Anda di halaman 1dari 16

Teh hitam minuman keras yang ultra infiltrasi: Pengaruh etanol pra-perawatan pada

fouling dan karakteristik pembersihan

Iain S. Argyle, Arto Pihlajamki, Michael R. Bird

Abstrak

Makalah ini melaporkan penggunaan membran ultra infiltrasi (UF) polimerdengan pra-perlakuan etanol sebagai strategi untuk
meningkatkan kinerja filtrasi baik dari segi peningkatan flux 9aliran yang masuk), dan pemulihan flux air membrane setelah proses
pembersihan dilakukan. Peningkatan sebuah 4-fold pure water flux (PWF) diamati untuk membrane polisulfon 100 kDa. Didapatkan
peningkatan flux pada membrane UF yang diberi perlakuan dengan etanol pada rentang berat molekul yang ditentukan. Perlakuan dengan
etanol juga memudahkan aliran flux dalam beberapa siklus pengotoran-pembersihan, dan memungkinkan peningkatan transmisi polifenol
selama UF untuk klarifikasi black tea liquor. Setelah proses pengotoran teh dan pengulangan pembersihan NaOH dilakukan, nilai PWF dari
membrane yang di beri perlakuan dengan etanol berhasil dikembalikan sampai dengan >150% dibandingkan dengan membrane PWF yang
tidak diberi perlakuan pada 4/5 siklus yang berturut-turut, hal ini mengindikasikan bahwa pra-perlakuan dengan etanol yang digunakan
(dalam penelitian ini) memiliki efek yang berkepanjangan pada kinerja selanjutnya.

Kata kunci: Ultrfiltrasi; Pra-perlakuan; Teh hitam; Fouling; Pembersih; Kabut tipis

1. Perkenalan

Pengotoran pada membrane menyebabkan menurunnya kinerja (membrane) sehingga menyebabkan efisiensi proses. Pada system
membrane, hal ini dimanifestasikan dengan hilangnya flux dan sering juga dalam bentuk tidak efisiennya regenerasi membrane yang
disebabkan oleh mahalnya biaya dan lamanya waktu yg dibutuhkan untuk proses pembersihan. Mengembalikan membrane ke keadaan
dimana membrane memiliki kinerja yang mirip dengan membrane baru dan mendapatkan performan yang sama dengan performans
membrane baru adalah tujuan yang ingin dicapai dalam proses pembersihan (ini), dengan pemulihan umumnya diukur sebagai persentasi
permeabilitas membrane asli (Bartlett et al., 1995)..

Terdapat persyaratan umum untuk peningkatan teknologi dalam proses manufaktur produk teh karena meningkatnya popularitas es teh di
dunia, dimana produk teh RTD, menguasai 8.7% dari $500 milyar pasar soft drink pada tahun 2012-2013 (Euromonitor, 2009, 2014).
Pengaplikasian UF pada pengolahan the hitam telah mendapat perhatian khusus dikarenakan potensinya untuk menghilangkan krim the
alami yang terbentuk pada saat proses pendinginan minuman the keras (Todisco et al., 2002). Pengolahan dengan membrane menawarkan
keuntungan tersendiri dalam hal konsumpsi energy dan waktu pengolahan, dibandingkan dnegan metode penghilangan uap lainnya, seperti
solubilisasi alkali, perlakuan dengan enzim, sentrifugasi atau proses fining (penghalusan) dengan mengeliminasi atau mereduksi bahan-
bahan kimia yang ditambahkan (Liang dan Xu, 2001;. Chandini et al, 2013). Pengolahan dengan membran juga menawarkan pilihan
pengolahan secara kontinu dan proses pasteurisasi yang terpadu (Kepala Burung dan 2013).

Uap teh ini dapat diamati ketika bintik-bintik muncul pada permukaan larutan the (yang sedang diolah untuk jadi minuman keras) ketika
proses pendinginan dimulai. Uap teh tersebut menyebabkan munculnya karakteristik yang kurang mengenakkan pada teh; Aglomerat uap
teh yang terbukti mengandung senyawa-senyawa teh yang berkontribusi memberikan rasa dan warna pada the hitam akan hilang melalui
penguapan (yang diakibatkan oleh proses pemisahan/presipitasi) dan akhirnya menyebakan menurunnya kualitas (teh) (Jobstl et al., 2005).
Uap (pada the) ini terbentuk karena adanya interaksi interaksi polifenol dengan molekul-molekul polifenol lainnya atau dengan komponen
lainnya, misalnya protein, kafein dan logam kation (Jobstl et al, 2005;. Charlton et al, 2000;. Jobstl et al, 2004.), (pembentukan uap) juga
merupakan fungsi dari pH, konsentrasi, dan sejarah suhu-waktu (Tolstoguzov, 2002) melalui interaksi homo-asosiasi dari polifenol
kelompok galloil (interaksi tumpukan ikatan phi-phi) atau hetero-asosiasi dari spesies yang meiliki ikatan H, hidrofobik (Jobstl et al, 2004;.
Siebert, 1999;. Liang et al, 2002). 85% dari partikulat uap (the) yang berukuran dalam rentang 0,1-100 mikro meter , telah terbukti
memiliki ukuran berada di bawah 1.03 mikro meter, yang berarti penghilangan partikulat-partikulat tersebut berdasarkan ukuran fisik
(partikel tsb) adalah strategi yang layak, menggunakan micrfiltrasi (MF) atau UF (Liang dan Xu, 2001). Percobaan kelarutan pada gugus
krim teh telah menunjukkan bahwa (gugus pada krim teh) stabil di bawah suhu 40 C dan sebagian tetap terbentuk sampai suhu
90 C (Tolstoguzov, 2002), hal ini menunjukkan terbenytuknya (uap the) adalah langsung ketika infusi mulai dingin (pada ca 90C) dan
bahwa penghilangan hal-hal yang menyebabkan terbentuknya uap (aglomerat uap ditahap awal) dapat dilakukan dengan menggunakan
membran sebelum uap matang. .

