengan keadaan dan kondisi anak tunagrahita ringan maka tujuan

pembelajaran merawat diri adalah:

1. Agar anak dapat memiliki keterampilan merawat diri sendiri.


2. Agar anak dapat menjaga kebersihan badan dan kesehatan dirinya.

3. Agar anak dapat tumbuh rasa percaya dirinya karena telah mampu

mengurus dirinya sendiri.

Berdasarkan hasil observasi di lapangan, anak tunagrahita ringan kelas II

SDLB di SLB Bhakti Pertiwi Prambanan Sleman banyak yang belum dapat

merawat dirinya sendiri.

Kenyataan yang peneliti temui di lapangan, setiap pagi sewaktu masuk

sekolah ada anak yang badannya sudah bau seperti belum mandi. Kondisi ini

tentu tidak boleh dibiarkan, karena akan mengganggu aktifitasnya sehari- hari,

mengganggu orang lain dan yang jelas akan mengganggu proses pembelajaran.

Oleh karena itu perlu adanya perencanaan dan langkah- langkah pembelajaran

merawat diri untuk mengatasi masalah tersebut. Hal inilah yang melatar belakangi

peneliti untuk mengangkat masalah ini guna dilakukan penelitian, dengan harapan

anak tunagrahita ringan dapat dipersiapkan untuk mampu merawat diri sendiri

dengan baik.

Langkah yang ditempuh dalam pembelajaran merawat diri tentang mandi

dengan metode pembiasaan yang diterapkan pada anak dan selalu diulang-ulang.

Media juga dapat digunakan dengan berbagai variasi yang dapat merangsang

ketertarikan anak untuk mau mengikuti pembelajaran.

B. Indetifikasi Masalahan

1. Masih banyak masyarakat yang kurang perhatian akan penyakit tuna

Grahita

2. Masyarakat yang menderita khususnya para orangtua tidak begitu banyak

yang mengetahui bagaimana penyebab Tunagrahita


3. Media informasi yang sudah ada berupa video dokumentasi hanya

berdurasi singkat, dan membahas sedikit mengenai tuna Grahita saja tidak

ada pembahasan mengenai apa saja yang telah

4. Belum ada media infografis yang membahas sejarah, proses, bentuk,

fungsi, jenis dan kondisi tuna Grahita

C. Batasan Masalah

1. Belum banyak ditemukan media film Khususnya media infografis yang

menginformasikan tentang Grahita

2. Dibutuhkan rancangan infografis yang ringan dan menarik tetapi tetap

mengutamakan informasi yang tepat sehingga mudah dimengerti oleh

Masyarakat terutama para orang tua

D. Rumusan Masalah

Dari uraian yang disampaikan diatas dapat diambil rumusan


masalah, yaitu bagaimana merancang media infografis tuna Grahita Sebagai
penyakit anak yang berkenutuhan Khusus

E. Tujuan Penelitian

Adapun untuk menjawab rumusan masalah tersebut ialah untuk


merancang media infografis tuna Grahita Sebagai penyakit anak yang
berkenutuhan Khusus.
F. Kegunaan Penelitian

1. Adapun kegunaan dari penelitian ini secara teoritis adalah :

Menambah kepustakaan tentang Tuna Grahita dalam media Infografis,

sehingga dapat menambah refrensi baru bagi penelitian yang akan

mengkaji objek ini melalui media yang berbeda.

2. Adapun kegunaan penelitian ini secara praktis adalah :

Media informasi mengenai Tuna Grahita yang dipergunakan masyarakat

untuk mengedukasi dalam hal pengetahuan Tuna Grahita yang diderita

anak berkebutuhan khusus dan penanggulangannya

G. Sistematika Penulisan

Susunan dan urutan peneliti berisi ringkasan isi dari masing-masing

BAB yang terdapat pada penelitian ini, agar penelitian ini mudah dipahami

dan sistematis maka penulisan ini dibagi menjadi lima BAB.

1. BAB I Pendahuluan.

Bab ini berisikan penjelasan mengenai objek yang di angkat yaitu,

Tuna Grahita. Penjelasan tersebut menjadi dasar pemikiran dan

melandasi kerangka penelitian dalam perancangan buku informasi

Artefak Obsidian. Bab ini memuat uraian mengenai latar belakang

penelitian, permasalahan, tujuan, batasan penelitian, sumber data,

metode dan sistematika penelitian.


2. BAB II Tinjauan Pustaka dan Landasan Teori.

Bab ini membahas tinjauan pustaka ataupun tinjauan karya yang

berhubungan dengan objek penelitian yaitu, Artefak Obsidian serta

mengenai gambaran objek penelitian yang meliputi keadaan situs Gua

Pawon, cara pembuatan Artefak Obsidian, deskripsi dan klasifikasi

Artefak Obsidian berdasarkan bentuk, ukuran, fungsi, dan kulit batu

yang dapat menunjukan karakteristik tertentu pada Artefak Obsidian di

Gua Pawon. Pada tinjauan pustaka bersumber dari pustaka yang

berhubungan dengan Artefak Obsidian dari Gua Pawon ataupun

mengenai manusia pendukung di sekitaran tepian Bandung purba berupa

buku, jurnal, serta skripsi penelitian. Landasan teori pada bab ini

membahas teori tentang DKV, teori yang berkaitan dengan DKV seperti

pengertian, jenis-jenis, dan elemen desain pada buku informasi, serta

teori yang berkaitan dengan positioning dari media ini, yaitu media ini

dikhususkan untu remaja dan para pelajar. Pada bab ini juga dijelaskan

tentang kerangka berpikir yang menjelaskan alur dan proses penelitian

dimulai dengan latar belakang hingga proses perancangan dalam bentuk

bagan.

3. BAB III Metode Penelitian.

Membahas mengenai keterangan dan cara peneliti dalam

melakukan penelitian, semua itu meliputi dari deskripsi waktu dan

tempat penelitian, jenis penelitian yang peneliti gunakan, dan teknik


pengumpulan data peneliti mengenai objek artefak obsidian dari Gua

Pawon tersebut.

4. BAB IV Perancangan.

Pada bab ini peneliti menyajikan data yang telah dikumpulkan

selama penelitian berlangsung, baik merupakan hasil setudi literatur,

observasi lapangan, maupun wawancara. Selanjutnya data ini dianalisi

sesuai dengan teknik analisis yang sudah ditentukan. Hasil analisis

menjadi dasar konsep dan perancangan, dari mulai objek penelitian,

konsep dasar perancangan, proses perancangan, hasil perancangan.

5. BAB V Penutup.

Bab ini berisikan simpulan yang di harapkan dapat menjelaskan

dan menjawab permasalahan dan tujuan penelitian yang akan dicapai

dalam hal yang terkait dengan bidang Desain Komunikasi Visual yang

dapat dikaji bagi penelitian selanjutnya.


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORI

A. Tinjauan Pustaka

Sebagai sebuah karya ilmiah, buku informasi ini juga melihat kepada

literatur penelitian yang berkaitan dengan tema pembahasan, antara lain yang

meniliti sejarah Bandung purba dan penemuan-penemuan artefak dari situs

lainnya. Berdasarkan pada penelitian inilah peneliti akan membuat sebuah

pengembangan yang telah dilakukan sehingga muncul hasil yang objektif dan

sesuai dengan perencanaan penelitian ini.

Melihat dari hal tersebut, maka peneliti akan menempatkan Artefak

Obsidian dari Gua Pawon sebagai jejak kebudayaan Bandung purba. Karena

dalam jumlah yang banyak serta kualitas yang baik membuat Artefak

Obsidian dari Gua Pawon menjadi pusat kajian untuk mengetahui sudah

sejauh mana tingkatan teknologi pembuatan alat batu yang lebih kompleks.

Dalam penelitian Objek Artefak obsidian di Gua Pawon ini tinjauan

pustaka peneliti bersumber dari beberapa buku dan skripsi yaitu :

1. Buku Bandung Purba karangan T. Bachtiar, Dewi Syafriani, 2004,

Masyarakat Geografis Indonesia, Bandung.

Buku ini membahas sebagian besar wilayah kota Bandung yang

dulunya di perkirakan sebagai tempat atau peninggalan zaman purba dari

segi Geografisnya. Manfaat Buku ini untuk peneliti adalah untuk


mendapatkan data tentang kebenaran kota Bandung berupa cekungan

pada jaman prasaejarah dulu.

2. Buku Wisata Bumi Cekungan Bandung karangan Budi Bharmantyo, T.

Bachtiar, 2009, Pustaka Sejati, Bandung.

Buku ini lanjutan dan penyempurnaan dari buku sebelumnya

membahas tempat-tempat purba yang menjadi tempat objek wisata dan

artefak-artefak yang pernah di temukan di tempat-tempat tersebut.

Manfaat buku ini untuk peneliti adalah untuk mendapatkan data tentang

asal usul batu Obsidian atau yang masyarakat Bandung kenal dengan

sebutan batu kendan.

3. Buku Amanat Gua Pawon karangan Budi Bharmantyo, T. Bachtiar, 2004,

Kelompok Riset Cekungan Bandung, Bandung.

Buku ini membahas letak geografis gua pawon serta artefak-artefak

peninggalan manusia purba yang diperkirakan pernah menetapi Gua

Pawon tersebut. Manfaat buku ini untuk peneliti adalah untuk

mendapatkan data tentang letak geografis Gua Pawon dan kegiatan apa

yang pernah terjadi di dalam Gua Pawon.


4. Buku Ribuan Gunung, Ribuan Alat Batu karangan Hubert Forestier,

Gramedia, 2007, Jakarta.

Buku ini membahas tempat-tempat yang pernah dilakukan

ekskavasi di seluruh kepulauan Indonesia, serta temuan-temuan yang

terdapat di dalamnya. Manfaat buku ini untuk peneliti adalah untuk

mendapatkan data tentang perbedaan dan persamaan Artefak Obsidian

yang ditemukan di tempat lain dengan di Gua Pawon.

5. Jurnal Budaya Obsidian di tepian Danau Bandung Purba ( Lutfi Yondri,

2012).

Tulisan ini mencoba untuk menguraikan hasil studi tentang budaya

Obsidian, yang telah ditemukan di lokasi tepian danau Bandung purba.

Manfaat tulisan ini untuk peneliti adalah untuk mendapatkan data dan

grafik serta gambaran keadaan dan budaya Obsidian di sekitar Gua

Pawon.

6. Jurnal Potensi Sumber Daya Geologi di daerah Cekungan Bandung dan

Sekitarnya ( Sutikno Bronto dan Udi Hartono, 2006 ).

Tulisan ini membahas jenis-jenis batu alam dan kandungan mineral

yang terdapat di dalamnya. Manfaat tulisan ini untuk peneliti adalah

untuk mendapatkan persentasi kandungan yang ada di dalam artefak

Obsidian dan proses pembentukannya.


