Disusun Oleh :
Herwinati
2011730036
Pembimbing:
dr. Edwin Haposan Martua, Sp. An., M.Kes, AIFO
Anestesiologi ialah ilmu kedokteran yang pada awalnya berprofesi menghilangkan nyeri
dan rumatan pasien sebelum, selama, dan sesudah pembedahan. Definisi anestesiologi
berkembang terus sesuai dengan perkembangan ilmu kedokteran.
Anestesi regional adalah suatu cara untuk menghilangkan rasa sakit pada sebagianmatau
beberapa bagian tubuh yang tidak disertai dengan hilangnya kesadaran dan bersifat sementara.
Analgesia regional sering digunakan karena sederhana, murah, obatnya mudah disuntikkan,
alatnya sederhana dan perawatan pasca bedah tidak rumit.Tahun-tahun terakhir ini analgesia
regional berkembang dengan pesat di Indonesia. Dari sekian banyak teknik analgesia regional,
blok subarakhnoid (SAB) termasuk diantaranya. SAB atau lebih populer disebut anestesi spinal
adalah suatu tindakan atau usahamenghentikan transmisi impuls syaraf yang melintas medulla
spinalis anterior dandengan jalan menyuntikkan obat anestesi lokal ke dalam ruang subarachnoid
melalui interspace L2-3, L3-4, L4-5.
Sub-arachnoid block (SAB) atau anestesi spinal merupakan salah satutehnik anestesi
yang aman, ekonomis dan dapat dipercaya serta sering digunakanpada tindakan anestesi sehari-
hari. Kelebihan utama tehnik ini adalah kemudahan dalam tindakan, peralatan yangminimal, efek
samping yang minimal pada biokimia darah, menjaga level optimal dari analisa gas darah, pasien
tetap sadar selama operasi dan menjaga jalan nafas,serta membutuhkan penanganan post operatif
dan analgesia yang minimal.
Adanya inovasi terhadap obat-obatan dan teknik menjadikan anestesi spinal dapat
menjadi pilihan pada prosedur-prosedur operasi rawat jalan dan pada operasi dengan indikasi
anestesi spinal.
BAB II
STATUS PASIEN
Identitas Pasien
Nama : Nn. S
Umur :19 tahun
Alamat : Sekarwangi, Sukabumi, Jawa Barat
Jenis kelamin : Perempuan
Agama : Islam
Pekerjaan : Mahasiswa
Suku bangsa : Sunda
Ruangan : Aisyah Bedah
Tanggal masuk rumah sakit : 02 September 2016
Tanggal operasi : 04 September 2016
Anamnesis
Keluhan utama:
Nyer perut kanan bawah sejak 2 minggu SMRS
Pemeriksaan Fisik
Keadaan umum : Tampak sakit ringan
Kesadaran : Composmentis
Tanda Vital :
TD= 120/80mmHg RR= 20x/menit
HR= 84x/menit T= 36C
Status Gizi
BB : 50 kg
TB : 165 cm
Kesimpulan : 18.3(Normoweight)
Status Generalis
Kepala :Normocephal, rambut lurus, tidak mudah dicabut dan tidak rontok, laserasi (-).
Mata :Refleks cahaya (+/+), pupil isokor, sklera ikterik (-/-), konjungtiva anemis (-/-),
edema palpebra (-/-)
Hidung :Normonasi, deviasi septum (-), sekret (-/-), darah (-/-), massa (-/-)
Telinga :Normotia, serumen (+/+), darah (-/-), Pembesaran KGB retro/post auricular (-/-)
Mulut :Bibir kering (-), lidah kotor (-), stomatitis (-), faring hiperemis (-), tonsi
membesar (-), gigi goyang (-), terdapat gigi ompong satu dibagian depan.
Mouth opening 3 jari, Mallampati II.
Leher : Pembesaran KGB (-), Kaku kuduk (-), TMD 9cm
Jantung
I : Ictus Cordis terlihat di linea mid clavicularis
P : Teraba Ictus Cordis di ICS ke 5 line mid clavicularis
P : Batas jantung kanan setiinggi ics 4 linea parasternal dekstra, Batas jantung kiri setinggi
ics 4 linea midclavikularis sinistra.
