SINDROM NEFROTIK
Pendamping
dr. M.Pratiknyo
DisusunOleh
dr. Syifa Dian Firmanita
PENDAHULUAN
Sindrom nefrotik (SN) pada anak merupakan penyakit ginjal anak yang paling sering
ditemukan. Insidens SN pada anak dalam kepustakaan di Amerika Serikat dan Inggris adalah 2-7
kasus baru per 100.000 anak per tahun,1dengan prevalensi berkisar 12 16 kasus per 100.000
anak.2 Di negara berkembang insidensnya lebih tinggi. Di Indonesia dilaporkan 6 per 100.000
per tahun pada anak berusia kurang dari 14 tahun.3 Perbandingan anak laki-laki dan perempuan
2:1.
Diperlukan perhatian khusus untuk menangani kasus sindrom nefrotik terlebih pada anak anak
karena angka relaps nya cukup tinggi dan komplikasi serta efek jangka panjang nya dapat
menyebabkan terganggunya fungsi ginjal hingga menyebabkan chronic kidney disease.
Terapi definitif atau drug of choice pada sindrom nefrotik pimer / idiopatik masih berupa
steroid atau prednisone hingga didapatkan remisi, ditunjang dengan diuretik dan antibiotic untuk
mencegah infeksi.
BAB IV
PEMBAHASAN
Menurut konsensus IDAI tahun 2012 mengenai Sindrom Nefrotik, Sindrom nefrotik
merupakan suatu sindrom atau kumpulan gejala yang terdiri dari proteinuria massif (40 mg/m 2
LPB/jam atau rasio protein/kreatinin pada urine sewaktu >2 mg/mg atau dipstick 2+),
hipoalbuminemia (2,5 gr/dL), edema dan dapat disertai hiperkolestrerolemia (250 mg/uL).
Dari hasil anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang, Pasien anak KH
dapat didiagnosis dengan sindrom nefrotik. Diagnosis sindrom nefrotik dapat ditegakan karena
pada anamnesis pasien mengeluh adanya bengkak/edema pada tungkai, wajah dan pada
ekstremitas atas. Keluhan ini disertai dengan BAK yang sedikit sedikit dan berwarna kuning
keruh yang merupakan tanda patognomonis adanya kelainan dari ginjal. Disamping itu, pasien
tidak mengalami infeksi sebelumnya seperti sakit telinga atau batuk pilek dan tidak disertai
adanya BAK berdarah / gross hematuri yang memungkinkan untuk menyingkirkan diagnosis
GNAPS. Keluhan juga tidak disertai ikterik, tidak ada nya tanda tanda dehidrasi dan tidak ada
ruam / butterfly rash dimuka sehingga diagnosis edem non renal karena kelainan di hepar, gagal
ginjal akut dan juga lupus nefritis dapat kita singkirkan.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan edem anasarka atau edem di seluruh tubuh dengan jenis
pitting edema dan disertai ascites, lingkar perut yang bertambah lebar, disertai peningkatan
tekanan darah. Pada pemeriksaan penunjang, didapatkan kadar kolesterol > 200 dan penurunan
albumin < 2,5 gr/dL, dan protein urin +3. Hasil pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang ini
sesuai dengan kriteria yang disampaikan oleh IDAI dalam konsensus sindrom nefrotik.
Pemeriksaan CRP dan ASTO dilakukan untuk mengetahui adanya infeksi yang ditimbulkan oleh
bakteri Streptokokus . Hasil CRP dan ASTO yang negative dapat menyingkirkan diagnosis
GNAPS.
Untuk menyingkirkan diagnosis banding lupus nefritis, perlu dilakukan pemeriksaan C3
komplemen, uji anti ds-DNA dan uji ANA yang tidak dapat dilakukan di RSUD Ambarawa.
Pemeriksaan EKG dan Echocardiografi digunakan untuk menyingkirkan adanya kelainan
jantung.
Dari pembahasan tersebut, maka pada pasien An.KH dapat ditegakan diagnosis sindroma
nefrotik.
