Anda di halaman 1dari 32

BAB I

PENDAHULUAN

Karsinoma nasofaring (KNF) merupakan keganasan kepala leher terbanyak di


temukan di Indonesia. Tumor ini sifatnya menyebar secara cepat ke kelenjar limfe leher
dan organ jauh, seperti paru, hati, dan tulang.1
Tumor ini merupakan tumor yang jarang di Amerika dan Eropa, namun
merupakan keganasan yang sering pada ras mongoloid, terutama di Cina selatan dan Asia
tenggara. Pada warga cina yang migrasi ke Amerika utara, angka kejadian KNF tetap
tinggi, sekalipun lebih rendah dibandingkan etnis cina yang lahir dan besar di Cina
selatan, hal ini menunjukkan bahwa etnis, genetik dan faktor lingkungan memiliki peran
sebagai etiologi, meskipun peran dari masing-masing faktor bervariasi.2
Karsinoma nasofaring terutama ditemukan pada pria usia produktif
(perbandingan pria dan wanita adalah 2,18:1) dan 60% pasien berusia antara 25 hingga
60 tahun. Pada daerah Asia Timur dan Tenggara didapatkan angka kejadian yang tinggi.
Angka kejadian tertinggi di dunia terdapat di propinsi Cina Tenggara yakni sebesar 40-50
kasus KNF diantara 100.000 penduduk. Karsinoma nasofaring sangat jarang ditemukan
di daerah Eropa dan Amerika Utara dengan angka kejadian sekitar <1/100.000 penduduk.
Di Indonesia, karsinoma nasofaring merupakan salah satu jenis keganasan yang sering
ditemukan, berada pada urutan ke 4 kanker terbanyak di Indonesia setelah kanker leher
rahim, kanker payudara dan kanker paru.3
Meskipun penelitian untuk mengetahui penyebab penyakit ini telah dilakukan
diberbagai negara dan telah memakan biaya yang tidak sedikit, namun sampai sekarang
penyebab pasti belum diketahui. Dikatakan bahwa beberapa faktor saling berkaitan
sehingga akhirnya disimpulkan bahwa penyebab penyakit ini adalah multifaktor.
Keganasan ini berhubungan dengan infeksi EBV (Epstein Barr Virus) karena titer anti
EBV yang lebih tinggi didapatkan pada hampir semua pasien.4
Gejala KNF berhubungan dengan lokasi anatomi tumor primer dan metastasis.
Gejala yang sering muncul dapat dikelompokkan menjadi empat kategori, 1) Gejala
telinga: Gangguan pendengaran, otalgia, otore dan tinitus. Gejala ini muncul karena
gangguan fungsi tuba eustachius akibat tumor yang menutupi muara tuba atau perluasan
tumor ke lateroposterior sehingga mengganggu kerja otot untuk membuka tuba. Jenis

1
gangguan pendengaran yang timbul biasanya konduktif karena timbulnya otitis media
efusi. 2) Gejala hidung: sumbatan hidung yang progresif, epistaksis, post nasal drip
bercampur darah. 3) Gejala Neurologi/ Saraf: gejala ini berhubungan dengan keterlibatan
saraf-saraf kranial. Kejadian keterlibatan saraf kranial pada KNF sekitar 20%. Apabila
tumor meluas ke superior akan melibatkan saraf III sampai VI, dan apabila perluasan ke
lateral dapat melibatkan saraf kranial IX sampai XII. Saraf kranial yang paling sering
terlibat adalah III, V, VI dan XII. 4) Benjolan yang tidak nyeri di leher. Lebih dari 50%
pasien KNF datang dengan keluhan benjolan di leher. Pembesaran kelenjer getah bening
ini biasanya pada bagian atas leher, sesuai dengan lokasi tumor (ipsilateral), namun tidak
jarang bilateral. Gejala lain dapat berupa gejala umum adanya keganasan seperti
penurunan berat badan dan anoreksia. Gejala dini KNF sering tidak spesifik dan luput
dari perhatian, pasien sebagian besar datang ketika sudah ada benjolan di leher dan
umumnya stadium lanjut.5
Kebanyakan penderita KNF datang berobat pada stadium lanjut. Terapi yang
diberikan umumnya berupa radiasi (radioterapi) sebagai treatment of choice. Terapi KNF
dengan radioterapi konvensional seperti ini seringkali hasilnya kurang memuaskan.
Kegagalan radioterapi konvensional (2 dimensional radiation therapy / 2 DRT) dalam
memberantas (eradikasi) sel kanker di nasofaring maupun penyebarannya di kelenjar
leher (loco-regional failure) cukup tinggi, mencapai angka 40%-80%. Selain itu, pasca
radioterapi seringkali dijumpai metastasis jauh (15%-57%). Angka rekurensi tumor
setelah 5 tahun mendapat radioterapi dilaporkan sekitar 19%-56%. Disamping angka
kegagalan kontrol loko-regional yang tinggi dan systemic failure, radioterapi tidak dapat
digunakan untuk membunuh sel-sel ganas yang tersebar diberbagai organ tubuh.6
Respons tumor terhadap radiasi umumnya meningkat bila dikombinasi dengan
kemoterapi. Respon tumor terhadap kemoterapi kombinasi (multiple agents) lebih tinggi
daripada kemoterapi tunggal (single agent). Meskipun response rate dilaporkan lebih
meningkat, efek samping akibat pemberian multi modalitas terapi kanker ini juga
semakin berat. Indikasi pemberian kemoterapi pada karsinoma nasofaring antara lain
stadium lanjut lokoregional, disertai atau dicurigai adanya metastasis jauh, tumor
persisten dan rekuren.6
Banyak macam regimen kemoterapi yang dapat digunakan untuk mengobati
tumor ganas didaerah kepala leher. Obat yang paling sering digunakan dan diteliti adalah
kombinasi Cisplatin dan 5-Fluorouracil. Pemberian kedua obat ini bersamaan denga
radioterapi pada KNF loko-regional didapatkan overall response rate (ORR) yang tinggi

2
yaitu 80% - 93%, bahkan pada stadium metastasis didapatkan ORR sebesar 30 - 35%.
Kemoterapi neoadjuvan (induksi) pada kasus keganasan kepala dan leher yang baru
dengan menggunakan kombinasi Cisplatin dan 5-FU didapatkan average overall
response 85%, sedangkan kombinasi Carboplatin dan 5-FU didapatkan 79%. Sebagian
besar (78%) metastasis jauh ditegakkan setelah 18 bulan munculnya gejala pertama.
Fakta ini menunjukkan bahwa KNF sebenarnya merupakan penyakit sistemik. Oleh
karena itu, terapi KNF harus ditujukan untuk mematikan tumor loko-regional dan
mikrometastasis.
Penggunaan terapi target pada KNF mulai berkembang seiiring banyaknya
penelitian terhadap perkembangan virus epstein barr. Penggunaan kemoterapi dengan
terapi target memberikan ORR sebesar 11%. Studi terakhir dengan menggunakan TNM
Staging System menunjukkan 5 years survival rate untuk stage I 98%, stage II A-B 95%,
stage III 86%, dan stage IV A-B 73%. 8
Walaupun sistem imun penderita KNF bereaksi melawan virus Epstein-Barr, cara
ini tidak cukup untuk membunuh sel kanker. Sistem imun limfosit T untuk membunuh
sel-sel yang terinfeksi virus Epstein-Barr sedang dikembangkan saat ini dan terapi ini
cukup menjanjikan. 9
Berdasarkan latar belakang diatas maka dirasakan perlu untuk membuat tinjauan
pustaka mengenai terapi sistemik pada karsinoma nasofaring.

