Anda di halaman 1dari 30

REFERAT

HYALIN MEMBRANE DISEASE (HMD)

Perceptor:

dr. Sri Indah, Sp. Rad

Disusun oleh:

Kurnia Fitri Aprilliana, S.Ked 1218011093

KEPANITERAAN KLINIK RADIOLOGI

RUMAH SAKIT UMUM ABDUL MOELOEK

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG

2017
KATA PENGANTAR

Pertama kami ucapkan terima kasih kepada Allah SWT. karena atas rahmat-Nya
sehingga saya dapat menyelesaikan referat yang berjudul Hyalin Membrane
Disease tepat pada waktunya. Adapun tujuan pembuatan referat ini adalah
sebagai salah satu syarat dalam mengikuti dan menyelesaikan Kepaniteraan Klinik
Radiologi Rumah Sakit Umum Daerah Dr. H. Abdul Moeloek Bandar Lampung.

Saya mengucapkan terima kasih kepada dr. Sri Indah, Sp.Rad yang telah
meluangkan waktunya untuk kami dalam menyelesaikan referat ini. Kami
menyadari banyak sekali kekurangan dalam referat ini, oleh karena itu saran dan
kritik yang membangun sangat penulis harapkan. Semoga referat ini dapat
bermanfaat bukan hanya untuk saya, tetapi juga bagi siapa pun yang membacanya.

Bandar Lampung, Maret 2017

Penyusun
BAB I
PENDAHULUAN

Hyaline Membrane Disease (HMD), juga dikenal sebagai


Respiratory Distress Syndrome (RDS), adalah penyebab tersering dari gagal nafas
pada bayi prematur. HMD sering ditemukan pada bayi prematur, mempunyai
kaitan yang sangat erat dengan faktor perkembangan paru. Cenderung terjadi pada
neonatus lebih muda dari usia kehamilan 32 minggu dan berat kurang dari 1200 g
dan angka kejadian penyakit tersebut akan meningkat terutama apabila bayi
tersebut lahir dari ibu yang menderita gangguan perfusi darah uterus selama
kehamilan
Tingkat kematian bayi di Indonesia masih tergolong tinggi jika
dibandingkan dengan negara-negara anggota ASEAN. Angka kematian bayi
(AKB) menurut Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) pada tahun
2002-2003 adalah 35 per 1000 kelahiran hidup. Dua pertiga kematian bayi
merupakan kematian neonatal. Persalinan prematur merupakan penyebab utama
kematian neonatal dini dan memberikan kontribusi lebih dari 70% penyebab
kematian perinatal pada bayi tanpa kelainan bawaan. Pada bayi kurang bulan
(prematur) sering timbul penyulit yang berhubungan dengan kekurang-matangan
organ.1,2
Sampai saat ini HMD masih merupakan salah satu faktor penyebab
mortalitas dan morbiditas yang tinggi. Hal ini terutama disebabkan kompleknya
faktor etiologi serta adanya keterbatasan dalam penatalaksanaan penderita1,3.
Akan tetapi dalam dekade akhir ini tampak kemajuan yang sangat berarti, baik
dalam cara diagnostik dini maupun dalam penatalaksanaan penderita3. Sehingga
angka kesakitan dan angka kematian penyakit terutama di negara berkembang
telah mengalami penurunan yang cukup bermakna1.
Walaupun demikian penyakit ini masih merupakan salah satu
faktor yang memegang peranan dalam tingginya angka kematian perinatal.
Sehingga pengenalan riwayat kehamilan, riwayat persalinan, serta intervensi dini
baik dalam hal pencegahan, diagnostik dan penatalaksanaan penderita merupakan
suatu masalah yang perlu diperhatikan1,3.
BAB II
TUNJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
HMD atau respiratory distress syndrome (RDS) adalah gangguan respirasi
yang ditemukan pada bayi prematur akibat kurangnya surfaktan sehingga
mengakibatkan kolapsnya alveoli.4

2.2 Epidemiologi
Penyakit membran hialin umumnya terjadi pada bayi prematur. Angka
kejadian HMD pada bayi yang lahir dengan masa gestasi 28 minggu sebesar
60%-80%, pada usia kelahiran 30 minggu adalah 25%, sedang pada usia
kelahiran 32-36 minggu sebesar 15-30%, dan pada bayi aterm jarang
dijumpai. Insiden HMD tertinggi terjadi pada bayi prematur, ras caucasian,
laki-laki, riwayat saudara sebelumnya yang menderita RDS, lahir melalui
sectio secaria, asfiksia dan ibu diabetes melitus. Di Amerika Serikat
diperkirakan 1% dari seluruh kelahiran hidup, yang artinya 4000 bayi mati
akibat RDS setiap tahunnya. Di Indonesia, dari 950.000 BBLR yang lahir
setiap tahun diperkirakan 150.000 bayi diantaranya menderita Respiratory
Distress Syndrome, dan sebagian besar berupa HMD.26