Kelemahan dari filtrasi the dengan mengguanakan membran polifenol menolak beberapa senyawa, seperti yang ditunjukkan oleh Chandini
dkk. (2013). Senyawa fenolik juga telah diidentifikasi sebagai pengotor profilik pada membran (Wu dan Bird, 2007). Evans et
al. (2008) menunjukkan bahwa fl uoropolymer (FP) membrane yang bermuatan negatif membran yang dikotori oleh teh mewarisi tambahan
muatan negatif yang terkait dengan senyawa-senyawa yg ada pada teh, sebelum dibersihkan kembalikan muatan (membrane) ke muatan
diantara membrane yang belum dikotori dan membrane yang sudah dikotori. Pada pekerjaan lebih lanjut, pengotoran dan pembersihan
berulang FP 30 kDa cut-off membran menunjukkan hydrophilisation permukaan membran pada pembersihan, sudut kontak dikurangi dari
65 sampai 52 setelah 23 kali siklus pengotoran dan pembersihan (Evans dan Bird, 2006). Penelitian ini menyoroti sinergi pengotoran teh
dan pembersihan NaOH dan modi fi kasi hasil pada permukaan kimia. Dari hasil beberapa peneltian sebelumnya juga tampak bahwa
penting untuk memperhatikan bahan membrane yang relevan untuk permukaan hidrofilisitas dan muatan pori-pori yang sesuai dengan
kecendrungan pengotoran dan transmisi senyawa (Evans et al., 2008).

Ada tiga strategi utama untuk meningkatkan kinerja membran komersial:

i. Mengoptimalkan kondisi hidrodinamik atau mengubah variabel fisiko-kimia (suhu, kekuatan ionik, pH) untuk mencegah
pengendapan kotoran atau untuk menstimulasi perubahan ke property larutan atau padatan.
ii. Meningkatkan penghilangan kotoran dengan optimasi konsentrasi deterjen dan pembersihan termo-hidrolik untuk meningkatkan
regenerasi membran.

iii. Pra-perlakuan membran untuk memodifikasi kinerja membran dengan mengubah sifat fisik atau kimia dari permukaan membran
dan/atau matriks berpori sebagai dasarnya.

Pra-perlakuan membran UF dengan alkohol sebelum larutan difiltrasi adalah hal yang diteliti, dimana tidak banyak penelitian yang telah
dilaporkan mengenai hal ini (Shukla dan Cheryan, 2002;. Kochan et al, 2009). Kochan dkk. (2009) melaporkan bahwa hamper terjadi 3 kali
peningkatan ketika lembaran membrane polisulfon diberi perlakuan dengan 80% wt larutan etanol, perlakuan tersebut menunjukkan
peningkatan kinerja sampai dengan 5 hari ketika permeabilitasnya diuji dengan air murni. Penulis menunjukkan peningkatan flux (filttasi)
pada saat filtrasi supernatant lumpur ketika membrane yang sama diberi pra-perlakuan dengan 80 wt% etanol selama 2 jam. Hal ini
menunjukkan bahwa metode perlakuan sedehana ini (pra-perlakuan) bisa memberikan efek positif dan tahan lama pada membrane. Tidak
banyak perhatian yang diberikan untuk effek kimia permukaan sebagai akibat modifikasi alcohol. Lebih lanjut, pengaplikasian membrane
yang dimodifikasi untuk filtrasi pada industry-industri yang relevan seperti the, yang kinerja filtrasinya dipengaruhi oleh parameter-
parameter kimia permukaan seperti muatan dan hidfobisitas yang dibuat disini. Teh sebagai pemodikasi permukaan juga menunjukkan
fenomena menarik yang berhubungan dnegan permukaan kimia membrane, ketika sinergi pengotoran dan pembersihan dipertimbangakan.

Makalah ini melaporkan hasil dari protokol pembersihan dan pengotoran standar yang diterapkan beberapa kali pada membran polimetrik
UF yang telah diberi pra-perlakuan menggunakan etanol. Penekanan pada kinerja filtrasi, pemulihan PWF dan mekanisme transportasi telah
disusun, dan juga hubungan antara faktor-faktor tersebut dan yang mendasari perubahan kimia permukaan terkait dengan pra-perlakuan
etanol dan pengotoran dan pembersihan berikutnya. Peningkatan flux pada saat prose sub-limiting dilaporkan. Perlakuan dengan
menggunakan metode ini memberikan efek yang tahan lama yang bisa diamati di multiple siklus pembersihan dan pengotoran, dan pengaruh
pada trasnmisi senyawa juga tampak jelas. Secara keseluruhan, peningkatan pada filtasi membrane telah didokumentasikan, yang memiliki
relevansi lebih luas dengan proses rekayasa makanan dalam hal pengembangan proses penyesuaian, peningkatan efisiensi proses dan
peningkatan kualitas produk.

2. Bahan dan metode

2.1. Membran dan sistem infiltrasi

Dalam eksperimen ini, UF dilakukan dengan menggunakan DSS Lab-Unit M10 (DSS, Denmark). Tiga lembaran polisulfon membran yang
berbeda (PS50, PS100, MFG1) dengan nMWCOs dari 50 kDa dan 100 kDa, dan satu dengan pori-pori ukuran 0,1 mikro meter (Alfa Laval,
Denmark). Area efektif seluas 336 cm2 tersedia pada piringan dan bingkai modul yang digunakan. Setelah membrane PWFs diberiperlakuan
dengan pendingin (pemanas?) air panas untuk menghilangkan anti-humektan, membrane tersebut diukur pada suhu 22 C dan tekanan 1.0
bar transmembran (TMP).