7. Skripsi Alat-alat Obsidian dari Leles Garut, Nies Anggraeni, 1978,

Perpustakaan Universitas Indonesia, Depok.

Tulisan ini membahas temuan alat-alat Obsidian dari Leles Garut.

Selain itu juga membahas sisa-sisa tinggalan prasejarah yang ada di desa

Cangkuang dan desa-desa sekitarnya, yang oleh penduduk setempat

disebut pasir. Manfaat tulisan ini untuk peneliti adalah peneliti

mendapatkan data untuk perbandingan alat-alat Obsidian yang ditemukan

di Gua Pawon.

8. Skripsi Artefak Obsidian dari Gua Pawon, Anton Ferdianto, 2008,

Perpustakaan Universitas Indonesia, Depok.

Tulisan ini membahas Artefak Obsidian dari Gua Pawon

berdasarkan bentuk dan fungsinya. Selain itu juga membahas letak

geografis Goa Pawon dan bagian ruangannya serta sejarah riwayat

penelitian Artefak Obsidian. Manfaat tulisan ini untuk peneliti adalah

peneliti mendapatkan tambahan data mengenai bagian-bagian dari Gua

Pawon serta data Anatomi Artefak Obsidian.

9. Skripsi Artefak Obsidian dari Situs Dago, Iis Sumiati, 2003, Perpustakaan

Universitas Indonesia, Depok.

Tulisan ini membahas Artefak Obsidian dari Situs Dago

berdasarkan bentuk dan bagian-bagiannya. Selain itu juga membahas

sifat-sifat serta ciri-ciri yang dimiliki oleh batu kendan (Obsidian) dan

pengolahan batu kendan menjadi alat batu oleh manusia prasejarah


penghuni tepian danau Bandung purba. Manfaat tulisan ini untuk peneliti

adalah peneliti mendapatkan tambahan data perbandingan klasifikasi

Obsidian berdasarkan Anatomi Artefak Obsidian dengan yang ada

diskripsi Anton Ferdianto tahun 2008.

10. Skripsi Alat-alat Obsidian : Media Adaptasi Manusia Terhadap

Lingkungan di sekitar Danau Bandung, Pantjawati, 1988, Perpustakaan

Gadjah Mada, Yogyakarta.

Tulisan ini membahas alat-alat Obsidian yang diperkirakan telah di

gunakan sebagai peralatan hidup masyarakat tepi danau pada masa lalu.

Selain itu juga membahas keadaan kota Bandung pada masa itu yang

dimana kota Bandung itu dulunya adalah sebuah cekungan danau

Bandung purba. Manfaat tulisan ini untuk peneliti adalah peneliti

mendapatkan data mengenai alat-alat batu yang digunakan pada

kebudayaan tepian Bandung purba.

B. Tinjauan Karya

1. Film Dokumenter Ekspedisi Gua Pawon, Part 1 dan 2.

Film ini menceritakan perjalanan yang di tempuh oleh sekelompok

riset cekungan Bandung, yang pada bagian film ini menceritakan keadaan

jalur serta sejarah singkat awal mulanya bisa ditemukannya Artefak

Obsidian dan kerangka manusia purba. Manfaat film dokumenter ini

untuk peneliti adalah peneliti dapat mengetahui lebih jauh situasi dan

keadaan jalur yang nantinya peneliti tempuh.


Gambar 2.1
potongan scene film dokumenter ekspedisi Gua Pawon
Sumber : youtube.com

2. Film Dokumenter Ishi Arrow, Part 1 dan 2.

Film ini menggambarkan garis besar kehidupan manusia purba

pendukung artefak Obsidian, yang pada bagian film ini menampilkan cara

pembuatan anak panah dengan berbahan dasar dari batu Obsidian serta

bahan-bahan pendukung lainnya yang mereka gunakan untuk berburu

pada masa itu. Manfaat film dokumenter ini untuk peneliti adalah peneliti

mendapat ilustrasi cara pembuatan alat batu dengan bahan dasar Obsidian

serta alat-alat batu lainnya yang menjadi alat bantu dalam proses

pembuatan anak panah.


Gambar 2.2
potongan scene film dokumenter ishi arrow
Sumber : youtube.com

3. Karya yang menjadi inspirasi peneliti adalah buku informasi World

Heritage National Park karangan Dr. Ir. Siti Nurbaya,M.Sc.

Buku ini menjadi sebuah karya yang menjadi inspirasi peneliti,

karena penliti melihat dari layout, foto, dan informasi yang terkandung di

dalamnya mewakili keseluruhan pesan mengenai kekayaan Indonesia

meliputi Kekayaan Hayati dan Nabatinya, serta upaya penulis untuk

melestarikan flora dan fauna yang ada di Indonesia. Dilihat dari warna

dalam buku ini menggunakana dua warna dominan yaitu hijau dan biru,

warna hijau memberi suasana teduh dan mewakili alam. Sedangkan warna

biru merepresentasikan ketenangan, sejuk, yang keduanya mewakili

bahwa fauna dan flora perlu di jaga. Untuk layout sendiri dalam buku

informasi ini menggunakan layout emphasis yang memberikan penekanan

di bagian-bagian tertentu yang bertujuan agar pembaca dapat lebih terarah


atau fokus pada bagian yang penting. Dari segi fotonya dalam buku ini

mengunakan jenis foto alam yang memang objek utamanya adalah benda

dan makhluk hidup alami seperti hewan, tumbuhan, gunung, hutan, laut

dan lain-lain.

Gambar 2.3
layout buku world heritage national park
Sumber : dokumen pribadi
C. Landasan Teori

1. Desain Komunikasi Visual

Menurut Tinarbuko (2015:5) Desain komunikasi visual merupakan

ilmu yang mempelajari konsep komunikasi dan ungkapan daya kreatif,

yang diaplikasikan dalam berbagai media komunikasi visual dengan

mengelola ilustrasi, huruf, warna, komposisi dan layout. Dalam ranah

desain komunikasi visual dipelajari semua bentuk komunikasi yang

bersifat komunikasi visual seperti desain grafis, desain iklan, desain

multimedia interaktif.

Menurut Tinarbuko (2015:7) cakupan wilayah kreatif multimedia

interaktif diantaranya meliputi: animasi 3D, motion graphic, fotografi, film

dokumenter, buku informasi, web design dan CD interaktif, dijelaskan

desain adalah suatu disiplin ilmu yang tidak hanya mencakup eksplorasi

visual, tetapi mencakup pula aspek-aspek kultural, sosial, filosofi, teknis,

dan bisnis. Kegiatan dalam Desain Komunikasi Visual / Desain Grafis

merupakan proses pemecahan masalah, metoda kreatifitas, dan evaluasi

bentuk interdisiplin dengan bidang-bidang lain. DKV memiliki beberapa

fungsi, diantaranya memberi inspirasi, informasi, dan menggerakkan

audiens untuk beraksi. Selain itu DKV juga memiliki fungsi sosial, fungsi

fisik, dan fungsi pribadi. Lebih rinci DKV memiliki empat fungsi utama,

yaitu:
a. Memberi informasi (to inform), mencakup: menjelaskan,

menerangkan, dan mengenalkan.

b. Memberi penerangan (to enlighten), mencakup: membuka

pikiran dan menguraikan.

c. Membujuk (to persuade), mencakup: menganjurkan

(biasanya dalam iklan), komponen di dalamnya meliputi

kepercayaan, logika, dan daya tarik.

d. Untuk melindungi (to protect), fungsi khusus pada sebuah

desain kemasan dan kantong belanja.

DKV pada dasarnya merupakan istilah penggambaran untuk proses

pengolahan media dalam berkomunikasi mengenai pengungkapan ide atau

penyampaian informasi yang bisa terbaca atau terlihat. Desain Komunikasi

Visual erat kaitannya dengan penggunaan tanda-tanda (signs), gambar

(drawing), lambang dan simbol. Ilmu dalam penulisan huruf (typografi),

ilustrasi, dan warna yang kesemuanya berkaitan dengan indera

penglihatan. Proses komunikasi di sini melalui eksplorasi ide-ide dengan

penambahan gambar baik itu berupa foto, diagram, dan lain-lain. Efek

yang dihasilkan tergantung dari tujuan yang ingin disampaikan oleh

penyampai pesan dan juga kemampuan dari penerima pesan untuk

menguraikannya (Safanayong, 2006:2).


2. Prinsip Desain

Dalam menampilkan suatu karya yang memiliki nilai estetik, maka

hal yang perlu diperhatikan adalah komposisi. Arti dari komposisi tersebut

menurut Kusriato (2007:34) mengemukakan bahwa pengorganisasian

unsur-unsur rupa yang disusun dalam karya desain grafis secara harmonis

antara bagian dengan bagian, maupun antara bagian dengan keseluruhan.

Komposisi dilihat dari beberapa hal berdasarkan prinsip-prinsip desain

sebagai berikut:

a. Kesatuan

Kesatuan atau unity merupakan salah satu prinsip yang

menekankan pada keselarasan dari unsur-unsur yang disusun, baik

dalam wujudnya maupun kaitannya dengan ide yang melandasinya.

Kesatuan diperlukan dalam suatu karya grafis yang mungkin terdiri

dari beberapa elemen didalamnya. Dengan adanya kesatuan itulah,

elemen-elemen yang ada saling mendukung sehingga diperoleh fokus

yang dituju.

b. Keseimbangan

Keseimbangan atau balance merupakan prinsip dalam

komposisi yang menghindari kesan berat sebelah atas suatu bidang

atau ruang yang diisi dengan unsur-unsur rupa.

c. Irama

Irama atau ritme adalah penyusunan unsur-unsur dengan

mengikuti suatu pola penataan tertentu secara teratur agar didapatkan


kesan yang menarik. Penataannya dapat dilaksanakan dengan

mengadakan pengulangan maupun pergantian secara teratur.

d. Kontras

Kontras di dalam suatu komposisi diperlukan sebagai vitalitas

agar tidak terkesan monoton. Tentu saja, kontras ditampilkan

secukupnya saja karena bila terlalu berlebihan,akan muncul ketidak

teraturan dan kontradiksi yang jauh dari kesan harmonis.

e. Fokus

Fokus atau pusat perhatian selalu diperlukan dalam suatu

komposisi untuk menunjukkan bagian yang dianggap penting dan

diharapkan menjadi perhatian utama. Penjagaan keharmonisan dalam

membuat suatu fokus dilakukan dengan menjadikan segala sesuatu

yang berada disekitar fokus mendukung fokus yang telah ditentukan.

f. Proporsi

Proporsi adalah perbandinagn ukuran antara bagian dengan

bagian dan antara bagian dengan keseluruhan. Prinsip komposisi

tersebut menekankan pada ukuran dari suatu unsur yang akan disusun

dan sejauh mana ukuran itu menunjang keharmonisan tampilan suatu

desain.

g. Komposisi

Komposisi sebagai bagian dari prinsip-prinsip desain akan

menentukan ekspresi bentuk dari sebuah karya desain. Elemen

komposisi bentuk meliputi: Keseimbangan, Irama/Ritme,


Tekanan/Point of Interest/Kontras, Skala, Proporsi, Urut-urutan, dan

Unity/Kesatuan.

h. Skala

Suatu sistem pengukuran. Skala Hubungan harmonisasi antar

obyek dan komponen-komponen lainnya dengan manusia. Elemen

skala merupakan aspek dari realistis fisik dari struktur atau benda lain

yang tengah dirancang: garis, bentuk, warna, pola, cahaya, tekstur dan

lainya.

i. Urutan

Suatu peralihan atau perubahan pengalaman dalam pengamatan

terhadap komposisi. Tujuan urutan adalah membimbing audience

untuk dapat menikmati karya desain visual hingga mencapai kepuasan

yang diharapkan.

