Anda di halaman 1dari 31

LAPORAN KASUS

SPINAL ANESTESI PADA APPENDISITIS AKUT

Disusun Oleh :
Herwinati
2011730036

Pembimbing:
dr. Edwin Haposan Martua, Sp. An., M.Kes, AIFO

Kepaniteraan Klinik Stase Anestesi


Rumah Sakit Umum Daerah BLUD Sekarwangi
Program Studi Pendidikan Dokter
Fakultas Kedokteran dan Kesehatan
Universitas Muhammadiyah Jakarta
2016
BAB I
PEDAHULUAN

Anestesiologi ialah ilmu kedokteran yang pada awalnya berprofesi menghilangkan nyeri
dan rumatan pasien sebelum, selama, dan sesudah pembedahan. Definisi anestesiologi
berkembang terus sesuai dengan perkembangan ilmu kedokteran.
Anestesi regional adalah suatu cara untuk menghilangkan rasa sakit pada sebagianmatau
beberapa bagian tubuh yang tidak disertai dengan hilangnya kesadaran dan bersifat sementara.
Analgesia regional sering digunakan karena sederhana, murah, obatnya mudah disuntikkan,
alatnya sederhana dan perawatan pasca bedah tidak rumit.Tahun-tahun terakhir ini analgesia
regional berkembang dengan pesat di Indonesia. Dari sekian banyak teknik analgesia regional,
blok subarakhnoid (SAB) termasuk diantaranya. SAB atau lebih populer disebut anestesi spinal
adalah suatu tindakan atau usahamenghentikan transmisi impuls syaraf yang melintas medulla
spinalis anterior dandengan jalan menyuntikkan obat anestesi lokal ke dalam ruang subarachnoid
melalui interspace L2-3, L3-4, L4-5.
Sub-arachnoid block (SAB) atau anestesi spinal merupakan salah satutehnik anestesi
yang aman, ekonomis dan dapat dipercaya serta sering digunakanpada tindakan anestesi sehari-
hari. Kelebihan utama tehnik ini adalah kemudahan dalam tindakan, peralatan yangminimal, efek
samping yang minimal pada biokimia darah, menjaga level optimal dari analisa gas darah, pasien
tetap sadar selama operasi dan menjaga jalan nafas,serta membutuhkan penanganan post operatif
dan analgesia yang minimal.
Adanya inovasi terhadap obat-obatan dan teknik menjadikan anestesi spinal dapat
menjadi pilihan pada prosedur-prosedur operasi rawat jalan dan pada operasi dengan indikasi
anestesi spinal.
BAB II
STATUS PASIEN

Identitas Pasien
Nama : Nn. S
Umur :19 tahun
Alamat : Sekarwangi, Sukabumi, Jawa Barat
Jenis kelamin : Perempuan
Agama : Islam
Pekerjaan : Mahasiswa
Suku bangsa : Sunda
Ruangan : Aisyah Bedah
Tanggal masuk rumah sakit : 02 September 2016
Tanggal operasi : 04 September 2016

Anamnesis
Keluhan utama:
Nyer perut kanan bawah sejak 2 minggu SMRS

Riwayat penyakit sekarang:


Pasien mengeluh nyeri perut kanan bawah sejak 2 minggu yang lalu. Awalnya keluhan
dirasakan pada ulu hati, lama kelamaan nyeri lebih sering dirasakan pada perut kanan
bawah. Keluhan dirasakan hilang timbul. Tetapi memberat 2 hari terakhir ini, keluhan
hampir dirasakan tiap saat. Nyeri tidak menjalar sampai ke punggung. 3 hari SMRS pasien
mengeluhkan demam, mual, tapi tidak sampai muntah-muntah. BAK dan BAB tidak ada
keluhan.

Riwayat penyakit dahulu:


- Riwayat hipertensi : disangkal
- Riwayat diabetes melitus : disangkal
- Riwayat Penyakit kardiovaskular : disangkal
- Riwayat Penyakit Pernapasan : disangkal
(Asma, TBC)
- Riwayat Alergi Obat : disangkal
- Riwayat operasi sebelumnya : tidak ada

Pemeriksaan Fisik
Keadaan umum : Tampak sakit ringan
Kesadaran : Composmentis
Tanda Vital :
TD= 120/80mmHg RR= 20x/menit
HR= 84x/menit T= 36C

Status Gizi
BB : 50 kg
TB : 165 cm
Kesimpulan : 18.3(Normoweight)

Status Generalis
Kepala :Normocephal, rambut lurus, tidak mudah dicabut dan tidak rontok, laserasi (-).
Mata :Refleks cahaya (+/+), pupil isokor, sklera ikterik (-/-), konjungtiva anemis (-/-),
edema palpebra (-/-)
Hidung :Normonasi, deviasi septum (-), sekret (-/-), darah (-/-), massa (-/-)
Telinga :Normotia, serumen (+/+), darah (-/-), Pembesaran KGB retro/post auricular (-/-)
Mulut :Bibir kering (-), lidah kotor (-), stomatitis (-), faring hiperemis (-), tonsi
membesar (-), gigi goyang (-), terdapat gigi ompong satu dibagian depan.
Mouth opening 3 jari, Mallampati II.
Leher : Pembesaran KGB (-), Kaku kuduk (-), TMD 9cm

Jantung
I : Ictus Cordis terlihat di linea mid clavicularis
P : Teraba Ictus Cordis di ICS ke 5 line mid clavicularis

P : Batas jantung kanan setiinggi ics 4 linea parasternal dekstra, Batas jantung kiri setinggi
ics 4 linea midclavikularis sinistra.
A : BJ 1 BJ II Irreguler, terdengar adanya ekstrasistol
Paru-Paru
I :Tidak ada dinding torax yang tertinggal
P : Vocal premitus sama di kedua lapang paru
P : Sonor di kedua lapang paru
A : Rhonki halus di basal paru sinistra dan dextra
Abdomen
I : Datar (-)
P : Nyeri tekan (+), Hepatospenomegali (-)
P : Timfani di seluruh lapang abdomen
A : Peristaltik (+)
Ektremitas Atas dan Bawah : Akral hangat ; CRT < 2dt
Punggung : Tidak terdapat kelainan tulang belakang.