2.2. Pra-perlakuan

Setelah pembilasan dan pendinginan dengan air panas, membran-membran digunakan (dalam eksperimen) dalam keadaan tidak diberi
perlakuan dengan etanol dan dalam keadaan diberi perlakuan dengan etanol. Etanol (50 wt.% atau 100 wt.%) (kelas ACS, diperoleh dari
Sigma-Aldrich) digunakan untuk membersihkan dan mengisi modul membran. Gas nitrogen digunakan untuk menekan temmpat
penampungan larutan etanol yang kemudian memaksa etanol melewati membrane pada tekanan 1.0 bar (pada filtasi buntu). Ketika telah
jenuh, membran tetap terbenam dan di bawah 1,0 bar tekanan hidrostatik selama 24 jam sebelum dibersihkan dengan reverse osmosis (RO)
air dan pengukuran kembali PWF. PWF setelah perlakuan dibagi dengan PWF sebelum perlakuan untuk medapatkan perubahan relatif fluks
(Persamaan. (1)).

di mana J rel adalah perubahan relatif fl ux, J fi nal adalah flux air setelah perlakuan dan J awal adalah PWF asli.

2.3. Pakan dan membersihkan rezim

Bubuk teh hitam kering (yang bisa larut untuk disemprot) dipasok oleh Unilever, UK. Bubuk teh dilarutkan dengan air RO pada 90 C
untuk membuat 8 L 0,5 wt.%. Suhu disesuaikan di 50 C sebelum filtasi selama 60 menit. Untuk proses pembersihan, , 0,5 wt % NaOH
pada 60C digunakan pada tekanan 1.0 bar TMP selama 10 menit setelah penegeringan selama 15 menit pada tekanan 1.0 bar TMP. Cross
flow velocities (CFV) untuk pengukuran PWF, pengotoran, dan pembersihan ditetapkan sebesar 1,0 ms 1, pembilasan dilakukan pada 1,5
ms-1. Diantara tiap fase siklus pengotoran-pembersihan, PWF diukur pada tekanan 1.0 bar. Lihat table 1 untuk daftar fullnya.

2.4. Analisis zat terlarut

Sampel yang sudah meresap dikumpulkan setiap 15 menit pada setiapfiltrasi dan sampel retentate diambil pada saatfiltrasi dimulai. Semua
permeat yang dikumpulkan (kecuali sampel) dikembalikan ke tangki umpan untuk mempertahankan kondisi agar konstan. Sampel dianalisis
untuk konsentrasi total zat terlarut melalui pengukuran berat kering dengan menggunakan metode dehidrasi pada suhu 60C dan total
polifenol dengan metode seperti yang dijelaskan oleh Singleton dan Rossi (1965). Untuk total polifenol, pengukuran dilakukan di 96
piringan sumur mikro-titer dengan panjang gelombang 765 nm menggunakan Synergy HT multi-mode plate reader (Biotek, Winooski,
USA). Asam galat standar digunakan sebagai referensi. Penolakan nyata (R app) dari total padatan dan polifenol diperoleh dengan
menghitung konsentrasi sampel (C p) dan pakan / konsentrasi retentat (C r) menggunakan Persamaan.(2).

Tabel 1 - Pra-pengobatan dan protokol infiltrasi.


2.5. Kekeruhan

Tingkat uap diukur dengan cara mengukur kekeruhan pada sampel yang secara konsisten diencerkan. Konsentrasi sampel permeate
diperkirakan dengan menggunakan indeks bias yang menunjukkan nilai Brix. (Sampel ) Permeate kemudian diencerkan sampai 0,3 wt.%
berdasarkan pengukuran ini dan kekeruhan direkam menggunakan HI 93703 Turbidimeter (Hanna Instruments, Woonsocket, USA)
terhadap standar kekeruhan (0, 10 dan 100 NTU) pada suhu kamar dalam waktu 2 jam saat infiltrasi.

2.6. Warna teh

Sampel dimasukkan ke dalam cuvettes sebelum parameter L* (keterangan), a* (kemerahan) dan b* (kekuningan) (ruang warna CIELAB)
diukur dan dianalisis menggunakan spektrofotometer Shimadzu UV-1601 pada rentang panjang gelombang 380-770 nm dan ditafsirkan
menggunakan perangkat lunak Analisis Warna UVPC v.3.0 (juga Shimadzu).

2.7. Sudut kontak

Sudut kontak air diukur melalui teknik sessile drop menggunakan OCA 15 Pro goniometer (Dataphysics GMBH, Jerman). Sampel
dikeringkan pada suhu kamar dan disimpan dalam desikator sebelum ditambahkan dengan dengan penurunan 1,0 mikroL drop air
murni. OCA 15 software digunakan untuk menghitung sudut kontak.

2.8. Potensial zeta jelas

Potensial zeta jelas (ZP) dihitung dengan pengukuran potensial streaming melalui pori pori membran sesuai metode yang dijelaskan
oleh Nystrm dkk. (1994). 1.0 solusi mM KCl dibuat menggunakan Milli-Q air dan dialirkan melalui 10.4 cm2 sampel membran yang
ditahan pada modul (yang dibuat khusus) untuk dua Ag/AgCl elektroda; satu diposisikan di dekat permukaan membran di sisi retentate, dan
yang satu lagi untuk mendukung lapisan pada permeate. Potensi streaming diukur pada rentang TMPs (biasanya 0,5-1,0 bar) sebelum
penyesuaian pH. Tiga nilai pH diukur searah dengan menurunnya nilai pH sebelum larutan elektrolit dibersihkan dan dibilas. Potensi
streaming untuk tiga nilai pH yang searah dengan peningkatan pH kemuadian dilakukan. Semua pengukuran berada di kisaran pH 3 dan pH
7. Zeta potensial dihitung dengan mengukur tingkat perubahan potensi streaming terhadap TMP menggunakan persamaan Helmholtz-
Smoluchowski yang tidak benar (Persamaan. (3)).

di mana adalah potensi zeta, TMP adalah tekanan transmembran, miu adalah viskositas larutan elektrolit, k adalah
konduktivitas, E perubahan potensi streaming, 0 dan r adalah masing-masing permitivitas ruang bebas dan konstanta dielektrik air.

