Anda di halaman 1dari 40

RADIOGRAPH BASED DISCUSSION

Sirosis Hepatis

Untuk Memenuhi Tugas Kepaniteraan Klinik dan Melengkapi Salah Satu


Syarat Menempuh Program Pendidikan Profesi Dokter Bagian Radiologi
di Rumah Sakit Islam Sultan Agung Semarang

Oleh :

Ardhila Rahman R 30101206769

Fauzan Anshar 30101206629

Pembimbing :
dr. Bambang Satoto, Sp. Rad (K)

KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN RADIOLOGI

RUMAH SAKIT ISLAM SULTAN AGUNG

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS ISLAM SULTAN AGUNG SEMARANG

2017

i
LEMBAR PENGESAHAN

RADIOGRAPH BASED DISCUSSION

Diajukan guna melengkapi tugas kepaniteraan klinik bagian ilmu radiologi


Fakultas Kedokteran Universitas Islam Sultan Agung

Nama :

Ardhila Rahman R 30101206769

Fauzan Anshar 30101206629

Judul : Sirosis Hepatis

Bagian : Ilmu Radiologi

Fakultas : Kedokteran Unissula

Pembimbing : dr. Bambang Satoto, Sp. Rad (K)

Telah diajukan dan disahkan


Semarang, April 2017
Pembimbing,

dr. Bambang Satoto, Sp. Rad (K)

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ..................................................................................... i


LEMBAR PENGESAHAN.............................................................................. ii
DAFTAR ISI ..................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN......................................................................... 4
BAB II TINJAUAN PUSTAKA................................................................. 6
2.1. Anatomi Ginjal............................................................................... 6
2.2. Definisi Hidronefrosis................................................................... 8
2.2.2 Etiologi ......................................................................... 10
2.2.3. Tanda dan Gejala.......................................................... 12
2.2.4. Patofisiologi ................................................................. 13
2.2.5. Komplikasi.................................................................... 14
2.2.6 Pemeriksaan Fisik.......................................................... 15
2.2.7 Penegakan Diagnosis..................................................... 15
2.2.8. Gambaran Radiologi .................................................... 16
2.2.9. Foto Polos Abdomen .................................................... 17
2.2.10. IVU............................................................................ 18
2.2.11. Ultrasonografi (USG) ................................................ 23
2.3. Nefrolithiasis ................................................................................ 28
BAB III LAPORAN KASUS...................................................................... 34
3.1. Identitas .................................................................................. 34
3.2. Anamnesis .............................................................................. 34
3.3. Pemeriksaan Fisik .................................................................. 35
3.4. Diagnosis ............................................................................... 36
3.5. Pemeriksaan Penunjang ......................................................... 36
BAB IV PEMBAHASAN............................................................................ 42
BAB V KESIMPULAN.............................................................................. 43
DAFTAR PUSTAKA

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Hati merupakan organ terbesar dalam tubuh manusia. di dalam hati
terjadi proses-proses penting bagi kehidupan kita. yaitu proses penyimpanan

iii
4

energi, pengaturan metabolisme kolesterol, dan peneralan racun/obat yang


masuk dalam tubuh kita. sehingga dapat kita bayangkan akibat yang akan
timbul apabila terjadi kerusakan pada hati (Price & Wilson, 2005).
Sirosis hepatis adalah suatu keadaan patologis yang
menggambarkan stadium akhir fibrosis hepatik yang berlangsung progresif
yang ditandai dengan distorsi dari bentuk hepar dan pembentukan nodulus
regeneratif. Lebih dari 40% pasien sirosis hepatis asimptomatik dan sering
ditemukan pada waktu pemeriksaan rutin kesehatan atau autopsy
(Price & Wilson, 2005).
Sirosis hati dengan komplikasinya merupakan masalah kesehatan
yang masih sulit diatasi di Indonesia. Hal ini ditandai dengan angka kesakitan
dan kematian yang tinggi. Secara umum diperkirakan angka insiden sirosis
hati di rumah sakit seluruh Indonesia berkisar antara 0,6-14,5%.
Patogenesis sirosis hepatis terjadi melalui tiga situasi : (1) sebagai
respon imun, dimana virus hepatitis adalah contoh agen yang menyebabkan
sirosis melalui keadaan ini, (2) sebagai bagian dari proses penyembuhan luka
dan (3) sebagai respon terhadap agen yang memicu fibrogenesis primer, agen
tertentu seperti etanol dalam alkohol dapat menyebabkan fibrogenesis primer
dengan secara langsung meningkatkan transkripsi gen kolagen sehingga
meningkatkan jumlah jaringan ikat yang diekskresikan oleh sel.
Oleh sebab itu untuk mengatasi dan untuk mencegah komplikasi
yang ditimbulkan dari sirosis hepatis perlu dilakukan penatalaksanaan yang
spesifik, yaitu untuk mengidentifikasi dan memperbaiki penyebab untuk
menangani infeksi, dan untuk mempertahankan serta melindungi fungsi
hepar.

1.2 Tujuan
1.2.1 Memahami definisi, etiologi, patofisiologi, dan cara penegakan
diagnosis sirosis hepatis.
1.2.2 Memahami gambaran radiologi sirosis hepatis.

1.3 Manfaat
1.3.1 Dapat menerapkan cara penegakan diagnosis sirosis hepatis
1.3.2 Dapat mengusulkan jenis pemeriksaan radiologi sirosis hepatis
1.3.3 Dapat mendeskripsikan gambaran radiologi sirosis hepatis
5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Anatomi Hepar


Hepar merupakan organ terbesar di dalam tubuh. Hepar bertekstur
lunak dan lentur, serta terletak di bagian atas cavitas abdominalis tepat di
bawah diaphragma. Sebagian besar hepar terletak di bawah arcus costalis
dexter, dan diaphragma setengah bagian kanan memisahkan hepar dari pleura,
paru-paru, pericardium, dan jantung. Hepar terbentang ke kiri untuk mencapai
diaphragma setengah bagian kiri. Permukaan atas hepar yang cembung
melengkung di bawah kubah diaphragma. Permukaan posteroinferior, atau
visceralis membentuk cetakan visera yang letaknya berdekatan, karena itu
bentuknya menjadi tidak berafuran. Permukaan ini berhubungan dengan pars
abdominalis oesophagus, gaster, duodenum, flexura coli dextra, ren dexter dan
glandula suprarenalis dextra, dan vesica biliaris (Snell, 2012).
Snell, Richard S. Anatomi Klinik ed. 6. EGC : Jakarta. 2006.
Hepar dapat dibagi dalam lobus dexter yang besar dan lobus
sinister yang kecil oleh perlekatan peritoneum oleh ligamentum falciforme.
Lobus dexter terbagi lagi menjadi lobus quadratus dan lobus caudatus oleh
adanya vesica biliaris, fissura unfuk ligamentum teres hepatis, vena cava
inferior, dan fissura untuk ligamentum venosum. Penelitian menunjukkan
bahwa pada kenyataannya lobus quadratus dan lobus caudatus merupakan
bagian fungsional lobus hepatis sinister. Jadi cabang dextra dan sinistra arteria
hepatica dan vena porta, dan ductus hepaticus dexter dan sinister masing-
masing mengurus lobus dexter dan sinister (termasuk lobus quadratus dan
lobus caudatus) (Snell, 2012).
Snell, Richard S. Anatomi Klinik ed. 6. EGC : Jakarta. 2006.
Perdarahan hepar melalui arteria hepatica propria, cabang arteria
coeliaca (truncus coeliacus), berakhir dengan bercabang menjadi ramus dexter
dan sinister yang masuk ke dalam porta hepatis kemudian perdarahan vena
porta berakhir dengan bercabang menjadi cabang dexter dan sinister yang

iii
7

masuk porta hepatis di belakang arteri. Venae hepaticae (tiga buah atau lebih)
muncul dari permukaan posterior hepatis dan bermuara ke dalam vena cava
inferior (Snell, 2012).
Snell, Richard S. Anatomi Klinik ed. 6. EGC : Jakarta. 2006.