BAB III
LAPORAN KASUS
A. IDENTITAS PENDERITA
Nama : An.KH
Umur : 5 tahun
Jenis Kelamin : Laki - laki
Agama : Islam
Suku : Jawa
Alamat : Pringapus 2/1
Pekerjaan orang tua : Wiraswasta
Bangsal : Anggrek
No CM : 39.92.xx
Masuk RS : 13 Maret 2017
Keluar RS : 20 Maret 2017
B. ANAMNESIS
Alloanamnesis dilakukan pada Senin, 13 Maret 2017
Keluhan Utama : Bengkak
Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang dari IGD RSUD Ambarawa dengan keluhan bengkak pada seluruh
tubuh kurang lebih sejak 1 minggu SMRS. Bengkak dimulai dari daerah kelopak mata
kurang lebih sejak 1 minggu yang lalu. Kemudian diikuti perut yang semakin membuncit
dan bengkak pada kedua kaki kurang lebih 2 hari SMRS. Bengkak terlihat semakin hari
semakin bertambah dan perut serta kaki pasien semakin bertambah besar.
Selain bengkak, ibu pasien juga mengatakan bahwa selama bengkak pasien menjadi
jarang BAK atau BAK menjadi sedikit sedikit (1-2x sehari). BAK berwarna kuning
keruh dan berbuih. Anak tidak mengeluhkan nyeri pada tempat yang bengkak. Anak tidak
mengeluh demam, tidak mual dan muntah, tidak sesak nafas, tidak sakit perut, BAB tidak
cair. Selama sakit ibu pasien mengatkan bahwa nafsu makan anak jadi berkurang dan
anak tampak kurang aktif dari biasanya.
Riwayat Penyakit Dahulu
- Pertumbhan
BB lahir : 2800 gram.
BB sekarang : 18 kg
BB 2minggu SMRS : 16 kg
TB sekarang : 105 cm.
IMT = BB/(TB)2 : 16/(1,05)2 = 14,51
Kesan : Status Gizi sebelum sakit Normal, setelah sakit sulit dinilai karena edema.
- Perkembangan
Mengangkat kepala : 2 bulan
Duduk : 6 bulan
Merangkak : 8 bulan
Berdiri : 11 bulan
Berjalan : 12 bulan
C. PEMERIKSAAN FISIK
Keadaan Umum : Tampak Sakit, lemas, dan tampak bengkak diseluuh tubuh
Keasadaran : komposmentis
Tanda Vital :
Tekanan darah : 120/80 mmHg
HR : 110 x/menit
RR : 24 x/menit
Suhu : 37,3 o C
Kesan : Hipertensi grade I
a. Status Generalis
Kepala : Normochepal, rambut hitam, tidak mudah dicabut, muka sembab
Mata : Edem palpebra (+/+), sklera ikterik(-/-), konjungtiva anemis (-)
Telinga : Otorhhea (-/-), kemerahan (-/-), nyeri(-/-).
Hidung : Discharge(-/-), mukosa kemerahan (-/-), epistaksis (-/-)
Mulut : Sianosis (-),bibir kering(-), perdarahan (-), mukosa hiperemis (-), tonsil T1-
T1 tidak hiperemis, faring tidak hiperemis
Leher : Tidak ada pembesaran KGB
b. Thorax
Inspeksi : Retraksi (-), masa (-), pergerakan dinding dada dextra dan sinistra
simetris, pernafasan thoracoabdominal (+)
Palpasi : Stem fremitus Kanan = kiri, kreptasi(-), nyeri (-)
Perkusi : Sonor seluruh lapang paru
Auskultasi : Vesikuler (+/+), ronkhi (-/-),
c. Jantung
Inspeksi : Iktus cordis tidak tampak
Palpasi : Iktus cordis teraba pada ICS V linea midclavicula sinistra
Perkusi
Batas kiri bawah : ICS V Linea midclavicula kiri, 2 cm ke medial
Batas kiri atas : ICS II Linea parasternal kiri
Batas kanan atas : ICS II Linea parasternais kanan
Batas kanan bawah :ICS III-IV Linea parasternalis dextra
Auskultasi : Bunyi jantung I dan II reguler, bising jantung (-)
d. Abdomen
Inspeksi : Cembung, kemerahan (-), hernia umbilicalis (-)
Auskultasi : Suara peristaltik 5x/menit
Perkusi : Redup (+)
Palpasi : Nyeri (-), Turgor kembali cepat, hepar lien sulit dinilai, nyeri ketok
costovertebra dextra dan sinistra (-), nyeri tekan suprasimphisis (-)
Tes Ascites : pekak sisi - pekak alih (+), undulasi (+)
e. Alat Kelamin
Scrotum : Edema (+), hiperemis (-)
f. Extremitas
Ekstremity Superior Inferior
2.1 Definisi
Sindrom nefrotik merupakan suatu sindrom atau kumpulan gejala yang terdiri dari :
a. Proteinuria massif (40 mg/m2 LPB/jam atau rasio protein/kreatinin pada urine
sewaktu >2 mg/mg atau dipstick 2+)
b. hipoalbuminemia (2,5 gr/dL)
c. edema
d. dapat disertai hiperkolestrerolemia (250 mg/uL).
