Anda di halaman 1dari 42

MODUL 2

SKENARIO 2: PAK BUYUNG ILEUS

Pak Buyung, 50 tahun datang ke Puskesmas Lubuk Buaya diantar oleh keluarganya dengan
keluhan sakit perut sejak tiga hari yang lalu, tidak flatus dan tidak ada defekasi sejak dua hari yang lalu.
Mual dan muntah sejak satu hari yang lalu. Dari anamnesis diketahui bahwa Pak Buyung sudah
menderita berak-berak berlendir dan berdarah sejak satu tahun ini. Setelah memasang infus,
nasogastric tube, kateter urine dan memberikan injeksi antibiotika, dokter Puskesmas merujuk Pak
Buyung ke Instalasi Gawat Darurat Rumah sakit Dr.M.Djamil dengan diagnosis awal ileus obstruksi dan
hematochezia.

Dari keterangan dokter Puskesmas selanjutnya diketahui bahwa enam bulan yang lalu Pak
Buyung telah menderita tumor rectum, tapi saat itu dia tidak mau dirujuk ke Rumah Sakit. Pada
pemeriksaan oleh dokter jaga IGD didapatkan keadaan umumnya sadar, tekanan darah 100/80 mmHg,
nadi 120 x/menit, suhu 37,5 C,distensi abdomen, darm contour, dan darmsteifung positif, teraba hepar
membesar. Pemeriksaan rectal toucher teraba massa tumor empat sentimeter dari anocutaneus line,
terfiksasi, berbenjol-benjol dan mudah berdarah. Pada foto abdomen ditemukan air-fluid level positif
dan free-air negatif.

Menurut dokter IGD, Pak Buyung akan dirujuk ke dokter spesialis bedah dan kemungkinan akan
dilakukan laparatomy dan colostomy. Kemudian keluarga pasien menanyakan, Apakah penyakitnya ini
berhubungan dengan peristiwa kecelakaan yang mengenai perutnya beberapa tahun yang lalu dan
bagaimana nasib serta kemungkinan kesembuhan dari Pak Buyung?

Bagaimana anda menjelaskan apa yang terjadi pada Pak Buyung?

Step 1. Klarifikasi Terminologi


1) Ileus : Gangguan aliran normal isi usus sepanjang saluran usus
2) Flatus : Gas atau udara yang dikeluarkan dari anus
3) Ileus Obstruksi : Isi saluran cerna tidak disalurkan ke distal atau ke anus karena ada sumbatan.
Bisa total ataupun parsial
4) Hematochezia : Darah segar yang keluar melalui anus, dapat berbentuk gumpalan atau
bercampur dengan tinja. Terjadi karena perdarahan saluran cerna bagian atas n bawah
5) Distensi Abdomen : Peregangan dinding perut karena peningkatan cairan/gas intra abdomen
6) Tumor : Massa yang abnormal karena hyperplasia sel
7) Darm contour : Gambaran bentukan bentukan usus pada dinding abdomen
8) Darmsteifung : Gambaran gerakan peristaltic usus
9) Anocutaneus line : Garis antara epitel columnar rectum dan sel gepeng berlapis anus
10) Air-fluid level : Gambaran jelas batas antara cairan dan udara, seperti garis horizontal. Pasien
berdiri dengan sikap yang tegak
11) Free air : Adanya gambaran udara bebas di cavum abdomen yang berasal dari organ
berongga seperti gaster, intestinal
12) Laparotomy : Pebedahan bagian perut
13) Colonostomy : Operasi pembuatan lubang antara colon dengan permukaan tubuh.

Step 2. Menetapkan Masalah


1) Mengapa pak Buyung (50thn) sakit perut, tidak flatus, tidak defekasi, mual&muntah?
2) Apakah ada hubungan keluhan dengan umurnya sekarang dan lama timbulnya keluhan?
3) Apa penyebab berak berak berlendir dan berdarah?
4) Apakah ada hubungan keluhan nomor 3 dengan nomor 1?
5) Apakah indikasi pemasangan infuse, kateter urin, NGT, dan injeksi antibiotika pada pak buyung?
6) Bagaimana dokter bisa menegakkan diagnosis awal ileus obstruksi dan hematochezia?
7) Mengapa pak Buyung dirujuk ke IGD?
8) Apakah ada hubungan penyakit pak Buyung sekarang dengan tumor rectum?
9) Bagaimana interpretasi pemeriksaan dokter pada paragraph 2?
10) Bagaimana interpretasi pemeriksaan rectal toucher dan foto abdomen?
11) Dari pemeriksaan yang dilakukan dokter apa diagnosis kerjanya?
12) Apa akibatnya jika tumor rectum tidak ditangani?
13) Apa indikasi dokter melakukan laparotomy dan colostomy pada pak Buyung?
14) Apakah ada hubungan penyakit pak Buyung dengan kecelakaan dan bagaimana prognosis pak
Buyung?

Step 3. Brainstorming
1) Keluhan keluhan pak Buyung merupakan gejala umum gangguan saluran pencernaan. Tidak flatus,
tidak defekasi berarti ada sesuatu yang menghambat (obstruksi, atresia, dll). Mual dan muntah
karena reflek gastrointestinal. Semuanya mengarah ke obstruksi usus, karena gejala terjadi secara
bersamaan.
2) Hubungan dengan usia: 90% obstruksi karena karsinoma colorectal dimana semakin meningkat usia
resiko kanker juga semakin meningkat. Selain itu pada usia lanjut dan pertengahan obstruksi juga
sering terjadi Tak flatus dan tidak defekasi mucul belakangan karena pada stadium awal obstruksi
flatus dan feses masih bisa keluar.
3) Penyebab berak berlendir dan berdarah:
Darah tidak melengket pada feses -> Hemoroid
Darah pada feses bewarna hitam -> Melena
Darah berlendir -> Infeksi bakteri (Shigella), dan karsinoma
Jika penyebabnya adalah kanker -> feses akan kecil kecil, lebih cair, berlendir dan berdarah.
Berdarah karena vaskularisasi pada kanker tinggi, sementara berlendir karena peransangan
berlebihan pada mukosa ususnya.
4) Ada hubungannya. Karena semakin besar sumbatan akan semakin banyak lendir. Berarti karsinoma
penyebab dia sakit perut, tidak flatus, tidak defekasi, mual&muntah.
5) Jika terjadi obstruksi usus, maka akan terjadi gangguan aliran darah di usus, usus menjadi nekrotik
sehingga bakteri akan berkembang biak dengan cepat, maka perlu diberi antibiotic. Obstruksi pada
usus juga menyebabkan dehidrasi sehingga perlu diberikan NaCl fisiologis. NGT dilakukan untuk
dekompresi (mengatasi tegangan abdomen) dan menegakkan diagnosis (apakah perdarahan berasal
dari sal cerna atas atau bawah). Pemasangan kateter dilakukan karena salah satu akibat obstruksi
intestinal jadi oligouri, jadi diperlukan pemantauan keseimbangan cairan.
6) Dari keluhan keluhan tadi
7) Karena di Puskesmas peralatannya minim. Selain itu kompetensinya juga 2, berarti bukan kompetensi
dokter umum.
8) Sudah dijelaskan pada jawaban pertanyaan pertanyaan sebelumnya.
9) Interpretasi:
TD : Hipotensi Postural
Nadi : Takikardi
Suhu 37,5 C : karena dehidrasi
Darmsteifung (+) karena ada obstruksi usus mekanik
10) Ileus obstruksi -> Air Fluid level bertingkat- tingkat (step ladder). Kalau ada udara di rectum disebut
obstruksi ileus parsial. Sementara kalau tidak ada udara di rectum disebut ileus obstruksi total.
11) Kegawatan akut abdomen
12) Akibatnya adalah dapat bermetastasis dan menyebabkan ileus obstruksi
13) Indikasi laparotomy adalah untuk mengangkat penyebab ileus obstruksi (terapi) dan diagnosis
Indikasi colostomy adalah untuk mendekompresi usus, memperlancar aliran darah di saluran
pencernaan, dan sebagai anus pasca reseksi
14) Kecelakaan mengenai perut dapat menyebabkan obstruksi ileus non mekanik karena gangguan
peristaltic usus. Prognosis 2/3 pasien dapat hidup selama 5 tahun. Tingkat mortalitasnya akan
berkurang jika ditatalaksana dengan cepat. Jika etiologinya adalah kanker maka prognosis tidak baik.

Step 4. Skema

Operasi:
Laki laki, 50 thn Rujuk ke bedah
Laparotomy,
colostomy

Keluhan:
Sakit perut, flatus (-),
Diagnosis Prognosis
defekasi (-),
mual&muntah

Anamnesis: Pemeriksaan fisik:


BAB berlendir& RT, Foto abdomen,
berdarah radiologi

Diagnosis awal: Anamnesis


Ileus Obstruksi dan ulang:
hematochezia Tumor rektum
Tatalaksana:
NGT, Infus, Kateter, Rujuk Ke IGD
antibiotik

Step 5. LO
1) Ileus
2) Akut Abdomen (Peritonitis, appendicitis)
3) Trauma system pencernaan

Step 7. Pembahasan LO
1. AKUT ABDOMEN
Akut abdomen merupakan sebuah terminologi yang menunjukkan adanya keadaan darurat dalam
abdomen yang dapat berakhir dengan kematian bila tidak ditanggulangi dengan pembedahan. Keadaan
darurat dalam abdomen dapat disebabkan karena perdarahan, peradangan, perforasi, atau obstruksi
pada alat pencemaan. Peradangan bisa primer karena peradangan alat pencernaan seperti pada
appendisitis atau sekunder melalui suatu pencemaran peritoneum karena perforasi tukak lambung,
perforasi dari Payer's patch, pada typhus abdominalis atau perforasi akibat trauma.
Pada akut abdomen, apapun penyebabnya, gejala utama yang menonjol adalah nyeri akut pada
daerah abdomen. Kadang-kadang penyebab utama sudah jelas seperti pada trauma abdomen berupa
vulnus abdominis penetrans namun kadang-kadang diagnosis akut abdomen baru dapat ditegakkan
setelah pemeriksaan fisik serta pemeriksaan tambahan berupa pemeriksaan laboratorium serta
pemeriksaan radiologi yang lengkap dan masa observasi yang ketat.
Nyeri abdomen dan perdarahan merupakan suatu malapetaka yang sangat besar bagi seorang
penderita yang menderita akut abdomen alat pencernaan pada orang dewasa. Oleh karena itu dokter
yang memberikan pertolongan pertama harus memastikan dengan segera:
1) langkah-langkah untuk membuktikan kebenaran diagnosis dan
2) mengambil diagnosis kerja sementara,
3) mengambil langkah-langkah penanggulangan yang tepat selama pembuktian kebenaran
diagnosis.
Untuk penegakan diagnosis diperlukan pengumpulan data dengan mengadakan penelitian terhadap
penderita melalui pemeriksaan fisik penderita secara sistematis yang dimulai dengan anamnesis
penderita ditambah dengan pemeriksaan tambahan dan khusus. Bila penderita tidak sadar atau terlalu
sakit bisa dilakukan anamnesa keluarga (allo-anamnesa).
a. Anamnesis
Pada suatu penyakit bedah darurat anamnesis merupakan pemeriksaan yang sangat penting. Bahan-
bahan utama yang dapat diperoleh melalui anamnesis yang memberikan informasi sangat berharga pada
proses penegakan diagnosis adalah :
I. Lokasi nyeri
Kwandran kanan atas:
Cholecystitis acute
Perforasi tukak duodeni
Pancreatitis acute
Hepatitis acute
Acute congestive hepatomegaly
Pneumonia + pleuritis
Pyelonefritis acute
Abses hepar

Kwandran kiri atas:


Ruptur lienalis
Perforasi tukak lambung
Pancreatitis acute
Ruptur aneurisma aorta
Perforasi colon (tumor/corpus alineum)
Pneumonia + pleuritis
Pyelonefritis acute
Infark miokard akut

Paraumbilical:
Ileus obstruksi
Appendicitis
Pancreatitis acute
Trombosis A/V mesentrial
Hernia Inguinalis strangulata
Aneurisma aorta yang pecah
Diverculitis (ileum/colon)

Kwandran kanan bawah:


Appendicitis
Salpingitis acute
Graviditas axtra uterine yang pecah
Torsi ovarium tumor
Hernia Inguinalis incarcerata,strangulata
Diverticulitis Meckel
Ileus regionalis
Psoas abses
Batu ureter (kolik)

Kwandran kiri bawah:


Sigmoid diverculitis
Salpingitis acute
Graviditas axtra uterine yang pecah
Torsi ovarium tumor
Hernia Inguinalis incarcerata,strangulata
Perforasi colon descenden (tumor, corpus alineum)
Psoas abses
Batu ureter (kolik)

II. Radiasi perasaan nyeri


Kadang-kadang informasi mengenai cara penyebaran rasa nyeri (radiasi perasaan nyeri) dapat
memberikan petunjuk mengenai asal-usul atau lokasi penyebab nyeri itu. Nyeri yang berasal dari saluran
empedu menjalar ke samping sampai bagian bawah scapula kanan. Nyeri karena appendicitis dapat
mulai dari daerah epigastrium untuk ketnudian berpindah ke kwadran kanan bawah. Nyeri dari daerah
rektum dapat menetap di daerah punggung bawah.

III. Bentuk rasa nyeri


Nyeri pada akut abdomen dapat berbentuk nyeri terus menerus atau berupa kolik.

IV. Perubahan fisiologi alat pencernaan


Nafsu makan, mual, muntah
Defekasi teratur, mencret, obstipasi
Perut kembung, serangan kolik
Sudah berapa lama semua perubahan ini berlangsung

V. Perubahan anatomi
Adanya benjolan neoplasma
Adanya luka akibat trauma
Adanya bekas operasi

b. Pemeriksaan fisik
Dilaksanakan dengan memeriksa dulu keadaan umum penderita (status generalis) untuk evaluasi
keadaan sistim pemafasan, sistim kardiovaskuler dan sistim saraf yang merupakan sistim vital untuk
kelangsungan kehidupan. Pemeriksaan keadaan lokal (status lokalis abdomen) pada penderita
dilaksapakan secara sistematis dengan inspeksi, palpasi, perkusi dan auskultasi. Tanda-tanda khusus
pada akut abdomen tergantung pada penyebabnya seperti trauma, peradangan, perforasi atau obstruksi.
I. Inspeksi
Tanda-tanda khusus pada trauma daerah abdomen adalah :
Penderita kesakitan.
Pernafasan dangkal karena nyeri didaerah abdomen.
Penderita pucat, keringat dingin.
Bekas-bekas trauma pada dinding abdomen, memar, luka, prolaps omentum atau usus.
Kadang-kadang pada trauma tumpul abdomen sukar ditemukan tanda-tanda khusus, maka
harus dilakukan pemeriksaan berulang oleh dokter yang sama untuk mendeteksi
kemungkinan terjadinya perubahan pada pemeriksaan fisik.
Pada ileus obstruksi terlihat distensi abdomen bila obstruksinya letak rendah, dan bila
orangnya kurus kadang-kadang terlihat peristalsis usus (Darm-steifung).
Keadaan nutrisi penderita.
II. Palpasi
Akut abdomen memberikan rangsangan pada peritoneum melalui peradangan atau iritasi
peritoneum secara lokal atau umum tergantung dari luasnya daerah yang terkena iritasi. Palpasi akan
menunjukkan 2 gejala :
Perasaan nyeri
Perasaan nyeri yang memang sudah ada terus menerus akan bertambah pada waktu palpasi
sehingga dikenal gejala nyeri tekan dan nyeri lepas. Pada peitonitis lokal akan timbul rasa nyeri di
daerah peradangan pada penekanan dinding abdomen di daerah lain
Kejang otot (muscular rigidity, defense musculaire)
Kejang otot ditimbulkan karena rasa nyeri pada peritonitis diffusa yang karena rangsangan
palpasi bertambah sehingga secara refleks terjadi kejang otot.

