Banten
Banten
Dari semua dimensi revolusi yang tidak pasti yang sekarang sedang
berlangsung di negara-negara baru di Asia dan Afrika, maka pastilah yang paling
sulit memahaminya adalah dimensi keagamaan. Ia tidak dapat diukur seperti
perubahan ekonomi, bagaimana pun tidak eksaknya. Untuk bagian terbesar, ia
tidak diterangi oleh ledakan-ledakan instmktif yang menandai perkembangan
politik pembersihan, pembunuhan, kudeta, perang perbatasan, huru-hara, dan di
sana-sini pemilihan. Petunjuk-petunjuk yang Sudah teruji tentang adanya
perubahan dalam bentuk-bentuk kehidupan sosial seprti urbanisasi, solidifikasi
loyalitas-loyalitas kelas, atau pertumbuhan suatu sistim pekerjaan vang lebih
kompleks, jelas lebih langka, jika bukan tidak ada sama sekali dan maknanya jauh
lebih kabur di dalam bidang keagamaan, di mana anggur yang Sudah tua dengan
mudah dimasukkan ke dalam botol-botol baru semudah orang mengisi botol-botol
lama dengan anggur muda. Bukan hanya sangat sulit untuk mengetahui caranya
bentuk-bentuk pengalaman keagamaan sedang berubah, atau apakah memang
sedang terjadi perubahan, malahan tidak jelas apa saja yang harus diperhatikan
untuk dapat mengetahui hal itu.
Studi perbandingan mengenai agama sejak dulu dirongrong oleh kerikuhan
yang khas ini: sifat pokok studinya yang sukar ditangkap. Masalahnya bukan soal
menyusun definisi-definisi tentang agama. Detinisi-definisi itu Sudah cukup
banyak; jumlahya yang banyak justm merupakan suagtu gejala dari kericuhan itu.
Soalnya adalah untuk mengetahui jenis-jenis kepercayaan dan praktek-praktek
yang bagaimana yang mendukung keyakinan yang bagaimana dalam kondisi-
kondisi yang bagaimana Masalah yang kita hadapi, dan yang bertambah dari hari
kehari, bukanlah untuk mendefinisikan agama melainkan untuk menemukannya.
Hal ini mungkin aneh kedengarannya. Apa yang terdapat di dalam buku-
buku tebal mengenai mitos-mitos totem, ritus-ritus inisiasi, ilmu slhir, praktek-
praktek shamanisme, dan sebagainya, yang telah dikumpulkan dengan ketekunan
yang begitu mengagumkan oleh para ahli etnografi selama lebih dari satu abad?
Atau di dalam karya-karya para ahli sejarah yang sama tebalnya dan tidak lebih
mudah membacanya, mengenai perkembangan hukum Judea, filsafat Konfusius,
atau teologi Kristiani? Atau di dalam Studi-Studi sosiologis yang tak terbilang
banyaknya mengenai lembaga-lembaga seperti kasta di India atau sektarianisme
dalam Islam; pemujaan kaisar di Jepang atau kurban ternak di Afrika? Tidakkah
karya-karya itu mengandung pokok Studi kita? Jawabannya, sederhana sekali,
tidak: karya-karya itu memuat catatan tentang usaha kita mencari pokok,
peneliatian kita. Usaha pencanan itu bukannya tanpa sukses, dan tugas kita adalah
untuk mendorong terus usaha itu dan memperbesar sukses-suksesnya. Akan tetapi
tujuan dari studi yang sistimatik mengenai agama adalah, atau bagaimana pun,
seharusnya adalah bukan sekedar untuk melukiskan ide-ide, perbuatan-perbuatan,
dan lembaga-lembaga, melainkan untuk memastikan bagaimana sesungguhnya
dan dengan Cara apa ide-ide, perbuatan-perbuatan, dan lembaga-lembaga tertentu
menopang, tidak mampu menopang, atau malahan menghalangi-halangi
keyakinan agama yakni keterikatan yang tak tergoyahkan kepada sesuatu
konsepsi transtemporal tentang realitas.
Tidak ada sesuatu yang bersifat misterius atau doktrinal dalam hal ini. Hal
ini hanya berarti bahwa kita hams membedakan antara suatu sikap religius
terhadap pengalaman dan jenis aparat sosial yang, dalam mang dan Waktu, Sudah
biasa diasosiasialkan dengan segala sesuatu yang mendukung sikap sedemikian
Jika demikian halnya, maka Studi perbandingan tentang agama bergeser 'dari
semacam kegiatan mengumpulkan benda-benda aneh yang Sudah bertarafmaju ke
arah semacam ilmu 'pengetahuan yang belum maju benar; dari 'suatu disiplin di
mana orang hanya mencatat, mengadakan klasifikasi, dan mungkin malahan
melakukan generalisasi mengenai data-data yang, dalam banyak hal cukup masuk
akal, dianggap ada sangkut-pautnya dengan agama kel satu disiplin di mana orang
mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang mendasar mengenai data-data itu, di
antaranya yang tidak kurang pentingnya adalah dalam hal apa persisnya data-data
itu mempunyai sangkut paut dengan agama. Kita agaknya tak bisa mengharapkan
akan dapat berhasil banyak dalam analisa mengenai perubahan agama -- artinya,
apa yang terjadi dengan kepercayaan apabila wahana-wahananya berubah --
apabila belum jelas bagi kita apa wahana-wahananya dalam kasus tertentu dan
bagaimana (atau malahan apakah) sesungguhnya wahana-wahana itu mendukung
agama itu.
Apapun sumber kepercayaan, yang paling pokok atau bukan, dari
scscorang atau suatu golongan orang, tidak dapat disangkal lagi bahwa di dunia
ini kepercayaan itu ditopang oleh bentuk-bentuk sinibolik dan pengaturan-
pengaturan sosial. Apa yang merupakan satu agama tertentu - isinya yang spesifik
- diwujudkan di dalam citra-citra dan metafor-metafor yang digunakan oleh
penganut-penganutnya untuk menggambarkan realitas; sebagaimana dikemukakan
oleh Kenneth Burke, satu persoalan yang penting adalah apakah anda menamakan
hidup ini suatu mimpi, suatu perjalanan ziarah, suatu labirin, atau suatu karnaval.
Akan tetapi sebaliknya, karir agama itu - yakni perjalanan sejarahnya - tergantung
kepada lembaga-lemhaga yang memungkinkan citra-citra dan metafor-metafor itu
tersedia bagi mereka yang lalu menggunakannya. Sesungguhnya tidaklah jauh
lebih mudah untuk membayangkan agama Kristen tanpa Gregorius ketimbang
tanpa Jesus. Atau, apabila pernyataan itu kelihatannya tendensius (padahal tidak),
katakanlah Islam tanpa para Ulama ketimbang tanpa Muhammad; agama Hindu
tanpa kasta ketimhbang tanpa Veda; Konfusianisme tanpa kaum mandarin
ketimbang tanpa Analek (kumpulan ajaran-ajaran Konfusius); agama Navaho
tanpa Jalan Keindahan ketimbang tanpa Wanita Laba-laba. Agama mungkin saja
merupakan batu yang dilontarkan ke dalam dunia; akan tetapi ia harus merupakan
batu yang dapat diraba dan harus ada orang yang nielontarkannya.
Apabila hal ini dapat diterinia (dan apahila tidak dapat diterima, maka
sebagai akibatnya agama akan dihapuskan tidak hanya dari penelaahan keilmuan
dan pembahasan rasional, akan tetapi dari kehidupan sama sekali), maka suatu
pandangan sepintas lalu mengenai situasi keagamaan di negara-negara baru secara
kolektif atau di tiap negara itu secara terpisah, akan menyingkapkan arah utama
dari perubahan: hubungan-hubungaii yang Sudah mapan antara varietas-varietas
kepercyayaan tertentu dan keseluruhan citra-citra dan lembaga-lembaga yang
secara klasik telah memelihara kehidupan rohani mereka, bagi orang-orang
tertentu dan dalam keadaan-keadaan tertentu, mulai goyah. Di negara-negara baru,
seperti halnya di negara-negara lama, pertanyaan yang menggelitik bagi ahli
antropologi adalah, Bagaimana reaksi orang-orang yang mempunyai kepekaan
religius, apabila mekanisme kepercayaan mulai dimakan usia? Apa yang mereka
perbuat apabila tradisi mulai goyah?
Sudah tentu mereka melakukan segalamacam hal. Mereka kehilangan
kepekaan mereka. Atau mereka menyalurkannya ke dalam kegiatan-kegiatan
ideologis. Atau mereka memeluk kepercayaan yang diimpor. Atau mereka dengan
cemas mengalihkan perhatian mereka kepada diri mereka sendiri. Atau mereka
semakin kuat berpegang kepada tradisi-tradisi yang goyah itu. Atau mereka
berusaha menuangkan tradisi-tradisi itu ke dalam bentuk-bentuk yang lebih
efektif. Atau mereka terbelah menjadi dua, di bidang kerohanian mereka hidup di
masa lampau dan di bidang fisik mereka hidup di masa kini. Atau mereka
berusaha mengungkapkan kereligiusan mereka dalam kegiatan-kegiatan
sekular.'Dan sejumlah kecil lainnya tidak melihat bahwa dunia mereka sedang
bergerak atau, apabila mereka melihatnya, mereka hanya jatuh pingsan.
