1 Imunisasi
seseorang secara aktif terhadap suatu penyakit, sehingga bila suatu saat terpajan
dengan penyakit tersebut tidak akan sakit atau hanya mengalami sakit ringan
(Kemenkes, 2013).
dapat merangsang pembentukan imunitas (antibodi) dari sistem imun di dalam tubuh.
Tujuannya adalah memberikan infeksi ringan yang tidak berbahaya namun cukup
sesungguhnya dikemudian hari tidak menjadi sakit karena tubuh dengan cepat
membentuk antibodi dan mematikan antigen /penyakit yang masuk tersebut (Ranuh,
2011).
Pada hakekatnya kekebalan tubuh dapat dimiliki secara pasif maupun aktif.
Keduanya dapat diperoleh secara alami maupun buatan. Kekebalan pasif yang
didapatkan secara alami adalah kekebalan yang didapatkan oleh seorang bayi yang
menerima berbagai jenis antibodi dari ibunya melalui plasenta selama masa
memproduksi sendiri zat aktif tersebut untuk kekebalan tubuhnya (Satgas IDAI,
10
2008).
Kekebalan aktif secara alami didapatkan apabila anak terjangkit suatu
penyakit, yang berarti masuknya antigen yang akan merangsang tubuh anak
membentuk antibodi sendiri secara aktif dan menjadi kebal karenanya. Mekanisme
yang sama adalah pemberian vaksin yang merangsang tubuh manusia secara aktif
membentuk antibodi dan kebal secara spesifik terhadap antigen yang diberikan
(Ranuh, 2011).
a. Tercapainya target UCI yaitu cakupan imunisasi lengkap minimal 80% secara
d. Tercapainya eliminasi campak pada tahun 2015 dan pengendalian penyakit rubella
2020.
medis.
1. Individu
mendapat imunisasi maka 80% - 95% akan terhindar dari penyakit infeksi yang
ganas.
2. Sosial
ke anak lain atau orang dewasa yang hidup bersamanya. Inilah yang disebut
keuntungan sosial, karena dalam hal ini 5% - 20% anak yang tidak diimunisasi juga
pengobatan dan perawatan di rumah sakit, mencegah kematian dan kecacatan yang
Program imunisasi sangat efektif dan efisien apabila diberikan dalam cakupan
yang luas secara nasional. Peningkatan pertumbuhan ekonomi suatu negara tentunya
akan lebih baik bila masyarakatnya lebih sehat sehingga anggaran untuk
dalam kesehatan untuk kesejahteraan dan peningkatan kualitas anak di masa depan
(Ranuh, 2011).
Imunisasi wajib terdiri atas imunisasi rutin, tambahan dan khusus yang
a. Imunisasi rutin
menerus sesuai jadwal, terdiri atas imunisasi dasar dan lanjutan. Imunisasi dasar
diberikan kepada bayi sebelum berusia 1 (satu) tahun. Imunisasi lanjutan merupakan
memperpanjang masa perlindungan. Diberikan kepada anak usia bawah tiga tahun
Jadwal imunisasi lanjutan pada anak usia dibawah tiga tahun meliputi
imunisasi DPT-HB-Hib pada usia 18 bulan dan campak pada usia 24 bulan. Balita
Imunisasi lanjutan pada anak sekolah dasar meliputi campak dan DT pada
anak kelas 1 SD, dan imunisasi Td pada anak kelas 2 dan 3 SD yang dilaksanakan
pada bulan Agustus dan November. Anak usia sekolah dasar yang telah mendapatkan
b. Imunisasi tambahan
beresiko terkena penyakit sesuai kajian epidemiologis pada periode waktu tertentu.
1. Backlog fighting
pada anak yang berumur dibawah 3 (tiga) tahun. Prioritas dilaksanakan di desa yang
2. Crash program
memerlukan intervensi secara cepat untuk mencegah terjadinya KLB. Crash program
bisa dilakukan untuk satu atau lebih jenis imunisasi, misalnya campak, atau campak
Kriteria daerah yang akan dilakukan crash program adalah angka kematian
bayi akibat PD3I tinggi, infrastruktur (tenaga, sarana, dana) kurang dan desa yang
dalam waktu yang singkat, tanpa memandang status imunisasi sebelumnya. Bertujuan
4. Sub PIN
Sub PIN merupakan kegiatan imunisasi yang dilaksanakan seperti PIN tetapi
penularan virus campak pada anak usia sekolah dasar. Kegiatan dilakukan dengan
pemberian imunisasi campak secara serentak pada anak kelas 1-6 sekolah dasar, serta
usia 6-12 tahun yang tidak sekolah, tanpa mempertimbangkan status imunisasi
sebelumnya. Disamping itu juga sebagai booster atau imunisasi ulangan (dosis
kedua).