A : BJ 1 BJ II Irreguler, terdengar adanya ekstrasistol
Paru-Paru
I :Tidak ada dinding torax yang tertinggal
P : Vocal premitus sama di kedua lapang paru
P : Sonor di kedua lapang paru
A : Rhonki halus di basal paru sinistra dan dextra
Abdomen
I : Datar (-)
P : Nyeri tekan (+), Hepatospenomegali (-)
P : Timfani di seluruh lapang abdomen
A : Peristaltik (+)
Ektremitas Atas dan Bawah : Akral hangat ; CRT < 2dt
Punggung : Tidak terdapat kelainan tulang belakang.
Pemeriksaan Penunjang
Hasil laboratorium tanggal 03 September 2016
Pemeriksaan Hasil Nilai Normal
Hemoglobin 10.5 Gr% 13-16 Gr%
Lekosit 9.000 4000-11.000 mm
Trombosit 212.000 150.000-400.000 mm
Hematokrit 43% 40-45%
Ureum 30 10-50 mg/dL
Creatinin 0,6 0,6-1,1 mg/dL
SGOT 17 <25 U/L
SGPT 13 <29 U/L
Waktu Perdarahan 2 1-3 menit
Waktu Pembekuan 6 3-7 menit
GDS 78 <180 mg/Dl
Natrium 142 135-155 mmol/L
Kalium 4,7 3,6-5,5 mmol/L
Status Anestesi
PS. ASA : I
Hari/Tanggal : 04/02/2016
Ahli Anestesiologi : dr. Edwin. Sp.An
Ahli Bedah : dr. Gatot. Sp.B
Diagnosa Pra : - Appendisitis Akut
Bedah
Diagnosa Pasca : - Appendisitis Akut
Bedah
Makan terakhir : 8 jam yang lalu
IMT : Kesimpulan : 18.3 (normoweight)
TTV : TD :120/80 mmHg, N: 84x/m, SB: 36,7
SpO2 : 100 %
B1 : Airway bebas, thorax simetris, ikut gerak napas,RR:20
x/m, palpasi: Vocal Fremitus D=S, perkusi: sonor, suara
napas vesikuler+/+,
ronkhi-/-, wheezing -/-,malampati score: II
B2 : Perfusi: hangat, kering, merah. Capilari Refill Time< 2
detik, BJ: I-II murni regular, konjungtiva anemis -/-
B3 : Kesadaran Compos Mentis, GCS: 15(E4V5M6), riwayat
kejang (-), riwayat pingsan (-)
B4 : Terpasang DC, produksi urin durante op 50 cc, warna
kuning jernih.
B5 : Perut tampak cembung, palpasi: nyeri tekan (-), perkusi :
tympani,BU (+) normal
B6 : Akral hangat (+), edema (-), fraktur (-).
Preoperasi :
Persiapan Preoperasi
atropin
7. Menyiapkan tiang infuse dan plester
Darah
16.45 128/87 mmHg 82x/m 99%
17.00 110/74 mmHg 89 x/m 100%
17.15 122/77 mmHg 86 x/m 100%
17.30 108/72 mmHg 97 x/m 100%
Monitoring Cairan
= 90 cc/jam
= 8 x 90 cc/jam
= 720cc
= 2cc/kgbb/jam
= 100cc/jam
TOTAL : 910cc
Post-Operatif
Kesadaran : CM
Nadi : 84 x/menit
Pernapasan : 20 x/menit
Aldrette Score :
Follow Up Post-Operasi
Hari/Tanggal : 04-02-2016
Jam : 16.30 WIB
S : Pasien dapat beraktifitas di tempat tidur, merasakan nyeri pada perut kanan bawah
bekas tempat bekas operasi. Pasien juga sudah dapat makan dan minum. Demam (-).
O :
Keadaan Umum = Tampak sakit ringan,
Kesadaran = pupil bulat isokor, 3 mm.
Tekanan Darah = 120/80mmHg
Nadi = 78x/m ,
Respirasi = 20 x/m,
Suhu Badan = 36,8oC
B1 : Bebas, gerak leher bebas, simetris +/+, suara napas
vesikuler, ronkhi -/-, wheezing -/-, RR: 20 x/m.
B2 : Perfusi: hangat, kering, merah. Capilari Refill
Time < 2 detik, Nadi 78x/m, kuat angkat, regular.
BJ: I-II murni regular, murmur (-), galop (-).
B3 : pupil bulat isokor, 3 mm,riwayat pingsan (-),
riwayat kejang (-).
B4 : DC (+), BAK (+) spontan, warna kuning jernih.