Akan tetapi jawaban-jawaban yang bersifat umum seperti itu tidak dapat
menjelaskan persoalannya, bukan saja karena sifatnya umum akan tetapi karena
tidak mengenai apa yang justru ingin kita ketahui dengan cara apa, dengan proses-
proses sosial dan kultural yang bagaimana, gerakan-gerakan ke arah Skeptisisme,
antusiasme politik, pergantian kepercayaan, kebangkitan kembali, subyektivisme,
kesalehan sekular, reformisme. hati yang mendua, atau entah apa lagi, sedang
berlangsung? Bentuk-bentuk arsitektur baru yang bagaimanakah yang mewadahi
perubahan-pembahan isi hati yang bertimbun-timbun itu?
Dalam usahanya untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan besar seperti ini,
ahli antropologi selalu cenderung -untuk berpaling kepada yang kongkrit, yang
partikular, yang mikroskopis. Kami adalah kaum miniatuliis dari ilmu-ilmu sosial,
yang melukis pada kanvas-kanvas diliput dengan coretan-coretan yang kami
anggap sangat halus. Kami mengharapkan untuk dapat menemukan didalam yang
kecil apa yang lolos dari perhatian kami di dalam yang besar, siapa tahu kami
beruntung menemukan kebenaran-kebenaran umum sambil menyaring kasus-
kasus yang khusus. Setidak-tidaknya itulah harapan saya, dan dengan semangat
ini saya ingin membahas perubahan-perubahan keagamaan di kedua negeri di
mana saya telah melakukan penelitian dalam waktu yang agak lama, yakni
Indonesia dan Maroko. Dari beberapa sudut pandangan, kedua negeri itu
merupakan satu pasangan yang aneh: sebuah negeri tropis di Asia dengan
peradaban yang halus dan agak kematangan yang dicampuri unsur-unsur
kebudayaan Belanda, dan sebuah negeri di kawasan Laut Tengah yang keras,
gersang, bewatak agak puritan dengan pernis kebudayaan Perancis. Akan tetapi
dan beberapa sudut pandangan lainnya termasuk kenyataan bahwa dalam arti kata
yang agak diperluas keduanya merupakan negeri-negeri Islam -- mereka
merupakan bahan perbandingan yang instruktif. Keduanya sekaligus sangat serupa
dan sangat berbeda satu sama lain dan karenanya, yang satu merupakan semacam
komentar terhadap watak yang lainnya. Kesamaan mereka yang paling nyata,
seperti telah saya katakan, adalah afiliasi keagamaan mereka; akan ietapi hal itu,
setidak-tidaknya dari segi kultural, juga menunjukkan ketidak-samaan mereka
yang paling nyata Kedua negeri itu terletak di ujung kiri timur dan ujung paling
barat dari jalur sempit peradaban Islam klasik yang muncul di Arabia dan
menjulur sepanjang garis-tengah. Dunia Lama untuk menghubungkan mereka
dan, dengan' lokasi yang sedemikian, mereka telah berpartisipasi di dalam sejarah
peradaban itu dengan Cara-cara yang sangat berbeda, pada tingkat-tingkat yang
sangat berbeda, dan dengan hasil-hasil yang sangat berbeda. Keduanya berkiblat
ke Mekah, akan tetapi, sebagai antipoda-antipoda di dalam dunia Islam, keduanya
bersujud ke Erah yang saling bertentangan.
Sebagai negeri Islam, dengan sendirinya Maroko-lah yang lebih tua.
Kontak pertama dengan Islam -- satu kontak militer ketika kaum Ummayah
melancarkan usaha mereka yang singkat untuk merebut kedaulatan atas seluruh
dunia yang dihuni manusia yang pernah dikuasai Iskandar Agung -- terjadi dalam
abad ketujuh, hanya limapuluh tahun setelah Wafatnya Nabi Muhammad; dan
menjelang pertengahan abad kedelapan orang-orang Islam dapat meletakkan suatu
tumpuan yang kokoh, meski bukannya tak dapat dihancurkan, di sana Selama tiga
abad berikutnya tumpuan itu menjadi tak terhancurkan, dan mulailah Zaman
kejayaan Islam Berber, Zaman yang telah dikenang oleh Ibn Khaldun dengan
campuran perasaan yang modern antara kekaguman kultural dan keputus-asaan
sosiologis. Silih berganti, dinasti-dinasti pembaru yang masyhur -- Almoravid,
Almohad, Merinid melancarkan gerakan mereka dari apa yang oleh orang-orang
Perancis dengan keterus-terangan kolonial yang halus, biasa dinamakan le Maroc
inutile, yakni benteng-benteng dan wahat-wahat di PraSahara, sungai-sungai yang
ditemboki dan dataran-dataran tinggi kecil di Atlas Tinggi, dan dataran-dataran
gersang di Aljazair, ke dalam le Maroc utile, dataramdataran Cis-Atlas yang subur
dan tak kekurangan air. Sambil membangun dan membangun kembali kota-kota
besar di Maroko -- Marrakech, Fez, Rabat, Salle, Tetuan -- mereka memasuki
Spanyol Islam, menyerap kebudayaannya dan, dengan mengolahnya kembali ke
dalam etos mereka sendiri yang lebih keras, menghasilkan satu versi yang
disederhanakan di negeri mereka sendiri di seberang Gibraltar. Periode
pembentukan bagi Maroko, sebagai nasion dan bagi Islam sebagai
kepercayaannya (yang secara kasarnya berlangsung dari 1050 sampai 1450) terdiri
dari satu proses yang khas, di mana suku-suku di daerah pinggiran memasuki
daerah pertanian di bagian pusat dan mengadabkannya. Daerah pinggiranlah,
yakni daerah-daerah perbatasan yang keras dan tak subur, yang telah manghidupi
dan sesungguhnya menciptakan masyarakat yang maju yang. berkembang di
bagian pusat.
Dalam perjalanan waktu, kontras antara tukang, pemuka masyarakat,
ilmuwan, dan pemilik toko yang berkumpul di dalam kota-kota besar yang
dikelilingi tembok dan petani dan penggembala ternak yang tersebar berpencaran
di daerah pedalaman sekitarnya, dengan sendirinya bertambah besar. Yang
pertama berkemabang menjadi suatu masyarakat Sedenter yang terpusat pada
perdagangan dan pertukangan, yang kedua menumbuhkan suatu masyarakat yang
mobil yang terpusat pada peternakan dan pertanian. Namun demikian, perbedaan
antara kedua masyarakat itu jauh dari mutlak; orang kota dan orang pedalaman
tidak hidup di dalam dunia-dunia kultural yang berlainan melainkan, mungkin
dengan mengecualikan beberapa kelompok yang memencilkan diri di daerah-
daerah pegunungan, mereka hidup di dalam dunia kulitural yang sama, hanya
dalam situasi-situasi yang berbeda Masyaarakat pedalaman dan masyarakat
perkotaan mempakan Varian-varian dari satu sistim tunggal (dan dalam
kenyataannya, terdapat setengah lusin versi dari tiap Varian itu). Mereka bukannya
tidak saling mempengaruhi, sebaliknya dari itu, interaksi mereka, meskipun
seringkali antagonistik, berlangsung secara kontinu dan intensif dan melahirkan
dinamika sentral dari perubahan historis di Maroko mulai dari saat didirikannya
Fez pada awal abad ke sembilan sampai saat pendudukannya oleh Prancis pada
awal abad keduapuluh.
Ada beberapa hal yang menyebabkan keadaan itu. Yang pertama
sebagaimana telah disebutkan di atas, adalah bahwa kota-kota ada dasamya
mempakan ciptaan suku-suku dan, dengan mengecualikan saat-saat introversi
yang hanya berlangsung untuk antara Waktu, pada umumnya tetap begitu
keadaannya. Tiap tahap utama dan peradaban (dan sebenarnya juga bagian
terbesar tahap-tahap yang tidak penting) dimulai dengan pendobrakan pintu
gerbang oleh seseorang kepala suku setempat yang penuh yang kefanatikan
agamanya merupakan sumber dari ambisinya dan dari kedudukannya sebagai
kepala suku.
Kedua, kombinasi antara serbuan penjaruh-penjarah Arab Baduwi ke
dataran-dataran bagian Barat seudah abad ketiga belas kenyataan bahwa Maroko
terletak tidak di pusat dunia penghasil padi-padian melainkan di daerah
perbatasannya yang paling jauh, telah mencegah berkembangnya suatu
kebudayaan petani yang matang yang dapat merupakan penyangga antara suku-
suku dan orang-orang kota dan memungkinkan mereka, dengan jalan memeras
upeti atau pajak kaum tani, untuk secara lebih bebas menempuh jalan mereka
masing-masing. Kenyataannya adalah bahwa baik kehidupan kota maupun
kehidupan daerah pedalaman tidak pernah benar-benar memiliki daya tahan. Kota-
kota, di bawah pimpinan wasir-wasir dan sultan-sultan mereka, selalu berusaha
menjangkau ke daerah-daerah sekitar mereka untuk menguasai suku-suku. Akan
tetapi, yang disebut belakangan ini tetap pada cara hidup mereka yang tak mau
diatur dan terus membangkang, lagi pula mereka tak tahu berterimakasih.
