Anda di halaman 1dari 10

DISTRIBUSI PROVINSI DI INDONESIA MENURUT

DERAJAT KETAHANAN PANGAN RUMAH TANGGA


Handewi P.S. Rachman, Mewa Ariani, dan T.B. Purwantini

Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian


Jl. A. Yani No. 70 Bogor 16161

Abstrak

Penelitian bertujuan untuk mengidentifikasi keragaan provinsi-provinsi di Indonesia


menurut derajat ketahanan pangan rumah tangga. Analisis dilakukan dengan menggunakan
klasifikasi silang dua indikator yaitu pangsa pengeluaran pangan (proksi peubah ekonomi) dan
tingkat kecukupan konsumsi energi (proksi peubah gizi). Data yang digunakan adalah data
Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) tahun 1999 dari Badan Pusat Statistik. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa: (1) Secara nasional, lebih dari 30 persen rumah tangga di
Indonesia tergolong rawan pangan, di daerah perkotaan sekitar 27 persen dan di pedesaan
sekitar 33 persen; (2) Dari 26 provinsi di Indonesia, 7 provinsi yang tergolong memiliki tingkat
kerawanan pangan rumah tangga tinggi, 3 provinsi memiliki tingkat kerawanan pangan rendah,
sisanya berada di antara kedua kategori tersebut; (3) Proporsi rumah tangga yang tergolong
rentan pangan di Indonesia mencapai lebih dari 47 persen, di perkotaan dan pedesaaan masing-
masing sekitar 34 persen dan 56 persen; (4) Proporsi rumah tangga yang termasuk kurang
pangan sekitar 10 persen, di perkotaan dan pedesaan masing-masing sebesar 18 persen dan 5
persen. Berdasarkan hasil identifikasi tersebut, studi ini menyarankan pentingnya dilakukan
pemetaan wilayah (kabupaten, kecamatan sampai desa) menurut derajat ketahanan pangan
rumah tangga. Hal ini penting untuk menetapkan prioritas dan fokus sasaran intervensi kebijakan
pangan dan gizi dalam upaya pemantapan ketahanan pangan rumah tangga. Intervensi bagi
kelompok rumah tangga kurang pangan diprioritaskan pada upaya penyadaran dan peningkatan
pengetahuan pangan dan gizi. Untuk kelompok rumah tangga rentan pangan, karena secara
ekonomi kurang memiliki kemampuan maka intervensi lebih diprioritaskan pada upaya
peningkatan pendapatan untuk lebih akses terhadap pangan sumber protein, vitamin dan
mineral. Sedangkan pada kelompok rawan pangan dalam jangka pendek diperlukan bantuan
pangan disertai bimbingan, peningkatan dan pemanfaatan sumberdaya keluarga untuk
meningkatkan pendapatan, daya beli dan akses terhadap pangan.

Kata kunci: derajat ketahanan pangan rumah tangga, kurang dan rawan pangan, distribusi
provinsi

PENDAHULUAN

Salah satu isu sentral dalam pembangunan pertanian dalam kerangka


pembangunan nasional periode 1999-2004 adalah pemantapan ketahanan pangan
(Anonimous, 1999). Pemantapan ketahanan pangan terkait erat dengan pembangunan

13
kualitas sumberdaya manusia. Hal ini didasarkan pada pertimbangan bahwa pangan
merupakan kebutuhan dasar bagi manusia, karenanya merupakan hak asasi manusia
untuk tidak mengalami kekurangan pangan.
Ketahanan pangan diartikan sebagai tersedianya pangan dalam jumlah dan
kualitas yang cukup, terdistribusi dengan harga terjangkau dan aman dikonsumsi bagi
masyarakat untuk dapat melakukan aktivitas sehari-hari sepanjang waktu. Dengan
definisi seperti itu, ketahanan pangan tidak hanya cukup sampai tingkat global, nasional,
maupun regional tetapi harus sampai tingkat rumah tangga dan individu.
Berdasarkan data Neraca bahan Makanan tahun 1999, ketersediaan pangan di
Indonesia telah mencapai 3194 Kalori/kapita/hari dan 83,35 gram protein/kapita/hari
(BPS, 1999). Angka ketersediaan pangan tersebut telah melebihi kebutuhan pangan
yang dianjurkan yaitu 2550 kalori/kapita/hari dan 50 gram protein/kapita/hari (WKNPG
VI, 1998). Studi Saliem, et al (2001) menunjukkan bahwa walaupun ketahanan pangan
di tingkat nasional dan regional (provinsi) tergolong aman dan terjamin, namun di
wilayah tersebut masih ditemukan proporsi rumah tangga rawan pangan yang cukup
tinggi. Oleh karenanya penting untuk melakukan identifikasi rumah tangga rawan
pangan di wilayah yang tergolong tahan pangan. Berdasar temuan tersebut, tulisan ini
bertujuan untuk menganalisis distribusi provinsi di Indonesia menurut derajat ketahanan
pangan rumah tangga. Hasil identifikasi ini diharapkan menjadi masukan bagi pengambil
kebijakan pangan dan gizi untuk menetapkan prioritas wilayah dalam rangka pening-
katan ketahanan pangan rumah tangga.