III. Perkusi
Perkusi pada akut abdomen dapat menunjukkan 2 hal.
Perasaan nyeri oleh ketokan pada jari. Ini disebut sebagai nyeri ketok.
Bunyi timpani karena meteorismus disebabkan distensi usus yang berisikan gas pada ileus
obstruksi rendah.

IV. Auskultasi
Auskultasi tidak memberikan gejala karena pada akut abdomen terjadi perangsangan peritoneum
yang secara refleks akan mengakibatkan ileus paralitik.

V. Pemeriksaan rectal toucher


Atau perabaan rektum dengan jari telunjuk juga merupakan pemeriksaan rutin untuk mendeteksi
adanya trauma pada rektum atau keadaan ampulla recti apakah berisi faeces atau teraba tumor.

c. Pemeriksaan tambahan
I. Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan darah rutin
Pemeriksaan Hb diperlukan untuk base-line data bila terjadi perdarahan terus menerus.
Demikian pula dengan pemeriksaan hematokrit. Pemeriksaan leukosit yang melebihi 20.000/mm
tanpa terdapatnya infeksi menunjukkan adanya perdarahan cukup banyak terutama pada
kemungkinan ruptura lienalis. Serum amilase yang meninggi menunjukkan kemungkinan adanya
trauma pankreas atau perforasi usus halus. Kenaikan transaminase menunjukkan kemungkinan
trauma pada hepar.
Pemeriksaan urine rutin
Menunjukkan adanya trauma pada saluran kemih bila dijumpai hematuri. Urine yang jernih
belum dapat menyingkirkan adanya trauma pada saluran urogenital.

II. Pemeriksaan radiologi


Foto thoraks
Selalu harus diusahakan pembuatan foto thoraks dalam posisi tegak untuk menyingkirkan
adanya kelainan pada thoraks atau trauma pada thoraks. Harus juga diperhatikan adanya udara
bebas di bawah diafragma atau adanya gambaran usus dalam rongga thoraks pada hernia
diafragmatika.
Plain abdomen foto tegak
Akan memperlihatkan udara bebas dalam rongga peritoneum, udara bebas retroperitoneal
dekat duodenum, corpus alienum, perubahan gambaran usus.
IVP (Intravenous Pyelogram)
Karena alasan biaya biasanya hanya dimintakan bila ada persangkaan trauma pada ginjal.
Pemeriksaan Ultrasonografi dan CT-scan
Bereuna sebagai pemeriksaan tambahan pada penderita yang belum dioperasi dan
disangsikan adanya trauma pada hepar dan retroperitoneum.

2. Ileus
A. ILEUS OBSTRUKTIF
Ileus obstruktif adalah suatu penyumbatan mekanis pada usus dimana merupakan penyumbatan
yang sama sekali menutup atau menganggu jalannya isi usus.
I. ETIOLOGI
Adhesi (perlekatan usus halus)
Merupakan penyebab tersering ileus obstruktif, sekitar 50-70% dari semua kasus. Adhesi bisa
disebabkan oleh riwayat operasi intra abdominal sebelumnya atau proses inflamasi intra abdominal.
Obstruksi yang disebabkan oleh adhesi berkembang sekitar 5% dari pasien yang mengalami operasi
abdomen dalam hidupnya. Perlengketan kongenital juga dapat menimbulkan ileus obstruktif di
dalam masa anak-anak.

Hernia inkarserata eksternal (inguinal, femoral, umbilikal, insisional, atau parastomal)


Merupakan yang terbanyak kedua sebagai penyebab ileus obstruktif, dan merupakan penyebab
tersering pada pasien yang tidak mempunyai riwayat operasi abdomen. Hernia interna
(paraduodenal, kecacatan mesentericus, dan hernia foramen Winslow) juga bisa menyebabkan
hernia.

Neoplasma.
Tumor primer usus halus dapat menyebabkan obstruksi intralumen, sedangkan tumor metastase
atau tumor intraabdominal dapat menyebabkan obstruksi melalui kompresi eksternal.

Intususepsi usus halus


Menimbulkan obstruksi dan iskhemia terhadap bagian usus yang mengalami intususepsi. Tumor,
polip, atau pembesaran limphanodus mesentericus dapat sebagai petunjuk awal adanya intususepsi.

Penyakit Crohn
Dapat menyebabkan obstruksi sekunder sampai inflamasi akut selama masa infeksi atau karena
striktur yang kronik.

Volvulus
Sering disebabkan oleh adhesi atau kelainan kongenital, seperti malrotasi usus. Volvulus lebih
sering sebagai penyebab obstruksi usus besar.

Batu empedu yang masuk ke ileus


Inflamasi yang berat dari kantong empedu menyebabkan fistul dari saluran empedu ke
duodenum atau usus halus yang menyebabkan batu empedu masuk ke traktus gastrointestinal. Batu
empedu yang besar dapat terjepit di usus halus, umumnya pada bagian ileum terminal atau katup
ileocaecal yang menyebabkan obstruksi.

Striktur yang sekunder yang berhubungan dengan iskhemia, inflamasi, terapi radiasi, atau
trauma operasi.

Penekanan eksternal oleh tumor, abses, hematoma, intususepsi, atau penumpukan cairan.
Benda asing, seperti bezoar.
Divertikulum Meckel yang bisa menyebabkan volvulus, intususepsi, atau hernia Littre.
Fibrosis kistik dapat menyebabkan obstruksi parsial kronik pada ileum distalis dan kolon kanan
sebagai akibat adanya benda seperti mekonium.

II. PATOFISIOLOGI
Lumen usus yang tersumbat secara progresif akan teregang oleh cairan dan gas (70% dari gas yang
ditelan) akibat peningkatan tekanan intralumen, yang menurunkan pengaliran air dan natrium dari
lumen ke darah. Oleh karena sekitar 8 liter cairan diekskresikan ke dalam saluran cerna setiap hari, tidak
adanya absorpsi dapat mengakibatkan penimbunan intralumen dengan cepat. Muntah dan penyedotan
usus setelah pengobatan dimulai merupakan sumber kehilangan utama cairan dan elektrolit. Pengaruh
atas kehilangan ini adalah penciutan ruang cairan ekstrasel yang mengakibatkan syokhipotensi,
pengurangan curah jantung, penurunan perfusi jaringan dan asidosis metabolik.

Peregangan usus yang terus menerus mengakibatkan lingkaran setan penurunan absorpsi cairan dan
peningkatan sekresi cairan ke dalam usus. Efek local peregangan usus adalah iskemia akibat distensi dan
peningkatan permeabilitas akibat nekrosis, disertai absorpsi toksin-toksin bakteri ke dalam rongga
peritoneum dan sirkulasi sistemik untuk menyebabkan bakteriemia.

Segera setelah timbulnya ileus obstruktif pada ileus obstruktif sederhana,distensi timbul tepat
proksimal dan menyebabkann muntah refleks. Setelah ia mereda, peristalsis melawan obstruksi timbul
dalam usaha mendorong isi usus melewatinya yang menyebabkan nyeri episodik kram dengan masa
relatif tanpa nyeri di antara episode. Gelombang peristaltik lebih sering, yang timbul setiap 3 sampai 5
menit di dalam jejunum dan setiap 10 menit di didalam ileum. Aktivitas peristaltik mendorong udara dan
cairan melalui gelung usus, yang menyebabkan gambaran auskultasi khas terdengar dalam ileus
obstruktif. Dengan berlanjutnya obstruksi, maka aktivitas peristaltik menjadi lebih jarang dan akhirnya
tidak ada. Jika ileus obstruktif kontinu dan tidak diterapi, maka kemudian timbul muntah dan mulainya
tergantung atas tingkat obstruksi. Ileus obstruktif usus halus menyebabkan muntahnya lebih dini dengan
distensi usus relatif sedikit, disertai kehilangan air, natrium, klorida dan kalium, kehilangan asam
lambung dengan konsentrasi ion hidrogennya yang tinggi menyebabkan alkalosis metabolic.
Berbeda pada ileus obstruktif usus besar, muntah bisa muncul lebih lambat (jika ada). Bila ia timbul,
biasanya kehilangan isotonik dengan plasma. Kehilangan cairan ekstrasel tersebut menyebabkan
penurunan volume intravascular, hemokonsentrasi dan oliguria atau anuria. Jika terapi tidak diberikan
dalam perjalanan klinik, maka dapat timbul azotemia, penurunan curah jantung, hipotensi dan syok.

Pada ileus obstruktif strangulata yang melibatkan terancamnya sirkulasi pada usus mencakup
volvulus, pita lekat, hernia dan distensi. Disamping cairan dan gas yang mendistensi lumen dalam ileus
obstruksi sederhana, dengan strangulasi ada juga gerakan darah dan plasma ke dalam lumen dan dinding
usus. Plasma bisa juga dieksudasi dari sisi serosa dinding usus ke dalam cavitas peritonealis. Mukosa usus
yang normalnya bertindak sebagai sawar bagi penyerapan bakteri dan produk toksiknya, merupakan
bagian dinding usus yang paling sensitif terhadap perubahan dalam aliran darah. Dengan strangulasi
memanjang timbul iskemi dan sawar rusak. Bakteri (bersama dengan endotoksin dan eksotoksin) bisa
masuk melalui dinding usus ke dalam cavitas peritonealis. Disamping itu, kehilangan darah dan plasma
maupun air ke dalam lumen usus cepat menimbulkan syok. Jika kejadian ini tidak dinilai dini, maka dapat
cepat menyebabkan kematian.

Ileus obstruktif gelung tertutup timbul bila jalan masuk dan jalan keluar suatu gelung usus
tersumbat. Jenis ileus obstruktif ini menyimpan lebih banyak bahaya dibandingkan kebanyakan ileus
obstruksi, karena ia berlanjut ke strangulasi dengan cepat serta sebelum terbukti tanda klinis dan gejala
ileus obstruktif. Penyebab ileus obstruktif gelung tertutup mencakup pita lekat melintasi suatu gelung
usus, volvulus atau distensi sederhana. Pada keadaan terakhir ini, sekresi ke dalam gelung tertutup dapat
menyebabkan peningkatan cepat tekanan intalumen, yang menyebabkan obstruksi aliran keluar vena.
Ancaman vaskular demikian menyebabkan progresivitas cepat gejala sisa yang diuraikan bagi ileus
obstruksi strangualata.

Ileus obstruktif kolon biasanya kurang akut (kecuali bagi volvulus) dibandingkan ileus obstruksi usus
halus. Karena kolon terutama bukan organ pensekresi cairan dan hanya menerima sekitar 500 ml cairan
tiap hari melalui valva ileocaecalis, maka tidak timbul penumpukan cairan yang cepat. Sehingga dehidrasi
cepat bukan suatu bagian sindroma yang berhubungan dengan ileus obstruksi kolon. Bahaya paling
mendesak karena obstruksi itu karena distensi. Jika valva ileocaecalis inkompeten maka kolon terdistensi
dapat didekompresi ke dalam usus halus. Tetapi jika valva ini kompeten, maka kolon terobstruksi
membentuk gelung tertutup dan distensi kontinu menyebabkan ruptura pada tempat berdiameter
terlebar, biasanya sekum. Ia didasarkan atas hukum Laplace, yang mendefenisiskan tegangan di dalam
dinding organ tubular pada tekanan tertentu apapun berhubungan langsung dengan diameter tabung
itu. Sehingga karena diameter terlebar kolon di dalam sekum, maka ia area yang biasanya pecah
pertama.

III. MANIFESTASI KLINIS


Terdapat 4 tanda kardinal gejala ileus:
Nyeri abdomen
Muntah
Distensi
Kegagalan buang air besar atau gas(konstipasi).
Gejala ileus obstruktif tersebut bervariasi tergantung:

Lokasi obstruksi
Lamanya obstruksi
Penyebabnya
Ada atau tidaknya iskemia usus

Gejala selanjutnya yang bisa muncul termasuk dehidrasi, oliguria, syok hypovolemik, pireksia,
septikemia, penurunan respirasi dan peritonitis. Terhadap setiap penyakit yang dicurigai ileus obstruktif,
semua kemungkinan hernia harus diperiksa.

Nyeri abdomen biasanya agak tetap pada mulanya dan kemudian menjadi bersifat kolik. Ia sekunder
terhadap kontraksi peristaltik kuat pada dinding usus melawan obstruksi. Frekuensi episode tergantung
atas tingkat obstruksi, yang muncul setiap 4 sampai 5 menit dalam ileus obstruktif usus halus, setiap 15
sampai 20 menit pada ileus obstruktif usus besar. Nyeri dari ileus obstruktif usus halus demikian
biasanya terlokalisasi supraumbilikus di dalam abdomen, sedangkan yang dari ileus obstruktif usus besar
biasanya tampil dengan nyeri intaumbilikus. Dengan berlalunya waktu, usus berdilatasi, motilitas
menurun, sehingga gelombang peristaltik menjadi jarang, sampai akhirnya berhenti. Pada saat ini nyeri
mereda dan diganti oleh pegal generalisata menetap di keseluruhan abdomen. Jika nyeri abdomen
menjadi terlokalisasi baik, parah, menetap dan tanpa remisi, maka ileus obstruksi strangulata harus
dicurigai.

Muntah refleks ditemukan segera setelah mulainya ileus obstruksi yang memuntahkan apapun
makanan dan cairan yang terkandung, yang juga diikuti oleh cairan duodenum, yang kebanyakan cairan
empedu. Setelah ia mereda, maka muntah tergantung atas tingkat ileus obstruktif. Jika ileus obstruktif
usus halus, maka muntah terlihat dini dalam perjalanan dan terdiri dari cairan jernih hijau atau kuning.
Usus didekompresi dengan regurgitasi, sehingga tak terlihat distensi. Jika ileus obstruktif usus besar,
maka muntah timbul lambat dan setelah muncul distensi. Muntahannya kental dan berbau busuk
(fekulen) sebagai hasil pertumbuhan bakteri berlebihan sekunder terhadap stagnasi. Karena panjang
usus yang terisi dengan isi demikian, maka muntah tidak mendekompresi total usus di atas obstruksi.

Distensi pada ileus obstruktif derajatnya tergantung kepada lokasi obsruksi dan makin membesar bila
semakin ke distal lokasinya. Gerkakan peristaltic terkadang dapat dilihat. Gejala ini terlambat pada ileus
obstruktif usus besar dan bisa minimal atau absen pada keadaan oklusi pembuluh darah mesenterikus.

Konstipasi dapat dibedakan menjadi dua, yaitu konstipasi absolut ( dimana feses dan gas tidak bisa
keluar) dan relatif (dimana hanya gas yang bisa keluar). Kegagalan mengerluarkan gas dan feses per
rektum juga suatu gambaran khas ileus obstruktif. Tetapi setelah timbul obstruksi, usus distal terhadap
titik ini harus mengeluarkan isinya sebelum terlihat obstipasi. Sehingga dalam ileus obstruktif usus halus,
usus dalam panjang bermakna dibiarkan tanpa terancam di usus besar. Lewatnya isi usus dalam bagian
usus besar ini memerlukan waktu, sehingga mungkin tidak ada obstipasi, selama beberapa hari.
Sebaliknya, jika ileus obstruktif usus besar, maka obstipasi akan terlihat lebih dini. Dalam ileus obstuksi
sebagian, diare merupakan gejala yang ditampilkan pengganti obstipasi.
Dehidarasi umumnya terjadi pada ileus obstruktif usus halus yang disebabkan muntah yanbg
berulang-ulang dan pengendapan cairan. Hal ini menyebabkan kulit kering dan lidah kering, pengisian
aliran vena yang jelek dan mata gantung dengan oliguria. Nilai BUN dan hematokrit meningkat
memberikan gambaran polisitemia sekunder. Hipokalemia bukan merupakan gejala yang sering pada
ileus obstruktif sederhana. Peningkatan nilai potasium, amilase atau laktat dehidrogenase di dalam
serum dapat sebagai pertanda strangulasi, begitu juga leukositosis atau leukopenia.