Pemeriksaan Penunjang
Hasil laboratorium tanggal 03 September 2016
Pemeriksaan Hasil Nilai Normal
Hemoglobin 10.5 Gr% 13-16 Gr%
Lekosit 9.000 4000-11.000 mm
Trombosit 212.000 150.000-400.000 mm
Hematokrit 43% 40-45%
Ureum 30 10-50 mg/dL
Creatinin 0,6 0,6-1,1 mg/dL
SGOT 17 <25 U/L
SGPT 13 <29 U/L
Waktu Perdarahan 2 1-3 menit
Waktu Pembekuan 6 3-7 menit
GDS 78 <180 mg/Dl
Natrium 142 135-155 mmol/L
Kalium 4,7 3,6-5,5 mmol/L
Status Anestesi
PS. ASA : I
Hari/Tanggal : 04/02/2016
Ahli Anestesiologi : dr. Edwin. Sp.An
Ahli Bedah : dr. Gatot. Sp.B
Diagnosa Pra : - Appendisitis Akut
Bedah
Diagnosa Pasca : - Appendisitis Akut
Bedah
Makan terakhir : 8 jam yang lalu
IMT : Kesimpulan : 18.3 (normoweight)
TTV : TD :120/80 mmHg, N: 84x/m, SB: 36,7
SpO2 : 100 %
B1 : Airway bebas, thorax simetris, ikut gerak napas,RR:20
x/m, palpasi: Vocal Fremitus D=S, perkusi: sonor, suara
napas vesikuler+/+,
ronkhi-/-, wheezing -/-,malampati score: II
B2 : Perfusi: hangat, kering, merah. Capilari Refill Time< 2
detik, BJ: I-II murni regular, konjungtiva anemis -/-
B3 : Kesadaran Compos Mentis, GCS: 15(E4V5M6), riwayat
kejang (-), riwayat pingsan (-)
B4 : Terpasang DC, produksi urin durante op 50 cc, warna
kuning jernih.
B5 : Perut tampak cembung, palpasi: nyeri tekan (-), perkusi :
tympani,BU (+) normal
B6 : Akral hangat (+), edema (-), fraktur (-).
Preoperasi :
Persiapan Preoperasi

- Surat persetujuan Operasi dan Anestesi


- Puasa 6 jam
- Premedikasi : Ondansentron 4mg
- Tindakan Anestesi, persiapan :
1. Menyiapkan meja operasi
2. Menyiapkan mesin dan alat anestesi
3. .Menyiapkan komponen Spinal Anestesi
4. Menyiapkan Komponen Anestesi Umum
5. Menyiapkan obat-obat anestesi yang diperlukan
6. Menyiapkan obat-obat resusitasi : adrenalisn,

atropin
7. Menyiapkan tiang infuse dan plester

Jenis Pembedahan : Appendiktomi


Lama Operasi : (16.45 17.30WIB)
Jenis Anestesi : Blok subaraknoid (blok spinal)
Anestesi Dengan : Buvivacain 0,5% 10mg
Teknik Anestesi : Pasien duduk di meja operasi dan kepala menunduk,
dilakukan aseptic di sekitar daerah tusukan yaitu di regio
vertebra lumbal 3-4, dilakukan blok subaraknoid (injeksi
Buvivacain 0,5% 10mg) dengan jarum spinal pada regio
vertebra antara lumbal 3-4, Cairan serebro spinal keluar (+)
jernih, dilakukan blok.
Pernafasan : Spontan
Posisi : Tidur terlentang
Infus : Tangan Kanan, IV line abocath 18 G, cairan RL
Penyulit : -
pembedahan Tanda-Tanda Vital Intraoperatif

Waktu Tekanan Nadi Saturasi

Darah
16.45 128/87 mmHg 82x/m 99%
17.00 110/74 mmHg 89 x/m 100%
17.15 122/77 mmHg 86 x/m 100%
17.30 108/72 mmHg 97 x/m 100%

Monitoring Cairan

Kebutuhan cairan : Maintenance (50kg)

= 90 cc/jam

Cairan pengganti puasa


= lama puasa x maintenance

= 8 x 90 cc/jam

= 720cc

Cairan stress operasi

= 2cc/kgbb/jam

= 100cc/jam

TOTAL : 910cc

Cairan yang diberikan :

Jam I : Maintenance + pengganti puasa + stress operasi

90 ml + 360 ml + 100 ml = 550 ml/jam

Jam II : Maintenance + pengganti puasa + stress operasi

90 ml + 180 ml + 100 ml = 370 ml/jam


Tanda vital pada : TD: 110/70 mmHg, N:84x/m, SB: 36,6C RR: 20 x/m
akhir pembedahan
Medikasi : Durante operasi:
- Buvivacain 0,5% (10 mg)
- Ranitidin 50 mg
- Ondansentrom 4 mg

Post-Operatif

Keadaan pasien pasca operatif

Keadaan Umum : Tampak sakit ringan

Kesadaran : CM

Tekanan Darah : 110/70 mmHg

Nadi : 84 x/menit

Pernapasan : 20 x/menit

Aldrette Score :

Jam ALDRETTE SCORE Score


13.35 A RR KS C SC 9
1 2 2 2 2

Terapi Pasca Bedah

- Observasi KU, TTV, Perdarahan Luka Operasi


- O2 3LPM via NC
- Posisi Supine, head up 30 derajat
- Tidak puasa, Boleh makan dan minum
- Tramadol 200 mg + Ketorolac 30 mg dalam RL 500 cc 20 tpm
- Th/ Lain-lain sesuai terapi T.S dr. Gatot, Sp.B