Terdapat beberapa definisi/batasan yang dipakai pada Sindrom Nefrotik, antara lain :
1. Remisi, yaitu proteinuria negatif atau trace (proteinuria <4 mg/m2 LBP/jam) selama 3
hari berturut-turut dalam 1 minggu.
2. Relaps, yaitu proteinuria 2+ (proteinuria 40 mg/m 2 LBP/jam) selama 3 hari berturut-
turut dalam 1 minggu.
3. Relaps jarang, yaitu relaps yang terjadi kurang dari 2 kali dalam 6 bulan pertama setelah
respon awal, atau kurang dari 4 kali per tahun pengamatan.
4. Relaps sering (frequent relapse), yaitu relaps terjadi 2 kali dalam 6 bulan pertama atau
4 kali dalam periode satu tahun.
5. Dependen steroid, yaitu keadaan dimana terjadi relaps saat dosis steroid diturunkan atau
dalam 14 hari setelah pengobatan dihentikan, dalam hal ini terjadi 2 kali berturut-turut.
6. Resisten steroid, yaitu suatu keadaan tidak terjadinya remisi pada pengobatan
prednisone dosis penuh (full dose) 2 mg/kgBB/hari selama 4 minggu.
2.2 Etiologi
Pada pengobatan kortikosteroid insial, sebagian besar SNKM (94%) mengalami remisi
total / responsive, sedangkan pada GSFS sekitar 80-85% tidak responsive (resisten
steroid).
3. Sindrom nefrotik sekunder
Timbul sebagai akibat dari suatu penyakit sistemik atau sebagai akibat dari berbagai
penyakit sistemik antara lain :
Penyakit metabolic atau kongenital : diabetes mellitus, amiloidosis, sindrom Alport,
miksedema
Toksin dan allergen : logam berat (Hg), racun serangga, bisa ular
Penyakit sistemik imunologik : LES / Lupus Eritematosus Sistemik, purpura
Henoch-Schinlein dan lain lain.
Neoplasma
2.3 Patogenesis
Protenuria
Proteinuri sebagian besar berasal dari kebocoran glomerulus (proteinuri glomerular).
Perubahan integritas membrana basalis glomerulus (MBG) menyebabkan protein plasma
dapat dieksresikan dalam urin dalam bentuk albumin. Dalam keadaan normal membran
basal glomerulus (MBG) mempunyai mekanisme penghalang untuk mencegah kebocoran
protein. Mekanisme penghalang pertama bekerja berdasarkan ukuran molekul (size
barrier) dan muatan listrik (change barrier). Pada SN, kedua mekanisme penghalang
tersebut ikut terganggu. Proteinuria dibedakan menjadi selektif dan non-selektif
berdasarkan ukuran molekul protein yang keluar melalui urin. Proteinuria selektif apabila
yang keluar terdiri dari molekul kecil misalnya albumin. Sedangkan non-selektif apabila
protein yang keluar terdiri dari molekul besar seperti immunoglobulin.