Pireksia di dalam ileus obstruktif dapat digunaklan sebagai petanda :

1. Mulainya terjadi iskemia

2. Perforasi usus

3. Inflamasi yang berhubungan denga penyakit obsruksi

Hipotermi menandakan terjadinya syok septikemia.

Nyeri tekan abdomen yang terlokalisir menandakan iskemia yang mengancam atau sudah
terjadi. Perkembangan peritonitis menandakan infark atau perforasi. Sangat penting untuk membedakan
antara ileus obstruktif dengan strangulasi dengan tanpa strangulasi, karena termasuk operasi emergensi.
Penegakan diagnosa hanya tergantung gejala kilnis. Sebagai catatan perlu diperhatikan:

1. Kehadiran syok menandakan iskemia yang sedang berlangsung


2. Pada strangulasi yang mengancam, nyeri tidak pernah hilang total
3. Gejala-gejala biasanya muncul secara mendadak dan selalu berulang
4. Kemunculan dan adanya gejala nyeri tekan lokal merupakan tanda yang sangat penting, tetapi, nyeri
tekan yang tidak jelas memerlukan penilaian rutin. Pada ileus obstruktif tanpa strangulasi
kemungkinan bisa terdapat area dengan nyeri tekan lokal pada tempat yang mengalami obstruksi;
pada srangulasi selalu ada nyeri tekan lokal yang berhubungan dengan kekakuan abdomen.
5. Nyeri tekan umum dan kehadiran kekakuan abdomen/rebound tenderness menandakan perlunya
laparotomy segera
6. Pada kasus ileus obstruktif dimana nyeri tetap asa walaupun telah diterapi konservatif, walaupun
tanpa gejala-gejala di atas, strangulasi tetap harus didiagnosa.
7. Ketika strangulasi muncul pada hernia eksternal dimana benjolan tegang, lunak, ireponibel, tidak
hanya membesar karena reflek batuk dan benjolan semakin membesar.

Pada ileus obstruksi usus besar juga menimbulkan sakit kolik abdomen yang sama kualitasnya
dengan sakit ileus obstruktif usus halus, tetapi intensitasnya lebih rendah. Keluhan rasa sakit kadang-
kadang tidak ada pada penderita lanjut usia yang pandai menahan nafsu. Muntah-muntah terjadi
lambat, khususnya bila katup ileocaecal kompeten. Muntah-muntah fekulen paradox sangat jarang.
Riwayat perubahan kebiasaan berdefekasi dan darah dalam feses yang baru terjadi sering terjadi karena
karsinoma dan divertikulitis adalah penyebab yang paling sering. Konstipasi menjadi progresif, dan
obstipasi dengan ketidakmapuan mengeluarkan gas terjadi. Gejala-gejala akut dapat timbul setelah satu
minggu.

IV. DIAGNOSIS
Diagnosis ileus obstruktif tidak sulit; salah satu yang hampir selalu harus ditegakkan atas dasar klinik
dengan anamnesis dan pemeriksaan fisik, kepercayaan atas pemeriksaan radiologi dan pemeriksaan
laboraorium harus dilihat sebagai konfirmasi dan bukan menunda mulainya terapi yang segera. Diagnosa
ileus obstruksi diperoleh dari :

a. Anamnesis
Pada anamnesis ileus obstruktif usus halus biasanya sering dapat ditemukan penyebabnya, misalnya
berupa adhesi dalam perut karena pernah dioperasi sebelumnya atau terdapat herni. Pada ileus
obstruksi usus halus kolik dirasakan di sekitar umbilkus, sedangkan pada ileus obstruksi usus besar kolik
dirasakan di sekitar suprapubik. Muntah pada ileus obstruksi usus halus berwarna kehijauan dan pada
ileus obstruktif usus besar onset muntah lama.

b. Pemeriksaan Fisik
Inspeksi
Dapat ditemukan tanda-tanda generalisata dehidrasi, yang mencakup kehilangan turgor kulit
maupun mulut dan lidah kering. Pada abdomen harus dilihat adanya distensi, parut abdomen, hernia
dan massa abdomen. Terkadang dapat dilihat gerakan peristaltik usus yang bisa bekorelasi dengan
mulainya nyeri kolik yang disertai mual dan muntah. Penderita tampak gelisah dan menggeliat
sewaktu serangan kolik
Palpasi
Pada palpasi bertujuan mencari adanya tanda iritasi peritoneum apapun atau nyeri tekan, yang
mencakup defance musculair involunter atau rebound dan pembengkakan atau massa yang
abnormal
Auskultasi
Pada ileus obstruktif pada auskultasi terdengar kehadiran episodic gemerincing logam bernada
tinggi dan gelora (rush) diantara masa tenang. Tetapi setelah beberapa hari dalam perjalanan
penyakit dan usus di atas telah berdilatasi, maka aktivitas peristaltik (sehingga juga bising usus) bisa
tidak ada atau menurun parah. Tidak adanya nyeri usus bisa juga ditemukan dalam ileus paralitikus
atau ileus obstruksi strangulate.
Bagian akhir yang diharuskan dari pemeriksaan adalah pemeriksaan rectum dan pelvis. Ia bisa
membangkitkan penemuan massa atau tumor serta tidak adanya feses di dalam kubah rektum
menggambarkan ileus obstruktif usus halus. Jika darah makroskopik atau feses postif banyak
ditemukan di dalam rektum, maka sangat mungkin bahwa ileus obstruktif didasarkan atas lesi
intrinsik di dalam usus. Apabila isi rektum menyemprot penyakit Hirschprung.

c. Pemeriksaan Radiologi
Pemeriksaan sinar-X bisa sangat bermanfaat dalam mengkonfirmasi diagnosis ileus obstruktif
serta foto abdomen tegak dan berbaring harus yang pertama dibuat. Adanya gelung usus terdistensi
dengan batas udara-cairan dalam pola tangga pada film tegak sangat menggambarkan ileus obstruksi
sebagai diagnosis. Dalam ileus obstruktif usus besar dengan katup ileocaecalis kompeten, maka
distensi gas dalam kolon merupakan satu-satunya gambaran penting. Penggunaan kontras
dikontraindikasikan adanya perforasi-peritonitis. Barium enema diindikasikan untuk invaginasi, dan
endoskopi disarankan pada kecurigaan volvulus.
d. Pemeriksaan Laboratorium
Leukositosis, dengan pergeseran ke kiri, biasanya terjadi bila terdapat strangulasi, tetapi hitung
darah putih yang normal tidak menyampingkan strangulasi. Peningkatan amilase serum kadang-
kadang ditemukan pada semua bentuk ileus obstruktif, khususnya jenis strangulasi.

V. TATALAKSANA
Terapi ileus obstruksi biasanya melibatkan intervensi bedah. Penentuan waktu kritis serta tergantung
atas jenis dan lama proses ileus obstruktif. Operasi dilakukan secepat yang layak dilakukan dengan
memperhatikan keadaan keseluruhan pasien. Tujuan utama penatalaksanaan adalah dekompresi bagian
yang mengalami obstruksi untuk mencegah perforasi. Tindakan operasi biasanya selalu diperlukan.
Menghilangkan penyebab ileus obstruksi adalah tujuan kedua. Kadang-kadang suatu penyumbatan
sembuh dengan sendirinya tanpa pengobatan, terutama jika disebabkan oleh perlengketan.
Dekompresi pipa bagi traktus gastrointestinal diindikasikan untuk dua alasan:
a. Untuk dekompresi lambung sehingga memperkecil kesempatan aspirasi isi usus.
b. Membatasi masuknya udara yang ditelan ke dalam saluran pencernaan, sehingga mengurangi
distensi usus yang bisa menyebabkan peningkatan tekanan intralumen dan kemungkinan ancaman
vaskular.
Pipa yang digunakan untuk tujuan demikian dibagi dalam dua kelompok:
a. Pendek, hanya untuk lambung.
b. Panjang, untuk intubasi keseluruhan usus halus.

Pasien dipuasakan, kemudian dilakukan juga resusitasi cairan dan elektrolit untuk perbaikan keadaan
umum. Setelah keadaan optimum tercapai barulah dilakukan laparatomi (Sabara, 2007). Pemberian
antibiotika spektrum lebar di dalam gelung usus yang terkena obstruksi strangulasi terbukti
meningkatkan kelangsungan hidup. Tetapi, karena tidak selalu mudah membedakan antara ileus
obstruksi strangulata dan sederhana, maka antibiotika harus diberikan pada semua pasien ileus.
Operasi dapat dilakukan bila sudah tercapai rehidrasi dan organ-organ vital berfungsi secara
memuaskan. Tetapi yang paling sering dilakukan adalah pembedahan sesegera mungkin. Tindakan bedah
dilakukan bila :
Strangulasi
Obstruksi lengkap
Hernia inkarserata
Tidak ada perbaikan dengan pengobatan konservatif (dengan pemasangan NGT, infus, oksigen
dan kateter)

Tindakan yang terlibat dalam terapi bedahnya masuk kedalam beberapa kategori mencakup

Lisis pita lekat atau reposisi hernia


Pintas usus
Reseksi dengan anastomosis
Diversi stoma dengan atau tanap reseksi.

Pengobatan pasca bedah sangat penting terutama dalam hal cairan dan elektrolit. Kita harus
mencegah terjadinya gagal ginjal dan harus memberikan kalori yang cukup. Perlu diingat bahwa pasca
bedah usus pasien masih dalam keadaan paralitik

B. ILEUS PARALITIK
Ileus paralitik atau adynamic ileus adalah keadaan di mana usus gagal / tidak mampu melakukan
kontraksi peristaltik untuk menyalurkan isinya. Ileus paralitik ini bukan suatu penyakit primer usus
melainkan akibat dari berbagai penyakit primer, tindakan (operasi) yang berhubungan dengan rongga
perut, toksin dan obat-obatan yang dapat mempengaruhi kontraksi otot polos usus.
Gerakan peristaltik merupakan suatu aktivitas otot polos usus yang terkoordinasi dengan baik diatur
oleh neuron inhibitory dan neuron exitatory dari sistim enteric motor neuron. Kontraksi otot polos usus
ini dipengaruhi dan dimodulasi oleh berbagai factor seperti sistim saraf simpatik parasimpatik,
neurotransmiter (adrenergik, kolinergik, serotonergik,dopaminergik, hormon intestinal, keseimbangan
elektrolit dan sebagainya. Ileus paralitik hampir selalu dijumpai pada pasien pasca operasi abdomen.
Keadaan ini biasanya hanya berlangsung antara 24-72 jam. Beratnya ileus paralitik pasca operasi
bergantung pada lamanya operasi/narkosis, seringnya manipulasi usus dan lamanya usus berkontak
dengan udara luar. Pencemaran peritoneum oleh asam lambung, isi kolon, enzim pankreas, darah, dan
urin akan menimbulkan paralisis usus. Kelainan retroperitoneal seperti hematoma retroperitoneal,
terlebih lagi bila disertai fraktur vertebra sering menimbulkan ileus paralitik yang berat. Demikian pula
kelainan pada rongga dada seperti pneumonia paru bagian bawah, empiema, dan infark miokard dapat
disertai paralisis usus. Gangguan elektrolit terutama hipokalemia, hiponatremia, hipomagnesemia atau
hipermagnesemia memberikan gejala paralisis usus.
I. ETIOLOGI :
1) Neurologik
Pasca operasi
Kerusakan medula spinalis
Keracunan timbal kolik ureter
Iritasi persarafan splanknikus
Pankreatitis

2) Metabolik
Gangguan keseimbangan elektrolit (terutama hipokalemia)
Uremia
Komplikasi DM
Penyakit sistemik seperti SLE, sklerosis multiple

3) Obat-obatan
Narkotik
Antikolinergik
Katekolamin
Fenotiasin
Antihistamin

4) Infeksi
Pneumonia
Empiema
Urosepsis
Peritonitis
Infeksi sistemik berat lainnya

5) Iskemia usus

II. MANIFESTASI KLINIS


Pasien ileus paralitik akan mengeluh perutnya kembung (abdominal distention), anoreksia, mual dan
obstipasi. Muntah mungkin ada mungkin pula tidak ada. Keluhan perut kembung pada ileus paralitik ini
perlu dibedakan dengan keluhan perut kembung pada ileus obstruksi. Pasien ileus paralitik mempunyai
keluhan perut kembung, tidak disertai nyeri kolik abdomen yang paroksismal.
Pada pemeriksaan fisik keadaan umum pasien bervariasi dari ringan sampai berat bergantung pada
penyakit yang mendasarinya, didapatkan adanya distensi abdomen, perkusi timpani dengan bising usus
yang lemah dan jarang bahkan dapat tidak terdengar sama sekali. Pada palpasi, pasien hanya
menyatakan perasaan tidak enak pada perutnya. Tidak ditemukan adanya reaksi peritoneal (nyeri tekan
dan nyeri lepas negatif). Apabila penyakit primernya peritonitis, manifestasi klinis yang ditemukan adalah
gambaran peritonitis.

III. PEMERIKSAAN PENUNJANG


Pemeriksaan laboratorium mungkin dapat membantu mencari kausa penyakit. Pemeriksaan yang
penting untuk dimintakan yaitu leukosit darah, kadar elektrolit, ureum, glucosa darah, dan amilase. Foto
polos abdomen sangat membantu menegakkan diagnosis. Pada ileus paralitik akan ditemukan distensi
lambung usus halus dan usus besar memberikan gambaran herring bone, selain itu bila ditemukan air
fluid level biasanya berupa suatu gambaran line up (segaris). Hal ini berbeda dengan air fluid level pada
ileus obstruktif yang memberikan gambaran stepladder (seperti anak tangga). Apabila dengan
pemeriksaan foto polos abdomen masih meragukan adanya suatu obstruksi, dapat dilakukan
pemeriksaan foto abdomen dengan mempergunakan kontras kontras yang larut air. Pemeriksaan
penunjang lainnya yang harus dilakukan adalah pemeriksaan darah rutin ( Hb, lekosit,hitung jenis dan
trombosit), elektrolit, BUN dan kreatinin, sakar darah, foto dada, EKG, bila diangap perlu dapat ilakukan
pemeriksaan lainnya atas indikasi seperti amilase,lipase, analisa gas darah , ultrasonografi abdomen
bahkan CT scan.