2.2. Fisiologi Hepar


Menurut Guyton & Hall (2008), hati mempunyai beberapa fungsi
yaitu:
a. Metabolisme karbohidrat Fungsi hati dalam metabolisme
karbohidrat adalah menyimpan glikogen dalam jumlah besar,
8

mengkonversi galaktosa dan fruktosa menjadi glukosa, glukoneogenesis,


dan membentuk banyak senyawa kimia yang penting dari hasil perantara
metabolisme karbohidrat.
b. Metabolisme lemak Fungsi hati yang berkaitan dengan
metabolisme lemak, antara lain: mengoksidasi asam lemak untuk
menyuplai energi bagi fungsi tubuh yang lain, membentuk sebagian besar
kolesterol, fosfolipid dan lipoprotein, membentuk lemak dari protein dan
karbohidrat.
c. Metabolisme protein Fungsi hati dalam metabolisme protein
adalah deaminasi asam amino, pembentukan ureum untuk mengeluarkan
amonia dari cairan tubuh, pembentukan protein plasma, dan interkonversi
beragam asam amino dan membentuk senyawa lain dari asam amino.
d. Lain-lain Fungsi hati yang lain diantaranya hati merupakan
tempat penyimpanan vitamin, hati sebagai tempat menyimpan besi dalam
bentuk feritin, hati membentuk zat-zat yang digunakan untuk koagulasi
darah dalam jumlah banyak dan hati mengeluarkan atau
mengekskresikan obat-obatan, hormon dan zat lain.
Guyton, A.C. and Hall, J.E., 2006. Textbook of Medical Physiology. 11th ed.
Philadelphia, PA, USA: Elsevier Saunders.

2.3. Sirosis hepatis


2.3.1. Definisi
Sirosis hati adalah penyakit hati menahun yang difus
ditandai dengan adanya pembentukan jaringan ikat disertai nodul.
Biasanya dimulai dengan adanya proses peradangan nekrosis sel
hati yang luas. Pembentukan jaringan ikat dan usaha regenerasi
nodul. Distorsi arsitektur hati akan menimbulkan perubahan
sirkulasi mikro dan makro menjadi tidak teratur akibat
penambahan jaringan ikat dan nodul tersebut (Smeltzer & Bare,
2001).
9

2.3.2. Etiologi
Ada 3 tipe sirosis atau pembetukan parut dalam hati :
2.3.2.1. Sirosis Laennec (alkoholik, nutrisional), dimana jaringan
parut secara khas mengelilingi daerah portal. Sering
disebabkan oleh alkoholis kronis.
2.3.2.2. Sirosis pascanekrotik, dimana terdapat pita jaringan parut
yang lebar sebagai akibat lanjut dari hepatitis virus akut
yang terjadi sebelumnya.
2.3.2.3. Sirosis bilier, dimana pembentukan jaringan parut terjadi
dalam hati disekitar saluran empedu. Terjadi akibat
obstruksi bilier yang kronis dan infeksi (kolangitis).
2.3.3. Tanda dan Gejala

Menurut Smeltzer & Bare (2001) manifestasi klinis dari


sirosis hepatis antara lain:

2.3.3.1. Pembesaran Hati Pada awal perjalanan sirosis hati, hati


cenderung membesar dan sel-selnya dipenuhi oleh lemak. Hati
tersebut menjadi keras dan memiliki tepi tajam yang dapat
diketahui melalui palpasi. Nyeri abdomen dapat terjadi sebagai
akibat dari pembesaran hati yang cepat dan baru saja terjadi
sehingga mengakibatkan regangan pada selubung fibrosa hati
(kapsula Glissoni). Pada perjalanan penyakit yang lebih lanjut,
ukuran hati akan berkurang setelah jaringan parut menyebabkan
pengerutan jaringan hati. Apabila dapat dipalpasi, permukaan hati
akan teraba berbenjol-benjol (noduler).

2.3.3.2. Obstruksi Portal dan Asites Manifestasi lanjut sebagian


disebabkan oleh kegagalan fungsi hati yang kronis dan sebagian
lagi oleh obstruksi sirkulasi portal. Semua darah dari organ-organ
10

digestif praktis akan berkumpul dalam vena porta dan dibawa ke


hati. Karena hati yang sirotik tidak memungkinkan perlintasan
darah yang bebas, maka aliran darah tersebut akan kembali ke
dalam limpa dan traktus gastrointestinal dengan konsekuensi
bahwa organ-organ ini menjadi tempat kongesti pasif yang kronis;
dengan kata lain, kedua organ tersebut akan dipenuhi oleh darah
dan dengan demikian tidak dapat bekerja dengan baik. Pasien
dengan keadaan semacam ini cenderung menderita dyspepsia
kronis dan konstipasi atau diare. Berat badan pasien secara
berangsur-angsur mengalami penurunan. Cairan yang kaya protein
dan menumpuk dirongga peritoneal akan menyebabkan asites. Hal
ini ditunjukkan melalui perfusi akan adanya shifting dullness atau
gelombang cairan. Splenomegali juga terjadi. Jaring-jaring
telangiektasis, atau dilatasi arteri superfisial menyebabkan jaring
berwarna biru kemerahan, yang sering dapat dilihat melalui
inspeksi terhadap wajah dan keseluruhan tubuh.

2.3.3.3. Varises Gastrointestinal Obstruksi aliran darah lewat hati


yang terjadi akibat perubahan fibrotik juga mengakibatkan
pembentukan pembuluh darah kolateral dalam sistem
gastrointestinal dan pemintasan (shunting) darah dari pembuluh
portal ke dalam pembuluh darah dengan tekanan yang lebih
rendah. Sebagai akibatnya, penderita sirosis sering
memperlihatkan distensi pembuluh darah abdomen yang mencolok
serta terlihat pada inspeksi abdomen (kaput medusae), dan distensi
pembuluh darah diseluruh traktus gastrointestinal. Esofagus,
lambung dan rektum bagian bawah merupakan daerah yang sering
mengalami pembentukan pembuluh darah kolateral. Distensi
pembuluh darah ini akan membentuk varises atau hemoroid
tergantung pada lokasinya. Karena fungsinya bukan untuk
menanggung volume darah dan tekanan yang tinggi akibat sirosis,
11

maka pembuluh darah ini dapat mengalami ruptur dan


menimbulkan perdarahan. Karena itu, pengkajian harus mencakup
observasi untuk mengetahui perdarahan yang nyata dan
tersembunyi dari traktus gastrointestinal. Kurang lebih 25% pasien
akan mengalami hematemesis ringan; sisanya akan mengalami
hemoragi masif dari ruptur varises pada lambung dan esofagus.