B5 : Abdomen supel, cembung,nyeri tekan (-), timpani,
BU (+) normal
B6 : Fraktur (-), edema (-), motorik aktif
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
1. Blok sentral (blok neuroaksial), yaitu meliputi blok spinal, epidural, dan kaudal.
Tindakan ini sering dikerjakan.
2. Blok perifer (blok saraf), misalnya anestesi topikal, infiltrasi lokal, blok lapangan,
dan analgesia regional intravena.
Untuk mencapai cairan serebrospinal, maka jarum suntik akan menembus kutis
subkutis Lig. Supraspinosum Lig. Interspinosum Lig. Flavum ruang
epidural durameter ruang subarachnoid.
Anestesi Spinal
Medula spinalis berada didalam kanalis spinalis dikelilingi oleh cairan
serebrospinal, dibungkus oleh meningens (duramater, lemak dan pleksus venosus). Pada
dewasa berakhir setinggi L1, pada anak L2 dan pada bayi L3. Oleh karena itu,
anestesi/analgesi spinal dilakukan ruang sub arachnoid di daerah antara vertebra L2-L3
atau L3-L4 atau L4-L5
Kontraindikasi absolut:
Pasien menolak
Infeksi pada tempat suntikan
Hipovolemia berat, syok
Koagulapatia atau mendapat terapi koagulan
Tekanan intrakranial meningkat
Fasilitas resusitasi minim
Kurang pengalaman atau tanpa didampingi konsulen anestesi.
2. Perpotongan antara garis yang menghubungkan kedua garis krista iliaka, misal
L2-L3, L3-L4, L4-L5. Tusukan pada L1-L2 atau diatasnya berisiko trauma
terhadap medulla spinalis.
3. Sterilkan tempat tusukan dengan betadin atau alkohol.
4. Beri anastesi lokal pada tempat tusukan, misalnya dengan lidokain 1-2% 2-3 ml.
5. Cara tusukan median atau paramedian. Untuk jarum spinal besar 22G, 23G, 25G
dapat langsung digunakan. Sedangkan untuk yang kecil 27G atau 29G dianjurkan
menggunakan penuntun jarum yaitu jarum suntik biasa semprit 10cc. Tusukkan
introduser sedalam kira-kira 2cm agak sedikit kearah sefal, kemudian masukkan
jarum spinal berikut mandrinnya ke lubang jarum tersebut. Jika menggunakan
jarum tajam (Quincke-Babcock) irisan jarum (bevel) harus sejajar dengan serat
duramater, yaitu pada posisi tidur miring bevel mengarah keatas atau kebawah,
untuk menghindari kebocoran likuor yang dapat berakibat timbulnya nyeri kepala
pasca spinal. Setelah resensi menghilang, mandarin jarum spinal dicabut dan
keluar likuor, pasang semprit berisi obat dan obat dapat dimasukkan pelan-pelan
(0,5ml/detik) diselingi aspirasi sedikit, hanya untuk meyakinkan posisi jarum tetap
baik. Kalau anda yakin ujung jarum spinal pada posisi yang benar dan likuor tidak
keluar, putar arah jarum 90 biasanya likuor keluar. Untuk analgesia spinal
kontinyu dapat dimasukan kateter.
6. Posisi duduk
sering
dikerjakan
untuk bedah
perineal misalnya bedah hemoroid dengan anestetik hiperbarik. Jarak kulit-
ligamentum flavum dewasa 6cm.
Lidokain
Bupivakain
Bupivakain
Obat anestetik lokal yang sering digunakan adalah prokain, tetrakain, lidokain,
atau bupivakain. Berat jenis obat anestetik lokal mempengaruhi aliran obat dan
perluasan daerah teranestesi. Pada anestesi spinal jika berat jenis obat lebih besar dari
berat jenis CSS (hiperbarik), maka akan terjadi perpindahan obat ke dasar akibat
gravitasi. Jika lebih kecil (hipobarik), obat akan berpindah dari area penyuntikan ke
atas. Bila sama (isobarik), obat akan berada di tingkat yang sama di tempat
penyuntikan.
Bupivakain adalah obat anestetik lokal yang termasuk dalam golongan amino
amida. Bupivakain diindikasi pada penggunaan anestesi lokal termasuk anestesi
infiltrasi, blok serabut saraf, anestesi epidura dan anestesi intratekal. Bupivakain
kadang diberikan pada injeksi epidural sebelum melakukan operasi athroplasty
pinggul. Obat tersebut juga biasa digunakan untuk luka bekas operasi untuk
mengurangi rasa nyeri dengan efek obat mencapai 20 jam setelah operasi.
