Anda di halaman 1dari 11

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana
belajar dan pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya
untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian,
akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa,
dan negara. Dari konsep ini jelaslah bahwa fokus dari aktivitas pendidikan adalah
subyek didik. Subyek didiklah yang menjadi pelaku utama dari pendidikan, karena
subyek didiklah yang mengalami proses mencari, menemukan, dan menjadi. Komponen-
komponen lain baik berupa kurikulum, guru, sarana-prasarana, dan media hanyalah
seperangkat kornponen yang bertugas membantu subyek didik untuk melakukan
pembelajaran. Namun demikian, dalam prakteknya tidak jarang praktek pendidikan justru
mengebiri potensi subyek didik. Hal ini tercermin dari rumusan sistem, kurikulum,
proses pembelajaran, materi dan sebagainya yang kurang menghargai potensi dan
kebutuhan subyek didik.
Terlebih pendidikan Islam yang berjalan pada lembaga pendidikan formal yakni
pada sekolah, madrasah, dan Perguruan Tinggi lebih berorientasi pada nonna atau ajaran
agama Islam daripada berorientasi pada kebutuhan subyek didik. Ajaran agama Islam
dipahami kemudian disistematisasi menjadi lima aspek yaitu al-Qur' an-Hadis, Akidah,
Akhlak, Fikih dan Sejarah Kebudayaan Islam untuk PAI di sekolah. Untuk rumpun mata
pelajaran agama Islam di madrasah, ajaran agama Islam disistematisasi menjadi empat
mata pelajaran yaitu al-Qur'an-Hadis, Akidah-Akhlaq, Fikih dan SKI.2 Pemaknaan
dan rumusan seperti di atas mengindikasikan secara jelas bahwa konsep pendidikan
Islam cenderung lebih dominan nuansa normatifnya, dan sedikit banyak mengabaikan
diskursif wilayah empiris kontekstual.
Akibat lebih lanjut dari kondisi tersebut yaitu banyak alumni dari lembaga
pendidikan Islam yang teralienasi dari kehidupan masyarakat. Hal ini disebabkan apa
yang dipelajari di lembaga pendidikan tidak sesuai dengan apa yang dibutuhkan
oleh masyarakat. Dengan kata lain, apa yang tidak dibutuhkan oleh subyek didik
dipelajari sebanyak-banyeknya, namun apa yang dibutuhkan olch subyek didik dalam
rangka untuk memecahkan berbagai problem kehidupan yang dihadapi justru tidak
dipelajari secara semestinya. Oleh karena itu sudah semestinya pendidikan Islam
melakukan perubahan paradigma. Pendidikan Islam tidak hanya bersifat normatif semata,
tetapi lebih memberikan ruang yang lebih luas terhadap persoalan-persoalan empiris.
Tulisan ini hendak mencari alternatif solusi mengenai rumusan bagaimanakah
semestinya konsep pendidikan Islam yang berorientasi pada kebutuhan subyek didik.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana konsep pendidikan?
2. Apakah hakikat subyek didik?
3. Apa keunikan pada subyek didik?
4. Bagaimana proses pendidikan yang berorientasi pada subyek didik?
5. Bagaimana pai berorientasi pada problem subyek didik?

C. Tujuan
1. Mengetahui konsep pendidikan.
2. Mengetahui hakikat subyek didik.
3. Mengetahui keunikan pada subyek didik.
4. Mengetahui proses pendidikan yang berorientasi pada subyek didik.
5. Mengetahui pai berorientasi pada problem subyek didik.

BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Konsep Pendidikan


Konsep berasal dari bahasa Inggris concept yang berarti ide yang mendasari sekelas
sesuatu objek dan gagasan atau ide umum. Kata tersebut juga berarti gambaran yang
bersifat umum atau abstrak dari sesuatu. Sedangkan pengertian pendidikan menurut
Mohammad Natsir adalah suatu pimpinan jasmani dan rohani menuju kesempurnaan
kelengkapan arti kemanusiaan dengan arti sesungguhnya. Sedangkan menurut hasil rumusan
Seminar Pendidikan Islam se-Indonesia tahun 1960, memberikan pengertian pendidikan
Islam sebagai: bimbingan terhadap pertumbuhan rohani dan jasmani menurut ajaran Islam
dengan hikmah mengarahkan, mengajarkan, melatih, mengasuh dan mengawasi berlakunya
semua ajaran Islam.(Muzayyin Arifin, 2003: 15)1

B. Hakikat Subyek Didik

Dalam bahasa Arab dikenal tiga istilah yang sering digunakan untuk
menunjukan pada subyek didik. Tiga istilah tersebut adalah, murid yang secara harfiah
berarti orang yang menginginkan atau membutuhkan sesuatu; tilmidz (jamaknya) talamidz
yang berarti murid, dan thalib al-ilm yang menuntut ilmu, pelajar, atau mahasiswa.
Ketiga istilah tersebut seluruhnya mengacu kepada seseorang yang tengah menempuh
pendidikan. Perbedaannya hanya pada penggunaannya.

Berdasarkan pengertian di atas, maka subyek didik dapat dicirikan sebagai orang
yang tengah memerlukan pengetahuan atau ilmu, bimbingan, dan pengarahan.
Dalam pandangan Islam, hakikat ilmu berasal dari Allah, sedangkan proses
memperolehnya dilakukan melalui belajar kepada guru. Selain memerlukan bantuan guru,
seorang anak didik yang sedang belajar juga memerlukan kawan tempat mereka
berbagi rasa dan belajar bersama.

Subyek didik dianggap sebagai pihak yang aktif bukan pasif yang hanya menanti
guru untuk memenuhi otaknya dengan berbagai informasi. Subyek didik adalah anak
yang dinamis yang secara alami ingin belajar, dan akan belajar apabila mereka tidak
putus asa dengan pelajarannya yang diterima dari orang berwenang atau dewasa yang
memaksakan kehendak dan tujuannya kepada mereka. Subyek didik secara fitrah
memiliki potensi aktif. Membicarakan pendidikan berarti membicarakan keterkaitan
aktivitasnya, dan pemberian bimbingan kepadanya.

1 http://forum.dudung.net/index.php?topic=5368.0 diakses pada tanggal 05 mei 2017 pukul 20:00


Sebagaimana pendidikan memiliki tugas untuk menyampaikan ajaran islam, subyek
didik berkewajiban untuk melakukan proses pembelajaran tiada henti, merenungkan,
mengamati, meneliti, menemukan, mencoba dan mengamalkan. Kewajiban subyek didik
untuk belajar tidak dibatasi oleh ruang dan waktu. Di mana saja, dengan siapa saja, dari
lahir hingga mati aktivitas belajar tetap dapat dilakukan.

C. Keunikan Subyek Didik

Subyek didik sebagai seorang manusia memiliki keunikan dan kekhasan tertentu.
Di dunia ini tidak ada dua orang yang sama persis meskipun keduanya adalah saudara
kembar. Tuhan memberikan keunikan tertentu kepada setiap subyek didik, baik
rnengenai bakat, sifat, karakter, kebiasaaan, hobby, kesenanangan dan sebagainya.
Keunikan semacarn ini perlu menjadi catatan tersendiri bagi pendidik. Seorang anak
adalah individu yang memiliki ciri-ciri dan bakat tertentu, yang membedakan satu anak dari
anak lainnya dalam lingkungan sosial. Lingkungan sosial di sini adalah lingkungan sosial
masyarakat dalam arti luas. Jenis kelarnin, raut muka, bentuk tubuh anak adalah faktor
pembawaan yang dibawa sejak lahir. Ciri-ciri ini dapat menjadi tolok ukur perbedan
anak didik sebagai individu. Pendekatan filosofis dalam memahami karakteristik anak
didik membedakan tiga perbedaan anak didik yang dihadapi. Tiga perbedaan itu yaitu
sebagai berikut:2