3. Huruf

Untuk mempermudah dalam mengidentifikasi visual berupa

tulisan, huruf dibedakan dari bentuk organ/anatominya. Terminologi yang

umum digunakan dalam penamaan setiap komponen meliputi:

a. Anatomi Huruf

1) Baseline

Sebuah garis maya lurus horisontal yang menjadi batas dari

bagian terbawah dari setiap huruf besar.


2) Capline

Sebuah garis maya lurus horisontal yang menjadi batas dari

bagian teratas dari setiap huruf besar.

3) Meanline

Sebuah garis maya lurus horisontal yang menjadi batas dari

bagian teratas dari badan setiap huruf kecil.

4) x-Height

Jarak ketinggian dari baseline sampai ke meanline. x-height

merupakan tinggi dari badan huruf kecil.

5) Ascender

Bagian dari huruf kecil yang posisinya tepat berada di

antara meanline dan capline.

6) Descender

Bagian dari huruf kecil yang posisinya tepat berada di

bawah baseline.

b. Berat

Masing-masing huruf memiliki perubahan bentuk yang

berbeda-beda. Struktur bentuk huruf terletak pada perbandingan antara

tinggi dari huruf yang tercetak dengan lebar stroke. Ditinjau dari

beratnya, huruf dibagi menjadi tiga kelompok pokok, yaitu: light,

regular, dan bold.


c. Bentuk

1) Bentuk / jenis Huruf dengan kait atau serif

Jenis huruf ini memiliki kaki/kait yang disebut

Counterstroke pada tiap-tiap ujung hurufnya. Jenis huruf ini

dianggap paling legible / paling mudah keterbacaannya. Disinyalir

kait pada huruf menuntun pandangan mata pembaca pada baris teks

yang dibaca. Contoh yang paling banyak digunakan adalah Times

Roman.

Contoh: Garamond, Bodoni, Times New Roman.

2) Bentuk/jenis Huruf tanpa kait atau sans serif.

Sans bermakna tanpa. Jenis huruf Sans Serif memiliki

makna steamline, fungsional, dan kontemporer.

Contohnya : Arial, Verdana, Futura, Helvetica.

3) Bentuk/jenis Huruf tulisan tangan atau hand-writing (script).

Jenis huruf ini awalnya diambil dari corak tulisan tangan.

Namun kenyataanya tidak semua tulisan tangan masuk dalam

kategori huruf script.

Contohnya : Brushscript, Freestyle.

4) Bentuk/jenis Huruf mengikuti mode (fancy).

Huruf jenis ini biasanya dibuat sesuai dengan tema tertentu

(custom). Biasanya dikaitkan dengan fashion, film, dll.

Contohnya : ComicSans.
d. Legibility

Dalam desain tipografi, legibility memiliki pengertian sebagai

kualitas huruf atau naskah dalam tingkat kemudahan untuk dibaca.

Tingkat keterbacaan ini tergantung kepada tampilan bentuk fisik itu

sendiri, ukuran, serta penataannya dalam sebuah naskah (Sihombing,

2006:58).

Dari teori-teori di atas peneliti menerapkan dalam desain

perancangan buku informasi Artefak Obsidian yang isinya memberikan

informasi, penerangan, serta mengajak untuk melindungi jejak kebudayaan

Bandung purba. Dalam buku informasinya peneliti menerapkan juga

beberapa prinsip desain agar memiliki nilai estetik serta komposisi yang

lebih harmonis.

4. Teori Warna

Warna pertama kali timbul dari peristiwa sensorik. Pengalaman

warna diawali dari respon fisiologis terhadap rangsangan cahaya. Warna

sebagai bagian penting yang tidak dapat dipisahkan dalam desain brosur.

Dalam buku Anne Dameria (2007:10) warna merupakan fenomena yang

terjadi karena adanya unsur cahaya, objek dan observer.

Warna memiliki peran besar dalam pengambilan keputusan saat

memilih barang atau produk. Bahkan 90% diyakini orang memilih barang

didasarkan karena warna. Oleh karena itu pemilihan warna diperlukan riset
mendalam dari sisi psikologi warna, budaya, karakteristik produk dan

komunikasi. Tanpa cahaya tidak akan pernah ada warna. Warna bersifat

merangsang, menenangkan, ekspresif, menggugah, menggelitik, takjub,

budaya, dan simbol (Holtzschue, 2006:2).

Pemilihan warna secara tepat akan menghasilkan harmonisasi yang

menawan pada sebuah brosur. Selain merujuk pada warna korporat,

kombinasi warna yang dipilih harus tepat. Dalam buku Understanding

Color (Holtzchue, 2006:84), dijelaskan harmoni adalah kondisi

menyenangkan yang terjadi ketika dua atau lebih hal yang berbeda

dirasakan bersama sebagai satu kesatuan: lengkap, terus menerus, dan

alami. Harmony adalah intuitif. Masuk akal, melibatkan perasaan, dan

semua berjalan apa adanya. Harmoni menyiratkan keteraturan dan

"kebenaran." Dalam situasi harmoni semuanya seimbang. Oleh karena itu

pemelihan warna bisa didasari rasa terhadap warna, yaitu:

a. Warna Netral Sebagai warna aman, jenis warna-warna netral terlihat

selalu trendi, tidak kuno, dan tidak dominan.Warna ini merupakan

campuran ketiga komponen warna sekaligus, tetapi tidak dalam

komposisi tepat sama. Contoh warna-warna netral: Abu-abu, cokelat,

hitam, dan putih.

b. Warna Kontras Warna yang berkesan berlawanan satu dengan lainnya.

Warna kontras didapatkan dari warna yang berseberangan. Contoh

warna kontras: merah hijau, kuning, ungu.


c. Warna Panas Warna ini menjadi simbol, riang, semangat, marah,

agresif, dan bahaya. Warna panas mengesankan jarak yang dekat.

Warna terpanas adalah warna merah, warna inilah yang paling cepat

ditangkap mata.

d. Warna Dingin Warna ini menjadi simbol kelembutan, sejuk, nyaman.

Warna sejuk mengesankan jarak yang jauh.

Pemilihan warna sangat berpengaruh pada layout yang dibuat,

terutama warna-warna yang melatar belakangi teks maupun gambar

(sebagai background).

Usahakan warna teks kontras dengan warna latar. Selain warna

yang harmoni keterbacaan teks juga sangat diperlukan. Percuma saja bagus

secara visual tetapi sulit dibaca. Standar warna yang digunakan pada

proses cetak brosur menggunakan sistem warna Cyan Magenta Yellow

Black (CMYK), Grayscale / hitam putih, dan warna-warna khusus (special

color).

Beberapa batasan warna untuk teks maupun gambar meliputi

beberapa sifat yang sering dipakai antara lain, warna biru dapat

merepresentasikan ketenangan dan kepemimpinan, warna hijau memberi

suasana teduh dan mewakili alam, warna panas seperti kuning, merah,

orange, mencerminkan pribadi yang aktif, berani.

Dari teori-teori di atas peneliti menerapkan dalam desain

perancangan buku informasi Artefak Obsidian dengan menggunakan


warna netral untuk cover buku sedangkan untuk background isi buku

peneliti menggunakan warna kontras dan dingin.

5. Layout

Layout adalah penyusunan dari elemen-elemen desain yang

berhubungan ke dalam sebuah bidang sehingga membentuk susunan

artistic. Hal ini bias juga disebut manajemen bentuk dan bidang.

(Amborse & Harris, London: 2005)

Hal yang perlu diperhatikan dalam penerapan komposisi elemen-elemen

layout. Berikut ini prinsip-prinsip layout tersebut.

a. Sequence

Yakni urutan perhatian dalam layout atau aliran pandangan mata

ketika melihat layout. Layout yang baik dapat mengarahkan kita

kedalam informasi yang disajikan pada layout. Maka di sini urutan pe-

layout-an sebaiknya diatur sesuai prioritas.

b. Emphasis

Yaitu penekanan di bagian-bagian tertentu pada layout.

Penekanan ini berfungsi agar pembaca dapat lebih terarah atau fokus

pada bagian yang penting. Emphasis/penekanan dapat diciptakan

dengan cara sebagai berikut:

1) Memberi ukuran huruf yang jauh lebih besar dibandingkan elemen

layout lainnya pada halaman tersebut.


2) Menggunakan warna yang kontras/berbeda dengan latar belakang

dan elemen lainnya.

3) Meletakkan hal yang penting tersebut pada posisi yang menarik

perhatian.

4) Menggunakan bentuk dan style yang berbeda dengan sekitarnya.

c. Balance

Teknik mengatur keseimbangan terhadap elemen layout.

Prinsip keseimbangan terbagi menjadi dua jenis, keseimbangan

simetris dan keseimbangan asimetris. Pada keseimbangan simetris, sisi

yang berlawanan harus sama persis agar tercipta sebuah keseimbangan.

Sementara itu, pada keseimbangan asimetris obyek-obyek yang

berlawanan tidak sama atau seimbang. Asimetris dapat memberikan

kesan yang tidak kaku atau santai. Namun desainer harus lebih jeli

dalam melihat komposisi keseluruhan apakah desain masih terlihat

seimbang.

Dari teori layout di atas peneliti menerapkan dalam desain

perancangan buku informasi Artefak Obsidian dengan menggunakan

prinsip layout emphasis yang lebih menekankan di bagian-bagian tertentu

pada layout yang berfungsi agar pembaca lebih terarah pada bagian yang

penting.

