Distribusi Rhtangga Berdasar Derajat Ketahanan Pangan 2005 PDF
Distribusi Rhtangga Berdasar Derajat Ketahanan Pangan 2005 PDF
Abstrak
Kata kunci: derajat ketahanan pangan rumah tangga, kurang dan rawan pangan, distribusi
provinsi
PENDAHULUAN
13
kualitas sumberdaya manusia. Hal ini didasarkan pada pertimbangan bahwa pangan
merupakan kebutuhan dasar bagi manusia, karenanya merupakan hak asasi manusia
untuk tidak mengalami kekurangan pangan.
Ketahanan pangan diartikan sebagai tersedianya pangan dalam jumlah dan
kualitas yang cukup, terdistribusi dengan harga terjangkau dan aman dikonsumsi bagi
masyarakat untuk dapat melakukan aktivitas sehari-hari sepanjang waktu. Dengan
definisi seperti itu, ketahanan pangan tidak hanya cukup sampai tingkat global, nasional,
maupun regional tetapi harus sampai tingkat rumah tangga dan individu.
Berdasarkan data Neraca bahan Makanan tahun 1999, ketersediaan pangan di
Indonesia telah mencapai 3194 Kalori/kapita/hari dan 83,35 gram protein/kapita/hari
(BPS, 1999). Angka ketersediaan pangan tersebut telah melebihi kebutuhan pangan
yang dianjurkan yaitu 2550 kalori/kapita/hari dan 50 gram protein/kapita/hari (WKNPG
VI, 1998). Studi Saliem, et al (2001) menunjukkan bahwa walaupun ketahanan pangan
di tingkat nasional dan regional (provinsi) tergolong aman dan terjamin, namun di
wilayah tersebut masih ditemukan proporsi rumah tangga rawan pangan yang cukup
tinggi. Oleh karenanya penting untuk melakukan identifikasi rumah tangga rawan
pangan di wilayah yang tergolong tahan pangan. Berdasar temuan tersebut, tulisan ini
bertujuan untuk menganalisis distribusi provinsi di Indonesia menurut derajat ketahanan
pangan rumah tangga. Hasil identifikasi ini diharapkan menjadi masukan bagi pengambil
kebijakan pangan dan gizi untuk menetapkan prioritas wilayah dalam rangka pening-
katan ketahanan pangan rumah tangga.
METODE
Data yang digunakan adalah data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas)
tahun 1999 yang bersumber dari Badan Pusat Statistik (BPS). Derajat ketahanan
pangan tingkat rumah tangga diukur dengan menggunakan indikator yang dikembang-
kan oleh Jonsson dan Toole (1991) dalam Maxwell et al. (2000). Pengukuran ini
menggabungkan dua indikator silang antara pangsa pengeluaran pangan dan
kecukupan energi. Batasan untuk kecukupan energi adalah 80 persen dari anjuran (per
unit ekuivalen dewasa), sedangkan batasan pangsa pengeluaran pangan adalah 60
persen dari total pengeluaran rumah tangga.
Pengelompokan rumah tangga dari data SUSENAS dengan menggunakan
kedua indikator tersebut dapat dilihat pada Tabel 1. Terdapat empat tingkatan
ketahanan pangan yaitu : (1) rumah tangga tahan pangan, (2) rumah tangga rentan
pangan, (3) rumah tangga kurang pangan, dan (4) rumah tangga rawan pangan. Selain
analisis secara agregat nasional, dilakukan pula analisis masing-masing provinsi dan
menurut daerah kota dan desa.
14
Tabel 1. Pengukuran Derajat Ketahanan Pangan Tingkat Rumah Tangga
15
pangan terendah (15,61 41,04%) adalah DKI Jakarta, DI Yogyakarta, Jawa Timur,
Irian Jaya, dan Jawa Tengah.