1. Perbedaan biologis
Perbedaan biologis berkaitan dengan keadaan jasmani anak didik karena
tidak semua anak didik memiliki jasmani yang normal. Jika pendidik kurang
memperhatikan perihal tersebut, pendidikan berjalan kurang sempurna.
2. Perbedaan intelektual
Menurut Syaiful Bahri Djamarah, intelegensi adalah satu aspek yang aktual
untuk dibicarakan dalam dunia pendidikan, karena intelegensi adalah unsur
yang ikut mempengaruhi keberhasilan belajar anak didik. Intelegensi adalah
kemampuan memahami dan beradaptasi dengan situasi yang baru dengan cepat
dan efektif, kemampuan untuk menggunakan konsep yang abstrak secara
efektif, dan kemampuan untuk memahami hubungan dan mempelajarinya dengan
cepat.
3. Perbedaan psikologis

2 Suyatno, Pendidikan Islam Berorientasi Pada Kebutuhan Subyek Didik, (Yogyakarta, UIN Sunan Kaljiaga,
2012), halaman 3
Keadaan psikologis anak didik dipengaruhi oleh lingkungan keluarga,
lingkungan sosial, dan oleh lingkungan sekolahnya. Para pendidik secara
langsung dapat mempengaruhi psikologis anak didik, misalnya pendidik yang
terkesan galak, mudah tersinggung, dan kurang kreatif, akan menyebabkan
anak didiknya kurang menyukai mata pelajaran yang disampaikan atau kurang
menyukai pendidiknya secara pribadi,"
D. Proses Pendidikan Yang Berorientasi Pada Subyek Didik
Proses belajar mengajar yang pragmatik akan tercipta suasana kondusif bagi
demokratisasi pendidikan, maka dalam proses pengajaran pragmatik, peran pendidik tidak
monopoli, artinya guru bukan satu-satunya sumber belajar dalam memberi informasi. Selama
ini kondisi dunia pendidikan di Indonesia dalam proses belajar mengajarnya lebih didominasi
oleh guru, sehingga peserta didik lebih bersifat pasif, artinya peserta didik hanya duduk
mendengarkan dan mencatat penjelasan yang disampaikan oleh guru dan apabila ada
pertanyaan dari peserta didik, kandungan pertanyaannya kurang problematik dan analistik.
Hal ini menunjukkan bahwa materi pelajaran yang disampaikan guru kurang problematik dan
analistik. Oleh karena itu, model belajar semacam ini sudah harus ditinggalkan dan dirubah
serta diorientasikan kepada CBSA (Cara Belajar Siswa Aktif). Apabila konsep ini
dilaksanakan, tentu akan menuntut akan fungsi guru, yaitu :3
1. Pendidik sebagai fasilitator, yaitu pendidik harus mampu memberikan kesempatan
kepada peserta didik untuk mencoba mencari dan menemukan sendiri mana
informasi yang diterimanya.
2. Pendidik sebagai dinamisator, yaitu pendidik harus berusaha dan mampu
menciptakan suasana belajar yang kondusif.
3. Pendidik sebagai mediator, yaitu pendidik harus mampu memberikan arahan dalam
belajar, supaya peserta didik bebas dan mampu belajar sendiri.
4. Pendidik sebagai motivator, yaitu pendidik harus selalu memberikan dorongan atau
motifasi agar peserta didik bersemangat untuk belajar.
5. Jadi dalam proses pendidikan, seorang pendidik harus mampu memposisikan
dirinya sebagai fasilitator, dinamisator, mediator dan motivator, sehingga dapat
memberdayakan peserta didik untuk mempu mencari dan menemukan sendiri
informasi yang diterimanya.
Proses belajar mengajar harus terbuka, penuh dialog, bertanggung jawab antara
pendidik dan peserta didik serta interaksi antara keduanya dalam bentuk egaliter dan
kesetaraan (equity). Dengan adanya kesetaraan, kebebasan berinisiatif, berbeda aspirasi,
perbedaan pendapat, dan keadilan, maka pendidikan akan terakomodasi dengan baik, sebab