3
BAB II

KARSINOMA NASOFARING

2.1 Definisi
Karsinoma nasofaring adalah suatu tumor yang berasal dari sel epitel yang
melapisi permukaan nasofaring. Karsinoma nasofaring (KNF) merupakan keganasan
kepala leher terbanyak di temukan di Indonesia. Tumor ini sifatnya menyebar secara
cepat ke kelenjar limfe leher dan organ jauh, seperti paru, hati, dan tulang.10

2.2 Insidensi
Angka kejadian karsinoma nasofaring di Indonesia cukup tinggi, yakni 4,7 kasus
baru per tahun per 100.000 penduduk. Catatan dari berbagai rumah sakit menunjukkan
bahwa karsinoma nasofaring menduduki urutan ke empat setelah kanker leher rahim,
kanker payudara dan kanker kulit. Tetapi seluruh bagian THT (telinga hidung dan
tenggorokan) di Indonesia sepakat mendudukan karsinoma nasofaring pada peringkat
pertama penyakit kanker pada daerah ini. Karsinoma ini lebih banyak pada terjadi pada
pria dibandingkan wanita dengan perbandingan 2-3 : 1.10
Di Cina Selatan angka kejadian karsinoma nasofaring 30 kasus per 100.000 orang
pertahun, dan merupakan masalah kesaehatan yang serius di daerah ini. Pada Cantonese
boat people di Cina Selatan memiliki insiden tertinggi untuk karsinoma nasofaring
54,7 kasus per 100.000 orang pertahun3. Angka kejadian karsinoma nasofaring di Korea
dan Jepang sangat rendah, meskipun pada beberapa di Asia Tenggara, termasuk Filipina,
Malaysia dan Singapura, insiden karsinoma nasofaring relatif tinggi. Angka kejadian
karsinoma nasofaring di Singapura, persentase terbesar mengenai masyarakat keturunan
Tionghoa (18,5 per 100.000 penduduk), disusul oleh keturunan Melayu (6,5 per 100.000)
dan terakhir adalah keturunan Hindustan (0,5 per 100.000). Angka kejadian karsinoma
nasofaring di negara Eropa atau Amerika Utara 1 per 100.000 penduduk per tahun.11

2.3 Etiologi

4
Penyebab dari karsinoma nasofaring ini adalah gabungan antara genetik, faktor
lingkungan dan virus Ebstein Barr. Analisa genetik pada populasi endemik berhubungan
dengan HLA-A2, HLAB17 dan HLA-Bw26. Dimana orang dengan yang memiliki gen
ini memiliki resiko dua kali lebih besar menderita karsinoma nasofaring . Studi pada
orang Cina dengan keluarga menderita karsinoma nasofaring dijumpai adanya kelemahan
lokus pada regio HLA. Studi dari kelemahan HLA pada orang-orang Cina menunjukkan
bahwa orang-orang dengan HLA A0207 atau B4601 memiliki resiko yang meningkat
untuk terkena karsinoma nasofaring. Sering kontak dengan zat yang dianggap bersifat
karsinogen yaitu zat yang dapat menyebabkan kanker, antara lain benzopyrene dan
benzoathracene (sejenis hidrokarbon dalam arang batubara ) dapat meningkatkan risiko
karsinoma nasofaring.12
Paparan dari formaldehid pada udara dan debu kayu juga berhubungan dengan
peningkatan insiden karsinoma nasofaring. Laporan terakhir, pada wanita pekerja tekstil
di Shanghai, Cina juga memiliki peningkatan insiden karsinoma nasofaring disebabkan
akumulasi dari debu kapas, asam, caustic atau dyeing process. Merokok juga
berhubungan dengan peningkatan resiko karsinoma nasofaring. Faktor lingkungan lain
yang dapat meningkatkan resiko karsinoma nasofaring yang pernah dilaporkan adalah
penggunaan herbal china, dijumpainya nikel pada daerah endemik, penggunaan alkohol
dan infeksi jamur pada kavum nasi.12
Virus Ebstein Barr dapat menginfeksi manusia dalam bentuk yang bervariasi.
Virus ini dapat menyebabkan infeksi mononukleosis dan dapat juga menyebabkan
limfoma burkit dan karsinoma nasofaring6. EBV-1 dan EBV-2 yang berhubungan dengan
karsinoma nasofaring. Sebagian besar kasus karsinoma nasofaring pada orang-orang di
Cina Selatan, Asia Tenggara, Mediteranian, Afrika dan Amerika Serikat berhubungan
dengan infeksi EBV-1. Kasus-kasus yang mengenai Alaska Innuits hampir seluruhnya
berhubungan dengan infeksi EBV-2.13

2.4 Patogenesis

5
Pengetahuan mengenai patogenesis molekuler kanker secara umum dibutuhkan
untuk memahami patogenesis kanker nasofaring. Terdapat beberapa prinsip yang perlu
diketahui mengenai dasar terbentuknya kanker. Prinsip-prinsip tersebut adalah sebagai
berikut: (1) karsinogenesis bermula dari kerusakan genetik yang nonletal. Kerusakan ini
dapat disebabkan oleh agen yang terdapat di lingkungan, seperti zat kimia, radiasi, atau
virus. Selain itu, Agen ini bisa juga diturunkan melalui germ line. Akan tetapi, mutasi
juga dapat terjadi secara acak dan tidak terduga, (2) sebuah tumor berasal dari satu sel
precursor yang rusak dan mengalami ekspansi klonal, (3) gen yang menjadi target
kerusakan adalah empat kelas gen regulator normal: proto-onkogen yang
mempromosikan pertumbuhan, gen supresor tumor yang menginhibisi pertumbuhan, gen
pengatur apoptosis, dan gen yang terlibat dalam reparasi DNA, (4) karsinogenesis terdiri
dari banyak langkah pada tingkat genetik maupun fenotipe akibat banyak mutasi.
Hasilnya, neoplasma dapat berprogresi menjadi ganas, dengan karakteristik neoplasma
ganas seperti pertumbuhan berlebihan, invasi local, dan kemampuan metastasis yang
jauh.14
Jadi, jika disimpulkan, sel yang normal mula-mula terpajan agen yang dapat
merusak DNA. Apabila reparasi DNA gagal terjadi karena gen-gen pengatur
pertumbuhan sel rusak, maka sel akan mengalami pertumbuhan klonal yang tak
terkontrol. Lama-lama, terjadi progresi tumor yang dapat berujung pada neoplasma yang
malignan. Neoplasma malignan memiliki karakteristik berupa invasi dan metastasis. 15
Patogenesis molekuler neoplasma tersebut dapat dilihat pada gambar berikut ini.

6
Gambar 2.1 Patogenesis molekuler neoplasma15

7
Karsinoma nasofaring merupakan tumor ganas yang diasosiasikan dengan
Epstein-Barr virus (EBV) Telah ditemukan bahwa perkembangan karsinoma nasofaring
salah satunya dipengaruhi faktor risiko yang sudah sering dikemukakan yaitu kenaikan
titer antibody anti-EBV yang konsisten. Akan tetapi, mekanisme molekuler dan
hubungan patofisiologis dari karsinogenesis terkait EBV masih belum sepenuhnya jelas.
Selain itu, meski karsinoma nasofaring seringkali diasosiasikan dengan EBV, EBV tidak
mengubah sel-sel epitel nasofaring menjadi sel-sel klon yang proliferative, meski ia
dapat mentransformasi sel B primer. Agar terbentuk karsinoma nasofaring, mula-mula
dibutuhkan infeksi laten dan litik EBV yang diduga disokong oleh perubahan genetik
yang dapat diidentifikasi pada epitel nasofaring premalignan. Setelah itu infeksi laten dan
litik terjadi dan menghasilkan produk-produk tertentu, barulah ekspansi klonal dan
transformasi sel epitel nasofaring premalignan menjadi sel kanker. 15 Selain faktor
genetik, faktor lingkungan berupa konsumsi karsinogen dalam diet pada masa kanak-
kanak juga dapat mengakibatkan akumulasi dari lesi genetik dan peningkatan risiko
karsinoma nasofaring. Selain diet, faktor-faktor lainnya adalah pajanan zat-zat kimia
pada pekerjaan, misalnya formaldehida dan debu kayu yang mengakibatkan inflamasi
kronis di nasofaring.13
Seperti yang telah dijelaskan, setelah faktor genetik dan lingkungan merangsang
perubahan pada epitel nasofaring, virus EBV memperparah keadaan epitel tersebut. Virus
EBV menginfeksi sel nasofaring secara laten. Virus ini kemudian memasuki fase infeksi
litik yang produktif. Tumor nasofaring diketahui mengekspresikan tiga protein yang
dikode EBV, RNA kecil dan mikroRNA. Protein-protein yang diekspresikan di antaranya
adalah EBNA1, LMP1, dan LMP2. Dalam perkembangan karsinoma nasofaring, diduga
LMP1 memiliki peran sentral. LMP1 disekresi melalui eksosom dan masuk ke dalam sel-
sel yang tidak terinfeksi EBV melalui endositosis. LMP1 juga mempengaruhi lingkungan
di sekeliling tumor. LMP1 merupakan onkogen primer yang dapat meniru fungsi salah
satu reseptor TNF, yakni CD40. Akibatnya, ia dapat menginisasi beberapa pathway
persinyalan yang merangsang perubahan fenotip dan morfologi sel epitel. LMP 1 juga
mengakibatkan peningkatan EMT (epithelial-mesenchymal transition). Pada proses
EMT, sel-sel karsinoma akan menurunkan penanda epitel tertentu dan meningkatkan
penanda mesenkim tertentu sehingga menimbulkan perkembangan fenotip promigratori
yang penting dalam metastasis. Oleh karena itu, LMP1 juga berperan dalam
menimbulkan sifat metastasis dari karsinoma nasofaring.15

8
Peningkatan EMT oleh LMP1 ini diikuti dengan ekspresi penanda sel punca
kanker/sel progenitor kanker serta pemberian sifat-sifat mirip sel punca/sel progenitor
kepada sel. Protein-protein lainnya serta ekspresi RNA virus juga memiliki peranan
dalam karsinogenesis karsinoma nasofaring, contohnya LMP2 yang mempertahankan
latensi virus.15 Peran-peran protein dan RNA serta proses patogenesis karsinoma
nasofaring dapat dilihat pada gambar berikut.