METODE

Data yang digunakan adalah data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas)
tahun 1999 yang bersumber dari Badan Pusat Statistik (BPS). Derajat ketahanan
pangan tingkat rumah tangga diukur dengan menggunakan indikator yang dikembang-
kan oleh Jonsson dan Toole (1991) dalam Maxwell et al. (2000). Pengukuran ini
menggabungkan dua indikator silang antara pangsa pengeluaran pangan dan
kecukupan energi. Batasan untuk kecukupan energi adalah 80 persen dari anjuran (per
unit ekuivalen dewasa), sedangkan batasan pangsa pengeluaran pangan adalah 60
persen dari total pengeluaran rumah tangga.
Pengelompokan rumah tangga dari data SUSENAS dengan menggunakan
kedua indikator tersebut dapat dilihat pada Tabel 1. Terdapat empat tingkatan
ketahanan pangan yaitu : (1) rumah tangga tahan pangan, (2) rumah tangga rentan
pangan, (3) rumah tangga kurang pangan, dan (4) rumah tangga rawan pangan. Selain
analisis secara agregat nasional, dilakukan pula analisis masing-masing provinsi dan
menurut daerah kota dan desa.

14
Tabel 1. Pengukuran Derajat Ketahanan Pangan Tingkat Rumah Tangga

Pangsa pengeluaran pangan


Konsumsi energi per unit
Rendah Tinggi
ekuivalen dewasa
(< 60% pengeluaran total) ( 60% pengeluaran total)
Cukup
( > 80 % kecukupan energi) Tahan pangan Rentan pangan
Kurang
( 80% kecukupan energi) Kurang pangan Rawan pangan
Sumber ; Jonhsson dan Toole (1991) dalam Maxwell, D et al. (2000).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Keragaan Provinsi menurut Derajat Ketahanan Pangan Rumah Tangga


Secara agregat, rumah tangga yang tergolong tahan pangan di Indonesia
pada tahun 1999 hanya sekitar 12,2 persen. Sebaliknya rumah tangga yang rawan
pangan mencapai lebih dari 30 persen (Tabel 2). Lima provinsi dengan proporsi rumah
tangga rawan pangan tertinggi (43,33 33,26%) berturut-turut adalah Jawa Timur, NTT,
Jawa Tengah, Jambi, dan DI. Yogyakarta. Sementara itu, lima provinsi yang tergolong
memiliki proporsi rumah tangga rawan pangan terendah (11,69 20,45%) berturut-turut
adalah DKI Jakarta, Bali, Maluku, Sumatera Barat, dan Aceh. Besarnya proporsi rumah
tangga rawan pangan di berbagai provinsi di Indonesia menunjukkan bahwa program
peningkatan ketahanan pangan rumah tangga masih menuntut perhatian para
pengambil kebijakan di bidang pangan dan gizi.
Secara nasional proporsi rumah tangga yang tergolong rentan pangan
mencapai lebih dari 47 persen. Berdasar klasifikasi yang digunakan, kelompok rumah
tangga tersebut dari aspek gizi konsumsi energinya cukup, namun dari sisi ekonomi
kurang baik yang diindikasikan oleh pangsa pengeluaran pangan yang tinggi. Dalam hal
demikian, faktor akses terhadap pangan (khususnya pangan sumber protein, vitamin
dan mineral) sangat menentukan ketahanan pangan kelompok rumah tangga tersebut.
Hasil studi Ariani dan Rachman (2003) mengindikasikan bahwa jenis pangan yang
dikonsumsi kelompok rumah tangga rentan pangan sebagian besar berasal dari pangan
sumber energi dan dominan karbohidrat, kurang beragam, sehingga kualitas pangan
rendah (kurang bergizi). Peningkatan pendapatan rumah tangga merupakan program
prioritas yang perlu dipertimbangkan bagi kelompok rumah tangga rentan pangan. Hal
ini mengacu pada studi Soehardjo (1996) dan Baliwati (2001) yang menunjukkan bahwa
pendapatan dapat dijadikan penciri atau indikator ketahanan pangan rumah tangga.
Lima provinsi dengan proporsi rumah tangga rentan pangan tertinggi (68,92
58,35%) berturut-turut adalah Aceh, Sumatera Barat, Sumatera Utara, Kalimantan
Tengah, dan Riau. Sementara itu lima provinsi dengan proporsi rumah tangga rentan