2.3 Faktor predisposisi


a. Prematuritas
Kasus ini sering ditemukan pada usia kehamilan dibawah 30 minggu
sebab sintesis surfakatan mulai terjadi pada usia kehamilan 24-28
minggu.6,7,8
b. Jenis kelamin
Laki-laki lebih sering menderita HMD dibandingkan perempuan dan
lebih tinggi untuk terjadinya kematian. Sebab pada bayi laki-laki
maturasi lesitin,spyngomielin, serta pembentukan fosfatidil gliserol
lambat akibat efek androgen.7,8
c. Ras
Insiden HMD lebih rendah pada kulit hitam di bandingkan kulit putih,
yaitu 60-70%. Pada bayi dengan usia kehamilan kurang dari 32 minggu,
40% dari bayi kulit hitam menderita HMD sedangkan insiden pada kulit
putih 75%.8
d. Sectio secaria
Menurut beberapa penilitian, apabila tindakan sectio secaria dilakukan
sebelum masuknya proses persalinan dapat meningkatkan resiko
timbulnya HMD sebab ketika proses persalinan produksi cairan paru
berkurang, 1/3 cairan paru dikeluarkan akibat penekanan pada dada
ketika proses persalinan pervaginam berlangsung.
e. APGAR skor
Bayi premature dengan APGAR skore <5 memiliki resiko dua kali lebih
tinggi untuk terjadinya HMD dibandingkan bayi dengan APGAR skore
>5.8
f. Ibu dengan diabetes melitus
Insulin dapat memperlambat maturasi sel alveolar tipe 2 dan menurunkan
phospatidilcolin, yang merupakan fosfolipid yang penting dalam sintesa
surfaktan.9
g. Hipotiroid
Aktivitas hormon tiroid penting dalam perkembangan sistem surfaktan
pada masa prenatal. Berdasarkan penelitian, bayi preterm yang menderita
HMD memiliki kadar hormon tiroid rendah.8

2.4 Patofisiologi
HMD terjadi akibat defisiensi struktur lipoprotein surfaktan yang disebabkan
oleh belum matangnya organ paru. Lipoprotein ini memproduksi retikulum
endoplasmik dari pneumosit tipe 2 kemudian dibawa keaparatus golgi dan
badan lamelar intrasel. Badan lamelar akan berpindah ke permukaan sel
luminal alveolar melalui proses eksositosis.10
Surfaktan merupakan gabungan kompleks fosfolipid. Surfaktan membuat
stabil alveoli dan mencegahnya dari kolaps pada saat ekspirasi dengan
mengurangi tegangan. Dipalmitoylphophatidyl choline (DPPC) merupakan
komposisi utama dalam surfaktan yang mengurangi surface tension. Surfaktan
memiliki 4 surfactant - associated proteins yaitu SP - A, SP - B, SP - C, dan
SP - D. Surfaktan disintesis oleh sel alveolar tipe II dengan proses multi - step
dan mensekresi lamellar bodies, yang memiliki kandungan fosfolipid yang
tinggi. Lamellar bodies ini berikutnya diubah menjadi lattice structure yang
dinamakan tubular myelin. Penyebaran dan absorpsi dari surfaktan merupakan
karakteristik yang penting dalam pembentukan monolayer yang stabil dalam
alveolus.10,11

Gambar1. Fisiologi pembentukan surfaktan12

Peranan surfaktan ialah untuk merendahkan tegangan permukaan alveolus


sehingga tidak terjadi kolaps dan mampu untuk menahan sisa udara fungsionil
pada akhir ekspirasi. Defisiensi substansi surfaktan yang ditemukan pada
penyakit membrane hialin menyebabkan kemampuan paru untuk
mempertahankan stabilitasnya terganggu. Alveolus akan kembali kolaps setiap
akhir ekspirasi, sehingga untuk pernafasan berikutnya dibutuhkan tekanan
negatif intratoraks yang lebih besar yang disertai usaha inspirasi yang lebih
kuat. Kolaps paru ini akan menyebabkan terganggunya ventilasi sehingga
terjadi hipoksia, retensi CO2 dan asidosis.
Hipoksia akan menimbulkan: (1) oksigenasi jaringan menurunsehingga akan
terjadi metabolism anaerobic dengan penimbunan asam laktat dan asam
organik lainnya yang menyebabkan terjadinya asidosis metabolik pada bayi,
(2) kerusakan endotel kapiler dan epitel duktus alveolaris yang akan
menyebabkan terjadinya transudasi ke dalam alveoli dan terbentuknya fibrin
dan selanjutnya fibrin bersama - sama dengan jaringan epitel yang nekrotik
membentuk suatu lapisan yang disebut membran hialin. Asidosis dan
atelektasis juga menyebabkan terganggunya sirkulasi darah dari dan ke
jantung. Demikian pula aliran darah paru akan menurun dan hal ini akan
mengakibatkan berkurangnya pembentukan substansi surfaktan.13
PREMATURITY

Surfactant Structurally
Deficiency Immature Lung
Atelactasis

V/Q Mismatch Hypoventilation

Hypoxemia
&Hypercarbia

Respiratory & High FiO2&Baro or


Metabolic Volutrauma
Acidosis
Pulmonary Inflamatory Antioxidant
Vasoconstriction cell Influx Reduction