6. Grid System
Grid merupakan garis-garis vertikal maupun horizontal yang

membagi halaman menjadi beberapa unit. Grid membantu desainer untuk

menjaga keteraturan desain. Grid system memiliki beberapa jenis

diantaranya adalah, Manuscript Grid, Column Grid, Modular Grid, dan

Hierarchical Grid.

7. White Space

Teknik cara mengatur elemen-elemen desain pada karya dengan

baik dan seimbang. Jika elemen desain terlalu banyak jenisnya dan tidak

tertata dengan baik, maka orang yang melihatnya akan bingung, sehingga

pesan yang ingin disampaikan tidak tersampaikan kepada audience.

Dengan demikian ruang kosong dalam sebuah desain mempunyai fungsi

sebagai berikut:

a. Berfungsi sebagai separator untuk setiap elemen desain.

b. Memberi fokus terhadap elemen yang ingin ditonjolkan.

c. Memberi kesan desain lebih clean dan relaxing.

d. Menciptakan layout yang seimbang dan harmonis.

e. Meningkatkan keterbacaan teks.

8. Desain Buku

Buku dalam arti yang luas mencangkup semua tulisan dan gambar

yang ditulis dan dilukiskan atas segala macam lembaran papyrus, lontar,

perkamen dan selain itu kertas juga memiliki banyak bentuk, ada yang

berupa gulungan, dilubangi dan diikat dengan atau dijilid muka


belakangnya dengan kulit, kain, karton dan kayu. (Ensiklopedia Indonesia,

1980: 538). Fungsi buku adalah menyampaikan informasi, berupa cerita,

pengetahuan, laporan, dan lain-lain.

Sebagian besar elemen layout digunakan pada buku. Pada

umumnya, elemen terbanyak adalah bodytext. Oleh karena itu dibutuhkan

perhatian khusus dalam memilih dan menata sebuah font. Hal lain yang

perlu di perhatikan adalah cover, navigasi desain, kejelasan informasi,

kenyamanan membaca, pembedaan yang jelas antar bagian/bab, dan lain-

lain. (Rustan, 2009).

a. Anatomi Buku

Anatomi buku adalah bagian-bagian yang merupakan

kelengkapan buku. Setiap buku harus diperlakukan secaa berbeda

sesuai dengan isi dan peruntukannya. Berikut ini adalah uraian anatomi

buku (Wibowo, 2007):

1) Cover Buku (Sampul Buku)

a) Cover depan

Cover sangat berpengaruh pada daya tarik sebuah buku.

Saat berkunjung ke toko buku atau pameran buku, setiap orang

pasti terlebih dahulu melihat buku-buku yang bercover

menarik, baik dari pemilihan font, warna, ilustrasi, sampai

desainnya. Cover depan biasanya berisi judul, nama pemberi

pengantar atau sambutan, serta logo dan nama penerbit.

b) Cover belakang
Cover belakang biasanya berisi judul buku, sinopsis,

biografi penulis dan ISBN (International Standard Book

Number) beserta barcode-nya.

c) Punggung buku

Punggung cover hanya untuk buku-buku yang tebal

saja, isinya nama pengarang, nama penerbit, dan logo penerbit.

d) Endorsement

Kita sering menemukan endorsement (dukungan) yang

ditulis oleh pembaca pada cover buku. Endorsement biasanya

diberikan oleh ahli atau orang terkenal untuk menambah daya

pikat buku.

e) Lidah cover

Lidah cover dihadirkan unruk kepentingan estetika, juga

menunjukkan keeksklusifan buku. Lidah cover biasanya berisi

foto beserta riwayat hidup pengarang atau ringkasan buku.

2) Perwajahan Buku

a) Ukuran buku

Ukuran buku berhubungan juga dengan materi dan

fungsi. Novel dengan buku pelajaran tentu saja berukuran beda.

Bayangkan saja jika novel berukuran sebesar buku pelajaran


tentu tidak akan menarik. Selain itu juga menyulitkan pembaca

untuk membawanya.

b) Bidang cetak

Pada setiap halaman isi buku pasti terdapat bagian

kosong di pinggir-pinggirnya. Selain untuk keindahan, bagian

tersebut berfungsi mengamankan materi dari kesalahan cetak

(misalnya terpotong). Selain itu, ada bagian-bagian yang berisi

tulisan (materi). Bagian tersebut dinamakan bidang cetak.

c) Pemilihan huruf

Jenis huruf (font), ukuran font (size),dan jarak antar-

baris (lead) sangat penting dalam pembuatan buku. Ketiga hal

tersebut selain untuk kepentingan estetika, akan menentukan

enak tidaknya buku untuk dibaca.

9. Format Buku

Ada berbagai tipe buku dengan fungsi berbeda-beda. Seorang

desainer harus menentukan format yang tepat untuk buku sesuai dengan

fungsi buku tersebut. Beberapa buku harus nyaman digenggam dan mudah

dibawa, buku lainnya memerlukan format yang lebih besar. Usia buku

juga penting untuk diperhatikan. Buku yang dicetak dengan softcover dan

kertas berkualitas rendah akan lebih pendek umurnya dibandingkan

dengan buku yang menggunakan hardcover, dan leather-bound. Hal ini

juga mencerminkan desain yang akan digunakan ( Bhaskaran, 2007: 52).


Menurut Friedlandler (2010) mengemukakan ada beberapa ukuran

buku yang sering digunakan sebagai berikut:

a. Photography or art books

Jenis buku ini tidak memiliki ukuran tertentu. Banyak seniman

dan fotografer lebih suka buku-buku berukuran persegi atau hampir

persegi. Bentuk ini memungkinkan gambar-gambar yang diletakkan

memiliki jumlah ruang kosong yang sama, baik secara vertikal maupun

horizontal.

b. Mass market book

Tipe buku ini harus berukuran 4-1/4 x 7. Buku-buku ini

biasanya dijual di rak-rak supermarket, airport, apotik, dan sejenisnya.

c. Trade paperbacks

Biasanya berukuran antara 5-1/2 x 8-1/2 sampai 6 x9.

Proporsi ini telah lama dianggap senagai proporsi ideal untuk sebuah

halaman buku.

d. Manual dan workbooks

Berukuran lebih besar dan bergantung pada peralatan cetak

yang digunakan untuk memproduksi buku tersebut. Berukuran antara

8 x 10 sampai 8-1/2 x 11. Ukuran ini juga cocok untuk buku

direktori dan instruksional dengan banyak grafis dan gambar-gambar

rinci.

e. Novels
Memiliki banyak ukuran berbeda, akan tetapi untuk cerita

singkat lebih baik memiliki ukuran yang lebih kecil. Ukuran yang

banyak digunakan untuk novel ini adalah 5-1/2 x 8-1/2 atau 5-1/4 x

8. Buku memoirs juga memiliki ukuran yang sama. Novel dengan

cerita yang lebih panjang dapat menggunakan ukuran 6 x 9.

f. Short story collections or collections of essays

Biasanya berukuran sama dengan novel dan memoirs.

g. General nonfiction

Banyak menggunakan ukuran 6 x 9 yang membuat ukuran ini

paling popular disbanding ukuran lainnya. Ukuran ini juga paling

banyak digunakan untuk buku dengan hardcover. Ketika

membutuhkan lebih banyak ruang pada halaman buku, misalnya untuk

sidebar atau pull quote, ukuran 7 x 10 merupakan solusi yang sering

digunakan.

Dari teori mengenai buku di atas peneliti menerapkan dalam desain

perancangan buku informasi Artefak Obsidian dengan menerapkan

metode ukuran buku photography or art books yang lebih dominan dengan

buku-buku berukuran hampir persegi.

10. Finishing

Finishing atau proses penyelesaian pada industri percetakan

tergantung fokus dari percetakan tersebut. Percetakan buku, offset


packaging, flexible packaging (berbahan plastik), dan label akan memiliki

proses finishing yang berbeda pula (Dameria, 2008: 137).

Buku-buku yang mengikat akan dipengaruhi oleh sejumlah faktor, seperti

jumlah halaman, berat kertas, daya tahan yang diinginkan, kuantitas yang

akan diproduksi, dan wheter penting bahwa buku kebohongan datar ketika

dibuka (Bhaskaran, 2007: 88).

Berikut ini adalah metode penjilidan yang sering dilakukan pada

produksi buku dan majalah (Dameria, 2008: 137-140).

a. Saddle Stiching

Saddle Stiching merupakan metode penjilidan yang

menggunakan kawat, atau lebih dikenal dengan jilid kawat. Metode ini

cocok untuk pekerjaan yang mempunyai jumlah halaman lebih dari 60

halaman.

b. Side Stiching

Penjilidan menggunakan jahit kawat yang disteplekan kearah

samping.

c. Perfect Binding

Metode penjilidan yang menggunakan lem pada bagian

punggung buku, atau dikenal dengan jilid lem. Metode ini cocok untuk

pekerjaan yang mempunyai jumlah halaman lebih dari 60 halaman.

d. Spiral
Jilid yang digunakan untuk menjilid halaman dengan jumlah

halaman kurang lebih 100 halaman. Jilid ini menggunakan kawat ring.

e. Case Binding

Penjilidan yang paling umum dilakukan pada finishing.

Halaman tersebut disusun dan dijahit bersama, kemudian diberi cover

yang terbuat dari kain, kulit, dan lain-lain. Jilid ini juga dikenal sebagai

penjilidan hardcover.

f. Screw & Post Binding

Metode ini adalah bentuk dari side stiching tetapi menggunakan

sekrup, bukan steples kawat. Kelemahan dari penjilidan ini adalah

buku tidah benar benar bisa dibuka sampai datar.

g. Ring Binding

Metode jilid ring ini memungkinkan untuk membuka buku

secara penuh dari halaman kiri dan kanan berbentuk datar.

h. Plastic Comb Binding

Metode ini mirip dengan spiral, namun materi yang digunakan

adalah plastik, yang memiliki bentuk lebih lebar dari pada kawat.

Dari teori finishing di atas peneliti menerapkan dalam desain

perancangan buku informasi Artefak Obsidian dengan menerapkan metode


perfect binding yang pada bagian punggung buku akan diberikan lem seta

untuk bagian cover bukunya akan di cetak menggunakan hardcover.


D. Kerangka Berpikir

Objek
Artefak Obsidian dari Gua Pawon

Latar Belakang :
Jika membicarakan manusia prasejarah tentunya tidak akan terlepas dari
teknologi yang mereka buat dan kembangkan,dalam hal ini alat-alat batu.
Alat batu awalnya dibuat hanya berfungsi praktis, disesuaikan dengan
penggunaanya saja.

