Anda di halaman 1dari 12

LAPORAN PENDAHULUAN

PROGRAM PROFESI KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH


DI RUANG PERAWATAN UMUM RSPAD GATOT SOEBROTO
JAKARTA PUSAT

Disusun Oleh:
MUSTAFIQOTUN NIKMAH
41151095000032

PROGRAM PROFESI NERS


PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA TA 2015 /2016
I. Kasus (Masalah Utama)

Diabetes Melitus (DM) Tipe II

II. Definisi

Menurut American Diabetes Association (ADA) 2010, Diabetes Melitus (DM)


merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia
yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau kedua-duanya
(PERKENI, 2011). Diabetes diklasifikasikan ke dalam 2 tipe utam: Tipe I, atau
disebut diabetes melitus bergantung insulin (insulin-dependent diabetes melitus,
IDDM) dan Tipe II, diabetes melitus tidak bergantung insulin (non-insulin dependent
diabetes melitus, NIDDM) (Marrelli, 2008).

Diabetes Mellitus (DM) Tipe II merupakan penyakit hiperglikemi akibat


insensivitas sel terhadap insulin. Kadar insulin mungkin sedikit menurun atau berada
dalam rentang normal. Karena insulin tetap di hasilkan oleh sel-sel beta pankreas,
maka diabetes mellitus tipe II dianggap sebagai non insulin Dependent Diabetes
Melitus (NIDDM) (Corwin, 2009).

Diabetes melitus tipe II adalah bentuk yang lebih sering dijumpai, meliputi
sekitar 90% pasien yang menyandang diabetes. Pasien diabetes khasnya menderita
obesitas, dewasa dengan usia lebih tua dengan gejala ringan sehingga penegakan
diagnosis bisa saja baru dilakukan pada stadium penyakit yang sudah lanjut,
seringkali setelah ditemukannya komplikasi seperti retinopati atau penyakit
kardiovaskuler. Insensivitas jaringan terhadap insulin (resistensi insulin) dan tidak
adekuatnya respons sel pakreas terhadap glukosa plasma yang khas, menyebabkan
produksi glukosa hati berlebihan dan penggunaannya terlalu rendah oleh jaringan
(Rahmalia, 2007).

III. Etiologi

DM tipe II disebabkan kegagalan relatif sel dan resisten insulin. Resisten


insulin adalah turunnya kemampuan insulin untuk merangsang pengambilan glukosa
oleh jaringan perifer dan untuk menghambat produksi glukosa oleh hati. Oleh karena
terjadinya resistensi insulin (reseptor insulin sudah tidak aktif karena dianggap
kadarnya masih tinggi dalam darah) akan mengakibatkan defisiensi relatif insulin. Hal

1|Page
tersebut dapat mengakibatkan berkurangnya sekresi insulin pada adanya glukosa
bersama bahan sekresi insulin lain sehingga sel beta pankreas akan mengalami
desensitisasi terhadap adanya glukosa (Smeltzer & Bare, 2008); ADA, 2011).

IV. Faktor Resiko

Beberapa faktor yang diketahui dapat mempengaruhi DM tipe II (Smeltzer &


Bare, 2008) antara lain:

a. Kelainan genetik

Diabetes dapat menurun menurut silsilah keluarga yang mengidap diabetes,


karena gen yang mengakibatkan tubuh tak dapat menghasilkan insulin dengan baik.

b. Usia

Umumnya penderita DM tipe II mengalami perubahan fisiologi yang secara


drastis, DM tipe II sering muncul setelah usia 30 tahun ke atas dan pada mereka
yang berat badannya berlebihan sehingga tubuhnya tidak peka terhadap insulin.

c. Gaya hidup stress

Stres kronis cenderung membuat seseorang makan makanan yang manis-


manis untuk meningkatkan kadar lemak seretonin otak. Seretonin ini mempunyai
efek penenang sementara untuk meredakan stresnya. Tetapi gula dan lemak
berbahaya bagj mereka yang beresiko mengidap penyakit DM tipe II.

d. Pola makan yang salah

Pada penderita DM tipe II terjadi obesitas (gemuk berlebihan) yang dapat


mengakibatkan gangguan kerja insulin (resistensi insulin). Obesitas bukan karena
makanan yang manis atau kaya lemak, tetapi lebih disebabkan jumlah konsumsi
yang terlalu banyak, sehingga 9 cadangan gula darah yang disimpan didalam tubuh
sangat berlebihan. Sekitar 80% pasien DM tipe II adalah mereka yang tergolong
gemuk.