Impaired endothelial Cytokine Free-radical


and epithelial integrity release reaction

Proteinaceous
Lung Injury
exudate

RD Chronic Lung
S Disease/BPD

Bagan1. Patogenesis HMD

2.5 Gejala Klinis


Penyakit membran hialin sering terjadi pada bayi prematur dengan berat badan
1000 - 2000 gram atau masa gestasi 30 - 36 minggu. Jarang ditemukan pada
bayi dengan berat badan lebih dari 2500 gram.10Sering disertai dengan riwayat
asfiksia pada waktu lahir atau tanda gawat bayi pada akhir kehamilan. Tanda
gangguan pernafasan mulai tampak 6- 8 jam pertama setelah kelahiran dan
gejala yang karakteristik mulai terlihat pada umur 24 - 72 jam. Bila keadaan
membaik, gejala akan menghilang pada akhir minggu pertama.5,13
Gangguan pernafasan pada bayi terutama disebabkan oleh atelektasis dan
perfusi paru yang menurun. Keadaan ini akan memperlihatkan gambaran
klinis seperti dispnu atau hiperpnu, sianosis karena saturasi O2 yang menurun,
retraksi suprasternal, retraksi interkostal dan expiratory grunting. Selain
tanda gangguan pernafasan, ditemukan gejala lain misalnya bradikardia
(sering ditemukan pada penderita HMD berat), hipotensi, kardiomegali,
pitting edema terutama di daerah dorsal tangan atau kaki, hipotermia, tonus
otot yang menurun, gejala sentral dapat terlihat bila terjadi komplikasi.1
Scoring system yang sering digunakan pada bayi preterm dengan HMD adalah
Silverman - Anderson score atau Downes score.15

Score 10 = Severe respiratory distress


Score 7 = Impending respiratory failure
Score 0 = No respiratory distress
Gambar 2. Scoring system Silverman Anderson15
Score 0 1 2

Frekuensi nafas (per <60 60 -80 >80


menit)

Sianosis None In room air In 40% oxigen

Retraksi None Mild Moderate-


severe

Merintih None Terdengar Tanpa


dengan stetoskop
stetoskop

Air entry Clear Delayed / Barely audible


decrease

Score : <6 = Respiratory distress


>6 = Inpending respiratory failure

Tabel1. Down skor15

2.6 Pemeriksaan Penunjang


2.6.1 Pemeriksaan gas darah
Hasil analisis gas darah menunjukkan asidosis respiratorik dan asidosis
metabolik dengan hipoksia. Asidosis respiratorik terjadi karena atelektasis
dari alveoli dan atau overdistensi dari bronkiolus (terminal airways).
Asidosis metabolik yang terjadi pada HMD dawali dengan asidosis
laktatsebagai akibat dari menurunnya perfusi ke jaringan sehingga tubuh
menggunakan jalur anaerob untuk metabolisme.Hipoksia pada HMD ini
terjadi dari shunting right to the left melalui pembuluh dari pulmonal, patent
ductus artreriosus (PDA), dan atau foramen ovale tidak menutup.16

2.6.2 Pulse Oximetry


Pulse Oximetry adalah tindakan non-invansif yang digunakan untuk
memantau saturasi oksigen dalam darah, dimana saturasi dipertahankan pada
nilai 90-95 %. Akan tetapi alat ini tidak dapat mendeteksi terjadinya
hiperoksia. Pada metode konvensional digunakan metodemonitoring in-line
arterial PaO2 dan monitoring transkutaneus. Monitoring transkutaneus CO2
seharusnya dgunakan pada infant dengan HMD untuk memonitor ventilasi
yang berhubungan dengan PaCO2.16

2.6.3 Gambaran radiologis


Diagnosis yang tepat dengan pemeriksaan foto Rontgen toraks. Pemeriksaan
ini juga sangat penting untuk menyingkirkan kemungkinan penyakit lain
yang diobati dan mempunyai gejala yang mirip penyakit membran hialin,
misalnya pneumotoraks, hernia diafragmatika, dan lain - lain.10
a. Foto toraks posisi AP dan lateral, bila diperlukan serial
Gambaran radiologis memberi gambaran penyakit membran hialin.
Gambaran yang khas berupa pola retikulogranular, yang disebut dengan
ground glass appearance, disertai dengan gambaran bronkus di bagian
perifer paru (air bronchogram).9,17
Terdapat 4 stadium:
Stadium 1: pola retikulogranular(ground glass appearance)
Stadium 2: stadium 1 + air bronchogram
Stadium 3: stadium 2 + batas jantung - paru kabur
Stadium 4: stadium 3 + white lung appearance

Gambar3. HMD dengan granular appearance pada kedua paru


Gambar4.HMD dengan granular appearance dan air broncogram10

Gambar5.HMD dengan gambaran batas jantung - paru kabur(kiri)


Gambar6. white lungappearance (kanan)10

Gambar7. HMD pada bayi premature

Gambar8. HMD pada bayi yang sudah mendapat terapi surfaktan. Tampak
gambaran gelembung udara pada lobus atas10
Selama perawatan, diperlukan foto toraks serial dengan interval sesuai
indikasi. Pada pasien dapat ditemukan pneumotoraks sekunder karena
pemakaian ventilator, atau terjadi bronchopulmonary Displasia (BPD)
setelah pemakaian ventilator jangka lama.

2.6.4 Uji Kematangan paru


Tes yang dipercaya saat ini untuk menilai kematangan paru janin adalah Tes
Kematangan Paru yang biasanya dilakukan pada bayi prematur yang
mengancam jiwa untuk mencegah terjadinya Neonatal Respiratory Distress
Syndrome (RDS).18
Tes tersebut diklasifikasikan menjadi:

a. Tes biokimia (Rasio lecithin - sphingomyelin)


Paru - paru janin berhubungan dengan cairan amnion, maka jumlah
fosfolipid dalam cairan amnion dapat untuk menilai produksi surfaktan,
sebagai tolok ukur kematangan paru, dengan cara menghitung rasio
lesitin dibandingkan sfingomielin dari cairan amnion.