Ketidakpastian hidup sebagai penggembala ternak dan petani di dalam lingkungan
yang iklimnya tidak teratur, secara fisik miskin dan boleh dikatakan sudah rusak
itu, kadang-kadang memaksa orang-orang suku itu untuk memasuki kota-kota,
kalau pun tidak sebagai penakluk ya sebagai pengungsi, atau kadang-kadang
menghalau mereka ke tempat-tempat di luar jangkauan kota-kota itu seperti di
celah-celah pegunungan atau di gurun pasir, dan kadang-kadang menggerakan
mereka untuk mengepungnya dan, dengan jalan menutup jalan-jalan perdagangan
yang merupakan sumber kehidupan kota-kota itu, memeras mereka. Metabolisme
politik Maroko yang tradisional terdiri dari dua perekonomian yang berfungsinya
terputus-putus, di mana yang satu berusaha hidup dari yang lainnya, menurut
musim dan keadaan.
Dan ketiga, kota-kota itu bukan pulau-pulau kristal di laut yang tak
menentu. Sifat serba-barulah yang menandai kehidupan di kota boleh dikatakan
tidak berbeda dengan yang terdapat pada kehidupan di pedalaman, hanya saja
agak terbatas, sementara bentuk-bentuk masyarakat kesukuan mempunyai bagan
yang sama jelasnya seperti bentuk-bentuk masyarakat metropolitan.
Sesungguhnya, bentuk-bentuk itu sama, digerakkan oleh cita-cita yang sama,
hanya saja disesuaikan dengan lingkungan-lingkungan yang berbeda. Yang
berbeda-beda di Maroko yang tradisional bukanlah terutama Cara hidup yang
ditempuh oleh berbagai kelompok manusia, melainkan relung-relung ekiulogis di
mana mereka berusaha untuk hidup.
Oleh karena itu, meskipun ada kesan yang sebaliknya yang ditimbulkan
oleh adanya dekorasi-dekorasi Andalusia, adat-istiadat Berber, dan ketata-
negaraan Arab, cara hidup yang dasar di le Maroc disparu, untuk menggunakan
istilah lainnya dari retorika yang tajam dari Zaman Protktorat, dapat dikatakan
sama dimana-mana: giat, serba-berubah, keras, penuh khayalan, taat beribadah,
dan tidak sentinrental, akan tetapi terutama sekali, gigilh dalam mernpertahankan
hak-hak mereka. Yang terdapat di sana adalah suatu masyarakat, di mana banyak
sekali hal tergantung kepada kekuatan Watak dan bagian terbesar dari hal-hal
lainnya kepada reputasi kerohanian. Di kota dan di luarnya, leitmotiv-leitmotiv
adalah politik orang-kuat dan kesalahan orang suci, dan pemenuhannya, apakah
itu begsar atau kecil, apakah padu tingkat kesukuan atau dinasti, terjadi apabila
kedua hal ituberpadu, untuk beberapa lama, dalam diri seorang tokoh. Orang yang
menjadi tokoh pusat, apakah ia sedang menggempur tembok-tembok kota atau
sedang membangunnya, adalah orang orang suci yang ahli perang.
Hal ini temtama nampak dengan jelas pada saat-saat peralihan yang
penting dalam sejarah Maroko, perubahan-perubahan yang berulangkali terjadi
dalam arah politik, di mana identtitas sosialnya ditempa. ldris II, pendiri Fez di
abad kesembilan dan raja penting yang pertama di negeri itu, adalah sekaligus
seorang keturunan Nabi, seorang pemimpin militer yang perkasa, dan seorang
pemurni agama yang penuh pengabdian, dan ia tidak akan merupakan tokoh yang
berarti dalam salah satu kedudukan itu tanpa sekaligus juga memegang kedua
kedudukan lainnya. Gerakan-gerakan Almoravid dan Almohad sama-sama
didirikan -- yang pertama Sekitar pertengahan abad kesebelas, yang kedua
menjelang pertengahan abad kedua belas oleh pembaru-pembaru visioner yang
kembali dari Timur Tengah dengan tekad untuk tidak sekedar mencela keras
kesalahan-kesalahan melainkan untuk meniadakan penycbab-penyebabnya.
Revolusi yang mereka mulai dan yang kehabisan tenaga dalam abad kelimabelas,
serta ambruknya orde politik yang telah diciptakan oieh revolusi itu, disusuli oleh
apa yang merupakan kekacauan spiritual yang paling besar yang pernah dialami
oleh negeri itu: yakni yang dinamakan Krisis Marabout. Orang-orang suci
seteinpat, atau disebut kaum marabout -- keturunan-keturunan Nabi, pemimpin-
pemimpin persaudaraan Sufi, atau sekedar orang-orang yang penuh semangat
yang telah berhasil menimbulkan suatu kejadian yang aneh dan mengerikan
bermunculan di seluruh negeri dan masing-masing berusaha secara pribadi untuk
merebut kekuasaan. Periode anarki teokratik dan antusiasme golongan agama
yang timbul barn dapat diakhiri dua abad kemudian (dan itupun hanya untuk
Sebagian saja) dcngan semakin berkuasanya dinasti Alawiyah yang masih
memerintah, lagi-lagi di bawah seorang keturunan Nabi Muhammad yang
bertekad untuk mengadakan pembaruan-pembaruan. Dan akhirnya, ketika sesudah
1911 orang--orang Perancis dan Spanyol turun tangan tuk menguasai negeri itu
secara langsung, maka bangkitlah sejumlah besar marabout yang berjiwa prajurit,
terpencar di sepanjang daerah-daerah pinggiran kerajaan yang sedang ambruk itu,
untuk inemimpin penduduk, atau sebagian dari padanya, dalam usaha gagah-
berani dan nekat yang paling akhir untuk menghidupkan kembali orde lama
Maroko, yang Sejak pertengahan abad yang sebelumnya, Sudah mulai
menghilang, secara pelan-pelan namun tak terelakkan lagi.
Bagaimanapun, sejauh yang menyangkut persoalan kita dapatlah dikatakan
bahwa ciri Maroko yang bersifat menentukan adalah bahwa meskipun
kelihatannya mungkin paradoksal, titik berati kulturalnya tidak terletak di kota-
kota besar melainkan pada suku-suku yang mobil dan agresif, yang pada satu Saat
bersekutu dan pada saat lainnya terpecah-pecah, yang tidak saja mengganggu dan
memeras kota-kota itu melainkan juga menentukan pertuinbuhan mereka Dari
suku-suku itulah timbulnya dorongan-dorongan yang membentuk peradaban Islam
di Maroko. Dan stempel mentalitas inereka tetap melekat padanya, tak peduli
sofistikasi-sofistikasi Arab-Spanyol yang bagaimana pun yang dapat dimasukkan
ke dalam beberapa segi pilihan dan untuk beberapa saat yang luar biasa, oleh
kaum ulama kota yang mengucilkan diri dari alur pemikiran setempat. Di masa itu
-- dan sampai tingkat tertentu sekarang pun - -Islam di Barbaria pada dasarnya
merupakan Islam pemujaan orang sucidan kekerasan moral, kekuatan magis dan
kesalehan agresif. Dan, untuk tujuan-tujuan praktis, dapat dikatakan bahwa hal itu
berlaku baik di gang-gang di kota-kota Fez dan Marrakech maupun di daerah-
daerah yang terbentang luas di Atlas atau Sahara.
Di Indonesia, sebagaimana telali saya katakan, keadaannya berlainan sama
sekali. Negeri itu, kini dan selama era Kristen, pada dasarnya lebih merupakan
satu masyarakat petani dari pada kesukuan, terutama di pusatnya yang sangat
berkuasa, Jawa. cara menanam padi di sawah yang intensif dan sangat produktif
telah meletakkan landasan-landasan ekonomi yang utama dari kebudayaannya
semenjak adanya catatan-catatan mengenai sejarahnya, dan arkotipe nasionalnya
bukanlah seorang shik yang gelisah, agresif dan ekstrovert, yang mengelola
kekayaannya, menumpuk reputasinya dan menantikan kesempatan yang
menguntungkan baginya, melainkan pembajak yang Sudah mapan, rajin bekerja,
dan introvert, yang selama dua puluh abad merawat sawahnya, berbaik-baik
dcngan tetangga-tetangganya dan menghasilkan pangan bagi atasan-atasannya. Di
Maroko peradaban dibangun di atas keberanian; di Indonesia di atas ketekunan.
Selanjutnya, peradaban Indonesia yang klasik bukan saja di bangun di atas
batu-karang perekonomian petani yang luar biasa produktifnya, akan tetapi
peradaban itu pada instansi pertama sama sekali bukan Islam melainkan Hindu.