Hipoalbuminemia
Hipoalbuminemi disebabkan oleh hilangnya albumin melalui urin dan peningkatan
katabolisme albumin di ginjal. Sintesis protein di hati biasanya meningkat (namun tidak
memadai untuk mengganti kehilangan albumin dalam urin), tetapi mungkin normal atau
menurun.
Edema
Edema pada SN dapat diterangkan dengan
teori underfill dan overfill.
1. Teori underfill menjelaskan bahwa
hipoalbuminemia merupakan faktor kunci
terjadinya edema pada SN.
Hipoalbuminemia menyebabkan
penurunan tekanan onkotik plasma
sehingga cairan bergeser dari
intravaskular ke jaringan intestitium dan
terjadi edema. Akibat penurunan tekanan
onkotik plasma dan bergesernya cairan
plasma terjadi hipovolemia dan ginjal
melakukan kompensasi dengan
meningkatkan retensi natrium dan air. Mekanisme kompensasi ini akan memperbaiki
volume intravaskular tetapi juga akan menyebabkan edema.
2.6 Penatalaksanaan
Pada kasus sindrom nefrotik yang diketahui untuk pertama kalinya, sebaiknya penderita
di rawat di rumah sakit dengan tujuan untuk mempercepat pemeriksaan dan evaluasi
pengaturan diet, penanggulangan edema, memulai pengobatan steroid, dan edukasi bagi orang
tua. Sebelum pengobatan steroid dimulai, dilakukan uji Mantoux. Bila hasilnya positif
diberikan profilaksis INH bersama steroid, dan bila ditemukan tuberculosis (OAT).
1. Diet
Pemberian diet tinggi protein tidak diperlukan. Bahkan sekarang dianggap kontra
indikasi, karena akan menambah beban glomerolus untuk mengeluarkan sisa metabolisme
protein (hiperfiltasi) dan menyebabkan terjadinya sklerosis glomerolus. Sehingga cukup
diberikan diet protein normal sesuai dengan RDA (Recommended Daily Allowances)
yaitu 2gram/kgBB/hari. Diet rendah protein akan menyebabkan malnutrisi energy protein
(MEP) dan hambatan pertumbuhan anak. Diet rendah garam (1-2gram/hari) hanya
diperlukan jika anak menderita edema.
2. Diuretik
Restriksi cairan dianjurkan selama ada edema berat. Biasanya diberikan loop diuretic
seperti furosemid 1-2 mg/kgBB/hari, bila perlu dikombinasikan dengan
spironolakton (antagonis aldosteron, diuretik hemat kalium) 2-3 mg/kgBB/hari.
3. Pengobatan Inisial
Sesuai dengan anjuran ISKDC (International Study on Kidney Diseases in Children)
pengobatan inisial pada sindrom nefrotik dimulai dengan pemberian prednisone dosis
penuh (full dose) 60 mg/m2 LPB/hari (maksimal 80mg/hari), dibagi dalam 3 dosis, untuk
menginduksi remisi. Dosis prednisone dihitung berdasarkan berat badan ideal (berat
badan terhadap tinggi badan). Prednisone dalam dosis penuh inisial diberikan selama 4
minggu. Bila terjadi remisi pada remisi pada 4 minggu pertama, maka pemberian steroid
dilanjutkan dengan 4 minggu kedua dengan dosis 40mg/m2 LPB/hari (2/3 dosis awal)
secara alternating (selang sehari), 1 kali sehari setelah makan pagi. Bila setelah 4 minggu
pengobatan steroid dosis penuh, tidak terjadi remisi, pasien dinyatakan sebagai resisten
steroid. (Gambar 1)
4. Pengobatan Relaps
Skema pengobatan relaps dapat dilihat di gambar 2, yaitu diberikan prednisone dosis
penuh sampai remisi (maksimal 4 minggu) dilanjutkan dengan prednisone dosis
alternating selama 4 minggu.
Pada sindrom nefrotik yang mengalami proteinuria 2+ kembali tetapi tanpa edema,
sebelum dimulai pemberian prednisone, terlebih dahulu dicari pemicunya, biasanya
infeksi saluran napas atas. Bila ada infeksi, diberikan antibiotic 5-7 hari dan bila setelah
pemberian antibiotic kemudian proteinuria menghilang, tidak perlu diberikan pengobatan
relaps. Bila sejak awal ditemukan proteinuria 2+ disertai edema, maka didiagnosis
sebagai relaps, dan diberi pengobatan relaps.