Gambar 2.2 Patogenesis karsinoma nasofaring15

2.5 Manifestasi Klinis


Massa pada leher yang dapat dipalpasi merupakan gejala paling umum dari
karsinoma nasofaring. Sebanyak 60% pasien datang mencari bantuan medis akibat gejala
ini. Penyebab munculnya massa pada leher adalah metastasis tumor ke kelenjar getah

9
bening (nodus limfatik) bagian servikal. Metastasis pada karsinoma nasofaring biasanya
terletak di bagian superior, yaitu level 5 (posterior dari musculus sternocleidomastoideus
dan bagian anterior musculus trapezius, di atas klavikula) dan level 2 (dari basis tulang
tengkorak sampai tingkat tulang hyoid, anterior dari bagian posterior musculus
sternocleidomastoideus). Metastasis yang pertama diawali dengan kelenjar-kelenjar di
daerah retrofaring. Apabila dibiarkan dalam jangka waktu yang lama, pembesaran
kelenjar ini dapat berujung pada nekrosis sentral dan pembentukan abses.16
Gejala terkait massa di nasofaring adalah mimisan ringan, hiposmia, serta
penyumbatan (obstruksi) hidung. Epistaksis dapat disebabkan berbagai hal, misalnya
trauma ringan, kelainan pembuluh darah local, infeksi lokal, dan tumor. Perdarahan dari
hidung merupakan keluhan paling umum kedua yang muncul pada awal-awal penyakit.
Gejala ini tidak muncul pada pasien dengan lesi yang jinak sehingga riwayat epistaksis
dikatakan sebagai indikasi keganasan. Gangguan indera penghidu dapat terjadi akibat
terhalangnya partikel bau untuk sampai ke reseptor atau kelainan nervus olfaktorius.
Hiposmia seperti pada kasus ini dapat terjadi akibat obstruksi oleh tumor di rongga nasal
yang menghalangi partikel bau untuk sampai ke reseptor indera penghidu.16,17
Tuli (deafness) termasuk gejala yang umum ditemui pada penderita karsinoma
nasofaring. Dalam kasus ini, hilangnya pendengaran berupa gangguan konduktif.
Penyebabnya adalah otitis media dengan efusi yang merupakan dampak dari disfungsi
tuba Eustachius. Otitis media dengan efusi memiliki karakteristik efusi nonpurulen di
telinga tengah dengan gejala rasa penuh pada telinga atau hilangnya pendengaran. Tinitus
juga dapat terjadi akibat adanya sumbatan oleh massa tumor.17
Rongga tengkorak terletak dekat dengan nasofaring dan terhubungkan melalui
beberapa lubang. Meluasnya tumor sampai ke daerah intrakranial atau mengerosi clivus
dapat menyebabkan gangguan nervus cranialis. Nervus yang paling umum terpengaruhi
adalah nervus V, dilanjutkan dengan VI, IX, X, dan XII. Apabila tumor menjalar lewat
foramen laserum, saraf cranialis III, IV, VI, dan bisa juga V akan terkena. Manifestasi
yang dapat ditemukan contohnya neuralgia trigeminal dan diplopia. Apabila menjalar
lewat foramen jugulare, maka saraf cranialis yang terkena adalah nervus IX, X, XI, dan
XII. Gangguan pada nervus-nervus ini disebut sindrom Jackson. Tumor juga dapat
mengenai seluruh saraf otak dan mendestruksi tulang tengkorak. Pada kasus yang
demikian, prognosis biasanya buruk.17
Diplopia dapat terbagi menjadi monocular (apabila tetap terjadi bila salah satu
mata ditutup) dan binocular (dapat sembuh bila salah satu mata ditutup). Kebanyakan
10
kasus yang terjadi pada karsinoma nasofaring adalah diplopia binokuler dengan
kelumpuhan nervus VI. Diplopia monocular terjadi karena masalah mata terkait distorsi
jalan masuk cahaya sedangkan diplopia binocular terjadi karena tergesernya aksis visual,
misalnya akibat disfungsi musculus oculomotor atau disfungsi nervus cranialis. Selain
nervus VI, diplopia binokuler juga dapat diakibatkan oleh nervus III dan IV. Ketiga
nervus ini menginervasi otot-otot yang menggerakkan bola mata. Kerusakan dapat terjadi
pada satu nervus maupun kombinasi. Kompresi nervus, misalnya oleh tumor yang
berinfiltrasi, dapat menghasilkan kombinasi kelumpuhan nervus III, IV, dan VI yang bisa
disertai baal pada daerah periorbital dan wajah serta nyeri retroorbital, proptosis, dan
kongesti vena.17 Persentasi manifestasi klinis akibat karsinoma nasofaring dapat dilihat
pada gambar berikut.

Gambar 2.3 Persentasi manifestasi klinis karsinoma nasofaring17

2.6 Diagnosis
Pemeriksaan radiologi konvensional pada foto tengkorak potongan
anteroposterior dan lateral, serta posisi waters tampak jaringan lunak di daerah
nasofaring. Pada foto dasar tengkorak ditemukan destruksi atau erosi tulang daerah fossa

11
serebri media. Pemeriksaan tomografi, CT Scan nasofaring merupakan pemeriksaan yang
paling dipercaya untuk menetapkan stadium tumor dan perluasan tumor. Pada stadium
dini terlihat asimetri dari resessus lateralis, torus tubarius dan dinding posterior
nasofaring. Scan tulang dan foto torak untuk mengetahui ada tidaknya metastasis jauh.18
Pemeriksaan serologi, berupa pemeriksaan titer antibodi terhadap virus Epstein-
Barr yaitu lg A anti VCA (Viral Capsid Antigen) dan lg A anti EA (Early Antigen).
Pemeriksaan aspirasi jarum halus (FNAB), bila tumor primer di nasofaring belum jelas
dengan pembesaran kelenjar leher yang diduga akibat metastasis karsinoma nasofaring.
Pemeriksaan darah tepi, fungsi hati, ginjal untuk mendeteksi adanya metastasis.
Diagnosa pasti ditegakkan dengan melakukan biopsi nasofaring. Pasien yang kooperatif
dengan massa yang jelas dapat dilakukan biopsi dengan anestesi lokal, nasoendoskop
kaku, dan biopsi forsep panjang.17
Klasifikasi gambaran histopatologi yang direkomendasikan oleh Organisasi
Kesehatan Dunia (WHO) sebelum tahun 1991, dibagi atas 3 tipe, yaitu : (1) Karsinoma
sel skuamosa (KSS) berkeratinisasi (Keratinizing Squamous Cell Carcinoma). Tipe ini
dapat dibagi lagi menjadi diferensiasi baik, sedang dan buruk. (2) Karsinoma non-
keratinisasi (Nonkeratinizing Carcinoma). Pada tipe ini dijumpai adanya diferensiasi,
tetapi tidak ada diferensiasi sel skuamosa tanpa jembatan intersel. Pada umumnya batas
sel cukup jelas. (3) Karsinoma tidak berdiferensiasi (Undifferentiated Carcinoma). Pada
tipe ini sel tumor secara individu memperlihatkan inti yang vesikuler, berbentuk oval
atau bulat dengan nukleoli yang jelas. Pada umumnya batas sel tidak terlihat dengan
jelas. Terdapat kesamaan antara tipe II dan III sehingga selanjutnya disarankan
pembagian stadium KNF terbaru hanya dibagi atas 2 tipe, yaitu: (1) Karsinoma
berkeratinisasi (Keratinizing Squamous Cell Carcinoma). (2) Karsinoma non-keratinisasi
(Non-keratinizing Carcinoma). Tipe ini dapat dibagi lagi menjadi berdiferensiasi dan
tidak berdiferensiasi.17,18

Penentuan stadium karsinoma nasofaring sesuai dengan kriteria yang ditetapkan


AJCC/UICC (American Joint Committee on Cancer / International Union Against
Cancer) tahun 2010.19 Kriteria tersebut adalah sebagai berikut :

12
Tumor Primer (T)
Tx Tumor primer tidak dapat dinilai
T0 Tidak terbukti adanya tumor primer
Tis Karsinoma in situ
T1 Tumor terbatas di nasofaring atau tumor meluas ke orofaring dan / kavum nasi
tanpa perluasan ke parafaring.
T2 Tumor dengan perluasan ke daerah parafaring.
T3 Tumor melibatkan struktur tulang dasar tengkorak dan/atau sinus paranasal
T4 Tumor dengan perluasan intrakranial dan/atau terlibatnya saraf kranial, hipofaring,
orbita atau dengan perluasan ke fossa infratemporal / ruang mastikator.
KGB Regional (N)
NX KGB regional tidak dapat dinilai
N0 Tidak ada metastasis ke KGB regional
N1 Metastasis kelenjar getah bening leher unilateral dengan diameter terbesar 6 cm
atau kurang, di atas fossa supraklavikular, dan/atau unilateral atau bilateral
kelenjar getah bening retrofaring dengan diameter terbesar 6 cm atau kurang.
N2 Metastasis kelenjar getah bening bilateral dengan diameter terbesar 6 cm atau
kurang, di atas fossa supraklavikular.
N3 Metastasis pada kelenjar getah bening diatas 6 cm dan/atau pada fossa
supraklavikular:
N3a Diameter terbesar lebih dari 6 cm
N3b Meluas ke fossa supraklavikular
Metastasis Jauh (M)
M0 Tanpa metastasis jauh
M1 Metastasis jauh