c. Imunisasi khusus
melindungi masyarakat terhadap penyakit tertentu pada situasi tertentu, antara lain
rabies (VAR).
wajib, namun penting diberikan kepada bayi, anak dan dewasa di Indonesia
(MMR), Demam Tifoid, Hepatitis A, Human Papiloma Virus (HPV) dan Japanese
Encephalitis.
Vaksin Bacille Calmette Guerin (BCG) merupakan vaksin beku kering yang
sebaiknya dengan uji Mantoux (tuberkulin) negatif. Efek proteksi timbul 812
Efek samping reaksi lokal yang timbul setelah imunisasi BCG berupa
pembengkakan kecil, merah, biasanya timbul pada daerah bekas suntikan, yang
kemudian berubah menjadi vesikel kecil, dan kemudian menjadi sebuah ulkus dalam
waktu 2 - 4 minggu. Reaksi ini biasanya hilang dalam 2 5 bulan, dan umumnya
pada anak-anak akan meninggalkan bekas berupa jaringan parut dengan diameter
kelenjar getah bening pada daerah ketiak dapat timbul 2 4 bulan setelah imunisasi
(Biofarma, 2013).
toxoid tetanus, bakteri pertusis inaktif, antigen permukaan hepatitis B (HBsAg) murni
yang tidak infeksius dan komponen Hib sebagai vaksin bakteri sub unit berupa kapsul
mengurangi jumlah suntikan pada bayi. Penggabungan berbagai antigen menjadi satu
suntikan telah dibuktikan melalui uji klinik, bahwa kombinasi tersebut secara materi
2, 3 dan 4 bulan. Pada tahap awal hanya diberikan pada bayi yang belum pernah
DPT-HB dosis pertama atau kedua, tetap dilanjutkan dengan pemberian imunisasi
dibutuhkan imunisasi lanjutan kepada anak batita sebanyak satu dosis pada usia 18
bulan.
Jenis dan angka kejadian reaksi simpang yang berat tidak berbeda secara
bermakna dengan vaksin DPT, Hepatitis B dan Hib yang diberikan secara terpisah.
Untuk DPT, beberapa reaksi lokal sementara seperti bengkak, nyeri dan kemerahan
pada lokasi suntikan disertai demam dapat timbul. Vaksin hepatitis B dan vaksin Hib
dapat ditoleransi dengan baik. Reaksi lokal dapat terjadi dalam 24 jam setelah
vaksinasi dimana penerima vaksin dapat merasakan nyeri pada lokasi penyuntikkan.
Reaksi ini biasanya bersifat ringan dan sementara, pada umumnya akan sembuh
gejala kelainan otak pada bayi baru lahir atau kelainan saraf serius lainnya merupakan
kontraindikasi terhadap komponen pertusis. Dalam hal ini vaksin tidak boleh
kekebalan terhadap penyakit Hepatitis B yang merusak hati. Penyakit ini bisa menjadi
kronis dan menimbulkan pengerasan hati (Cirrhosis Hepatis), kanker hati (Hepato
respon protektif (anti HBs10 mlU/ml) pada > 90% bayi anak dan remaja dan
d. Polio
maupun Oral Polio Vaccine (OPV). Perbedaannya, IPV merupakan virus yang sudah
mati dengan formaldehid sedangkan OPV adalah virus yang masih hidup dan
dari vial dosis ganda melalui droper sebanyak 2 tetes. Bayi sedikitnya harus
OPV sangat bermanfaat pada saat KLB karena selain menimbulkan kekebalan
humoral dan lokal pada usus resipien juga mempunyai community effect yaitu virus
vaksin yang berbiak di usus akan ikut menyebar kesekitarnya, sehingga jangkauan
1/1.000.000 dosis, atau kontak dengan anak yang telah divaksinasi dengan
perbandingan 1/1.400.000 dosis sampai 1/3.400.000 dosis. Dan hal ini terjadi bila
kontak belum mempunyai kekebalan terhadap virus polio atau belum pernah
e. Campak
kekebalan aktif terhadap penyakit campak (morbilli/measles). Saat ini ada beberapa
macam vaksin campak yaitu monovalen, kombinasi vaksin campak dengan vaksin
Rubella (MR), kombinasi dengan mumps dan rubella (MMR), Kombinasi dengan
sesuai jadwal, karena antibodi dari ibu sudah menurun di usia 9 bulan.