15
pangan terendah (15,61 41,04%) adalah DKI Jakarta, DI Yogyakarta, Jawa Timur,
Irian Jaya, dan Jawa Tengah.

Tabel 2. Distribusi Rumah Tangga di Indonesia Menurut Derajat Ketahanan Pangan dan
Provinsi, Tahun 1999

Tahan Pangan Rentan Pangan Kurang Pangan Rawan Pangan


Provinsi
N % N % N % N %
1. Aceh 128 7,86 1122 68,92 45 2,76 333 20,45
2. Sumut 246 8,65 1710 60,13 157 5,52 731 25,70
3. Sumbar 161 9,23 1179 67,56 66 3,78 339 19,43
4. Riau 104 6,44 943 58,35 131 8,11 438 27,10
5. Jambi 80 7,14 583 52,01 71 6,33 387 34,52
6. Sumsel 129 6,53 1077 54,50 113 5,71 657 33,25
7. Bengkulu 138 13,64 487 48,85 91 9,13 281 28,18
8. Lampung 175 8,65 1057 52,22 135 6,67 657 32,46
9. DKI Jakarta 1130 38,19 462 15,61 1021 34,50 3,456 11,69
10. Jabar 1185 14,95 3872 48,84 941 11,87 1930 24,34
11. Jateng 700 9,56 3004 41,04 765 10,45 2850 38,94
12.DI Yogyakarta 371 16,56 743 33,17 381 17,01 745 33,26
13. Jatim 772 9,03 3119 36,47 947 11,07 3714 43,43
14. Bali 254 18,43 781 56,78 115 8,35 228 16,55
15. NTB 146 7,13 1134 55,40 96 4,69 671 32,78
16. NTT 111 6,62 813 48,48 88 5,25 665 39,65
17. Kalbar 121 6,46 1057 56,43 110 5,87 585 31,23
18. Kalteng 61 7,34 660 59,78 64 5,80 299 27,08
19. Kalsel 144 8,31 1004 57,83 111 6,41 474 27,35
20. Kaltim 118 10,71 465 42,20 166 15,25 351 31,85
21. Sulut 249 18,30 774 56,87 55 4,04 283 20,79
22. Sulteng 150 13,84 534 49,26 99 9,13 301 27,77
23. Sulsel 323 14,67 1135 51,54 189 8,58 555 25,20
24. Sultra 162 14,64 557 51,01 113 10,35 260 23,81
25. Maluku 122 21,44 244 42,88 94 15,52 109 19,16
26. Irja 134 17,05 316 40,20 79 10,05 257 32,70
Indonesia 7434 12,20 28832 47,30 6245 10,24 18446 30,26
Sumber: BPS, data SUSENAS 1999 (diolah)

Secara agregat, kelompok rumah tangga tergolong kurang pangan proporsinya


hanya sekitar 10 persen. Berdasar indikator yang digunakan, kelompok tersebut
merupakan kelompok rumah tangga dengan pendapatan cukup namun konsumsi
energinya kurang. Dalam hal demikian diperlukan peningkatan pengetahuan pangan
dan gizi dan penyadaran akan pentingnya memilih jenis dan jumlah pangan sesuai
norma gizi.

16
Derajat Ketahanan Pangan Rumah Tangga Menurut Daerah
Apabila derajat ketahanan rumah tangga di masing-masing provinsi di
Indonesia dipilah menurut daerah Tabel 3 menunjukkan keragaan di daerah kota.
Sedangkan keragaan di daerah pedesaan disajikan pada Tabel 4.