IV. TATALAKSANA
Pengelolaan ileus paralitik bersifat konservatif dan suportif. Tindakannya berupa dekompresi,
menjaga keseimbangan cairan dan elektrolit, mengobati kausa atau penyakit primer dan pemberian
nutrisi yang adekuat. Beberapa obat-obatan jenis penyekat simpatik (simpatolitik) atau obat
parasimpatomimetik pernah dicoba, ternyata hasilnya tidak konsisten. Untuk dekompresi dilakukan
pemasangan pipa nasogastrik (bila perlu dipasang juga rectal tube). Pemberian cairan, koreksi gangguan
elektrolit dan nutrisi parenteral hendaknya diberikan sesuai dengan kebutuhan dan prinsip pemberian
nutrisi parenteral.
Beberapa obat yang dapat dicoba yaitu metoklopramid bermanfaat untuk gastroparesis, sisaprid
bermanfaat untuk ileus paralitik pasca-operasi, dan klonidin dilaporkan bermanfaat untuk mengatasi
ileus paralitik karena obat-obatan. Neostigmin sering diberikan pada pasn ileus paralitik pasca operasi.
Bila bising usu sudah mulai ada dapat dilakukan test feeding, bila tidak ada retensi,dapat dimulai dengan
diit cair kemudian disesuaikan sejalan dengan toleransi ususnya

V. PROGNOSIS
Prognosis ileus paralitik baik bila penyakit primernya dapat diatasi.

3. PERITONITIS
Peritonitis adalah peradangan yang disebabkan oleh infeksi pada selaput organ perut (peritoneum).
Peritoneum adalah selaput tipis dan jernih yang membungkus organ perut dan dinding perut sebelah
dalam. Lokasi peritonitis bisa terlokalisir atau difuse, riwayat akut atau kronik dan patogenesis
disebabkan oleh infeksi atau aseptik. Peritonitis merupakan suatu kegawatdaruratan yang biasanya
disertai dengan bakteriemia atau sepsis.
Peradangan peritoneum merupakan komplikasi berbahaya yang sering terjadi akibat penyebaran
infeksi dari organ-organ abdomen (misalnya apendisitis, salpingitis, perforasi ulkus gastroduodenal),
ruptura saluran cerna, komplikasi post operasi, iritasi kimiawi, atau dari luka tembus abdomen. Pada
keadaan normal, peritoneum resisten terhadap infeksi bakteri (secara inokulasi kecil-kecilan);
kontaminasi yang terus menerus, bakteri yang virulen, resistensi yang menurun, dan adanya benda asing
atau enzim pencerna aktif, merupakan faktor-faktor yang memudahkan terjadinya peritonitis.
Keputusan untuk melakukan tindakan bedah harus segera diambil karena setiap keterlambatan akan
menimbulkan penyakit yang berakibat meningkatkan morbiditas dan mortalitas. Ketepatan diagnosis dan
penanggulangannya tergantung dari kemampuan melakukan analisis pada data anamnesis, pemeriksaan
fisik dan pemeriksaan penunjang.
I. ETIOLOGI
Infeksi peritoneal dapat diklasifikasikan sebagai bentuk:
Peritonitis primer (Spontaneus)
Disebabkan oleh invasi hematogen dari organ peritoneal yang langsung dari rongga peritoneum.
Penyebab paling sering dari peritonitis primer adalah spontaneous bacterial peritonitis (SBP) akibat
penyakit hepar kronis. Kira-kira 10-30% pasien dengan sirosis hepatis dengan ascites akan
berkembang menjadi peritonitis bakterial.
Peritonitis sekunder
Penyebab peritonitis sekunder paling sering adalah perforasi appendicitis, perforasi gaster dan
penyakit ulkus duodenale, perforasi kolon (paling sering kolon sigmoid) akibat divertikulitis, volvulus,
kanker serta strangulasi usus halus (Brian,2011).
Peritonitis tertier
Peritonitis yang mendapat terapi tidak adekuat, superinfeksi kuman, dan akibat tindakan operasi
sebelumnya
Sedangkan infeksi intraabdomen biasanya dibagi menjadi generalized (peritonitis) dan localized
(abses intra abdomen)

II. PATOFISIOLOGI
Reaksi awal peritoneum terhadap invasi oleh bakteri adalah keluarnya eksudat fibrinosa. Kantong-
kantong nanah (abses) terbentuk di antara perlekatan fibrinosa, yang menempel menjadi satu dengan
permukaan sekitarnya sehingga membatasi infeksi. Perlekatan biasanya menghilang bila infeksi
menghilang, tetapi dapat menetap sebagai pita-pita fibrosa, yang kelak dapat mengakibatkan obstruksi
usus.
Peradangan menimbulkan akumulasi cairan karena kapiler dan membran mengalami kebocoran. Jika
defisit cairan tidak dikoreksi secara cepat dan agresif, maka dapat menimbulkan kematian sel. Pelepasan
berbagai mediator, seperti misalnya interleukin, dapat memulai respon hiperinflamatorius, sehingga
membawa ke perkembangan selanjutnya dari kegagalan banyak organ. Karena tubuh mencoba untuk
mengkompensasi dengan cara retensi cairan dan elektrolit oleh ginjal, produk buangan juga ikut
menumpuk. Takikardi awalnya meningkatkan curah jantung, tapi ini segera gagal begitu terjadi
hipovolemia.
Organ-organ didalam cavum peritoneum termasuk dinding abdomen mengalami oedem. Oedem
disebabkan oleh permeabilitas pembuluh darah kapiler organ-organ tersebut meninggi. Pengumpulan
cairan didalam rongga peritoneum dan lumen-lumen usus serta oedem seluruh organ intra peritoneal
dan oedem dinding abdomen termasuk jaringan retroperitoneal menyebabkan hipovolemia.
Hipovolemia bertambah dengan adanya kenaikan suhu, masukan yang tidak ada, serta
muntah.Terjebaknya cairan di cavum peritoneum dan lumen usus, lebih lanjut meningkatkan tekana intra
abdomen, membuat usaha pernapasan penuh menjadi sulit dan menimbulkan penurunan perfusi.
Bila bahan yang menginfeksi tersebar luas pada permukaan peritoneum atau bila infeksi menyebar,
dapat timbul peritonitis umum. Dengan perkembangan peritonitis umum, aktivitas peristaltik berkurang
sampai timbul ileus paralitik; usus kemudian menjadi atoni dan meregang. Cairan dan elektrolit hilang
kedalam lumen usus, mengakibatkan dehidrasi, syok, gangguan sirkulasi dan oliguria. Perlekatan dapat
terbentuk antara lengkung-lengkung usus yang meregang dan dapat mengganggu pulihnya pergerakan
usus dan mengakibatkan obstruksi usus.
Sumbatan yang lama pada usus atau obstruksi usus dapat menimbulkan ileus karena adanya
gangguan mekanik (sumbatan) maka terjadi peningkatan peristaltik usus sebagai usaha untuk mengatasi
hambatan. Ileus ini dapat berupa ileus sederhana yaitu obstruksi usus yang tidak disertai terjepitnya
pembuluh darah dan dapat bersifat total atau parsial, pada ileus stangulasi obstruksi disertai terjepitnya
pembuluh darah sehingga terjadi iskemi yang akan berakhir dengan nekrosis atau ganggren dan akhirnya
terjadi perforasi usus dan karena penyebaran bakteri pada rongga abdomen sehingga dapat terjadi
peritonitis.
Tifus abdominalis adalah penyakit infeksi akut usus halus yang disebabkan kuman S. Typhi yang
masuk tubuh manusia melalui mulut dari makan dan air yang tercemar. Sebagian kuman dimusnahkan
oleh asam lambung, sebagian lagi masuk keusus halus dan mencapai jaringan limfoid plaque peyeri di
ileum terminalis yang mengalami hipertropi ditempat ini komplikasi perdarahan dan perforasi intestinal
dapat terjadi, perforasi ileum pada tifus biasanya terjadi pada penderita yang demam selama kurang
lebih 2 minggu yang disertai nyeri kepala, batuk dan malaise yang disusul oleh nyeri perut, nyeri tekan,
defansmuskuler, dan keadaan umum yang merosot karena toksemia.
Perforasi tukak peptik khas ditandai oleh perangsangan peritoneum yang mulai di epigastrium dan
meluas keseluruh peritonium akibat peritonitis generalisata. Perforasi lambung dan duodenum bagian
depan menyebabkan peritonitis akut. Penderita yang mengalami perforasi ini tampak kesakitan hebat
seperti ditikam di perut. Nyeri ini timbul mendadak terutama dirasakan di daerah epigastrium karena
rangsangan peritonium oleh asam lambung, empedu dan atau enzim pankreas. Kemudian menyebar
keseluruh perutmenimbulkan nyeri seluruh perut pada awal perforasi, belum ada infeksi bakteria,
kadang fase ini disebut fase peritonitis kimia, adanya nyeri di bahu menunjukkan rangsanganperitoneum
berupa mengenceran zat asam garam yang merangsang, ini akan mengurangi keluhan untuk sementara
sampai kemudian terjadi peritonitis bacteria
Pada apendisitis biasanya biasanya disebabkan oleh penyumbatan lumen apendiks oleh hiperplasi
folikel limfoid, fekalit, benda asing, striktur karena fibrosis dan neoplasma. Obstruksi tersebut
menyebabkan mukus yang diproduksi mukosa mengalamibendungan,makin lama mukus tersebut makin
banyak, namun elastisitas dinding apendiks mempunyai keterbatasan sehingga menyebabkan
peningkatan tekanan intralumen dan menghambat aliran limfe yang mengakibatkan oedem, diapedesis
bakteri, ulserasi mukosa, dan obstruksi vena sehingga udem bertambah kemudian aliran arteri terganggu
akan terjadi infark dinding apendiks yang diikuti dengan nekrosis atau ganggren dinding apendiks
sehingga menimbulkan perforasi dan akhirnya mengakibatkan peritonitis baik lokal maupun general
Pada trauma abdomen baik trauma tembus abdomen dan trauma tumpul abdomen dapat
mengakibatkan peritonitis sampai dengan sepsis bila mengenai organ yang berongga intra peritonial.
Rangsangan peritonial yang timbul sesuai dengan isi dari organ berongga tersebut, mulai dari gaster yang
bersifat kimia sampai dengan kolon yang berisi feses. Rangsangan kimia onsetnya paling cepat dan feses
paling lambat. Bila perforasi terjadi dibagian atas, misalnya didaerah lambung maka akan terjadi
perangsangan segera sesudah trauma dan akan terjadi gejala peritonitis hebat sedangkan bila bagian
bawah seperti kolon, mula-mula tidak terjadi gejala karena mikroorganisme membutuhkan waktu
untukberkembang biak baru setelah 24 jam timbul gejala akut abdomen karena perangsangan
peritoneum

III. MANIFESTASI KLINIS


Gejala dan tanda biasanya berhubungan dengan proses penyebaran di dalam rongga abdomen.
Bertanya gejala berhubungan dengan beberapa faktor yaitu: lamanya penyakit, perluasan dari
kontaminasi cavum peritoneum dan kemampuan tubuh untuk melawan, usia serta tingkat kesehatan
penderita secara umum.
Manifestasi klinis dapat dibagi menjadi:
(1) tanda abdomen yang berasal dari awal peradangan dan
(2) manifestasi dari infeksi sistemik.
Penemuan lokal meliputi nyeri abdomen, nyeri tekan, kekakuan dari dinding abdomen, distensi,
adanya udara bebas pada cavum peritoneum dan menurunnya bising usus yang merupakan tanda iritasi
dari peritoneum parietalis dan menyebabkan ileus. Penemuan sistemik meliputi demam, menggigil,
takikardi, berkeringat, takipneu, gelisah, dehidrasi, oliguria, disorientasi dan pada akhirnya dapat
menjadi syok.
1) Nyeri abdomen
Nyeri abdomen merupakan gejala yang hamper selalu ada pada peritonitis. Nyeri biasanya dating
dengan onset yang tiba-tiba, hebat dan pada penderita dengan perforasi nyerinya didapatkan pada
seluruh bagian abdomen.
Seiring dengan berjalannya penyakit, nyeri dirasakan terus-menerus, tidak ada henti-hentinya, rasa
seperti terbakar dan timbul dengan berbagai gerakan. Nyeri biasanya lebih terasa pada daerah dimana
terjadi peradangan peritoneum. Menurunnya intensitas dan penyebaran dari nyeri menandakan adanya
lokalisasi dari proses peradangan, ketika intensitasnya bertambah meningkat diserta dengan perluasan
daerah nyeri menandakan penyebaran dari peritonitis.

2) Anoreksia, mual, muntah dan demam


Pada penderita juga sering didapatkan anoreksia, mual dan dapat diikuti dengan muntah. Penderita
biasanya juga mengeluh haus dan badan terasa seperti demam sering diikuti dengan menggigil yang
hilang timbul. Meningkatnya suhu tubuh biasanya sekitar 38OC sampai 40 OC.

3) Facies Hipocrates
Pada peritonitis berat dapat ditemukan fascies Hipocrates. Gejala ini termasuk ekspresi yang tampak
gelisah, pandangan kosong, mata cowong, kedua telinga menjadi dingin, dan muka yang tampak pucat.
Penderita dengan peritonitis lanjut dengan fascies Hipocrates biasanya berada pada stadium pre
terminal. Hal ini ditandai dengan posisi mereka berbaring dengan lutut di fleksikan dan respirasi
interkosta yang terbatas karena setiap gerakan dapat menyebabkan nyeri pada abdomen.
Tanda ini merupakan patognomonis untuk peritonitis berat dengan tingkat kematian yang tinggi,
akan tetapi dengan mengetahui lebih awal diagnosis dan perawatan yang lebih baik, angka kematian
dapat lebih banyak berkurang.

4) Syok
Pada beberapa kasus berat, syok dapat terjadi oleh karena dua factor. Pertama akibat perpindahan
cairan intravaskuler ke cavum peritoneum atau ke lumen dari intestinal. Yang kedua dikarenakan
terjadinya sepsis generalisata.
Yang utama dari septicemia pada peritonitis generalisata melibatkan kuman gram negative diman
dapat menyebabkan terjadinya tahap yang menyerupai syok. Mekanisme dari fenomena ini belum jelas,
akan tetapi dari penelitian diketahui bahwa efek dari endotoksin pada binatang dapat memperlihatkan
sindrom atau gejala-gejala yang mirip seperti gambaran yang terlihat pada manusia

IV. DIAGNOSIS
a. Inspeksi
Tanda paling nyata pada penderita dengan peritonitis adalah adanya distensi dari abdomen.
Akan tetapi, tidak adanya tanda distensi abdomen tidak menyingkirkan diagnosis peritonitis,
terutama jika penderita diperiksa pada awal dari perjalanan penyakit, karena dalam 2-3 hari baru
terdapat tanda-tanda distensi abdomen. Hal ini terjadi akibat penumpukan dari cairan eksudat tapi
kebanyakan distensi abdomen terjadi akibat ileus paralitik.

b. Palpasi
Palpasi adalah bagian yang terpenting dari pemeriksaan abdomen pada kondisi ini. Kaidah dasar
dari pemeriksaan ini adalah dengan palpasi daerah yang kurang terdapat nyeri tekan sebelum
berpindah pada daerah yang dicurigai terdapat nyeri tekan. Ini terutama dilakukan pada anak
dengan palpasi yang kuat langsung pada daerah yang nyeri membuat semua pemeriksaan tidak
berguna. Kelompok orang dengan kelemahan dinding abdomen seperti pada wanita yang sudah
sering melahirkan banyak anak dan orang yang sudah tua, sulit untuk menilai adanya kekakuan atau
spasme dari otot dinding abdomen. Penemuan yang paling penting adalah adanya nyeri tekan yang
menetap lebih dari satu titik. Pada stadium lanjut nyeri tekan akan menjadi lebih luas dan biasanya
didapatkan spasme otot abdomen secara involunter. Orang yang cemas atau yang mudah dirangsang
mungkin cukup gelisah, tapi di kebanyakan kasus hal tersebut dapat dilakukan dengan mengalihkan
perhatiannya.
Nyeri tekan lepas timbul akibat iritasi dari peritoneum oleh suatu proses inflamasi. Proses ini
dapat terlokalisir pada apendisitis dengan perforasi local, atau dapat menjadi menyebar seperti pada
pancreatitis berat. Nyeri tekan lepas dapat hanya terlokalisir pada daerah tersebut atau menjalar ke
titik peradangan yang maksimal. Pada peradangan di peritoneum parietalis, otot dinding perut
melakukan spasme secara involunter sebagai mekanisme pertahanan. Pada peritonitis, reflek
spasme otot menjadi sangat berat seperti papan.

c. Perkusi
Penilaian dari perkusi dapat berbeda tergantung dari pengalaman pemeriksa. Hilangnya pekak
hepar merupakan tanda dari adanya perforasi intestinal, hal ini menandakan adanya udara bebas
dalam cavum peritoneum yang berasal dari intestinal yang mengalami perforasi. Biasanya ini
merupakan tanda awal dari peritonitis
Jika terjadi pneumoperitoneum karena rupture dari organ berongga, udara akan menumpuk di
bagian kanan abdomen di bawah diafragma, sehingga akan ditemukan pekak hepar yang menghilang

d. Auskultasi
Auskultasi harus dilakukan dengan teliti dan penuh perhatian. Suara usus dapat bervariasi dari
yang bernada tinggi pada seperti obstruksi intestinal sampai hamper tidak terdengar suara bising
usus pada peritonitis berat dengan ileus. Adanya suara borborygmi dan peristaltic yang terdengar
tanpa stetoskop lebih baik daripada suara perut yang tenang. Ketika suara bernada tinggi tiba-tiba
hilang pada abdomen akut, penyebabnya kemungkinan adalah perforasi dari usus yang mengalami
strangulasi.