2.3.3.4. Edema Gejala lanjut lainnya pada sirosis hepatis


ditimbulkan oleh gagal hati yang kronis. Konsentrasi albumin
plasma menurun sehingga menjadi predisposisi untuk terjadinya
edema. Produksi aldosteron yang berlebihan akan menyebabkan
retensi natrium serta air dan ekskresi kalium.

2.3.3.5.Defisiensi Vitamin dan Anemia Karena pembentukan,


penggunaan dan penyimpanan vitamin tertentu yang tidak
memadai (terutama vitamin A, C dan K), maka tanda-tanda
defisiensi vitamin tersebut sering dijumpai, khususnya sebagai
fenomena hemoragik yang berkaitan dengan defisiensi vitamin K.
Gastritis kronis dan gangguan fungsi gastrointestinal bersama-
sama asupan diet yang tidak adekuat dan gangguan fungsi hati
turut menimbulkan anemia yang sering menyertai sirosis hepatis.
Gejala anemia dan status nutrisi serta kesehatan pasien yang buruk
akan mengakibatkan kelelahan hebat yang mengganggu
kemampuan untuk melakukan aktivitas rutin sehari-hari.

2.3.3.6. Kemunduran Mental Manifestasi klinis lainnya adalah


kemunduran fungsi mental dengan ensefalopati dan koma hepatik
yang membakat. Karena itu, pemeriksaan neurologi perlu
dilakukan pada sirosis hepatis dan mencakup perilaku umum
pasien, kemampuan kognitif, orientasi terhadap waktu serta
tempat, dan pola bicara.
12

Smeltzer, C., Suzanne dan Bare, G., Brenda., 2002, Buku Ajar Keperawatan
Medikal-Bedah, Alih bahasa: dr. H. Y. Kuncara, Jakarta, EGC

2.3.4. Patofisiologi
Kegagalan fungsi hati akan ditemukan dikarenakan
terjadinya perubahan pada jaringan parenkim hati menjadi jaringan
fibrotik dan penurunan perfusi jaringan hati sehingga
mengakibatkan nekrosis pada hati. Hipertensi porta merupakan
gabungan hasil peningkatan resistensi vaskular intra hepatik dan
peningkatan aliran darah melalui sistem porta. Resistensi intra
hepatik meningkat melalui 2 cara yaitu secara mekanik dan
dinamik. Secara mekanik resistensi berasal dari fibrosis yang
terjadi pada sirosis, sedangkan secara dinamik berasal dari
vasokontriksi vena portal sebagai efek sekunder dari kontraksi aktif
vena portal dan septa myofibroblas, untuk mengaktifkan sel stelata
dan sel-sel otot polos. Tonus vaskular intra hepatik diatur oleh
vasokonstriktor (norepineprin, angiotensin II, leukotrin dan
trombioksan A) dan diperparah oleh penurunan produksi
vasodilator (seperti nitrat oksida). Pada sirosis peningkatan
resistensi vaskular intra hepatik disebabkan juga oleh
ketidakseimbangan antara vasokontriktor dan vasodilator yang
merupakan akibat dari keadaan sirkulasi yang hiperdinamik dengan
vasodilatasi arteri splanknik dan arteri sistemik. Hipertensi porta
ditandai dengan peningkatan cardiac output dan penurunan
resistensi vaskular sistemik. Pada pemeriksaan fisik, didapatkan
penderita yang tampak kesakitan dengan nyeri tekan pada regio
epigastrium. Terlihat juga tanda-tanda anemis pada kedua
konjungtiva mata dan ikterus pada kedua sklera. Tanda-tanda
kerontokan rambut pada ketiak tidak terlalu signifikan. Pada
pemeriksaan jantung dan paru, masih dalam batas normal, tidak
13

ditemukan tanda-tanda efusi pleura seperti penurunan vokal


fremitus, perkusi yang redup, dan suara nafas vesikuler yang
menurun pada kedua lapang paru. Pada daerah abdomen,
ditemukan perut yang membesar pada seluruh regio abdomen
dengan tanda-tanda ascites seperti pemeriksaan shifting dullness
dan gelombang undulasi yang positif. Hati, lien, dan ginjal sulit
untuk dievaluasi karena besarnya ascites dan nyeri yang dirasakan
oleh pasien. Pada ekstremitas juga ditemukan adanya edema pada
kedua tungkai bawah
Setiawan, Poernomo Budi. Sirosis hati. In: Askandar
Tjokroprawiro, Poernomo Boedi Setiawan, et al. Buku Ajar
Penyakit Dalam, Fakultas Kedokteran Universitas
Airlangga. 2007. Page 129-136 5. David C Wolf. 2012.
Cirrhosis. http://emedicine.medscape.com/article/ 185856-
overview#showall .Diakses pada tanggal 30 Mei 2012. 6.
Robert S. Rahimi, Don C. Rockey. Complications of
Cirrhosis. Curr Opin Gastroenterol. 2012. 28(3):223-229
2.3.5. Komplikasi
Terdapat beberapa komplikasi yang dapat terjadi pada
penderita sirosis hati, akibat kegagalan dari fungsi hati dan hipertensi
porta, diantaranya:
2.3.5.1. Ensepalopati Hepatikum
Ensepalopati hepatikum merupakan suatu kelainan
neuropsikiatri yang bersifat reversibel dan umumnya didapat pada
pasien dengan sirosis hati setelah mengeksklusi kelainan neurologis
dan metabolik. Derajat keparahan dari kelainan ini terdiri dari derajat
0 (subklinis) dengan fungsi kognitif yang masih bagus sampai ke
derajat 4 dimana pasien sudah jatuh ke keadaan koma.6 Patogenesis
terjadinya ensefalopati hepatik diduga oleh karena adanya gangguan
metabolisme energi pada otak dan peningkatan permeabelitas sawar
darah otak. Peningkayan permeabelitas sawar darah otak ini akan
14

memudahkan masuknya neurotoxin ke dalam otak. Neurotoxin


tersebut diantaranya, asam lemak rantai pendek, mercaptans,
neurotransmitter palsu (tyramine, octopamine, dan beta-
phenylethanolamine), amonia, dan gamma-aminobutyric acid
(GABA). Kelainan laboratoris pada pasien dengan ensefalopati
hepatik adalah berupa peningkatan kadar amonia serum. 5
2.3.5.2. Varises Esophagus
Varises esophagus merupakan komplikasi yang diakibatkan
oleh hipertensi porta yang biasanya akan ditemukan pada kira-kira
50% pasien saat diagnosis sirosis dibuat. Varises ini memiliki
kemungkinan pecah dalam 1 tahun pertama sebesar 5-15% dengan
angka kematian dalam 6 minggu sebesar 15-20% untuk setiap
episodenya.
2.3.5.3. Peritonitis Bakterial Spontan (PBS)
Peritonitis bakterial spontan merupakan komplikasi yang
sering dijumpai yaitu infeksi cairan asites oleh satu jenis bakteri
tanpa adanya bukti infeksi sekunder intra abdominal. Biasanya pasien
tanpa gejala, namun dapat timbul demam dan nyeri abdomen.1 PBS
sering timbul pada pasien dengan cairan asites yang kandungan
proteinnya rendah ( < 1 g/dL ) yang juga memiliki kandungan
komplemen yang rendah, yang pada akhirnya menyebabkan
rendahnya aktivitas opsonisasi. PBS disebabkan oleh karena adanya
translokasi bakteri menembus dinding usus dan juga oleh karena
penyebaran bakteri secara hematogen. Bakteri penyebabnya antara
lain escherechia coli, streptococcus pneumoniae, spesies klebsiella,
dan organisme enterik gram negatif lainnya. Diagnose SBP
berdasarkan pemeriksaan pada cairan asites, dimana ditemukan sel
polimorfonuklear lebih dari 250 sel / mm3 dengan kultur cairan asites
yang positif.5
15