3. Hasil dan Pembahasan


3.1. Pengaruh alkohol pra-perlakuan

Gambar. 1 menunjukkan peningkatan relative fluks setelah membrane yang digunakan diberi perlakuan. Untuk membran PS50 (tidak di
diberi perlakuan PWF 110,1 5.2 Lm -2 h-1), perlakuan dengan 50 wt.% dan 100 wt.% etanol menghasilkan peningkatan relatif 1,32 0,01
dan 2,32 0,04. Untuk membran PS100 (tidak dberi perlakuan PWF 254,7 7,2 Lm-2 h-1), perlakuan memberi peningkatan 3,75 0,11 dan
3,84 0,06, membran ini memberikan peningkatan flux yang paling banyak. Untuk MFG1, dengan PWF dari 309,4 1,5 Lm-2h-
1
, peningkatan flux relative sebesar 2.09 0,04 dan 2,13 0.03.

Sifat polar air memengaruhi pengorganisasian air tersebut pada antarmuka padatan-cairan dan (sifat polar) tergantung pada interaksi muatan
antara dua fase tersebut. Dikarenakan muatan negatif dikurangi ke nilai yang lebih netral relative terhadap kondisi dimana (membrane?)
tidak diberi perlakuan (seperti ditunjukkan pada Gambar. 8), ikatan molekul air pada dinding akan berkurang.

Gambar. 1 - Relatif PWF untuk membran berikut 24 jam sebelum pengobatan statis di bawah tekanan bar 1.0 di berbagai
campuran etanol-air.

Pengaruh pengurangan muatan akan menyebabkan meningkatnya terlepasnya (molekul air) dari dinding. Biasanya, akan diasumsikan bahwa
cairan yang mengalir melalui pori-pori tidak akan menampakkan kondisi perbatasan lepas dimana molekul yang paling luar tidak akan
bergerak dikarenakan ikatan tersebut. Hasil penelitian menunjukkan bahwa jika muatan dimodifi kasi ke pori-pori memberikan bukti seperti
peningkatan permeabilitas, umumnya dengan asumsi tidak ada kondisi slip untuk membran dengan sifat yang mirip (muatan permukaan
moderat dan hidrofobik) sehingga tidak akan memadai dan bahwa penggabungan slip karena permukaan muatan ( seperti untuk kasus-kasus
yang melibatkan pemodelan aliran cairan dalam struktur berpori) harus menjadi pertimbangan umum.

Cara kerjaalkohol masih belum jelas pada tahap ini meskipun terdapat sejumlah hipotesis yang dapat digunakan untuk menjelaskan (cara
kerja alcohol). Entah molekul etanol terikat pada film dengan orientasi molekul dimana ujung kutub molekul menempel pada dinding dan
ekor non-polar hidrofobik yang tersisa menjorok ke dalam pori-pori sehingga mengurangi adhesi air. Modifikasi muatan bisa saja
disebabkan oleh muatan yang diberi tutup berdasarkan konduktifitas (muatan) yang lebih rendah. Teori lainnya menjelaskan bahwa alcohol
melarutkan sebagian matriks polimer (contoh. Pembengkakan) yang, berpotensi memodifikasi morfologi membran, bisa menyebabkan
perubahan pada sifat kimia (alkohol). Proses pembengkakan

dan setiap perubahan morfologi lainnya yang muncul sebagai sebuah akibat, bisa meningkatkan diameter efektif pori-pori pada beberapa
membran. Pembengkakan dalam struktur pori-pori tiga dimensi dapat menyebabkan dua efek yang berlawanan: (1) pembengkakan
makroporus akan menyebabkan pelebaran seluruh struktur sehingga pri-pori akan meluas dan (2) pembengkakan mikroporus akan
menghasilkan pembengkakan polimer meskipun prubahan total ruang yang efektif yang ditempati oleh membran akan diabaikan. Karena
kedua efek akan terjadi secara bersamaan, proporsi relatif dari dua fenomena ini mungkin berbeda antara membran menawarkan derajat
yang berbeda pada peningkatan pemasukan air murni setelah (membrane diberi) perlakuan.

Membran PS50 menunjukkan kenaikan flux yang lebih besar diantara 50 wt.% dan 100 wt.% dengan perlakuan etanol, sedangkan PS100
menunjukkan kenaikan flux yang paling signifikan diantara (kondisi) yang tidak diberi perlakuan dan diberi perlakukan dengan etanol 50
wt.%. Jika adsorpsi molekul etanol pada dinding pori diperhitungkan, besarnya nilai muatan awal akan memengaruhi jumlah etanol yang
diserap karena etanol harus menggantikan air pada interaksi antarmuka padatan-cairan untuk menyerap ke dinding. Untuk membran yang
lebih kuat yang belum digunakan (-15 mV untuk membran PS50) efek saturasi ini (atau keseimbangan) akan menguntungkan molekul
dengan polaritas (air) yang relatif lebih besar dan dengan demikian akan membutuhkan kehadiran molekul etanol dalam jumlah yang lebih
tinggi untuk mempengaruhi perubahan pada permukaan yang muatannya lebih netral (PS100).