Tabel 2. Distribusi Rumah Tangga di Indonesia Menurut Derajat Ketahanan Pangan dan
Provinsi, Tahun 1999
16
Derajat Ketahanan Pangan Rumah Tangga Menurut Daerah
Apabila derajat ketahanan rumah tangga di masing-masing provinsi di
Indonesia dipilah menurut daerah Tabel 3 menunjukkan keragaan di daerah kota.
Sedangkan keragaan di daerah pedesaan disajikan pada Tabel 4.
Tabel 3. Distribusi Rumah Tangga Kota di Indonesia Menurut Derajat Ketahanan Pangan dan
Provinsi, Tahun 1999
Kota
Provinsi Tahan Pangan Rentan Pangan Kurang Pangan Rawan Pangan
N % N % N % N %
1. Aceh 81 17,47 267 56,21 32 6,74 93 19,58
2. Sumut 191 15,63 526 43,21 135 11,05 368 30,11
3. Sumbar 80 15,84 256 50,69 44 6,71 125 24,75
4. Riau 89 11,87 319 42,53 117 15,60 225 30,00
5. Jambi 60 12,22 186 37,88 64 13,03 181 36,86
6. Sumsel 90 12,61 289 40,48 77 10,78 258 36,13
7. Bengkulu 104 20,93 180 36,22 74 14,89 139 27,97
8. Lampung 102 13,67 309 41,42 92 12,33 243 32,57
9. DKI Jakarta 1130 38,19 462 15,61 1021 34,50 3456 11,69
10. Jabar 723 24,47 843 28,53 686 23,21 703 23,79
11. Jateng 411 15,03 922 33,72 422 15,44 979 35,81
12.DI Yogyakarta 234 23,54 209 21,03 271 27,26 280 28,17
13. Jatim 475 14,62 936 26,66 600 16,46 1237 26,06
14. Bali 109 23,04 66 42,07 53 11,21 112 23,68
15. NTB 67 12,61 304 44,77 64 9,43 224 32,99
16. NTT 79 15,65 216 43,90 50 10,16 148 30,08
17. Kalbar 97 19,40 218 43,60 74 14,80 111 22,20
18. Kalteng 76 15,70 254 52,48 58 11,98 96 19,83
19. Kalsel 87 11,57 369 48,94 90 11,97 207 27,53
20. Kaltim 85 17,35 164 33,47 122 24,90 119 24,29
21. Sulut 144 30,70 219 46,70 26 5,54 80 17,06
22. Sulteng 96 19,96 188 39,29 69 14,35 127 26,40
23. Sulsel 190 20,86 336 37,10 159 17,45 224 24,59
24. Sultra 126 26,07 193 39,31 62 16,70 66 17,92
25. Maluku 90 36,59 63 25,61 67 27,24 26, 10,57
26. Irja 124 27,19 205 44,96 49 10,75 78 17,11
Indonesia 5163 20,48 86311 34,26 4596 18,23 6817 27,03
Sumber: BPS, data SUSENAS 1999 (diolah)
17
Sementara itu lima provinsi dengan proporsi rumah tangga rawan pangan terendah
(10,57 19,58%) berturut-turut adalah Maluku, DKI Jakarta, Sulawesi Utara, Irian Jaya,
dan Aceh. Sedangkan proporsi rumah tangga tahan pangan di daerah kota tertinggi
adalah Provinsi Maluku (36,59%) dan terendah di Provinsi Kalimantan Selatan
(11,57%). Data pada Tabel 3 menunjukkan bahwa masalah peningkatan ketahanan
pangan di daerah kota di sebagian besar provinsi di Indonesia masih memerlukan
perhatian mengingat masih tingginya proporsi rumah tangga rawan pangan di sebagian
besar daerah kota di Indonesia.
Data pada Tabel 3 konsisten dengan keragaan secara agregat, di daerah kota
persentase rumah tangga rentan pangan relatif tinggi (dibanding kelompok lain) di
hampir semua provinsi di Indonesia. Fakta ini mengindikasikan pentingnya prioritas
program peningkatan pendapatan dalam upaya meningkatkan ketahanan pangan rumah
tangga. Hal ini mengingat pada kelompok rentan pangan masalah pendapatan atau
daya beli merupakan kunci bagi mereka untuk meningkatkan akses terhadap pangan.