Vaksin campak dapat mengakibatkan sakit ringan dan bengkak pada lokasi
suntikan yang terjadi 24 jam setelah vaksinasi. Pada 5-15% kasus terjadi demam
(selama 1-2 hari), pada 2 % terjadi kasus kemerahan (selama 2 hari). Kasus ensefalitis
sangat penting, khususnya untuk imunisasi pada anak penderita malnutrisi. Vaksin ini
sebaiknya tidak diberikan bagi orang yang alergi terhadap dosis vaksin campak
sebelumnya, anak dengan infeksi akut disertai demam, anak dengan defisiensi sistem
Imunisasi, jadwal pemberian imunisasi dasar pada bayi dapat dilihat pada tabel
dibawah ini :
Umur Jenis
0 bulan Hepatitis B 0
1 bulan BCG, Polio 1
2 bulan DPT-HB-Hib 1, Polio 2
3 bulan DPT-HB-Hib 2, Polio 3
4 bulan DPT-HB-Hib 3, Polio 4
9 bulan Campak
Catatan :
Imunisasi (PPI) yang mulai dilaksanakan di Indonesia pada tahun 1977 berfokus pada
paru tetapi dapat juga mengenai organ lainnya seperti selaput otak, tulang, kelenjar
tuuberculosis terjadi respon imunitas selular yang dapat ditunjukkan dengan uji
Penularan melalui udara (percikan dahak penderita TB) saat batuk, bersin,
selalu menjadi sakit tuberkulosis aktif. Seseorang yang terdiagnosis TB dengan status
juta kasus TB didunia dan 1,5 juta kasus meninggal dimana 360.000 kasus HIV
positif. Sekitar 56% kasus berada di Asia Tenggara dan Pasifik Barat. Diperkirakan
di Indonesia setiap tahunnya terjadi 64.000 kematian akibat TB dan terdapat 450.000
(Ranuh, 2011).
2.3.2 Difteri
Difteri adalah suatu penyakit menular akut pada tonsil, faring,, hidung dan
kadang-kadang pada selaput mukosa dan kulit. Bersifat toxin-mediated disease yang
Corynebacterium diphteriae yaitu tipe mitis, intermedius dan gravis, ketiga tipe ini
dapat memproduksi toxin, tipe gravis adalah yang paling sering didapatkan pada
langsung dari toxin difteri. Penularan melalui pernafasan droplet infection atau
melalui muntahan, pada difteri kulit bisa melalui luka di tangan baik dari penderita
maupun carrier. Pada masa non epidemi ditemukan carrier rate sebesar 0,5% - 1,2%
dari penduduk dan kumannya adalah tipe mitis. Pada masa epidemi carrier rate bisa
Pada tahun 2008-2012 di Indonesia angka kasus difteri naik signifikan (218
kasus tahun 2008 menjadi 1.192 kasus di 2012), disertai kenaikan angka kematian
(dari 14 penderita meninggal pada 2008 menjadi 76 pasien pada 2012). Pada tahun
2008-2011, mayoritas kasus menyerang kelompok usia 1-4 tahun dan 5-9 tahun.
Pada tahun 2012, difteri umumnya dialami kelompok anak usia 5-9 tahun dan
di atas 14 tahun. Lebih dari 50% kasus terjadi akibat tidak mendapat imunisasi. Pada
tahun 2012, kasus difteri ditemukan di 19 provinsi, jumlah kasus terbanyak ada di
rejan adalah suatu penyakit akut yang disebabkan oleh bakteri Bordetella pertussis.