3 Hujair AH. Sanaky, Paradigma Pendidikan Islam, 2003, (Yogyakarta:Satria Insania Press), halaman 242.
pendidikan merupakan sarana terpenting untuk mencapai kemerdekaan. Dalam konteks ini,
desain demokratisasi pendidikan harus terjadi ke segala arah, yaitu dari pendidik ke peserta
didik (Top Down), dari peserta didik ke pendidik (bottom Up), dan antara peserta didik
sendiri (network). Apabila peserta didik hanya bertahan pada posisi model komunikasi Top
Down, tentu pendidik akan merasa capek. Tidak hanya berimbas pada guru saja, peserta didik
pun sulit untuk mengerti, merasa bosan, pasif, mengantuk, dan lebih parah lagi pesrta didik
tidak mendapatkan informasi baru. Sebaliknya, apabila proses belajar mengajar didesain
dengan model komunikasi network dan student centered, maka sumber belajar bukan hanya
terletak pada pendidik saja. Peserta didik pun ikut berperan aktif dalam kegiatan belajar
mengajar sehingga akan terjadi proses belajar yang dialogis dan demokratis.
Selama ini sangat dirasakan bahwa proses pendidikan khususnya pendidikan islam
terkesan menganut asas Subject Matter Oriented. Asas ini membebani peserta didik dengan
informasi-informasi kognitif dan motorik yang kadang-kadang kurang relevan dengan
kebutuhan dan tingkat perkembangan psikologi peserta didik. Dalam upaya mendukung
pelaksanaan demokratisasi pendidikan, tibalah saatnya mengubah asas Subject Matter
Oriented ke Student Oriented. Proses pendidikan islam harus diorientasikan kepada
pendidikan yang bersifat student oriented. Proses ini lebih menekankan kepada
perkembangan potensi dan kebutuhan peserta didik secara utuh baik jasmani maupun rohani.
Kondisi yang dikemukakan diatas, tentu akan merubah budaya proses pendidikan
selama ini. Dalam suasana proses belajar mengajar yang demokratis tentu akan terjadi
kesetaraan dan kebersamaan antara pendidik dengan peserta didik. Dengan demikian, dalam
proses pendidikan perlu dikembangkan komunikasi struktural dan kultural antara pendidik
dengan peserta didik sehingga akan terjadi interaksi yang sehat dan bertanggungjawab.
Peserta didik boleh saja berpendapat dan mungkin saja berbeda pendapat dengan
pendidiknya, asalkan ada argumentasi yang dapat dipertanggungjawabkan. Jadi, peserta didik
bukan hanya memahami teori demokrasi tetapi juga dapat menjalani latihan-latihan seperti
berdebat dan menghargai pendapat orang lain. Ada dua unsur penting dalam proses belajar
mengajar yaitu :4
1. CBSA
Suatu cara belajar dimana peserta didik mengambil bagian dalam berbagai
kegiatan dengan keterlibatan mental yang optimal, sekaligus motivasi yang optimal
untuk melaksanakan kegiatan belajar tersebut, sehingga CBSA tidak hanya dilihat dari
keterlibatan fisik, melainkan lebih banyak dilihat dari keterlibatan proses mental. Jadi
CBSA tidak mengubah cara mengajar guru menjadi pasif, tetapi justru guru dituntut