Hal serupa ditemukan di daerah pedesaan, data pada Tabel 4 menunjukkan
bahwa secara umum proporsi rumah tangga rentan pangan persentasenya tertinggi
dibanding kelompok lain dengan rataan hampir 57 persen. Sementara itu kelompok
rumah tangga yang tahan pangan di daerah pedesaan hanya sekitar 6 persen, rawan
pangan lebih dari 32 persen, dan sisanya adalah kelompok rumah tangga kurang
pangan. Lima provinsi dengan proporsi rumah tangga rawan pangan tertinggi (54,24
37,91%) berturut-turut adalah Irian Jaya, Jawa Timur, NTT, Jawa Tengah, dan
Kalimantan Timur. Sedangkan lima provinsi dengan proporsi rumah tangga rawan
pangan terendah (12,82 22,76%) berturut-turut adalah Bali, Sumatera Barat, Aceh,
Sumatera Utara, dan Sulawesi Utara.
Apabila keragaan distribusi provinsi menurut derajat ketahanan pangan di
daerah kota (Tabel 3) dan desa (Tabel 4) dibandingkan, terdapat variasi antar provinsi
tentang besarnya proporsi rumah tangga rawan pangan di kota dan desa. Di sebagian
besar provinsi, proporsi rumah tangga rawan pangan di daerah desa lebih tinggi dari
pada di kota. Hal menarik lain adalah bahwa di daerah pedesaan provinsi-provinsi di
Jawa umumnya proporsi rumah tangga rawan pangan relatif tinggi, padahal secara
geografis daerah pedesaan Jawa umumnya merupakan daerah penghasil pangan.
Fakta tersebut mendukung temuan sebelumnya bahwa masalah akses atau
keterjangkauan daya beli terhadap pangan merupakan faktor utama dalam pemantapan
ketahanan pangan rumah tangga di sebagian provinsi di Indonesia.
Apabila hanya memperhatikan indikator pangsa pengeluaran pangan sebagai
proksi indikator ekonomi, maka rumah tangga yang berpendapatan rendah adalah
rumah tangga yang termasuk kategori rentan pangan dan rawan pangan. Proporsi
rumah tangga kedua kategori tersebut di desa mencapai 89 persen, sedangkan di kota
sebesar 61 persen. Hal ini membuktikan pula bahwa aspek pendapatan untuk
meningkatkan akses terhadap pangan merupakan faktor penting dalam peningkatan
ketahanan pangan rumah tangga. Selain itu apabila daerah kota dan desa
18
dibandingkan, akses rumah tangga terhadap pangan di kota lebih baik daripada di desa.
Fakta tersebut menuntut para pengambil kebijakan pangan dan gizi untuk memberikan
prioritas peningkatan ketahanan pangan rumah tangga daerah pedesaan.