Tes ini pertamakali diperkenalkan oleh Gluck dkk tahun 1971,


merupakan salah satu test yang sering digunakan dan sebagai standarisasi
tes dibandingkan dengan tes yang lain. Sfingomyelin merupakan suatu
membran lipid yang secara relatif merupakan komponen non spesifik dari
cairan amnion. Gluck dkk menemukan bahwa L/S untuk kehamilan
normal adalah <0.5 pada saat gestasi 20 minggu dan meningkat secara
bertahap. Rasio L/S = 2 dicapai pada usia gestasi 35 minggu dan secara
empiris disebutkan bahwa Neonatal HMDsangat tidak mungkin terjadi
bila rasio L/S >2.8 Dengan rasio 1.5 - 1.9, ada kemungkinan bahwa 50%
bayi dapat berlanjut ke HMD. <1.5 resiko meningkat sampai 73%.11
Adanya mekonium dapat mempengaruhi hasil interpretasi dari tes ini.9
Gambar9. Grafik perbandingan L/S dengan usia gestasi18

b. Tes biofisika (Shake test) 18


Shake test diperkenalkan pertamakali oleh Clement pada tahun 1972.
Test ini bardasarkan sifat dari permukaan cairan fosfolipid yang
membuat dan menjaga agar gelembung tetap stabil. Pada janin, cairan
paru biasanya ditelan sehingga aspirasi dari cairan lambung dalam 30
menit setelah lahir sebagian besar terdiri dari cairan paru yang ditelan
atau cairan amnion. Oleh karena itu, aspirasi dari cairan lambung dapat
digunakan untuk evaluasi apabila surfaktan terdapat pada paru - paru
janin sewaktu lahir.
Dengan mengocok cairan aspirat lambung 0.5 cc, NaCl 0.9% 0.5 cc dan
alkohol 1 cc lalu dikocok dengan keras dan didiamkan selama 15 menit.
Dengan mengocok cairan amnion dengan alkohol akan terjadi hambatan
pembentukan gelembung oleh unsur yang lain dari cairan amnion seperti
protein, garam empedu dan asam lemak bebas. Pada alkohol dengan
konsentrasi 47.5%, stable bubble yang dibentuk oleh karena pengocokan
akan menetap oleh karena adanya lechitin.
Bila didapatkan ring yang utuh dengan pengenceran lebih dari 2 kali
(cairan amnion : alkohol) / hasil positive gelembung (+), maka
merupakan indikasi maturitas paru janin.7,8
Gambar10. Cara melakukan Shake test18

c. Pemeriksaan fungsi paru


Pemeriksaan ini membutuhkan alat yang lengkap dan tim yang
berpengalaman. Peningkatan frekuensi pernafasan pada penyakit ini
akan memperlihatkan perubahan pada fungsi paru lainnya seperti tidal
volume menurun, lung compliance berkurang, penurunan functional
residual capacity disertai vital capacity yang terbatas. Demikian pula
fungsi ventilasi dan perfusi paru akan terganggu.18

d. Pemeriksaan fungsi kardiovaskuler


Penyelidikan dengan kateterisasi jantung memperlihatkan beberapa
perubahan dalam fungsi kardiovaskuler berupa duktus arteriosus paten,
pirau dari kiri ke kanan atau pirau kanan ke kiri (bergantung pada
lanjutnya penyakit), menurunnya tekanan arteri paru dan sistemik.18
e. Gambaran patologi/ histopatologi
Pada otopsi, gambaran dalam paru menunjukkan adanya atelektasis
dan membran hialin di dalam alveolus atau duktus alveolaris. Di
samping itu terdapat pula bagian paru yang mengalami emfisema.
Membrane hialin yang ditemukan terdiri dari fibrin dan sel eosinofilik
yang mungkin berasal dari darah atau sel epitel alveolus yang
nekrotik.18

2.7Diagnosis
2.7.1Anamnesis
Riwayat kelahiran kurang bulan, ibu DM
Riwayat persalinan yang mengaalami asfiksia perinatal (gawat janin)
Riwayat kelahiran saudara kandung dengan penyakit membrane hialin
2.7.2Pemeriksaan fisik
Gejala biasanya dijumpai dalam 24 jam pertama kehidupan
Dijumpai sindrom klinis yang terdiri dari kumpulan gejala:
o Takipnea (frekuensi nafas >60x/menit)
o Grunting atau nafas merintih
o Retraksi dinding dada
o Kadang dijumpai sianosis (pada udara ruangan)
Perhatikan tanda prematuritas
Kadang ditemukan hipotensi, hipotermia, edema perifer, edema paru
Perjalanan klinis bervariasi sesuai dengan beratnya penyakit, besarnya
bayi, adanya infeksi dan derajat dari pirau PDA
Penyakit dapat menetap atau menjadi progresif dalam 48 - 96 jam2
Diagnosis dari HMDdapat dikonfirmasi dengan foto rontgen toraks dengan
gambaran khas/klasik yaitu ground glass appearance dan air bronchograms.
Menurut Vermont Oxford Neonatal Network definisi dari PMH selain
gambaran khas dari rontgen torak memerlukan PaO2<50 mmHg pada udara
ruangan, cyanosis sentral pada udara ruangan atau keadaan bayi memerlukan
suplimentasi oksigen tambahan untuk mempertahankan PaO2>50 mmHg.5,6,1
2.8Diagnosis Banding

