BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.1. Divertikulosis
Penyakit divertikular di sebelah kanan jarang ditemukan di dunia belahan barat.
Frekuensi penyakit ini dilaporkan kira-kira sebanyak 1-2% dari sampel di Eropa dan
Amerika, tetapi di Asia dijumpai sebanyak 43-50%. Kontroversi pun muncul
sebenarnya dari manakah asal mula divertikel tersebut. Divertikula di sebelah kanan
terjadi lebih sering pada pasien yang lebih muda. Kebanyakan divertikula kolon
didapat dari lingkungan. Kelainan ini ditandai dengan hernisiasi dari mukosa dan
mukosa muskularis ke dinding usus. Biasanya akan tampak suatu lapisan submukosa
yang tipis yang mendesak bagian yang terlemah dari muskulus propia dan berakhir di
usus bagian subserosa. Titik yang lemah ini merupakan tempat masuknya pembuluh
nutrisi dari mukosa usus. Divertikula secara umum dihubungkan dengan peningkatan
tekanan intraluminal. Patologi dapat dilihat dari penebalan muskularis propia dengan
mukosa kolon yang normal atau yang telah mengalami inflamasi. Divertikula sekal
memiliki sedikit sekali muskular yang mengalami hipertropi. Suatu penelitian
terakhir menunjukkan bahwa ada suatu aktivitas dari matriks metaloproteinase yang
berperan penting dalam perubahan ratio dari kolagen tipe 1 dan 2 dalam kasus-kasus
divertikulitis dan juga kanker yang dapat memproduksi metaloproteinase yang
memicu terjadinya pengrusakan matriks ekstraselular, yang mana hal ini berperan
dalam perkembangan dari penyakit divertikular (Radhi, 2011).
Kebanyakan pasien dengan divertikula di sebelah kanan memiliki gejala
asymptomatik. Namun demikian, pasien bisa juga mengeluhkan adanya tanda-tanda
komplikasi dari divertikulosis. Sebagai contoh adanya perdarahan, divertikulitis,
peridivertikular abses, dan perforasi dengan formasi fistula. Pasien dengan divertikula
sekal pada umumnya terjadi pada kelompok usia yang lebih muda. Mereka akan
mengeluhkan adanya rasa nyeri pada kuadran kanan bawah dan sering didiagnosis
sebagai apendiksitis. Lebih dari 70% pasien dengan divertikulitis sekal dioperasi
dengan diagnosis apendiksitis akut. Diagnosis preoperatif bisa difasilitasi dengan
menggunakan USG dan CT (Radhi, 2011).
2.1.4. Angiodisplasia
Pelebaran pembuluh darah mukosa dan submukosa yang berkelok-kelok
paling sering ditemukan di sekum atau kolon kanan biasanya setelah usia 60an.
pembuluh darah ini mudah ruptur dan mengeluarkan darah ke lumen. Kelainan ini
merupakan penyebab perdarahan sebanyak 20% pada saluran cerna bagian bawah.
Dan angiodisplasia merupakan kelainan diperkirakan terbentuk selama bertahun-
tahun akibat faktor mekanis yang bekerja pada dinding kolon. Karena lapisan otot,
vena penetrans mengalami oklusi saat kontraksi peristaltik tetapi arteri berdinding
tebal tetap paten (Cotran, 2004).
2.1.5. Hemoroid
Hemoroid adalah dilatasi pembuluh darah vena pleksus submukosa anus dan
perianus. Dilatasi pembuluh ini sering terjadi setelah usia 50 tahun yang berkaitan
dengan peningkatan tekanan vena didalam pleksus hemorroidhalis. Varises vena
hemorroidalis superior dan media yang muncul diatas garis anorektum dan ditutupi
oleh mukosa rektum disebut hemoroid interna. Varises yang muncul dibawah garis
anorektum mencerminkan pelebaran pleksus hemoroidalis inferior dan ditutupi
mukosa anus disebut hemoroid eksterna. Keduanya merupakan pembuluh darah vena
yang melebar, berdinding tipis dan mudah berdarah kadang-kadang menutupi
perdarahan dari lesi proksimal yang lebih serius (Cotran, 2004).