4 Thoha. Chabib, Kapita Swlekta Pendidikan Islam, 1996, (Yogyakarta:Pustaka Pelajar), Halaman 54
untuk mengajar secara kreatif sehingga peserta didik menjadi lebih aktif dan kreatif.
Indikator adanya CBSA adalah sebagai berikut :5
a. Adanya prakarsa peserta didik dalam kegiatan belajar
b. Adanya keterlibatan peseta didik dalam kegiatan belajar
c. Peran guru lebih banyak sebagai fasilitator yang mampu membangkitkan
kreasi peserta didik
d. Belajar lebih banyak ditujukan untuk menghayati dan mengalami secara
langsung
e. Penggunaan variasi dalam bentuk alat dan sumber belajar
f. Adanya kualitas interaksi antara peseta didik antara interaksi intelektual
maupun sosio-emosional
2. Pengelolaan kelas
Banyak terjadi di sekolah yang sebenarnya memiliki potensi untuk maju dan
berkembang dengan baik, sebab sekolah tersebut memiliki peserta didik dengan
kualitas prima, sarana lengkap, pendidikannya cukup baik, tetapi interaksi belajar
mengajar menjadi semrawut akibat salah urus dalam mengelola kelas.
Selama ini praktek pendidikan kita masih berorientasi kepada muatan materi,
kalau terdapat perubahan baru bergeser ke arah pemusatan pada guru, belum sampai
orientasi kepada siswa (proses belajar). Sesungguhnya hakekat mengajar adalah
melatih dan membantu bagaimana siswa dalam melakukan kegiatan belajar.
E. Pendidikan Agama Islam Berorientasi pada Problem Subyek Didik

Pendidikan pada umumnya bisa terlaksana karena adanya berbagai unsur seperti subyek
didik, pendidik, kurikulum, pengelola, pembiayaan, dan sebagainya. Yang dimaksud subyek
didik di sini adalah murid, pelajar, santri, atau peserta didik. Disebut sebagai subyek didik
karena mereka yang mengalami secara langsung, yaitu proses berubah dan mengalami proses
yang menjadi.6

Pendidik yang biasa disebut dengan guru, pengajar, ustadz, atau dosen menjadi faktor
yang sangat penting berikutnya dalam pendidikan. Mereka yang mendampingi, membimbing,
mengarahkan, menasehati, dan menilai subyek didik. Demikian pula kurikulum, pengelola,
pembiayaan, ataupun sarana dan prasarana menjadi faktor penting dalam peningkatan
kualitas pendidikan.

Pendidikan Agama Islam pada lembaga pendidikan formal (sekolah, madrasah dan
perguruan tinggi) selama ini lebih berorientasi pada norma atau ajaran agama Islam daripada

5 Ibid, halaman 55
6 Mukhlasin, dkk. Makalah tentang Konsep Pendidikan Berorientasi Pada Problem Subyek Didik, (Yogyakarta,
UIN Sunan Kalijaga, 2012), halaman. 3
berorientasi pada problem yang ada pada subyek didik. Sedangkan menurut para pakar
pendidikan, Pendidikan Agama Islam seharusnya berorientasi pada subyek didik. Mereka
melakukan penelitian secara mendalam terhadap subyek didik. Dari hasil penelitian tersebut
kemudian dirancang model pendidikan yang berorientasi pada kebutuhan subyek didik,
maksudnya berangkat dari kondisi obyektif subyek didik. Kondisi obyektif subyek didik
difahami dan diteliti sampai ditemukan persoalan-persoalan laten yang ada pada mereka. Dari
persoalan-persoalan itu dicarikan solusinya dari ajaran Islam. Misalnya saja persoalan pada
subyek didik seperti kenakalan, perkelahian, pergaulan bebas, dan hilangnya pola pikir kritis
dan kreatif.

Menurut Fazlur Rahman, agama itu untuk menyelesaikan problem-problen yang


dihadapi umat manusia.7 Pendapat ini didasarkan pada logika bahwa apabila persoalan yang
dihadapi umat manusia dapat terselesaikan dengan baik maka kelangsungan hidup mereka
akan dapat terpelihara dengan baik.

Salah satu persoalan utama yang ada pada subyek didik adalah berkurangnya pola pikir
kritis dan krearif. Sudah relatif lama hal ini terjadi pada dunia pendidikan umat islam. Pola
pikir kritis dan kreatif juga sudah pudar sejak beberapa dasa warsa lalu pada pendidikan di
indonesia. Hal ini mungkin salah satu akibat dari sistem pendidikan orde baru yang
menekankan pada keseragaman, dengan kurang menghargai berbagai perbedaan. Sejalan
dengan munculnya era reformasi yang memberikan kebebasan, mulai muncul pula pola pikir
kritis dan kreatif.