Gambar 11. Perbedaan diagnosis banding HMD

1. Transient Tachypnoea of the newborn(TTNB)


Peningkatan kadar epinefrin pada fetus pada saat partus umumnya mengurangi
produksi cairan paru dan mengaktivasi channel natrium yang menimbulkan
terjadinya reabsorbsi. Gagalnya untuk membersihkan paru dari cairan paru ini
menyebabkan terjadinya TTN. Faktor risiko terjadi TTN termasuk kelahiran
preterm, kelahiran dengan sectio caesaria, dan bayi dengan jenis kelamin laki -
laki. TTN juga dihubungkan dengan maternal asma. Pada gejala awal, TTN
sulit untuk dibedakan dengan penyakit membran hialin. Diagnosis TTN hanya
dapat ditegakkan dengan foto rontgen paru yaitu adanya opasitas paru yang
berbentuk streaky, ditemukannya cairan pada fisura transversalis, dan
biasanya disertai dengan kardiomegali. TTN terjadi pada 5/1000 bayi cukup
bulan. Gejala TTN ialah adanya takipnea yang parah (frekuensi nafas >60
x/menit) dan terjadinya hiperinflasi, tetapi jarang disertai dengan grunting.
TTN merupakan diagnosis eksklusi, dimana diagnosis sindrom gawat nafas,
sepsis dan gagal jantung sudah disingkirkan.17

Gambar11. Transient tachypnoea of the newborn dengan gambaran cairan


pada fisura transversalis dan hiperekspansi paru.17

2. Meconium aspiration syndrome


Aspirasi mekonium jarang terjadi pada bayi kurang bulan. Sindrom aspirasi
mekonium terjadi apabila janin mengeluarkan mekonium ke dalam cairan
amnion ketika masih berada dalam kandungan, dan cairan amnionyang
terkontaminasi mekonium teraspirasi oleh bayi. Aspirasi mekonium
menyebakan obstruksi mekanis pada paru sehingga menyebabkan
terperangkapnya udara dan mengakibatkan atelektasis dan ketidakseimbangan
perfusi-ventilasi.Secara klinis, bayi tampak berwarna kuning kehijauan atau
lebih dikenali sebagai meconium-stained skin.Penegakkan diagnosis aspirasi
mekoneum dapat dilakukan dengan kombinasi foto rontgen dengan gambaran
bercak - bercak konsolidasi atau atelektasis, infiltrat kasar di kedua lapangan
paru, dan hiperinflasi karena terperangkapnya udara.10,17
Gambar12.Foto thoraks sindrom aspirasi mekonium

3. Pneumotoraks
Kekurangan surfaktan yang relatif pada bayi yang lahir dengan usia gestasi 32
- 34 minggu menghasilkan paru - paru yang kurang compliancesehingga
meningkatkan risiko terjadinya pneumotoraks dan pneumomediastinum.
Pneumotoraks kecil umumnya dapat sembuh secara spontan. Selama ini,
oksigen 100% digunakan sebagai penanganan pneumotoraks kecil, akan tetapi
efektivitasnya belum terbukti dan dengan risiko terjadinya toksisitas oksigen,
maka penanganan ini sudah tidak lagi dilakukan. Penanganan yang sedang
berkembang ialah penggunaan kateterisasi pigtail yang dimasukan dengan
tehnik Seldinger. Keuntungan tindakan ini ialah tindakannya yang cepat dan
mudah, serta sedikitnya skar yang ditimbulkan dibandingkan dengan
traditional chest tubes.17
Gambar13. Pneumotoraks pada paru sisi kanan17