Tabel 2.1 Stadium KNF berdasarkan AJCC 2010

13
Alur diagnosis karsinoma nasofaring dapat di lihat pada bagan di bawah ini.

Gambar 2.4 Algoritma Diagnosis Karsinoma Nasofaring20

BAB III

14
TERAPI SISTEMIK KARSINOMA NASOFARING

Dibandingkan keganasan di daerah kepala dan leher umumnya, karsinoma


nasofaring mempunyai ciri atau karakteristik yang berbeda. Tumor primer lebih sulit
dilihat dan seringkali gejalanya minimal atau asymptomatic. Adanya peran virus
Epstein Barr dalam karsinogenesis menyebabkan gambaran histopatologi KNF (WHO
tipe 1, 2 dan 3) berbeda dengan gambaran karsinoma sel skuamosa yang seringkali
dijumpai pada keganasan didaerah kepala dan leher. KNF lebih radiosensitif dan
kemosensitif. Insiden metastasis regional dan sistemik pada KNF lebih tinggi.5
Sekitar 50%-70% penderita KNF saat pertama kali datang berobat ditemukan
pembesaran kelenjar getah bening di leher, sepertiga diantaranya bilateral. Sebagian
besar (60%-95%) penderita KNF datang berobat sudah stadium lanjut lokal
(locoregionally advanced) atau stadium III-IV. Metastasis jauh ditemukan pada 35%
penderita KNF pasca radioterapi dengan median interval 9 bulan setelah diagnosis
ditegakkan. Hasil penelitian di Hongkong menemukan metastatic rate sekitar 15%-
57%. Angka-angka ini lebih kecil dari kenyataan sebenarnya, oleh karena kebanyakan
metastasis jauh tidak terdeteksi. Dari 3 seri publikasi berdasarkan hasil otopsi
penderita KNF yang meninggal, ditemukan insiden metastasis jauh sebesar 87%.
Penderita dengan N3, 40% sudah mengalami metastasis jauh yang asymptomatic.
Sebagian besar (78%) dari metastasis jauh ditegakkan setelah 18 bulan munculnya
gejala pertama. Fakta ini menunjukkan bahwa KNF sebenarnya merupakan penyakit
sistemik. Oleh karena itu, terapi KNF harus ditujukan untuk mematikan tumor loko-
regional dan mikrometastasis.5,6
Terapi sistemik pada Karsinoma Nasofaring adalah dengan kemoradiasi
dilanjutkan dengan kemoterapi adjuvant, yaitu Cisplatin + RT diikuti dengan
Cisplatin/5-FU atau Carboplatin/5-FU. Dosis preparat platinum based 30-40 mg/m2
sebanyak 6 kali, setiap seminggu sekali. Kombinasi kemoradiasi sebagai
radiosensitizer terutama diberikan pada pasien dengan T2-T4 dan N1-N3. Kemoterapi
sebagai radiosensitizer diberikan preparat platinum based 30-40 mg/m2 sebanyak 6
kali, setiap minggu sekali 2,5 sampai 3 jam sebelum dilakukan radiasi. Pada kasus N3
> 6 cm, diberikan kemoterapi dosis penuh neo adjuvant atau adjuvan.21
Penatalaksanaan karsinoma nasofaring mengacu pada guideline NCCN tahun

2017 seperti yang tertera pada gambar dibawah ini.21

15
Gambar 3.1 Penatalaksanaan karsinoma nasofaring NCCN 201721

3.1 Kemoradiasi
Radioterapi sampai sekarang masih merupakan terapi pilihan utama untuk
penderita KNF. Radioterapi adalah terapi utama untuk KNF yang belum ada metastasis
jauh. Radiasi yang diberikan diharapkan dapat memperbaiki kualitas hidup dan
memperpanjang kelangsungan hidup penderita karena karsinoma nasofaring termasuk
dalam golongan penyakit kanker yang dapat disembuhkan dengan penyinaran
(radiocurable), terutama bila masih dini (stadium I, II). Pertimbangan pemilihan radiasi
sebagai pengobatan pilihan utama untuk KNF terutama didasarkan fakta bahwa secara
histopatologis kebanyakan (75%-95%) KNF dari jenis karsinoma undifferensiated
(WHO tipe 3) dan karsinoma non keratinisasi (WHO tipe 2) yang sangat radiosensitif.
Alasan lainnya adalah faktor anatami nasofaring yang terletak didasar tengkorak dengan
banyak organ vital menyebabkan tindakan pembedahan ekstensif untuk memperoleh
daerah bebas tumor (free margin) sangat sulit dikerjakan.22
Radioterapi merupakan pengobatan terpilih dalam tatalaksana kanker nasofaring
yang telah diakui sejak lama dan dilakukan di berbagai sentra dunia. Radioterapi dalam
tatalaksana kanker nasofaring dapat diberikan sebagai terapi kuratif definitif dan paliatif.
Radioterapi dikatakan berhasil bila tercapai eradiasi semua sel kanker yang viable.
Angka rerata respon tumor terhadap radiasi (ORR) yaitu sekitar 25%-65%, kegagalan
kendali loko- regional (loco-regional failure) mencapai 40%-80%, metastasis jauh pasca
radioterapi sebesar 15%-57% dan angka ketahanan hidup 5 tahun yang kurang dari
40%.22
16
3.1.1 Radioterapi Kuratif Definitif
Radioterapi kuratif definitif pada sebagai modalitas terapi tunggal dapat
diberikan pada kanker nasofaring T1N0M0 (NCCN Kategori 2A), konkuren
bersama kemoterapi (kemoradiasi) pada T1N1-3,T2-T4 N0-3 (NCCN kategori
2A).20 Radiasi diberikan dengan sasaran radiasi tumor primer dan KGB leher dan
supraklavikula kepada seluruh stadium (I, II, III, IV lokal). Radiasi dapat diberikan
dalam bentuk radiasi eksterna yang mencakup gross tumor (nasofaring) beserta
kelenjar getah bening leher, dengan dosis 66 Gy pada T1-2 atau 70 Gy pada T3-4;
disertai penyinaran kelenjar supraklavikula dengan dosis 50 Gy, radiasi intrakaviter
sebagai radiasi booster pada tumor primer tanpa keterlibatan kelenjar getah bening,
diberikan dengan dosis (4x3 Gy), sehari 2 x, bila diperlukan booster pada kelenjar
getah bening diberikan penyinaran dengan elektron.22
Teknik radiasi yang dapat diberikan adalah : (1) Teknik konvensional 2
dimensi [pesawat Cobalt-60 atau LINAC], (2) Teknik konformal 3 dimensi (3D
Conformal Radiotherapy) [pesawat LINAC], (3) Teknik Teknik Intensity
Modulated Radiation Therapy (IMRT) [pesawat LINAC], dan (4) Brakiterapi.22
Menurut Lee at al pemberian radioterapi (2 DRT) dengan cara
accelerated radiotherapy atau accelarated hyperfractionated radiotherapy dapat
meningkatkan kendali lokal (tumour control) pada penderita KNF. Pemberian
radioterapi dengan teknik dipercepat yang dikombinasi dengan kemoterapi
dilaporkan dapat meningkatkan respon sel tumor terhadap radiasi.23 Dragovic et al
di Henry Fort Hospital Detroit, melakukan pemberian accelerated radiotherapy

yang dikombinasi dengan kemoterapi (Cisplatin 60 mg / m2 dilanjutkan dengan 5

FU 750mg / m2 per hari) pada 34 kasus kanker kepala-leher (4 kasus diantaranya


KNF) stadium lanjut, sebanyak 27 kasus (82%) didapatkan respons lengkap. 24
Wolden et al berdasarkan hasil penelitiannya pada KNF stadium lanjut
mengatakan bahwa accelerated concomitant boost radiotherapy and
chemotherapy) menggunakan cisplatin based chemotherapy didapatkan kontrol
loko-regional dan survival yang lebih tinggi dibandingkan radioterapi standar
saja.25

