APRESIATOR:
"Hati-hati, Midun, tidak darahmu saja yang tersirap, tetapi urat kuduk
saya mendenyut melihat Lenggang itu. Jangan kita bercerai-cerai barang
setapak jua pun. Tertelentang sama terminum air, tertangkup sama
termakan tanah, menyuruk sama bungkuk, melompat sama patah,
musuhmu musuh saya. Saya selalu bersedia akan membelamu, biar
bagaimana juga. Jika ada apa-apa yang terjadi, jangan engkau larang-
larang lagi, sebagai ketika engkau berkelahi dengan Kacak dahulu. Saya
tahu apa yang akan saya perbuat, untuk keselamatan diri kita berdua.
Jangan lagi kita lama-lama di pacuan. Asal sudah kita melihat pacu boko,
kita terus pulang saja. Tidak perlukah kita membawa pisau, Midun?"
b. Setting/Latar
1. Latar waktu
a. Waktu Asar: WAKTU asar sudah tiba (Sati, 1929: 2)
b. Petang: Amat cerah hari petang itu (Sati, 1929: 2)
c. Dzuhur: Pada suatu hari, sesudah sembahyang lohor,
kelihatanlah Pak Midun, Pendekar Sutan dan Midun di surau Haji
Abbas. (Sati, 1929: 17)
d. Maghrib: Sesudah sembahyang magrib, Haji Abbas dan Midun
turunlah dari surau. (Sati, 1929: 20)
e. Malam: Pada suatu malam Pak Midun berkata kepada anaknya,
(Sati, 1929: 24)
f. Ahad pagi: Hari Ahad pagi-pagi, Midun sudah memikul tongkat
pengirik padi ke sawah. (Sati, 1929: 24)
g. Esok Hari: Pada keesokan harinya, Midun jatuh sakit (Sati, 1929:
35)
h. Tiga hari kemudian: Tiga hari kemudian daripada itu, Midun
dipanggil Penghulu hepala. Kacak dan saksi-saksi pun dipanggil
semua. Pak Midun, Haji Abbas, dan Pendekar Sutan pergi pula akan
mendengarkan putusan itu. (Sati, 1929: 42)
i. Lima malam: Lima malam telah lalu adalah selamat saja, tidak
kurang suatu apa-apa. (Sati, 1929: 43)
j. Sejam Kemudian: Ada sejam kemudian, keluarlah maling itu,
sambil memikul barang curiannya. (Sati, 1929: 43)
k. Dua pekan lagi: Dua pekan lagi akan diadakan pacuan kuda di
Bukittinggi. (Sati, 1929: 54)
l. Tiga hari: "Tiga hari pasar malam akan dimulai, kita berangkat
dari sini." (Sati, 1929: 54)
m. Hari baru pukul tujuh. (Sati, 1929: 64)
n. Dua bulan lebih: SETELAH dua bulan lebih kemudian daripada itu,
Maun terpanggil datang ke Bukittinggi. (Sati, 1929: 71)
o. Pukul lima: Petang hari itu Midun tidak diganggu-ganggu orang.
Kira-kira pukul lima, diantarkan orang nasi. (Sati, 1929: 82)
p. Esok Hari: Keesokan harinya pagi-pagi, sedang Midun menyapu
di dalam penjara, dilihatnya Lenggang sudah berkelahi dengan
ganjil (Sati, 1929: 91)
q. Pukul 8 malam : Midun dipersilakan orang tua itu makan
bersama-sama. Sudah makan hari baru pukul 8 malam (Sati, 1929:
104)
r. Pukul 11: Karena hari baru pukul 10, pergilah ia berjalan-jalan ke
kampung Jawa akan melihat keadaan kota itu pada malam hari.