Studi Literatur : Observasi : Wawancara :


Buku, Jurnal, dan Situs Gua Pawon Drs.Lutfi
Skripsi Balai Arkeologi Yondri.M.Hum
Bandung

Kondisi Ideal : Kondisi Real :


Situs Gua Pawon masih utuh Situs Gua Pawon sudah rusak
Masyarakat Mengetahui adanya Masyarakat belum mengetahui
peninggalan jejak kebudayaan adanya peninggalan jejak
Bandung purba kebudayaan Bandung purba

Masalah Utama :
Belum ada media buku informasi yang membahas sejarah, proses
pelaksanaan, bentuk, fungsi, jenis dan kondisi Artefak Obsidian dari Gua
Pawon yang merupakan suatu penemuan penting sebagai jejak
kebudayaan Bandung purba..

Solusi Utama :
Membuat media buku informasi dengan dilengkapi sedikit ilustrasi untuk
menggambarkan proses pembuatan artefak obsidian dan menjelaskan
bagian-bagian yang terdapat pada Artefak Obsidian.

Media Utama
Buku Informasi
BAB III

METODE PENELITIAN

A. Waktu dan Tempat Penelitian

Hal ini perlu dilakukan mengingat wilayah sebaran artefak obsidian

yang sangat luas khususnya di dataran tinggi Bandung. Oleh karena itu

peneliti mencoba membatasi wilayah penelitiannya. Daerah yang dijadikan

objek penelitian adalah situs Gua Pawon terletak di wilayah Desa Masigit,

Kec. Cipatat, Kab. Bandung berdasarkan laporan penelitian (Yondri et.al.

2005). Begitu juga dengan masalah waktu, karena peneliti juga memiliki

kebatasan waktu, peneliti membatasi waktu penelitiannya sekitar bulan Maret

2017 sampai dengan Bulan Juni 2017.

B. Jenis Penelitian

Tahap pertama yang di lakukan adalah pengumpulan data. Tahap ini

meliputi studi kepustakaan dan studi lapangan. Studi kepustakaan dilakukan

dengan cara mengumpulkan sumber-sumber kepustakaan yang berkenan

dengan topik penelitian seperti artikel, buku, skripsi-skripsi, dan laporan

penelitian. Laporan penelitian yang dibuat oleh Balar Bandung pada

penggalian di Gua Pawon menjadi acuan yang penting sebagai sumber

penelitian.
Tahap kedua yaitu pengolahan. Hal ini dilakukan agar memperoleh

gambaran yang lebih jelas dan rinci mengenai jenis dan tipe artefak yang

dijadikan objek penelitian. Dalam pelaksanaannya artefak harus di fokuskan

berdasarkan hubungannya dengan tingkah laku manusia pembuatnya yang

tentunya merefleksikan pola tingkah laku mereka.

Tahap terakhir yaitu melihat ada tidaknya korteks pada alat batu obsidian

tersebut. Hal ini ditujukan untuk mengetahui tingkat dan tahapan pengerjaan

yang dilakukan terhadap artefak tersebut.

C. Teknik Pengumpulan Data

1. Studi Literatur / pustaka

Pertama penulis melakukan studi pustaka dengan cara

mengumpulkan data dari sumber-sumber yang bisa di percaya seperti

buku, artikel, skripsi, foto, dan video dokumenter yang semuanya

berhubungan dengan objek penelitian ini.

2. Observasi

Kedua penulis melakukan observasi langsung ke situs Gua Pawon,

dimana di temukannya objek penelitian artefak obsidian. Serta melakukan

kunjungan-kunjungan ke tempat-tempat yang memiliki hubungan dengan

objek seperti Museum Balara Bandung, situs dago yang di mana pernah

di temukannya artefak obsidian yang sama.


3. Wawancara

Ketiga penulis melakukan wawancara dengan narasumber yang

memang punya andil dan berkompetensi terhadap objek penelitian ini,

yaitu :

a. Bapak Drs.Lutfi Yondri.M.Hum merupakan pakar dari Balai

Arkeologi Bandung.

b. Bapak Budi Bharmantyo merupakan pakar di bidang Geologi Karts

dari ITB.

c. Bapak T. Bachtiar merupakan pakar di bidang ilmu Geografi dan

Geowisata.
BAB IV

PERANCANGAN

A. Objek Penelitian

1. Situs Gua Pawon

Gua Pawon terletak di wilayah Desa Masigit, Kec. Cipatat, Kab.

Bandung berdasarkan laporan penelitian (Yondri dalam Ferdianto,

2008:10) dan data geografis. Gua Pawon merupakan sebuah gua yang

terbentuk di kawasan bertopografi karst yang terletak dalam kawasan

perbukitan formasi Rajamandala. Perbukitan karst Rajamandala terdiri

atas dua bagian. Pertama formasi lempung, napal, batu pasir kuarsa, yang

terdiri atas lapisan lempung berwarna abu-abu tua sampai hitam, lapisan

napalan, napalan globigerina, batu pasir kuarsa dan konglomerat kerakal

kuarsa. Sementara itu, formasi yang kedua memiliki anggota berupa batu

gamping (karst), yang terdiri atas lapisan batu gamping pejal dan batu

gamping berlapis kebanyakan berwarna muda dengan foraminifera besar

berlimpah (Sudjatmiko, 2004:97).

Perbukitan ini terlihat berbeda dengan perbukitan lainnya. Hal ini

disebabkan oleh batuan penyusunnya yang merupakan batu gamping

yang unsur utamanya adalah senyawa karbonat CaCo3, senyawa ini

mudah larut dengan air hujan yang kaya akan CO2, yang kemudian

menghasilkan kalsium bikarbonat yang dapat beraksi kembali menjadi

karbonat (Brahmantyo,2004:2). Proses pelarutan tersebut kemudian


mengakibatkan terjadinya pembentukan gua, rekahan atau celahan yang

kadang-kadang satu dan yang lainnya membentuk suatu sistem dan saling

berhubungan, seperti aliran sungai bawah tanah.

Proses pembentukan Gua Pawon dimulai dengan munculnya mata

air, yang kemudian terjadi pelarutan yang menghasilkan lubang yang

pada awalnya kecil, kemudian membesar sehingga langit - langit gua

runtuh kemudian terjadilah letusan gunung Tangkuban Perahu yang

menyebabkan terjadinya hujan abu yang diperkirakan menutupi lantai gua

dengan endapan vulkanisnya (Brahmantyo, 2004:9-10).

Gambar 4.1
Tahapan perkembangan Geomorfologis Gua Pawon
Sumber : Brahmantyo, 2004

(T1) Terbentuknya mata air, (T2) Intensifnya pelarutan, (T3) Keruntuhan

tebing utara, (T4) Pembesaran lubang Gua, (T5) Keruntuhan atap dan

terbentuknya ruang terbuka, (T6) Terendapkan hasil letusan Gunung.

2. Deskripsi Situs Gua Pawon


Gua Pawon secara geologis termasuk ke dalam kategori gua

tebing (karst). Gua ini berada pada ketinggian 716 m di atas permukaan

laut, dan terletak di bagian utara bukit gamping Pawon yang memiliki

luas kurang lebih 9 hektar. Gua ini memanjang dari timur ke barat dengan

orientasi arah hadap ke sisi utara. Secara administratife kawasan situs

Gua Pawon termasuk dalam wilayah Desa Gunung Masigit, Kec. Cipatat,

Kabupaten Bandung.

Pengamatan secara geomorfologis dan geologis pada dinding gua

sisi sebelah barat menunjukan adanya endapan abu yang kemungkinan

berasal dari gunung berapi. Pengendapan ini kemungkinan terjadi sebagai

akibat dari letusan gunung berapi yang terletak di sisi utara Bandung,

yang diperkirakan menghasilkan material yang cukup banyak, sehingga

mampu membendung aliran sungai Citarum purba yang akhirnya

membentuk Danau Bandung Purba. Di samping itu material tersebut juga

menghasilkan hujan abu dengan daerah pesebaran yang cukup luas

(Brahmantyo dalam Ferdianto, 2008:19).

Ukuran panjang Gua Pawon secara keseluruhan adalah 38 meter,

dengan lebar 16 meter dari bagian mulut / tebing gua ke bagian dinding

terdalam. Secara garis besar gua tersebut terdiri atas tiga ruangan yang

masing-masing dihubungkan oleh jalan masuk yang terdapat di bagian

depan gua (Yondri, 2005:29).

3. Ruang-ruang pada Gua Pawon


Gambar 4.2
Denah ruangan Gua Pawon
Sumber : Yondri, 2005

Secara keseluruhan Gua Pawon terdiri atas tiga ruangan utama yang

semuanya terhubung oleh lorong-lorong kecil dan setiap ruangan tersebut

memiliki jalan masuk masing-masing yaitu:

a. Ruang I
Berdasarkan hasil wawancara dengan bapak Tatan pada

Nopember 2016 lalu menerangkan ruang pertama pada Gua pawon

terletak pada sisi paling barat dengan ukuran ruang yang agak sempit.

Ruangan ini bisa disebut dengan Gua Barong oleh masyarakat

setempat. Dari mulut hingga dinding belakang gua ukuran panjangnya

7 meter, dengan tinggi bagian mulut gua 2,4 meter. Sebagian besar

telah sangat tererosi sehingga kelerengannya cukup curam kearah

barat daya. Hasil pengamatan menunjukan bahwa pada ruangan ini

ditemukan beberapa fragmen gerabah polos.

b. Ruang II

Berdasarkan hasil wawancara dengan bapak Tatan pada

Nopember 2016 lalu menerangkan ruang kedua terletak di belakang

ruang pertama, memiliki langit-langit tembus ke angkasa. Oleh

masyarakat sekitar lubang tersebut di anggap seperti cerobong asap

yang kemudian menyebabkan kompleks gua tersebut dinamakan Gua

pawon yang dalam bahasa sunda Pawon berati dapur. Bagian depan

ruang kedua ini memiliki mulut gua yang sangat besar, dengan

kondisi lantai yang sangat rusak, yang diakibatkan oleh penambangan

fosfat oleh masyarakat setempat dapat juga dilihat dari adanya lorong

yang sengaja dibuat untuk memudahkan mereka mengangkut tanah

yang mengandung fosfat dari dalam gua keluar. Pada ruangan II ini di

temukan beberapa artefak seperti fragmen gerabah, serpih batu, dan


fragmen tulang. Terdapat lorong yang menghubungkan antara Ruang

II dan III.

c. Ruang III

Berdasarkan hasil wawancara dengan bapak Tatan pada

Nopember 2016 lalu menerangkan ruang ketiga merupakan ruang yang

paling besar jika dibandingkan dengan kedua ruang sebelumnya.

