Anda di halaman 1dari 2

EVOLUSI DAN MASA DEPAN SKRINING KANKER PAYUDARA

( Fokus Pada Wanita Asia )


Adanya skrining mammografi saat ini adalah satu-satunya alat skrining yang bisa
menurunkan tingkat kematian akibat kanker payudara. Dalam sebuah studi di Jepang yang
melibatkan wanita berusia 40-49 tahun, menunjukkan adanya deteksi kanker yang lebih besar
dengan sensitivitas yang lebih tinggi untuk ultrasonografi payudara dibandingkan dengan
mammografi. Tetapi dalam satu tahun mammografi mampu mendeteksi kanker payudara dengan
rata - rata 3,1/1000 per tahun, lebih besar dari pada tingkat deteksi ultrasonografi payudara yaitu
1,7/1000 per tahun. Penggunaan mammografi sebagai modalitas skrining telah banyak
dipertanyakan. Pada tahun 2009 di Amerika Serikat muncul keributan dengan adanya kebijakan
bahwa wanita berusia di atas 50 tahun harus melakukan skrining setiap 2 tahun sekali, dan untuk
wanita berusia di atas 75 tahun tidak perlu skrining rutin. Oleh karena itu, sebuah studi di
Kanada menentang kebijakan pemerintah tentang usulan tersebut. Karena keefektifan skrining
tidak bisa ditentukan semata-mata atas dasar perubahan tingkat kematian dalam populasi secara
keseluruhan. Berdasarkan keterlibatannya, penulis mengusulkan agar skrining disesuaikan
berdasarkan faktor individu, seperti gen dan riwayat keluarga. Harus diakui bahwa efektifitas
skrining mammografi telah menurun dikarenakan kemajuan dalam modalitas pemeriksaan
(termasuk kemoterapi, terapi tertarget, teknik bedah baru, dan radioterapi). Selain itu,
pertumbuhan pendidikan kesehatan dan promosi tentang mammografi telah meningkatkan
kesadaran wanita akan kanker payudara, yang mendorong mereka untuk memilih melakukan
skrining dengan modalitas pilihan mereka sendiri. Berikut adalah macam alat skrining payudara:

1. Mammografi
Menurut hasil gabungan dari berbagai analisis menunjukkan, mamografi saat ini adalah
satu-satunya alat skrining yang bisa menurunkan angka kematian akibat kanker payudara
hingga mencapai angka 15% di antara wanita di bawah usia 50 tahun, dan sekitar 32% di
kalangan wanita usia lanjut (60-69 tahun). Mammografi juga memiliki tingkat
overdiagnosis sekitar 20%.; Namun, tidak memberikan keuntungan bagi wanita di atas
usia 70 tahun. Saat ini, pemeriksaan mammografi direkomendasikan untuk skrining
dengan interval yang berbeda tergantung pada tingkat risiko individu.
2. Breast Magnetic Resonance Imaging (MRI Breast)
Sebagian besar organisasi , termasuk American Cancer Society menyarankan sebaiknya
wanita yang memiliki 20-25% resiko kanker payudara seumur hidupnya harus menjalani
MRI payudara minimal satu kali setiap tahun. Namun, MRI payudara tidak dianjurkan
bagi wanita yang memiliki jaringan payudara padat. Hal ini dikarenakan, meskipun MRI
dapat secara dramatis meningkatkan deteksi kanker payudara sekitar 5-10 / 1000 dan
memiliki sensitivitas sangat tinggi, spesifisitasnya relatif rendah, waktu pencitraan lama
dan pasien mengatakan bahwa pemeriksaan MRI memberikan kesan klaustrofobia.
Akibat kekurangan tersebut, pemeriksaan MRI payudara saat ini hanya diberikan pada
wanita dari kelompok berisiko tinggi terkena kanker payudara.
3. Digital Breast Tomosynthesis (DBT)
DBT digunakan untuk mendeteksi kanker payudara tanpa kalsifikasi, karena tingkat
deteksi kalsifikasi modalitas DBT ini buruk. DBT ini mengambil gambar dalam bentuk
berlapis, dengan ketebalan lapisan 0,5 mm. Radiasinya relatif rendah, dengan masing-
masing payudara menerima dosis sekitar 3 mGy. DBT dapat meningkatkan tingkat
deteksi kanker payudara sekitar 1.0-2.7 / 1000. Meski DBT tidak membutuhkan kompresi
payudara, waktu pencitraannya termasuk lama. Gerakan yang disebabkan oleh pasien
juga dapat menurunkan kualitas gambar.
4. Dual-Energi Contras Enhanced Spectral Mammography
Teknik ini melibatkan suntikan kontras yang mengandung yodium, setelah itu payudara
pasien di scan, gambaran yang dihasilkan nantinya adalah gambaran tanpa kontras (plain)
dan gambaran yang dengan kontras yang nantinya jika ditemukan tumor dapat membantu
dalam menentukan karakteristik dan diagnosisnya. Cara ini bisa meningkatkan tingkat
deteksi, dan menyelesaikan masalah sensitivitas rendah dari mammografi pada wanita
dengan jaringan payudara padat. Namun, karena harganya yang mahal, penerapan metode
skrining ini tidak sering dilakukan.
5. Fungtional Breast Imaging (Molecular Breast Imaging)
Metode ini tidak terpengaruh oleh kepadatan jaringan payudara, dan bisa meningkatkan
sensitivitas. Tetapi sensitifitasnya terhadap tumor kecil (<1 cm) sangat rendah.
6. Automated Whole Breast Ultrasonography
Dapat digunakan sebagai alat skrining untuk wanita dengan jaringan payudara padat yang
juga sudah melakukan mammografi. Setiap payudara di pindai tiga kali, dan setiap
pemindaian hanya membutuhkan waktu 1 menit. Setelah pemindaian dilakukan proses
komputerisasi yang akan menghasilkan gambaran ultrasound payudara biasa dan
potongan perbagian dari payudara. Modalitas ini dapat ini meningkatkan tingkat deteksi
kanker payudara sampai 1,9 / 1000 dan menghemat waktu. Namun tingkat sensitifitasnya
rendah. Jika nantinya ditemukan tumor, modalitas lain akan dibutuhkan untuk
memberikan konfirmasi.
7. Handled Breast Ultrasonography
Ultrasonography payudara sampai saat ini meruupakan alat diagnostik yang lebih
penting dibandingkan dengan mammografi, terutama saat tumor payudara telah
ditemukan dengan pemeriksaan fisik. Ultrasonografi terbukti sangat efektif sebagai alat
skrining kanker payudara, dan memiliki tingkat deteksi kanker payudara sekitar 3/1000.

Kesimpulannya adalah tidak ada alat screening yang sempurna, jadi perl dilakukan skrining
dengan modalitas lain untuk mempertegas diagnose. Pasien harus diberi informasi terlebih
dahulu sebelum pemeriksaan dilakukan, tentang kelebihan, kekurangan, termasuk sensitivitas
masing-masing alat skrining, serta manfaat dan risiko terkait dengan diagnosis setelah skrining.
Begitu juga dengan overdiagnosis, dan kemungkinan overtreatment . Setiap orang layak
mendapatkan modalitas skrining yang berbeda bergantung pada informasi pribadi, kebutuhan
individu, dan tingkat risiko

Anda mungkin juga menyukai