Karangan Bunga

Anda mungkin juga menyukai

Anda di halaman 1dari 4

Karangan Bunga, Lilin, dan Facebook Anak SMA

Rahmat Petuguran ; Penulis buku Politik Bahasa Penguasa;


Mengajar mata kuliah Bahasa Indonesia di Universitas Negeri Semarang;
Tiap Selasa malam mengasuh kelas penulisan di Rumah Buku Simpul Semarang (RBSS)
DETIKNEWS, 07 Juni 2017

Karangan Bunga, Lilin, dan Facebook Anak SMA

Suatu saat bangsa ini akan terbelah karena perdebatan: apakah air
mengalir ke atas atau ke bawah. Pernah membayangkan bahwa perdebatan
"tingkat tinggi" semacam itu akan terjadi? Bukan cuma akan terjadi, tapi
jadi perdebatan nasional yang melibatkan jutaan orang!
Berkaca pada masa lalu, kegilaan semacam itu sangat mungkin
terjadi. Lebih-lebih kalau framing debatnya dikaitkan dengan identitas dan
keyakinan, debat itu pasti bakal riuh seperti obral kolor murah di depan
pabrik konveksi pada jam pulang kerja.
Kelompok pertama akan berargumentasi bahwa air mengalir bagian
lebih rendah. Argumentasi itu bertumpu pada sifat fisika air yang selalu
menyesuaikan bentuk wadahnya. Pada saat yang sama, air merupakan
objek yang tertarik oleh gaya gravitasi.
Kelompok kedua akan berargumentasi bahwa konsep atas dan bawah
kita selama ini keliru. Landasannya adalah bentuk bumi yang bulat dan
mengambang di jagat raya. Yang dianggap bawah oleh penduduk bumi
selama ini, ternyata adalah atas.
Perdebatan "berkualitas" semacam itu tiba-tiba akan menghiasi laman
jutaan pengguna medsos. Awalnya cuma dilakukan oleh para lajang
pengangguran atau blogger pencari klik berbayar. Tapi, karena dibumbui
keyakinan dan identitas, para akademisi mulai turun gunung dan terlibat.
Perdebatan itu pun menasional.
Kekonyolan itu sangat mungkin terjadi karena sudah ada formulanya.
Berulang kali formula terbukti manjur. Hal-hal remeh-temeh digoreng
demikian rupa sehingga bisa jadi isu nasional yang menguras energi banyak
orang. Lihatlah perdebatan mengenai karangan bunga, lilin, hingga status
Facebook anak SMA. Sesuatu yang amat lokal dan personal tiba-tiba
mengudara, seperti urusan kebangsaan yang amat penting.
Empat Tahap
Formula itu bisa dirinci dalam empat tahapan; publikasi,
rekontekstualisasi, simbolisasi, dan ideologisasi. Pada tahap publikasi,
terjadi persebaran informasi yang cepat. Peristiwa yang privat, berskala
lokal, dikabarkan dengan massif melalui berbagai media sehingga diketahui
banyak orang. Dia hadir begitu saja dalam genggaman banyak orang, di
ruang-ruang yang amat privat.
Pintu rumah kita bisa tertutup hingga tetangga yang mau main
mengurungkan niatnya. Tapi, sejauh terhubung dengan internet, kabar dari
berbagai penjuru dunia datang begitu derasnya. Kabar-kabar yang
sebenarnya tidak kita harapkan, tapi tidak bisa kita tolak ketika telanjur
dalam genggaman.
Tahap kedua adalah rekontekstualisasi. Pada tahap ini, sebuah
peristiwa yang konteksnya unik hanya pada saat peristiwa itu terjadi,
dihadirkan kembali dengan konteks yang berbeda. Para penutur adalah
para pengarang yang sesungguhnya. Sebab, ketika ia menuturkan sesuatu
yang telah terjadi, dia menghadirkan kejadian itu dengan konteks berbeda.
Keniscayaan ini membuat sebuah berita atau cerita, lazim diplintir
sana dan plintir sini sesuai pemahaman dan kepentingan penuturnya.
Dalam banyak kasus, peristiwa yang sebenarnya tak penting
dikontekstualisasikan kembali seolah-olah berkaitan dengan kepentingan
banyak orang. Rekontekstualisasi semacam itu jadi modus operandi supaya
sebuah cerita/berita jadi perhatian banyak orang.