Berbeda dengan di Maroko, Islam -- yang baru tiba secara pasti setelah abad
keem-pat belas tidak lagi memasuki daerah yang pada hakekatnya masih
perawan ditinjau dari segi kebudayaan yang Sudah tinggi, dengan mengecualikan
beberapa daerah kantong di Sumatra, Kalimantan dan Sulawesi, melainkan Islam
memasuki Salah satu ciptaan politik, estetik, religius dan sosial yang paling besar
di Asia, yakni negara Jawa Hindu-Buddha, -yang meskipun pada saat itu Sudah
mulai melemah, telah menancapkan akar-akarnya begitu dalam di masyarakat
Indonesia (terutama di Jawa, meski tidak hanya di sana saja) sehingga
pengaruhnya mampu bertahan bukan saja terhadap Islamisasi, melainkan juga
terhadap imperialisme Belanda dan, setidak-tidaknya hingga kini, juga terhadap
nasionalisme modern. Mungkin persamaan antara peradaban dan manusia, adalah
bahwa bagaimana besarnya pun perubahan yang mereka alami di kemudian hari,
dimensi-dimensi fundamental dari watak mereka, struktur kemungkinan-
kemungkinan di mana sampai batas-batas tertentu mereka akan selalu bergerak,
sudah ditentukan di dalam periode plastis ketika mereka mula-mula sedang
terbentuk. Di Maroko, periode itu adalah Zaman dinasti-dinasi Berber yang,
apapun ciri-ciri setempat mereka yang khas, setidak-tidaknya pada umumnya
digerakkan oleh cita-cita dan konsep-konsep Islam. Di Indonesia, periode itu
(yang sesungguhnya kurang lebih semasa). adalah Zaman negara-negara Hindu
yang besar -- Mataram, Singosari, Kediri, Majapahit -- yang, meskipun
pembentukannya juga sangat terpengaruh oleh tradisi-tradisi setempat, pada
umumnya dibimbing oleh teori-teori Hindu tentang kebenaran kosmik dan
kebajikan metafisik. Di Indonesia, Islam tidak membangun melainkan merebut
satu`peradaban.
Kedua fakta itu, yakni bahwa dorongan utama bagi perkembangan suatu
kebudayaan yang lebih kompleks -- organisasi kenegaraan yang sesungguhnya,
perdagangan jarak-jauh, kesenian yang solistik dan agama yang universalistik --
tumbuh dari suatu masyarakat petani yang terletak di bagian pusat dan merupakan
poros bagi daerah-daerah yang kurang berkembang di luarnya, dan bukan
sebaliknya, dan bahwa Islam menembus ke dalam kebudayaan berporos ini lama
setelah kebudayaan tersebut mencapai tingkat yang benar-benar mapan, telah
menentukan corak Islam pada umumnya di Indonesia. Dibandingkan dengan
Islam di Afrika Utara Timur Tengah dan malanan di India yang paling
menyerupainya Islam di Indonesia setidak tidaknya sampai belum lama berselang
mudah sekali menyesuaikan diri bersifat tentatif, sinkretistik dan, yang paling
penting, beraneka-ragam. Apa yang bagi begitu banyak bagian di dunia, dan yang
pasti di Maroko merupakan satu kekuatan yang perkasa meski tidak lalu menang
bagi penyatu paduan kultural dan konsensus moral bagi standarisasi sosial dan
kepercayaan kepercayaan dan nilai-nilai fundamental bagi Indonesia merupakan
satu kekuatan yang tidak kurang hebatnya bagl diversifikasi kebudayaan bagi
kristalisasi pengertian-pengertian yang sangat berbeda beda dan malahan saling
bertentangan mengenal hakekat dunia dan dengan demikian mengenai cara hidup
yang sebaiknya di dalamnya. Di Indonesia telah menjelma dalam banyak bentuk
dan tidak semuanya sesuai dengan ajaran al Quran, dan apa pun yang dibawanya
kepulauan yang terbentang luas itu, bukanlah keseragaman.
Bagaimana pun, Islam datang melalui laut dan tidak mengikuti penaklukan
melainkan perdagangan. Oleh karena itu, maka kemenangan-kemenangannya
yang pertama adalah di sepanjang daerah-daerah pesisir yang mengitari Laut Jawa
yang tenang serta jalur-jalur masuknya -- kota-kota pelabuhan yang hiruk-pikuk,
yang sesungguhnya merupakan kerajaan-kerajaan pedagang, di Sumatra Utara,
Malaya Barat-daya, Kalimantan Selatan, Sulawesi Selatan dan, yang paling
penting, Jawa bagian utara. Di daerah-daerah di luar Jawa, kepercayaan baru itu
(artinya baru menurut bentuknya; oleh karena ia datang ke pulau itu bukan dari
Arabia melainkan dari India, maka pada hakekatnya ia bukan merupakan sesuatu
yang begitu baru) pada umumnya tetap terbatas di daerah-daerah pesisir, di kota-
kota pelabuhan dan daerah sekitarnya Akan tetapi di pulau Jawa, di mana titik-
berat kebudayaan terdapat di pedalaman di clataran-dataran tinggi vulkanik yang
luas, dan di mana kehadiran orang-orang Eropa di sepanjang pantai segera
menjadi kekuatan yang berkuasa, ia mempunyai karir yang agak berlainan. Di
daerah-daerah kantong di pulau-pu1au di luar Jawa ia tetap merupakan, atau
setidak-tidaknya berkembang menjadi, jenis kepercayaan yang ekslusivistik, tanpa
dandanan-dandanan dan empati seperti yang kita asosiasikan dengan alur utama
tradisi Muslim, meski di sana pun pertautannya dengan panteisme Hindu, baik di
Nusantara maupun di anak-benua, memberikan kepadanya suatu corak teosoli
yang jelas. Akan tetapi di Jawa -- di mana pada akhirnya terdapat bagian terbesar
umat Islam Indonesia -- corak itu sekaligus menjadi jauh lebih mendalam dan jauh
lebih kurang merata.
Sementara Belanda tems mencengkeramkan kekuasaannya di Jawa dari
abad tujuhbelas sampai abad sembilanbelas, suatu proses diversifikasi kultural dan
religius yang agak aneh berlangsung dengan dalih umum Islamisasi secara
menyeluruh. Kelas-kelas pedagang bumiputra, yang merupakan penganut-
penganut Islam yang paling taat, dihalau dari perdagangan intemasional dan
terpaksa menjadi pedagang-pedagang kecil domestik, dan dengan demikian diusir
dari laut ke daerah pedalaman; kelas-kelas yang memerintah yang- Sudah sangat
terpengaiuh oleh kebudayaan Hindu dipaksa untuk menerima status sebagai
pegawai negeri, sebagai pelaksanaan politik Belanda pada tingkat setempat; kaum
tani yang semakin disedot ke dalam' orbit perekonomian ekspor kolonial, Serta-
merta menyusun barisan dalam satu ledakan solidaritas defensif. Dan masing-
masing dari golongan-golongan utama itu menyerap dorongan Islam dengan cara
yang sangat berlainan.
Kaum bangsawan, yang harus melepaskan ritualisme Hindu akan tetapi
masih menganut panteisme Hindu, menjadi semakin subyektivis, dengan
mempertahankan suatu pendekatan yang pada hakekatnya iluminasionis terhadap
alam gaib, semacam gnostisisme Timur Jauh, lengkap dengan spekulasi-spekulasi
kabalistik dan praktek-praktek metapsikis. Kaum tani menyerap konsep-konsep
dan praktek-praktek Islam, sepanjang mereka dapat memahaminya ke dalam religi
rakyat Asia Tenggara yang bersifat umum, religi yang sama yang sebelumnya
telah menyerap konsep-konsep dan praktek-praktek Hindu, dengan
mempersatukan hantu-hantu, dewa-dewa, jin-jin dan nabi-nabi dalam suatu
animisme yang secara mencolok bercorak kontemplatif, dan malahan filosofis.
Dan kelas-kelas pedagang, yang semakin mengandalkan kepada ibadah naik haji
sebagai cara untuk mempertahankan hubungan mereka dengan dunia Islam yang
lebih luas, mengembangkan suatu kompromi antara apa yang sampai kepada
mereka meialui jalur itu (dan dari rekan-rekan mereka yang lebih polos di pulau-
pulau di luar Jawa) dan apa yang mereka hadapi di Jawa, untuk melahirkan satu
sistim keagamaan yang tidak cukup doktrinal untuk dapat disebut sistim Timur
Tengah dan tidak cukup halus untuk dapat dinamakan sistim Asia Selatan.
Hasilnya secara ke seluruhan adalah apa yang dengan tepat dapat dinamakan
sinkretisme, akan tetapi suatu sinkretisme yang susunan unsur-unsurnya, bobot
dan makna yang diberikan kepada berbagai bahan ramuanya, menunjukkan
perbedaan yang nyata dan, yang lebih penting lagi, semakln besar daii satu sektor
ke sektor lainnya dalam masyarakat.
Pendek kata, menyatakan bahwa Maroko dan Indonesia kedua-duanya
merupakan masyarakat Islam, dalam arti kata bahwa hampir semua orang di
dalamnya (lebih dari sembilan per sepuluh dari jumlah penduduk masing-masing)
mengaku beragama Islam adalah sekaligus menunjukkan perbedaan-perbedaan
dan persamaan-persamaan antara mereka. Keyakinan religius, sekalipun berasal
dari sumber yang sama, merupakan kekuatan yang sekaligus mengkhususkan dan
menyamaratakan, dan sesungguhnya, universalitas yang bagaimana pun yang
berhasil dicapai oleh suatu tradisi keagamaan tertentu, ia timbul dari
kemampuannya untuk mengikat satu perangkat konsepsi-konsepsi tentang
kehidupan yang individual, dan malahan khas, yang Semakin luas namun
demikian tetap mampu untuk menopang dan memperinci itu semua. Dalam hal
yang demikian, maka hasilnya dapat berupu distorsi visi-visi pribadi itu atau
diperkayanya visi-visi tersebut, akan tetapi bagaimana pun, tradisi itu biasanya
tumbuh subur, tak peduli apakah ia menyebabkan distorsi pada kepercayaan-
kepercayaan prive atau menyempurnakannya. Akan tetapi, apabila tradisi itu gagal
untuk benar-benar memecahkan inasalali-masalah tersebut, maka ia mengeras
menjadi Skolatisisme, atau menguap menjadi idealisme, atau memudar menjadi
eklektisisme; artinya ia tidak mempunyai eksistensi lagi, kecuali Sebagai fosil,
bayangan, atau kulit Saja. Paradoks yang sentral dari perkembangan agama adalah
bahwa, oleh karena ia harus berurusan dengan pengalaman kerohanian yang
bertambah luas Secara progresif, maka semakin jauh ia menjangkau, semakin
goyahlah kedudukannya. Sukses-Suksesnya menimbulkan frustasi-frustasinya.