V. Manifestasi Klinis

Onset DM tipe II terjadi perlahan-lahan karena itu gejalanya asimtomatik.


Adanya resistensi yang terjadi perlahan-lahan akan mengakibatkan sensitivitas

2|Page
reseptor akan glukosa berkurang. DM tipe ini sering terdiagnosis setelah terjadi
komplikasi (Ndraha, 2014)

Seseorang yang menderita DM tipe II biasanya mengalami peningkatan


frekuensi buang air (poliuri), rasa lapar (polifagia), rasa haus (polidipsi), cepat lelah,
kehilangan tenaga, dan merasa tidak fit, kelelahan yang berkepanjangan dan tidak ada
penyebabnya, mudah sakit berkepanjangan, biasanya terjadi pada usia di atas 30
tahun, tetapi prevalensinya kini semakin tinggi pada golongan anak-anak dan remaja
(Smeltzer & Bare, 2008).

VI. Patofisiologi

(Terlampir)

VII. Diagnosis Dan Pemeriksaan Penunjang

Diagnosis DM ditegakkan atas dasar pemeriksaan kadar glukosa darah.


Diagnosis tidak dapat ditegakkan atas dasar adanya glukosuria. Guna penentuan
diagnosis DM, pemeriksaan glukosa darah yang dianjurkan adalah pemeriksaan
glukosa secara enzimatik dengan bahan darah plasma vena. Penggunaan bahan darah
utuh (whole blood), vena ataupun kapiler tetap dapat dipergunakan dengan
memperhatikan angka-angka kriteria diagnostik yang berbeda sesuai pembakuan oleh
WHO. Sedangkan untuk tujuan pemantauan hasil pengobatan dapat dilakukan dengan
menggunakan pemeriksaan glukosa darah kapiler.

Diagnosis diabetes melitus

Berbagai keluhan dapat ditemukan pada penyandang diabetes. Kecurigaan


adanya DM perlu dipikirkan apabila terdapat keluhan klasik DM seperti tersebut di
bawah ini.

Keluhan klasik DM berupa : poliuria, polidipsia, polifagia, dan penurunan berat


badan yang tidak dapat dijelaskan sebabnya.
Keluhan lain dapat berupa : lemah badan, kesemutan, gatal, mata kabur dan
disfungsi ereksi pada pria, serta pruritus vulvae pada wanita.

Diagnosis DM dapat ditegakkan melalui tiga cara. Pertama, jika keluhan


klasik ditemukan, maka pemeriksaan glukosa plasma sewaktu >200 mg/dL sudah

3|Page
cukup untuk menegakkan
diagnosis DM. Kedua, dengan
pemeriksaan glukosa plasma puasa
yang lebih mudah dilakukan,
mudah diterima oleh pasien serta
murah, sehingga pemeriksaan ini
dianjurkan untuk diagnosis DM.
Ketiga dengan TTGO. Meskipun
TTGO dengan beban 75 g glukosa
lebih sensitif dan spesifik
dibanding dengan pemeriksaan
glukosa plasma puasa, namun
memiliki keterbatasan tersendiri.
TTGO sulit untuk dilakukan
berulang-ulang dan dalam praktek
sangat jarang dilakukan.

Kriteria diagnosis DM untuk dewasa tidak hamil, dapat dilihat pada tabel-1.
Apabila hasil pemeriksaan tidak memenuhi kriteria normal atau DM, maka dapat
digolongkan ke dalam kelompok TGT atau GDPT tergantung dari hasil yang
diperoleh.

TGT : Diagnosis TGT ditegakkan bila setelah pemeriksaan TTGO didapatkan


glukosa plasma 2 jam setelah beban antara 140 199 mg/dL (7.8-11.0 mmol/L).
GDPT : Diagnosis GDPT ditegakkan bila setelah pemeriksaan glukosa plasma
puasa didapatkan antara 100 125 mg/dL (5.6 6.9 mmol/L).