Tabel 4. Distribusi Rumah Tangga Pedesaan di Indonesia Menurut Derajat Ketahanan Pangan
dan Provinsi, Tahun 1999
Desa
Provinsi Tahan Pangan Rentan Pangan Kurang Pangan Rawan Pangan
N % N % N % N %
1. Aceh 45 3,90 855 74,15 13 1,13 240 20,82
2. Sumut 55 3,39 1182 72,87 22 1,36 363 22,38
3. Sumbar 81 6,53 823 74,44 22 1,77 214 17,26
4. Riau 15 1,73 624 72,06 14 1,62 213 24,60
5. Jambi 20 3,17 397 63,02 7 1,11 206 32,70
6. Sumsel 39 3,09 788 62,44 36 2,85 399 31,62
7. Bengkulu 34 6,80 307 61,40 17 3,40 142 28,40
8. Lampung 73 5,71 748 58,53 43 3,38 414 32,39
9. DKI Jakarta - - - - - - - -
10. Jabar 462 9,29 3029 60,91 255 5,13 1227 24,67
11. Jateng 289 6,30 2082 45,41 343 7,48 1871 40,81
12DI Yogyakarta 137 11,00 582 42,86 110 8,83 465 37,32
13. Jatim 297 5,60 830 41,14 347 6,54 2477 46,72
14. Bali 145 16,02 597 64,31 62 6,85 116 12,82
15. NTB 59 4,31 839 60,67 32 2,34 447 32,68
16. NTT 53 2,78 597 50,39 38 3,21 517 43,63
17. Kalbar 24 1,75 839 61,11 36 2,62 474 34,52
18. Kalteng 5 0,81 406 65,48 6 0,97 203 32,74
19. Kalsel 57 5,81 636 84,83 21 2,14 267 27,22
20. Kaltim 33 5,39 301 49,18 46 7,52 232 37,91
21. Sulut 105 11,77 555 62,22 29 3,25 203 22,76
22. Sulteng 54 8,96 345 57,21 30 4,98 174 28,86
23. Sulsel 133 10,30 797 61,74 30 2,32 331 25,64
24. Sultra 34 5,68 364 60,57 31 5,18 172 28,62
25. Maluku 32 9,91 181 56,04 27 8,36 83 25,70
26. Irja 10 3,03 111 33,64 30 9,09 179 54,24
Indonesia 2271 6,35 20194 56,50 1657 4,61 11629 32,54
Sumber: BPS, data SUSENAS 1999 (diolah)
19
menunjukkan bahwa pendapatan dari usahatani padi saja tidak memberikan
kesejahteraan yang cukup bagi petani. Diversifikasi usahatani dengan komoditas yang
memiliki prospek pasar (high value commodity) menunjukkan peningkatan pendapatan
yang siginifikan bagi rumah tangga di wilayah berbasis sawah. Selain itu perluasan
kesempatan kerja di luar usahatani maupun usaha non pertanian juga merupakan
alternatif untuk meningkatkan pendapatan rumah tangga di pedesaan. Dalam hal ini
pengembangan industri pengolahan hasil pertanian di wilayah pedesaan berbahan baku
setempat menjadi alternatif pilihan yang patut dipertimbangkan.
Peningkatan pendapatan rumah tangga disertai dengan peningkatan
pengetahuan dan penyadaran aspek pangan dan gizi diharapkan mampu meningkatkan
akses rumah tangga terhadap pangan yang dibutuhkan. Mengingat sumberdaya
pembangunan yang dimiliki pemerintah relatif terbatas, maka partisipasi dan kepedulian
seluruh komponen masyarakat diharapkan terlibat dalam upaya peningkatan ketahanan
pangan rumah tangga. Selain itu untuk mengefektifkan sumberdaya yang terbatas,
maka penentuan kelompok sasaran dalam peningkatan ketahanan pangan juga penting
diperhatikan. Kajian ini baru mengungkap keragaan masing-masing provinsi di
Indonesia menurut derajat ketahanan pangan rumah tangga, untuk operasionalisasi
penentuan kelompok sasaran program masih diperlukan identifikasi lebih lanjut sampai
tingkat kabupaten, kecamatan, dan desa. Untuk selanjutnya dilakukan intervensi
penanganan rumah tangga rawan pangan, rentan pangan, dan kurang pangan. Sesuai
dengan indikator yang digunakan, penanganan masing-masing kelompok rumah tangga
tersebut memerlukan strategi yang berbeda.
Intervensi bagi kelompok rumah tangga kurang pangan diprioritaskan pada
upaya penyadaran dan peningkatan pengetahuan pangan dan gizi. Untuk kelompok
rumah tangga rentan pangan, karena secara ekonomi kurang memiliki kemampuan
maka intervensi lebih diprioritaskan pada upaya peningkatan pendapatan untuk lebih
akses terhadap pangan sumber protein, vitamin dan mineral (gizi beragam dan
seimbang). Sementara itu bagi kelompok rumah tangga rawan pangan, dalam jangka
pendek diperlukan bantuan pangan (program raskin misalnya) disertai bimbingan,
peningkatan dan pemanfaatan sumberdaya keluarga untuk meningkatkan pendapatan,
daya beli dan akses terhadap pangan.