Masa inkubasi umumnya 7- 20 hari, rata-rata 7-10 hari. Penularan terutama melalui
kontak langsung dengan discharge selaput lendir saluran pernafasan dari orang yang
kematian terjadi setiap tahun). Sekitar 80% kematian terjadi pada anak-anak berumur
kondisi dasar kurang gizi dan infeksi ganda pada saluran pencernaan dan pernafasan,
pertusis dapat menjadi penyakit yang mematikan pada bayi dan anak. Pneumonia
2.3.4 Tetanus
Tetanus adalah penyakit akut, bersifat fatal yang disebabkan oleh eksotoksin
yang diproduksi bakteri Clostridium tetani. Penularan terjadi apabila spora tetanus
masuk kedalam tubuh, biasanya melalui luka yang tercemar dengan tanah, debu
panjang. Prognosis dipengaruhi oleh masa inkubasi, semakin pendek masa inkubasi
sering terjadi akibat persalinan dan penanganan tali pusat tidak bersih. Tetanus
neonatorum (TN) adalah tetanus pada bayi usia hari ke 3 dan 28 setelah lahir.
Manifestasi klinis meliputi gejala progresif adanya kesulitan minum (menghisap dan
menelan), peka rangsang dan bayi menangis terus menerus. Gejala khas yang lain
adalah adanya kekakuan dan spasme. Tetanus maternal (TM) adalah tetanus pada
yang tepat tidak tersedia. Secara global hampir 14% penyebab kematian neonatus
Pada tahun 1988, WHO memperkirakan secara global sebanyak 787,000 bayi
baru lahir meninggal akibat tetatus neonatorum (TN). Sehingga pada akhir tahun
1980-an perkiraan angka kematian tahunan global TN adalah sekitar 6,7 kematian
per 1000 kelahiran hidup. Pada tahun 2008 terdapat penurunan 92% dari situasi pada
akhir 1980-an sekitar 59.000 bayi baru lahir meninggal akibat TN.
kecuali provinsi Maluku, Maluku Utara, Papua dan Papua Barat (WHO, 2014).
2.3.5 Campak
bercak kemerahan berbentuk makulo popular selama 3 hari atau lebih, demam
disertai salah satu gejala batuk pilek atau mata merah. Penularan melalui percikan
ludah dan transmisi melalui udara terutama melalui batuk, bersin atau sekresi hidung.
Diperkirakan 90% anak yang tidak kebal akan terserang penyakit campak.
penurunan 56% kasus campak yang dilaporkan yaitu 852.937 kasus pada tahun 2000
menjadi 373.421 kasus pada tahun 2006. Di regional SEARO terjadi peningkatan
dari 78.574 kasus pada tahun 2000 menjadi 94.562 kasus pada tahun 2006, dan di
Indonesia pada tahun 2010 dilaporkan terjadi 188 kali KLB campak dengan 3.044
kasus, sementara dari laporan rutin campak tercatat 19.111 kasus (Kemenkes, 2011).
Walaupun cakupan imunisasi cukup tinggi, KLB campak mungkin saja masih
akan terjadi yang disebabkan adanya akumulasi anak-anak rentan karena tidak
imunisasi ditambah 15% anak yang walaupun diimunisasi tetapi tidak terbentuk
imunitas.
neuron pada cornu anterior dari sumsum tulang belakang akibat infeksi virus polio.
Masa inkubasi poliomyelitis berlangsung 6-20 hari dengan kisaran 3-35 hari.
Penularan terutama terjadi penularan langsung (fecal-oral atau oral-oral) pada waktu
3 hari sebelum dan sesudah masa prodromal. Respon terhadap infeksi virus polio
Pada tahun 1988 secara global jumlah kasus polio paralisis sebanyak 350.000
kasus dengan 125 negara endemis . Pada sidang WHA ke 41 tahun 1988 diputuskan
untuk melakukan upaya global Eradikasi Polio (ERAPO). Sejak dilakukan upaya
ERAPO terjadi penurunan jumlah kasus polio dan jumlah negara endemis. Pada
tahun 2008 kasus polio menurun 99% dibanding tahun 1988 dan 4 negara endemis.