Pola pikir kritis dan kreatif perlu dikembangkan pada subyek didik untuk menghasilkan
lulusan yang berkualitas. Subyek didik yang kritis dan kreatif mempunyai tiga cara utama,
yaitu: memiliki pola pemikiran asli atau orisinil (originality), mempunyai keluesan
(fleksibility), menunjukkan kelancaran proses berfikir (fluency). Dengan kata lain subyek
didik dapat diketahui dari:8

1. Sensitif tidaknya mereka dalam melihat suatu masalah


2. Orisinal tidaknya ide atau pemikiran yang dikemukakan
3. Lancar tidaknya mereka dalam mengemukakan ide
4. Fleksibel tidaknya dalam berfikir
5. Mampu tidaknya mereka dalam mengutarakan kembali pengetahuan yang dimiliki

7 Ibid, halaman 6.
8 Suharismi Arikunto, Managemen Pengajaran Secara Manusiawi, (Jakarta:Rineka Cipta, I993) halaman 78.
Kurikulum pendidikan dirancang sedemikian rupa sehingga memungkinkan subyek
didik memiliki pola pikir kritis dan kreatif. Pembelajaran yang dapat merangsang munculnya
pola pikir kritis dan kreatif perlu diperbanyak. Misalnya, subyek didik yang diberi
kesempatan untuk membuat karangan bebas. Melalui karangan bebas, mereka dapat
menuangkan gagasan secara leluasa. Bisa juga dengan metode diskusi. Metode ini dilakukan
secara terbuka, subyek didik bisa secara leluasa mengadakan diskusi, tanpa ada rasa takut dan
batasan untuk mengemukakan gagasan-gagasan mreka. Dapat juga dalam pendidikan agama
islam, perlu juga ditanamkan teori Need For Achievement (keinginan untuk berhasil) kepada
subyek didik. Menurut teori ini, semakin kuat kemauan subyek didik, akan semakin
memungkinkan untuk mencapai hasil yang diharapkan.9

F. Pebedaan antara Pendidikan Islam yang Berorientasi pada Kebutuhan Subyek


Didik dengan Norma Pendidikan Agama Islam.

No PAI berorientasi pada Norma PAI Berorientasi pada Problem


Pendidikan Agama Islam Subyek Didik
1 Berangkat dari penelitian literer Berangkat dari penelitian empiris
terhadap Al Quran, Al Hadits, dan (lapangan) terhadap kondisi obyektif
buku-buku Islam subyek didik
2 Dengan pendekatan deduktif Dengan pendekatan induktif
3 Bersifat normatif Bersifat empiris
4 Berorientasi pada ajaran-ajaran pokok Berorientasi pada hasil penelitian
agama Islam terhadap subyek didik
5 Ajaran agama Islam dipahamiKondisi obyektif subyek didik diteliti
kemudian disistematisasi menjadi oleh pendidik. Dari penelitian
aspek yaitu Al Quran, Al Hadits, tersebut dapat ditemukan problem-
Aqidah (keimanan), Akhlak,problem mereka. Dari problem-
Fikih(ibadah), dan Sejarah Kebudayaan problem itu kemudian dicarikan
Islam (SKI) solusinya pada ajaran agama Islam
6 Kurikulum berorientasi pada lima Kurikulum berorientasi pada problem
aspek ajaran agama tersebut diatas yang ada pada subyek didik
7 Kompetensi yang dituntut berkaitan Kompetensi yang dituntut berkaitan
dengan pancapaian norma agama Islam dengan pemecahan problem yang ada
pada subyek didik
8 Materi pendidikan : Al Quran, Al Materi pendidikan ditentukan atas
Hadits, Aqidah (keimanan), Akhlak, dasar problem yang ada pada subyek
Fikih (ibadah), dan Sejarah didik
Kebudayaan Islam (SKI)
9 Metode pendidikan bersifat bersifat Metode pendidikan bersifat problem-
mekanis: pelajaran diulang-diulang solving
sampai hafal
10 Subyek didik selalu terdiri dari satu Subyek didik bisa terdiri dari beda