Follow Up Post-Operasi
Hari/Tanggal : 04-02-2016
Jam : 16.30 WIB

S : Pasien dapat beraktifitas di tempat tidur, merasakan nyeri pada perut kanan bawah
bekas tempat bekas operasi. Pasien juga sudah dapat makan dan minum. Demam (-).
O :
Keadaan Umum = Tampak sakit ringan,
Kesadaran = pupil bulat isokor, 3 mm.
Tekanan Darah = 120/80mmHg
Nadi = 78x/m ,
Respirasi = 20 x/m,
Suhu Badan = 36,8oC
B1 : Bebas, gerak leher bebas, simetris +/+, suara napas
vesikuler, ronkhi -/-, wheezing -/-, RR: 20 x/m.
B2 : Perfusi: hangat, kering, merah. Capilari Refill
Time < 2 detik, Nadi 78x/m, kuat angkat, regular.
BJ: I-II murni regular, murmur (-), galop (-).
B3 : pupil bulat isokor, 3 mm,riwayat pingsan (-),
riwayat kejang (-).
B4 : DC (+), BAK (+) spontan, warna kuning jernih.
B5 : Abdomen supel, cembung,nyeri tekan (-), timpani,
BU (+) normal
B6 : Fraktur (-), edema (-), motorik aktif

A : Appendisitis Akut Post Appendiktomi Hari I


P:
IVFD RL 1000 cc : D5 500 cc / 24 Jam
CefIksim 3 x 100mg (H.1)
Ketorolak 3 x 1 amp
GV/2 hari

BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

Anestesi Blok Subaraknoid (Anestesi Spinal)


1. Definisi
Anestesi spinal (subaraknoid) adalah anestesi regional dengan tindakan
penyuntikan obat anestetik lokal ke dalam ruang subaraknoid. Anestesi spinal atau blok
subaraknoid disebut juga sebagai analgesi atau blok spinal intradural atau blok
intratekal. Anestesi spinal dihasilkan bila kita menyuntikkan obat analgesik lokal ke
dalam ruang subaraknoid di daerah antara vertebra L2-L3 atau L3-L4 atau L4-L5.Jarum
spinal hanya dapat diinsersikan di bawah lumbal 2 dan di atas vertebra sakralis. Batas
atas ini dikarenakan adanya ujung medula spinalis dan batas bawah dikarenakan
penyatuan vertebra sakralis yang tidak memungkinkan dilakukan insersi.
Pembagian Anestesi/Analgesia Regional

1. Blok sentral (blok neuroaksial), yaitu meliputi blok spinal, epidural, dan kaudal.
Tindakan ini sering dikerjakan.

2. Blok perifer (blok saraf), misalnya anestesi topikal, infiltrasi lokal, blok lapangan,
dan analgesia regional intravena.

Keuntungan Anestesia Regional.v


1. Alat minim dan teknik relatif sederhana, sehingga biaya relatif lebih murah.
2. Relatif aman untuk pasien yang tidak puasa (operasi emergency, lambung penuh)
karena penderita sadar.
3. Tidak ada komplikasi jalan nafas dan respirasi.
4. Tidak ada polusi kamar operasi oleh gas anestesi.
5. Perawatan post operasi lebih ringan.
Kerugian Anestesia Regional
1. Tidak semua penderita mau dilakukan anestesi secara regional.
2. Membutuhkan kerjasama pasien yang kooperatif.
3. Sulit diterapkan pada anak-anak.
4. Tidak semua ahli bedah menyukai anestesi regional.
5. Terdapat kemungkinan kegagalan pada teknik anestesi regional.

2. Anatomi Tulang Belakang


Untuk mempelajari kelainan Tulang Belakang atau Tulang Punggung seperti
scoliosis terlebih dahulu kita harus mengenal anatominya.

Tulang punggung atau vertebra adalah tulang tak beraturan yang


membentuk punggung yang mudah digerakkan, terdapat 33 tulang punggung pada
manusia, 5 diantaranya bergabung membentuk bagian sacral, dan 4 tulang
membentuk tulang ekor (coccyx). Tiga bagian di atasnya terdiri dari 24 tulang yang
dibagi menjadi 7 tulang cervical (leher), 12 tulang thorax (thoraks atau dada) dan, 5
tulang lumbal. Banyaknya tulang belakang dapat saja terjadi ketidaknormalan. Bagian
terjarang terjadi ketidaknormalan adalah bagian punggung.
Struktur umum
Sebuah tulang punggung terdiri atas dua bagian yakni bagian anterior yang terdiri
dari badan dan tulang atau corpus vertebrae dan bagian posterior yang terdiri dari arcus
vertebrae. Arcus vertebrae dibentuk oleh dua kaki atau pediculus dan dua lamina,
serta didukung oleh penonjolan atau procesus yakni procesus articularis, procesus
transversus, dan procesus spinosus. Procesus tersebut membentuk lubang yang disebut
foramen vertebrale. Ketika tulang punggung disusun, foramen ini akan membentuk
saluran sebagai tempat sumsum tulang belakang atau medulla spinalis. Di antara dua
tulang punggung dapat ditemui celah yang disebut foramen intervertebrale.

Tulang punggung cervical


Secara umum memiliki bentuk tulang yang kecil dengan spina atau procesus
spinosus (bagian seperti sayap pada belakang tulang) yang pendek, kecuali tulang ke-2
dan 7 yang procesus spinosusnya pendek. Diberi nomor sesuai dengan urutannya dari
C1-C7 (C dari cervical), namun beberapa memiliki sebutan khusus seperti C1 atau atlas,
C2 atau aksis.
Tulang punggung thorax
Procesus spinosusnya akan berhubungan dengan tulang rusuk. Beberapa gerakan
memutar dapat terjadi. Bagian ini dikenal juga sebagai tulang punggung dorsal.
Bagian ini diberi nomor T1 hingga T12.
Tulang punggung lumbal
Bagian ini (L1-L5) merupakan bagian paling tegap konstruksinya dan
menanggung beban terberat dari yang lainnya. Bagian ini memungkinkan gerakan fleksi
dan ekstensi tubuh, dan beberapa gerakan rotasi dengan derajat yang kecil.
Tulang punggung sacral
Terdapat 5 tulang di bagian ini (S1-S5). Tulang-tulang bergabung dan tidak
memiliki celah atau diskus intervertebralis satu sama lainnya.
Tulang punggung coccygeal
Terdapat 3 hingga 5 tulang (Co1-Co5) yang saling bergabung dan tanpa celah.

