Anda di halaman 1dari 4

Birokrasi dan Prosedur Peradilan

Birokrasi dan Prosedur Peradilan


Suparman Marzuki ; Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia;
Ketua Komisi Yudisial RI 2013-2015; Senior Advisor di Assegaf Hamzah and Partners
KOMPAS, 08 Juni 2017

http://print.kompas.com/baca/opini/artikel/2017/06/08/Birokrasi-dan-Prosedur-Peradilan

Puluhan tahun lamanya praktik suap yang melibatkan oknum hakim dan
atau petugas administrasi perkara berlangsung di pengadilan kita
sehingga pengadilan laksana lembaga lelang: siapa berani beli tinggi
akan memenangi perkara.

Kata "pengadilan" menjadi seperti kata-kata kosong tak bermakna. Kalau


saja boleh dan patut diganti namanya sesuai realitas, barangkali "lembaga
menang kalah" cocok untuk mengganti nama pengadilan.

Penyakit kronis pengadilan umum itu menular pula ke Mahkamah


Konstitusi (MK) yang digadang-gadang sebagai contoh peradilan modern
yang akuntabel. Tidak butuh waktu lama bagi MK untuk kehilangan
kepercayaan dan mengikuti rumus beperkara di pengadilan umum, yaitu
menang kalah.

Banyak faktor penyebab pengadilan menjadi demikian itu dan telah


dikemukakan banyak orang. Tulisan ini akan menyorot aspek dari
birokrasi dan prosedur dari peradilan umum yang luput dari perhatian.
Birokrasi dan prosedur

Birokrasi peradilan modern ditandai oleh cara beperkara berjenjang dari


satu institusi ke institusi hukum lain, baik dalam satu institusi maupun
antar-institusi hukum berbeda.

Dalam perkara pidana, misalnya, dimulai dari polisi dan atau jaksa atau
KPK yang bekerja berdasarkan hukum acara dan aturan-aturan internal
masing-masing, lalu bermuara ke pengadilan tingkat 1 (satu), tingkat 2
(dua) di pengadilan tinggi, tingkat 3 (tiga atau kasasi) di Mahkamah Agung
(MA), bahkan mungkin akan berpuncak ke upaya hukum peninjauan
kembali (PK).

Birokrasi peradilan, sebagaimana birokrasi kita pada umumnya, dilanda


penyakit kronis yang relatif sama, yaitu (1) penyalahgunaan wewenang
dan jabatan; (2) antikritik dan cenderung mempertahankan status quo; (3)
korupsi, suap atau sogok; (4) boros; (5) arogan; (6) kurang koordinasi; (7)
kurang kompeten, dan (8) lamban.

Birokrasi seperti itulah yang menjalankan administrasi peradilan kita


selama puluhan tahun, yang jelas tidak sejalan dengan kebutuhan
peradilan yang cepat, pasti, jujur, adil, dan akurat. Ditambah pula oleh
birokrat peradilan (PNS) kita yang tidak dibekali pendidikan dan
keterampilan khusus sebagai administrator peradilan.

Aspek lain adalah prosedur-prosedur administrasi perkara yang jamak


diketahui berbelit-belit, mahal, tertutup, dan lama; yang sukar dijangkau
oleh mereka yang tidak berpunya serta berdampak pada keterlambatan
seseorang memperoleh kepastian hukum dan keadilan atas kasus yang ia
hadapi (justice delayed is justice denied).

Dampak lebih buruk adalah terjadinya penyalahgunaan wewenang oleh


oknum administrasi yang sebagian sudah menjadi kasus dan diputus di
pengadilan, seperti (a) memperlambat atau mempercepat pengunggahan
putusan ke direktori putusan; termasuk mempercepat atau memperlambat
penyampaian salinan putusan ke terpidana, jaksa, penggugat atau
tergugat; (b) menahan permohonan kasasi jaksa agar proses kasasi
berlarut-larut; (c) membocorkan putusan kepada terpidana yang tidak
ditahan atau kepada penasihat hukum sebelum secara resmi putusan
disampaikan sehingga terpidana yang berniat menghindari eksekusi
punya kesempatan melarikan diri.

Kemudian, (d) menahan atau melambat-lambatkan penyerahan ekstrak


vonis kepada jaksa; (e) menahan putusan kasasi yang menguatkan atau
meningkatkan vonis supaya tidak buru-buru disampaikan ke pengadilan
dan jaksa penuntut umum agar eksekusi tertunda, serta dalam penundaan
eksekusi itu terpidana bisa melakukan sesuatu; (f) menghubungi pihak-
pihak untuk merundingkan proses dan atau putusan kasasi atau PK yang
diajukan; (g) dalam perkara perdata, menahan putusan kasasi atau PK
sehingga pihak yang dikalahkan punya waktu melakukan sesuatu
terhadap obyek sengketa, misalnya meneruskan mengeksploitasi
tambang, memetik hasil panen, menahan proses jual-beli yang tinggal
menunggu salinan resmi putusan.
Khusus kasus MK yang terbaru, membocorkan permohonan pemohon
kepada termohon.

Tiga hal

Sudah saatnya pemerintah, MA, MK, dan KY bersama Ombudsman RI


melakukan tiga hal. Pertama, audit kinerja aparatur peradilan untuk
mengetahui integritas dan kompetensi mereka. Kedua, audit menyeluruh
terhadap birokrasi dan prosedur peradilan kita baik pada saat pra-
peradilan, selama peradilan, dan setelah putusan peradilan untuk
memastikan ada tidaknya malaadministrasi. Ketiga, mengkaji apakah
model birokrasi dan prosedur yang telah dijalankan puluhan tahun itu
cocok untuk peradilan dengan prinsip cepat, sederhana, dan biaya murah.

Jika memang hasil audit menunjukkan birokrasi dan prosedur peradilan


kita tak sejalan dengan prinsip cepat, sederhana, dan biaya murah serta
mengondisikan terjadi korupsi, harus dilakukan perubahan dengan
merumuskan model birokrasi, prosedur, dan kebutuhan tenaga
administrator peradilan yang bisa mencegah penyalahgunaan wewenang
agar ada harapan pengadilan kita lebih baik dan kita punya alasan untuk
optimistis.

Anda mungkin juga menyukai