Setelah lewat pukul 11, Midun berjalan menuju arah ke Pondok (Sati,
1929: 104)
s. Pagi hari : Pagi-pagi benar ia sudah bangun. sudah minum pagi
mereka pun pergilah bersama-sama mengantarkan Midun (Sati,
1929: 134)
2. Latar Tempat
a. Kampung Minangkabau, Bukit Tinggi: Demikianlah pula sebuah
kampung yang terletak pada sebuah lembah, tidak jauh dari
Bukittinggi. (Sati, 1929: 2)
b. Surau: Dalam sebuah surau, di tepi sungai yang melalui kampung
itu, kedengaran orang berkasidah. Suaranya amat merdu, turun naik
dengan beraturan. (Sati, 1929: 2)
Di halaman surau mereka itu duduk berkelompok-kelompok
mempercakapkan keberanian gurunya. Kadang-kadang keceknya itu
disertai pula dengan langkah kaki dan gerak tangan, meniru-niru
bagaimana perkelahian itu terjadi. (Sati, 1929: 12)
c. Tepi Sungai: Dalam sebuah surau, di tepi sungai yang melalui
kampung itu, kedengaran orang berkasidah. Suaranya amat merdu,
turun naik dengan beraturan. (Sati, 1929: 2)
d. Pasar: Ketika Midun kelihatan oleh beberapa orang muda di pasar
itu, mereka itu pun datanglah mendapatkannya. (Sati, 1929: 4)
e. Rumah: Baru saja sampai di rumah, dengan terengah-engah
karena lelah berlari, ia menceritakan perkelahian itu kepada ibu dan
adiknya. (Sati, 1929: 12)
f. Masjid: Sekonyong-konyong ketika berdua belas di masjid, Kacak
sudah mulai benci kepada Midun. (Sati, 1929: 12)
g. Sawah: Di sawahnya tidak kedengaran orang bersorak, apalagi
bersuka-sukaan. (Sati, 1929: 25)
h. Pasar Malam: "Tiga hari pasar malam akan dimulai, kita
berangkat dari sini." (Sati, 1929: 54)
i. Halte Kandangempat: Satu pun tak ada yang dilampaui Midun,
habis semua diceritakannya. Karena asyik mendengar cerita itu,
dengan tidak diketahuinya kereta api sudah sampai di halte
Kandangempat, lewat Padang panjang. (Sati, 1929: 75)
j. Penjara: ALKISAH maka tersebutlah perkataan bahwa di dalam
penjara itu adalah bermacam-macam bangsa orang hukuman (Sati,
1929: 86)
k. Kamar: Turigi segera memangku Midun, lalu dibawanya ke
kamarnya (Sati, 1929: 88)
l. Padang: Oleh sebab itu, saya berniat hendak tinggal di Padang ini
saja mencari pekerjaan (Sati, 1929: 103)
m. Kapal: DI ATAS kapal, berlainan pula keadaan Midun dengan
waktu ia berangkat dari Bukittinggi ke Padang dahulu (Sati, 1929:
110)
n. Kebun Raya Bogor: Pada sebuah bangku dekat sebuah telaga
Kebun Raya di Bogor, duduk seorang muda (Sati, 1929: 131)
3. Latar Suasana
a. Tenang: Langit tidak berawan, hening jernih sangat bagusnya.
Matahari bersinar dengan terang, suatu pun tak ada yang
mengalanginya. Lereng bukit dan puncak pohon-pohonan bagai
disepuh rupanya. (Sati, 1929: 2)
b. Menegangkan: Kacak bertambah pucat mukanya karena malu.
Apalagi dalam permainan itu, ia dikalahkan Midun. Tubuhnya berasa
sakit terjatuh. Pada pikiran Kacak orang tertawa itu. Sekonyong-
konyong merah padam mukanya. Darahnya mendidih, sebab marah.
(Sati, 1929: 8)
c. Bergembira: Sambil memberi makan kerbau kami bernyanyi dan
bersenda gurau sesuka-suka hati. (Sati, 1929: 9)
d. Khawatir: Hatinya berdebar-debar, khawatir kalau kalau hal itu
menjadikan tidak baik kepadanya. (Sati, 1929: 11)
e. Kebencian: Kebencian dalam hatinya sudah mulai berkobar.
(Sati, 1929: 12)
Biarlah! Tidak akan terlampau waktunya. Pada suatu masa, tentu
akan dapat juga saya membalasnya sakit hati saya kepadanya. Ingat-
ingat engkau, MidunP Tak dapat tiada engkau juga bekas tanganku
ini, biarpun engkau sudah mendapat pelajaran dari Haji Abbas. Kita
adu nanti silatmu itu dengan starlakku. Lagi pula tidakkah engkau
ketahui bahwa di sini kemenakan Tuanku Laras, boleh bersutan di
mata, berada di hati? Tidakkah engkau insaf, bahwa di sini
kemenakan raja di kampung ini, boleh merajalela berbuat
sekehendak hati? Aha, rupanya dia mau tahu siapa saya." (Sati, 1929:
26)
f. Ketakutan: "Tidak, Bapak!" jawab Midun dengan ketakutan.