Gambar14. Penggunaan kateter pigtail17

2.9Penatalaksanaan
2.9.1 Perawatan Antenatal
Intervensi untuk mencegah terjadinya HMD harus dimulai sebelum kelahiran
dan melibatkan bagian anak dan kebidanan. Secara umum sekresi surfaktan
meningkat selama proses persalinan, oleh karena itu operasi sectio caesaria
elektif tidak dianjurkan. Bayi preterm yang berisiko untuk terjadinya HMD
seharusnya dilahirkan di tempat yang memiliki tenaga ahli dan fasilitas yang
dilengkapi dengan Continuous Positive Airway Pressure (CPAP) dan
ventilator mekanik. Untuk bayi yang usia gestasi kurang dari 27 minggu,
kemungkinan untuk meninggal pada tahun pertama kehidupan berkurang bila
dilahirkan di rumah sakit yang memiliki Neonatal Intensif Care Unit (NICU).
Pemanfaan obat tokolitik dapat digunakan untuk menunda persalinan
sementara agar ibu dapat dirujuk ke rumah sakit dengan fasilitas NICU.20,21
2.9.2 Pemberian Kortikosteroid pada Ibu
Steroid antenatal diberikan pada ibu untuk menurunkan resiko kematian pada
neonatal. Keberhasilan pemberian steroid hanya terlihat pada bayi preterm
yang ibunya menerima dosis pertama steroid 1 - 7 hari sebelum persalinan.
Betamethason dan Dexamethason digunakan untuk meningkatkan pematangan
paru janin. Pemberian steroid antenatal direkomendasikan pada semua
kehamilan yang berisiko terjadinya persalinan preterm.Dosis tunggal
pemberian betamethason adalah 12 mg. Interval optimal untuk memulai terapi
berdasarkan taksiran persalinan adalah >24 jam dan <7 hari. Tidak ada bukti
yang jelas menunjukkan pemberian dosis ulangan dapat menigkatkan
keberhasilan efek kortikosteroid.6,20
2.9.3 Stabilisasi Kamar Bersalin
Bayi dengan defisiensi surfaktan mengalami gangguan dalam mencapai
kapasitas residu fungsional yang adekuat dan memastikan pengaliran udara di
alveolar terus menerus. Dulu kebanyakan bayi preterm, tali pusat dipotong
segera setelah lahir agar dapat dipindahkan ke lingkungan hangat dengan
cepat untuk memudahkan proses resusitasi. Prosedur mengklem tali pusat
dengan cepat dipersoalkan baru-baru ini. Lebih kurang setengah dari volume
darah dari bayi preterm terkandung dalam tali pusat plasenta, dengan menunda
pengkleman tali pusat selama 30-45 detik dapat mengakibatkan peningkatan
volume darah sebanyak 8-24% terutama pada persalinan spontan, sehingga
terjadinya peningkatan kadar hematokrit, berkurangnya keperluan untuk
transfusi dan berkurangnya insiden perdarahan intraventrikuler.

Penggunaan oksigen murni 100% tidak lagi diperlukan, sekarang pencampur


oksigen - udara ruangan seharusnya tersedia di kamar bersalin untuk
membolehkan titrasi oksigen sesuai kondisi bayi. Pulse oxymetri dapat
digunakan untuk membantu pemberian oksigen murni. Oleh sebab itu
penggunaan oksigen murni untuk meresusitasi haruslah terkontrol dengan
pencampur oksigen-udara ruangan. Pemberiannya dimulai dengan konsentrasi
oksigen yang paling rendah, biasanya konsentrasi sebanyak 30%. Saturasi
normal bayi preterm yang baru lahir semasa proses transisi adalah 40-60%
dan mencapai 50-80% setalah usia 5 menit dan mencapai >85% setelah usia
10 menit.

Pemberian rutin ventilasi tekanan positif (Bagging) tidak sesuai bagi preterm
yang belum nafas spontan. Jika ventilasi tekanan positif diperlukan untuk
menstabilkan bayi, hindari volume tidal yang berlebihan dengan menggunakan
alat resusitasi yang bisa mengukur atau melimitasi peak inspiratory
pressure(PIP) dan waktu yang sama dapat mempertahankan positive end-
expiratory pressure(PEEP) semasa ekspirasi. Contoh alatnya adalah
Neopuff20

Gambar.15. Neopuff20

2.9.4 Penatalaksanaan Umum


Dasar tindakan ialah mempertahankan bayi dalam suasana fisiologis agar bayi
mampu melanjutkan perkembangan paru dan organ lain sehingga dapat
mengadakan adaptasi sendiri terhadap sekitarnya.13,18
Tindakan yang perlu dikerjakan ialah:
1. Memberikan lingkungan yang optimal
Suhu tubuh bayi harus selalu diusahakan agar tetap dalam batas normal (36,5 -
370 C) dengan meletakkan bayi di dalam inkubator. Humiditas ruangan juga
harus adekuat (70 - 80%).1,3 Semua usaha meresusitasi bayi haruslah dengan
langkahmencegah terjadinya hipotermia untuk meningkatkan angka
kehiudpan. Selain radiant warmer,menyelubungi bayi dengan plastik
polietilen dapat menurunkan insiden hipotermia, terutama pada bayi preterm.
2. Pemberian cairan dan nutrisi
3. Pemberian oksigen
Prinsip: Oksigen mempunyai pengaruh yang kompleks terhadap bayi yang
baru lahir. Pemberian O2 yang terlalu tinggi dapat menimbulkan komplikasi
yang tidak diinginkan seperti fibrosis paru (bronchopulmonary dysplasia
(BPD)), kerusakan retina (fibroplasi retrolental / retinopathy of prematurity
(ROP)) dan lain - lain.1 Untuk mencegah timbulnya komplikasi ini, pemberian
O2 sebaiknya diikuti dengan pemeriksaan saturasi oksigen, sebaiknya diantara
85 - 93% dan tidak melebihi 95% untuk mengurangi terjadinya ROP dan
BPD.20Terapi oksigen diberikan sesuai dengan kondisi bayi dan seberapa
parahnya RD yang dialami neonatus. Dapat dilakukan dengan nasal kanul atau
CPAP.