3.1.2 Radioterapi Paliatif

17
Pemberian radiasi dengan tujuan paliatif dapat diberikan pada kasus
stadium lanjut dimana tujuan kuratif sudah tidak dapat dipertimbangkan lagi. Pada
stadium lanjut (M1), radioterapi lokoregional dapat diberikan dengan setting
kuratif pada pasien dengan metastasis pada daerah terbatas atau dengan beban
tumor yang rendah, atau pada pasien dengan gejala pada daerah lokal primer dan
KGB, dengan tujuan mengurangi gejala selama toksisitas radiasi masih dapat
ditoleransi. Pada stadium lanjut ini, radioterapi dapat diberikan pasca pemberian
kemoterapi berbasis platinum atau konkuren dengan kemoterapi (kemoradiasi)
(NCCN Kategori 2A).21
Radioterapi paliatif diberikan pada kanker nasofaring yang sudah
bermetastases jauh, misalnya ke tulang, dan menimbulkan rasa nyeri. Tujuan
paliatif diberikan untuk meredakan gejala sehingga meningkatkan kualitas hidup
pasien. Radioterapi pada tatalaksana metastases tulang merupakan salah satu
modalitas terapi selain imobilisasi dengan korset atau tindakan bedah, bisfosfonat,
terapi hormonal, terapi target donosumumab, terapi radionuklir dan kemoterapi.
Radioterapi pada metastases tulang dapat diberikan atas indikasi nyeri, ancaman
fraktur kompresi yang sudah distabilisasi, menghambat kekambuhan pasca operasi
reseksi.26
Dosis yang diberikan pada radioterapi paliatif adalah : 1 fraksi x 8 Gy, 5 fraksi
x 4 Gy, 10 fraksi x 3 Gy, 15 fraksi x 2.5 Gy. Perlu diperhatikan dalam radioterapi
paliatif pada vertebrae adalah batasan dosis untuk medulla spinalis dan organ
sekitar. Organ sekitar yang perlu diperhatikan adalah ginjal, terutama bila diberikan
pengaturan berkas sinar yang kompleks. Untuk dosis toleransi jaringan sehat dapat
mengacu kepada pedoman quantitative analysis of normal tissue effects in the
clinic (QUANTEC).27

3.2 Kemoterapi
Kombinasi kemoradiasi sebagai radiosensitizer terutama diberikan pada pasien
dengan T2-T4 dan N1-N3. Kemoterapi sebagai radiosensitizer diberikan preparat
platinum based 30-40 mg/m2 sebanyak 6 kali, setiap minggu sekali 2,5 sampai 3 jam
sebelum dilakukan radiasi. Pada kasus N3 > 6 cm, diberikan kemoterapi dosis penuh neo
adjuvant atau adjuvan. 28

18
Terapi sistemik pada Karsinoma Nasofaring kasus Rekuren/Metastatik terdiri dari
terapi kombinasi yaitu Cisplatin or carboplatin + docetaxel or paclitaxel ; Cisplatin/5-FU ;
Cisplatin/gemcitabine ; Taxans + Platinum +5FU dan terapi tunggal Cisplatin;
Carboplatin ;Paclitaxel ; Docetaxel ; 5-FU ; Methotrexate ; Gemcitabine ; Capecitabine.20
Kemoterapi neoadjuvan (induksi) pada KNF dimaksudkan untuk mengurangi
besarnya tumor sebelum radioterapi. Pemberian kemoterapi neoadjuvan didasari atas
pertimbangan vascular bed tumor masih intak sehingga pencapaian obat menuju massa
tumor masih optimal. Disamping itu, kemoterapi yang diberikan sejak dini diharapkan
dapat memberantas mikrometastasis sistemik seawal mungkin. Beberapa studi
mengatakan bahwa pemberian kemoterapi neoadjuvan pada KNF stadium lokoregional
lanjut diperoleh hasil berupa objective response rates (ORR) yang cukup tinggi.
Kerugian kemoterapi neoadjuvan pada KNF antara lain tumor dapat terus tumbuh makin
membesar bila tidak responsif terhadap kemoterapi yang diberikan, status performance
menurun akibat timbulnya efek samping (toksisitas) yang berat dan tertundanya jadwal
radioterapi. Pemberian kemoterapi adjuvan di laporkan dapat meningkatkan respons
rate, tetapi seringkali dijumpai toksisitas yang biasanya berat.28
Dimery et al meneliti 47 penderita KNF (T1-4, N2-3, M0) dengan memberikan
kemoterapi neoadjuvan 3 siklus (5-FU 1000 mg/m2/hari melalui infus hari ke 1-5)
dengan cisplatin (100 mg/m2 melalui infus hari ke-1) dilanjutkan dengan radioterapi
konvensional. Didapatkan hasil berupa response rate untuk kemoterapi sebesar 93,2%.
Respon lengkap keseluruhan setelah radioterapi sebesar 86%. Angka ketahanan hidup 2,
4 dan 6 tahun sebesar 80%, 71,6% dan 67,4%. Efek samping yang timbul diantara lain
yaitu xerostomia, fibrosis kulit ringan dan trismus. Disimpulkan bahwa kemoterapi
induksi dengan cisplatin dan 5-FU dilanjutkan dengan radioterapi dapat meningkatkkan
kontrol lokal dan efek samping sering terjadi tetapi masih well tolerated.29
Kemo-radioterapi konkuren (konkomitan) adalah pemberian kemoterapi secara
bersamaan dengan radioterapi. Dengan cara ini diharapkan dapat membunuh sel kanker
yang sensitif terhadap kemoterapi dan mengubah sel kanker yang resisten menjadi lebih
sensitif terhadap radioterapi. Keuntungan kemoradioterapi konkuren yang lain adalah
keduanya bekerja sinergis mencegah resistensi dan menghambat recovery DNA pada sel
kanker yang sublethal. Kelemahan cara ini adalah meningkatnya efek samping antara
lain mukositis, leukopeni dan infeksi berat. Efek samping yang terjadi dapat
menyebabkan penundaan sementara radioterapi. Toksisitas dapat begitu besar sehingga
berakibat fatal. Untuk mengurangi efek samping tersebut, diberikan kemoterapi tunggal

19
(single agent chemotherapy) dosis rendah dengan tujuan khusus untuk meningkatkan
sensitivitas sel kanker terhadap radioterapi (radiosensitizer).29
Sitostatika yang sering digunakan adalah Cisplatin, 5-Fluorouracil dan MTX
dengan response rate 15% - 47%. Cisplatin merusak DNA secara langsung. Cisplatin
bekerja sinergis dengan radioterapi melalui kemampuannya menghambat DNA repair
pada sel kanker yang menerima dosis sub lethal dari radiasi. Sedangkan 5-FU berikatan
dengan thymidine synthese sehingga menghambat sintesis DNA. Untuk meningkatkan
response rate, banyak peneliti memberikan kombinasi beberapa sitostatika (multi drug)
dengan dosis maksimal secara berkesinambungan dengan radiasi. Tujuan yang hendak
dicapai sepenuhnya untuk mematikan tumor lokoregional maupun metastasis sistemik.
Kemoterapi Adjuvan adalah kemoterapi yang diberikan pasca terapi definitif
terutama dimaksudkan untuk meningkatkan kontrol lokoregional, memberantas tumor
residu dan eradikasi metastasis jauh. Kelemahan terapi ini adalah terkait kondisi umum
yang sudah menurun dan vascular bed yang buruk menyebabkan obat tidak dapat
maksimal mencapai daerah tumor.
Al Sarraf et al melakukan studi fase II secara random untuk mengetahui overall
survival setelah mendapat kemoterapi adjuvan. Diberikan 3 siklus 5-FU (1000 mg/m2
hari ke 1-4) dikombinasi dengan Cisplatin (100 mg/m2 pada hari ke 5) setelah menjalani
radioterapi radikal konvensional (70 Gy, 2 Gy/hari, 5 hari/ minggu, selama lebih dari 7
minggu). Five year overall survival sebesar 78%. Dijumpai toksisitas grade II: 48% dan
grade III hanya 5%. Tidak dijumpai toksisitas grade IV.30
"The Head and Neck Intergroup Trial" di Amerika melakukan penelitian dengan
cara memberikan kemo-radioterapi dilanjutkan dengan kemoterapi adjuvan pada
penderita KNF. Sebanyak 193 penderita diberi radioterapi standar (1,8-2 Gy/hari per
fraksi, 5 hari seminggu, total dose 70 Gy). Sekelompok penderita secara random
diberikan Cisplatin 100 mg/m2 pada hari ke 1, 22 dan 43 selama radioterapi, dilanjutkan
dengan 3 siklus kemoterapi adjuvan menggunakan Cisplatin 80 mg/m2 pada hari ke 1,
dan 5-FU 1000 mg/m2 diberikan secara infus hari ke 1-4 tiap 4 minggu. Dari 185
penderita yang dapat dievaluasi didapatkan 3 years survival untuk kelompok yang
mendapat radioterapi sebesar 47%, sedangkan kelompok yang mendapat kemo-
radioterapi yang dilanjutkan dengan kemoterapi adjuvan sebesar 76% (p<0.001).
Disimpulkan, pemberian kemo-radioterapi konkuren yang kemudian dilanjutkan dengan
kemoterapi adjuvan dapat meningkatkan survival secara bermakna. Cara pengobatan
KNF seperti ini disarankan untuk digunakan sebagai terapi standar KNF.31