Tabel 3. Distribusi Rumah Tangga Kota di Indonesia Menurut Derajat Ketahanan Pangan dan
Provinsi, Tahun 1999

Kota
Provinsi Tahan Pangan Rentan Pangan Kurang Pangan Rawan Pangan
N % N % N % N %
1. Aceh 81 17,47 267 56,21 32 6,74 93 19,58
2. Sumut 191 15,63 526 43,21 135 11,05 368 30,11
3. Sumbar 80 15,84 256 50,69 44 6,71 125 24,75
4. Riau 89 11,87 319 42,53 117 15,60 225 30,00
5. Jambi 60 12,22 186 37,88 64 13,03 181 36,86
6. Sumsel 90 12,61 289 40,48 77 10,78 258 36,13
7. Bengkulu 104 20,93 180 36,22 74 14,89 139 27,97
8. Lampung 102 13,67 309 41,42 92 12,33 243 32,57
9. DKI Jakarta 1130 38,19 462 15,61 1021 34,50 3456 11,69
10. Jabar 723 24,47 843 28,53 686 23,21 703 23,79
11. Jateng 411 15,03 922 33,72 422 15,44 979 35,81
12.DI Yogyakarta 234 23,54 209 21,03 271 27,26 280 28,17
13. Jatim 475 14,62 936 26,66 600 16,46 1237 26,06
14. Bali 109 23,04 66 42,07 53 11,21 112 23,68
15. NTB 67 12,61 304 44,77 64 9,43 224 32,99
16. NTT 79 15,65 216 43,90 50 10,16 148 30,08
17. Kalbar 97 19,40 218 43,60 74 14,80 111 22,20
18. Kalteng 76 15,70 254 52,48 58 11,98 96 19,83
19. Kalsel 87 11,57 369 48,94 90 11,97 207 27,53
20. Kaltim 85 17,35 164 33,47 122 24,90 119 24,29
21. Sulut 144 30,70 219 46,70 26 5,54 80 17,06
22. Sulteng 96 19,96 188 39,29 69 14,35 127 26,40
23. Sulsel 190 20,86 336 37,10 159 17,45 224 24,59
24. Sultra 126 26,07 193 39,31 62 16,70 66 17,92
25. Maluku 90 36,59 63 25,61 67 27,24 26, 10,57
26. Irja 124 27,19 205 44,96 49 10,75 78 17,11
Indonesia 5163 20,48 86311 34,26 4596 18,23 6817 27,03
Sumber: BPS, data SUSENAS 1999 (diolah)

Di daerah kota, secara umum proporsi rumah tangga rawan pangan di 26


provinsi di Indonesia berkisar antara 10,57 persen sampai 36,86 persen. Terlihat bahwa
lima provinsi dengan proporsi rumah tangga rawan pangan tertinggi (36,86 32,57%)
berturut-turut adalah Jambi, Sumatera Selatan, Jawa Tengah, NTB, dan Lampung.