Bupivakain dapat diberikan bersamaan dengan obat lain untuk memperpanjang
durasi efek obat seperti misalnya epinefrin, glukosa, dan fentanil untuk analgesi
epidural. Kontraindikasi untuk pemberian bupivakain adalah anestesi regional IV
(IVRA) karena potensi risiko untuk kegagalan tourniket dan adanya absorpsi
sistemik dari obat tersebut.
Bupivakain bekerja dengan cara berikatan secara intaselular dengan natrium
dan memblok influk natrium kedalam inti sel sehingga mencegah terjadinya
depolarisasi. Dikarenakan serabut saraf yang menghantarkan rasa nyeri mempunyai
serabut yang lebih tipis dan tidak memiliki selubung mielin, maka bupivakain dapat
berdifusi dengan cepat ke dalam serabut saraf nyeri dibandingkan dengan serabut
saraf penghantar rasa proprioseptif yang mempunyai selubung mielin dan ukuran
serabut saraf lebih tebal.
2. Bradikardia5
Efek samping kardiovaskuler, terutama hipotensi dan bradikardi adalah
perubahan fisiologis yang paling penting dan sering pada anestesi spinal.
Pemahaman tentang mekanisme homeostasis yang bertujuan untuk mengontrol
tekanan darah dan denyut jantung penting untuk merawat perubahan
kardiovaskuler terkait dengan anestesi spinal.
Perubahan frekuensi denyut nadi merupakan salah satu tanda vital pada
anestesi spinal. Frekuensi denyut nadi yang tidak stabil dapat menyebabkan
bradikardi apabila terdapat penurunan frekuensi denyut nadi yang berlebihan.
Karena itu pemilihan obat anestesi spinal merupakan hal yang penting mengingat
adanya efek-efek yang ditimbulkan. Apabila terjadi penurunan tekanan darah dan
frekuesi denyut nadi yang berlebihan dapat digunakan efedrin yang berfungsi
berdasarkan reseptor adrenergik yang menghasilkan respon simpatis. Oleh karena
efedrin dapat menyebabkan vasokonstriksi perifer, sehingga pada penggunaan
klinis efedrin meningkatkan tekanan darah dan frekuensi denyut nadi.
3. Hipoventilasi
Akibat paralisis saraf frenikus atau hipoperfusi pusat kendali nafas
4. Trauma pembuluh saraf
5. Trauma saraf
6. Mual-muntah
7. Gangguan pendengaran
8. Blok spinal tinggi atau spinal total
Faktor yang mempengaruhi tinggi blok anestesi spinal:
Volume obat analgetik lokal makin besar makin tinggi daerah analgesia
Konsentrasi obat makin pekat makin tinggi batas daerah analgesia
Barbotase penyuntikan dan aspirasi berulang-ulang meninggikan batas daerah
analgetik
Kecepatan: penyuntikan yang cepat menghasilkan batas analgesia yang
tinggi. Kecepatan penyuntikan yang dianjurkan : 3 detik untuk 1 ml larutan.
Maneuver valsava : mengejan meninggikan tekanan liquor serebrospinal
dengan akibat batas analgesia bertambah tinggi.
Tempat pungsi : pengaruhnya besar pada L4-5 obat hiperbarik cenderung
berkumpul kekaudal (saddle block) pungsi L2-3 atau L3-4 obat cenderung
menyebar ke cranial.
Berat jenis larutan : hiper, iso atau hipo barik.
Tekanan abdominal yang meningkat : dengan dosis yang sama didapat batas
analgesia yang lebih tinggi.
Tinggi pasien : makin tinggi makin panjang kolumna vertebralis makin besar
dosis yang diperlukan (berat badan tidak berpengaruh terhadap dosis obat)
Waktu : setelah 15 menit dari saat penyuntikan, umumnya larutan analgetik
sudah menetap sehingga batas analgesia tidak dapat lagi diubah dengan posisi
pasien.
Makin tinggi spinal anestesia, semakin tinggi blokade vasomotor, motoris dan
hipotensi, serta respirasi yang tidak adekuat semakin mungkin terjadi.
APPENDICITIS
Definisi
Appendicitis adalah suatu peradangan pada appendix. Peradangan ini pada umumnya disebabkan
oleh infeksi yang akan menyumbat appendix.