Nah, pada tahap ketiga dilakukan simbolisasi. Pada tahap ini, sebuah
peristiwa atau tokoh diasumsikan sebagai simbol semata yang mewakili
atau merepresentasikan sesuatu yang lebih besar. Ada status nyeleneh
anak SMA dianggap sebagai "kebangkitan pemikiran liberal". Ada orang
berjilbab yang belajar berkuda dan memanah, dianggap "kebangkitan
radikalisme".

Ketika sebuah peristiwa atau tokoh menjadi simbol, tokoh atau peristiwa itu
sendiri tidak dianggap penting. Tapi, pada saat yang sama, keduanya
menjadi sangat penting karena mewakili sesuatu yang lebih hakiki.
Tahap terakhir adalah proses ideologisasi. Tokoh atau peristiwa yang
mulanya sebagai orang atau peristiwa biasa, didudukkan secara ideologis
seolah-oleh berkaitan dengan keyakinan, ideologi, atau identitas. Jika sudah
mencapai tingkat ini, siapa pun jadi bergairah untuk terlibat berdebat
karena keyakinan, ideologi, dan identitasnya terusik.

Tidak heran kalau kaum cendekia juga kerap terjebak dalam perdebatan
semacam itu. Karena, ketika menyangkut ideologi, kencedekiawanan bisa
menjadi tampak tidak penting.

Keempat tahap itu melahirkan imaji keterlibatan. Seseorang yang tidak


memiliki hubungan sama sekali dengan tokoh atau peristiwa yang sedang
dibicarakan, tiba-tiba merasa dekat bahkan terlibat. Imaji keterlibatan ini
membuat urusan yang amat jauh, tidak ada sangkut pautnya, berubah jadi
seolah-oleh tampak dekat, penting, mendesak.

Sementara itu, tetangga yang sakit, anak saudara yang putus sekolah, atau
selokan depan kompleks yang tersumbat justru berubah tidak lagi menjadi
penting. Sebab, prioritas penting dan tidaknya sebuah urusan sudah
terbolak-balik.

Makanya, tidak heran kalau kita temukan teman (atau bahkan kita sendiri),
terlibat debat panjang lebar soal Pancasila hingga lupa menjenguk tetangga
yang sakit. Kadang kita debat membahas kesahihan hadis sampai lupa
menjawab telepon dari bapak atau ibu.

Anatomi Perdebatan

Kalau mau jujur, bangsa kita memang sudah terbelah dalam dua kubu
besar. Dua kubu besar itu sudah jadi pola dasar yang punya ideologi dan
kepentingan berseberangan. Isu apa pun yang muncul, akan disikapi
dengan pola dasar dua kubu itu.
Kalau kubu pertama bicara A, maka kubu kedua harus bicara B. Ini bukan
karena argumentasi kubu pertama salah, sehingga harus dikoreksi. Bukan
itu. Tapi, karena pola dasar dua kubu itu akan membuat satu kubu merasa
gengsi untuk bersikap sama dengan kubu lainnya.

Soal argumentasi, itu mah gampang! Masing-masing kubu sudah punya


"barisan intelektual" masing-masing, yang siap menyalahkan kubu
seberang sambil mengklaim bahwa kubunya sendiri lebih benar dan mulia.

Itulah pola dasar relasi bangsa kita sekarang ini. Makanya, kalau ada kubu
yang bilang air mengalir ke bawah, kubu lain harus bicara air mengalir ke
atas.

Dari pengalaman-pengalaman di masa lalu, perdebatan tidak dimenangkan


siapa pun. Kalaupun ada yang menang, adalah mereka yang mampu
menahan diri untuk tidak terlibat perdebatan.

Dengan menghindari debat, mereka menyimpan energi untuk


menyelesaikan kerjaannya. Dengan menghindari debat, mereka bisa
menjaga kehangatan relasi bertetangga. Dengan menghindari debat,
mereka menghindari risiko larut dalam arus besar kegilaan fanatisme.

Anda mungkin juga menyukai