3.2. Filtrasi Teh

Manfaat dari protokol perlakuan dapat dilihat saat melakukan infiltrasi dengan 0,5 wt.% teh hitam. Adapun pasca perlakuan PWFs,
perbedaan antara 50 wt.% dan 100% wt perlakuanyang memberikan perbedaan terbesar infiltrasi fluxes untuk PS50 (Gambar. 2 a). Untuk
membrane PS50 tanpa diberi perlakuan, flux filtrasi terminal relative adalah sebesar 0,255 0.010. Pada filtrasi keempat, nilai (flux filtrasi
terminal relative ) naik menjadi 0,304 0,011. Berlawanan dengan proses dimana membrane tidak diberi perlakuan (dengan etanol),
pengotoran berulang pada membran menunjukkan penurunan flux filtrasi terminal; (nilai flux) menurun dari 0.4550,016 ke 0,3800,013.
Jikadiubah dalam bentu persentasi, perlakuan pada membrane PS50 dengan etanol 50 wt.% menunjukkan peningkatan sebesar 21% lebih
rendah 6% dari perbaikan setelah 4 siklus berturut-turut. Untuk perlakuan dengan etanol 100 wt.%, didapatkan peningkatan sebesar 79%
selamafiltrasi pertama, lalu berkurang menjadi 25% peningkatan setelah 4 siklus. Membran PS50 umumnya menunjukkan peningkatan yang
besar dan berkepanjangan ketika diberi perlakuan dengan etanol, dimana peningkatan konsentrasi etanol berkorelasi positif dengan
dipertahankan peningkatan fluks dalam beberapa siklus.

Gambar. 2 b dan c menunjukkan hasil yang sama untuk PS100 dan MFG1. Peningkatan (flux pada membrane PS100 dna MFG1) kurang
signifikan dibandingkan (peningkatan) pada membran PS50, meskipun tren serupa muncul dalam hal berkurangnya kinerja setelah beberapa
siklus pada membran yang diberi perlakuan (dengan etanol), dan peningkatan kinerja untuk membran yang tidak diberi perlakuan (dengan
etanol). Pengamatan lainnya adalah bahwa nilai-nilai permeabilitas air murni adalah cerminan perubahan selama filtrasi, dengan perlakuan
etanol 50 wt.% dan 100 wt.% memberikan nilai flux terminal yang lebih dekatdibandingkan dengan kasus (membrane) yang tidak diberi
perlakuan (dengan etanol).
Gambar. 2 - Relatif teh filtrasi pakan (a) PS50 filtrasi fluxes dari 0,5 wt, (b) PS100, dan (c) MFG1 lebih siklus busuk bersih berturut-turut..

3.3. Pembersihan dan pemulihan fluks

Peningkatan fluks juga dapat diamati pada 4 kali pengotoran dan 4 pembersihan (4F4C) siklus dengan penentuan persentase pemulihan fluks
dibandingkan dengan PWF yang tidak diberi perlakuan dan belum digunakan (Gbr. 3). Untuk PS50, kinerja setelah proses pembersihan
dilakukan beberapa kali, dicerminkandari peningkatan flux pada pra-perlakuan awal, meskipun degradasi manfaat dari perlakuantampak
nyata. Untuk perlakuan dengan etanol 100 wt.%, regenerasi membran adalah sebesar 188 12% setelah F1C1, menurun menjadi 166 9%
setelah 4F4C dan untuk 50 wt.% etanol, 116 5% menjadi 110 2% untuk masing-masing usia membran yang sama. Mengingat
PS100 (Gambar 3 b.); membran yang tidak diberi perlakuan (dengan etanol) regenerasinya kurang baik dibandingkan dengan membran
PS50, dan membran MFG1 (Gambar. 3 c) bahkan pengembalian (membrane) ke kondisi aslinya juga jauh kurang baik. Membrane PS100
menawarkan pengemblian hingga ca 80% ke kondisi murni PWF, dan MFG1 ketika dibersihkan dengan menggunakan protokol yang
dijelaskan di sini (sebelumnya), hanya memberikan 77-79% regenerasi untuk kinerja flux air murni. Ketika mengamati regenerasi membran
setelah perlakuan awal dengan etanol, terlihat bahwa efek dari perlakuan dengan etanol 50 wt.% berkurang setelah F1C1, bahkan ketika
substansial PWF keuntungan setelah perawatan dan sebelum pengotoran terlihat nyata, meskipun efeknya masih bisa dilihat.

Gambar. 3 - pemulihan PWF diukur mengikuti setiap siklus busuk bersih untuk (a) PS50, (b) PS100, dan (c) MFG1.

Untuk membran PS100 dengan perlakuan dengan etanol 100 wt.%, regenerasi terbesar dari PWF dapat dilihat, (hal ini ditunjukkan) dengan
kembalinya 203 24% dan menunjukkan keuntungan dua kali lipat padaPWF yang tidak diberi perlakuan setelah F1C1 dan
mempertahankan 133 2% setelah 5F5C. Membran MFG1 juga menunjukkan peningkatan pada membran yang tidak diberi perlakuan
untuk 4F4C. Untuk kasus perlakuan dengan etanol 50%, membran (MFG1) memberikan 118 12% peningkatan regenerasi setelah 1F1C,
dan 98 8% pemulihan setelah 4 siklus, dibandingkan dengan membran yang tidak diberi perlakuan pemulihan fluks sebesar 78 2%
setelah melewati jumlah siklus yang sama. Pola ini juga ditemukan pada membrane yang diberi perlakuan etanol 100% dengan spesifikasi
yang serupa.
.

Gambar. 4 - Jumlah padatan teh penolakan untuk (a) PS50, (b) PS100, (c) MFG1.

Ketika membandingkan Gambar. 2 a-c tampak jelas bahwa walaupun kinerja membran yang tidak diberi perlakuan (dengan etanol)
meningkat dengan menggunakan siklus pengotoran-pembersihan berturut-turut, kinerja membran yang diberi perlakuan (etanol) tetap
konstan, dan walaupun kinerjanya menurun, penurunannya hanya sedikit. Pengenalan pengotor (dalam bentuk spesies teh) menambah
kompleksitas, ketika menjelaskan peningkatan fluks, tetapi kemungkinan disebabkan oleh efek yang sama seperti yang terlihat pada
peningkatan PWF. Besarnya konvektif transportasi massa bahan terlarut adalah akibat langsung dari peningkatan permeabilitas membran,
meskipun faktor-faktor seperti pengotoran permukaan (baik lapisan (kue?) atau dengan adsorpsi permukaan) dan pengotoran di-pori
menghadirkan batas untuk kasus yang ideal (penyaringan di PWF). Mengingat bahwa pembersihan tidak mencapai regenerasi PWF dengan
nilai-nilai yang sebanding dengan membran yang diberi perlakuan, dan besarnya regenerasi berkurang dengan berjalannya siklus secara
terus menerus, (hal ini) menunjukkan bahwa perlakuan (dengan etanol) tidak efektif untuk membrane yang dimodifikasi secara
permanen. Penelitian lebih lanjut diperlukan untuk menentukan titik di mana tidak ada tambahan manfaat yang didapat dengan member
perlakuan pada membran, atau apakah efek tersebut terlihat selama waktu hidup membran.