(Sati, 1929: 18)
g. Keraguan: "Tidak, Bapak, tapi sudah umpama berkelahi juga
namanya; bukan saya yang salah, melainkan dia," jawab Midun
dengan ragu-ragu, sebab ia sendiri merasa tidak ada berkelahi. Akan
dikatakannya berkelahi, ia tidak ada meninju Kacak, melainkan Kacak
yang menyerang dia. (Sati, 1929: 20)
h. Marah: "Ganjil benar jawabmu! Apa maksudmu mengatakan
umpama berkelahi itu?" (Sati, 1929: 20)
i. Ramai: pasar di kampung itu sangat ramai. Dari segala tempat
banyak orang datang. Ada yang berbelanja, ada pula yang menjual
hasil tanamannya. (Sati, 1929: 28)
j. Perkelahian: Dengan marah amat sangat Midun dipukul, ditinju
dan diterajangkan oleh Kacak. Dibalaskannya sakit hatinya yang
selama ini. (Sati, 1929: 35)
k. Kesedihan: "Saya dihukum ini tidak utang yang dibayar, dan tidak
piutang yang diterima, " ujar Midun memulai perkataannya. Saya
adalah seorang yang teraniaya, Mamak. Dengarlah saya ceritakan
dari bermula sampai tamat. Setelah habis cerita saya, akan nyata
kepada Mamak, bahwa saya teraniaya. Cerita ini tidak saya lebihi
dan tidak pula dikurangi, melainkan sebagaimana yang terjadi atas
diri saya saja." (Sati, 1929: 75)
l. Menyedihkan: Tidak sanggup Midun melihat beberapa hal yang
sangat menyedihkan dalam penjara jahanam itu (Sati, 1929: 92)
m. Menegangkan: Mendengar perkataan Pak Karto demikian itu,
Midun terperanjat amat sangat. Dalam pikirannya tak ada
terbayang-bayang perkara surat pas itu (Sati, 1929: 108)
n. Senang: Girang benar hati kami mendapat uang tali yang sebuah
itu. Lima sen dibelikan kepada ubi. Untuk saya beliau nasi dengan
sayur lima sen pula. Lebihnya disimpari untuk malam (Sati, 1929:
117)
o. Merenung: Midun termenung saja mendengar perkataan Syekh
Abdullah yang demikian itu (Sati, 1929: 138)
p. Gelisah: Tegak resah, duduk gelisah, sedikit pun tidak senang
diam (Sati, 1929: 144)
c. Alur :
Alur yang digunakan pengarang dalam novel Sengsara Membawa
Nikmat karya Tulis St. Saati menggunakan alur campuran, yaitu
alur maju dan mundur.
Penjelasan : Cerita ini lebih mengarah ke masa depan Midun dan juga
mengarah kepada masalalu Midun. Bukti dari cerita ini
menggunakan alur maju mundur (Campuran) yakni jalinan
cerita kisah dari tokoh Midun yang pada awalnya hidup di
kampung halamannya yang berada di Minangkabau, setelah itu
di penjara karena ada yang iri padanya karena Midun di
kampungnya disenangi banyak orang. Kacak namanya, ia selalu
memfitnah Midun sampai akhirnya ia masuk penjara setelah itu
Midun bertemu dengan Halimah yang sedang mencari ayah
kandungnya di Bogor, setelah keluar dari penjara, Midun
membantu Halimah untuk mencari ayahnya setelah itu Midun
ke Batavia untuk mencari pekerjaan disana ada yang iri lagi
padanya dan memfitnah Midun yang akhirnya Midun masuk
penjara lagi. Setelah keluar dari penjara Midun bertemu dengan
sinyo Belanda dan memberi Midun pekerjaan.
Dalam hal ini jalinan cerita mengalami kemajuan. Namun,
Midun memutuskan untuk kembali ke kampung halamannya
dan bertemu Kacak yang telah menyesali perbuatan yang
dilakukan kepada Midun dulu akhirnya mereka hidup bahagia di
kampung halamannya. Dalam hal ini jalinan cerita kembali ke
masa lalu, alur dari cerita inipun menjadi mundur. Oleh karena
itu Alur dari cerita ini Maju Mundur karena pengarang dari
pengenalan cerita hingga peleraian menggunakan alur maju,
namun pada akhir cerita (penyelesaian) pengarang
mengembalikan tokoh pada masa lalunya yang akhirnya
membuat alur ini menjadi mundur.
Tahap-tahapan Alur :
3. Sarana Cerita
Sudut Pandang : Sudut pandang yang digunakan pengarang
dalam novel Sengsara Membawa Nikmat karya Sutan St. Sati
menggunakan sudut pandang orang ketiga serba tahu, yaitu dengan
menggunakan Dia, Ia dan Nama Orang. Dimana pengarang menceritakan
secara detail watak ataupun kejadian yang terjadi secara langsung melalui
narasi-narasi yang ia buat. misalnya Midun, Maun, pak Midun, Halimah,
dll. Seperti dalam kutipan (Memang Midun seorang muda yang sangat
digemari orang di kampungnya). (Ia tinggi hati, sombong, dan congkak....
Adat sopan santun sedikit pun tak ada pada Kacak).