Tabel-1. Kriteria Diagnosis DM

4|Page
Cara Pelaksanaan TTGO

3 (tiga) hari sebelum pemeriksaan tetap makan seperti kebiasaan sehari-hari


(dengan karbohidrat yang cukup) dan tetap melakukan kegiatan jasmani seperti
biasa
berpuasa paling sedikit 8 jam (mulai malam hari) sebelum pemeriksaan, minum air
putih tanpa gula tetap diperbolehkan
diperiksa kadar glukosa darah puasa
diberikan glukosa 75 gram (orang dewasa), atau 1,75 gram/kgBB (anak-anak),
dilarutkan dalam air 250 mL dan diminum dalam waktu 5 menit
berpuasa kembali sampai pengambilan sampel darah untuk pemeriksaan 2 jam
setelah minum larutan glukosa selesai
diperiksa kadar glukosa darah 2 (dua) jam sesudah beban glukosa
selama proses pemeriksaan subyek yang diperiksa tetap istirahat dan tidak
merokok

Pemeriksaan Penyaring

Pemeriksaan penyaring ditujukan pada mereka yang mempunyai risiko DM


namun tidak menunjukkan adanya gejala DM. Pemeriksaan penyaring bertujuan
untuk menemukan pasien dengan DM, TGT maupun GDPT, sehingga dapat ditangani
lebih dini secara tepat. Pasien dengan TGT dan GDPT juga disebut sebagai intoleransi
glukosa, merupakan tahapan sementara menuju DM. Kedua keadaan tersebut
merupakan faktor risiko untuk terjadinya DM dan penyakit kardiovaskular di
kemudian hari.

Pemeriksaan penyaring dikerjakan pada kelompok yang memiliki salah satu


faktor risiko DM. Pemeriksaan penyaring dapat dilakukan melalui pemeriksaan kadar
glukosa darah sewaktu atau kadar glukosa darah puasa. Apabila pada pemeriksaan
penyaring ditemukan hasil positif, maka perlu dilakukan konfirmasi dengan
pemeriksaan glukosa plasma puasa atau dengan tes toleransi glukosa oral (TTGO)
standar. Pemeriksaan penyaring untuk tujuan penjaringan masal (mass screening)
tidak dianjurkan mengingat biaya yang mahal, serta pada umumnya tidak diikuti
dengan rencana tindak lanjut bagi mereka yang diketemukan adanya kelainan.
Pemeriksaan penyaring juga dianjurkan dikerjakan pada saat pemeriksaan untuk

5|Page
penyakit lain atau general check-up. Kadar glukosa darah sewaktu dan glukosa darah
puasa sebagai patokan penyaring dapat dilihat pada tabel-2.

Tabel-2. Kadar glukosa darah sewaktu dan puasa sebagai patokan penyaring dan
diagnosis DM (ml/dl).

Catatan: Untuk kelompok risiko tinggi yang tidak menunjukkan kelainan hasil, dilakukan
ulangan tiap tahun. Bagi mereka yang berusia >45 tahun tanpa faktor risiko lain,
pemeriksaan penyaring dapat dilakukan setiap 3 tahun.

(PERKENI, 2011).

VIII. Penatalaksanaan

Resistensi insulin merupakan dasar dari diabetes tipe 2, dan kegagalan sel
mulai terjadi sebelum berkembangnya diabetes yaitu dengan terjadinya
ketidakseimbangan antara resistensi insulin dan sekresi insulin. De Fronzo
menyatakan bahwa fungsi sel menurun sebesar kira-kira 20% pada saat terjadi
intoleransi glukosa. Dengan demikian jelas bahwa pendekatan pengobatan diabetes
tipe 2 harus memperbaiki resistensi insulin dan memperbaiki fungsi sel . Hal yang
mendasar dalam pengelolaan Diabetes mellitus tipe 2 adalah perubahan pola hidup
yaitu pola makan yang baik dan olah raga teratur. Dengan atau tanpa terapi
farmakologik, pola makan yang seimbang dan olah raga teratur (bila tidak ada
kontraindikasi) tetap harus dijalankan (Bloomgarden, 2008; ADA, 2008).