20
Adapun regimen kemoterapi yang dapat diberikan adalah : (1) Cisplatin
mingguan-radioterapi, (2) Docetaxel-cisplatin-5-Fluorouracil, (3) 5-Fluorouracil-
Cisplatin, (4) Methotrexate, (5) Paclitaxel-Cisplatin, (6) Capecitabine, (7) Cisplatin-
Radioterapi + Ajuvan Cisplatin- Fluorouracil, (8) Gemcitabine-Cisplatin.20

3.2.1 Cisplatin mingguan-radioterapi


Regimen ini merupakan salah satu regimen yang efektif dengan efek
samping yang relatif rendah. Penggunaan rasionalnya adalah untuk kanker kepala
dan leher, stadium lokal lanjut yang tidak dapat direseksi. Efek samping yang
sering terjadi adalah mual, muntah, nefrotoksisitas, neurotoksisitas, ototoksisitas,
myelosupresi dan infeksi, stomatitis, dan fatigue.20
Meskipun regimen ini relatif aman digunakan, efek samping yang berat
tetap mungkin terjadi terutama pada penderita dengan status performa yang kurang
baik. Penderita dengan status performa kurang baik atau status performanya
menurun selama pengobatan, sebaiknya disarankan rawat inap agar dapat
dilakukan monitor ketat untuk mencegah timbulnya efek samping yang berat.20

3.2.2 Docetaxel-cisplatin-5-Fluorouracil
Regimen ini sering disebut dengan regimen TPF, merupakan regimen
standar baru yang mulai banyak digunakan di beberapa pusat onkologi di dunia.
Penggunaan rasionalnya adalah untuk terapi induksi/neoajuvan kanker kepala
leher, stadium lokal lanjut yang tidak dapat direseksi.
Regimen 5FU bolus memiliki efek myelosupresi dan gastrointestinal lebih
besar namun lebih sedikit hand-foot syndrome, dibanding pemberian dengan infus.
Efek samping yang paling sering terjadi yaitu myelosupresi, mual, muntah,
demam, reaksi hipersensitivitas, retensi cairan, neuropati, stomatitis,
nefrotoksisitas, hand-foot syndrome.
Regimen TPF sekarang ini banyak digunakan sebagai terapi
induksi/neoadjuvan standar kanker kepala dan leher stadium lokal lanjut yang tidak
dapat direseksi menggantikan regimen klasik PF (cisplatin-5FU), karena efikasinya
yang lebih baik serta profil efek sampingnya yang lebih ditoleransi oleh penderita.
Regimen TPF diberikan sebanyak 4 siklus dan dalam 4-7 minggu sesudah
kemoterapi selesai, terapi dilanjutkan dengan radioterapi atau kemoradioterapi

21
konkuren. Median OS kombinasi TPF + radioterapi adalah 18,8 bulan, sedangkan
median OS untuk kombinasi TPF + konkuren kemoradioterapi adalah 71 bulan.20

3.2.3 5-Fluorouracil-Cisplatin
Regimen ini sering disebut dengan regimen klasik karena paling lama dan
paling luas digunakan sebagai terapi standar kanker kepala dan leher stadium
lanjut. Penggunaan rasionalnya yaitu untuk terapi induksi penderita kanker kepala
dan leher rekuren dan/atau metastasis. Regimen 5FU bolus memiliki efek
myelosupresi dan gastrointestinal lebih besar namun lebih sedikit hand-foot
syndrome, dibanding pemberian dengan infus.
Efek samping yang paling sering terjadi adalah mual, muntah,
nefrotoksisitas, neuropati, trombositopenia, myelosupresi, stomatitis, hand-foot
syndrome. Efek samping utama cisplatin adalah nefrotoksik yang sangat berkaitan
dengan fungsi ginjal sebelum terapi, sehingga penting untuk selalu memonitor
fungsi ginjal sebelum, selama dan sesudah terapi. Hidrasi yang adekuat adalah
kunci utama untuk mereduksi kemungkinan terjadinya gagal ginjal. Beberapa cara
dilakukan untuk menurunkan toksisitas regimen ini antara lain dengan mengurangi
dosis cisplatin maupun dosis 5FU atau memberikan cisplatin dalam dosis terbagi
selama beberapa hari. Di beberapa pusat onkologi, kedudukan regimen 5FU-
cisplatin telah diganti dengan regimen TPF.20

3.2.4 Methotrexate
Regimen ini sering disebut dengan regimen klasik yang digunakan di
banyak pusat onkologi. Penggunaan rasionalnya yaitu terapi untuk penderita
kanker kepala dan leher rekuren dan/atau metastasis, biasanya digunakan sebagai
terapi lini kedua bagi mereka yang gagal dengan regimen berbasis platinum atau
terapi lini pertama pada penderita yang tidak dapat mentoleransi terapi kombinasi
cisplatin-5FU.
Efek samping yang sering terjadi yaitu mual, muntah, myelosupresi,
stomatitis, diare, toksisitas paru, radiation recall reaction, nefrotoksisitas,
hepatotoksisitas. Bentuk toksisitas dapat berupa fibrosis atau sirosis hati. Toksisitas
ginjal berat yang menyebabkan gagal ginjal akut, terutama terjadi pada pemberian
dosis tinggi. Bila terjadi toksisitas, beriakn leucovorin dengan dosis 10-15 mg/m2
tiap 6 jam untuk 8 atau 10 kali pemberian. Regimen methotrexate < 100 mg/m2

22
jarang membutuhkan leucovorin. Regimen methotrexate monoterapi mempunyai
risiko toksisitas rendah dan tingkat respon 10-15%. Tidak ada perbedaan survival
dengan regimen 5FU dan cisplatin.20

3.2.5 Paclitaxel-Cisplatin
Regimen ini merupakan alternatif regimen cisplatin/5FU. Penggunaan
rasionalnya sebagai terapi lini pertama atau kedua kanker kepala dan leher rekuren
atau metastasis. Dibandingkan dengan regimen cisplatin-5FU, regimen paclitaxel-
cisplatin lebih praktis karena hanya diberikan 1 hari.20

3.2.6 Capecitabine
Regimen capecitabine tunggal/monoterapi merupakan salah satu agen
kemoterapi yang aktif pada kanker nasofaring stadium metastasis atau rekuren.
Penggunaan rasionalnya adalah sebagai terapi lini pertama/kedua kanker
nasofaring stadium metastasis/rekuren. Efek samping yang sering terjadi adalah
hand-foot syndrome, stomatitis, diare, hiperbilirubinemia.
Capecitabine diberikan oral, sesudah atau pada waktu makan, ditelan utuh.
Pada penderita dengan kesulitan menelan, capecitabine dapat diberikan dengan
cara dibiarkan larut dalam aqua 100-200 cc dan kemudian diminum.
Capecitabine monoterapi merupakan salah satu pilihan pada penderita usia
lanjut (70 tahun atau lebih) atau penderita dengan status performa yang kurang
baik. Pada penderita yang belum pernah mendapat kemoterapi, kombinasi terapi
cisplatin 100 mg/m2 hari 1 + capecitabine 2500 mg/m2 hari 1-14, siklus 21 hari
menghasilkan overall response rate 54% dan 1-year survival rate 73%.20

3.2.7 Cisplatin-Radioterapi + Adjuvan Cisplatin- Fluorouracil


Regimen ini sering disebut juga regimen al-sarraf, berdasarkan nama
peneliti yang pertama kali mempublikasikan pengobatan ini. Penggunaan
rasionalnya yaitu kanker nasofaring stadium lokal lanjut. Efek samping yang sering
terjadi adalah mual, muntah, nefrotoksisitas, neurotoksisitas, ototoksisistas,
myelosupresi, infeksi, stomatitis, fatigue.