PEMBAHASAN BLOK SENTRAL


Blok neuroaksial akan menyebabkan blok simpatis, analgesia sensoris dan blok
motoris (tergantung dari dosis, konsentrasi, dan volume obat anestesi lokal).
Anastesi Spinal

Anestesi spinal ialah pemberian obat anestetik lokal ke dalam ruang


subarachnoid. Anestesi spinal diperoleh dengan cara menyuntikkan anestetik lokal ke
dalam ruang subarachnoid. Anestesi spinal/subaraknoid disebut juga sebagai
analgesi/blok spinal intradural atau blok intratekal.

Untuk mencapai cairan serebrospinal, maka jarum suntik akan menembus kutis
subkutis Lig. Supraspinosum Lig. Interspinosum Lig. Flavum ruang
epidural durameter ruang subarachnoid.

Anestesi Spinal
Medula spinalis berada didalam kanalis spinalis dikelilingi oleh cairan
serebrospinal, dibungkus oleh meningens (duramater, lemak dan pleksus venosus). Pada
dewasa berakhir setinggi L1, pada anak L2 dan pada bayi L3. Oleh karena itu,
anestesi/analgesi spinal dilakukan ruang sub arachnoid di daerah antara vertebra L2-L3
atau L3-L4 atau L4-L5

3. Indikasi dan Kontraindikasi1:


Indikasi :
Bedah ekstremitas bawah
Bedah panggul
Tindakan sekitar rektum perineum
Bedah obstetrik-ginekologi
Bedah urologi
Bedah abdomen bawah
Pada bedah abdomen atas dan bawah pediatrik biasanya dikombinasikandengan
anesthesia umum ringan.

Kontraindikasi absolut:
Pasien menolak
Infeksi pada tempat suntikan
Hipovolemia berat, syok
Koagulapatia atau mendapat terapi koagulan
Tekanan intrakranial meningkat
Fasilitas resusitasi minim
Kurang pengalaman atau tanpa didampingi konsulen anestesi.

Kontra indikasi relatif1:


Infeksi sistemik (sepsis, bakteremi)
Infeksi sekitar tempat suntikan
Kelainan neurologis
Kelainan psikis
Bedah lama
Penyakit jantung
Hipovolemia ringan
Nyeri punggung kronis

4. Persiapan dan peralatan analgesia spinal :


Persiapan analgesia spinal:
Pada dasarnya persiapan untuk analgesia spinal seperti persiapan pada
anastesia umum. Daerah sekitar tempat tusukan diteliti apakah akan menimbulkan
kesulitan, misalnya ada kelainan anatomis tulang punggung atau pasien gemuk sekali
sehingga tak teraba tonjolan prosesus spinosus. Selain itu perlu diperhatikan hal-hal
di bawah ini:
1. Informed consent (izin dari pasien)
Tidak boleh memaksa pasien untuk menyetujui anestesia spinal.
2. Pemeriksaan fisik
Tidak dijumpai kelainan spesifik seperti kelainan tulang punggung.
3. Pemeriksaan laboratorium anjuran
Hemoglobin, trombosit, PT (prothrombine time) dan APTT (activated
partial thromboplastine time)

Peralatan analgesia spinal1:


1. Peralatan monitor
Tekanan darah, nadi, oksimetri denyut dan EKG.
2. Peralatan resusitasi/anestesi umum
3. Jarum spinal
Jarum spinal dengan ujung tajam (ujung bambu runcing, quinckebacock)
atau jarum spinal dengan ujung pensil (pencil point whitecare).
5. Teknik analgesia spinal1:
Posisi duduk atau posisi tidur lateral dekubitus dengan tusukan pada garis
tengah ialah posisi yang paling sering dikerjakan. Biasanya dikerjakan di atas meja
operasi tanpa dipindah lagi dan hanya diperlukan sedikit perubahan posisi pasien.
Perubahan posisi berlebihan dalam 30 menit pertama akan menyebabkan
menyebarnya obat.
1. Setelah dimonitor, tidurkan pasien misalkan dalam posisi lateral dekubitus. Beri
bantal kepala, selain enak untuk pasien juga supaya tulang belakang stabil. Buat
pasien membungkuk maximal agar processus spinosus mudah teraba. Posisi lain
adalah duduk.

2. Perpotongan antara garis yang menghubungkan kedua garis krista iliaka, misal
L2-L3, L3-L4, L4-L5. Tusukan pada L1-L2 atau diatasnya berisiko trauma
terhadap medulla spinalis.
3. Sterilkan tempat tusukan dengan betadin atau alkohol.
4. Beri anastesi lokal pada tempat tusukan, misalnya dengan lidokain 1-2% 2-3 ml.
5. Cara tusukan median atau paramedian. Untuk jarum spinal besar 22G, 23G, 25G
dapat langsung digunakan. Sedangkan untuk yang kecil 27G atau 29G dianjurkan
menggunakan penuntun jarum yaitu jarum suntik biasa semprit 10cc. Tusukkan
introduser sedalam kira-kira 2cm agak sedikit kearah sefal, kemudian masukkan
jarum spinal berikut mandrinnya ke lubang jarum tersebut. Jika menggunakan
jarum tajam (Quincke-Babcock) irisan jarum (bevel) harus sejajar dengan serat
duramater, yaitu pada posisi tidur miring bevel mengarah keatas atau kebawah,
untuk menghindari kebocoran likuor yang dapat berakibat timbulnya nyeri kepala
pasca spinal. Setelah resensi menghilang, mandarin jarum spinal dicabut dan
keluar likuor, pasang semprit berisi obat dan obat dapat dimasukkan pelan-pelan
(0,5ml/detik) diselingi aspirasi sedikit, hanya untuk meyakinkan posisi jarum tetap
baik. Kalau anda yakin ujung jarum spinal pada posisi yang benar dan likuor tidak
keluar, putar arah jarum 90 biasanya likuor keluar. Untuk analgesia spinal
kontinyu dapat dimasukan kateter.

6. Posisi duduk
sering
dikerjakan
untuk bedah
perineal misalnya bedah hemoroid dengan anestetik hiperbarik. Jarak kulit-
ligamentum flavum dewasa 6cm.