Di Indonesia KLB Polio terjadi pada tahun 2005-2006 dengan jumlah kasus
303 pada tahun 2005 dan 2 pada tahun 2006. Kasus terakhir yang dilaporkan berasal
Pada tahun 2005 juga terjadi KLB Vaccine Derived Polio Viruses (VDPV)
rendah. Jika angka cakupan imunisasi dengan OPV rendah, VDPV dapat menyebar
2.3.7 Hepatitis B
penularan VHB secara horizontal terjadi melalui kontak seksual dengan seseorang
yang tertular. Penularan secara vertikal melalui parenteral terjadi dari ibu kepada
bayinya. Bagian tubuh yang memungkinkan terjadinya penularan VHB adalah darah,
produk darah, air ludah, cairan amniotic, cairan vagina, cairan bagian tubuh lainya
Pada dasarnya individu yang belum pernah imunisasi hepatitis B atau yang
tidak memiliki antibody anti HBs, potensial terinfeksi VHB. Risiko kronisitas
dipengaruhi oleh faktor usia saat yang bersangkutan terinfeksi. Kronisitas dialami
oleh 90% bayi yang terinfeksi saat lahir, 25-50% anak yang terinfeksi usia 1-5 tahun,
Diseluruh dunia terdapat 350 juta penderita kronis dengan 4 juta kasus
baru/tahun. Infeksi pada anak umumnya asimtomatis tetapi 80-95% akan menjadi
kronis dan dalam 10-20 tahun akan menjadi sirosis dan/atau Karsinoma Hepato
Oleh karena itu kebijakan utama tata laksana VHB adalah memotong jalur
transmisi sedini mungkin. Vaksinasi universal bayi baru lahir merupakan upaya yang
menyangkut dua aspek utama yaitu non fisik yang menyangkut perilaku dan fisik
seperti tersedianya sumber daya, fasilitas, sarana dan prasarana kesehatan. Faktor
perilaku mempunyai pengaruh yang besar terhadap status kesehatan individu dan
masyarakat.
Perilaku kesehatan terbentuk dalam diri seseorang dipengaruhi oleh berbagai
faktor eksternal seperti faktor lingkungan baik fisik maupun non fisik berupa sosial,
budaya, ekonomi, politik dan sebagainya dan faktor internal berupa keyakinan,
1. Perilaku terhadap sakit dan penyakit, perilaku ini sesuai dengan tingkatan
kesehatan.
adalah konsep dari Lawrence Green, yang menganalisis perilaku dari tingkat
c. Faktor pendorong atau penguat (reinforcing factors) yang terwujud dalam sikap
dan perilaku petugas kesehatan atau petugas lain yang merupakan kelompok
manfaatnya apabila ibu-ibu tidak mau datang ke sarana kesehatan. Perilaku ibu-ibu
yang tidak memanfaatkan pelayanan kesehatan yang tersedia bisa dipengaruhi oleh
dan efek sampingnya, persepsi ibu yang tidak benar tentang imunisasi, faktor
pemungkin seperti ketersediaan sarana dan prasarana, serta faktor pendorong seperti
Perilaku individu atau kelompok masyarakat yang kurang sehat juga akan
2011).
2.5 Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Kelengkapan Imunisasi Dasar
Kelengkapan status imunisasi dasar bayi apabila bayi telah mendapat lima
berkesinambungan
a. Adanya masalah sosio ekonomi dan sosio kultural, terkait budaya, adat,
Di Indonesia banyak daerah yang memiliki kondisi geografis yang sulit sehingga
sulit dijangkau oleh pelayanan kesehatan dasar. Untuk masyarakat yang tinggal di
mendapatkan imunisasi dasar karena anak sakit, kurangnya pengetahuan ibu tentang
ketakutan akan efek samping/KIPI serta orang tua anak terlalu sibuk.
1. Umur ibu
berumur lebih muda dan baru memiliki anak cenderung untuk memberikan perhatian
yang lebih akan kesehatan anaknya termasuk pemberian imunisasi. Berdasarkan hasil
penelitian (Isfan, 2006) diperoleh OR : 3,10 (95% CI : 1,83 5, 26), bahwa ibu yang
berumur 30 tahun mempunyai risiko 3 kali lebih besar status imunisasi dasar
anaknya untuk tidak lengkap bila dibandingkan dengan ibu yang berusia <30 tahun.
2. Pendidikan ibu
Pendidikan ibu dalam hal ini adalah jenjang pendidikan formal ibu yang
pendidikan yang rendah akan memberikan efek negative . Makin tinggi tingkat
pendidikan ibu maka akan semakin mudah pula menerima inovasi-inovasi baru
termasuk dalam hal imunisasi. Hal ini sejalan dengan penelitian (Istriyati, 2011)
tingkat pendidikan ibu berhubungan dengan status kelengkapan imunisasi dasar pada
bayi dengan nilai p value = 0,008, OR = 4,297 yang berarti ibu yang memiliki tingkat
pendidikan rendah memiliki risiko 4 kali lebih besar untuk tidak memberikan
tinggi.