2.3.5.4.Sindrom Hepatorenal
Sindrom hepatorenal merepresentasikan disfungsi dari ginjal
yang dapat diamati pada pasien yang mengalami sirosis dengan
komplikasi ascites. Sindrom ini diakibatkan oleh vasokonstriksi dari
arteri ginjal besar dan kecil sehingga menyebabkan menurunnya
perfusi ginjal yang selanjutnya akan menyebabkan penurunan laju
filtrasi glomerulus. Diagnose sindrom hepatorenal ditegakkan ketika
ditemukan cretinine clearance kurang dari 40 ml/menit atau saat
serumcreatinine lebih dari 1,5 mg/dl, volume urin kurang dari 500
mL/d, dan sodium urin kurang dari 10 mEq/L.5
2.3.5.5. Sindrom Hepatopulmonal
Pada sindrom ini dapat timbul hidrotoraks dan hipertensi
portopulmonal.1 Pada kasus ini, pasien mengalami komplikasi
berupa perdarahan pada saluran cerna akibat pecahnya varises
esophagus dan gastropati hipertensi porta yang dibuktikan melalui
pemeriksaan esofagogastroduodenoskopi. Selain itu, pasien juga
diduga mengalami ensepalopati hepatikum karena mengalami
berbagai gangguan tidur selama menderita sakit ini.

2.3.6. Pemeriksaan Fisik


Pada pasien dengan sirosis dilakukan pemeriksaan menyeluruh dan
didapatkan tanda tanda ikterik pada kedua mata, spider navi,
ginekomasti ascites eritem palmar, white nail, caput medusa ,
splenomegaly.

2.3.7. Penegakan Diagnosis


a. Laboratorium
Pada Darah dijumpai HB rendah, anemia normokrom
normositer, hipokrom mikrositer / hipokrom makrositer,
anemia dapat dari akibat hipersplemisme dengan leukopenia
16

dan trombositopenia, kolesterol darah yang selalu rendah


mempunyai prognosis yang kurang baik. Pemeriksaan marker
serologi seperti virus, HbsAg/HbsAb, HbcAg/ HbcAb, HBV
DNA, HCV RNA., untuk menentukan etiologi sirosis hati dan
pemeriksaan AFP (alfa feto protein) penting dalam
menentukan apakah telah terjadi transformasi kearah
keganasan.
b. Ultrasonografi (USG)
Ultrasonografi adalah metode yang cepat, murah, dan
cukup akurat untuk mendeteksi sirosis, namun, akurasi dapat
bergantung pada pengguna. Ultrasonografi umumnya berfungsi
sebagai tes skrining pilihan untuk menetapkan diagnosis.
c. CT Scan
CT Scan memiliki peran penting dalam evaluasi Berguna
untuk mendiagnosa kelainan fokal, dan melihat besar, bentuk,
homogenitas hati..

2.3.8. Gambaran Radiologi


Sirosis
Menurut Rasad (2013), gambaran urogram dari
hidronefrosis dini memberikan gambaran kalik yang mendatar
(flattening), perubahan reversible. Hidronefrosis lanjut
memperlihatkan kalik berupa tongkat (clubbing). Pada tingkat
lebih lanjut terjadi destruksi parenkim dan terjadi pembesaran
system saluran kemih dan akhirnya terjadi kantung hidronefrotik.
Gambaran radiologis dari hidronefrosis terbagi berdasarkan
gradenya. Ada 4 grade hidronefrosis, antara lain :
a. Hidronefrosis derajat 1.
Dilatasi pelvis renalis tanpa dilatasi kaliks. Kaliks berbentuk
blunting, alias tumpul.
b. Hidronefrosis derajat 2.
Dilatasi pelvis renalis dan kaliks mayor. Kaliks berbentuk
flattening, alias mendatar.
17

c. Hidronefrosis derajat 3.
Dilatasi pelvis renalis, kaliks mayor dan kaliks minor. Tanpa
adanya penipisan korteks. Kaliks berbentuk clubbing, alias
menonjol.
d. Hidronefrosis derajat 4.
Dilatasi pelvis renalis, kaliks mayor dan kaliks minor. Serta
adanya penipisan korteks Calices berbentuk ballooning alias
menggembung.

Gambar : Derajat Hidronefrosis

2.2.6.1. Foto Polos Abdomen


Foto polos abdomen merupakan pemeriksaan yang pertama
dilakukan bila ada keluhan nyeri di sekitar area urogenital. Manfaat
dari pemeriksaan ini adalah untuk melihat gambaran secara
keseluruhan di rongga abdomen dan pelvis.
Setiap pemeriksaan traktus urinarius sebaiknya dibuat
terlebih dahulu foto polos abdomen. Pada foto ini dapat
menunjukkan bayangan, besar, bentuk dan posisi kedua ginjal.
Dapat pula dilihat kalsifikasi dalam kista dan tumor, batu
radioopak dan perkapuran dalam ginjal. Harus diperhatikan batas
muskulus psoas kanan dan kiri. Serta Batu radioopak di
daerah ureter dan buli- buli.
Interpretasi terhadap kalsifikasi pada saluran ginjal harus
dilakukan dengan hati-hati karena flebolit pada kelenjar
mesenterika dan vena pelvis yang berada di atasnya sering disalah
18

artikan sebagai batu ureter. Film yang diambil saat inspirasi dan
ekspirasi akan mengubah posisi ginjal dan sering kali dapat
mengkonfirmasi bahwa daerah yang mengalami kalsifikasi pada
abdomen tersebut adalah batu.

Gambar : Foto Polos Abdomen normal

2.2.6.2 IVU

Pemeriksaan urography intravena dilakukan dengan menyuntikkan kontras


secara intravena dan dilakukan pengambilan gambar radiologis secara serial yang
disesuaikan dengan saat zat kontras mengisi ginjal, berlanjut ke ureter, dan ke
kandung kemih. Indikasi pemeriksaan IVU adalah untuk mendeteksi lokasi
obstruksi misalnya pada batu ginjal, konfirmasi penyakit ginjal polikistik, atau
adanya kelainan anatomis yang tidak terdeteksi oleh teknik pemeriksaan lain.
Pemeriksaam IVU memerlukan :

Persiapan Pasien
Hari 1
19

Pagi : makan bubur + telur rebus + minum air putih sebanyak mungkin.
Siang : sda
Malam : sda + tidak boleh pakai sayur dan ikan.