Penyebaran anastetik lokal tergantung:


1. Faktor utama:
a. Berat jenis anestetik lokal (barisitas)
b. Posisi pasien
c. Dosis dan volume anestetik local
2. Faktor tambahan
a. Ketinggian suntikan
b. Kecepatan suntikan/barbotase
c. Ukuran jarum
d. Keadaan fisik pasien
e. Tekanan intra abdominal

Lama kerja anestetik lokal tergantung:

a. Jenis anestetia lokal


b. Besarnya dosis
c. Ada tidaknya vasokonstriktor
d. Besarnya penyebaran anestetik lokal

6. Anestesi Lokal untuk Anastesi Spinal1:


Berat jenis cairan cerebrospinalis pada 37 derajat celcius adalah 1.003-1.008.
Anastetik lokal dengan berat jenis sama dengan CSS disebut isobaric. Anastetik lokal
dengan berat jenis lebih besar dari CSS disebut hiperbarik. Anastetik lokal dengan
berat jenis lebih kecil dari CSS disebut hipobarik.

Anestetik lokal yang paling sering digunakan:


- Lidokain (xylobain,lignokain) 2%: berat jenis 1.006, sifat isobarik, dosis 20-100
mg (2-5ml).
- Lidokain (xylobain,lignokaine) 5% dalam dextrose 7.5%: berat jenis 1.003, sifat
hiperbarik, dosis 20-50 mg (1-2 ml).
- Bupivakain (markaine) 0.5% dlm air: berat jenis 1.005, sifat isobarik, dosis 5-20
mg
- Bupivakain (markaine) 0.5% dlm dextrose 8.25%: berat jenis 1.027, sifat
hiperbarik, dosis 5-15 mg (1-3 ml)

Anestetik lokal Berat Jenis Sifat Dosis

Lidokain

2% plain 1.006 Isobarik 20-100mg


5% dalam 1.033 Hiperbarik 20-50mg
Dextrosa 7.5%

Bupivakain

0.5% dalam air 1.005 Isobarik 5-20mg

0.5% dalam 1.027 Hiperbarik 5-15mg


dextrosa 8.25%

Bupivakain
Obat anestetik lokal yang sering digunakan adalah prokain, tetrakain, lidokain,
atau bupivakain. Berat jenis obat anestetik lokal mempengaruhi aliran obat dan
perluasan daerah teranestesi. Pada anestesi spinal jika berat jenis obat lebih besar dari
berat jenis CSS (hiperbarik), maka akan terjadi perpindahan obat ke dasar akibat
gravitasi. Jika lebih kecil (hipobarik), obat akan berpindah dari area penyuntikan ke
atas. Bila sama (isobarik), obat akan berada di tingkat yang sama di tempat
penyuntikan.
Bupivakain adalah obat anestetik lokal yang termasuk dalam golongan amino
amida. Bupivakain diindikasi pada penggunaan anestesi lokal termasuk anestesi
infiltrasi, blok serabut saraf, anestesi epidura dan anestesi intratekal. Bupivakain
kadang diberikan pada injeksi epidural sebelum melakukan operasi athroplasty
pinggul. Obat tersebut juga biasa digunakan untuk luka bekas operasi untuk
mengurangi rasa nyeri dengan efek obat mencapai 20 jam setelah operasi.
Bupivakain dapat diberikan bersamaan dengan obat lain untuk memperpanjang
durasi efek obat seperti misalnya epinefrin, glukosa, dan fentanil untuk analgesi
epidural. Kontraindikasi untuk pemberian bupivakain adalah anestesi regional IV
(IVRA) karena potensi risiko untuk kegagalan tourniket dan adanya absorpsi
sistemik dari obat tersebut.
Bupivakain bekerja dengan cara berikatan secara intaselular dengan natrium
dan memblok influk natrium kedalam inti sel sehingga mencegah terjadinya
depolarisasi. Dikarenakan serabut saraf yang menghantarkan rasa nyeri mempunyai
serabut yang lebih tipis dan tidak memiliki selubung mielin, maka bupivakain dapat
berdifusi dengan cepat ke dalam serabut saraf nyeri dibandingkan dengan serabut
saraf penghantar rasa proprioseptif yang mempunyai selubung mielin dan ukuran
serabut saraf lebih tebal.

7. Komplikasi Anastesi Spinal :


Komplikasi anastesi spinal dibagi menjadi komplikasi tindakan dan
komplikasi pasca tindakan.
Komplikasi tindakan :
1. Hipotensi berat4
Efek samping penggunaan anestesi spinal salah satunya adalah terjadinya
hipotensi. Kejadian hipotensi pada tindakan anestesi spinal merupakan
manifestasi fisiologis yang biasa terjadi. Hal ini terjadi karena : (1) Penurunan
darah balik, penurunan secara fungsional volume sirkulasi efektif karena
venodilatasi, dan penumpukan darah. (2) Penurunan tahanan pembuluh darah
sistemik karena vasodilatasi dan (3) Penurunan curah jantung karena penurunan
kontraktilitas dan denyut jantung.
Mekanisme utama penyebab hipotensi setelah anestesi spinal adalah blok
simpatis yang menyebabkan dilatasi arteri dan vena. Dilatasi arteri menyebabkan
penurunan tahanan perifer total dan tekanan darah sistolik sampai 30%. Dilatasi
vena dapat menyebabkan hipotensi yang berat sebagai akibat penurunan aliran
balik vena dan curah jantung. Tetapi sebetulnya hal ini tidak boleh terjadi karena
ketika terjadi hipotensi, perfusi organ menjadi tidak adekuat sehingga
oksigenasinya tidak adekuat. Hal ini sangat berbahaya pada pasien dengan
kelainan pembuluh coroner (misalnya pada geriatri). Dikatakan hipotensi jika
terjadi penurunan tekanan darah sistolik, biasanya 90 atau 100 mmhg, atau
penurunan prosentase 20% atau 30% dari biasanya. Dan lamanya perubahan
bervariasi dari 3 sampai 10 menit.Oleh karena itu kejadian hipotensi harus
dicegah.
Ada beberapa cara untuk mencegah atau mengatasi hipotensi akibat spinal
anestesi adalah dengan pemberian cairan prabeban yaitu Ringer Laktat (RL) dan
atau obat vasopressor salah satunya dengan pemberian efedrin. Efedrin
merupakan vasopresor pilihan yang digunakan pada anestesi obstetric sebagai
obat yang diberikan untuk mencegah hipotensi akibat anestesi spinal. Efedrin
adalah obat sintetik non katekolamin yang mempunyai aksi langsung yang
menstimuli reseptor 1, 2, 1 adrenergik dan aksi tak langsung dengan
melepaskan nor-epinefrin endogen.
Efedrin akan menyebabkan peningkatan cardiac output, denyut jantung
dan tekanan darah sistolik maupun diastolik. Menurunkan aliran darah splanikus
dan ginjal tetapi meningkatkan aliran darah ke otak dan otot. Pemberian efedrin
dapat secara subkutan, intra muskuler, bolus intravena, dan infus kontinyu dan
pada praktek sehari-hari, efedrin diberikan secara bolus IV 5-10mg bila terjadi
hipotensi akibat anestesi spinal.