2.1.6. Diare
Kebanyakan kasus dari diare adalah akut, sembuh tanpa diobati dan
disebabkan oleh infeksi atau obat-obatan. Diare kronis (berlangsung hingga 6 minggu
atau lebih) lebih sering disebabkan oleh primary inflammatory atau gangguan
absorpsi. Secara umum, diare jenis ini perlu penilaian langsung untuk menegakkan
diagnosis. Pasien yang menderita diare kronis atau diare akut yang tidak dapat
dijelaskan penyebabnya pada umumnya menjalani pemeriksaan endoskopi apabila
tidak ditemukan mikroorganisme pada feses. Pemilihan endoskopi tergantung gejala
klinis yang ditemukan (Topazian, 2004).
Pasien dengan gejala dan temuan pada kolon seperti diare berdarah, tenemus,
demam, atau leukosit di feses pada umumnya akan menjalani pemeriksaan
sigmoidoskopi atau kolonoskopi untuk melihat ada atau tidaknya kolitis.
Sigmoidoskopi biasanya sudah cukup untuk menegakkan diagnosis pada kebanyakan
pasien seperti itu. Dilain pihak, pasien dengan gejala atau temuan seperti kelainan
dari usus halus seperti feses yang berair banyak, berat badan menurun, malabsorpsi
besi, kalsium, atau lemak dapat menjalankan pemeriksaan upper endoscopy dengan
biopsi duodeni (Topazian, 2004).
Kebanyakan pasien dengan diare kronis tidak merasa segar ataupun bugar.
Jika ada riwayat konstipasi dan diare yang berkepanjangan yang terjadi pada dewasa
muda, tanpa di sertai darah di feses ataupun anemia diagnosis irritable bowel
sndrome dapat ditegakkan. Steatorrea dan nyeri pada abdomen bagian atas mungkin
saja disebabkan penyakit pada pankreas daripada saluran cerna. Pasien yang memiliki
diare kronis yang sulit dikategorikan sering dianjurkan pemeriksaan kolonoskopi
untuk memeriksa usus secara keseluruhan (dan ileum terminal) untuk menemukan
tanda-tanda inflamasi ataupun neoplastik (Topazian, 2004).
2.1.8. Adenoma
Adenoma adalah polip neoplastik yang berkisar dari tumor kecil yang sering
bertangkai hingga lesi besar. Prevalensi adenoma kolon adalah 20%-30% sebelum
usia 40 tahun, dan meningkat menjadi 40% hingga 50% setelah usia 60 tahun. Polip
adenomatosa memiliki tiga subtipe yaitu : Adenoma tubular, adenoma vilosa,
adenoma tubulovilosa (Cotran, 2004).
Adenoma tubular berukuran kecil dengan ukuran 0,3 cm dan ada juga yang
berukuran 2,5 cm sebagian besar memiliki tangkai ramping dengan panjang 1 sama 2
cm dan kepala mirip buah frambus. Secara histologis tangkai terbungkus oleh mukosa
kolon normal tetapi kepala terdiri dari epital neoplastik yang membentuk kelenjar
yang bercabang dilapisi oleh sel jangkung , hiperkromatik sedikit acak dan mungkin
mengeluarkan musin (Cotran, 2004).
Adenoma vilosa adalah polip epitel yang lebih besar dan lebih merugikan.
Polip ini cenderung timbul pada usia lanjut. Terutama di rektum dan rektosigmoid.
Lesi pada umumnya terdapat dimana saja. Lesinya berupa massa yang tidak
bertangkai bergaris tengah hingga 10 cm dan seperti beledu atau kembang kol yang
menonjol 1 sampai 3 cm diatas mukosa normal (Cotran, 2004).
Adenoma tubulovilosa memperlihatkan campuran daerah tubular dan vilosa.
Adenoma ini merupakan bentuk intermediet antara lesi tubulkat dan vilosa dalam hal
frekuensi memiliki tangkai atau tidak bertangkai. Ukuran, derajat displasia dan risiko
mengandung karsinoma intramukosa atau invasif (Cotran, 2004).
bekerja sama dengan Perhimpunan Patologi Anatomi Indonesia, didapati angka yang
berbeda. Hal yang menarik disini adalah umur yang lebih muda cenderung lebih
banyak dibandingkan dengan laporan dari negara Eropa dan AS. Untuk usia dibawah
40 tahun data dari Bagian Patologi Anatomi FKUI didapati angka 35,26% (Abdullah,
2009).