Hari 2 :
Pagi makan bubur, siang-sore hanya minum susu.
Jam 9 malam minum garam inggris (MgSO4 1 bungkus + 1/4 gelas air putih).
Kemudian hanya boleh minum air putih sampai jam 11 malam. Mulai jam 12
malam puasa, kurangi bicara, dan tidak merokok.

Hari 3 :
Jam 8 pagi datang ke radiologi untuk difoto.Persiapan media kontras :- Media
kontras yang digunakan adalah yang berbahan iodium, dimana jumlahnya
disesuaikan dengan berat badan pasien, yakni 1-2 cc/kg.

Prosedur pemeriksaan
1. Lakukan pemeriksaan BNO posisi AP untuk melihat persiapan pasien
2. Jika persiapan pasien baik, suntikan media kontras melalui intravena 1 cc
saja, diamkan sesaat untuk melihat reaksi alergis
3. Jika tidak ada reaksi alergi, penyuntikan dapat dilanjtkan dengan memasang
alat compressive ureter terlebih dahulu di sekitar SIAS kanan dan kiri
4. Setelah itu, lakukan foto nephrogram dengan posisi AP supine 1 menit
setelah injeksi media kontras untuk melihat masuknya media kontras ke
collecting sistem, terutama pada pasien hypertensi dan anak-anak
5. Lakukan foto 5 menit post injeksi dengan posisi AP supine menggunakan
ukuran film 24x30 untuk melihat pelvicocaliseal dan ureter proksimal terisi
media kontras.
6. Foto 15 menit post injeksi dengan posisi AP supine menggunakan film
24x30 mencakup gambaran pelviocalyseal, ureter, dan bladder mulai terisi
media kontras.
7. Foto 30 menit post injeksi dengan posisi AP supine melihat gambaran
bladder terisi penuh media kontras. Film yang digunkaan ukuran 30 x 40
8. Yang terakhir lakukan foto post void (habis kencing) dengan posisi AP
supine atau erect untuk melihat kelainan kecil yang mungkin terjadi di
daerah bladder. Dengan posisi erect dapat menunjukkan adanya ren mobile
(pergerakan ginjal yang tidak normal) pada kasus post hematuri.

Syarat-syarat seseorang boleh melakukan IVU yakni,


20

- Tidak memiliki riwayat alergi


- Fungsi ginjalnya baik. Cara untuk mengetahuinya yakni dengan mengukur kadar
BUN atau kreatininnya (<2). Karena kontras itu bersifat nefrotoksik dan
dikeluarkan lewat ginjal, jadi apabila ginjal rusak atau tidak berfungsi, akan
sangat berbahaya bagi pasien.

Indikasi dilakukannya pemeriksaan IVU yakni untuk melihat anatomi dan fungsi
dari traktus urinarius yang terdiri dari ginjal, ureter, dan bladder, yang meliputi
-Kelainan congenital
-Radang atau infeksi
-Massa atau tumor
-Trauma

Pada pielografi normal akan diperoleh gambaran bentuk ginjal seperti


kacang. Kutub ( pool ) atas ginjal kiri setinggi Th.11, bagian bawah, batas bawah
setinggi korpus vertebra L3. Ginjal kanan letaknya kira-kira 2 cm lebih rendah
daripada yang kiri. Pada pernafasan, kedua ginjal bergerak dan pergerakan ini
dapat dilihat dengan fluoroskopi. Arah sumbu ke bawah dan lateral sejajar dengan
muskuli psoas kanan dan kiri. Dengan adanya lemak perirenal, ginjal mendapat
lebih jelas terlihat. Hal ini terutama dapat dilihat pada orang gemuk. Pelvis renalis
kemudian dilanjutkan dengan kalik mayor, biasanya Dari kalik mayor dilanjutkan
dengan kalik minor. Jumlahnya bervariasi antara 6-14. Kedua ureter berjalan
lurus dari pelvis renis ke daerah pertengahan sakrum dan berputar ke belakang
lateral dalam suatu arkus, turunke bawah dan masuk ke dalam dan depan untuk
memasuki trigonum buli- buli.

Tiga tempat penyempitan ureter yang normal, yaitu pada


sambungan pelvis dan ureter dengan buli-buli, dan ada persilangan pembuluh darah
iliaka.
21

ivp menit ke 5

Pada menit ke-5, organ yang dinilai yaitu perginjalan, yang meliputi
nefrogram dan sistem pyelocalices (PCS). Nefrogram yaitu bayangan dari ginjal
kanan dan kiri yang terisi kontras. Warnanya semiopaque, jadi putihnya sedang-
sedang saja.
Pada menit ke-5, contoh penyakit yang bisa diketahui yaitu penyakit-
penyakit yang ada di ren, misalnya pyelonefritis, nefrolitiasis, hidronefrosis,
massa/tumor renal, dll.

Menit ke 15
22

Penilaian ureter:

1) Jumlah ureter.
Terkadang, ureter bisa hanya nampak 1 aja, itu mungkin di sebabkan
kontraksi ureter saat pengambilan foto, jadi tidak nampak ketika difoto.
2) Posisi ureter
3) Kaliber ureter.
Maksudnya diameternya, normal < 0.5 cm
4) Ada tidaknya batu, baik lusen maupun opaque.
Kemudian nyatakan bentuk, jumlah, ukuran, dan letak batu.

Contoh penyakit pada menit ke 15 diantaranya: hidroureter,


ureterolithiasis, ureteritis.

Menit ke 45 : Menilai buli-buli

Menilai dinding buli, additional shadow (divertikel) ataupun filling defect


(masa tumor) dan indentasi prostat.
Gambaran dinding yang menebal ireguler dicurigai adanya sistitis kronis.

Contoh penyakit pada menit ke 45 yaitu cystitis, pembesaran prostat,


massa vesikolithiasis
23

POST MIKSI

Menilai apakah setelah pasien berkemih kontras di buli minimal, apabila


terdapat sisa yang banyak kita dapat mengasumsikan apakah terdapat
sumbatan di distal buli ataupun otot kandung kencing yang lemah.
Normalnya yaitu sisa 1/3 dari buli-buli penuh.

2.2.6.3 Ultrasonografi (USG)


Pemeriksaan USG pada ginjal
Pemeriksaan ultrasonografi (USG) ginjal merupakan pemeriksaan
non invasive, tidak tergantung pada faal ginjal, tidak dijumpai efek
samping, tanpa kontras, tidak sakit, relative cepat, dan mudah dikerjakan.
Pada pemeriksaan USG ginjal dapat diberikan keterangan tentang
ukuran, bentuk, letak, serta struktur anatomi dalam ginjal. Ukuran ginjal
normal berkisar antara: ginjal kanan : 8 14 cm dan ginjal kiri : 7 12 cm.
Ginjal normal memperlihatkan sonodensitas kortek yang lebih rendah
(hipoekoik) dibandingkan dengan sonodensitas hati,limpa dan sinus
renalis. Tebal kortek kira-kira 1/3 1/2 sinus renalis dengan batas rata atau
bergelombang pada ginjal yang lobulated. Sedangkan sinus renalis yang
24

terletak ditengah ginjal memberikan sonodensitas yang tinggi (hiperekoik)


disebabkan karena komposisinya yang terdiri atas lemak dan jaringan
parenkim ginjal. Didalam sinus renalis terdapat garis-garis anekoik, yaitu
irisan kalises yang bila diikuti akan bergabung pada daerah anekoik besar,
yaitu pelvis renalis.