Anatomi
Appendix adalah suatu pipa tertutup yang sempit yang melekat pada secum (bagian
awal dari colon). Bentuknya seperti cacing putih. Secara anatomi appendix sering disebut
juga dengan appendix vermiformis atau umbai cacing.
Appendix terletak di bagian kanan bawah dari abdomen. Tepatnya di ileosecum dan
merupakan pertemuan ketiga taenia coli. Muara appendix berada di sebelah postero-medial
secum.Dari topografi anatomi, letak pangkal appendix berada pada titik Mc.Burney, yaitu
titik pada garis antara umbilicus dan SIAS kanan yang berjarak 1/3 dari SIAS kanan.
Seperti halnya pada bagian usus yang lain, appendix juga mempunyai mesenterium.
Mesenterium ini berupa selapis membran yang melekatkan appendix pada struktur lain pada
abdomen. Kedudukan ini memungkinkan appendix dapat bergerak. Selanjutnya ukuran
appendix dapat lebih panjang daripada normal. Gabungan dari luasnya mesenterium dengan
appendix yang panjang menyebabkan appendix bergerak masuk ke pelvis (antara organ-
organ pelvis pada wanita). Hal ini juga dapat menyebabkan appendix bergerak ke belakang
colon yang disebut appendix retrocolic.
Fisiologi
Fungsi appendix pada manusia belum diketahui secara pasti. Diduga berhubungan
dengan sistem kekebalan tubuh. Lapisan dalam appendix menghasilkan lendir. Lendir ini
secara normal dialirkan ke appendix dan secum. Hambatan aliran lendir di muara appendix
berperan pada patogenesis appendicitis.
Dinding appendix terdiri dari jaringan lymphe yang merupakan bagian dari sistem
imun dalam pembuatan antibodi. Immunoglobulin sekretoar yang dihasilkan oleh GALT
(Gut Associated Lymphoid Tissue) yaitu Ig A. Immunoglobulin ini sangat efektif sebagai
pelindung terhadap infeksi.
Patofisiologi
Appendicitis pada umumnya disebabkan oleh obstruksi dan infeksi pada appendix.
Beberapa keadaan yang dapat berperan sebagai faktor pencetus antara lain sumbatan lumen
appendix oleh mukus yang terbentuk terus menerus atau akibat feses yang masuk ke
appendix yang berasal dari secum. Feses ini mengeras seperti batu dan disebut fecalith. (3)
Adanya obstruksi berakibat mukus yang diproduksi tidak dapat keluar dan tertimbun
di dalam lumen appendix. Obstruksi lumen appendix disebabkan oleh penyempitan lumen
akibat hiperplasia jaringan limfoid submukosa. Proses selanjutnya invasi kuman ke dinding
appendix sehingga terjadi proses infeksi. Tubuh melakukan perlawanan dengan
meningkatkan pertahanan tubuh terhadap kuman-kuman tersebut. Proses ini dinamakan
inflamasi. Jika proses infeksi dan inflamasi ini menyebar sampai dinding appendix,
appendix dapat ruptur. Dengan ruptur, infeksi kuman tersebut akan menyebar mengenai
abdomen, sehingga akan terjadi peritonitis. Pada wanita bila invasi kuman sampai ke organ
pelvis, maka tuba fallopi dan ovarium dapat ikut terinfeksi dan mengakibatkan obstruksi
pada salurannya sehingga dapat terjadi infertilitas. Bila terjadi invasi kuman, tubuh akan
membatasi proses tersebut dengan menutup appendix dengan omentum, usus halus atau
adnexsa, sehingga terbentuk massa peri-appendicular. Di dalamnya dapat terjadi nekrosis
jaringan berupa abses yang dapat mengalami perforasi. Appendix yang ruptur juga dapat
menyebabkan bakteri masuk ke aliran darah sehingga terjadi septicemia. (1,3,6,7)
Appendix yang pernah meradang tidak akan sembuh sempurna tetapi akan
membentuk jaringan parut yang menyebabkan perlengketan dengan jaringan sekitarnya.
Perlengketan ini menimbulkan keluhan berulang di perut kanan bawah. Pada suatu ketika
organ ini dapat meradang lagi dan disebut mengalami eksaserbasi akut.
Gejala Klinis
1. Nyeri abdominal.
Nyeri ini merupakan gejala klasik appendicitis. Mula-mula nyeri dirasakan samar-
samar dan tumpul yang merupakan nyeri viseral di daerah epigastrium atau sekitar
umbilicus. Setelah beberapa jam nyeri berpindah dan menetap di abdomen kanan
bawah (titik Mc. Burney). Nyeri akan bersifat tajam dan lebih jelas letaknya sehingga
berupa nyeri somatik setempat. Bila terjadi perangsangan peritoneum biasanya
penderita akan mengeluh nyeri di perut pada saat berjalan atau batuk.
