Anda di halaman 1dari 6

Urgensi Pelibatan TNI

Frega Wenas Inkiriwang ; Dosen Unhan dan Awardee LPDP; Tengah


Menempuh Program PhD di The London School of Economics and Political Science,
Inggris
KOMPAS, 08 Juni 2017

http://print.kompas.com/baca/opini/artikel/2017/06/08/Urgensi-Pelibatan-TNI

Beberapa tahun terakhir, Negara Islam di Irak dan Suriah telah menjadi
ancaman keamanan global. Bahkan, akhir-akhir ini, NIIS berhasil
menguasai Marawi, sebuah kota di Filipina selatan, serta menyandera
penduduk yang bermukim di sana. Presiden Duterte pun mengerahkan
militer untuk menghadapinya.

Filipina terkenal keras dengan penegakan hukum. Masih hangat di


ingatan kita ketika polisi memburu para bandar dan pemakai narkoba
secara membabi buta. Ribuan orang tewas ditembak oleh polisi Filipina.
Bahkan, putri seorang mafia, Maria Moynihan, yang memiliki status
dwiwarga negara, Inggris dan Filipina, ikut jadi sasaran tembak karena
terlibat dalam peredaran narkoba.

Namun, ketika menghadapi teroris seperti NIIS, polisi selaku aparat


penegak hukum tak mampu membendungnya. Apalagi NIIS yang
ditengarai bergabung dengan kelompok separatis pimpinan Maute telah
mengeksekusi kepala polisi. Presiden pun mengumumkan keadaan
darurat dan mengerahkan militer. Kolaborasi militan dengan jaringan NIIS
menambah peliknya penanggulangan terorisme di Filipina. Wajar jika
kemudian Duterte menggerakkan militer beserta alutsistanya untuk
membabat jaringan NIIS di Marawi.

Praktik di banyak negara

Jarak Marawi hanya beberapa ratus kilometer dari wilayah paling utara
Indonesia. Luasnya wilayah lautan di perbatasan kedua negara sangat
memungkinkan penyusupan oleh jaringan NIIS di sana menuju wilayah
Indonesia. Jika ini terjadi, tentu akan menimbulkan potensi konflik baru.
Bukan tak mungkin skenario Ambon atau Poso berulang mengingat
mayoritas penduduk Sulawesi Utara non-Muslim. Kehadiran Kodam
XIII/Merdeka yang diresmikan beberapa waktu lalu merupakan sebuah
keputusan pemerintah yang sangat tepat mengantisipasi hal ini.

Namun, dalam penanggulangan terorisme, ada beberapa kendala yang


menghambat inter- agency approach di lapangan. Menanggulangi
terorisme bukanlah sekadar tanggung jawab aparat penegak hukum,
seperti kepolisian. Dengan kompleksitas yang ada dan maraknya aksi
lintas negara, terorisme bukan lagi hanya berkutat seputar pidana,
melainkan lebih pada sebuah kejahatan terhadap negara.

Inggris saja setelah insiden bom Manchester langsung mengerahkan


1.000 lebih personel militernya, dari satuan pasukan khusus Special Air
Service (SAS) dan satuan elite lintas udara, Parachute Regiment.
Pengerahan pasukan bersandi Operasi "Temperer" ini diorientasikan
untuk mengoptimalkan antisipasi terhadap aksi terorisme susulan
berdasarkan laporan intelijen.
AS pun sudah sejak lama mengerahkan militer dalam penanggulangan
terorisme. Terlepas keberadaan Posse Comitatus Act, Pemerintah AS
telah merevisi konteks pengerahan militer dalam menangani aksi
terorisme di dalam negeri yang sebelumnya sangat dibatasi. Memang
cukup unik karena AS mengedepankan prinsip forward defence untuk
menghancurkan lawan-lawan di negaranya sebelum jadi ancaman di
wilayah AS. Berkaca dari serangan teroris di World Trade Center (2001),
AS memandang perlu pemberdayaan semua komponen, termasuk militer,
dalam menanggulangi terorisme.

Di Tanah air, sejauh ini TNI hanya diberikan payung hukum UU Nomor 34
Tahun 2004 yang menyebutkan tugas pokoknya untuk menanggulangi
aksi terorisme di Indonesia. Kini muncul wacana untuk memberikan
kewenangan bagi TNI melalui RUU tentang perubahan UU No 15/2003
tentang Pemberantasan Terorisme. Presiden Jokowi pun
menginstruksikan agar TNI dimasukkan dalam skema penanggulangan
terorisme. Tentu usulan ini bukan tanpa kontroversi. Sejumlah kalangan di
parlemen dan akademisi mengkhawatirkan akan terjadinya pelanggaran
HAM oleh TNI jika dilibatkan.

Kita harus bijak menyikapi. Berbicara manajemen negara bukanlah hanya


seputar dikotomi antara pendekatan justice-based atau military-based
dalam menangani masalah terorisme yang memfokuskan dominasi peran
polisi dan tentara. TNI hingga saat ini memiliki rekam jejak mendunia
dalam aksi penanggulangan terorisme. Pembebasan sandera Woyla di
Thailand dan pembebasan sandera di Mapenduma oleh satuan elite
Kopassus yang berkolaborasi dengan satuan Para Raider Kostrad
mengejutkan dunia akan kiprah militer Indonesia dalam penanggulangan
terorisme.