Gambar : usg ginjal normal

Dalam menentukan posisi ginjal diperlukan bantuan penilaian dari


pemeriksaan IVP sebagian besar indikasi dari pemeriksaan USG ginjal
adalah untuk menentukan keadaan suatu massa internal.
Menurut Ultrasound Teaching Manual (2000), ginjal akan terlihat
secara baik dalam posisi lateral decubitus. Bagian ginjal akan tergambar
secara longitudinal apabila transduser ditempatkan secara memanjang di
intercosta line. Ginjal ikut bergerak dalam proses pernafasan, sehingga
pada line scan perlu tahan nafas. Selain itu dengan inspirasi mendalam,
gambaran inferior ginjal akan jauh bayangan costa akustik shadow dan
terlihat dalam dimensi longitudinal untuk evaluasi. Hal ini diperlukan
dalam melengkapi evaluasi dari organ ginjal.
Pedoman Pemeriksaan USG Ginjal

a. Pada Ginjal Kanan


25

Pasien berbaring supine, dan pasien diminta untuk menahan nafas pada
inspirasi dalam. Posisi tersebut dimaksudkan untuk membebaskan hati dan
menampakkan ginjal lebih bawah. Pada posisi tersebut ginjal dapat
diperiksa dalam penampang membujur dan melintang, dengan mengatur
letak transducer miring ke bawah lengkung iga kanan, sejajar atau tegak
lurus dengan sumbu ginjal dan menggunakan hati sebagai acustic window.
Pemeriksaan dimulai dari bagian medial samping ke lateral secara teratur
berjarak 1 atau 2 parenkim ginjal.

Pasien berbaring miring ke kiri (LLD)


Pada keadaan ekspirasi, penampang melintang ginjal dapat diperiksa
melalui sela iga sepanjang garis mid-aksiler. Pada inspirasi dalam,
penampang coronal dapat diperiksa dengan meletakkan transducer sejajar
garis mid-aksiler mulai daerah pinggan dibawah lengkung iga kanan.
Pemeriksaan dapat dilakukkan dari permukaan posterior sampai ke
anterior. Posisi ini membantu memperlihatkan lesi yang tidak tergambar
pada posisi lain. Pasien berbaring telungkup dan menahan nafas pada
inspirasi dalam, posisi ini ginjal dapat diperiksa dalam penampang
membujur atau melintang, dengan meletakkan transduser di sebelah kanan
lateral garis tengah dan diatur sejajar atau tegak lurus sumbu ginjal.
Pemeriksaan dapat dilakukan dari bagian superior ke inferior, maupun dari
lateral ke medial.

b. Pada Ginjal Kiri


26

Gambaran USG ginjal kiri paling baik terlihat bila dilakukan pada posisi
berbaring miring ke kanan (RLD). Penampampang melintang ginjal dapat
diperiksa dengan meletakkan transduser di sela iga, dalam keaadaan
ekspirasi

Penampang kroronal dapat diperiksa dengan meletakkan transduser sejajar


garis aksiler, melalui daerah pinggang di bawah lengkung iga kiri, pada
inspirasi dalam.
Pasien berbaring prone (telungkup), seperti pada pemeriksaan ginjal kanan,
tetapi trasduce diletakkan di sebelah kiri lateral garis tengah. Posisi terlentang
tidak dianjurkan untuk memeriksa ginjal kiri, karena gambaran ginjal terganggu
oleeh bayangan udara di dalam lambung dan usus. Sebaliknya, untuk setiap kali
pemeriksaan, kedua ginjal diperiksa dan dibandingkan hasilnya.
27

- Hidronefrosis derajat 1 : dilatasi pelvis renal tanpa dilatasi kaliks. Reflek


prominen dari sinus renalis tanpa tanda-tanda atrofi parenkim
- Hidronefrosis grade 2 : dilatasi pelvis renal dan kaliks. Sinus reflek
melemah. Tidak ada tanda-tanda atrofi parenkim.
- Hidronefrosis grade 3 : tanda-tanda atrofi organ mulai muncul (flat
papillae dan blunt fornices)
- Hidronefrosis grade 4 : dilatasi masif dari pelvis renal dan kaliks. Batas
antara pelvis renal dan kaliks hilang. Tanda signifikan dari atrofi renal
(penipisan parenkim) (O'Neill WC, 2006).

2.4. Nefrolithiasis
a. Pengertian
Nefrolitiasis adalah adanya timbunan zat padat yang
membatu pada ginjal, mengandung komponen kristal, dan matriks
organik.
28

Gambar. Batu Ginjal

b. Etiologi
Terbentuknya batu saluran kemih diduga ada hubungannya
dengan gangguan aliran urin, gangguan metabolik, infeksi saluran
kemih, dehidrasi, dan keadaan-keadaan lain yang masih belum
terungkap (idiopatik). Secara epidemiologik terdapat beberapa
faktor yang mempermudah terbentuknya batu pada saluran kemih
pada seseorang. Faktor tersebut adalah faktor intrinsik yaitu
keadaan yang berasal dari tubuh orang itu sendiri dan faktor
ekstrinsik yaitu pengaruh yang berasal dari lingkungan di
sekitarnya.
Faktor intrinsik antara lain :

1. Herediter (keturunan) : penyakit ini diduga diturunkan dari


orang tuanya.

2. Umur : penyakit ini paling sering didapatkan pada usia 30-50


tahun
3. Jenis kelamin : jumlah pasien laki-laki tiga kali lebih banyak
dibandingkan dengan pasien perempuan
29

Faktor ekstrinsik diantaranya adalah :

1. Geografis : pada beberapa daerah menunjukkan angka


kejadian batu saluran kemih yang lebih tinggi dari pada daerah
lain sehingga dikenal sebagai daerah stonebelt.