Yang jelas, demikianlah halnya dengan Islam di Maroko dan di Indonesia.
Dan itu adalah benar, tak peduli apakah orang berbicara tentang evolusi
kerohanian yang padaumumnya bersifat spontan dan untuk bagian terbesar
bergerak lebih lanibat, yang brlangsung Sejak masuknya kepercayaan itu sampai
sekitar awal abad ini atau akhir abad lalu, atau tentang pertanyaan-pertanyaan
yang diajukan dengan kesadaran yang menyakitkan akan diri sendiri dan yang
menumpuk terus sejak saat itu dengan kecepatan yang semakin besar Serta
semakin mendesak. Meskipun terdapat perbedaan-perbedaan yang radikal dalam
perjalanan sejarah yang telah ditempuh Serta dalam hasil terakhir (artinya,
kontemporer) dari perkembangan keagamaan mereka, di kedua masyarakat
Islamisasi itu merupakan satu proses dengan dua Sisi. Di Satu Sisi, ia terdiri dari
satu usaha untuk menyesuaikan suatu sistim ritual dan kepercayaan yang
universal, yang secara teoritis Sudah dibakukan dan pada dasamya tak dapat
diubali serta luarbiasa terintegrasinya, kepada realitas-realitas persepsi moral dan
metafisis yang bersifat Setempat, malahan individual. Di Sisi lainnya ia terdiri
dari suatu perjuangan untuk mempertahankan, dalam menghadapi fleksibilitas
adaptif itu, identitas Islam tidak sekedar sebagai agama pada umumnya melainkan
sebagai petunjuk-petunjuk khusus yang disampaikan oleh Tuhan kepada umat
manusia melalui Nabi Muhammad berupa wahyu-wahyu yang harus ditaati di atas
segala-galanya.
Ketegangan di antara kedua keharusan itulah yang telah merupakan tenaga
penggerak dibelakang ekspansi Islam di kedua negeri suatu ketegangan yang
bertambah besar secara progresif ketika cara manusia dan kelompok-kelompok
manusia memandang dan menilai kehidupan menjadi semakin beraneka-ragam
dan tak seirnbang, mula-mula secara berangsur-angsur lalu secara eksklosif,
akibat pengaruh pengalaman-pengalaman sejarah yang tidak sama, kompeksitas
sosial yang bertambah rumit dan kesadaran diri yang semakin tinggi. Akan tetapi
ketegangan itu pulalah yang telah membawa Islam di kedua negeri kepada apa
yang, tanpa mengalah kepada suasana apokaliptik di Zaman kita, dapat secara sah
dinamakan suatu kiisis. Di Indonesia dan di Maroko, benturan antara apa yang
dipesankan oleh Quran, atau apa yang oleh tradisi Sunni (yakni, ortodoks)
dianggap sebagai dipesankan olehnya dan apa yang benar-benar diyakini oleh
orang-orang mengaku sebagai Muslim, menjadi semakin tak terelakkan lahi. Hal
ini bukanlah terutama karena kurang pemisah antara kedua hal itu semakin lebar.
Jurang pemisah itu sejak dulu sangat lebar, dan kiranya saya tidak ingin
mengemukakan argumen bahwa petani Jawa atau penggembala Berber dari 1700
lebih dekat kepada islam ajaran Ash-Shafii atau Al-Ghazali dibandingkan dengan
pemuda berpendidikan Barat di Jakarta atau Rabat sekarang ini. Sebabnya adalah
karena, dengan adanya diversifikasi yang semakin besar dari pengalaman
individual, dengan adanya keanekaragaman bentuk yang menyilaukan yang
merupakan ciri kesadaran modern, tugas Islam (dan sesungguhnya tugas dari
setiap tradisi keagamaan) untuk memberitahukan keyakinan orang-orang tertentu
dan untuk 'memperoleh penerangan mengenai hal itu menjadi semakin sulit.
Untuk dapat dinamakan universal, maka suatu agama pada waktu ini haruslah
mencakup mentalitas-mentalitas ; yang luar biasa anekaragamnya sehingga benar-
benar universal; dan pertanyaan tentang apakah ia dapat berbuat demikian sambil
tetap meiupakan suatu kekuatan yang spesiffik dan persuasif dengan bentuk dan
identitas sendiri, kedengarannya semakin bernada problematis
Strategi-strategi keseluruhan yang telah dikembangkan di Maroko dan
Indonesia selama periode pra-modern untuk menaggulangi dilema sentral ini --
bagaimana caranya menarik orang-orang dengan alam fikiran eksotik ke dalam
komunitas Islam tanpa mengkhianati visi yang telah menciptakannya adalah
seperti yang telah `-saya kemukakan, sangat berbeda, malahan hampir saling
bertentangan sama sekali, sehingga sampai tingkat tertentu bentuk-bentuk krisis
keagamaan yang sekarang sedang dihadapi oleh penduduk kedua negeri itu bagi
yang satu merupakan bayangan cermin dari yang lainnya.
Di Maroko cara pendekatan yang dikembangkan adalah cara pendekatan
yang keras tanpa kenal kompromi. Fundamentalisme yang agresif, satu usaha
yang aktif agar seluruh penduduk menganut ajaran ortodoks yang utuh, menjadi
tema sentralnya, dan itu bukannya tanpa perjuangan.Itu tidak berarti bahwa usaha
itu berhasil sepenuhnya, atau bahwa konsep tentang ajaran ortodoks yang muncul
merupakan sesuatu yang dengan sendirinya akan diakui sebagai demikian oleh
bagian lainnya dali dunia Islam. Akan tetapi, meskipun berbeda dan malahan
mungkin menyimpang, Islamisme Maroko selama berabad-abad menjadi
perwujudan dari suatu jenis perfeksionisme religius dan moral yang menonjol,
suatu tekad yang gigih untuk menegakkan suatu kepercayaan yang murni, sesuai
dengan Quran, dan sama sekali seragam di dalam suatu lingkungan yang dari luar
tampaknya tak mengandung harapan itu.
Cara pendekatan Indonesia (dan khususnya Jawa), seperti saya katakan,
adalah berlainan sekali: menyesuaikan diri, menyerap, bersikap pragmatis dan
menempuh cara yang berangsur-angsur, mengadakan kompromi-kompromi
parsial, perjanjian-perjanjian yang setengah-setengah, dan mengelakkan
persoalannya sama sekali. Hasilnya adalah Islamisme yang tidak berpretensi
sebagai ajaran yang murni melainkan komprehensif; tidak berpretensi memiliki
semangat yang berkobar-kobar melainkan memiliki semangat yang toleran. Juga
dalam hal ini, kita hendaknya jangan mengacaukan tujuan dengan hasil yang
dicapai, atau menyangkzal adanya kasus-kasus yang tidak sesuai dengan
ketentuan tersebut akan tetapi bahwa pada umumnya dapat dikatakan bahwa Islam
di Indonesia bersifat Fabian (menghendaki perubahan berangsuir-angsur) dan di
Maroko Utopis, tidak dapat disangsikan lagi. Juga tak disangsikan lagi bahwa
kelebihan apapun yang tadinya dimiliki oleh kedua strategi itu, baik yang hati-hati
maupun yang langsung menuju tujuan, temyata tidak satupun di antaranya yang
sekarang masih bekerja dengan baik, dan oleh karena itu maka ada bahaya bahwa
Islamisasi di kedua negeri tidak saja akan mandek melainkan sesungguhnya
malahan sudah mulai surut.
Oleh karenanya, maka sejauh yang menyangkut agama, kisah mengenai
kedua bangsa itu pada hakekatnya merupakan kisah tentang bagaimana mereka
telah tiba, atau lebih tepat lagi, sedang dalam proses untuk tiba pada bentuk-
bentuk yang merupakan dua segi yang saling berlawanan dari situasi dilemmatis
yang sama. akan tetapi, agak berbeda dengan caranya kekacauan spiritual ini
biasanya dipandang di Barat, situasi dilemmatis itu bukanlah terutama soal apa
yang harus dipercaya melainkan bagaimana cara untuk percaya. Dilihat sebagai
suatu fenomena sosial, kultural, dan psikologls (artinya, manusiawi), kereligiusan
bukan sekedar mengctahul kebenaran, atau apa yang dianggap sebagai kebenaran,
melainkan menghayatinya, hidup sesuai dengannya dan menyerahkan diri
sepenuhnya kepadanya.