Dalam Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan DM tipe 2 di Indonesia 2011,


penatalaksanaan dan pengelolaan DM dititik beratkan pada 4 pilar penatalaksanaan
DM, yaitu: edukasi, terapi gizi medis, latihan jasmani dan intervensi farmakologis
(Ndraha, 2014).

6|Page
Edukasi

Tujuan dari edukasi diabetes adalah mendukung usaha pasien penyandang


diabetes untuk mengerti perjalanan alami penyakitnya dan pengelolaannya, mengenali
masalah kesehatan/ komplikasi yang mungkin timbul secara dini/ saat masih
reversible, ketaatan perilaku pemantauan dan pengelolaan penyakit secara mandiri,
dan perubahan perilaku/kebiasaan kesehatan yang diperlukan.

Terapi gizi medis

Prinsip pengaturan makan pada penyandang diabetes yaitu makanan yang


seimbang, sesuai dengan kebutuhan kalori masing-masing individu, dengan
memperhatikan keteraturan jadwal makan, jenis dan jumlah makanan. Komposisi
makanan yang dianjurkan terdiri dari karbohidrat 45%-65%, lemak 20%-25%, protein
10%-20%, Natrium kurang dari 3g, dan diet cukup serat sekitar 25g/hari.

Latihan jasmani

Latihan jasmani secara teratur 3-4 kali seminggu, masing-masing selama


kurang lebih 30 menit. Latihan jasmani dianjurkan yang bersifat aerobik seperti
berjalan santai, jogging, bersepeda dan berenang. Latihan jasmani selain untuk
menjaga kebugaran juga dapat menurunkan berat badan dan meningkatkan sensitifitas
insulin.

Intervensi farmakologis

Terapi farmakologis diberikan bersama dengan peningkatan pengetahuan


pasien, pengaturan makan dan latihan jasmani. Terapi farmakologis terdiri dari obat
oral dan bentuk suntikan. Obat yang saat ini ada antara lain:

Obat Hipoglikemik Oral (OHO)


Pemicu sekresi insulin: Sulfonilurea & Glinid
Peningkat sensitivitas insulin: Biguanid & Tiazolidindion
Penghambat glukoneogenesis: Biguanid (Metformin)
Penghambat glukosidase alfa: Acarbose
Obat Suntikan
Insulin
Agonis GLP-1 / incretin mimetik

7|Page
IX. Kriteria Pengendalian DM

Untuk mencegah
komplikasi kronik, diper - lukan
pengendalian DM yang baik
yang merupakan sasaran terapi.
Diabetes dinya - takan
terkendali baik bila kadar
glukosa da - rah, A1c dan lipid
mencapai target sasaran.
Kriteria lengkap dari
keberhasilan pengen - dalian
DM ini dapat dilihat pada tabel-
3 (PERKENI, 2011).

X. Asuhan Keperawatan

Diagnosa keperawatan yang muncul diantaranya:

1. Diagnosa keperawatan: Kekurangan volume cairan b.d kehilangan cairan aktif


(misal: muntah)
Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi
NOC: NIC
Fluid balance Fluid Management
Hydration Monitor status hidrasi (kelembapan membran
Nutritional status: food and mukosa, nadi adekuat, tekanan darah ortostatik)
fluid intake Monitor vital sign, status nutrisi (intake makanan
Kriteria Hasil: & cairan)
Mempertahankan urin Pertahankan catatan intake & output yang akurat
output sesuai dengan usia Berikan pengganti nasogastrik sesuai output
dan BB, BJ urin normal, HT Berikan caira IV pada suhu ruangan
normal Kolaborasi pemberian tranfusi jika perlu
Tekanan darah, nadi, suhu Dorong masukan oral
tubuh dalam batas normal Hipovolemia Management
Tidak ada tanda-tanda Monitor status cairan (intake output)