Lantai gua pada ruang ini, khusunya pada bagian depan (Utara), sudah

tererosi diakibatkan sebagian atap sudah runtuh dan memungkinkan

air masuk secara langsung kedalam ruangan. Keadaan yang hampir

sama juga dapat dilihat pada bagian lantai utara dan bagian timur. Pada

ruangan ini terdapat lantai yang masih relatif utuh yang menjorok

kearah dinding selatan gua. Ruangan ini keseluruhan memiliki panjang

7,5 meter, lebar 4,5 meter dengan dua bagian mulut di sisi sebelah

utara.
Gambar 4.3
Denah letak kotak galian
Sumber : Yondri, 2005

4. Sejarah batu Obsidian

Obsidian, batu yang dalam bahasa latinnya dikenal dengan nama

obsidianus ini, konon, namanya berasal dari nama orang yang "dianggap"

pertama kali menemukannya, yaitu seorang bangsa Romawi yang

bernama Obsidius di wilayah pegunungan Vesuvius.

a. Proses terbentuknya batu Obsidian

Pada dasarnya, batu obsidian terbentuk dari mineral yang

terperangkap di dalam lava cair gunung berapi yang keluar secara

tiba-tiba ke permukaan saat terjadi letusan. Adanya perbedaan suhu

yang ekstrem antara kondisi di dalam perut bumi dengan yang ada
di permukaan menyebabkan lava cair yang keluar langsung membeku

secara tiba-tiba, sehingga yang terbentuk adalah gelas/kaca, bukan

kristal dominan. Berbeda halnya dengan batu permata yang

mengalami proses pembekuannya saat masih berada di dalam perut

bumi, dimana kondisi temperaturnya sangat panas disertai tekanan

tinggi dengan rentang waktu proses sangat lama (ribuan jutaan

tahun), sehingga memungkinkan terjadinya proses kristalisasi.

Terkadang, di dalam batu obsidian terdapat semacam gelembung, hal

ini dikarenakan begitu cepatnya proses pendinginan yang terjadi

sehingga ada udara (air) yang terperangkap di dalamnya

(http://www.geologinesia.com).

b. Ciri-ciri dan Karakteristik Batu Obsidian :

1) Pada umumnya batu ini mempunyai tanda berupa retakan

gelombang yang cenderung di bagian permukaan batu, berwarna

cerah dan mengkilap seperti vitreous luster atau kaca.

2) Kombinasi warna pada batu obsidian berwarna hitam pekat,

merah tua, abu-abu, kuning dan biru (biasanya satu warna).

3) Ada juga lebih dari satu warna campuran seperti hitam kecoklatan

atau kemerahan atau bercampur dengan ornamen lainnya seperti

berbuih atau bintik putih.

4) Memiliki butiran halus dan penampakan mineralnya sejajar satu

dengan yang lainnya.


5) Karena mengandung silikon dioksida yang cukup besar, sehingga

batu beku tersebut bersifat keras dan membentuk serpihan-

serpihan sudut tajam.

c. Kandungan mineral yang terdapat pada batu Obsidian

Obsidian termasuk ke dalam kelompok batuan Rhyolite (batuan

beku bersifat asam) yang mengandung ~70% silicon dioxside (SiO2)

dengan struktur perlitik (mengulit bawang) yang tertutup. Bila dilihat

dari tingkat kekerasannya yang hanya 5 s/d 5,5 skala Mohs,

sebenarnya batu Obsidian layak disebut sebagai kaca natural (natural

glass). Namun, perbedaannya dengan kaca adalah, batu obsidian

memiliki indeks bias yang mirip dengan batu mulia (1,48-1,51),

sehingga kaca vulkanik ini dikategorikan ke dalam jajaran jenis batu

mulia tanggung. Pada umumnya obsidian memiliki kandungan air

terperangkap <2%. Dengan adanya air yang terperangkap ini

membuat batu Obsidian mudah dikembangkan melalui pemanasan

pada suhu 800-1200C.


Komponen Presentase
SiO2 75,09%
TiO2 0,16%
Al2O3 13,78%
Fe2O3 1,05%
MnO 0,05%
MgO 0,1%
CaO 0,89%
Na2O 0,89%
K2O 4,8%
P2O5 0,02%
SO3 0,04%
Tabel 4.1
Kandungan mineral batu Obsidian
Sumber : Weiss, 2002

5. Artefak Obsidian

Mengingat bahwa tujuan dari penelitian ini adalah untuk dapat

mengetahui dan menganalisis tipe dan jenis Artefak Obsidian yang

terdapat di Gua Pawon untuk dituangkan kembali dalam bentuk media

buku informasi, tentunya perlu dilakukan klasifikasi agar mendapatkan

data yang benar-benar valid. Namun demikian, sebelum dapat melakukan

klasifikasi alat batu, dalam hal ini Artefak Obsidian, tentunya diperlukan

pengetahuan secara umum mengenai teknik analisis tersebut.

a. Anatomi Artefak Obsidian

1) Bagian pangkal (proksimal), bagian ini merupakan bagian batu

yang dipukul untuk melepas serpihan dari batu intinya.


2) Bagian tengah (medial), bagian ini merupakan bagian tengah

dari alat yang diapit oleh bagian distal dan proksimal.

3) Bagian ujung (distal), bagian ini merupakan yang paling jauh

dari dataran pukul.

4) Bagian depan (ventral), bagian ini merupakan bagian alat

intinya, pada bagian ini biasanya terdapat kerucut pukul.

5) Bagian belakang (dorsal), bagian ini merupakan alat batu yang

berlawanan dengan bagian depan alat, di bagian ini bias terdapat

pangkasan-pangkasan pelepasan serpih dari batu intinya.

6) Bagian sisi kiri (laterar kiri), bagian ini merupakan bagian kiri

alat dilihat dari bagian depan (ventral)

7) Bagian sisi kanan (lateral kanan), bagian ini merupakan bagian

sisi kanan alat dilihat dari depan (ventral)

8) Dataran pukul (striking olatform) adalah bagian anatomis alat

yang berupa dataran rata / landai dilihat dari satu permukaan,

bisa merupakan hasil dari proses pemangkasan batu inti yang

dijadikan titik acuan untuk dilakukan proses pemangkasan batu

inti yang dijadikan titik acuan untuk dilakukan proses

penyerpihan selanjutnya.

9) Bulbus atau kerucut pukul adalah bentuk cembung yang di

hasilkan ketika terjadinya proses pelepasan batu inti. Bulbus ini

berada di bidang ventral.


10) Fissure yaitu retakan, gurat atau garis-garis sentry pedal kearah

tertentu.

11) Strias radial merupakan strias pada fissure yang arahnya

tergantung kepada asal pukulan

12) Retus merupakan lekukan-lekukan tajaman pada tepian alat.

Retus merupakan tajaman yang sengaja dibuat. Berdasarkan

retus ini dapat diketahui jenis alat serpih dengan melihat pada

lokasi retusnya.

13) Titik pukul (striking point) merupakan titik tempat jatuhnya

pukulan dilakukan untuk melepaskan serpih dari batu intinya.

14) Luka pukul (bulb scar), lubang kecil pada bulbus yang terjadi

akibat pemukulan yang di lakukan.

15) Sudut pukul (arrise). Sudut pukul ini biasanya terdapat pada

bagian alat batu yang telah mengalami penyerpihan, membentuk

garis dengan bentuk dan jumlah yang beragam.

16) Gelombang pukul (ripples), merupakan alur penyerpihan yang

membentuk ombak yang terdapat pada bagian ventral.


Gambar 4.4
Ciri Anatomi Artefak Obsidian
Sumber : Irdiansyah, 2008

b. Kelompok Alat Obsidian

Pemberian nama pada artefak Obsidian biasanya mengacu pada

fungsi alat tersebut. Hal ini dapat dilihat dari penamaan yang

diberikan oleh peneliti-peneliti sebelumnya, seperti serut, bilah, dan

lancipan. Penamaan tersebut tidak lepas dari kegiatan manusia pada

masa sekarang, hal ini dilihat dari sudut pandang peneliti, sehingga

muda untuk diingat, meskipun kadangkala penamaan alat tidak selalu

berdasarkan fungsinya.

Bila di bandingkan dengan tipologi yang dilakukan oleh

Koeningswald, Bandi dan Sumiati, maka tipologi yang dilakukan


pada penelitian ini merupakan pengembangan dari penelitian

sebelumnya. Selain itu terdapat perbedaan pada beberapa tipe dasar

dan istilah yang digunakan.

Pada Klasifikasi yang dilakukan oleh (Sumiati dalam

Ferdianto, 2008:38) terdapat bongkahan yang kemudian dimasukan

pada kelas bahan baku, akan tetapi pada artefak yang ditemukan di

Gua Pawon tidak ditemukan Obsidian dengan bongkahan berukuran

besar melainkan hanya berukuran kecil seperti serpih, batu inti dan

tatal. Pada kelompok limbah kelompok serpihan pada tipologi yang

dibuat Sumiati diubah menjadi tatal dengan maksud mempermudah

penamaan, hal ini dirasa perlu agar tidak ada kesimpang siuran atau

tertukar dengan subtipe serpih.

Pada kelompok alat, Sumiati (2004) memasukan tipe alat gurdi

bertipe dan non tipe yang dibagi berdasarkan jejak buat (Retus) dan

bentuk yang dihasilkan, sedangkan dalam penelitian kali ini tipe

gurdi tidak dibedakan. Hal ini melihat temuan gurdi cukup sedikit

dan memiliki bentuk yang hampir sama. Selain itu, adanya tipe alat

lima yang tidak ditemukan pada serpih Obsidian Gua Pawon.

Kemungkinan tipe alat limas yang di maksud oleh Sumiati adalah

lancipan, karena memiliki bentuk yang hampir sama.


Sumiati (2004) Anton (2008)
Kelompok bahan baku Kelompok bahan baku
1. Bongkahan 1. Bongkahan
Kelompok alat Kelompok alat
1. Serpihan pakai 1. Serpihan pakai
2. Serut 2. Serut
a. Serut samping a. Serut samping
b. Serut cekung b. Serut cekung
c. Serut ujung c. Serut ujung
d. Serut gerigi d. Serut gerigi
e. Serut berpunggu e. Serut berpunggu
tinggi tinggi
3. Lancipan 3. Lancipan
4. Mata panah 4. Mata panah
5. Gurdi 5. Gurdi
a. Bertipe 6. Pisau
b. Non tipe 7. Multi tools
6. Pisau
7. Limas
Kelompok perkakas Kelompok perkakas
1. Batu pukul 1. Batu pukul
Kelompok limbah Kelompok limbah
1. Batu inti 1. Batu inti
2. Serpih 2. Serpih
3. Serpihan 3. Serpihan
Tabel 4.2
Perbandingan klasifikasi Artefak Obsidian
Sumber : Ferdianto, 2008

1) Kelompok Bahan Baku

Merupakan bahan Obsidian yang dijadikan bahan dasar

untuk dijadikan alat, masih berbentuk bongkahan dan masih

memiliki korteks. Tapi kelompok ini tidak di temukan di Gua


Pawon, dikarenakan Artefak Obsidian yang ditemukan

berukuran kecil.