3.4. Transmisi zat terlarut


Perlakuan dengan etanol tidak berpengaruh pada penolakan padatan pada membran PS50 (lihat Gambar. 4 a). Hal yang sama juga terjapada
penolakan polifenol (Gbr. 5) dengan pengecualian siklus filtrasi pertama, dengan membran yang tidak diberi perlakuan menunjukkan
penolakan polifenol yang lebih besar (0.59 0,02 untuk F1 dan 0,48 0.01 untuk F2). Hasil ini juga diamati pada PS100 seperti
ditunjukkan pada Gambar. 4 b (F1: 0.56 0,02 dan F2: 0.49 0,01), dan MFG1 (F1: 0.48 0,02 dan F2: 0.41 0,02) (Gambar.
5 c). Transmisi padatan PS100 dan MFG1 juga menunjukkan deviasi pada siklus filtasi pertama, dibandingkan dengan siklus yang
berkelanjutan. Penjelasan mengenai hal ini bisa dihubungkan dengan efek pengotoran selama UF the hitam, dimana perubahan muatan
membrane diamati setelah beberapa siklus pengotoran dan pembersihan (Evans et al., 2008).

Gambar. 5 - Jumlah fenolat penolakan untuk (a) PS50, (b) PS100, (c) MFG1.

Pengamatan yang menarik diperoleh dari penolakan polifenol dari membran PS100 (dan pada tingkat lebih rendah dari MFG1) (Gambar. 5 b
dan c). Pengaruh etanol memiliki efek yang besar pada transmisi senyawa polifenol, senyawa-senyawa ini berkontribusi pada astringency
menyenangkan dan kepahitan teh hitam, dan dengan demikian peningkatkan transmisi senyawa-senyawa ini menjadi sangat
penting; penghilangan (senyawa-senyawa) dari pakan (the) akan menyebabkan kualitas minuman berkurang. Untuk membran PS100,
penolakan polifenol diturunkan secara drastis pada infiltrasi pertama, dan pada setiap filtrasi berikutnya pada nilai-nilai yang lebih rendah,
meskipun membran yang tidak diberi perlakuan (dengan etanol) meningkatkan pelanggaran pada nilai membrane yang diberi perlakuan
(dengan etanol) pada tiap siklus pengotoran-pembersihan; hal ini menyediakan indikasi lebih lanjut bahwa keefektifan perlakuan dengan
etanol berkurang dari siklus ke siklus. Ini berarti perlakuan dengan etanol bisa memberikan manfaat ganda; meningkatkan fluxes dan
meningkatkan transmisi polifenol yang penting selama proses klarifikasi teh.

Penurunan transmisi setelah siklus pengotoran pertama dan kedua bisa jadi merupakan hasil penyusutan membran setelah digunakan dari
keadaan pembengkakan pra-perlakuan. Membran PS100 menunjukkan peningkatan terbesar ada dalam fluks air murni, dan pengurangan
paling menonjol ada dalam fluks air murni, setelah siklus pembersihan diselesaikan. Kemungkinan lain adalah bahwa penghilanganagen
pembentuk pori dari membran pada pra-perlakuan dapat menyebabkan perubahan kecenderungan pengotoran dan dengan demikian
efektivitas pada saat pembersihan menjadi berkurang saat spesies ini dihilangkan. Untuk membran yang tidak diberi perlakuan, efek kaustik
(meskipun pada konsentrasi yang relatif ringan) juga bisa menyebabkan pembengkakan. Ini akan menjadi hal yang akan perlu diselidiki di
masa depan.

3.5. Warna

Pengukuran warna teh dengan spektrofotometer tidak hanya memberikan ide kepada konsumen mengenai persepsi infuse teh tapi juga
mengenai indikasi konsentrasi relative beberapa spesies the. Kemerahan diketahui mengindikasikan kehadiran thearubigins dalam
teh (Scharbert et al., 2004), kelas polifenol polimer tinggi memberikan kompleksitas dalam rasa dan aroma. Data yang dikumpulkan
menunjukkan meningkatkan kemerahan pada aliran serapan ketika difilter dengan membrane PS100 (Gambar. 6). Tingkat kemerahan yang
tinggi dilucuti dari teh meskipun berkurangnya tingkat kemerahan ini akan menurun seiring dengan bertambahnya usia membran. Sesuai
dengan data penolakan polifenol, tingkat kemerahan meningkat dengan pesat pada membrane serapan yang diberi perlakuan untuk PS100
(hal ini juga terjadi pada kasus MFG1 meskipun tidak ditampilkan dalam makalah ini) dan peningkatan kemerahan meningkat setelah siklus
pengotoran-pembersihan ditunjukkan lagi dengan dengan membran yang diberi perlakuan. Hal ini menunjukkan bahwa dengan menuanya
membran dengan siklus pengotoran-pembersihan yang berturut-turut, kemapuan (membrane) untuk mentrasmisi polifenol meningkat tanpa
memperhatikan pra-perlakuan membrane.

Gambar. 6 - Kemerahan teh meresapi lebih fi siklus filtrasi untuk membran PS100.
Gambar. 7 - Haze teh meresapi lebih siklus infiltrasi berturut-turut untuk membran PS100.

Tabel 2 - Kontak sudut untuk membran pada berbagai titik selama busuk / siklus bersih (semua unit dalam derajat).