2. Bradikardia5
Efek samping kardiovaskuler, terutama hipotensi dan bradikardi adalah
perubahan fisiologis yang paling penting dan sering pada anestesi spinal.
Pemahaman tentang mekanisme homeostasis yang bertujuan untuk mengontrol
tekanan darah dan denyut jantung penting untuk merawat perubahan
kardiovaskuler terkait dengan anestesi spinal.
Perubahan frekuensi denyut nadi merupakan salah satu tanda vital pada
anestesi spinal. Frekuensi denyut nadi yang tidak stabil dapat menyebabkan
bradikardi apabila terdapat penurunan frekuensi denyut nadi yang berlebihan.
Karena itu pemilihan obat anestesi spinal merupakan hal yang penting mengingat
adanya efek-efek yang ditimbulkan. Apabila terjadi penurunan tekanan darah dan
frekuesi denyut nadi yang berlebihan dapat digunakan efedrin yang berfungsi
berdasarkan reseptor adrenergik yang menghasilkan respon simpatis. Oleh karena
efedrin dapat menyebabkan vasokonstriksi perifer, sehingga pada penggunaan
klinis efedrin meningkatkan tekanan darah dan frekuensi denyut nadi.
3. Hipoventilasi
Akibat paralisis saraf frenikus atau hipoperfusi pusat kendali nafas
4. Trauma pembuluh saraf
5. Trauma saraf
6. Mual-muntah
7. Gangguan pendengaran
8. Blok spinal tinggi atau spinal total
Faktor yang mempengaruhi tinggi blok anestesi spinal:
Volume obat analgetik lokal makin besar makin tinggi daerah analgesia
Konsentrasi obat makin pekat makin tinggi batas daerah analgesia
Barbotase penyuntikan dan aspirasi berulang-ulang meninggikan batas daerah
analgetik
Kecepatan: penyuntikan yang cepat menghasilkan batas analgesia yang
tinggi. Kecepatan penyuntikan yang dianjurkan : 3 detik untuk 1 ml larutan.
Maneuver valsava : mengejan meninggikan tekanan liquor serebrospinal
dengan akibat batas analgesia bertambah tinggi.
Tempat pungsi : pengaruhnya besar pada L4-5 obat hiperbarik cenderung
berkumpul kekaudal (saddle block) pungsi L2-3 atau L3-4 obat cenderung
menyebar ke cranial.
Berat jenis larutan : hiper, iso atau hipo barik.
Tekanan abdominal yang meningkat : dengan dosis yang sama didapat batas
analgesia yang lebih tinggi.
Tinggi pasien : makin tinggi makin panjang kolumna vertebralis makin besar
dosis yang diperlukan (berat badan tidak berpengaruh terhadap dosis obat)
Waktu : setelah 15 menit dari saat penyuntikan, umumnya larutan analgetik
sudah menetap sehingga batas analgesia tidak dapat lagi diubah dengan posisi
pasien.
Makin tinggi spinal anestesia, semakin tinggi blokade vasomotor, motoris dan
hipotensi, serta respirasi yang tidak adekuat semakin mungkin terjadi.

Komplikasi pasca tindakan:


1. Nyeri tempat suntikan
2. Nyeri punggung
3. Nyeri kepala karena kebocoran likuor
Sakit kepala pascaspinal anestesi mungkin disebabkan karena adanya
kebocoran likuor serebrospinal. Makin besar jarum spinal yang dipakai, semakin
besar kebocoran yang terjadi, dan semakin tinggi kemungkinan terjadinya sakit
kepala pascaspinal anestesi. Bila duramater terbuka bisa terjadi kebocoran cairan
serebrospina l sampai 1-2 minggu. Kehilangan CSS sebanyak 20 ml dapat
menimbulkan terjadinya sakit kepala. Post spinal headache (PSH) ini pada 90%
pasien terlihat dalam 3 hari postspinal, dan pada 80% kasus akan menghilang
dalam 4 hari. Supaya tidak terjadi postspinal headache dapat dilakukan
pencegahan dengan :
Memakai jarum spinal sekecil mungkin (misalnya no. 25,27,29).
Menusukkan jarum paralel pada serabut longitudinal duramater sehingga
jarum tidak merobek dura tetapi menyisihkan duramater.
Hidrasi adekuat, dapat diperoleh dengan minum 3lt/hari selama 3 hari, hal
ini akan menambah produksi CSF sebagai pengganti yang hilang.
Bila sudah terjadi sakit kepala dapat diterapi dengan :
Memakai abdominal binder
Epidural blood patch : suntikkan 10ml darah pasien itu sendiri di ruang
epidural tempat kebocoran.
Berikan hidrasi dengan minum sampai 4lt/hari.
Kejadian post spinal headache10-20% pada umur 20-40 tahun; >10% bila
dipakai jarum besar (no. 20 ke bawah); 9% bila dipakai jarum no.22 ke atas.
Wanita lebih banyak yang mengalami sakit kepala daripada laki-laki.
4. Retensio urine
5. Meningitis.
8. Persiapan dan Penilaian Pra Anastesia
Persiapan Tindakan Anestesi
Dokter anestesi memberi salam kepada pasien dan memperkenalkan dirinya.
Memeriksa identitas pasien, bila perlu: tanggal lahir, jenis dan lokasi operasi
(misalnya, lutut kanan).
Bertanya mengenai kapan pasien makan terakhir kali
Memeriksa mulut dan keadaan gigi (dalam keadaan terbuka).
Memasang alat monitor standar: EKG, oksimetri nadi, pengukur
tekanantekanandarah arteri.
Tujuan utama kunjungan pra anesthesia ialah untuk mengurangi angka kesakitan
operasi, mengurangi biaya operasi dan meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan.
Kunjungan pre-anestesi dilakukan untuk mempersiapkan pasien sebelum pasien
menjalani suatu tindakan operasi. Pada saat kunjungan, dilakukan wawancara
(anamnesis) sepertinya menanyakan apakah pernah mendapat anestesi sebelumnya,
adakah penyakit-penyakit sistemik, saluran napas, dan alergi obat. Kemudian pada
pemeriksaan fisik, dilakukan pemeriksaan gigi-geligi, tindakan buka mulut, ukuran
lidah, leher kaku dan pendek. Perhatikan juga hasil pemeriksaan laboratorium atas
indikasi sesuai dengan penyakit yang sedang dicurigai, misalnya pemeriksaan darah
(Hb, leukosit, masa pendarahan, masa pembekuan), radiologi, EKG.
Dari hasil kunjungan ini dapat diketahui kondisi pasien dan dinyatakan dengan
status anestesi menurut The American Society Of Anesthesiologist (ASA).
Kelas I : Pasien sehat organic, fisiologik, psikiatrik, biokimia.
Kelas II : Pasien dengan penyakit sistemik ringan atau sedang.
Kelas III : Pasien dengan penyakit sistemik berat, sehingga aktivitas
rutin terbatas.
Kelas IV : Pasien dengan penyakit sistemik berat tak dapat
Melakukanaktivitas rutin dan penyakitnya merupakan ancamankehidupan
setiap saat.
Kelas V : Pasien sekarat yang diperkirakan dengan atau tanpa
pembedahan hidupnya tidak akan lebih dari 24 jam.
Klasifikasi ASA juga dipakai pada pembedahan darurat dengan mencantumkan tanda
darurat huruf E (E = EMERGENCY).

APPENDICITIS
Definisi

Appendicitis adalah suatu peradangan pada appendix. Peradangan ini pada umumnya disebabkan
oleh infeksi yang akan menyumbat appendix.

Anatomi

Appendix adalah suatu pipa tertutup yang sempit yang melekat pada secum (bagian
awal dari colon). Bentuknya seperti cacing putih. Secara anatomi appendix sering disebut
juga dengan appendix vermiformis atau umbai cacing.

Appendix terletak di bagian kanan bawah dari abdomen. Tepatnya di ileosecum dan
merupakan pertemuan ketiga taenia coli. Muara appendix berada di sebelah postero-medial
secum.Dari topografi anatomi, letak pangkal appendix berada pada titik Mc.Burney, yaitu
titik pada garis antara umbilicus dan SIAS kanan yang berjarak 1/3 dari SIAS kanan.

Seperti halnya pada bagian usus yang lain, appendix juga mempunyai mesenterium.
Mesenterium ini berupa selapis membran yang melekatkan appendix pada struktur lain pada
abdomen. Kedudukan ini memungkinkan appendix dapat bergerak. Selanjutnya ukuran
appendix dapat lebih panjang daripada normal. Gabungan dari luasnya mesenterium dengan
appendix yang panjang menyebabkan appendix bergerak masuk ke pelvis (antara organ-
organ pelvis pada wanita). Hal ini juga dapat menyebabkan appendix bergerak ke belakang
colon yang disebut appendix retrocolic.

Appendix dipersarafi oleh saraf parasimpatis dan simpatis. Persarafan parasimpatis


berasal dari cabang n. vagus yang mengikuti a. mesenterica superior dan a. appendicularis.
Sedangkan persarafan simpatis berasal dari n. thoracalis X. Karena itu nyeri viseral pada
appendicitis bermula disekitar umbilicus.Vaskularisasinya berasal dari a.appendicularis
cabang dari a.ileocolica, cabang dari a. mesenterica superior.

Fisiologi
Fungsi appendix pada manusia belum diketahui secara pasti. Diduga berhubungan
dengan sistem kekebalan tubuh. Lapisan dalam appendix menghasilkan lendir. Lendir ini
secara normal dialirkan ke appendix dan secum. Hambatan aliran lendir di muara appendix
berperan pada patogenesis appendicitis.

Dinding appendix terdiri dari jaringan lymphe yang merupakan bagian dari sistem
imun dalam pembuatan antibodi. Immunoglobulin sekretoar yang dihasilkan oleh GALT
(Gut Associated Lymphoid Tissue) yaitu Ig A. Immunoglobulin ini sangat efektif sebagai
pelindung terhadap infeksi.

Patofisiologi

Appendicitis pada umumnya disebabkan oleh obstruksi dan infeksi pada appendix.
Beberapa keadaan yang dapat berperan sebagai faktor pencetus antara lain sumbatan lumen
appendix oleh mukus yang terbentuk terus menerus atau akibat feses yang masuk ke
appendix yang berasal dari secum. Feses ini mengeras seperti batu dan disebut fecalith. (3)