23
Di negara-negara Asia, pengobatan pada penderita kanker nasofaring
stadium lokal lanjut dilakukan dengan memodifikasi regimen ini, misalnya dengan
memberikan cisplatin dalam dosis terbagi dengan jumlah dosis total sama atau
dengan mereduksi dosis cisplatin. Hasil studi metaanalisis menunjukkan
pengobatan kemoradioterapi konkuren mempunyai sfikasi yang lebih baik dari
pada radioterapi saja, sehingga saat ini teknik pengobatan ini direkomendasikan
sebagai terapi standar kanker nasofaring stadium lokal lanjut.20

3.2.8 Gemcitabine-Cisplatin
Regimen ini merupakan alternatif regimen klasik cisplatin-5FU, terutama
untuk kasus metastasis atau rekuren. Penggunaan rasionalnya adalah terapi lini
pertama atau kedua kanker nasofaring stadium metastasis/rekuren.
Efek samping yang sering terjadi adalah myelosupresi terutama
trombisitopenia, edema dan/atau proteinuria, mual, muntah, neurotoksisitas,
nefrotoksisitas, fatigue, peningkatan transaminase. Efek samping yang jarang
terjadi namun dapat menjadi berat adalah keganasan sekunder, pneumonitis,
sindrom hemolitik uremik. Gemcitabine sebaiknya diberikan dengan infus cepat
(habis dalam 30 menit), infus yang lebih lama akan meningkatkan risiko toksisitas,
khususnya toksisitas hematologi.
Regimen ini digunakan sebagai terapi lini pertama/kedua stadium
metastasis/rekuren di beberapa pusat onkologi dunia berdasarkan konsistensi
beberapa studi fase II yang menunjukkan regimen ini mempunyai efikasi yang baik
dengan toksisitas yang relatif ringan. Pada uji fase II regimen ini menunjukkan
overall response rate 81% dengan frekuensi anemia, leukopenia, dan
trombositopenia adalah 1,7%, 9%, dan 1,1 %.20

24
Gambar 3.2 Tata Laksana karsinoma nasofaring20

3.3 Terapi Target


Target terhadap molekuler menjadi terapi terbaru untuk karsinoma nasofaring yang
sedang dikembangkan. Epidermal growth factor receptor (EGFR) and vascular endothelial
growth factor (VEGFR) menjadi terapi target yang sedang dipelajari secara klinik. Sinyal
EGFR merupakan hal penting dalam patogenesis KNF. EGFR terekspresi sampai 90% pada
KNF dan berkaitan dengan prognosis yang buruk. Cetuximab adalah anti-EGFR
immunoglobulin G1 monoclonal antibody yang menghambat EGFR untuk mengobati KNF.
EGFR merupakan protein pada permukaan sel yang menerima sinyal untuk sel tumbuh dan
membelah diri. Pada karsinoma nasofaring terdapat jumlah yang berlebih pada EGFR
sehingga sel tumbuh dengan cepat. Kombinasi cetuximab dan carboplatin menunjukkan
respon rate 11,7% dan median time to progression adalah 2,7 bulan.32
Gefitinib adalah molekul kecil yang melawan EGFR tyrosine kinase. Dilaporkan
bahwa terjadi stabilisasi penyakit selama > 8 bulan, dan hal ini berkaitan dengan penurunan
kadar EBV DNA.33
Angiogenesis adalah target lain karena berkaitan dengan proses metastase. Pada KNF,
ekspresi VEGF berkaitan dengan angiogenesis dan metastase.34 Sunitinib merupakan obat
yang menghambat aktivitas tyrosine kinase dari VEGFR, platelet-derived growth-factor
receptor, stem cell-factor receptor (KIT) dan fms-like tyrosine kinase receptor-3. Penelitian

25
fase II menunjukkan bahwa penambahan bevacizumab pada kemoterapi locoregional
menghambat progresi penyakit.35
Sebelum memulai terapi target beberapa kondisi perlu diperhatikan karena berkaitan
dengan efek samping yang dapat timbul akibat terapi target. Hal yang perlu diperhatikan
adalah tekanan darah tinggi, adanya perdarahan atau masalah pembekuan, ataupun gangguan
jantung. Selain itu efek samping dapat timbul adalah sakit kepala, rambut rontok, reaksi
alergi, mual, muntah, diare, kerusakan pada tiroid, hati ataupun ginjal.9

3.4 Immunoterapi
Prognosis pasien KNF stadium lanjut adalah buruk. Penambahan terapi dengan
toksisitas rendah diharapkan memperbaiki prognosis. Adanya antigen EBV menjadi suatu
target immunoterapi. Immunoterapi terhadap EBV-spesific cytotoxic T cells (CTLs) terbukti
efektif pada posttransplant lymphoproliferative disorders (PTLDs), termasuk
immunodominan EBV nuclear antigens (EBNA)-3A, -3B, dan -3C. 36 Comoli et al
menunjukkan efikasi dan keamanan penggunaan EBV-spesific CTLs pada 6 pasien KNF
yaitu dua dengan respon komplit, satu respon parsial, dan satu dengan kondisi stabil dalam
jangka waktu lama. Hal ini membuktikan bahwa terapi EBV-spesific CTLs efektif pada KNF
stadium lanjut.37
Smith et al melaporkan keefektifan adenoviral-based EBV vaccine (AdE1-LMPpoly)-
stimulated T-cell immunotherapy untuk rekuren KNF dan metastase. AdE1-LMPpoly yang
mengkode EBNA1 mengalami fusi dengan CD8 T-cell epitop pada protein membran EBV
LMP1 dan LMP2. Dari 24 pasien, 16 diantaranya berhasil dengan terapi ini yaitu terjadi
pemanjangan time to progression 38-420 hari. Di masa depan, vektor AdE1-LMPpoly dapat
dijadikan sebagai vaksin profilaksis untuk mencegah kekambuhan dan metastase KNF.38
Yin Li et al melakukan penelitian immunoterapi cytokine-induced killer cell (CIK)
yang terdiri dari CD3+, CD8+ dan CD56+ dengan regimen kemoterapi gemcitabine dan
cisplatin. Penelitian dilakukan pada pasien KNF dengan metasatsis jauh setelah radioterapi.
Regimen gemcitabine-ciplatin diberikan 4-6 siklus dengan interval 4 minggu dan diikuti
dengan 4 siklus immunoterapi CIK dengan interval 2 minggu. Didapatkan bahwa
progression-free survival lebih tinggi secara signifikan pada pasien yang mendapat terapi ini
dibandingkan dengan yang hanya diberikan regimen kemoterapi. Efek samping yang dapat
timbul dari immunoterapi ini diantaranya adalah reaksi alergi,mual, muntah, sakit kepala dan
toksisitas hematologi.39

26
Pemberian immunoterapi ini adalah dengan mempurifikasi kurang lebih 200-400 ml
darah penderita, dan dilakukan stimulasi dengan EBV-spesific cytotoxic T cells atau
adenoviral-based EBV vaccine dan diinkubasi selama 14 hari. Setelah 4 minggu darah siap
untuk diinfuskan kembali ke tubuh penderita. Hal tersebut dapat dilihat pada gambar dibawah
ini.40

Gambar 3.3 Immunoterapi karsinoma nasofaring40

BAB IV

27
PENUTUP

4.1 Kesimpulan .

1. Terapi sistemik pada karsinoma nasofaring adalah dengan radioterapi, kemoterapi,


terapi target, dan immunoterapi.
2. Penatalaksanaan karsinoma nasofaring stadium I adalah radioterapi dosis tinggi pada
tumor primer di nasofaring dan radiasi profilaktik di daerah leher
3. Penatalaksanaan karsinoma nasofaring stadium Il adalah kemo-radioterapi atau
radioterapi dosis tinggi pada tumor primer di nasofaring dan radiasi profilaktik di
leher
4. Penatalaksanaan karsinoma nasofaring stadium III adalah kemo-radioterapi atau
radioterapi dosis tinggi / teknik hiperfraksinasi ditujukan pada tumor primer di
nasofaring dan kelenjar leher bilateral (bila ada). Diseksi leher mungkin dapat
dikerjakan misalnya pada tumor leher persisten atau rekuren asalkan tumor primer di
nasofaring sudah terkontrol.
5. Penatalaksanaan karsinoma nasofaring stadium IV adalah kemo-radioterapi atau
radioterapi dosis tinggi / teknik hiperfraksinasi ditujukan pada tumor primer di
nasofaring dan kelenjar leher bilateral, diseksi leher dapat dikerjakan bila tumor leher
persisten atau rekuren asalkan tumor primer di nasofaring sudah terkontrol, dan
kemoterapi untuk KNF stadium IV C.
6. Terapi target dan immunoterapi dapat menjadi pilihan pada karsinoma nasofaring
stadium lanjut dan karsinoma nasofaring yang sudah terjadi metastase.

4.2 Saran

1. Diperlukan pemilihan protokol terapi sistemik yang tepat pada penderita karsinoma
nasofaring.
2. Diperlukan penelitian lebih lanjut mengenai keefektifan dan keamanan penggunaan
terapi target dan immunoterapi pada pasien karsinoma nasofaring.