Dalam perjalanan sejarah sosial mereka masing-masing, orang-orang
Maroko dan orang-orang Indonesia telah menciptakan, sebagian dari tradisi-tradisi
Islam dan sebagian lagi dari sumber-sumber lain, citra-citra mengenai realitas
yang sejati, berdasarkan mana mereka memandang hidup dan berusaha untuk
menyesuaikann diri kepadanya. Seperti semua konsepsl keagamaan, citra-citra itu
mengandung pembenarannya sendiri; simbol-simbol (ritus, legende, doktrin,
benda-benda, kejadian) yang mengungkapkan konsepsi-konsepsi itu, memiliki
daya paksa yang intrinsik, daya persuusi yang langsung bagi mereka yang
responsif terhadapnya konsepsi-konsepsi bersinar karena otolitas mereka
sendiri. Sifat inilah yang nampaknya sedang menghilang secara berangsur-angsur
dari konsepsi-konsepsi itu, setidak-tidaknya bagi suatu minoritas yang kecil
namun sedang bertambah banyak.Apa yang di yakini sebagai kebenaran tidaklali
berubah bagi orang-orang itu, atau tidak berubah banyak. Yang telah berubah
adalah cara meyakininya, Kalau tadinya orang hanya percaya saja, maka sekarang
terdapat alasan-alasan, dan itupun tidak begitu meyakinkan; yang tadinya
merupakan putusan sekarang menjadi hipotesa-hipotesa dan itu pun agak
dipaksakan. Tidak tampak sikap skeptisme. yang terus terang atau malahan sikap
munafik yang disadari akan tetapi terdapat banyak penipuan diri sendiri yang
khidmati
Di Maroko, hal itu paling sering menampakkan diri sebagai satu sikap
yang menarik garis pemisah antara bentuk-bentuk kehidupan agama, terutama
yang benar-benar menurut ketentuan Agama Islam, dan kenyataan hidup sehari-
hari. Ketaatan kepada Agama yang terwujud pemisahan yang hampir disengaja
antara apa yang diperoleh dari pengalaman dan apa yang diperoleh dari tradisi,
sehingga kekacauan dapat dihindarkan dan doktrin dapat dipertahankan dengan
jalan tidak mengkonfrontasikan gambar peta dengan pemandangan alam yang
hendak dilukiskannya Utopia dipertahankan dengan jalan membuatnya lebih
utopis lagi. Di Indonesia hal itu paling sering menampakkan diri sebagai
perkembang-biakan abstraksi-abstraksi yang begitu umum, simbol-simbol yang
begitu kabur, dan doktrin-doktrin yang begitu programatik sehingga dapat
diterapkan kepada segala beniuk pengalaman. Kejelasan darighal-hal yang
khusus"yang dirasakan diselimuti dengan teori-teori kosong yang, oleh karena
menyinggung segala hal, lantas tidak dapat menangkap apa-apa Fabianisme
berakhir dengan kekaburan yang muluk. Akan tetapi, formalisme atau
intelektualisme, pokok persoalannya sesungguhnya sama mempunyai pandangan-
pandangan keagamaan dan bukannya di bimbing oleh pandangan-pandangan itu.
Akan tetapi itu semua baru merupakan keretakan di pinggiran bagian inti
dari kedua rakyat itu masih berpegang teguh kepada simbol-simbolklasik dan
menganggap simbol-simbol itu tak boleh dilanggar Atau, setidak-tidaknya
begitulah pada umumnya; kesadaran pada orang-orang, untuk siapa mekanisme
kepercayaan yang diwarisi itu masih berlaku dengan cukup baik (dan barangkali
itulah batas kemampuannya), bahwa mekanisme itu tidak berjalan sebaik itu bagi
orang-orang lain yang jumlahnya semakin besar telah menimbulkan kesangsian
mengenai finalitas persepsi mereka sendiri. Dan yang lebih penting lagi, dengan
beberapa kekecualian mereka yang sudah melonggar ketaatannya kepada simbol-
simbol klasik itu tidak lantas menjadi kebal sama sekali terhadap kekuatannya,
sehingga mereka bukannya memilih cara pendekatan batin atau lahir terhadap
kepercayaan, melainkan terombang-ambing secara tidak pasti dan tidak teratur di
antaranya, kadang-kadang memandang simbol-simbol itu sebagai emanasi dari
yang suci dan kadang-kadang sebagai yang mewakilinya. Dengan mengecualikan
segelintir kaum tradisionalis yang tetap tenang pada satu kutub, dan sekularis-
sekularis radikal yang lebih kecil lagi jumlahnya di kutub lainnya, maka
kebanyakan orang Maroko dan Indonesia berganti-ganti antara situasi menyerah
kepada agama (religiousness) dan apa yang dapat kita namakan menghidupkan
agama (religious-mindedness) dengan kecepatan dan cara yang begitu beraneka-
ragam sehingga sulitlah untuk mengatakan dalam sesuatu kasus tertentu di mana
yang satu berakhir 'dan yang lainnya dimulai. Dalam hal ini, seperti dalam begitu
banyak hal lainnya, mereka seperti kebanyakan rakyat di Dunia Ketiga, dan
sesungguhnya juga seperti kebanyakan rakyat di Dunia Pertama dan Dunia dua
cukup mencampur-adukkan persoalannya. Dalam perjalanan waktu selanjutnya,
jumlah orang yang ingin percaya, atau setidak-tidaknya merasa bahwa bagaimana
pun mereka sebaiknya percaya berkurang dengan laju yang lebih kecil
dibandingkan dengan jumlah orang-orang yang, dalam arti religius yang
sesungguhnya, mampu untuk percaya. Dan di dalam fakta yang kelihatannya lebih
bersifat demografis itu terletak arti dari agama bagi mereka di antara kita yang
ingin menyingkapkan dinamika dan memastikan arah-arah perubahan sosial di
negara-negara baru di Asia dan Afrika.
Perubahan-perubahan pada wajah kehidupan kerohanian pada umumnya,
di dalam corak kepekaan religius, adalah lebih dari sekedar reorientasi-reonentasi
intelektual atau pergeseran-pergeseran dalam iklim emosional, perubahan-
perubahan yang tak berwujud di dalam alam fikiran. Perubahan-perubahan itu
adalah juga, dan lebih mendasar lagi, proses-prosgas sosial, tranformasi-
transfonnasi di dalam kualitas kehidupan kolektif baik fikiran maupun perasaan,
setidak-tidaknya di kalangan manusi, bukanlah sesuatu yang otonom, suatu arus
subyektifitas yang terdiri sendiri, melainkan masing-masing secara tak terelakan
lagi tergantung kepada pemanfaatan oleh individu-individu sistim makna
(systems of significance) yang tersedia secara , bangun-bangun kebudayaan yang
terkandung di dalam bahasa adat-istiadat, kesenian, dan teknologi -- artinya,
simbol-simbol. Hal itu berlaku bagi ketaatan kepada agama maupun setiap
kemampuan manusia lainnya. Tanpa pola-pola makna yang dikembangkan secara
kolektif, disampaikan secara sosial, dan di objekfikasikan secara kultural -- seperti
mitos, ritus, doktrin, azimat atau apa saja -- hal itu tidak akan ada. Dan apa billa
pola-pola itu berubah, sebagaimana hal itu secara tak terelakan lagi jadi secara
kontinu, mengingat fananya segala sesuatu duniawi itu, maka ia pun turut
bembah. Sementara kehidupan bergerak, persuasi bergerak bersamanya dan
sesungguhnya membantunya agar bergerak. Secara lebih terus-terang lagi, apapun
tuhan itu sesungguhnya -- apakah Ia hidup, sudah mati atau hanya sedang sakit-
sakitan -- religi merupakan satu lembaga sosial: kebaktian merupakan suatu
kegiatan sosial, dan kepercayaan merupakan suatu kekuatan sosial. Menelusuri
pola perubahan-perubahannya tidaklah berarti mengumpulkan peningggalan-
peninggalan wahyu atau menyusun riwayat tentang kekeliruan-kekeliruan. Ia
adalah penulisan suatu sejarah sosial tentang imajinasi.
Sejarah macam itulah, yang dipadatkan dan digeneralisasikan, yang akan
saya berikan sketsanya lentang Maroko dan Indonesia di dalam dua bab berikut
ini, lalu, di dalam bab terakhir, menggunakannya sebagai dasar bagi beberapa
komentar yang lebih singkat lagi mengenai peranan agama di dalam masyarakat
pada umumnya.
Di dalam bab berikut ini, saya akan menelusuri perkembangan dan
menunjukkan ciri-ciri dari apa yang dapat kita namakan, untuk sekedar
mempunyai nama baginya, gaya-gaya religius klasik di Maroko dan Indonesia.
Oleh karena gaya-gaya itu, seperti setiap gaya lainnya, tidak dilahirkan dalam
keadaan sudah dewasa melainkan berkembang dan gaya-gaya lainnya, saya tidak
akan menyajikan suatu snapshot yang abadi dari sesuatu yang dinamakan agama
tradisional yang, dalam idiom Maroko, sudah ada sejak dulu-du1unya,
melainkan akan berusaha untuk menunjukkan bagaimana, secara
berangsunangsur, dengan Cara yang beraneka-ragam, dan dengan lebih dari satu
kali menempuh jalan memutar dan mengulur-ulur waktu, konsepsi-konsepsi yang
karakteristik mengenai hakekat yang gaib dan mengcnai cara yang harus
digunakan oleh manusia untuk mendekatinya, menjadi cukup mapan di kedua
negeri masing-masing.