2.9.5 Ventilator mekanik

Tujuan penggunaan ventilator adalah untuk memastikan perfusi pulmonal


yang berkesinambungan sehingga menurunkan resiko terjadinya trauma paru,
dan menurunkan work of breathing pasien. Kesulitannya adalah dalam
menentukan ventilator yang paling sesuai untuk menangani gagal nafas
neonatus.22
Ventilator mekanis dibagi menjadi dua, yaitu: Non invasive seperti CPAP dan
invasif.23

2.9.6 Terapi Surfaktan


Terapi surfaktan sudah digunakan selama lebih dari dua dekade. Dapat
digunakan sebagai pencegahan dan pengobatan pada bayi dengan resiko
HMD, untuk mengurangi resiko timbulnya pneumotoraks dan timbulnya
kematian.
Pemberian surfaktan profilaksis versus surfaktan rescue
Surfaktan profilaksis, atau preventifmerupakan pemberian surfaktan secara
intratrakeal pada bayi dengan risiko tinggi untuk terjadinya gawat nafas
setelah resusitasi dini dalam 10 - 30 menit setelah kelahiran. Pemberian
surfaktan rescue dibagi lagi menjadi 2 yaitu, rescue dini yaitu pemberian
surfaktan dalam 1 - 2 jam setelah kelahiran dan rescue lambat yaitu pemberian
lebih dari 2 jam setelah kelahiran. Bayi yang lahir dengan usia gestasi <30
minggu memberikan perbaikan setelah diberikan surfaktan profilaksis dan
rescue. Akan tetapi, bayi prematur yang diterapi dengan surfaktan profilaksis
terbukti memiliki insidensi yang lebih rendah dalam terjadinya sindrom gawat
nafas.20,25

2.9.7 Menghindari atau mengurangi lama penggunaan ventilator


Terdapat hubungan yang jelas antara pemakain ventilator yang menggunakan
tube endotrakeal dan perkembangan lebih lanjut dari BPD.20 Intervensi
dirancang untuk memperpendek penggunaan ventilator. Weaning atau
pelepasan dari ventilator harus dimulakan apabila ada bukti penurunan
bantuan ventilasi seperti perbaikan compliance, penurunan kebutuhan FiO2,
meningkatnya jumlah produksi urin dan nilai PaCO2 yang berkurang.22
Aggressive Weaning
Setelah bayi distabilkan dengan ventilator, bayi dengan HMD akan dilepaskan
dari ventilator secara agressif agar extubasi dapat dilakukan dengan aman dan
hasil analisa gas darah setelah extubasi dalam batas normal. Extubasi mungkin
berhasil dengan tekanan saluran nafas rata-rata 6-7cmH20 dengan ventilator
konvensional dan tekanan 8-9cmH20 pada HFOV. Menjaga bayi premature
agar tetap stabil pada tekanan rendah di ventilator untuk jangka waktu yang
lama tidak meningkatkan kemungkinan keberhasilan extubasi.20,22
2.9.8 Pemberian antibiotika.
Setiap penderita penyakit membran hialin perlu mendapat antibiotika untuk
mencegah terjadinya infeksi sekunder.1 Pemberian antibiotik dimulai dengan
spektrum luas, biasanya dimulai dengan ampisilin 50mg/kgBB intravena
setiap 12 jam dan gentamisin 3mg/kgBB untuk bayi dengan berat lahir kurang
dari 2 kilogram. Jika tak terbukti ada infeksi, pemberian antibiotika
dihentikan.2
Selain itu, pneumonia congenital juga bisa menyerupai HMD. Oleh karena
itu, dianjurkan semua bayi dengan sindroma distress pernafasan untuk
menjalani kultur darah, dan mencari tanda-tanda sepsis lain seperti neitropenia
atau meningkatnya protein C reaktifRegimen yang sering dipakai adalah
penisilin atau ampisilin dan dikombinasikan dengan aminoglikosida, namun
setiap rumah sakit mempunyai protocol tersendirinya berdasarkan profil
pathogen yang ditemukan di daerahnya.6,20
BAB III
KESIMPULAN

HMD merupakan penyebab kematian utama pada bayi premature,di


AmerikaSerikat sekitar 12% bayi lahir prematur, sekitar 10% bayi prematur
menderitaHMD setiap tahunnya.Insiden meningkat pada negara
berkembang.Insiden HMD tertinggi terjadi pada bayi prematur,ras caucasian,
laki-laki, riwayat saudara sebelumnya yang menderita RDS, lahir melalui sectio
secaria, asfiksia dan ibu diabetes melitus.

Salah satu pemeriksaan penunjang terpenting bagi diagnosis HMD ialah


pemeriksaan radiologis. Gambaran radiologis kelainan paru pada HMD dibagi
atas 4 derajat yaitu derajat 1 pola retikulogranular(PRG), derajat 2 bronkogram
udara (BGU),derajat 3 sama dengan derajat 2 namun lebih beratdengan
mediastinum melebar dan kaburnya batas jantung dan paru, derajat 4 kolaps
seluruhparu sehingga paru tampak putih (white lung).