e. Pemeriksaan Penunjang
1) Laboratorium
Evaluasi laboratotium hanya dilakukan jika adanya hubungan antara riwayat penyakit dengan
pemeriksaan fisik. Tes yang paling sederhana dilakukan adalah termasuk hitung sel darah dan
urinalisis. Pada kasus peritonitis hitung sel darah putih biasanya lebih dari 20.000/mm3, kecuali pada
penderita yang sangat tua atau seseorang yang sebelumnya terdapat infeksi dan tubuh tidak dapat
mengerahkan mekanisme pertahanannya.
Pada perhitungan diferensial menunjukkan pergeseran ke kiri dan didominasi oleh
polimorfonuklear yang memberikan bukti adanya peradangan, meskipun jumlah leukosit tidak
menunjukkan peningkatan yang nyata. Analisa gas darah, serum elektrolit, faal pembekuan darah
serta tes fungsi hepar dan ginjal dapat dilakukan.
2) Radiologi
Pemeriksaan radiologi pada kebanyakan kasus peritonitis hanya mencakup foto thorak PA dan
lateral serta foto polos abdomen. Pada foto thorak dapat memperlihatkan proses pengisian udara di
lobus inferior yang menunjukkan proses intraabdomen. Dengan menggunakan foto polos thorak
difragma dapat terlihat terangkat pada satu sisi atau keduanya akibat adanya udara bebas dalam
cavum peritoneum daripada dengan menggunakan foto polos abdomen.
Ileus merupakan penemuan yang tidak khas pada peritonitis, usus halus dan usus besar
mengalami dilatasi, udara bebas dapat terlihat pada kasus perforasi. Foto polos abdomen paling
tidak dilakukan dengan dua posisi, yaitu posisi berdiri/tegak lurus atau lateral decubitus atau
keduanya. Foto harus dilihat ada tidaknya udara bebas. Gas harus dievaluasi dengan memperhatikan
pola, lokasi dan jumlah udara di usus besar dan usus halus

V. TATALAKSANA
Tatalaksana utama pada peritonitis antara lain pemberian cairan dan elektrolit, kontrol operatif
terhadap sepsis dan pemberian antibiotik sistemik.
a) Penanganan Preoperatif
Resusitasi Cairan

Peradangan yang menyeluruh pada membran peritoneum menyebabkan perpindahan cairan


ekstraseluler ke dalam cavum peritoneum dan ruang intersisial. Pengembalian volume dalam jumlah
yang cukup besar melalui intravaskular sangat diperlukan untuk menjaga produksi urin tetap baik dan
status hemodinamik tubuh. Jika terdapat anemia dan terdapat penurunan dari hematokrit dapat
diberikan transfusi PRC (Packed Red Cells) atau WB (Whole Blood). Larutan kristaloid dan koloid harus
diberikan untuk mengganti cairan yang hilang.
Secara teori, cairan koloid lebih efektif untuk mengatasi kehilangan cairan intravaskuler, tapi cairan
ini lebih mahal. Sedangkan cairan kristaloid lebih murah, mudah didapat tetapi membutuhkan jumlah
yang lebih besar karena kemudian akan dikeluarkan lewat ginjal. Suplemen kalium sebaiknya tidak
diberikan hingga perfusi dari jaringan dan ginjal telah adekuat dan urin telah diprodukasi.

Antibiotik
Bakteri penyebab tersering dari peritonitis dapat dibedakan menjadi bakteri aerob yaitu E. Coli,
golongan Enterobacteriaceae dan Streptococcus, sedangkan bakteri anaerob yang tersering adalah
Bacteriodes spp, Clostridium, Peptostreptococci. Antibiotik berperan penting dalam terpai peritonitis,
pemberian antibiotik secara empiris harus dapat melawan kuman aerob atau anaerob yang menginfeksi
peritoneum.
Pemberian antibiotik secara empiris dilakukan sebelum didapatkan hasil kultur dan dapat diubah
sesuai dengan hasil kultur dan uji sensitivitas jika masih terdapat tanda infeksi. Jika penderita baik secara
klinis yang ditandai dengan penurunan demam dan menurunnya hitung sel darah putih, perubahan
antibiotik harus dilakukan dengan hati-hati meskipun sudah didapatkan hasil dari uji sensitivitas.
Efek pemberian antibiotik pada peritonitis tergantung kondisi-kondisi seperti:
(1) besar kecilnya kontaminasi bakteri,
(2) penyebab dari peritonitis trauma atau nontrauma,
(3) ada tidaknya kuman oportunistik seperti candida.
Agar terapi menjadi lebih efektif, terpai antibiotik harus diberikan lebih dulu, selama dan setelah
operasi.
Pada umumnya Penicillin G 1.000.000 IU dan streptomycin 1 gram harus segera diberikan. Kedua
obat ini merupakan bakterisidal jika dipertahankan dalam dosis tinggi dalam plasma. Kombinasi dari
penicillin dan streptomycin juga memberikan cakupan dari bakteri gram negatif. Penggunaan beberapa
juta unit dari peniillin dan 2 gram streptomycin sehari sampai didapatkan hasil kultur merupakan
regimen terpai yang logis. Pada penderita yang sensitif terhadap penicillin, tetracycline dosis tinggi yang
diberikan secara parenteral lebih baik daripada chloramphenicol pada stadium awal infeksi.
Pemberian clindamycin atau metronidazole yang dikombinasi dengan aminoglikosida sama baiknya
jika memberikan cephalosporin generasi kedua. Antibiotik awal yang digunakan cephalosporin generasi
ketiga untuk gram negatif, metronidazole dan clindamycin untuk organisme anaerob. Daya cakupan dari
mikroorganisme aerob dan anerob lebih penting daripada pemilihan terapi tunggal atau kombinasi.
Pemberian dosis antibiotikal awal yang kurang adekuat berperan dalam kegagalan terapi. Penggunaan
aminoglikosida harus diberikan dengan hati-hati, karena gangguan ginjal merupakan salah satu
gambaran klinis dari peritonitis dan penurunan pH intraperitoneum dapat mengganggu aktivitas obat
dalam sel. Pemberian antibiotik diberikan sampai penderita tidak didapatkan demam, dengan hitung sel
darah putih yang normal.

Oksigen dan Ventilator


Pemberian oksigen pada hipoksemia ringan yang timbul pada peritonitis cukup diperlukan, karena
pada peritonitis terjadi peningkatan dari metabolism tubuh akibat adanya infeksi, adanya gangguan pada
ventilasi paru-paru. Ventilator dapat diberikan jika terdapat kondisi-kondisi seperti (1) ketidakmampuan
untuk menjaga ventilasi alveolar yang dapat ditandai dengan meningkatnya PaCO2 50 mmHg atau lebih
tinggi lagi, (2) hipoksemia yang ditandai dengan PaO2 kurang dari 55 mmHg, (3) adanya nafas yang cepat
dan dangkal.

Intubasi, Pemasangan Kateter Urin dan Monitoring Hemodinamik


Pemasangan nasogastric tube dilakukan untuk dekompresi dari abdomen, mencegah muntah,
aspirasi dan yang lebih penting mengurangi jumlah udara pada usus. Pemasangan kateter untuk
mengetahui fungsi dari kandung kemih dan pengeluaran urin. Tanda vital (temperature, tekanan darah,
nadi dan respiration rate) dicatat paling tidak tiap 4 jam. Evaluasi biokimia preoperative termasuk serum
elektrolit, kratinin, glukosa darah, bilirubin, alkali fosfatase dan urinalisis.

b) Penanganan Operatif
Terapi primer dari peritonitis adalah tindakan operasi. Operasi biasanya dilakukan untuk mengontrol
sumber dari kontaminasi peritoneum. Tindakan ini berupa penutupan perforasi usus, reseksi usus
dengan anstomosis primer atau dengan exteriorasi. Prosedur operasi yang spesifik tergantung dari apa
yang didapatkan selama operasi berlangsung, serta membuang bahan-bahan dari cavum peritoneum
seperti fibrin, feses, cairan empedu, darah, mucus lambung dan membuat irigasi untuk mengurangi
ukuran dan jumlah dari bakteri virulen.
Kontrol Sepsis
Tujuan dari penanganan operatif pada peritonitis adalah untuk menghilangkan semua material-
material yang terinfeksi, mengkoreksi penyebab utama peritonitis dan mencegah komplikasi lanjut.
Kecuali pada peritonitis yang terlokalisasi, insisi midline merupakan teknik operasi yang terbaik. Jika
didapatkan jaringan yang terkontaminasi dan menjadi fibrotik atau nekrosis, jaringan tersebut harus
dibuang. Radikal debridement yang rutin dari seluruh permukaan peritoneum dan organ dalam tidak
meningkatkan tingkat bertahan hidup. Penyakit primer lalu diobati, dan mungkin memerlukan tindakan
reseksi (ruptur apendik atau kandung empedu), perbaikan (ulkus perforata) atau drainase (pankreatitis
akut). Pemeriksaan kultur cairan dan jaringan yang terinfeksi baik aerob maupun anaerob segera
dilakukan setelah memasuki kavum peritoneum.

Peritoneal Lavage
Pada peritonitis difus, lavage dengan cairan kristaloid isotonik (> 3 liter) dapat menghilangkan
material-material seperti darah, gumpalan fibrin, serta bakteri. Penambahan antiseptik atau antibiotik
pada cairan irigasi tidak berguna bahkan berbahaya karena dapat memicu adhesi (misal: tetrasiklin,
povidone-iodine). Antibiotik yang diberikan cecara parenteral akan mencapai level bakterisidal pada
cairan peritoneum dan tidak ada efek tambahan pada pemberian bersama lavage. Terlebih lagi, lavage
dengan menggunakan aminoglikosida dapat menyebabkan depresi nafas dan komplikasi anestesi karena
kelompok obat ini menghambat kerja dari neuromuscular junction. Setelah dilakukan lavage, semua
cairan di kavum peritoneum harus diaspirasi karena dapat menghambat mekanisme pertahanan lokal
dengan melarutkan benda asing dan membuang permukaan dimana fagosit menghancurkan bakteri .

Peritoneal Drainage
Penggunaan drain sangat penting untuk abses intra abdominal dan peritonitis lokal dengan cairan
yang cukup banyak. Drainase dari kavum peritoneal bebas tidak efektif dan tidak sering dilakukan, karena
drainase yang terpasang merupakan penghubung dengan udara luar yang dapat menyebabkan
kontaminasi. Drainase profilaksis pada peritonitis difus tidak dapat mencegah pembentukan abses,
bahkan dapat memicu terbentuknya abses atau fistula. Drainase berguna pada infeksi fokal residual atau
pada kontaminasi lanjutan. Drainase diindikasikan untuk peradangan massa terlokalisasi atau kavitas
yang tidak dapat direseksi .

c) Pengananan Postoperatif
Monitor intensif, bantuan ventilator, mutlak dilakukan pada pasien yang tidak stabil. Tujuan utama
adalah untuk mencapai stabilitas hemodinamik untuk perfusi organ-organ vital., dan mungkin
dibutuhkan agen inotropik disamping pemberian cairan. Antibiotik diberikan selama 10-14 hari,
bergantung pada keparahan peritonitis. Respon klinis yang baik ditandai dengan produksi urin yang
normal, penurunan demam dan leukositosis, ileus menurun, dan keadaan umum membaik. Tingkat
kesembuhan bervariasi tergantung pada durasi dan keparahan peritonitis. Pelepasan kateter (arterial,
CVP, urin, nasogastric) lebih awal dapat menurunkan resiko infeksi sekunder

VI. KOMPLIKASI
Komplikasi postoperatif sering terjadi dan umumnya dibagi menjadi komplikasi lokal dan sistemik.
Infeksi pada luka dalam, abses residual dan sepsis intraperitoneal, pembentukan fistula biasanya muncul
pada akhir minggu pertama postoperasi. Demam tinggi yang persisten, edema generalisata, peningkatan
distensi abdomen, apatis yang berkepanjangan merupakan indikator adanya infeksi abdomen residual.
Hal ini membutuhkan pemeriksaan lebih lanjut misalnya CT-Scan abdomen. Sepsis yang tidak terkontrol
dapat menyebabkan kegagalan organ yang multipel yaitu organ respirasi, ginjal, hepar, perdarahan, dan
sistem imun

VII. PROGNOSIS
Tingkat mortalitas dari peritonitis generalisata adalah sekitar 40%. Faktor-faktor yang mempengaruhi
tingginya tingkat mortalitas antara lain tipe penyakit primer dan durasinya, keterlibatan kegagalan organ
multipel sebelum pengobatan, serta usia dan kondisi kesehatan awal pasien. Tingkat mortalitas sekitar
10% pada pasien dengan ulkus perforata atau apendisitis, pada usia muda, pada pasien dengan sedikit
kontaminasi bakteri, dan pada pasien yang terdiagnosis lebih awal
4. APPENDICITIS
Adalah kondisi dimana terjadi infeksi pada umbai apendiks dan merupakan penyakit bedah abdomen
yang paling sering terjadi. Apendisitis akut sering tampil dengan gejala khas yang didasari oleh radang
mendadak umbai cacing yang memberikan tanda setempat, disertai maupun tidak disertai rangsang
peritonieum lokal. Gajala apendisitis akut talah nyeri samar-samar dan tumpul yang merupakan nyeri
viseral didaerah epigastrium disekitar umbilikus. Keluhan ini sering disertai mual dan kadang muntah.
Umumnya nafsu makan menurun. Dalam beberapa jam nyeri akan berpindah ketitik mcBurney. Disini
nyeri dirasakan lebih tajam dan lebih jelas letaknya sehingga merupakan nyeri somatik setempat.
I. ETIOLOGI
Sesuai dengan patofisiologi apendisitis akut, etiologi dari penyakit ini yang berhubungan dengan
sumbatan pada lumen apendiks. Hal-hal yang dapat menyebabkan, antara lain :
1) Hiperplasia jaringan limfa
2) Masa fekalith
3) Sumbatan oleh cacing ascaris
4) Sumbatan karena fungsional, yang terjadi karena kurangnya makanan berserat sehingga
menimbulkan konstipasi. Konstipasi menyebabkan peningkatan pertumbuhan flora normal
kolon.
5) Keruskaan struktur sekitar, seperti erosi mukosa apendiks akibat infeksi Entamoeba
hystolitica

II. PATOFISIOLOGI
Apendisitis biasanya disebabkan oleh penyumbatan lumen apendiks oleh hiperplasia folikel limfoid,
fekalit, benda asing, striktur karena fibrosis akibat peradangan sebelumnya, atau neoplasma. Obstruksi
tersebut menyebabkan mukus yang diproduksi mukosa mengalami bendungan. Semakin lama mucus
tersebut semakin banyak, namun elastisitas dinding apendiks mempunyai keterbatasan sehingga
menyebabkan peningkatan tekanan intralumen. Tekanan yang meningkat tersebut akan menghambat
aliran limfe yang mengakibatkan edema, diapedesis bakteri, dan ulserasi mukosa. Pada saat inilah terjadi
apendisitis akut lokal yang ditandai oleh nyeri epigastrium.