Untuk maksud ini perlu dilakukan beberapa hal. Pertama kisah yang hanya
menceritakan apa yang terjadi sesudah apa dan bilamana sedikit-dikitnya harus
diberikan dalam garis-garis besar nya yang umum; tanpa urutan, deskripsi tentang
masa lampau hanya merupakan Katalog atau dongeng. Kedua, tema-tema
konsepsional utama yang dihasilkan dengan Cara itu harus diisolasi dan
dihubungkan satu sama lain, dan perwujudan-perwujudan simboliknya, Wahana-
wahana kultural bagi pengungkapannya harus dilukiskan dengan agak terpelinci,
sehingga ide-ide tidak di biarkan mengambang di dalam semacam dunia bayangan
dan benda-benda Platonik, melainkan mempunyai tempat tinggal dan nama.
Akhirnya, dan mungkin yang terpenting, hanuslah dilukiskan dan dianalisa
macam tertib sosial di mana ide-ide sedemikian dapat nampak dan memang
nampak bagi hampir setiap orang sebagai hal-hal yang tidak sekedar Wajar
melainkan tak-terelakkan, -bukan opini-opini terpuji mengenai suatu kondisi yang
tidak dikenal, di mana orang merasa senang atau bijaksana atau terhormat jika
mempunyai opini-opini tersebut melainkan pengertan-pengertian yung otentik
mengenai sesuatu yang sudah diketahui dan tak mungkin disangka lagi. Apabila
pernyataan Durkheim yang terkenal bahwa Tuhan itu merupakan simbol
masyarakat tidak benar, dan menurut hemat saya memang tidak hanya maka
masih tetap benarlah bahwa macam-macam kepercayaan tertantu (seperti juga
macam-macam kesangsian tertentu) tumbuh besar dalam macam-macam
masyarakat tertentu. Dan sumbangsig sosiogi perbandingan mengenai agama bagi
pemahaman umum dimensi-dimensi kerohanian dari eksistensi manusia dimulai
dan berakhir dalam penyingkapan kodrat dari berbagai antar-hubungan yang
empiris, artinya menurut hukum, itu. Sebab-sebab yang poko mengapa islam di
Maroko menjadi aktivis keras, dogmatik dan mengandung unsur pemujaan
manusia yang tidak kecil, dan mengapa islam di Indonesia menjadi sinkretistik,
reflektif, beraneka ragam, dan sangat fenomenologis terletak setidak tidaknya
untuk sebagian, di dalam jenis kehidupan kolektif dimana agama islam itu
berkembang bersamanya.
Selanjutny, perubahan perubahan fundamental yang terjadi didalam
kehidupan kolektif itu selama tuju puluh lima atau seratus tahun erakhir, gerakan
kearah apa yang secara samar-samar dan agak meragukan kita namakan
modernisme, mengimplikasikan perubahan-perubahan yang serupa di dalam gaya-
gaya keagamaan klasik itu, dan soal inilahyakni interaksi antara perubahan
religius dan perubahan sosialyang akan saya bahas dalam bab ketiga.
Yang biasanya dianggap sebagai daya penggerak dari metamorfosis sosial
dan kultural yang masih jauh dari selesai itu adalah pengaruh dari Barat, dimana
dinamisme Eropa yang bercorak industrial menggoncangkan alas-alas kebudayaan
tradisional di Asia dan Afrika. Sudah tentu, hal itu tidak salah; akan tetapi energi
rangsangan dari luar itu telah diubah, tidak hanya di Indonesia dan Marolo saja
melainkan di mana pun rangsangan itu dirasakan, menjadi perubahan-perubahan
dari dalam; perubahan-perubahan dalam bentuk-bentuk kegiatan ekonomi, dalam
organisasi politik, dalam landasan-landasan stratifikasi sosial, dalam nilai-nilai
moral dan ideologi-ideologi, dalam kehidupan keluarga dan pendidikan, dan,
ungkin yang paling bersifat menentukan perubahan-perubahan dalam makna
tentang kemungkinan-kemungkinan dalam hidup, dalam pengertian-pengertian
mengenai apa yang orang bisa harapkan, untuk apa orang bisa bekerja, atau
malahan apa yang orang dapa nantikan di dunia ini. Perubahan-perubahan dari
dalam itulah, dan bukan, setidak-tidaknya untuk bagian terbesar, kebudayaan
Eropa itu sendiri, yang di satu pihak telah dijawab dengan perubahan
keagamaangdan di lain pihak dirangsang olehnya. Hanya satu minoritas yang
sangat kecil di kedua masyarakat itu telah mempunyai kontak yang benar-benar
intim dengan peradaban Eropa dan itupun untuk bagian terbesar melalui distomi
yang sangat besar, atau baru saja terjadi, atau kedua-duanya. Yang dialami oleh
kebanyakan orang adalah kontak dengan transformasi-transformasi yang
digerakkan oleh kegiatan-kegiatan peradaban di dalam dirinya sendiri. Apapun
yang memancingnya dari luar, dan apa pun yang' mungkin dipinjam dari luar,
modernitas seperti halnya dengan modal pada umumnya merupakan hasil dalam
negeri sendiri.
Krisis keagamaan di Maroko dan Indonesia telah dan sedang timbul dari
konfrontasi interen antara bentuk-bentuk kepercayaan yang sudah mapan dengan
kondisi-kondisi hidup yang; sudah berubah, dan dari konfrontasi itulah
pemecahan krisis tersebut, jika diinginkan suatu pemecahan, harus datang.
Apabila dikehendaki agar istilah modernisasi memperoleh makna yang penting
serta implikasi-implikasi spritualnya dapat disingkapkan, maka haruslah
ditemukan hubungan-hubungan di antara perubahan-perubahan dalam gaya-gaya
religius klasik itu Serta perkembangan-perkembangan seperti bentuk-bentuk
organisasi ekonomi yang dirasionalkan, pertumbuhan partai-partai politik, serekat-
serekat buruh, kelompok-kelompok pemuda, dan perkumpulan-perkumpulan
sukarela lainnya, hubungan-hubungan antar-seks yang sudah diperbaiki,
munculnya komunikasi massa, timbulnya kelas-kelas baru, dan sejumlah besar
faktor-faktof sosial lainnya yang baru.
Semua itu sudah barang tentu pada umumnya sudah diketahui. Apa yang
belum diketahui, atau setidak-tidaknya belum diketahui dengan baik, adalah
seluk-beluk situasinya, dan hanya dengan mengetahui seluk-beluk itu kita dapat
melangkah lebih jauh dari pada sekedar mengetahui soal-soal yang dangkal
berdasarkan akal sehat, Pernyataan Blake bahwa tidak ada apa yang dinamakan
pengetahuan umum, bahwa segala pengetahuan adalah pengetahuan mengenai
hal-hal yang khusus, munglgin berlebih-lebihan. Akan tetapi tidaklah berlebih-
lebihan untuk mengatakan, setidak-tidaknya sejauh yang menyangkut sosiologi
agama, bahwa tiada jalan menuju pengetahuan umum kecuali melalui semak-
belukar soal-soal khusus yang 1ebat. Saya akan berusaha sedapat mungkin agar
semak-belukar itu tetap dalam keadaan terpangkas dan disiangi secara rapi dan
agar saya tidak bercerita lebih banyak dari pada yang anda ingin ketahui tentang
pertunjukan Wayang di Indonesia atau tentang perayaan memperingati orang-
orang suci di Maroko. Begitu pula, dalam batas-batas sedemikian, saya tidak
dapat membahas dengan sangat terperinci perubahan-perubahan yang tidak
bersifat religius. Namun demikian, dalam bidang ini, orang tidak dapat naik
menuju kebenaran tanpa tumn ke kasus-kasus.
Bagaimana -pun, di dalam bablterakhir saya akan berusaha untuk
menyajikan hal-hal yang lebih relevan dari semua sejarah-mini dan sosiologi-
rnikro ini. Sesungguhnya antropologi itu merupakan suatu ilmu yang licik dan
menyesatkan. Pada saat ia kelihatan secara sangat disengaja jauh dari kehidupan
kita sendiri, ia sesungguhnya sangat dekat; apabila ia kelihatannya sangat bernafsu
untuk berbicara mengenai hal-hal yang jauh, yang sudah terjadi jauh di masa
lampau, atau yang khas, maka ia sesungguhnya berbicara tentang yang dekat,
yang dikenal dengan baik yang kontemporer, dan yang umum. Dari satu sudut
pandangan, seluruh sejaiah Studi perbandingan tentang agama, sejak Robertson-
Smith memulai penelitiannya niengenai ritus-ritus orang-orang Semit purbakala
(dan sebagai ganjaran untuk jerih-payah- nya itu ia dipecat dari Oxford sebagai
orang murtad), dapat dipandang sebagai suatu pendekatan yang tidak langsung
dan malahan berbelok-belok terhadap analisa yang rasional dari situasi kita
sendiri, suatu evaluasi dari tradisi-tradisi keagamaan kita sendiri meski
kelihatannya seolah-olah sedangmengevaluasi tradisi-tradisi keagamaan dan
bangsa-bangsa asing.