3.6. Penghapusan Haze

Penghilangan uap sangat efisien seperti ditunjukkan pada Gambar. 7, yang menunjukkan rata-rata 4 sampel permeat antara 15 menit dan 60
menit filtrasi. Nilai uap paling tinggi yang tercatat (ca 3,0 NTU untuk membran MFG1 yang tidak diberi perlakuan) secara statistik tidak
relevan dimana(nilai) berbeda dari nilai-nilai lainnya yang diukur dan tetap merepresentasikan penghilangan pada rentang besarnya urutan
teh yang tidak difilter (96 5 NTU untuk Teh 0,3 wt.% pada suhu kamar).
Gambar. 8 Apparent zeta potentials calculated from streaming current measurements through membrane pores for PS50. (a) untreated, and (b) 100 wt.%
ethanol treated. PS100 (c) untreated, and (d) 100 wt.% ethanol treated.

3.7. Contact angle

Table 2 menunjukkan nilai sudut kontak yang diukur pada banyak titik selama siklus filtrasi. Hasil sudut kontak setelah perlakuan dengan
etanol menyebabkan peningkatan, yang umumnya mengimplikasikan kecendrungan pengotoran yang lebih kuat. Seperti telah disebutkan
pada pendahuluan, pengotoran the telah ditunjukkan pada membrane hidrofilis setelah proses pembersihan. Hasil ini kembali ditunjukkan
disni pada membrane yang tidak diberi perlakuan (dengan etanol). Untuk 100 wt.% etanol yang diperlakukan pada membrane PS50,
pengotoran dan pembersihan mengembalikan membrane ke hidrophilicit, yang hamper sama dengan kondisi (membrane) yang belum diberi
perlakuan. Pengembalian membrane ke kondisi dimana membrane tidak diberi perlakuan (setelah perlakuan dan pengulangan siklus
pengotoran-pembersihan) tidak terjadi pada membrane PS100, walaupun rehidrofilisasi terjadi pada laju yang rendah. Hal ini
mengindikasikan bahwa kedua membrane yang tidak menyelesaikan proses pengotoran memiliki senyawa hidrofilik yang tersisa di
permukaan. Hal ini bisa diperhatikan secara positif karena hidrofilisasi adalah strategi yang umum untuk menyediakan membrane anti-
pengotoran, walupun hal ini dapat dicapai secara kalsik melalui percabangan permukaan molekul hidrofilik atau perlakuan dengan plasma
untuk mendapatkan grup permukaan fungsional hidrofilik.

3.8. Zeta potential


Gambar. 8 menunjukkan untuk membrane murni (PS50 dan PS100), muatan negatifnya direduksi pada saat perlakuan dengan etanol, yang
pada normalnya mensugesti kecendrungan pengotoran yang lebih besar kea rah ion fenolit yang bermuatan negative (spesies polifenol yang
terdisosiasi). Membran PS50 menunjukkan perubahan muatan terbesar dan setelah pengotoran dan pembersihan, pengurangan (muatan
negative) ini masih terlihat. ZP yang terkotori untuk membrane yang tidak diberi perlakuan muatan negatifnya lebih rendah dibandingkan
(membrane) murni, membrane F1C1 dan F4C4. ZP yang terkotori untuk PS50 yang diberi perlakuan ukurannya mirip dengan membrane
yang tidak diberi perlakuan, hal ini mensugestikan bahwa muatan pada lapisan yang kotor itu konsisten dan tidak banyak dipengaruhi oleh
membrane. Hal ini juga berlaku bagi PS100. Dengan proses pembersihan, dikuranginya muatan membrane yang diberi perlakuan
kemungkinan besar akan mengurangi adhesi kation muatan negative untuk membrane dan merupakan penjelasan yang masuk akal untuk
peningkatan pemulihan flux yang terlihat, khususnya pada mebran PS100 yang menampilkan nilai terendah muatan setelah proses
pembersihan. Membrane PS100 yang tidak diberi perlakuan (Gambar 8c) menunjukkan sedikit perubahan setelah F1CO, F1C1, dan F4C4
sedangkan muatan pada membrane yang diberi perlakuan (Gambar 8d) tidak dikembalikan ke ukuran muatan negative yang lebih rendah
dari membrane murni yang diberi perlakuan. Hal ini berarti pengotor yang lebih gampang dihilangkan dari membrane yang diberi perlakuan
setelah proses pembersihan memiliki potensi untuk membantu transmisi senyawa fenolik. Hal ini terlihat masuk akal, karena keenganan
muatan negative yang lebih rendah akan muncul dengan rendahnya ukuran ZP negative.

4. Conclusions

Perlakuan dengan ethanol pada membrane polimerik telah terbukti efektif dalam meningkatkan filtrasi flux dan memperpanjang kinerja
membrane pada bebrapa siklus pemgotoran-pembersihan. Perlakuan dengan etanol juga menunjukkan bahwa modifikasi kinerja
memfasilitasi peningkatan transmisi senyawa polifenol dan penolakan senyawa polifenol yang umumnya tidak seimbang dimediasi dengan
memodifikasi muatan permukaan, hal ini juga tampak nyata pada beberapa siklus pengotoran-pembersihan. Sedangkan penurunan muatan
negative dari membrane setelah perlakuan biasanya akan terlihat sebagai gangguan pada kinerja, kecendrungan untuk pengotoran dengan
senyawa yang berperan untuk memodifikasi untuk membrane agar menguntungkan akan meningkat. Membrane yang dimodifikasi melalui
penyaringan telah terbukti meiliki kualitas superior dibandingkan dengan permeate membrane yang tidak dimodifikasi (dan peningkatan
siklus ke siklus), diperlihatkan melalui pengukuran total fenolik dan warna. Eksperimen tambahan untuk menguji umur pada skala waktu
yang lebih lama akan menjadi perhatian untuk penetuan apakah etanol dapat mempengaruhi membrane melalui degradasi kimia dan apakah
perlakuan-kembali setelah jumlah siklus mencapai jumlah tertentu (yang diinginkan) dapat mengisi kembali kinerja optimal yang diamati
setelah siklus pengotoran pertama dalam penelitian ini. Kemungkinannya perlakuan-kembali dengan pelarut dapat juga meningkatkan proses
pembersihan membrane dan menolong pengembalian kondisi membrane ke keadaan murni. Syarat lainnya ketika mengukur keuntungan
komersil proses tersebut berarti mencocokkan pilihan pelarut dengan kinerja filtasi selanjutnya dengan pakan tertentu yang diuji, seperti
pilihan pelarut yang optimal mungkin spesifik untuk pakan tertentu.