5. Demam, terjadi bila sudah ada komplikasi, bila belum ada komplikasi biasanya tubuh
belum panas. Suhu biasanya berkisar 37,7-38,3 C.
Gejala appendicitis akut pada anak tidak spesifik. Gejala awalnya sering hanya rewel dan
tidak mau makan. Anak sering tidak bisa melukiskan rasa nyerinya. Karena gejala yang
tidak spesifik ini sering diagnosis appendicitis diketahui setelah terjadi perforasi.
Pemeriksaan Fisik
1. Inspeksi
Kadang sudah terlihat waktu penderita berjalan sambil bungkuk dan memegang perut.
Penderita tampak kesakitan. Pada inspeksi perut tidak ditemukan gambaran spesifik.
Kembung sering terlihat pada penderita dengan komplikasi perforasi. Penonjolan perut
kanan bawah bisa dilihat pada massa atau abses appendiculer
2. Palpasi
Dengan palpasi di daerah titik Mc. Burney didapatkan tanda-tanda peritonitis lokal yaitu:
- Nyeri lepas.
Pada appendix letak retroperitoneal, defans muscular mungkin tidak ada, yang ada nyeri
pinggang
3. Auskultasi
Peristaltik usus sering normal. Peristaltik dapat hilang karena ileus paralitik pada peritonitis
generalisata akibat appendicitis perforata.
Akan didapatkan nyeri kuadran kanan pada jam 9-12. Pada appendicitis pelvika akan
didapatkan nyeri terbatas sewaktu dilakukan colok dubur.
Tanda-Tanda Khusus
1. Psoas Sign
Dilakukan dengan rangsangan m.psoas dengan cara penderita dalam posisi terlentang,
tungkai kanan lurus ditahan pemeriksa, penderita disuruh hiperekstensi atau fleksi aktif.
Psoas sign (+) bila terasa nyeri di abdomen kanan bawah.
2. Rovsing Sign
Perut kiri bawah ditekan, akan terasa sakit pada perut kanan bawah
3. Obturator Sign
Dilakukan dengan menyuruh penderita tidur terlentang, lalu dilakukan gerakan fleksi dan
endorotasi sendi panggul. Obturator sign (+) bila terasa nyeri di perut kanan bawah.
BAB III
KESIMPULAN
Anestesi spinal dapat diberikan pada tindakan yang melibatkan tungkai bawah, panggul,
dan perineum. Anestesi ini juga digunakan pada keadaan khusus seperti bedah endoskopi
urologi, bedah rektum, perbaikan fraktur tulang panggul, bedah obstetri, dan bedah anak.
Anestesi spinal pada bayi dan anak kecil dilakukan setelah bayi ditidurkan dengan anestesi.
Kontraindikasi mutlak meliputi infeksi kulit pada tempat dilakukan pungsi lumbal,
bakteremia, hipovolemia berat (syok), koagulopati, dan peningkatan tekanan intrakranial.
Kontraindikasi relatif meliputi neuropati, nyeri punggung, penggunaan obat-obatan praoperasi
golongan AINS (antiinflamasi nonsteroid seperti aspirin, novalgin, parasetamol), heparin
subkutan dosis rendah, dan pasien yang tidak stabil.
DAFTAR PUSTAKA
dr. Muhardi Muhiman, dr. M. Roesli Thaib, dr. S. Sunatrio, dr. Ruswan Dahlan. 2004.
Anestesiologi. Jakarta: Bagian Anestesiologi dan terapi Intensif FKUI.
Morgan GE, Mikhail MS, Murray MJ. Breathing System. In: Clinical Anesthesiology. 4th ed.
McGraw-Hill. New York: Lange Medical Books, 2006
Roth PA, Howley JE. Anesthesia Delivery Systems. In: Basic of Anesthesia. 5th ed.
Philadelphia: Elsevier, 2007
Michael AE, Ramsay, MD. Anesthesia and Pain Management at Baylor University Medical
Center. New York: BUMC Proceedings, 2000
Sabiston and Lyerly, Text Book of Surgery The Biological Basis of Modern Surgical Practice,
15nd ed, 1.219- 1.232, W. B, Saunders Company.