Bila sekresi mukus terus berlanjut, tekanan akan terus meningkat. Hal tersebut akan menyebkan
obstruksi vena, edema bertambah, dan bakteri akan menembus dinding. Peradangan yang timbul
meluas dan mengenai peritoneum setempat sehingga menimbulkan nyeri didaerah kanan bawah.
Keadaan ini disebut apendisitis supuratif akut. Bila kemudian aliran arteri terganggu akan terjadi infark
dinding apendiks yang diikuti dengan gangren. Stadium ini disebut dengan apendisitis gangrenosa. Bila
dinding yang telah rapuh itu pecah, akan terjadi apendisitis perforasi.

Bila semua proses diatas berjalan lambat, omentum dan usus yang berdekatan akan bergerak kearah
apendiks hingga timbul suatu massa lokal yang disebut infiltrate apendikularis. Peradangan pada
apendiks tersebut dapat menjadi abses atau menghilang. Pada anak-anak, kerena omentum lebih
pendek dan apendiks lebih panjang, maka dinding apendiks lebih tipis. Keadaan tersebut ditambah
dengan daya tahan tubuh yang masih kurang sehingga memudahkan terjadinya perforasi. Sedangkan
pada orang tua, perforasi mudah terjadi karena telah ada gangguan pembuluh darah.

III. MANIFESTASI KLINIS


a) Nyeri Perut
Nyeri perut merupakan keluhan utama yang biasanya dirasakan pasien dengan apendisitis akut.
Karakteristik nyeri perut penting untuk diperhatikan klinisi karena nyeri perut pada apendisitis
memiliki ciri-ciri dan perjalanan penyakit yang cukup jelas.
Nyeri pada apendisitis muncul mendadak (sebagai salah satu jenis dari akut abdomen) yang
kemudian nyeri dirasakan samar-samar dan tumpul. Nyeri merupakan suatu nyeri viseral yang
dirasakan biasanya pada daerah epigastrium atau periumbilikus. Nyeri viseral terjadi terus menerus
kemudian nyeri berubah menjadi nyeri somatik dalam beberapa jam. Lokasi nyeri somatik umumnya
berada di titik McBurney, yaitu pada 1/3 lateral dari garis khayalan dari spina iliaka anterior superior
(SIAS) dan umbilikus. Nyeri somatik dirasakan lebih tajam, dengan intesitas sedang sampai berat.
Pada suatu metaanalisis, ditemukan bahwa neyri perut yang berpindah dan berubah dari viseral
menjadi somatik merupakan salah satu bukti kuat untuk menegakkan diagnosis apendisitis
Sesuai dengan anatomi apendiks, pada beberapa manusia letak apendiks berada retrosekal atau
berada pada rongga retroperitoneal. Keberadaan apendiks retrosekal menimbulkan gejala nyeri
perut yang tidak khas apendisitis karena terlindungi sekum sehingga rangsangan ke peritoneum
minimal. Nyeri perut pada apendisitis jenis ini biasanya muncul apabila pasien berjalan dan terdapat
kontraksi musculus psoas mayor secara dorsal.

b) Mual dan Muntah


Gejala mual dan muntah sering menyertai pasien apendisitis. Nafsu makan atau anoreksia
merupakan tanda-tanda awal terjadinya apendisitis.

c) Gejala Gastrointestinal
Pada pasien apendisitis akut, keluhan gastrointestinal dapat terjadi baik dalam bentuk diare
maupun konstipasi. Pada awal terjadinya penyakit, sering ditemukan adanya diare 1-2 kali akibat
respons dari nyeri viseral. Diare terjadi karena perangsangan dinding rektum oleh peradangan pada
apendiks pelvis atau perangsangan ileum terminalis oleh peradangan apendiks retrosekal. Akan
tetapi, apabila diare terjadi terus menerus perlu dipikirkan terdapat penyakit penyerta lain.
Konstipasi juga seringkali terjadi pada pasien apendisitis, terutama dilaporkan ketika pasien
sudah mengalami nyeri somatic

IV. DIAGNOSIS
Diagnosis apendisitis bergantung pada penemuan klinis, yaitu dari anamnesis mengenai gejala-gejala
dan pemeriksaan fisik untuk menemukan tanda-tanda yang khas pada apendisitis. Anamnesis mengenai
gejala nyeri perut beserta perjalanan penyakitnya, gejala penyerta seperti mual-muntah-anoreksia, dan
ada tidaknya gejala gastrointestinal.
Pemeriksaan fisik dilakukan secara menyeluruh karena tanda-tanda vital juga sudah dapat mengarah
ke diagnosis apendisitis. Takikardia dan demam sedang merupakan tanda-tanda yang sering ditemukan.
Pada pemeriksaan gigi dan mulut, sering ditemukana adanya lidah kering dan terdapat fethor oris. Pada
pemeriksaan abdomen dilakukan cermat pada tiap tahap. Dari auskultasi sering ditemukan bising usus
menurun karena terjadi ileus paralitik. Pada inspeksi, dapat ditemukan bahwa dinding perut terlihat kaku
dan kemudian dikonfirmasi dengan palpasi. Pada palpasi, ditemukan nyeri tekan dan nyeri lepas serta
terdapat tahanan (deffense muscular). Palpasi dilakukan pada beberapa titik diagnostik apendisitis yaitu
titik McBurney, uji Rovsig, dan uji Blomberg. Uji psoas dan uji obturator juga dapat dilakukan terutama
pada kecurigaan apendisitis yang terjadi secara retrosekal.

Pemeriksaan penunjang kurang bermakna pada diagnosis apendisitis karena penegakan diagnosis
umumnya cukup berasal dari penemuan klinis. Pemeriksaan urin dan darah perifer lengkap dapat
membantu dengan menunjukkan adanya tanda-tanda inflamasi secara umum, yaitu adanya leukositosis
dan keberadaan pyuria.

Dengan penemuan klinis dan pemeriksaan laboratorium, dapat digunakan suatu alat bantu untuk
diagnosis apendisitis akut, yaitu Alvarado Score. Dengan memperoleh nilai lebih dari 7, maka apendisitis
akut sudah umumnya dapat ditegakkan.

Pemeriksaan radiologi dapat membantu diagnosis apendisitis secara lebih cepat dan pasti, akan
tetapi secara value-based kurang disarankan. Gambaran kemampuan diagnositik dari beberapa
modalitas radiologi terhadap diagnosis apendisitis adalah sebagai berikut

Modalitas Makna Klinis


Foto Polos Tidak bermakna dalam diagnosis, walaupun
seringkali penemuan fecalith dapat dilakukan
USG Abdomen Sensitivitas 86%, Spesifisitas 81%
CT-Scan Sensitiitas 94%, Spesifisitas 95%
Magnetic Resonance Imaging Belum ada penelitian yang mengkaji, namun
sangat jarang dilakukan

Berdasarkan beberapa penelitian yang dilakukan, disimpulkan bahwa penggunaan modalitas


radiologi pada diagnosis apendisitis akut hanya dilakukan apabila diagnosis dengan mengandalkan gejala
klinis dan pemeriksaan laboratorium tidak dapat dilakukan. Modalitas yang disarankan adalah CT-Scan
karena USG masih bersifat operator-dependent

V. TATALAKSANA
Setelah penegakan diagnosis apendisitis dilakukan, tata laksana utama pada apendisitis adalah
Apendektomi. Tata laksana mulai diarahkan untuk persiapan operasi untuk mengurangi komplikasi
pasca-operasi dan meningkatkan keberhasilan operasi.

a) Medikamentosa
Persiapan operasi dilakukan dengan pemberian medikamentosa berupa analgetik dan antibiotik
spektrum luas, dan resusitasi cairan yang adekuat. Pasien apendisitis seringkali datang dengan
kondisi yang tidak stabil karena nyeri hebat sehingga analgetik perlu diberikan. Antibiotik diberikan
untuk profilaksis, dengan cara diberikan dosis tinggi, 1-3 kali dosis biasanya. Antibiotik yang umum
diberikan adalah cephalosporin generasi 2 / generasi 3 dan Metronidazole. Hal ini secara ilmiah telah
dibuktikan mengurangi terjadinya komplikasi post operasi seperti infeksi luka dan pembentukan
abses intraabdominal.
Pilihan antibiotik lainnya adalah ampicilin-sulbactam, ampicilin-asam klavulanat, imipenem,
aminoglikosida, dan lain sebagainya. Waktu pemberian antibiotik juga masih diteliti. Akan tetapi
beberapa protokol mengajukan apendisitis akut diberikan dalam waktu 48 jam saja. Apendisitis
dengan perforasi memerlukan administrasi antibiotik 7-10 hari.

b) Apendektomi
Sampai saat ini, penentuan waktu untuk dilakukannya apendektomi yang diterapkan adalah
segera setelah diagnosis ditegakkan karena merupakan suatu kasus gawat-darurat. Beberapa
penelitian retrospektif yang dilakukan sebenarnya menemukan operasi yang dilakukan dini (kurang
dari 12 jam setelah nyeri dirasakan) tidak bermakna menurunkan komplikasi post-operasi dibanding
yang dilakukan biasa (12-24 jam). Akan tetapi ditemukan bahwa setiap penundaan 12 jam waktu
operasi, terdapat penambahan risiko 5% terjadinya perforasi.
Teknik yang digunakan dapat berupa, (1) operasi terbuka, dan (2) dengan Laparoskopi. Operasi
terbuka dilakukanndengan insisi pada titik McBurney yang dilakukan tegak lurus terhadap garis
khayalan antara SIAS dan umbilikus. Di bawah pengaruh anestesi, dapat dilakukan palpasi untuk
menemukan massa yang membesar. Setelah dilakukan insiis, pemebdahan dilakukan dengan
identiifkasi sekum kemudian dilakukan palpasi ke arah posteromedial untuk menemukan apendisitis
posisi pelvik. Mesoapendiks diligasi dan dipisahkan. Basis apendiks kemudian dilakukan ligasi dan
transeksi.
Apendektomi dengan bantuan laparoskopi mulai umum dilakukan saat ini walaupun belum ada
bukti yang menyatakan bahwa metode ini memberikan hasil operasi dan pengurangan kejadian
komplikasi post-operasi. Apendekotmi laparoskopi harus dilakukan apabila diagnosis masih belum
yakin ditegakkan karena laparoskopi dapat sekaligus menjadi prosedur diagnostik. Sampai saat ini
penelitian-penelitian yang dilakukan masih mengatakan keunggulan dari metode ini adalah
meningkatkan kualitas hidup pasien. Perbaikan nfeksi luka tidak terlalu berpengaruh karena insisi
pada operasi terbuka juga sudah dilakukan dengan sangat minimal.
Komplikasi pasca-operasi dari apendektomi adalah terjadinya infeksi luka dan abses
inttraabdomen. Infeksi luka umumnya sudah dapat dicegah dengan pemberian antibiotik
perioperatif. Abses intra-abdomen dapat muncul akibat kontaminasi rongga peritoneum.

VI. KOMPLIKASI
Komplikasi yang paling berbahaya dari apendisitis apabila tidak dilakuka penanganan segera adalah
perforasi. Sebelum terjadinya perforasi, biasanya diawali dengan adanya masa periapendikuler terlebih
dahulu.
Masa periapendikuler terjadi apabila gangren apendiks masih berupa penutupan lekuk usus halus.
Sebenarnya pada beberapa kasus masa ini dapat diremisi oleh tubuh setelah inflamasi akut sudah tidak
terjadi. Akan tetapi, risiko terjadinya abses dan penyebaran pus dalam infilitrat dapat terjadei sewaktu-
waktu sehingga massa periapendikuler ini adalah target dari operasi apendektomi.

Perforasi merupakan komplikasi yang paling ditakutkan pada apendisitis karena selain angka
morbiditas yang tinggi, penanganan akan menjadi semakin kompleks. Perforasi dapat menyebabkan
peritonitis purulenta yang ditandai nyeri hebat seluruh peruhk, demam tinggi, dan gejala kembung pada
perut. Bisis usus dapat menurun atau bahkan menghilang karena ileus paralitik yang terjadi. Pus yang
menyebar dapat menjadi abses inttraabdomen yang paling umum dijumpai pada rongga pelvis dan
subdiafragma. Tata laksana yang dilakukan pada kondisi berat ini adalah laparotomi eksploratif untuk
membersihkan pus-pus yang ada. Sekarang ini sudah dikembangkan teknologi drainase pus dengan
laparoskopi sehingga pembilasan dilakukan lebih mudah.

5. TRAUMA ABDOMEN
Trauma adalah cedera fisik dan psikis, kekerasan yang mengakibatkan cedera. Trauma pada abdomen
dapat di bagi menjadi dua jenis:
1) Trauma penetrasi
a. Luka tembak
b. Luka tusuk
2) Trauma non-penetrasi
a. Kompresi
b. Hancur akibat kecelakaan
c. Sabuk pengaman
d. Cedera akselerasi

Trauma pada dinding abdomen terdiri kontusio dan laserasi :


1. Kontusio dinding abdomen disebabkan trauma non-penetrasi. Kontusio dinding abdomen tidak
terdapat cedera intra abdomen, kemungkinan terjadi eksimosis atau penimbunan darah dalam jaringan
lunak dan masa darah dapat menyerupai tumor.
2. Laserasi, jika terdapat luka pada dinding abdomen yang menembus rongga abdomen harus
dieksplorasi. Atau terjadi karena trauma penetrasi.

Trauma Abdomen adalah terjadinya atau kerusakan pada organ abdomen yang dapat
menyebabkan perubahan fisiologi sehingga terjadi gangguan metabolisme, kelainan imonologi dan
gangguan faal berbagai organ.
Trauma abdomen pada isi abdomen terdiri dari:
1) Perforasi organ viseral intraperitoneum
Cedera pada isi abdomen mungkin di sertai oleh bukti adanya cedera pada dinding abdomen
2) Luka tusuk (trauma penetrasi) pada abdomen
Luka tusuk pada abdomen dapat menguji kemampuan diagnostik ahli bedah.
3) Cedera thorak abdomen

Setiap luka pada thoraks yang mungkin menembus sayap kiri diafragma, atau sayap kanan dan hati
harus dieksplorasi.

I. ETIOLOGI
a) Penyebab trauma penetrasi
Luka akibat terkena tembakan
Luka akibat tikaman benda tajam
Luka akibat tusukan

b) Penyebab trauma non-penetrasi


Terkena kompresi atau tekanan dari luar tubuh
Hancur (tertabrak mobil)
Terjepit sabuk pengaman karna terlalu menekan perut

Cidera akselerasi / deserasi karena kecelakaan olah raga

II. PATOFISIOLOGI
Jika terjadi trauma penetrasi atau non-pnetrasi kemungkinan terjadi pendarahan intra abdomen
yang serius, pasien akan memperlihatkan tanda-tanda iritasi yang disertai penurunan hitung sel darah
merah yang akhirnya gambaran klasik syok hemoragik. Bila suatu organ viseral mengalami perforasi,
maka tanda-tanda perforasi, tanda-tanda iritasi peritonium cepat tampak. Tanda-tanda dalam trauma
abdomen tersebut meliputi nyeri tekan, nyeri spontan, nyeri lepas dan distensi abdomen tanpa bising
usus bila telah terjadi peritonitis umum.
Bila syok telah lanjut pasien akan mengalami takikardi dan peningkatan suhu tubuh, juga terdapat
leukositosis. Biasanya tanda-tanda peritonitis mungkin belum tampak. Pada fase awal perforasi kecil
hanya tanda-tanda tidak khas yang muncul. Bila terdapat kecurigaan bahwa masuk rongga abdomen,
maka operasi harus dilakukan.
III. Manifestasi Klinis
Kasus trauma abdomen ini bisa menimbulkan manifestasi klinis meliputi: nyeri tekan diatas daerah
abdomen, distensi abdomen, demam, anorexia, mual dan muntah, takikardi, peningkatan suhu tubuh,
nyeri spontan.
Pada trauma non-penetrasi (tumpul) pada trauma non penetrasi biasanya terdapat adanya :
Jejas atau ruktur dibagian dalam abdomen
Terjadi perdarahan intra abdominal.
Apabila trauma terkena usus, mortilisasi usus terganggu sehingga fungsi usus tidak normal dan
biasanya akan mengakibatkan peritonitis dengan gejala mual, muntah, dan BAB hitam (melena)
Kemungkinan bukti klinis tidak tampak sampai beberapa jam setelah rauma.
Cedera serius dapat terjadi walaupun tak terlihat tanda kontusio pada dinding abdomen.