17
Sementara itu lima provinsi dengan proporsi rumah tangga rawan pangan terendah
(10,57 19,58%) berturut-turut adalah Maluku, DKI Jakarta, Sulawesi Utara, Irian Jaya,
dan Aceh. Sedangkan proporsi rumah tangga tahan pangan di daerah kota tertinggi
adalah Provinsi Maluku (36,59%) dan terendah di Provinsi Kalimantan Selatan
(11,57%). Data pada Tabel 3 menunjukkan bahwa masalah peningkatan ketahanan
pangan di daerah kota di sebagian besar provinsi di Indonesia masih memerlukan
perhatian mengingat masih tingginya proporsi rumah tangga rawan pangan di sebagian
besar daerah kota di Indonesia.
Data pada Tabel 3 konsisten dengan keragaan secara agregat, di daerah kota
persentase rumah tangga rentan pangan relatif tinggi (dibanding kelompok lain) di
hampir semua provinsi di Indonesia. Fakta ini mengindikasikan pentingnya prioritas
program peningkatan pendapatan dalam upaya meningkatkan ketahanan pangan rumah
tangga. Hal ini mengingat pada kelompok rentan pangan masalah pendapatan atau
daya beli merupakan kunci bagi mereka untuk meningkatkan akses terhadap pangan.
Hal serupa ditemukan di daerah pedesaan, data pada Tabel 4 menunjukkan
bahwa secara umum proporsi rumah tangga rentan pangan persentasenya tertinggi
dibanding kelompok lain dengan rataan hampir 57 persen. Sementara itu kelompok
rumah tangga yang tahan pangan di daerah pedesaan hanya sekitar 6 persen, rawan
pangan lebih dari 32 persen, dan sisanya adalah kelompok rumah tangga kurang
pangan. Lima provinsi dengan proporsi rumah tangga rawan pangan tertinggi (54,24
37,91%) berturut-turut adalah Irian Jaya, Jawa Timur, NTT, Jawa Tengah, dan
Kalimantan Timur. Sedangkan lima provinsi dengan proporsi rumah tangga rawan
pangan terendah (12,82 22,76%) berturut-turut adalah Bali, Sumatera Barat, Aceh,
Sumatera Utara, dan Sulawesi Utara.
Apabila keragaan distribusi provinsi menurut derajat ketahanan pangan di
daerah kota (Tabel 3) dan desa (Tabel 4) dibandingkan, terdapat variasi antar provinsi
tentang besarnya proporsi rumah tangga rawan pangan di kota dan desa. Di sebagian
besar provinsi, proporsi rumah tangga rawan pangan di daerah desa lebih tinggi dari
pada di kota. Hal menarik lain adalah bahwa di daerah pedesaan provinsi-provinsi di
Jawa umumnya proporsi rumah tangga rawan pangan relatif tinggi, padahal secara
geografis daerah pedesaan Jawa umumnya merupakan daerah penghasil pangan.
Fakta tersebut mendukung temuan sebelumnya bahwa masalah akses atau
keterjangkauan daya beli terhadap pangan merupakan faktor utama dalam pemantapan
ketahanan pangan rumah tangga di sebagian provinsi di Indonesia.
Apabila hanya memperhatikan indikator pangsa pengeluaran pangan sebagai
proksi indikator ekonomi, maka rumah tangga yang berpendapatan rendah adalah
rumah tangga yang termasuk kategori rentan pangan dan rawan pangan. Proporsi
rumah tangga kedua kategori tersebut di desa mencapai 89 persen, sedangkan di kota
sebesar 61 persen. Hal ini membuktikan pula bahwa aspek pendapatan untuk
meningkatkan akses terhadap pangan merupakan faktor penting dalam peningkatan
ketahanan pangan rumah tangga. Selain itu apabila daerah kota dan desa

18
dibandingkan, akses rumah tangga terhadap pangan di kota lebih baik daripada di desa.
Fakta tersebut menuntut para pengambil kebijakan pangan dan gizi untuk memberikan
prioritas peningkatan ketahanan pangan rumah tangga daerah pedesaan.

Tabel 4. Distribusi Rumah Tangga Pedesaan di Indonesia Menurut Derajat Ketahanan Pangan
dan Provinsi, Tahun 1999

Desa
Provinsi Tahan Pangan Rentan Pangan Kurang Pangan Rawan Pangan
N % N % N % N %
1. Aceh 45 3,90 855 74,15 13 1,13 240 20,82
2. Sumut 55 3,39 1182 72,87 22 1,36 363 22,38
3. Sumbar 81 6,53 823 74,44 22 1,77 214 17,26
4. Riau 15 1,73 624 72,06 14 1,62 213 24,60
5. Jambi 20 3,17 397 63,02 7 1,11 206 32,70
6. Sumsel 39 3,09 788 62,44 36 2,85 399 31,62
7. Bengkulu 34 6,80 307 61,40 17 3,40 142 28,40
8. Lampung 73 5,71 748 58,53 43 3,38 414 32,39
9. DKI Jakarta - - - - - - - -
10. Jabar 462 9,29 3029 60,91 255 5,13 1227 24,67
11. Jateng 289 6,30 2082 45,41 343 7,48 1871 40,81
12DI Yogyakarta 137 11,00 582 42,86 110 8,83 465 37,32
13. Jatim 297 5,60 830 41,14 347 6,54 2477 46,72
14. Bali 145 16,02 597 64,31 62 6,85 116 12,82
15. NTB 59 4,31 839 60,67 32 2,34 447 32,68
16. NTT 53 2,78 597 50,39 38 3,21 517 43,63
17. Kalbar 24 1,75 839 61,11 36 2,62 474 34,52
18. Kalteng 5 0,81 406 65,48 6 0,97 203 32,74
19. Kalsel 57 5,81 636 84,83 21 2,14 267 27,22
20. Kaltim 33 5,39 301 49,18 46 7,52 232 37,91
21. Sulut 105 11,77 555 62,22 29 3,25 203 22,76
22. Sulteng 54 8,96 345 57,21 30 4,98 174 28,86
23. Sulsel 133 10,30 797 61,74 30 2,32 331 25,64
24. Sultra 34 5,68 364 60,57 31 5,18 172 28,62
25. Maluku 32 9,91 181 56,04 27 8,36 83 25,70
26. Irja 10 3,03 111 33,64 30 9,09 179 54,24
Indonesia 2271 6,35 20194 56,50 1657 4,61 11629 32,54
Sumber: BPS, data SUSENAS 1999 (diolah)