3. Pengetahuan ibu
pengetahuan akan lebih lama bertahan daripada perilaku yang tidak didasarkan
pengetahuan.
memiliki tingkat pengetahuan yang tidak baik tentang imunisasi memiliki risiko 2
kali lebih besar status imunisasi dasar anaknya tidak lengkap bila dibandingkan
dengan ibu yang memiliki pengetahuan baik. Sejalan dengan penelitian Istriyati 2011
dengan nilai p value = 0.004, OR = 4,75 bahwa tingkat pengetahuan ibu tentang
4. Sikap ibu
Sikap merupakan respon yang masih tertutup dari seseorang terhadap suatu
stimulus atau objek tertentu (Notoadmodjo, 2010). Menurut Berkowitz (1972) dalam
Azwar (2005), setiap orang yang mempunyai perasaan positif terhadap suatu objek
membawa anaknya untuk imunisasi merupakan respon positif ibu terhadap imunisasi.
Dari hasil penelitian ibu yang bersikap baik kelengkapan imunisasi anaknya
96,3%, dan yang tidak baik 23,5% dengan p value 0,000 (Karen, 2013). Sejalan
dengan penelitian (Febri, 2011) bahwa ibu yang mempunyai sikap yang tidak baik
tentang imunisasi memiliki risiko 3 kali lebih besar status imunisasi dasar anaknya
tidak lengkap bila dibandingkan dengan ibu yang memiliki sikap baik tentang
imunisasi.
5. Persepsi ibu
orang bisa memiliki persepsi yang berbeda terhadap suatu objek meskipun
tergantung pada berbagai faktor yang mempengaruhinya, baik faktor internal seperti:
pengalaman, kebutuhan saat itu, nilai-nilai yang dianut, ekspektasi maupun faktor
harapan yang diinginkan, pengalaman, nilai-nilai sosio budaya yang dianut dan
perilaku seseorang menjadi baik, dan sebaliknya bila persepsi negatif dapat
jarang dijumpai orang tua yang ragu atau bahkan menolak imunisasi dengan berbagai
vaksin, keraguan tentang manfaat dan keamanan imunisasi, penggunaan jarum suntik,
ketakutan akan efek demam yang timbul setelah imunisasi, pandangan bahwa PD3I
Berdasarkan hasil penelitian (Febri, 2011) variabel persepsi ibu tentang peran
petugas kesehatan berhubungan dengan status imunisasi campak pada batita 9-36
dipengaruhi oleh jarak dengan fasilitas kesehatan. Ibu yang memiliki jarak rumah
imunisasi karena tidak memerlukan waktu yang lama atau mengeluarkan uang untuk
ongkos kenderaan ke tempat pelayanan. Hal ini menunjukkan bahwa pada ibu yang
imunisasinya.
2.6 Landasan Teori
imunisasi sebagai salah satu upaya pencegahan penyakit, mengacu kepada teori
Bloom yang menyatakan bahwa ada 4 faktor yang berpengaruh, yaitu lingkungan,
paling besar terhadap status kesehatan, disusul oleh perilaku, pelayanan kesehatan
c. Faktor pendorong atau penguat (reinforcing factors) yaitu faktor yang memperkuat
atau mendorong terjadinya perilaku, yang meliputi sikap dan perilaku petugas
kesehatan atau petugas lain yang merupakan kelompok referensi dari perilaku
masyarakat seperti tokoh masyarakat, tokoh agama. Termasuk juga undang-
Adapun skema teori Green and Krueter (2005), dipaparkan dan dirangkum
Predisposing Factors
Knowledge, Genetic
Attitudes, Beliefs,
Values, Cultural,
Perception
Health
education Reinforcing Factors Behaviour
Influence from and Health
Mass Media
Advocacy parents, teachers,etc Life Style
Social support
Health provider
Enabling Factors
Policy Availability of Environment
Regulation resources
Organization Accessibility
Skills
Faktor Predisposisi
- Pengetahuan Ibu
- Pendidikan Ibu
- Sikap Ibu
- Persepsi Ibu
Kelengkapan Status
Faktor Pemungkin Imunisasi Dasar
- Status Pekerjaan Ibu pada Bayi
Faktor Pendorong
- Dukungan Petugas
Kesehatan
- Dukungan Keluarga