Pada trauma penetrasi biasanya terdapat:


Terdapat luka robekan pada abdomen
Luka tusuk sampai menembus abdomen
Penanganan yang kurang tepat biasanya memperbanyak perdarahan/memperparah keadaan
Biasanya organ yang terkena penetrasi bisa keluar dari dalam andomen.

IV. DIAGNOSA
Pada penderita hipotensi, tujuan sang dokter adalah secepatnya menentukan apakah ada cedera
abdomen dan apakah itu penyebab hipotensinya. Penderita yang normal hemodinamiknya tanpa tanda
tanda peritonitis dapat dilakukan evaluasi yang lebih teliti untuk menentukan cedera fisik yang ada
(trauma tumpul).

a) Riwayat trauma
Mekanisme peristiwa trauma sangat penting dalam menentukan kemungkinan cedera organ intra-
abdomen. Semua informasi harus diperoleh dari saksi mata kejadian trauma, termasuk mekanisme
cedera, tinggi jatuh, kerusakan interior dan eksterior kendaraan dalam kecelakaan kendaraan bermotor,
kematian lainnya di lokasi kecelakaan, tanda vital, kesadaran, adanya perdarahan eksternal, jenis senjata,
dan seterusnya.

b) Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan abdomen harus dilakukan dengan cara yang teliti dan sistematis dengan urutan :
inspeksi, auskultasi, perkusi dan palpasi. Penemuannya, positif atau negatif , harus direkam dengan teliti
dalam catatan medis.
Pada saat kedatangan ke rumah sakit, mekanisme dan pemeriksaan fisik biasanya akurat dalam
menentukan cedera intra-abdomen pada pasien dengan kesadaran yang terjaga dan responsif, meskipun
terdapat keterbatasan pemeriksaan fisik. Banyak pasien dengan perdarahan intra-abdomen yang
moderat datang dalam kondisi hemodinamik yang terkompensasi dan tidak memiliki tanda-tanda
peritoneal.
Inspeksi
Penderita harus ditelanjangi. Kemudian periksa perut depan dan belakang, dan juga bagian
bawah dada dan perineum, harus diperiksa untuk goresan, robekan, luka, benda asing yang
tertancap serta status hamil. Penderita dapat dibalikkan dengan hati hati untuk mempermudah
pemeriksaan lengkap.

Palpasi
Kecenderungan untuk menggerakan dinding abdomen (voluntary guarding) dapat menyulitjan
pemeriksaan abdomen. Sebaliknya defans muscular (involuntary guarding) adalah tanda yang handal
dari iritasi peritoneum. Tujuan palpasi adalah mendapatkan adanya dan menentukan tempat dari
nyeri tekan superfisial, nyeri tekan dalam atau nyeri lepas. Nyeri lepas terjadi ketika tangan yang
menyentuh perut dilepaskan tiba tiba, dan biasanya menandakan peritonitis yang timbul akibat
adanya darah atau isi usus. Dengan palpasi juga dapat ditentukan uterus yang membesar dan
diperkirakan umur janin.

Perkusi
Manuver ini menyebabkan pergerakan peritoneum, dan dapat menunjukkan adanya peritonitis
yang masih meragukan. Perkusi juga dapat menunjukan bunyi timpani akibat dilatasi lambung akut
di kuadran atas atau bunyi redup bila ada hemiperitoneum.

Auskultasi
Melalui auskultasi ditentukan apakah bising usus ada atau tidak. Darah intraperitoneum yang
bebas atau kebocoran (ekstravasasi) abdomen dapat memberikan ileus, mengakibatkan hilangnya
bunyi usus. Cedera pada struktur berdektan seperti tulang iga, tulang belakang, panggul juga dapat
menyebabkan ileus meskipun tidak ada cedera di abdomen dalam, sehingga tidak adanya bunyi usus
bukan berarti pasti ada cedera intra-abdominal.

c) Pemeriksaan penunjang
Selanjutnya, luka retroperitoneal dan panggul tidak dapat dikesampingkan hanya didasarkan pada
temuan fisik. Kami menganggap bahwa evaluasi abdomen yang objektif diperlukan dan harus didapatkan
dengan memanfaatkan salah satu modalitas diagnostik yang tersedia di samping pemeriksaan fisik. Tes
pilihan akan tergantung pada stabilitas hemodinamik pasien dan keparahan cedera terkait.
Pasien hemodinamik stabil dengan trauma tumpul dan kondisi yang memadai dievaluasi oleh studi
USG abdomen atau CT, kecuali luka parah lain mengambil prioritas dan pasien harus pergi ke ruang
operasi sebelum evaluasi perut objektif. Dalam kasus seperti itu, peritoneal lavage diagnostik biasanya
dilakukan di ruang operasi untuk menyingkirkan cedera intra-abdomen dan memerlukan eksplorasi
bedah segera. Pasien trauma tumpul dengan ketidakstabilan hemodinamik harus dievaluasi dengan USG
di ruang resusitasi, jika tersedia, atau dengan lavage peritoneum untuk menyingkirkan cedera intra-
abdomen sebagai sumber hilangnya darah dan hipotensi.

Pemeriksaan Rontgen
Pemeriksaaan ronsen servikal lateral, toraks anteroposterior (AP), dan pelvis adalah pemeriksaan
yang harus dilakukan pada penderita dengan multitrauma. Pada penderita yang hemodinamik
normal maka pemeriksaan ronsen abdomen dalam keadaan terlentang dan berdiri (sambil
melindungi tulang punggung) mungkin berguna untuk mengetahui uadara ekstraluminal di
retroperitoneum atau udara bebas di bawah diafragma, yang keduanya memerlukan laparatomi
segera. Hilangnya bayangan pinggang (psoas shadow) juga menandakan adanya cedera
retroperitoneum. Bila foto tegak dikontra-indikasikan karena nyeri atau patah tulang punggung,
dapat digunakan foto samping sambil tidur (left lateral decubitus) untuk mengetahui udara bebas
intraperitoneal.

Diagnostik Peritoneal Lavage (DPL)


Diagnostik peritoneal lavage merupakan tes cepat dan akurat yang digunakan untuk mengid
entifikasi cedera intra-abdomen setelah trauma tumpul pada pasien hipotensi atau tidak responsif
tanpa indikasi yang jelas untuk eksplorasi abdomen.
Pemeriksaan ini harus dilakukan oleh tim bedah yang merawat penderita dengan hemodinamik
abnormal dan menderita multitrauma, teristimewa kalau terdapat situasi sebagai berikut :
Perubahan sensorium cedera kepala,intoksikasi alkohol, penggunaan obat terlarang.
Perubahan perasaan cedera jaringan saraf tulang belakang.
Cedera pada struktur berdekatan tulang iga bawah, panggul, tulang belakang dari pinggang
bawah (lumbar spine).
Pemeriksaan fisik yang meragukan.
Antisipasi kehilangan kontak panjang dengan pasien

Pemeriksaan fisik awal abdomen sering gagal untuk mendeteksi cedera abdomen yang signifikan
dalam konteks trauma multisistem. Penundaan dalam mendiagnosis menyebabkan peningkatan
angka morbiditas dan kematian, rawat inap berkepanjangan, dan akhirnya, biaya kesehatan lebih
besar. Pengenalan Diagnostik Peritoneal Lavagediagnostik (DPL) pada tahun 1965 memberikan
metode yang aman dan murah untuk dengan cepat mengidentifikasi ancaman cedera
intraperitoneal. Meskipun popularitas yang luas biasa dari CT scan di Amerika Serikat dan
ultrasonografi di Eropa dan Jepang, kami percaya DPL tetap merupakan bagian integral dari evaluasi
pasien trauma abdomen.

Ada tiga metode dasar memasukkan kateter DPL ke dalam rongga peritoneal. Pendekatan
tertutup terdiri dari memasukkan kateter dalam motode blind percutaneus. Masalah utama dengan
pendekatan ini adalah kedalaman penetrasi tidak dapat terukur, yang membuat struktur
intraperitoneal atau retroperitoneal mengalami risiko perforasi. Sayangnya, teknik Seldinger wire
pada orang dewasa masih kurang optimal karena kurangnya pengembalian lavage. Prosedur
terbuka, melintasi dinding perut dengan visualisasi langsung, lebih aman, tapi menghabiskan lebih
banyak waktu, dan udara dapat masuk ke dalam rongga peritoneum. Kami lebih suka teknik
semiopen dilakukan pada cincin infraumbilical sebagai solusinya, pendekatan ini cepat, mudah, dan
sangat dapat diandalkan. Prosedur yang sama dapat digunakan pada pasien dengan fraktur panggul
karena hematoma yang membesar di anterior dibatasi oleh cincin infraumbilical.

Sebelum memperkenalkan kateter dan DPL, kandung kemih yang membesar didekompresi
dengan NGT dan kateter Foley. Daerah periumbilikalis dicukur, disiapkan dengan solusi povidone-
iodida, dan dibungkus secara steril. Daerah ini di anestesi dengan anestesi lokal (1% tanpa epinefrin
Xylocaine). Sebuah sayatan melengkung dibuat untuk satu sisi umbilikus, pada tingkat cincin
infraumbilical. Keuntungan dari membuat sayatan pada daerah ini adalah vaskularitas yang relatif
sedikit, kurangnya lemak preperitoneal, dan dinding dari peritoneum yang tidak keras karena
dihasilkan dari sisa-sisa arteri umbilikalis dan urachus. Sayatan dilakukan ke linea alba, sambil
memastikan hemostasis pasien secara teliti. Sebuah sayatan 5mm dibuat di linea alba, dan ujung-
ujung bebasnya difiksir dengan klem. Sementara meninggikan dinding perut dengan traksi pada
klem, kateter dialisis standar dengan trocar kemudian dimasukkan ke dalam rongga peritoneum ke
arah panggul. Setelah kateter dimasukkan ke dalam peritoneum, trocar ditarik dan kateter diarahkan
ke panggul.

Kriteria standar untuk lavage peritoneal yang positif meliputi aspirasi setidaknya 10 mL darah,
lavage efluen berdarah, sel darah merah hitung lebih besar dari 100.000 / mm3, sel darah putih
hitung lebih besar dari 500/mm3, amilase lebih besar dari 175 IU / dL, atau deteksi empedu, bakteri,
atau serat makanan. Indikasi dan kontraindikasi untuk peritoneal lavage tercantum dalam Kotak 20-
3. Tes ini sangat sensitif terhadap adanya darah intraperitoneal, namun, spesifisitas yang rendah dan
karena tes positif mendorong eksplorasi bedah, sejumlah besar eksplorasi akan nontherapeutic. Luka
signifikan juga mungkin terlewatkan oleh peritoneal lavage diagnostik. trauma diafragma, hematoma
retroperitoneal, dan ginjal, pankreas, kandung kemih luka duodenum, usus kecil, dan sering kurang
terdiagnosis oleh peritoneal lavage saja. Komplikasi jarang terjadi dan sebagian besar terkait dengan
cedera iatrogenik disebabkan selama penyisipan kateter ke dalam rongga perut. Sebuah teknik semi-
terbuka atau terbuka menjadi metode yang disukai untuk menghindari atau mengurangi timbulnya
komplikasi tersebut.

Diagnostik hasil lavage peritoneum dapat menyesatkan dengan adanya patah tulang panggul.
Hasil positif palsu diharapkan karena perdarahan dari retroperitoneum ke dalam rongga peritoneal.
Luka perut dan sisi anterior dapat secara akurat dievaluasi oleh peritoneal lavage. Hasil positif palsu
sering terjadi setelah peritoneal lavage karena perdarahan dari dinding perut, sehingga
meningkatkan jumlah eksplorasi negatif. Kelemahan lain peritoneal lavage potensi adalah akurasi
rendah dalam diagnosis cedera viskus berongga. Masih ada perdebatan mengenai kriteria positif
yang paling tepat untuk menentukan ambang batas untuk eksplorasi bedah setelah menusuk luka
perut. Jika jumlah sel darah merah 1000/mm3 dianggap, jumlah eksplorasi negatif mungkin di atas
20%. Jika hitungan 100.000 / mm3 dianggap, tingkat cedera terjawab akan mendekati 5%. Tidak ada
konsensus mengenai hal ini, meskipun pusat-pusat trauma yang paling menggunakan ambang
rendah (jumlah sel antara 1000 dan 5000/mm3) untuk eksplorasi.

Diagnosis luka tusuk abdomen penetrasi perut anterior dapat dievaluasi dengan diagnostik
peritoneal lavage dalam upaya untuk menentukan apakah pasien berada dalam keadaan gawat
darurat atau tidak. Pasien dengan hemodinamik stabil disertai pemeriksaan fisik yang normal
diperiksa dan dievaluasi dengan peritoneal lavage tertutup. Jika jumlah sel darah merah dalam cairan
lavage lebih besar dari 1000/mm3, pasien dirawat untuk observasi. Pasien dengan hemodinamik
stabil disertai eviserasi tapi tanpa nyeri perut harus diobservasi di ugd. Pada 44 pasien jumlah sel
darah merah kurang dari 1000/mm3, 34 dipulangkan ke rumah, dan tidak diperlukan laparotomi.
Tiga puluh delapan pasien diamati karena jumlah sel darah merah lebih besar dari 1000/mm3. Dari
delapan pasien yang menunjukkan tanda-tanda peritoneal dan menjalani laparotomi eksplorasi, ada
lima pasien yang positif. Penulis menyimpulkan bahwa pasien yang mempertahankan luka tusukan
dapat pulang dengan aman ke rumah jika jumlah sel darah merah kurang dari 1000/mm3, asalkan
hemodinamik stabil dan tidak memiliki indikasi yang jelas, berdasarkan pemeriksaan fisik, dan untuk
intervensi operatif. Tetapi pendekatan ini memerlukan validasi lebih lanjut

Ultrasonografi (USG)
USG telah sering digunakan dalam beberapa tahun terakhir di Amerika Serikat untuk evaluasi
pasien dengan trauma tumpul abdomen. Tujuan evaluasi USG untuk mencari cairan intraperitoneal
bebas. Hal ini dapat dilakukan secepatnya, dan ini sama akuratnya dengan diagnostik peritoneal
lavage untuk mendeteksi hemoperitoneum. USG juga dapat mengevaluasi hati dan limpa meskipun
tujuan USG adalah untuk mencari cairan bebas di intrapreitoneal. Mesin portabel dapat digunakan di
ruangan resusitasi atau di gawat darurat pada pasien dengan hemodinamik stabil tanpa menunda
tindakan resusitasi pada pasien tersebut. Keuntungan lain dari USG daripada diagnostik peritoneal
lavage adalah USG merupakan tindakan yang non-invasif. Tidak diperlukan adanya tindakan lebih
lanjut setelah USG dinyatakan negatif pada pasien yang stabil. Hasil CT dari abdomen biasanya sama
dengan USG bila hasilnya positif pada pasien yang stabil. Keuntungan dan kerugian dari USG perut
terdapat dalam Kotak 20-4. Sensitivitas berkisar dari 85% sampai 99%, dan spesifisitas dari 97%
sampai 100%.
Penggunaan USG untuk evaluasi trauma tembus abdomen dilaporkan terbatas. Baru-baru ini,
sebuah studi prospektif dilakukan untuk mengevaluasi kegunaan USG sebagai tes skrining pada
trauma tembus dan pada trauma tumpul. Penelitian ini melibatkan luka tusuk serta luka tembak.
Sensitivitas USG keseluruhan adalah 46% dan spesifisitas adalah 94%. Studi ini menunjukkan bahwa
USG pada trauma tembus tidak dapat diandalkan seperti pada trauma tumpul. Jika USG positif,
pasien harus dioperasi. Jika negatif, pemeriksaan lebih lanjut harus dilakukan.