Adalah ironis, daerah pedesaan yang notabene sebagai daerah penghasil


pangan namun masyarakat yang tinggal di wilayah tersebut kurang memiliki akses
terhadap pangan yang dibutuhkan. Oleh karena itu pembangunan pertanian dan
pedesaan yang mengedepankan peningkatan, stabilitas, dan kontinuitas pendapatan
rumah tangga merupakan pilihan yang tepat. Studi yang dilakukan oleh Puslitbang
Sosek Pertanian (2003) di lima kabupaten sentra penghasil padi di Jawa dan luar Jawa

19
menunjukkan bahwa pendapatan dari usahatani padi saja tidak memberikan
kesejahteraan yang cukup bagi petani. Diversifikasi usahatani dengan komoditas yang
memiliki prospek pasar (high value commodity) menunjukkan peningkatan pendapatan
yang siginifikan bagi rumah tangga di wilayah berbasis sawah. Selain itu perluasan
kesempatan kerja di luar usahatani maupun usaha non pertanian juga merupakan
alternatif untuk meningkatkan pendapatan rumah tangga di pedesaan. Dalam hal ini
pengembangan industri pengolahan hasil pertanian di wilayah pedesaan berbahan baku
setempat menjadi alternatif pilihan yang patut dipertimbangkan.
Peningkatan pendapatan rumah tangga disertai dengan peningkatan
pengetahuan dan penyadaran aspek pangan dan gizi diharapkan mampu meningkatkan
akses rumah tangga terhadap pangan yang dibutuhkan. Mengingat sumberdaya
pembangunan yang dimiliki pemerintah relatif terbatas, maka partisipasi dan kepedulian
seluruh komponen masyarakat diharapkan terlibat dalam upaya peningkatan ketahanan
pangan rumah tangga. Selain itu untuk mengefektifkan sumberdaya yang terbatas,
maka penentuan kelompok sasaran dalam peningkatan ketahanan pangan juga penting
diperhatikan. Kajian ini baru mengungkap keragaan masing-masing provinsi di
Indonesia menurut derajat ketahanan pangan rumah tangga, untuk operasionalisasi
penentuan kelompok sasaran program masih diperlukan identifikasi lebih lanjut sampai
tingkat kabupaten, kecamatan, dan desa. Untuk selanjutnya dilakukan intervensi
penanganan rumah tangga rawan pangan, rentan pangan, dan kurang pangan. Sesuai
dengan indikator yang digunakan, penanganan masing-masing kelompok rumah tangga
tersebut memerlukan strategi yang berbeda.
Intervensi bagi kelompok rumah tangga kurang pangan diprioritaskan pada
upaya penyadaran dan peningkatan pengetahuan pangan dan gizi. Untuk kelompok
rumah tangga rentan pangan, karena secara ekonomi kurang memiliki kemampuan
maka intervensi lebih diprioritaskan pada upaya peningkatan pendapatan untuk lebih
akses terhadap pangan sumber protein, vitamin dan mineral (gizi beragam dan
seimbang). Sementara itu bagi kelompok rumah tangga rawan pangan, dalam jangka
pendek diperlukan bantuan pangan (program raskin misalnya) disertai bimbingan,
peningkatan dan pemanfaatan sumberdaya keluarga untuk meningkatkan pendapatan,
daya beli dan akses terhadap pangan.

KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN

Kesimpulan
Secara nasional, pada tahun 1999 lebih dari 30 persen rumah tangga di
Indonesia tergolong rawan pangan, di daerah kota sekitar 27 persen dan di pedesaan
sekitar 33 persen. Dari 26 provinsi di Indonesia 5 provinsi yang memiliki proporsi rumah
tangga rawan pangan tertinggi adalah Jawa Timur, Nusa Tenggara Timur, Jawa

20
Tengah, Jambi, dan DI Yogyakarta; sedangkan provinsi dengan tingkat kerawanan
pangan rendah antara lain adalah Sumatera Barat, DKI Jakarta, dan Bali.
Proporsi rumah tangga yang tergolong rentan pangan (secara ekonomi kurang
baik tetapi konsumsi energi cukup) di Indonesia mencapai 47 persen, di kota dan desa
masing-masing sebesar 34 persen dan 56 persen. Sementara itu proporsi rumah
tangga yang termasuk kurang pangan (secara ekonomi baik tetapi konsumsi energi
kurang) di Indonesia sekitar 10 persen, di daerah kota dan desa masing-masing sebesar
18 persen dan 5 persen.

Implikasi Kebijakan
Berdasar hasil identifikasi tersebut studi ini menyarankan pentingnya dilakukan
identifikasi dan pemetaan wilayah berdasar derajat ketahanan pangan sampai tingkat
kabupaten, kecamatan dan desa. Hal ini penting untuk menetapkan prioritas dan fokus
sasaran intervensi kebijakan pangan dan gizi dalam upaya pemantapan ketahanan
pangan rumah tangga. Mengingat penyebab terjadinya kurang pangan, rentan pangan,
maupun rawan pangan berbeda, maka bentuk intervensi yang diperlukan juga berbeda.
Intervensi bagi kelompok rumah tangga kurang pangan diprioritaskan pada
upaya penyadaran dan peningkatan pengetahuan pangan dan gizi. Untuk kelompok
rumah tangga rentan pangan, karena secara ekonomi kurang memiliki kemampuan
maka intervensi lebih diprioritaskan pada upaya peningkatan pendapatan untuk lebih
akses terhadap pangan sumber protein, vitamin dan mineral (gizi beragam dan
seimbang). Sementara itu bagi kelompok rumah tangga rawan pangan, dalam jangka
pendek diperlukan bantuan pangan (program raskin misalnya) disertai bimbingan,
peningkatan dan pemanfaatan sumberdaya keluarga untuk meningkatkan pendapatan,
daya beli dan akses terhadap pangan dan pada gilirannya dapat meningkatkan
ketahanan pangan rumah tangga.

DAFTAR PUSTAKA

Anonimous. 1999. Program Pembangunan Pertanian Kabinet Persatuan Nasional 1999-2004.


Departemen Pertanian. Jakarta.
Ariani, M dan H.P.S. Rachman. 2003. Analisis Tingkat Ketahanan Pangan Rumah tangga. Media
Gizi (akan terbit). Jurusan GMSK, Fakultas Pertanian, IPB. Bogor.
Badan Pusat Statistik. 1999. Neraca Bahan Makanan. BPS. Jakarta.
Baliwati,Y.F. 2001. Model Evaluasi Ketahanan Pangan Rumah tangga Petani: Desa Sukajadi,
Kecamatan Ciomas, Kabupaten Bogor. Ringkasan Disertasi. Program Pascasarjana,
IPB. Bogor.
BPS. 1999. Survei Sosial Ekonomi Nasional. Badan Pusat Statistik. Jakarta.
LIPI. 1998. Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi VI. LIPI. Jakarta.

21
Maxwell,D; C. Levin; M.A.Klemeseu; M.Rull; S.Morris and C.Aliadeke. 2000. Urban Livelihoods
and Food Nutrition Security in Greater Accra, Ghana. IFPRI in Collaborative with
Noguchi Memorial for Medical Research and World Health Organization. Research
Report No. 112. Washington,D.C.
Puslibang Sosek Pertanian. 2003. Prospek Diversifikasi Usahatani di Lahan Sawah. Laporan
Hasil Penelitian. Kerjasama Puslitbang Sosek Pertanian dengan
BAPPENAS/USAID/DAI. Bogor.
Saliem,H.P.; E.M. Lokollo; T.B. Purwantini; M. Ariani dan Y. Marisa. 2001. Analisis Ketahanan
Pangan Tingkat Rumah tangga dan Regional. Laporan Hasil Penelitian Puslitbang
Sosek Pertanian. Bogor.
Soehardjo. 1996. Pengertian dan Kerangka Pikir Ketahanan Pangan Rumah tangga. Makalah
disampaikan pada Lokakarya Ketahanan Pangan Rumah tangga. Yogyakarta. 26-30
Mei.

22

Anda mungkin juga menyukai