2. Iklim dan temperatur


3. Asupan air : kurangnya asupan air dan tingginya kadar mineral
kalsium pada air yang dikonsumsi.
4. Diet : Diet tinggi purin, oksalat dan kalsium mempermudah
terjadinya batu.
5. Pekerjaan : penyakit ini sering dijumpai pada orang yang
pekerjaannya banyak duduk atau kurang aktifitas atau
sedentary life.
c. Patofisiologi

Nefrolitiasis merupakan kristalisasi dari mineral dan


matriks seperti pus darah, jaringan yang tidak vital dan tumor.
Komposisi dari batu ginjal bervariasi, kira-kira tiga perempat dari
batu adalah kalsium, fosfat, asam urin dan cistien.peningkatan
konsentrasi larutan akibat dari intake yang rendah dan juga
peningkatan bahan-bahan organic akibat infeksi saluran kemih atau
urin ststis sehingga membuat tempat untuk pembentukan batu.
Ditambah dengan adanya infeksi meningkatkan kebasaan urin oleh
produksi ammonium yang berakibat presipitasi kalsium dan
magnesium pospat.
Proses pembentukan batu ginjal dipengaruhi oleh beberapa
faktor yang kemudian dijadikan dalam beberapa teori ;
a. Teori supersaturasi
Tingkat kejenuhan komponen-komponen pembentuk batu
ginjal mendukung terjadinya kristalisasi. Kristal yang banyak
menetap menyebabkan terjadinya agresi kristal kemudian
timbul menjadi batu.
b. Teori matriks
30

Matriks merupakan mukoprotein yang terdiri dari 65% protein,


10% heksose, 3-5 heksosamin dan 10% air. Adapun matriks
menyebabkan penempelan kristal-kristal sehingga menjadi
batu.
c. Teori kurang inhibitor
Pada kondisi normal kalsium dan fosfat hadir dalam jumlah
yang melampui daya kelarutan, sehingga diperlukan zat
penghambat pengendapat. Phospat mukopolisakarida dan
dipospat merupakan penghambatan pembentukan kristal. Bila
terjadi kekurangan zat ini maka akan mudah terjadi
pengendapan.
d. Teori epistaxi
Merupakan pembentukan baru oleh beberapa zat secra-
bersama-sama, salah satu batu merupakan inti dari batu yang
merupakan pembentuk pada lapisan luarnya. Contohnya
ekskresi asam urayt yanga berlebihan dalam urin akan
mendukung pembentukan batu kalsium dengan bahan urat
sebagai inti pengendapan kalsium.
e. Teori kombinasi
Batu terbentuk karena kombinasi dari berbagai macam teori di
atas.

d. Manifestasi Klinis
1. Nyeri dan pegal di daerah pinggang.
Lokasi nyeri tergantung dari dimana batu itu berada.
Bila pada piala ginjal rasa nyeri adalah akibat dari
hidronefrosis yang rasanya lebih tumpul dan sifatnya
konstan. Terutama timbul pada costoverteral.
2. Hematuria
31

Darah dari ginjal berwarna coklat tua, dapat terjadi


karena adanya trauma yang disebabkan oleh adanya
batu atau terjadi kolik.
3. Infeksi
Batu dapat mengakibatkan gejala infeksi traktus
urinarius maupun infeksi asistemik yang dapat
menyebabkan disfungsi ginjal yang progresif.
4. Kencing panas dan nyeri
Adanya nyeri tekan pada daerah ginjal.

e. Diagnosis
Selain dari anamnesis dan pemeriksaan fisik untuk
menegakkan diagnosis, penyakit batu ginjal perlu didukung
dengan pemeriksaan radiologik, laboratorium, dan penunjang
lain untuk menentukan kemungkinan adanya obstruksi saluran
kemih, infeksi dan gangguan faal ginjal.
1. Anamnesis
Anamnesa harus dilakukan secara menyeluruh. Keluhan
nyeri harus dikejar mengenai onset kejadian, karakteristik
nyeri, penyebaran nyeri, aktivitas yang dapat membuat
bertambahnya nyeri ataupun berkurangnya nyeri, riwayat
muntah, gross hematuria, dan riwayat nyeri yang sama
sebelumnya. Penderita dengan riwayat batu sebelumnya
sering mempunyai tipe nyeri yang sama.

2. Pemeriksaan Fisik
Penderita dengan keluhan nyeri kolik hebat, dapat disertai
takikardi, berkeringat, dan nausea.
Masa pada abdomen dapat dipalpasi pada penderita
dengan obstruksi berat atau dengan hidronefrosis.
32

Bisa didapatkan nyeri ketok pada daerah kostovertebra,


tanda gagal ginjal dan retensi urin.
Demam, hipertensi, dan vasodilatasi kutaneus dapat
ditemukan pada pasien dengan urosepsis.

3. Pemeriksaan Penunjang
Radiologi
Secara radiologi, batu dapat radiopak atau
radiolusen. Sifat radiopak ini berbeda untuk berbagai jenis
batu sehingga dari sifat ini dapat diduga batu dari jenis apa
yang ditemukan. Radiolusen umumnya adalah jenis batu
asam urat murni.
Pada yang radiopak pemeriksaan dengan foto polos
sudah cukup untuk menduga adanya batu ginjal bila
diambil foto dua arah. Pada keadaan tertentu terkadang batu
terletak di depan bayangan tulang, sehingga dapat luput
dari penglihatan. Oleh karena itu foto polos sering perlu
ditambah foto urography intravena (IVU/UIV). Pada batu
radiolusen, foto dengan bantuan kontras akan menyebabkan
defek pengisian (filling defect) di tempat batu berada. Yang
menyulitkan adalah bila ginjal yang mengandung batu tidak
berfungsi lagi sehingga kontras ini tidak muncul. Dalam hal
ini perludilakukan pielografi retrograd.
Ultrasonografi (USG) dilakukan bila pasien tidak
mungkin menjalani pemeriksaan IVU, yaitu pada keadaan-
keadaan; alergi terhadap bahan kontras, faal ginjal yang
menurun dan pada wanita yang sedang hamil. Pemeriksaan
USG dapat untuk melihat semua jenis batu, selain itu dapat
ditentukan ruang/ lumen saluran kemih. Pemeriksaan ini
juga dipakai unutk menentukan batu selama tindakan
pembedahan untuk mencegah tertinggalnya batu
33

Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium diperlukan untuk mencari
kelainan kemih yang dapat menunjang adanya batu di
saluran kemih, menentukan fungsi ginjal, dan menentukan
penyebab batu.
ii. Penatalaksanaan
1. Terapi medis dan simtomatik
Terapi medis berusaha untuk mengeluarkan batu atau
melarutkan batu. Terapi simtomatik berusaha untuk
menghilangkan nyeri. Selain itu dapat diberikan minum
yang berlebihan/ banyak dan pemberian diuretik.
2. Litotripsi
Pada batu ginjal, litotripsi dilakukan dengan
bantuan nefroskopi perkutan untuk membawa tranduser
melalui sonde kebatu yang ada di ginjal. Cara ini disebut
nefrolitotripsi. Salah satu alternatif tindakan yang paling
sering dilakukan adalah ESWL. ESWL (Extracorporeal
Shock Wave Lithotripsy) yang adalah tindakan memecahkan
batu ginjal dari luar tubuh dengan menggunakan
gelombang kejut.
3. Tindakan Bedah
Tindakan bedah dilakukan jika tidak tersedia alat
litotripsor, alat gelombang kejut, atau bila cara non-bedah
tidak berhasil.
BAB III

LAPORAN KASUS

3.1 Identitas Penderita

Nama : Ny. S
Usia : 63 tahun
Jenis kelamin : Perempuan
Alamat : Godongsari, Balong Kembang, Jepara
Agama : Islam
Status : Menikah
Suku bangsa : Jawa (WNI)
Ruangan : Rawat Jalan

3.2 Anamnesis (Alloanamnesis)

Seorang pasien perempuan usia 63 tahun bersama pengantar datang

dengan ke Radiologi RSI Sultan Agung Semarang, mengeluh nyeri pada

pinggang kiri yang dirasakan menjalar sama punggung kiri.