CT Scan Abdomen
CT adalah metode yang paling sering digunakan untuk mengevaluasi pasien dengan trauma
abdomen tumpul yang stabil. Retroperitoneum dapat dievaluasi dengan baik oleh CT. Indikasi dan
kontraindikasi CT perut tercantum dalam Kotak 20-5. Kelemahan dari CT adalah bahwa pasien harus
dibawa ke ruangan radiologi, dan mahal dibandingkan dengan tes lainnya. CT juga mengevaluasi
cedera organ padat, dan pada pasien stabil dengan USG positif itu diindikasikan cedera organ dan
perlu untuk evaluasi dengan menggunakan ekstravasasi kontras. Jika ekstravasasi media kontras
terlihat, bahkan dalam trauma hepar atau trauma limpa, maka suatu laparotomi eksplorasi atau,
yang lebih baru lagi yaitu angiografi dan embolisasi harus dilakukan. Indikasi lain untuk CT adalah
dalam evaluasi pasien dengan cedera organ padat yang awalnya dirawat dengan keadaan non-
operatif yang disertai adanya penurunan nilai hematokrit. Kekurangan CT yang paling utama adalah
ketidakmampuan untuk mendiagnosa cederal organ viskus berongga (Kotak 20-6). Biasanya, adanya
cairan bebas pada CT abdomen tanpa cedera organ padat harus diwaspadai adanya cedera pada
mesenterika, usus, atau kandung kemih, dan laparotomi eksplorasi harus segera dilakukan.
Salah satu masalah yang paling menarik tentang evaluasi obyektif trauma tumpul abdomen oleh
CT adalah apa yang harus dilakukan ketika ditemukan adanya cairan bebas tanpa tanda-tanda organ
padat atau cedera mesenterika. Ditambah dengan sensitivitas yang relatif kurang bagi CT untuk
mendiagnosa cedera viskus berongga, itu menciptakan dilema bagi dokter bedah. Pilihan yang baik
untuk pasien adalah pembedahan eksplorasi abdomen dan menerima tingkat resiko yang signifikan
pada laparotomi nontherapeutic atau untuk mengamati dan "bertindak" ketika tanda-tanda
peritoneal berkembang, mengingat bahwa keterlambatan dalam diagnosis cedera usus adalah fatal.
Sebuah survei terbaru dari dokter bedah trauma yang ditanya apa yang akan menjadi
penatalaksanaan yang tepat pasien dalam keadaan ini menunjukkan berbagai tanggapan: 42% akan
melakukan diagnostik peritoneal lavage, 28% akan mengamati pasien, 16% laparotomy eksplorasi,
dan 12% akan mengulangi CT perut. Keakuratan CT berkisar antara 92% sampai 98% dengan tingkat
positif palsu dan negatif palsu yang rendah.
Meskipun penggunaan CT abdomen dalam evaluasi trauma tembus abdomen telah dibatasi
karena sensitivitas rendah dalam mendiagnosis cedera usus dan cedera diafragma, teknologi baru
(CT spiral) telah dievaluasi dalam situasi ini dan dengan demikian diharapkan dapat menjadi bahan
pertimbangan penatalaksanaan nonoperative pada kasus tertentu. Manajemen nonoperative luka
tusukan di perut anterior telah ditekankan karena tingkat morbiditas tinggi setelah laparotomi
nontherapeutic. Dalam satu studi, triple kontras heliks CT dievaluasi sebagai alat diagnostik pada
cedera tembus abdomen. Penulis menyimpulkan bahwa CT akurat untuk memprediksi kebutuhan
laparotomi pada 95% pasien.

V. TATALAKSANA
a) Non Operatif
Pada pasien cedera tumpul hepatik dengan hemodinamik stabil tanpa indikasi lain untuk eksplorasi
penanganan yang terbaik adalah dengan pendekatan konservatif nonoperatif. Pasien yang stabil tanpa
tanda-tanda peritoneal lebih baik dievaluasi dengan menggunakan USG, dan jika ditemukan kelainan, CT
scan dengan kontras harus dilakukan. Dengan tidak adanya ekstravasasi kontras selama fase arteri CT
scan, cedera yang ada dapat ditangani secara nonoperatif. Kriteria klasik untuk penanganan
nonoperative pada trauma hepar diantaranya adalah stabilitas hemodinamik, status mental normal,
tidak adanya indikasi yang jelas untuk laparotomi seperti tanda peritoneum, trauma hepar kelas rendah
(kelas I-III), dan kebutuhan transfusi kurang dari 2 unit darah.

Baru-baru ini, kriteria ini telah ditantang dan indikasi yang lebih luas untuk manajemen nonoperative
telah digunakan. Telah menunjukkan bahwa sebagian besar pasien yang dipantau hematokritnya secara
serial dan tanda-tanda vital bukan oleh pemeriksaan abdomen serial, yang merupakan alasan mengapa
status mental yang utuh bukan sine qua non untuk manajemen nonoperative. Selanjutnya, jika
hematokrit turun, sebagian besar pasien akan menjalani CT scan ulang untuk mengevaluasi dan
mengukur hemoperitoneum tersebut. Keberhasilan melaporkan keseluruhan manajemen nonoperative
cedera tumpul hati sebesar 90%. Tingkat keberhasilan penanganan nonoperatif dari nilai cedera I hingga
III sekitar 95%, sedangkan untuk cedera kelas IV dan V tingkat keberhasilan menurun menjadi 75%
sampai 80%. Dengan menggunakan angiografi dan embolisasi superselective pada pasien dengan
perdarahan yang persisten, tingkat keberhasilan mungkin sebenarnya lebih tinggi.

Embolisasi angiografik telah ditambahkan ke protokol untuk manajemen nonoperative trauma


hepar di beberapa institusi dalam upaya untuk mengurangi kebutuhan untuk transfusi darah dan jumlah
operasi.

Pasien dirawat di unit perawatan intensif untuk dipantau tanda-tanda vital dan hematokritnya.
Biasanya, setelah 48 jam pasien dipindahkan ke unit perawatan intermediate, di mana mereka mulai diet
oral, namun mereka tetap istirahat sampai hari ke 5 post-injury. Aktivitas fisik dapat normal kembali
setelah 3 bulan dari waktu cedera. Sebuah studi multicenter baru-baru ini mencoba untuk menentukan
faktor risiko dini morbiditas setelah manajemen nonoperative pada trauma tumpul hepar yang parah
(kelas III-V). Para penulis melaporkan tingkat komplikasi dari masing-masing trauma hepar kelas III, IV
dan V yaitu 5%, 22%, dan 52%.

Saat ini, tidak ada kriteria seleksi tunggal dapat memprediksi pasien akan gagal dalam manajemen
nonoperatif. Croce dan rekan melakukan analisa prospektif pada 112 pasien yang dirawat secara
nonoperatif selama periode 22-bulan. Mereka melaporkan tingkat kegagalan 11% (12 pasien), dengan
lima kegagalan yang terkait hati. Tidak ada hubungan antara kelas cedera dan meningkatnya tingkat
kegagalan. Para penulis menyimpulkan bahwa manajemen nonoperative aman terlepas dari keparahan
cedera pada pasien hemodinamik stabil; itu mengakibatkan lebih rendah terjadinya komplikasi septik
perut dan kebutuhan transfusi menurun. Mereka juga membandingkan 70 pasien dengan grade III-V
ditangani nonoperatif dengan 50 pasien yang menjalani intervensi bedah. Transfusi darah pada 48 jam
terdiri dari 2,2 dan 5,8 unit, dan kematian adalah 7% dan 4% untuk kontrol nonoperative dan operasi.
Meskipun kebutuhan transfusi sedikit lebih rendah pada kelompok nonoperative, tidak ada perbedaan
yang bermakna dalam hal mortalitas.

Manajemen pasien dengan ekstravasasi kontras selama fase arteri CT masih diperdebatkan. Fang
dan rekan mengusulkan sistem klasifikasi berdasarkan lokasi dan karakter ekstravasasi dan penyatuan
bahan kontras dari laserasi hati pada CT. Pada tipe 1, ada kontras ekstravasasi ke rongga peritoneum.
Semua pasien dalam kategori ini yang dibutuhkan intervensi operasi. Tipe 2 terdiri dari hemoperitoneum
dan ekstravasasi bahan kontras dalam parenkim hati. Para penulis merekomendasikan bahwa pasien
dalam kategori ini menjalani angiografi dengan embolisasi, meskipun beberapa akan memerlukan
intervensi operasi. Tipe 3 ditandai dengan tidak hemoperitoneum dan ekstravasasi bahan kontras dalam
parenkim hati.

Angiografi diperlukan dalam subkelompok pasien, dan hasilnya biasanya baik. Ciraulo dan rekan
kerja dianalisis kelompok dari 11 pasien yang membutuhkan resusitasi cairan yang terus menerus,
dengan 7 embolisasi yang membutuhkan. Semua upaya embolisasi berhasil. Para penulis menyimpulkan
bahwa hati embolisasi arteri merupakan alternatif dalam pengelolaan pasien dengan cedera hati yang
berat yang memerlukan resusitasi cairan yang terus menerus, sehingga menjembatani pilihan terapeutik
intervensi operatif dan nonoperative

Perhatian yang paling penting dari manajemen nonoperative adalah potensi untuk cedera terjawab,
terutama perforasi viskus berongga. Keterlambatan dalam mendiagnosis cedera viskus berongga
dikaitkan dengan morbiditas dan mortalitas yang signifikan meningkat.

b) Operatif
Rencana untuk melakukan operasi yang mendesak merupakan triage yang dilakukan di UGD dan
keputusan untuk operasi dibuat oleh ahli bedah trauma. Ruang operasi di banyak rumah sakit tidak
segera berdekatan dengan departemen gawat darurat dan dapat dihapus lebih lanjut jika pasien harus
menjalani evaluasi di departemen radiologi. Jadi, waktu transportasi pasien ke ruang operasi sangat
penting dan tergantung pada mekanisme cedera, status fisiologis pasien dan respon terhadap resusitasi,
hasil studi diagnostik kritis dan konsultasi yang tepat, dan ketersediaan ruang operasi.

Untuk pasien dengan syok refrakter menyusul luka tembak perut dapat dirawat dalam unit gawat
darurat tinggal dalam waktu yang singkat (misalnya 10 sampai 15 menit), sedangkan pasien yang stabil
dengan trauma tumpul multisistem mungkin dapat tetap dirawat dalam ruang unit gawat darurat atau
departemen radiologi untuk beberapa waktu. Triase yang prematur untuk memasukkan pasien ke ruang
operasi dapat mengakibatkan laparotomy yang tidak perlu, penundaan dalam evaluasi keadaan pasien,
atau ancaman terhadap anggota tubuh sebagai cedera extra abdominal. Namun, penundaan di unit
gawat darurat dapat mengakibatkan kerusakan fisiologis yang mengarah ke shock ireversibel dan
koagulopati. Transfer ke ruang operasi harus dilakukan oleh personel yang berpengalaman siap
mengelola keadaan darurat akut. Kesalahan umum meliputi manajemen jalan nafas yang tidak memadai,
tabung oksigen, garis aman, dan pemantauan pasien yang tidak baik. Setiap rumah sakit harus
menetapkan protokol untuk memastikan transportasi pasien tepat waktu, efisien, dan aman dari ruang
resusitasi gawat darurat menuju ke ruang operasi.

Pasien yang datang dengan tanda-tanda peritonitis atau massive hemoperitoneum adalah
diintubasi, resusitasi cairan, dan ditransfer ke ruang operasi untuk eksplorasi abdomen. Pasien yang
mengalami cedera akibat transfer energi yang tinggi, seperti ketika mabuk atau dengan cedera kepala
secara bersamaan, menjalani DPL sebagai evaluasi awal. DPL yang positif pada pasien yang memiliki
resiko tinggi seperti ini memerlukan eksplorasi abdomen yang segera. Pasien dengan hemodinamik yang
stabil yang memiliki hasil DPL samar-samar (20,000-100,000 RBC/mm3) menjalani CT scan abdomen
untuk menyingkirkan cedera organ utama yang solid. Cedera limpa dan hati pada pasien dewasa
dieksplorasi dan cedera yang lebih ringan harus diamati. Pasien yang secara hemodinamik stabil
mengalami cedera akibat dari transfer energy rendah dievaluasi oleh CT scan abdomen dan diamati jika
kelas <III cedera organ visceral padat dikonfirmasi. Atau, jika CT scan tidak tersedia, atau ada beberapa
pasien, DPL digunakan sebagai tes skrining awal dengan hasil positif lebih lanjut ditandai dengan CT scan.
Mereka yang hadir> 12 jam setelah trauma diamati atau dievaluasi dengan CT abdomen, tergantung
pada pemeriksaan awal fisik dan cedera yang berhubungan. Algoritma diagnostik memberikan pedoman
umum untuk evaluasi awal, sebagai informasi lebih lanjut, algoritma ini dimodifikasi sesuai kebutuhan
dengan menyertakan intervensi tambahan atau terapeutik diagnostik. Intervensi ini mungkin termasuk
(1) x-ray mempelajari tulang belakang, dada dan plevis, (2) CT scan kepala, (3) pyelography intravena, (4)
cystourethrography retrograd, (5) duodenography kontras, atau (6) diagnostik atau terapi angiografi.

Algoritma keputusan juga dimodifikasi untuk pasien hamil atau pasien anak. Kehamilan mengubah
kedua kerentanan terhadap cedera tumpul dan respon fisiologis terhadap cedera. Uterus gravid
menempati panggul dan perut bagian bawah dan, karenanya, rentan terhadap berbagai hasil dari
pukulan langsung atau cedera sabuk pengaman. Ini menyebabkan hasil dalam spektrum cedera dari
ringan jaringan lunak kontusio gangguan dinding rahim atau abrupsio plasental dan exsanguination
potensial, serta keguguran janin. Dengan demikian, tata laksana cedera minor dari pasien wanita seperti
ini harus segera dilakukan. Kami secara rutin menggunakan DPL (teknik terbuka) pada pasien hamil
sekaligus mengevaluasi uterus gravid dengan USG, pemantauan janin invasif, atau amniosentesis.

Ketidakstabilan hemodinamik, ruptur uterus, plasenta, gawat janin, dan amniosentesis berdarah
indikasi untuk eksplorasi perut darurat dan evakuasi uterus, dengan kemungkinan terburuk adalah
histerektomi.

Evaluasi trauma pada pediatrik memberi tantangan khusus untuk para klinisi karena dengan ukuran
dan fisiologi yang unik dari anak-anak. Elastisitas tulang rusuk yang lebih rendah dan ukuran dari rongga
abdomen yang relatif besar meningkatkan kerentanan untuk mengalami cedera intra-abdominal. Di sisi
lain, pola cedera ditemui pada populasi pediatrik dan potensi yang lebih besar untuk hemostasis spontan
menjamin pendekatan yang lebih selektif. Hepar dan limpa merupakan cedera yang umum dan sering
orang tua setuju untuk dilakukan tindakan non-operative, sedangkan fraktur pankreas merupakan
kejadian yang sering dan perforasi usus jarang terjadi. Terlepas dari kenyataan ini, kami
mempertahankan sikap agresif terhadap evaluasi abdomen karena keadaan fisiologis yang terbatas pada
anak-anak. DPL terlalu positif pada anak-anak dengan hemodinamik stabil dievaluasi lebih lanjut dengan
CT scan untuk memastikan cedera organ padat yang dapat dikelola. Namun, eksplorasi abdomen awal
dilakukan pada pasien dengan keadaan hemodinamik yang tidak stabil, kebutuhan untuk transfusi darah
sedang berlangsung, dan lavage peritoneal positif oleh enzim.

Anda mungkin juga menyukai