DAFTAR PUSTAKA

28
1. Munir M. Keganasan di bidang telinga hidung tenggorok. Dalam: Buku ajar ilmu
kesehatan telinga hidung tenggorok kepala leher, ed 6, Jakarta:Balai Penerbit
FKUI;2007. 162.
2. Evlina S, Sirait T, Rahayu PS, Shalmont G, Anwar E, Andalusia R, et al. Registri
kanker berbasis rumah sakit di rumah sakit kanker Dharmais Pusat kanker nasional
1993-2007. Indonesian J Cancer 2012;6:181-205
3. Protokol Kanker Nasofaring. PP. POI. Departemen kesehatan.
4. Young LS, Dawson CW, Clark D, et al. Epstein-Barr virus gene expression in
nasopharyngeal carcinoma. J Gen Virol 1998 May;69 ( Pt 5):1051-65.
5. Wei WI, Chua DTT. Pharynx: nasopharynx. In:Watkinson JC, Gilbert RW, eds. Stell
and Marans Textbook of Head and Neck Surgery and Oncology, 5th ed.
London:Hodder Aldold;2012.p.588-611
6. Lee AW, Sze WM, Au JS, et al. Treatment results for nasopharyngeal carcinoma in the
modern era: the Hong Kong experience. Int J Radiat Oncol Biol Phys 2005;61:1107-
16.
7. Chan AT, Leung S, Ngan RK, et al. Overall Survival After Concurrent Cisplatin-
Radiotherapy Compared With Radiotherapy Compared With Radiotherapy Alone in
Locoregionally Advanced Nasopharyngeal Carcinoma. J Natl Cancer Inst
2005;97:536-9.
8. Chan AT, Hsu MM, Goh BC, et al. Multicenter, phase II study of cetuximab in
combination with carboplatin in patients with recurrent or metastatic nasopharyngeal
carcinoma. J Clin Oncol 2005;23:3568-76.
9. What's New in Nasopharyngeal Cancer Research and Treatment?
https://www.cancer.org/cancer/nasopharyngeal-cancer/about/new-research.html
10. Munir M. Keganasan di bidang telinga hidung tenggorok. Dalam: Buku ajar ilmu
kesehatan telinga hidung tenggorok kepala leher, ed 6, Jakarta:Balai Penerbit
FKUI;2007. 162.
11. Wee JT, Ha TC, Loong SL, Qian CN. Is nasopharyngeal cancer really a Cantonese
cancer? Chin J Cancer. 2010;29(5):517526.
12. Tsao SW, Yip YL, Tsang CM, Pang PS, Lau VMY, Zhang G, et al. Etiological factors
of nasopharyngeal carcinoma. Oral oncol. 2014 Mar 12; 50:330-338. doi:
10.1016/j.oraloncology.2014.02.006.

29
13. Wolf H, zur Hausen H, Becker V: EB viral genomes in epithelial nasopharyngeal
carcinoma cells. Nat New Biol 1973, 244: 245-247.
14. Stricker TP, Kumar V. Neoplasia. In: Kumar V, Abbas AK, Fausto N, Aster JC,
editors. Robbins and Cotran Pathologic Basis of Disease, Eighth Edition.
Philadelphia: Saunders; 2010.
15. Yoshizaki T, Kondo S, Wakisaka N, Murono S, Endo K, Sugimoto H, et al.
Pathogenic role of Epstein-Barr virus latent membrane protein-1 in the development
of nasopharyngeal carcinoma. Cancer Lett. 2013 May 12; 337:1-7.
16. Petersson F. Nasopharyngeal carcinoma: A review. Seminars in Diagnostic Pathology.
2015; 32:54-73. Doi: 10.1053/j.semdp.
17. Suzina SAH, Hamzah M. Clinical Presentation of Patients with Nasopharyngeal
Carcinoma. Med J Malaysia. 2003 October; 58:539-545.
18. Evlina S, Sirait T, Rahayu PS, Shalmont G, Anwar E, Andalusia R, et al. Registri
kanker berbasis rumah sakit di rumah sakit kanker Dharmais Pusat kanker nasional
1993-2007. Indonesian J Cancer 2012;6:181-205
19. American Joint Committee on Cancer. AJCC Cancer Satging Manual, 7th ed.
Chicago: Springer;2010
20. Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran Kanker Nasofaring. Kementerian
Kesehatan Republik Indonesia.
21. National Comprehensive Cancer Network. NCCN Clinical Practice Guidelines in
Oncology: Head and Neck Cancers Ver.2.2017;2017
22. Lok B, Setton J, Ho F, Riaz N, Rao S, Lee N. Nasopharynx. In: Halperin E, Wazer D,
Perez C, Brady L, editors. Perez and Bradys Principles and Practice of Radiation
Oncology. 6th ed. Philadelpia: Lippincot Williams & Wilkins; 2013. p. 73060.
23. Lee A, Marguet S, Leclercq J, Ng WT, Ma J, et al.Chemotherapy and radiotherapy in
nasopharyngeal carcinoma: an update of the MAC-NPC meta-analysis. Lancet oncol.
2015 Jun;16(6):645-55
24. Dragovic J, Doyle T, Eugene J, Eric R, Richard D, et al. Accelerated fractionation
radiotherapy and concomitant chemotherapy in patients with stage IV inoperable head
and neck cancer. DOI: 10.1002/1097-0142(19951101)76:9
25. Wolden L, Dennis H. Kraus, Kenneth E. Rosenzweig, et al. Accelerated Concomitant
Boost Radiotherapy and Chemotherapy for Advanced Nasopharyngeal Carcinoma.
DOI: 10.1200/JCO.2001.19.4.1105 Journal of Clinical Oncology 19, no. 4 (February
2001) 1105-1110.
30
26. Chan Y, Sung H, Kwan H, Yeon S, Jong H, et al. IMRT vs. 2D- radiotherapy or 3D-
conformal radiotherapy of nasopharyngeal carcinoma. Strahlenther Onkol (2016)
192:377385.
27. Lutz S, Berk L, Chang E et al. Palliative radiotherapy for bone metastases: an ASTRO
evidence based guideline. Int J Rad Oncol Biol Phys 2011; 79(4): 965-976.
28. Chan ATC, Grgoire V, Lefebvre J-L, et al. Nasopharyngeal cancer: EHNSESMO
ESTRO Clinical Practice Guidelines for diagnosis, treatment and follow-up. Ann
Oncol 2012;23:20102.
29. Dimery I , Peters J, Goepfert H, et al. Effectiveness of combined induction
chemotherapy and radiotherapy in advanced nasopharyngeal carcinoma. DOI:
10.1200/JCO.1993.11.10.1919 Journal of Clinical Oncology 11, no. 10;1919-28.
30. Al-Sarraf, Pajak T, Cooper J, et al. Chemo-radiotherapy in patients with locally
advanced nasopharyngeal carcinoma: a radiation therapy oncology group study. DOI:
10.1200/JCO.1998.8.8.1342 Journal of Clinical Oncology 8, no. 8 1342-51.
31. Ryan J. Burri; Nancy Y. Lee. Concurrent Chemotherapy and Radiotherapy for Head
and Neck Cancer. Expert Rev Anticancer Ther. 2009;9(3):293-302.
32. Chan AT, Hsu MM, Goh BC, et al. Multicenter, phase III study of cetuximab in
combination with carboplatin in patients with recurrent or metastatic nasopharyngeal
carcinoma. J Clin Oncol. 2005;23(15):35683576.
33. Chua DT, Wei WI, Wong MP, Sham JS, Nicholls J, Au GK. Phase II study of gefitinib
for the treatment of recurrent and metastatic nasopharyngeal carcinoma. Head Neck.
2008;30(7):863867.
34. Guang-Wu H, Sunagawa M, Jie-En L, et al. The relationship between microvessel
density, the expression of vascular endothelial growth factor (VEGF), and the
extension of nasopharyngeal carcinoma. Laryngoscope. 2000;110(12):20662069.
35. Hui EP, Ma BB, King AD, et al. Hemorrhagic complications in a phase II study of
sunitinib in patients of nasopharyngeal carcinoma who has previously received high-
dose radiation. Ann Oncol. 2011; 22(6):12801287.
36. Chua D, Huang J, Zheng B, et al. Adoptive transfer of autologous Epstein-Barr virus-
specific cytotoxic T cells for nasopharyngeal carcinoma. Int J Cancer. 2001;94(1):73
80.
37. Comoli P, Pedrazzoli P, Maccario R, et al. Cell therapy of stage IV nasopharyngeal
carcinoma with autologous Epstein-Barr virus-targeted cytotoxic T lymphocytes. J
Clin Oncol. 2005;23(35): 89428949.
31
38. Smith C, Tsang J, Beagley L, et al. Effective treatment of metastatic forms of Epstein-
Barr virus-associated nasopharyngeal carcinoma with a novel adenovirus-based
adoptive immunotherapy. Cancer Res. 2012;72(5):11161125.
39. Yin Li, Ke Pan, Liu Li, Qiang Li Y, Zhang H. Sequential Cytokine-Induced Killer
Cell Immunotherapy Enhances the Efficacy of the Gemcitabine Plus Cisplatin
Chemotherapy Regimen for Metastatic Nasopharyngeal Carcinoma. PloS ONE.
2015;10(6): e0130620. doi:10.1371/journal.
40. Smith C, Khanna R. A new approach for cellular immunotherapy of nasopharyngeal
carcinoma. OncoImmunology 1:8, 1440-1442; November 2012; Landes Bioscience.

32

Anda mungkin juga menyukai