Prinsip tatalaksana dari HMD meliputi perawatan antenatal, pemberian


kortikosteroid pada ibu hamil yang berisiko melahirkan bayi prematur, stabilisasi
kamar bersalin, penatalaksanaan umum (lingkungan yang optimal, cairan dan
nutrisi, oksigen), ventilator (non-invasif, invasif), serta pemberian terapi surfactan.
DAFTAR PUSTAKA

1. Monintja, H.E, Rulina Suradi, Asril Aminullah. Sindrom Gawat Nafas


Pada Neonatus, Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan IKA XXIII, FKUI,
Jakarta, 1991, hal. 1-7. 55. 65-66.
2. Nelson, Ilmu Kesehatan Anak, Bagian I, Edisi 12, Alih Bahasa : Siregar,
M.R, Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta, 1988, hal. 591-599.
3. Markum, A.H, Buku Ajar Ilmu Kesehatan Anak, Jilid I, Bagian Ilmu
Kesehatan Anak FKUI, Jakarta, 1991, hal. 303-306.
4. Schraufnagel D E Breathing in America: Diseases, Progress, and Hope.
American Thoracic Society. 2010. Chapter 19, 197-205.
5. Smith J H. Neonatal Respiratory Care Handbook. Jones and Bartlett
Publishers. 2009. Chapter 2, 37-52
6. Gommela. T.L, Cunningham.M.D, Eyal. F.G, Neonatology management,
procedur, on-call problems, disease, and drugs.Edisi 6. Lange. chapter 89
: Hyalin membran disease. 2004. 477-481.
7. Dzulfikar DLH, Ali Usman, Melinda D Nataprawira and ArisPrimaldi.
The prevalence of hyaline membrane disease and the value of shake test
and lamellar body concentration in preterm infants.
PaediatricaIndonesiana. 2003. Volume 43 No. 5-6:77-81
8. Rennie. J, Roberton. N, Textbook of neonatology. Edisi 3.Part 2: Acute
Respiratory Disease In The Newborn.UK. 1999. hal. 481-514
9. Numan Nafie Hameed ,Muhi K. Al-Janabi, Yasser Ibrahim AL-
Reda.Respiratory distress in full term newborns.The Iraqi Postgraduate
medical journal. Vol.6, No. 3, 2007
10. A.L.Baert, M. Knauth, K.Sarter.Radiological imaging of the neonatal
chest. 2007. Chapter 4: Hyalin membran disease and complication of its
treatment. 67-79.
11. Christian P. Speer. Neonatal Respiratory Distress Syndrome: An
Inflammatory Disease. Neonatology 2011;99;316-319
12. Zimmerman L. J.I, Janssen D.J.M.T, Tibboel D.,Hamvas A., Carnielli V.P.
Surfactant metabolism in the neonate. 2005. Biology of the neonate
2005;87:296-307
13. Latief Abdul, Napitupulu Partogi, Pudjiadi Antonius, Ghazali Vinci
Muhammad, Putra Tulus Sukman. Penyakit membran hialin. Buku Ilmu
Kesehatan Anak jilid 3 FKUI. 1083-1087
14. Sandra Lee Gardner , Brian S. Carter , Mary I Enzman-Hines RN PhD
AHN-BC , Jacinto A. Hernandez . Merenstein & Gardner's Handbook of
Neonatal Intensive Care. The Regents of the University of California.
2004. 79-80.

15. Surg Cdr SS Mathai, Col. U Raju, Col M. Kanitkar. Management of


respiratory distress in the newborn.MJAFI 2007; 63 : 269-272

16. Arun K Pramanik, MD, MBBS; Chief Editor: Ted Rosenkrantz. Repiratory
distress syndrome. Di tinjau tanggal 25 Juli 2013. Dapat di tinjau di :
http://emedicine.medscape.com/article/976034-overview

17. Miall.L, Waillis. S, The management of respiratory distress in the


moderately preterm newborn infant. 2011. Neonatal intensive care unit,
Leeds teaching hospital NHS trust, Leeds, UK. Publis
18. Nur. A, Risa Etika, Sylviati M. Damanik, Fatimah Indarso, Agus Harianto.
Pemberian surfaktan pada bayi prematur dengan respiratory distress
syndrome, SMF Ilmu Kesehatan Anak FK.UNAIR/RSUD Dr. Soetomo.
2006

19. Pudjiadi antonius. Hegar badriul. Handriastuti S. Idris Salamia.


Gandaputra E. Harmoniati E. penyakit membran hyalin, buku pedoman
pelayanan medis IDAI jilid 1.238-242.

20. Sweet DG, Cernielli V, Greisen G, Hallman M, Ozek E, Plavka R, et al.


European Consensus Guidelines on the Management of Neonatal
Respiratory Distress Syndrome in Preterm Infants-2010 Updates.
Neonatalogy 2010, 97:402-417
21. Liu J, Shi Y, Dong J, Zheng T, Li J, Lu L, Liu J, Liang J, Zhang H and
Feng Z. Clinical characteristics, diagnosis and management of respiratory
distress syndrome in full-term neonates. Chin Med J 2010;123(19):2640-
2644
22. William Benitz. Mechanical Ventilation.2004. Part 3-B-Respiratory 127-
135
23. Steven M Donn and Sunil K Sinha. Respiratory Care : Invasive and
Noninvasive Neonatal Mechanical Ventilation. 2003. Volume 48 Chapter
4, 426-441

24. Cartwright.D, Beaumont.T.Management of neonatal respiratory distress


incorporating the administration of continuous positive airway pressure
(CPAP).Queensland Maternity and Neonatal Clinical
Guidelines.September 2009
25. Atul Kr Gupta. The child and the newborn.Neonatolgy: Surfactant
replacement therapy Vol.16, No.1 & 2, January - June 2012.17-20
26. Tobing R, 2004. Kelainan Kardiovaskular pada Sindrom Gawat Nafas
Neonatus. Sari Pediatri, Vol. 6, No. 1, Juni 2004: 40-46.

Anda mungkin juga menyukai