Sekitar 25% karsinoma kolorektal terletak di sekum atau kolon asendens
dengan proporsi setara direktum dan sigmoid distal. Sebanyak 25% lainnya terletak
dikolon asendens dan sigmoid proksimal dan sisanya tersebar dikolon bagian lainnya.
Dan walaupun karsinoma kolorektal awalnya hanya karsinoma in situ tetapi dapat
memiliki morfologi yang berbeda-beda. Tumor di kolon proksimal cenderung tumbuh
sebagai massa polipoid eksofitik yang meluas disepanjang salah satu dinding sekum
dan kolon asendens, akan tetapi jarang menyebabkan obstruksi. Bila terletak di distal
karsinoma cenderung berbentuk lesi anular melingkar yang menimbulkan apa yang
disebut sebagai napkin-ring usus (Cotran, 2004).
porsio kolon sebelah kiri yang mana panjang yang dapat dicapai dari alat
tersebut biasanya 60 cm dari anal verge. Prosedur ini menyebabkan kram
abdomen. Tetapi hal ini tidak terjadi bila diberikan sedasi. Sigmodoskopi
fleksibel digunakan untuk skrining gejala asimptomatik. Perangkat ini juga
digunakan untuk menilai diare dan hematokezia (Topazian, 2004).
2. Kolonoskopi virtual
Kolonoskopi virtual dikenal juga sebagai computed tomography (CT).
Selain itu, dapat digunakan juga spiral CT Scanning ke computer untuk
mendapatkan resolusi yang tinggi multidimensi dari seluruh penampilan kolon
sehingga gambaran yang didapat lebih jelas. Pada kolonoskopi konvensional,
persiapan untuk membersihkan bowel sebelum pemeriksaan harus dilakukan.
Sedangkan pada CT scan rectal tube dimasukan dan kolon diisi dengan udara.
Glukagon diinjeksikan yang berguna untuk merelaksasi otot-otot polos di usus
(Stein, 2012).
Virtual kolonoskopi lebih aman karena kurang invasif dibandingkan
kolonoskopi konvensional dan memiliki keakuratan yang lebih tinggi dalam
menentukan ukuran, bentuk dan lokasi lesi. Pemeriksaan dengan virtual
kolonoskopi juga disarankan untuk menentukan staging dari karsinoma
kolorektal ( Stein, 2012).
3. High-definition colonoscopy
Perangkat ini memungkinkan untuk mendeteksi polip kolorektal lebih
teliti dibandingkan kolonoskopi konvensional. Pada studi retrospektif,
Buchner et al membandingkan High-definition colonoscopy (n=1204) dengan
kolonoskopi standard dengan pencahayaan putih (n=1226) untuk mendeteksi
adenoma. Investigator menemukan angka ketelitian untuk mendeteksi
adenoma dan angka ketelitian untuk mendeteksi polip lebih tinggi pada pasien
yang menjalani pemeriksaan High-definition colonoscopy. Dan mereka
pengujian kolon secara langsung. Sejak tes untuk darah tersamar tidak
sensitif lagi, yang dikarenakan tes ini hanya dapat mendeteksi seperempat
kanker kolorektal dan polip yang berukuran besar (Topazian, 2004).
Pemilihan skrining untuk pasien asimptomatik tergantung pada
kemauan dan riwayat keluarganya. Adanya riwayat pernah menderita
inflamatory bowel disease atau polip kolorektal. Rekomendasi untuk
pemeriksaan ini apabila adanya riwayat keluarga yang mengidap polip
adematosa sekitar dua atau lebih anggota keluarga. Sindrom kanker
tertentu atau ditemukan adanya darah tersamar di feses. Seorang individu
tanpa faktor ini pada umumnya juga dipertimbangkan juga skrining
sigmodoskopi pada usia 50 tahun dan dianjurkan setiap 5 tahun . Akan
tetapi, ada perdebatan apakah pasien yang memiliki hanya satu keluarga
yang menderita kanker kolorektal apakah perlu dilakukan skrining
(Topazian, 2004).
Sigmoidoskopi fleksibel adalah skrining yang efektif memiliki 2 alasan :
1. Kebanyakan kanker kolorektal pada umumnya terjadi di daerah
rektum dan kolon sebelah kiri.
2. Kebanyakan juga kanker kolorektal pada sisi kanan terjadi dengan
adanya adenoma disebelah kiri juga (Topazian, 2004).