9 Mukhlasin, dkk. Makalah tentang Konsep Pendidikan Berorientasi Pada Problem Subyek Didik, (Yogyakarta,
UIN Sunan Kalijaga, 2012), hal. 4
agama yang sama aliran/ agama asal memiliki kesamaan
persoalan
11 Guru agama Islam menjalankan Guru agama Islam berkolaborasi
tugasnya secara mandiri dengan guru lain
12 Penilaian hasil belajar dilakukan Penilaian dilakukan dengan tes tulis,
dengan tes/ ujian tulis dan praktek dan pengamatan terhadap perilaku
subyek didik

BAB III

PENUTUP

Konsep berasal dari bahasa Inggris concept yang berarti ide yang mendasari
sekelas sesuatu objek dan gagasan atau ide umum. Kata tersebut juga berarti gambaran
yang bersifat umum atau abstrak dari sesuatu. Sedangkan pengertian pendidikan menurut
Mohammad Natsir adalah suatu pimpinan jasmani dan ruhani menuju kesempurnaan
kelengkapan arti kemanusiaan dengan arti sesungguhnya.

Subyek didik dapat dicirikan sebagai orang yang tengah memerlukan pengetahuan
atau ilmu, bimbingan, dan pengarahan. Dalam pandangan Islam, hakikat ilmu berasal dari
Allah, sedangkan proses memperolehnya dilakukan melalui belajar kepada guru. Selain
memerlukan bantuan guru, seorang anak didik yang sedang belajar juga memerlukan
kawan tempat mereka berbagi rasa dan belajar bersama

Subyek didik sebagai seorang manusia memiliki keunikan dan kekhasan tertentu. Di
dunia ini tidak ada dua orang yang sama persis meskipun keduanya adalah saudara kembar.
Tuhan memberikan keunikan tertentu kepada setiap subyek didik, baik rnengenai
bakat, sifat, karakter, kebiasaaan, hobby, kesenanangan dan sebagainya. Keunikan
semacarn ini perlu rnenjadi catatan tersendiri bagi pendidik. Tiga perbedaan itu yaitu
sebagai berikut:
1. Perbedaan biologis

2. Perbedaan intelektual

3. Perbedaan psikologis

Dalam merancang pendidikan, para pakar pendidikan pada umumnya berorientasi


pada subyek didik. Akan tetapi secara realitas dalam merancang pendidikan formal (SD s/d
PTU atau MI s/d PTI) biasanya berorientasi pada norma ajaran islam. Dengan kata lain,
rancangan model pendidikan, khususnya PAI biasanya tidak didasarkan pada kebutuhan
subyek didik, akan tetapi didasarkan pada norma ajaran agama islam. Banyak kelemahan-
kelemahan yang diperoleh ketika dalam kegiatan belajar-mengajar peserta didik tidak diikut
aktifkan. Sebaliknya, peserta didik akan lebih berkembang apabila diikut aktifkan dalam
kegiatan belajar mengajar. Salah satu tawaran yang diberikan agar terdapat peningkatan
dalam proses belajar mengajar yaitu dengan cara Cara Belajar Siswa Aktif (CBSA).

DAFTAR PUSTAKA

AH. Sanaky, Hujair, Paradigma Pendidikan Islam, Yogyakarta:Satria Insania Press, 2003

Chabib, Thoha, Kapita Swlekta Pendidikan Islam, Yogyakarta:Pustaka Pelajar, 1996

Suyatno, Pendidikan Islam Berorientasi Pada Kebutuhan Subyek Didik, (Yogyakarta, UIN
Sunan Kaljiaga, 2012)

Arikunto, Suharismi, Managemen Pengajaran Secara Manusiawi, Jakarta: Rineka Cipta, I


993.

Mukhlasin, dkk. Makalah tentang Konsep Pendidikan Berorientasi Pada Problem Subyek
Didik, (Yogyakarta, UIN Sunan Kalijaga, 2012)

Konsep Pendidikan, http://forum.dudung.net/index.php?topic=5368.0 diakses pada tanggal


05 mei 2017 pukul 20:00

Anda mungkin juga menyukai