2) Kelompok Alat

Kelompok ini memiliki ciri-ciri yang terdapat pada sebuah

serpihan pada umumnya, seperti dataran pukul, bulbus, dan

gelombang pukul. Kelompok alat terdiri atas :

a) Serpihan Pakai, secara teknologis memiliki ciri pada bagian

ventral terdapat bulbus dan gelombang pukul serta adanya

striasi (garis-garis halus akibat adanya aktivitas pakai). Tipe

ini berjumlah 55 buah yang ditemukan pada kotak 1, 2, 3, &

4.

b) Serut, tipe ini terbentuk dari serpih maupun batu inti dan

memiliki ciri khusus pada bagian sisi berupa retusan yang

intensif, tipe ini memiliki subtipe berdasarkan keletakan

retus dan bentuk yan dimiliki, yaitu :

(1) Serut Samping, memiliki retus yang intensif pada

bagian sisi lateral kanan, kiri, atau pada keduanya.

Rata-rata serut samping memiliki bentuk yang tipis.

Tipe ini berjumlah 196 buah yang ditemukan pada

kotak 1, 2, 3, & 4.

(2) Serut Cekung, memiliki retus berupa cekungan,

biasanya pembuatan serut cekung dihasilkan dari

pukulan satu sisi secara intensif yang kemudian pada


bagian cekungan itu diretus untuk mehasilkan tajaman

yang diinginkan. Tipe ini berjumlah 62 buah yang

ditemukan pada kotak 1, 2, 3, 4, & 6.

(3) Serut Gerigi, memiliki ciri retus yang dikerjakan pada

bagian sisi (lateral) sehingga menimbulkan cekungan-

cekungan yang berurut dan menghubungkan cekungan

yang satu dengan cekungan yang lain. Tipe ini

berjumlah 8 buah yang ditemukan pada kotak 1 , 3, &

4.

(4) Serut Ujung, terbuat dari serpih yang diretus pada

bagian proksimal atau pada distal, sehingga kadang

kala tetap terdapat bulbus. Retus pada serut ujung yang

dihasilkan dapat berbentuk cembung. Tipe ini

berjumlah 40 buah yang ditemukan pada kotak 1, 2, 3,

4, & 6.

(5) Serut Berpunggung Tinggi, secara umum memiliki

ketebalan yang cukup tebal. Biasanya dihasilkan dari

batu inti dan memiliki tajaman yang diretus berbentuk

cekung ataupun gerigi. Tipe ini berjumlah 28 buah

yang ditemukan pada kotak 1, 2, & 4.

c) Lancipan, memiliki bentuk yang meruncing. Biasanya pada

saat dilakukan penyerpihan dari batu inti telah berbentuk

lancipan, kemudian dilakukan retusan yang intensif pada


bagian lateral, dorsal dan bagian Ventral. Tipe ini berjumlah

10 buah yang di temukan pada kotak 1, 2, & 4.

d) Gurdi, sekilas gurdi memiliki bentuk menyerupai lancipan,

yang dihasilkan lebih terfokus pada bagian ujung dari

lancipan. Gurdi juga disebut sebagai bor. Tipe ini berjumlah

21 buah yang ditemukan pada kotak 1, 2, 3, & 4.

e) Mata panah, berbentuk segitiga simetris dan adanya retusan

yang intensif pada kedua bagian lateralnya untuk

memperoleh tajaman. tipe ini berjumlah 4 buah yang

ditemukan pada kotak 3.

f) Pisau, memiliki bentuk memanjang dan tajaman dibuat pada

salah satu bagian atau kedua lateralnya dengan peretusan

yang intensif. Tipe ini berjumlah 10 buah yang ditemukan

pada kotak 1 & 2.

g) Multi tools, tipe ini memiliki keunikan sendiri, karena

memiliki lebih dari satu fungsi yang dapat digunakan sebagai

bilah dan penyerut. Tipe ini berjumlah 3 buah yang

ditemukan pada kotak 1 & 2.


Gambar 4.5
Artefak Obsidian semua tipe
Sumber : Yondri, 2005

3) Kelompok Perkakas

Perkakas adalah alat bantu atau alat untuk membuat

sesuatu. Oleh karena itu, dalam kelompok ini perkakas berarti

alat bantu atau buat yang bertujuan untuk membuat artefak (tool

kit). Biasanya perkakas terbuat dan bahan batuan yang memiliki

kekerasan yang tinggi, meski beberapa diantaranya tidak terlalu

keras. Hal ini tergantung dan proses yang dilakukan dalam

membuat alat tersebut, apakah menggunakan hard hammer

atau sqft hammer. Perkakas yang terdapat di Gua Pawon berupa

alat pukul (Perkutor) yang terbuat dan batuan andesit dan batu

gamping dengan jejak pakai berupa luka pukul yang terdapat


pada sisi batuan yang digunakan untuk memukul. Perkutor yang

ditemukan di Gua Pawon berjumlah 42 buah. 40 terbuat dari

batu andesit, dan sisanya batu gamping. Perkutor ini tersebar di

kotak-kotak 1, 2, 3, 4, 5, dan 6.

Gambar 4.6
Perkutor andesit Gua Pawon
Sumber : Yondri, 2005

4) Kelompok Limbah

Kelompok ini merupakan artefak Obsidian yang tidak

digunakan sebagai alat. Keberadaan dan kelompok ini tidak

dapat dikesampingkan. karena kelompok ini dapat memberikan

informasi mengenai proses pembentukan dan tahap pembuatan

artefak. Dalam penelitian ini kelompok limbah dibagi menjadi

tiga yaitu:

a) Serpih
Serpih merupakan artefak yang dihasilkan dari batu inti yang

dilepaskan melalui penyerpihan. Oleh karena itu, ciri

(atribut) yang dimilikinya tidak jauh berbeda dengan serpih

yang digunakan sebagai alat, yaitu bekas pukul, dataran

pukul. Bulbus (bulb of percussion), dan gelombang pukul

(ripples). Perbedaan yang paling mendasar adalah tidak

adanya tajaman yang diperoleh melalui peretusan ataupun

jejak pakai berupa striasi atau luka pakai. Selain itu, juga

tidak ada penumpulan pada bagian tajaman. Dalam hal ini,

terlihat aus akibat terjadinya gesekan (friction) tajaman

dengan objek tertentu. Selain itu, tidak adanya bekas patahan

pada bagian tajaman juga dapat menjadi indikasi tidak

digunakannya artefak tersebut, yang tentunya kesemuanya

itu rnerupakan jejak-jejak penggunaan yang dapat diamati.

(Kamminga, et al. 1982). Di Gua Pawon terdapat 921 buah

serpih obsidian yang ditemukan di kotak 1, 2, 3, dan 4.

Gambar 4.7
Serpihan Obsidian Gua Pawon
Sumber : Yondri, 2005
b) Tatal

Tatal merupakan kelompok non-alat yang dihasilkan dari

proses pembuatan serpih Obsidian yang tidak disengaja. Hal

ini dapat dilihat pada hampir keseluruhan tatal yang

ditemukan yang tidak mempunvai ciri-ciri (atribut) yang

dimiliki oleh serpih, seperti bekas pukul. dataran pukul,

gelombang pukul (ripples), bulbus (bulb of percussion)

yang mengindikasikan proses pembuatan alat batu pada

umumnya. Di Gua Pawon terdapat 242 buah tatal yang

ditemukan pada kotak 1, 2, dan 3.

Gambar 4.8
Tatal Obsidian Gua Pawon
Sumber : Yondri, 2005

c) Batu Inti

Kelompok ini hanya diwakili oleh satu tipe yaitu batu inti

yang merupakan bongkahan batu yang tidak memiliki retus


dan bekas pakai, tetapi mempunyai pangkasan-pangkasan

pada permukaan batu akibat pelepasan serpih untuk

dijadikan alat. Pada beberapa batu inti ada bagian

permukaan yang dipersiapkan untuk memperoleh dataran

pukul yang baik. Terdapat 37 buah batu inti yang tersebar

pada kotak 1, 2, 3, dan 4.

Kelompok Tipe Sub tipe Jumlah Presentase


Kelompok bahan
Bongkahan 0 0
baku
Serpih Serpihan pakai 55 3,27%
Serut samping 196 11,67%
Serut cekung 62 3,69%
Serut Serut ujung 40 2,38%
Serut gerigi 8 0,47%
Serut berpunggu
Kelompok alat 28 1,66%
tinggi
Lancipan 10 0,59%
Mata panah 4 0,23%
Gurdi 21 1,25%
Pisau 10 0,59%
Multi tools 3 0,17%
Kelompok perkakas Batu pukul 42 2,50%
Batu inti 37 2,20%
Kelompok limbah Serpih 921 54,85%
Tatal 242 14,41%
Jumlah 1679 100%

Tabel 4.3
Klasifikasi Artefak Obsidian berdasarkan kelompok
Sumber : Balai Arkeologi Bandung, 2005
c. Analisis bentuk dan ukuran Artefak Obsidian

Berdasarkan hasil laporan ekskavasi di Gua Pawon dari Balai

Arkeologi Bandung analisis Artefak Obsidian dibedakan berdasarkan

bentuk dan ukurannya antara lain:

1) Analisi bentuk

Artefak Obsidian dibedakan menjadi 7 berdasarkan analisis

bentuknya, antara lain:

a) Trapesium

Trapesium dibentuk oleh empat sisi yang saling berhadapan.

Pada salah satu pasangan sisinya yang berhadapan memiliki

sudut yang sama namun orientasi saling berlawanan.

Terdapat 48 buah Artefak Obsidian yang ditemukan dengan

bentuk trapesium.

b) Jajaran genjang

Jajaran genjang memiliki empat buah sisi yang saling

berhadapan yang hampir serupa dengan persegi panjang.

Namun pada salah satu pasangan sisinya tidak tegak lurus

melainkan miring dengan sudut kemiringan dan orientasi

yang sama. Setelah diamati Artefak Obsidian yang memiliki

bentuk jajaran genjang ada 164 buah.

c) Tidak beraturan
Bentuk ini dapat dikatakan tidak memiliki bentuk yang jelas

atau memiliki sisi yang tidak beraturan. Bentuk ini

merupakan bentuk yang paling banyak dijumpai, yaitu

berjumlah 679 buah.

d) Segitiga

Secara umum bentuk segitiga dibangunoleh tiga sisi yang

kemudian membentuk sudut satu sama lain. Bentuk ini

merupakan bentuk yang sangat lazim dijumpai pada Artefak

Obsidian di Gua Pawon dengan jumlah keseluruhan 521

buah.

e) Persegi panjang

Secara umum persegi panjang memiliki bentuk yang hampir

sama dengan bujur sangkar, akan tetapi pada salah satu

pasangan sisi yang berhadapan memiliki ukuran lebih

panjang dari pada pasangan sisi yang lain. Bentuk ini

ditemukan berjumlah 169 buah.

f) Bulat

Secara umum bentuk bulat bias dikatakan sebagai bentuk

yang tidak memiliki sudut, dengan bentuk dasar lingkaran.