Jumlah kejadian relaps dalam 6 bulan pertama pasca pengobatan inisial, sangat penting,
karen dapat meramalkan perjalanan penyakit selanjutnya. Berdasarkan relaps yang terjadi
dalam 6 bulan pertama pasca pengobatan steroid inisial, pasien dapat dibagi dalam
beberapa penggolongan, yaitu :
1. Tidak ada relaps sama sekali (30%)
2. Relaps jarang : jumlah relaps < 2 kali dlm 6 bulan (10-20%)
3. Relaps sering : jumlah relaps 2 kali dalam 6 bulan (40-50%)
4. Dependen steroid : yaitu keadaan dimana terjadi relaps saat dosis steroid diturunkan
atau dalam 14 hari setelah pengobatan dihentikan, dalam hal ini terjadi 2 kali
berturut-turut.
Selain itu perlu dicari focus infeksi, seperti tuberculosis, infeksi di gigi atau cacingan.
2.8 Prognosis
Prognosis baik bila penderita sindrom nefrotik memberikan respons yang baik terhadap
pengobatan kortikosteroid dan jarang terjadi relaps. Prognosis jangka panjang sindrom
nefrotik kelainan minimal selama pengamatan 20 tahun menunjukan hanya 4-5% menjadi
gagal ginjal terminal, sedangkan pada glomerulosklerosis, 25% menjadi gagal ginjal terminal
dalam 5 tahun, dan pada sebagian besar lainnya disertai penurunan fungsi ginjal.
DAFTAR PUSTAKA
1. Alatas, Husein dkk. 2005. Kosensus Tatalaksana Sindrom Nefrotik Idiopatik Pada Anak. Unit
Koordinasi Nefrologi Ikatan Dokter Anak Indonesia. Jakarta, h.1-18.
2. Wila Wirya IG, 2002. Sindrom Nefrotik. In: Alatas H, Tambunan T, Trihono PP, Pardede SO, editors.
Buku Ajar Nefrologi Anak. Edisi-2. Jakarta : Balai Penerbit FKUI pp. 381-426
3. Travis L, 2002. Nephrotic syndrome. Emed J (on line) (20) : screens. Available from :
URL:http//www.emedicine.com/PED/topic1564.htm. akses : on September 8, 2009
th
4. Kliegman, Behrman, Jenson, Stanton. 2007. Nelson Textbook of Pediatric 18 ed. Saunders.
Philadelpia.
5. Gunawan, AC. 2006. Sindrom Nefrotik: Pathogenesis dan Penatalaksanaan. Cermin Dunia Kedokteran
No. 150. Jakarta, h.50-54
6. Mansjoer Arif, 2000, Kapita Selekta Kedokteran, Jilid 2, Media Aesculapius : Jakarta
7. Pardede, Sudung O. 2002. Sindrom Nefrotik Infantil. Cermin Dunia Kedokteran No. 134. Jakarta,
h.32-37
8. Markum, et.al. 2002. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Anak. Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia
9. Noer MS, Soemyarso N. 2009. Sindrom Nefrotik. (on line) (1) : screens. Available from :
URL:http//www.pediatrik.com. Akses : 8 september 2009
10.Suraatmaja S, Soetjiningsih, Penyunting. Pedoman Diagnosis Terapi Ilmu Kesehatan Anak RSUP
Sanglah Denpasar. Cetakan ke-2. Denpasar:Lab./SMF Ilmu Kesehatan Anak FK UNUD/RSUP
Sanglah; 2000. h.159-162
11.Cohen Eric P. Nephrotic Syndrome: Differential Diagnoses & Workup. Update: Aug 25, 2009
12.Garna, Herry dkk. 2012. Pedoman Diagnosis dan Terapi Ilmu Kesehatan Anak FK UNPAD. Edisi ke-
4. Bandung: Departemen Ilmu Kesehatan Anak FK UNPAD. h.601-606