Riwayat Penyakit Dahulu


Tidak ada data
Riwayat Penyakit Keluarga
Tidak ada data.
Riwayat Sosial Ekonomi
Biaya ditanggung oleh BPJS.

3.3 Pemeriksaan Fisik

Kesadaran : GCS E4V5M6


Keadaan umum : Tampak sakit sedang
Tekanan darah : 120/90 mmHg
Nadi : 88 x/menit regular
Pernapasan : 18 x/menit
o
Suhu : 36,7 c

3.4 Pemeriksaan Penunjang

iii
35
36

Gambar 3.1. Foto Polos Abdomen Urethto Intra Vena (Kontras)


37

Pembacaan Hasil FPA UIV (Kontras)

FPA

o Tampak opasitas di regio ginjal kiri ukuran sekitar 2.2x2 cm.

o Tampak osteofit di vertebra lumbalis.

o Tampak skoliosis lumbalis dengan konveksitas ke kanan.

UIV
o GINJAL Kanan ukuran, letak dan aksis normal, fungsi ekskresi baik,

PCS tak lebar, tak tampak filling defect.


o URETER Kanan tak lebar, tak tampak filling defek
o GINJAL Kiri ukuran, letak dan aksis normal, fungsi ekskresi baik,

PCS lebar, kaliks blunting, tampak filling defect di pelvis renalis.


o URETER Kiri tak lebar, tak tampak filling defek.
o VESIKA URINARIA dinding reguler, tak tampak filling defect

maupun additional shadow.


o POST MIKSI sisa urine sedikit

3.5 Kesan

Hidronefrosis kiri grade 1 E.C. Nefrolithiasis kiri radioopak batu pelvis

renalis ukuran sekitar 2.2x2 cm.


Tak tampak bendungan pada ginjal dan ureter kanan.
Fungsi ekskresi kedua ginjal baik
Spondilosis Lumbalis
Skoliosis Lumbalis dengan konveksitas ke kanan.

3.6 Diagnosis

Hidronephrosis Sinistra et Causa Nefrolothiasis Sinistra.


BAB IV
PEMBAHASAN

Pemeriksaan ultrasonografi (USG) ginjal merupakan pemeriksaan non


invasive, tidak tergantung pada faal ginjal, tidak dijumpai efek samping, tanpa
kontras, tidak sakit, relative cepat, dan mudah dikerjakan.
Pada pemeriksaan USG ginjal dapat diberikan keterangan tentang ukuran,
bentuk, letak, serta struktur anatomi dalam ginjal. Secara epidemiologi terdapat
beberapa faktor yang mempermudah terjadinya batu saluran kemih pada
seseorang. Faktor-faktor itu adalah faktor intrinsik yaitu keadaan yang berasal dari
tubuh seseorang dan faktor ekstrinsik yaitu pengaruh yang berasal dari lingkungan
sekitarnya (Coe dkk, 2005).
Pemeriksaan radiologi wajib dilakukan pada pasien yang dicurigai
mempunyai batu. Hampir semua batu saluran kemih (98%) merupakan batu
radioopaque (Straub dkk, 2005; Pearle dkk, 2005). Pada kasus ini sudah tepat
dilakukan pemeriksaan USG Abdomen sehingga diagnosis bisa ditegakkan.
Namun, dalam menentukan posisi ginjal diperlukan bantuan penilaian dari
pemeriksaan IVP, karena sebagian besar indikasi dari pemeriksaan USG ginjal
adalah untuk menentukan keadaan suatu massa internal.

Pada kasus ini pemeriksaan yang dilakukan adalah berupa pemeriksaan


IVU. Hal tersebut sesuai dengan Rasad (2013) bahwasannya untuk kasus pada
traktus urinarius dan untuk mengetahui anatomi serta fungsi ginjal dan ureter
maka dapat dilakukan pemeriksaan IVU. Pemeriksaan USG dapat dilakukan
untuk mendeteksi keadaan ginjal( hidronefrosis, kista, massa) atau sebagai
pemeriksaan penyaring pada dugaan adanya trauma ginjal derajat ringan.
Kelebihan USG adalah lebih cepat dan tanpa adanya persiapan khusus.

iii
BAB V
KESIMPULAN

Hidronefrosis adalah dilatasi pielum dan kaliks ginjal pada salah satu
atau kedua ginjal akibat adanya obstruksi yang di sebabkan karena adanya batu
ureter, sehingga terjadi tekanan balik ke ginjal.
Apapun penyebabnya adanya akumulasi urin di piala ginjal akan
menyebabkan distensi piala dan kaliks ginjal. Pada saat ini atrofi ginjal terjadi.
Ketika salah satu ginjal sedang mengalami kerusakan bertahap, maka ginjal yang
lain akan membesar secara bertahap (hipertropi kompensatori), akhirnya fungsi
renal terganggu.
Berdasarkan data yang diperoleh dari anamnesis dan pemeriksaan
penunjang radiologi dengan USG Abdomen didapatkan tampak gambaran
hiperekoik disertai acoustic shadow pada ginjal kiri, dan tampak pelebaran
pielokalix pada ginjal kanan dan kiri, sehingga diagnosis hidronefrolitiasis pada
pasien ini dapat ditegakkan.

iii
40

DAFTAR PUSTAKA

Bisanzo M, Lieberman G. Diagnosis and Imaging Nephrolithiasis In The Emergency


Department. Boston: Harvard Medical School. 2000.
Coe FL, Evan A, Worcester E. 2005. Kidney stone disease. Journal Clin Invest. 115: 2598-2608.
Dejong, Sjamsuhidrajat, 2004, Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi ke-2, Penerbit Buku Kedokteran
EGC, Jakarta.
Eisner BH, Quad JW, Hyams E. Nephrolithiasis : What Surgeons Need To Know. AJR.
2011; 196:12741278.
Kumar, Vinay, dkk. 2007. Buku Ajar Patologi Robbins, Vol. 2, ed. 7. Jakarta: EGC.
Muttaqin, Arif dan Kumala Sari. 2012. Asuhan Keperawatan Gangguan Sistem
Perkemihan. Jakarta: Salemba Medika.
Pearle MS, Calhoun EA, Curhan GC. 2005. Urologic diseases in America project: urolithiasis.
Journal Urology. 173:848857.
Purnomo Basuki B. Batu Ginjal dan Ureter dalam Dasar-Dasar Urologi. Yogyakarta:
Sagung Seto. 2011.Hal 85-98.
Smeltzer, Suzanne C dan Brenda G Bare. 2001. Keperawatan Medikal Bedah Brunner &
Suddarth. Ed. 8. Jakarta: EGC
Straub M, Strohmaier WL, Berg W. 2005. Diagnosis and metaphylaxis of stone disease
Consensus concept of the National Working Committee on Stone Disease for the
Upcoming German Urolithiasis Guideline. World Journal Urology. 5:309-323.
Sudoyo AW. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Batu kandung kemih. Jilid I. Edisi IV . 2006.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Hal: 563-5.
Ultrasound Teaching Manual, 2000, USA: Thieme Publishing Group, Edisi 2, Bab 5: 75-80

Anda mungkin juga menyukai