8|Page
dehidrasi, elastisitas turgor Monitor Hb & hematokrit
kulit baik, membran Monitor vital sign, berat badan
mukosa lembab, tidak ada Pelihara IV line
rasa haus yang berlebihan. Pemberian cairan IV, monitor adanya tanda dan
gejala kelebihan volume cairan

2. Diagnosa keperawatan: Resiko infeksi (faktor risiko: penyakit kronis diabetes


melitus).
Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi
NOC: NIC
Immune status Infection control (kontrol infeksi)
Knowledge: infection Monitor tanda dan gejala infeksi sistemik dan
control lokal
Risk control Monitor hitung granulosit, WBC
Kriteria hasil: Monitor kerentanan terhadap infeksi
Klien bebas dari tanda dan Bersihkan lingkungan setelah dipakai pasien
gejala infeksi lain
Mendiskripsikan proses Instruksikan pada pengunjung untuk mencuci
penularan penyakit, factor tangan saat berkunjung dan setelah
yang mempengaruhi berkunjung meninggalkan pasien
penularan serta Cuci tangan setiap sebelum dan sesudah
penatalaksanaannya tindakan keperawatan
Menunjukkan kemampuan Ganti letak IV kateter/dressing sesuai dengan
untuk mencegah timbulnya petunjuk umum
infeksi Pertahankan lingkungan aseptik selama
Jumlah leukosit dalam batas pemasangan alat invasif
normal Tingkatkan intake nutrisi
Menunjukkan perilaku Berikan terapi antibiotik bila perlu
hidup sehat Ajarkan cara menghindari infeksi

9|Page
3. Diagnosa Keperawatan: Keletihan b.d fisiologis
Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi
NOC: NIC
Endurance Energy Management
Concentration Observasi adanya pembatasan klien dalam
Energy conservation melakukan aktivitas
Nutritional status: energy Kaji adanya faktor yang menyebabkan
Kriteria Hasil: kelelahan
Memverbalisasikan Monitor nutrisi dan sumber energi yang
peningkatan energi dan merasa adekuat
lebih baik Monitor pasien akan adanya kelelahan fisik
Menjelaskan penggunaan dan emosi secara berlebihan
energi untuk mengatasi Monitor respon kardiovaskuler terhadap
kelelahan aktivitas
Kecemasan menurun Monitor pola tidur dan lamanya tidur/istirahat
Glukosa darah adekuat pasien
Kualitas hidup meningkat Bantu aktivitas sehari-hari sesuai kebutuhan
Istirahat cukup Tingkatkan tirah baring dan pembatasan
Mempertahankan kemampuan aktivitas
untuk berkonsentrasi Kolaborasi dengan ahli gizi

(Nurarif, 2015).

10 | P a g e
DAFTAR PUSTAKA

America Diabetes Association. (2011). Diagnosis And Classification Of Diabetes


Mellitus. Diabetes Care 2011.

American Diabetes Association: Standards of medical care in diabetes 2008


(Position statement). Diabetes Care 2008; 31 (Suppl.1): S12-54.

Bloomgarden, Z. T. Approaches to Treatment of Type 2 Diabetes. Diabetes Care


2008; 31 1697-1703.

Corwin, Elizabeth J. (2009). Buku Saku Patofisiologi. Jakarta: EGC.

Marrelli, T. M. (2008). Buku saku dokumentasi keperawatan. Jakarta: EGC.

Ndraha, S. (2014). Diabetes Melitus Tipe 2 Dan Tatalaksana Terkini. Leading Article
MEDICINUS, Vol. 27, No. 2, 9-16.

Nurarif, Amin H. & Kusuma H. (2015). Aplikasi Asuhan Keperawwatan Berdasarkan


Diagnosa Medis & Nanda NIC-NOC. Jogjakarta: Mediaction.

Perkumpulan Endokrinologi Indonesia. (2011). Konsensus pengelolaan dan


pencegahan diabetes melitus tipe 2 di Indonesia 2011.

Rahmalia, A. (2007). Lectures Notes: Kedokteran Klinik. Jakarta: Erlangga.

Smeltzer & Bare . (2008). Textbook of Medical Surgical Nursing Vol.2. Philadelphia:
Linppincott William & Wilkins.

11 | P a g e

Anda mungkin juga menyukai