Adanya obstruksi berakibat mukus yang diproduksi tidak dapat keluar dan tertimbun
di dalam lumen appendix. Obstruksi lumen appendix disebabkan oleh penyempitan lumen
akibat hiperplasia jaringan limfoid submukosa. Proses selanjutnya invasi kuman ke dinding
appendix sehingga terjadi proses infeksi. Tubuh melakukan perlawanan dengan
meningkatkan pertahanan tubuh terhadap kuman-kuman tersebut. Proses ini dinamakan
inflamasi. Jika proses infeksi dan inflamasi ini menyebar sampai dinding appendix,
appendix dapat ruptur. Dengan ruptur, infeksi kuman tersebut akan menyebar mengenai
abdomen, sehingga akan terjadi peritonitis. Pada wanita bila invasi kuman sampai ke organ
pelvis, maka tuba fallopi dan ovarium dapat ikut terinfeksi dan mengakibatkan obstruksi
pada salurannya sehingga dapat terjadi infertilitas. Bila terjadi invasi kuman, tubuh akan
membatasi proses tersebut dengan menutup appendix dengan omentum, usus halus atau
adnexsa, sehingga terbentuk massa peri-appendicular. Di dalamnya dapat terjadi nekrosis
jaringan berupa abses yang dapat mengalami perforasi. Appendix yang ruptur juga dapat
menyebabkan bakteri masuk ke aliran darah sehingga terjadi septicemia. (1,3,6,7)
Appendix yang pernah meradang tidak akan sembuh sempurna tetapi akan
membentuk jaringan parut yang menyebabkan perlengketan dengan jaringan sekitarnya.
Perlengketan ini menimbulkan keluhan berulang di perut kanan bawah. Pada suatu ketika
organ ini dapat meradang lagi dan disebut mengalami eksaserbasi akut.

Gejala Klinis

Gambaran klinis yang sering dikeluhkan oleh penderita, antara lain :

1. Nyeri abdominal.

Nyeri ini merupakan gejala klasik appendicitis. Mula-mula nyeri dirasakan samar-
samar dan tumpul yang merupakan nyeri viseral di daerah epigastrium atau sekitar
umbilicus. Setelah beberapa jam nyeri berpindah dan menetap di abdomen kanan
bawah (titik Mc. Burney). Nyeri akan bersifat tajam dan lebih jelas letaknya sehingga
berupa nyeri somatik setempat. Bila terjadi perangsangan peritoneum biasanya
penderita akan mengeluh nyeri di perut pada saat berjalan atau batuk.

2. Mual-muntah biasanya pada fase awal.

3. Nafsu makan menurun.

4. Obstipasi dan diare pada anak-anak.

5. Demam, terjadi bila sudah ada komplikasi, bila belum ada komplikasi biasanya tubuh
belum panas. Suhu biasanya berkisar 37,7-38,3 C.

Gejala appendicitis akut pada anak tidak spesifik. Gejala awalnya sering hanya rewel dan
tidak mau makan. Anak sering tidak bisa melukiskan rasa nyerinya. Karena gejala yang
tidak spesifik ini sering diagnosis appendicitis diketahui setelah terjadi perforasi.

Pemeriksaan Fisik

1. Inspeksi
Kadang sudah terlihat waktu penderita berjalan sambil bungkuk dan memegang perut.
Penderita tampak kesakitan. Pada inspeksi perut tidak ditemukan gambaran spesifik.
Kembung sering terlihat pada penderita dengan komplikasi perforasi. Penonjolan perut
kanan bawah bisa dilihat pada massa atau abses appendiculer

2. Palpasi

Dengan palpasi di daerah titik Mc. Burney didapatkan tanda-tanda peritonitis lokal yaitu:

- Nyeri tekan di Mc. Burney.

- Nyeri lepas.

- Defans muscular lokal. Defans muscular menunjukkan adanya rangsangan peritoneum


parietal

Pada appendix letak retroperitoneal, defans muscular mungkin tidak ada, yang ada nyeri
pinggang

3. Auskultasi

Peristaltik usus sering normal. Peristaltik dapat hilang karena ileus paralitik pada peritonitis
generalisata akibat appendicitis perforata.

Pemeriksaan Colok Dubur

Akan didapatkan nyeri kuadran kanan pada jam 9-12. Pada appendicitis pelvika akan
didapatkan nyeri terbatas sewaktu dilakukan colok dubur.

Tanda-Tanda Khusus

1. Psoas Sign
Dilakukan dengan rangsangan m.psoas dengan cara penderita dalam posisi terlentang,
tungkai kanan lurus ditahan pemeriksa, penderita disuruh hiperekstensi atau fleksi aktif.
Psoas sign (+) bila terasa nyeri di abdomen kanan bawah.

2. Rovsing Sign

Perut kiri bawah ditekan, akan terasa sakit pada perut kanan bawah

3. Obturator Sign

Dilakukan dengan menyuruh penderita tidur terlentang, lalu dilakukan gerakan fleksi dan
endorotasi sendi panggul. Obturator sign (+) bila terasa nyeri di perut kanan bawah.

BAB III
KESIMPULAN

Anestesi spinal dapat diberikan pada tindakan yang melibatkan tungkai bawah, panggul,
dan perineum. Anestesi ini juga digunakan pada keadaan khusus seperti bedah endoskopi
urologi, bedah rektum, perbaikan fraktur tulang panggul, bedah obstetri, dan bedah anak.
Anestesi spinal pada bayi dan anak kecil dilakukan setelah bayi ditidurkan dengan anestesi.

Kontraindikasi mutlak meliputi infeksi kulit pada tempat dilakukan pungsi lumbal,
bakteremia, hipovolemia berat (syok), koagulopati, dan peningkatan tekanan intrakranial.
Kontraindikasi relatif meliputi neuropati, nyeri punggung, penggunaan obat-obatan praoperasi
golongan AINS (antiinflamasi nonsteroid seperti aspirin, novalgin, parasetamol), heparin
subkutan dosis rendah, dan pasien yang tidak stabil.
DAFTAR PUSTAKA

dr. Muhardi Muhiman, dr. M. Roesli Thaib, dr. S. Sunatrio, dr. Ruswan Dahlan. 2004.
Anestesiologi. Jakarta: Bagian Anestesiologi dan terapi Intensif FKUI.

Morgan GE, Mikhail MS, Murray MJ. Breathing System. In: Clinical Anesthesiology. 4th ed.
McGraw-Hill. New York: Lange Medical Books, 2006
Roth PA, Howley JE. Anesthesia Delivery Systems. In: Basic of Anesthesia. 5th ed.
Philadelphia: Elsevier, 2007
Michael AE, Ramsay, MD. Anesthesia and Pain Management at Baylor University Medical
Center. New York: BUMC Proceedings, 2000
Sabiston and Lyerly, Text Book of Surgery The Biological Basis of Modern Surgical Practice,
15nd ed, 1.219- 1.232, W. B, Saunders Company.

Anda mungkin juga menyukai