Belakangan ini NIIS semakin meningkatkan aksinya di Asia Tenggara dan


menjadi potensi ancaman keamanan negara. Apalagi Marawi jaraknya tak
jauh dan sejumlah WNI bergabung dengan kelompok NIIS di sana.
Dengan kondisi ini, Indonesia perlu mengantisipasi meluasnya aksi NIIS di
Tanah Air. Kita tak ingin terjadi lagi aksi-aksi bom bunuh diri seperti yang
menewaskan tiga polisi di Kampung Melayu, 24 Mei lalu.

Sejumlah pertimbangan

Ada sejumlah hal yang perlu dipertimbangkan dalam menyusun skema


pelibatan TNI dalam penanggulangan terorisme. Pertama, identifikasi
skenario pelibatan TNI harus jelas, kapan Polri bergerak independen,
kapan TNI mulai di-BKO-kan, dan kapan TNI dapat bergerak independen.
Jika Polri memiliki keterbatasan sumber daya, harus disiapkan skema
pelibatan TNI untuk mengantisipasi kerugian yang meluas dengan
terjadinya aksi terorisme.

Polri sudah memiliki Densus 88. Namun, dengan berkembangnya


teknologi dan juga taktik serta teknik anggota jaringan NIIS, seperti
Kelompok Santoso di Poso, tentunya perlu optimalisasi melalui
pengerahan militer yang tetap harus memperhatikan HAM dan hukum
yang berlaku. Dengan agenda reformasi yang digulirkan sejak 2004, TNI
telah banyak berbenah. Dalam sejumlah jajak pendapat, TNI justru jadi
institusi paling dipercaya publik. Ini jadi kapital bagi TNI yang harus dijaga
dengan baik.

Selanjutnya, sinergisitas dalam penanggulangan terorisme bukan hanya


melibatkan aparat penegak hukum dan militer. Proses deradikalisasi guna
mengatasi akar masalah terorisme butuh kolaborasi semua pemangku
kepentingan. Kolaborasi harus mewadahi pendekatan berbasis muatan
lokal. Gagalnya AS dalam sejumlah misi karena tak memahami budaya
lokal. Mayoritas global war on terror dilakukan di luar wilayah negaranya.

Untuk Indonesia, konteksnya berbeda. Sejarah kelam separatis DI/TII


yang berhasil dibasmi militer bersama masyarakat melalui operasi pagar
betis adalah contoh keberhasilan sinergisitas. Ideologi NIIS untuk
mendirikan khilafah tak jauh berbeda dengan DI/TII yang tentunya
bertentangan dengan Pancasila, ideologi negara. Karena itu, NIIS perlu
dicermati di mana pelibatan semua komponen menjadi penting, termasuk
militer. Berkaca dari pengalaman sejumlah negara demokrasi dalam
penanggulangan terorisme, penggunaan militer bukanlah hal yang tabu.

Payung hukum sah menjadi prioritas untuk melegitimasi pengerahan


militer. Finalisasi revisi RUU Terorisme termasuk turunan dari UU No
34/2004 penting untuk memandu mekanisme pelaksanaan di lapangan.
Payung hukum akan menghilangkan keraguan bertindak. Satuan-satuan
militer yang berkompeten dalam penanggulangan terorisme seperti
Kopassus dengan unit Gultor-nya, Kostrad dengan Para Raider dan
Taipur-nya, ataupun satuan Raider terpilih di Kotama dapat diberdayakan
di samping intelijen dan unit militer lain. Tentunya ini bukan berarti semua
satuan TNI harus beraksi.
Pengerahan TNI dalam penanggulangan terorisme menjadi sebuah
urgensi bagi Indonesia. Kecermatan Presiden merekomendasikan
pelibatan TNI dan sejumlah usulan dari parlemen termasuk TNI menjadi
faktor yang dapat memuluskan proses ini, apalagi dari Polri juga
memberikan pandangan positif akan pentingnya pelibatan TNI. Namun,
finalisasinya tidaklah mudah. Mencermati perkembangan NIIS di
kawasan, di mana aksinya di Marawi dekat dengan Indonesia, pemerintah
perlu segera mematangkan persiapan.

Kita tak ingin menunggu terjadinya aksi teror, seperti di Manchester,


Kampung Melayu, dan Marawi, terlebih dulu untuk kemudian melegitimasi
pengerahan militer. Jika skenario ini yang terjadi bisa dibayangkan berapa
banyak warga sipil harus jadi korban. Penangkalan dengan kesinergian
pemangku kepentingan terkait termasuk militer menjadi urgensi guna
meminimalisasi collateral damage dari aksi-aksi NIIS di Tanah Air.
Kepentingan nasional adalah mutlak. Jaringan terorisme yang berafiliasi
dengan NIIS adalah ancaman nyata bagi pertahanan dan keamanan
negara yang harus segera ditumpas. Utuhnya wilayah NKRI dan tetap
tegaknya kedaulatan adalah fundamental bagi Indonesia. Di ranah ini, TNI
mutlak diperlukan guna mengoptimalkan penanggulangan terorisme
nasional.

Anda mungkin juga menyukai