Akan tetapi pada kenyataannya artefak yang ditemukan tidak

memiliki bentuk sempurna (lingkaran). Artefak Obsidian Gua

Pawon yang memiliki bentuk bulat berjumlah 27 buah.

g) Bujur sangkar (persegi)


Bentuk bujur sangkar dibangun oleh empat buah sisi yang

memiliki ukuran (panjang) yang sama yang kedua sisinya

saling berhadap-hadapan yang kemudian membentuk sudut

90 derajat. Bentuk ini ditemukan berjumlah 29 buah.

Dari pengamatan ini maka dapat terlihat bahwa Artefak

Obsidian di Gua Pawon memiliki tujuh karakterisitik bentuk, yaitu

lingkaran (bulat), segitiga, bujur sangkar, persegi panjang, jajran

genjang, trapesium, dan tidak beraturan.

Gambar 4.9
Bentuk dasar Artefak Obsidian
Sumber : Balai Arkeologi Bandung, 2005
No Bentuk Jumlah Presentase
1 Trapesium 48 2,93%
2 Jajaran genjang 164 10,01%
3 Tidak beraturan 679 41,70%
4 Segitiga 521 31,82%
5 Persegi panjang 169 10,32
6 Bulat 27 1,64%
7 Bujur sangkar 29 1,77%
Jumlah 1637 100%

Tabel 4.4
Frekuensi bentuk dasar Obsidian Gua Pawon
Sumber : Balai Arkeologi Bandung, 2005

2) Analisi ukuran

Analisi ukuran dilakukan untuk mengetahui karateristik

serpihan Artefak Obsidian hal ini penting untuk dilakukan karena

akan membantu melihat kecenderungan produksi Artefak

Obsidian yang dihasilkan (Forestier, 2007:115). Ukuran dibagi

menjadi tiga kelas, yaitu : besar, sedang, dan kecil berdasarkan

uuran keseluruhan Artefak Obsidian di Gua Pawon.

Ukuran diperoleh melalui data linier seperti panjang, lebar

dan tebal dari sebuah artefak. Dalam hal ini panjang terpanjang,

lebar terlebar, dan tebal tertebal. Akan tetapi untuk mendapatkan

data yang lebih umum yang dapat diaplikasikan terhadap seluruh

artefak Gua Pawon maka digunakan pengukuran panjang

maksimum menurut (Andresfsky dalam Ferdianto, 2008:61).


Berdasarkan hasil wawancara oleh bapak Tatan Nopember

2016 lalu Artefak Obsidian Gua Pawon memiliki rasio ukuran

0,4 5 cm, yang kemudian dibagi menjadi tiga kelas, yaitu : 0,4

1 cm merupakan kelas ukuran kecil, 1 2 cm merupakan kelas

ukuran sedang, dan 2 5 cm merupakan kelas ukuran besar.

Pengukuran dilakukan dengan cara memasukan Artefak Obsidian

yang akan diukur kedalam lingkaran ukuran dengan kelas

masing-masing, yaitu 1 cm, 2 cm, dan 5 cm.

Gambar 4.10
Pengukuran Artefak Obsidian berdasarkan kelas
Sumber : Balai Arkeologi Bandung, 2005

Dari hasil pengukuran dan pembagian kelas, maka diketahui

bahwa mayoritas temuan Artefak Obsidian di Gua Pawon

berukuran sedang.

No Kelas Ukuran Jumlah Presentase


1 Kecil 88 5,37%
2 Sedang 1067 65,18%
3 Besar 482 29,44%
Jumlah 1637 100%

Tabel 4.5
Frekuensi kelas ukuran Artefak Obsidian
Sumber : Balai Arkeologi Bandung, 2005
Foto 5. Objek Dokumentasi

6. Artefak Obsidian Sebagai Jejak Kebudayaan Bandung Purba

Tinggalan obsidian merupakan temuan yang paling banyak

diperoleh di sekitar Danau Bandung (Koesoemadinata, 2001). Oleh

karena itu, artefak obisidian paling banyak menyita perhatian beberapa

peneliti. Penemuan artefak dan penelitian di sekitar Danau Bandung,

pertama-tama oleh A.C de Jong (1930), yang kemudian ditindak lanjuti

dengan penelitian oleh von Koeningswald dan dipublikasikan tahun 1935.

Penelitian Koeningswald memeroleh artefak alat obsidian, beliung dari

bahan kwarsit dan kalsedon, pisau penyerut, dan anak panah

(Koeningswald, 1935: 393-419). Masih dalam tahun penelitian yang

sama, Koeningswald juga telah berhasil memetakan sebaran situs


obsidian yang keseluruhannya berada pada ketinggian 725 meter di atas

permukaan air laut. Pemerhati budaya Danau Bandung purba yang lain

adalah J. Krebs (1932-1933), W. Mohler (1942-1945), dan Rothpletz

(Heekeren, 1972).

Rothpletz (1951) mencoba untuk menguak budaya Danau

Bandung purba dengan berkonsentrasi pada daerah timur laut Bandung

yang disebut dengan Blok Pulasari. Artefak yang diperoleh beragam

bahan dan teknologi, antara lain berupa beliung, obsidian, keramik, dan

cetakan untuk pengecoran perunggu dan besi. Secara umum, artefak yang

diperoleh berupa obsidian, beliung, batu asah, gerabah, keramik asing,

dan beberapa logam.

Beberapa tahun belakangan (70-an), penelitian di daerah sekitar

Danau Bandung telah dilakukan oleh beberapa peneliti. Pada tahun 1978,

tim penelitian Pusat Penelitian Purbakala dan Peninggalan Nasional (P4N)

sekarang Pusat Penelitian Arkeologi Jakarta melakukan survei di daerah

Sindangkerta, Kabupaten Bandung. Lokasi yang diteliti adalah Pasir

(Bukit) Tampian, Pasir Suje, Pasir Monggor, Pasir Kawung, Pasir

Suramenggala, Pasir Asep Roke, dan Pasir Kadut. Artefak yang diperoleh

berupa alat serpih, batu berupa serut, pecahan keramik asing, pahat batu,

dan beliung persegi (Anggraeni, et al, 1986).

Selanjutnya, pada 1992, tim dari Bidang Arkeometri, Pusat

Penelitian Arkeologi Nasional melakukan penelitian di wilayah sekitar


Saguling, Desa Baranangsiang, Cipongkor, Kabupaten Bandung. Situs

yang diteliti adalah Pasir Asep Roke, Pasir Citiis dan Jajawei, Pasir Kadut,

Pasir Kawung, Pasir Lengo, Pasir Monggor, Pasir Suje, Pasir

Suramenggala, dan Pasir Tampian. Temuan yang diperoleh adalah

tembikar, terak besi, cangkang kerang, serut, dan beliung persegi (Tim

Peneliti, 1992).

Pada 2001 tim penelitian dari Balai Arkeologi Bandung

melakukan penelitian yang berupa survei di daerah Cililin dan Cipongkor.

Hasil penelitian adalah makam Rangga Malela, makam K.H Syafei,

makam Syeh Abdul Manaf, makam Sangga Wadana, beliung persegi, mata

tombak, dan fosil fragmen tulang (Boedi, 2001).

Beberapa telaah mengenai temuan di Danau Bandung telah

dilakukan oleh para ahli terdahulu. Telaah temuan khususnya obsidian,

para ahli saling berbeda pendapat. Ketiga ahli van Stein Callenfels, von

Koeningswald dan van der Hoop, dalam tulisan yang berbeda,

berkesimpulan sama, yaitu menggolongkan alat obsidian yang disebut

sebagai alat mikrolit berasal dari masa bercocok tanam. Hal tersebut

didasarkan dari temuan sertanya, yaitu pecahan gerabah, fragmen beliung

persegi, dan cetakan-cetakan logam (Callenfels, 1934, Koeningswald,

1935, Hoop, 1940, vide Soejono, 1984).

Hal lain dikemukaan oleh Geldern (Soejono, 1984), alat obsidian

Bandung digolongkan dari tradisi yang lebih tua. Pendapat senada


dikeluarkan oleh Bandi dan Rothpletz, yaitu alat obsidian Bandung

merupakan alat masa berburu dan mengumpulkan makanan. Alasan yang

mengemuka adalah unsur bercocok tanam berasal dari masa-masa

kemudian dan temuan obsidian tumpang tindih dengan tradisi yang

menghasilkan beliung persegi. Soejono dengan menggunakan anologi

temuan di Jambi dan Leles menduga alat obsidian merupakan alat yang

berkembang secara lokal pada masa bercocok tanam (Soejono, 1984).

7. Kondisi Artefak Obsidian dan Gua Pawon Saat ini

Gua Pawon akan menjadi prioritas pengembangan sektor wisata

di Kabupaten Bandung Barat tahun ini. Akan tetapi kondisi Gua Pawon

saat ini mulai rusak di sisi Timur, Utara, dan Selatan akibat kegiatan

penambangan fosfat oleh masyarakat sekitar dan adanya erosi akibat atap

gua sebagian besar sudah runtuh dan terbuka.

Untuk menangani masalah ini pemerintah setempat segera

mengambil tindakan dengan menjadikan Gua Pawon sebagai cagar alam

Geologi karena nilai ilmiah yang di milikinya merupakan arsip sejarah

yang bernilai sangat tinggi yang tersimpan di perpustakaan alam.


Selain itu juga Balai Arkeologi Bandung membuat reflika dari

penemuan-penemuan hasil penggalian yang didapatkan oleh tim Riset

Arkeologi Bandung dan Kelompok Riset Cekungan Bandung, yang

memang sengaja di letakan di tempat asalnya dengan di batasi pagar besi

sebagai pengamannya.

Foto 6. Plang Nama Pertama Menuju Gua Pawon


Foto 7. Titik Awal Menuju Gua Pawon

Foto 8. Menuju Ruang I Gua Pawon


Foto 9. Celah Pawon / Cerobong Asap di Ruang II

Foto 10. Fosil Kerangka Manusia Pawon


Foto 11. Gunung Masigit diantara pabrik dan pemukiman penambang

Foto 12. Gunung Masigit yang rusak akibat pengaglian fosfat

Anda mungkin juga menyukai