Kesimpulan
Secara nasional, pada tahun 1999 lebih dari 30 persen rumah tangga di
Indonesia tergolong rawan pangan, di daerah kota sekitar 27 persen dan di pedesaan
sekitar 33 persen. Dari 26 provinsi di Indonesia 5 provinsi yang memiliki proporsi rumah
tangga rawan pangan tertinggi adalah Jawa Timur, Nusa Tenggara Timur, Jawa
20
Tengah, Jambi, dan DI Yogyakarta; sedangkan provinsi dengan tingkat kerawanan
pangan rendah antara lain adalah Sumatera Barat, DKI Jakarta, dan Bali.
Proporsi rumah tangga yang tergolong rentan pangan (secara ekonomi kurang
baik tetapi konsumsi energi cukup) di Indonesia mencapai 47 persen, di kota dan desa
masing-masing sebesar 34 persen dan 56 persen. Sementara itu proporsi rumah
tangga yang termasuk kurang pangan (secara ekonomi baik tetapi konsumsi energi
kurang) di Indonesia sekitar 10 persen, di daerah kota dan desa masing-masing sebesar
18 persen dan 5 persen.
Implikasi Kebijakan
Berdasar hasil identifikasi tersebut studi ini menyarankan pentingnya dilakukan
identifikasi dan pemetaan wilayah berdasar derajat ketahanan pangan sampai tingkat
kabupaten, kecamatan dan desa. Hal ini penting untuk menetapkan prioritas dan fokus
sasaran intervensi kebijakan pangan dan gizi dalam upaya pemantapan ketahanan
pangan rumah tangga. Mengingat penyebab terjadinya kurang pangan, rentan pangan,
maupun rawan pangan berbeda, maka bentuk intervensi yang diperlukan juga berbeda.
Intervensi bagi kelompok rumah tangga kurang pangan diprioritaskan pada
upaya penyadaran dan peningkatan pengetahuan pangan dan gizi. Untuk kelompok
rumah tangga rentan pangan, karena secara ekonomi kurang memiliki kemampuan
maka intervensi lebih diprioritaskan pada upaya peningkatan pendapatan untuk lebih
akses terhadap pangan sumber protein, vitamin dan mineral (gizi beragam dan
seimbang). Sementara itu bagi kelompok rumah tangga rawan pangan, dalam jangka
pendek diperlukan bantuan pangan (program raskin misalnya) disertai bimbingan,
peningkatan dan pemanfaatan sumberdaya keluarga untuk meningkatkan pendapatan,
daya beli dan akses terhadap pangan dan pada gilirannya dapat meningkatkan
ketahanan pangan rumah tangga.
DAFTAR PUSTAKA
21
Maxwell,D; C. Levin; M.A.Klemeseu; M.Rull; S.Morris and C.Aliadeke. 2000. Urban Livelihoods
and Food Nutrition Security in Greater Accra, Ghana. IFPRI in Collaborative with
Noguchi Memorial for Medical Research and World Health Organization. Research
Report No. 112. Washington,D.C.
Puslibang Sosek Pertanian. 2003. Prospek Diversifikasi Usahatani di Lahan Sawah. Laporan
Hasil Penelitian. Kerjasama Puslitbang Sosek Pertanian dengan
BAPPENAS/USAID/DAI. Bogor.
Saliem,H.P.; E.M. Lokollo; T.B. Purwantini; M. Ariani dan Y. Marisa. 2001. Analisis Ketahanan
Pangan Tingkat Rumah tangga dan Regional. Laporan Hasil Penelitian Puslitbang
Sosek Pertanian. Bogor.
Soehardjo. 1996. Pengertian dan Kerangka Pikir Ketahanan Pangan Rumah tangga. Makalah
disampaikan pada Lokakarya Ketahanan Pangan Rumah tangga. Yogyakarta. 26-30
Mei.
22