treatment of polymeric membranes has been shown to be effective in both improving ltration uxes and prolonging the performance of
membranes over multiple foul-clean cycles. Ethanol treatment has also shown that performance modication facilitates enhanced
transmission of polyphe-nolic species and the normally disproportionate rejection of polyphenolic species is mediated somewhat by
modications in surface charge, this also being apparent over multiple foul-clean cycles. Whilst negative charge reduction of the

membrane following treatment would normally be seen as detrimental to performance, the propensity for fouling with species which act to
benecially modify the membrane is improved. Tea ltered through modied membranes has been shown to be of superior quality to the
unmodied membrane permeates (and improves cycle on cycle), shown through measurement of total phenolics and colour. Additional
experiments to examine the ageing over longer time scales would be of interest to determine whether ethanol could affect the membrane
through chemical degradation, and whether re-treatment after a given number of cycles can recharge the optimal performance observed after
the rst fouling cycle in this study. The likelihood is that re-treatment with solvents could also enhance the cleaning of the membranes and
help to return them to a near pristine state. Another requirement when assessing the commercial benet of such an operation would be to
match the choice of solvent to the subsequent ltration performance of the particular feed in question, as such an optimal solvent choice may
be feed specic.

Acknowledgements
The authors would like to thank Dr. Frank Lipnizki of Alfa Laval for kindly supplying the membranes used in this study. Spray dried tea
powder was kindly supplied by Unilever R&D Col-worth, UK. We thank the EPSRC for supporting this project through a Doctorial Training
Account.

Referensi

Bartlett, M., Bird, M., Howell, J., 1995. An experimental study for the development of a qualitative membrane cleaning model. J. Membr.
Sci. 105 (12), 147157.

Chandini, SK, Rao, LJ, Subramanian, R., 2013. Membrane clarication of black tea extracts. Food Bioprocess Technol. 6 (8), 19261943.

Charlton, A., et al., 2000. The self-association of the black tea polyphenol theaavin and its complexation with caffeine. J. Chem. Soc.
Perkin Trans. 2 (2), 317322.

Euromonitor, 2009. Global Soft Drinks: Has the World Finally

Acquired a Taste for RTD Tea. Euromonitor International. Euromonitor, 2014. Soft Drinks Euromonitor from Trade

Sources/National Statistics, Available from:


http://www.portal.euromonitor.com (accessed 29.06.14).

Evans, PJ, Bird, MR, 2006. Solute-membrane fouling interactions during the ultraltration of black tea liquor. Food Bioprod. Process. 84
(4), 292301.

Evans, PJ, et al., 2008. The inuence of hydrophobicity, roughness and charge upon ultraltration membranes for black tea liquor
clarication. J. Membr. Sci. 313 (12), 250262.

Head, LE, Bird, MR, 2013. The removal of psychrotropic spores from Milk Protein Isolate feeds using tubular ceramic microlters. J. Food
Process Eng. 36 (1), 113124.

Jobstl, E., et al., 2005. Creaming in black tea. J. Agric. Food Chem.

53 (20), 79978002.

Jbstl, E., et al., 2004. Molecular model for astringency produced by polyphenol/protein interactions. Biomacromolecules 5 (3), 942949.

Kochan, J., et al., 2009. Impact of wetting agents on the ltration performance of polymeric ultraltration membranes. Desalination 241 (1
3), 3442.

Liang, Y., Xu, Y., 2001. Effect of pH on cream particle formation and solids extraction yield of black tea. Food Chem. 74 (2), 155160.

Liang, Y., Lu, J., Zhang, L., 2002. Comparative study of cream in infusions of black tea and green tea. Int. J. Food Sci. Technol.

37 (6), 627634.

Nystrm, M., Pihlajamki, A., Ehsani, N., 1994. Characterization of ultraltration membranes by simultaneous streaming potential and ux
measurements. J. Membr. Sci. 87 (3),

245256.
Scharbert, S., Holzmann, N., Hofmann, T., 2004. Identication of the astringent taste compounds in black tea infusions by combining
instrumental analysis and human bioresponse. J. Agric. Food Chem. 52 (11), 34983508.

Shukla, R., Cheryan, M., 2002. Performance of ultraltration membranes in ethanolwater solutions: effect of membrane conditioning. J.
Membr. Sci. 198 (1), 7585.

Siebert, KJ, 1999. Effects of proteinpolyphenol interactions on beverage haze, stabilization, and analysis. J. Agric. Food Chem. 47 (2),
353362.

Singleton, V., Rossi, JA, 1965. Colorimetry of total phenolics with phosphomolybdic-phosphotungstic acid reagents. Am. J. Enol. Viticult.
16 (3), 144158.

Todisco, S., Tallarico, P., Gupta, B., 2002. Mass transfer and polyphenols retention in the clarication of black tea with ceramic membranes.
Innov. Food Sci. Emerg. Technol. 3 (3), 255262.

Tolstoguzov, V., 2002. Thermodynamic aspects of biopolymer functionality in biological systems, foods, and beverages. Crit. Rev.
Biotechnol. 22 (2), 89174.

Wu, D., Bird, M., 2007. The fouling and cleaning of ultraltration membranes during the ltration of model tea component solutions. J.
Food Process Eng. 30 (3), 293323.

Anda mungkin juga menyukai