Persoalannya tidak berbeda di sini. Dengan bertolak dari keadaan-keadaan
yang khusus di Indonesia dan Maroko menuju negara-negara baru pada umumnya,
saya berharap akan dapat membangkitkan rasa curiga jangan-jangan situasi
dilemmatis mereka adalah juga situasi dilemmatis kita sendiri, jangan-jangan yang
mereka hadapi itu adalah juga yang kita sedang hadapi, bagaimana pun
berlainannya kita mungkin merumuskannya atau mengutarakan jawaban-jawaban
kita. Saya tidak merasa pasti apakah hal ini akan bermanfaat bagi tujuan Terry
Foundation sebagaimana yang telah dinyatakannya, yakni untuk membangun
kebenaran-kebenaran ilmu pngetahuan dan filsafat ke dalam struktur suatu religi
yang diperluas dan dimurnikan yang belum dapat saya yakini benar bahwa itu
merupakan satu ide yang baik. Namun demikian, hendaknya ia paling tidak dapat
menunjukkan kepada orang-orang yang hendak memulai usaha yang begitu berani
kesulitan-kesulitan apa sesungguhnya yang sedang mereka hadapi.
GAYA-GAYA KLASIK
lalu ia memarahi Mulay Ismail karena perlakuannya terhadap para pekerja yang
sedang membangun tembok kotanya.
Tapi Sultan tidak tergerak hatinya dan bgrkata kepada Lyusi; "Yang saya
tahu hanyalah bahwa saya telah menerima anda di rumah saya dan
memperlakukan anda dengan ramah-tamah (satu perbuatan yang' mempunyai arti
yang sangat luhur di Maroko), dan sekarang anda menimbulkan semua kesulitan
ini. Anda harus keluar dari kota saya. Lyusi meninggalkan keraton dan
memasang tendanya di pekuburan yang letaknya sedikit di luar kota dekat tempat
dimana tembok kota itu sedang dibangun. Ketika Sultan mendengar tentang ini ia
mengutus seorang pesuruh kepada orang suci itu untuk menanyakan mengapa ia
tidak meninggalkan kota Shulthan seperti yang telah diperintahkan kepadanya.
Katakan kepadanya, kata Lyusi, saya telah meninggalkan kota anda dan telah
memasuki kota Allah.
Mendengar jawaban itu Sultan menjadi murka dan -segera menaiki
kudanya untuk pergi sendiri kg pckuburan itu, di mana ia menjumpai orang suci
itu sedang bersembahyung. Dengan melanggar ajaran agama, bahwa orang yang
sedang bersembah yang tidak boleh diganggu, Sultan berseru kepadanya,
Mengapa anda meninggalkan kota saya seperti yang telah Saya perintahkan dan
Lyusi menjawab, "Saya telah meninggalkan kota anda dan sekarang berada di
dalam kota Tuhan Yang Maha Besar dan Maha suci. Karena murkanya Sultan
tidak dapat menguasai diri dan segera maju untuk menycrang dan membunuh
orang suci itu, tetapi Lyusi mengambil tombaknya dun membuat garis diatas
tanah, dan ketika Sultan melintasi garis itu kaki kudanya melekat pada tanah dan
dengan pdan-pdan semakin terbenam di dalamnya. Sultan menjadi sangat
ketakutan lalu berdoa kepada Tuhan dan kepada Lyusi ia berkata, Tuhan sudah
menginsyafkan aku! Tuhan sudah menginsyafkan aku! Saya menyesal! Maafkan
aku!. orang suci itu lalu berkata, Saya tidak minta kekayaan atau jabatan, saya
hanya minta agar anda memberikan kepada sebuah dekrit kerajaan yang mengakui
kenyataun bahwa saya ini seorang sherif`, bahwa saya ini seorang keturunan Nabi
dan berhak atas kehromatan, prvilese-privilese dan kemudian yang sesuai.
Shultan meluluskan permintaan itu dan Lyusi, yang masih mengkhawatirkan
keselamatannya, segera pergi ke hutan-hutan Atlas Tengah, di mana ia berdakwah
di tengah-tengah orang-orang Berber (dan terus mengecam Sultann) sampai
akhirnya ia meninggal dimakamkan dan menjadi siyyid, yakni orang yang
makamnnya dikeramatkan.
Dua tokoh, dua kebudayaan; dan seperti kebudayaan-kebudayaan itu,
disamping sangat berbeda satu sama lain juga menunjukan banyak persamaan.
Perbedaan-perbedaan di antara mereka jelas, seperti lazimnya perbedaan. Yang
satu adalah orang kota, yang lainnya orang dari pedalaman. Yang satu seorang
bangsawan yang sudah jatuh dan berusaha mempertahankan statusnya; yang
lainnya seorang anggota suku biasa yang berusaha mencapai tingkat yang lebih
tinggi dari status asalnya. Yang satu adalah seorang yogi dan dari segi kerohanian
semacam bunglon yang menyesuaikan ciri-ciri lahiriah dengan lingkungan-
lingkungan baru sambil tetap mempertahankan kesueian batinnya; yang lainnya
adalah seorang puritan yang fanatik yang dalam keadaan apa pun dan dengan cara
yang bagaimana pun berpegang kepada kesucian pribadi sebagai kekuatan moral
tertinggi. Persamaan-persamaannya lebih sulit untuk ditangkap, seperti lazimnya
dengan persamaan-persamaan, setidak-tidaknya persamaan yang mendalam dan
bukan yang hanya pada kulitnya saja. Persamaan-persamaan itu berdasarkan dua
fakta. Pertama, kedua tokoh itu sangat konservatif, mereka mempertahankan
bentuk-bentuk kesadaran religius yang telah mereka terima terhadap tantangan-
tantangan sosial dan politik yang radikal yang mengancam kelangsungan bentuk-
bentuk itu. Dan kedua, yang menyebabkan usaha mempertahankan bentuk itu
perlu dan makin lama makin nekat adalah justru penetrasi yang semakin dalam
dari tradisi keagamaan yang kelihatannya sudah merupakan tugas mereka untuk
membelanya, yakni agama Islam. Akan tetapi komentar-komentar yang agak
kabur ini, yang menyimpulkan dalam satu kalimat perkembangan religius di
Indonesia dan Maroko sampai akhir abad ke--19, memerlukan penjelasan yang
agak panjang lebar.
Di Indonesia, tradisi kebudayaan yang telah melahirkan Kali jaga, yang
kemudian berjuang untuk mempertahankan pandangan religiusnya setelah tradisi
itu sendiri menghilang, adalah tradisi dari pusat-pusat kerajaan besar di
Jawa.Hindu. Dalam usaha untuk menyimpulkan pandangan itu dengan beberapa
kata, saya akan mencoba untuk mereduksikannya menjadi serangkaian doktrin,
meskipun yang dimaksudkan bukanlah doktrin dalam pengertian perumusan-
perumusan eksplisit yang dipertahankan secara dogmatis melainkan dalam
pengertian prinsip-prinsip implisit yang mengatur kehidupan religius. Yang
pertama dan yang terpenting di antara doktrin-doktrin itu saya namakan Doktrin
Pusat Teladan (The Doctrine of the Exemplary Center); yang kedua, Doktrin
Kerohanian Bertingkat (The Doctrine of Graded Spirituality); dan ketiga,
"Doktrin Negara Teater (The Doctrine of the Theater S-tate). Bersama-sama,
ketiga doktrin itu memebentuk suatu pandangan dunia dan suatu etos yang elitis,
esoteris, dan estetis, dan yang tetap bertahan, meskipun telah mengalami
pcnyesuaian-penyesuaian dan perumusan-perumusan baru yang dipaksakan
kepadanya selama empat ratus tahun Islamisasai, tigaratus tahun dominasi
kolonial, dan duapuluh tahun kemerdekaan, yang merupakan satu tema yang
sangat menonjol di dalam kesadaran bangsa Indonesia masa kini.
Dengan Doktrin Pusat Teladan saya maksudkan paham yang
menyatakan bahwa keraton dan ibukota, dengan raja pada porosnya, sekaligus
membentuk suatu citra dari tertib alam gaib dan suatu paradigma bagi tertib sosial.
Keraton, kegiatan-kegiatannya, gayanya, organisasinya, selumh bentuk
kehidupannya, mencerminkan, meskipun tidak secara sempuma, dunia para dewa,
merupakan tiruan yang dapat dilihat dari alam yang tidak dapat dilihat. Dan oleh
karena itu, maka ia juga merupakan satu ideal yang harus dikejar dalam kehidupan
di Iuar keraton dan di dalam kerajaan secara keseluruhan, dijadikan teladan
baginya, bagaikan anak berteladan kepada ayahnya, petani berteladan kepada
bangsawan, bangsawan berteladan kepada raja dan raja berteladan kepada dewa.
Sesungguhnya, dari sudut pandangan religius, itulah fungsi dan
pembenaran yang dasar dan keraton - yakni untuk menyebarkan peradaban
dengan jalan memamerkannya, untuk membentuk dengan jalan menyajikan
kepadanya suatu pengejawantahan mikrokosmis dari bentuk makrokosmos yang
bisa ditirunya sebaik mungkin. Kesejahteraan negeri disebabkan oleh keunggulan
ibukotanya, keunggulan ibukota disebabkan oleh kecemerlangan keratonnya,
kecemerlangan keraton merupakan pancaran kerohanian rajanya. Ketika Prapanca,
pujangga besar dari keraton Majapahit dan pengarang Negarakertagama, hendak
mengungkapkan kebesaran negara dan rajanya, ia melukiskan seluruh kerajaan
sebagai suatu salinan dari ibukotanya -- rumah-rumah petani diibaratkan istana-
istana para pejabat keraton yang berjejer di sekitar keraton; daerah-daerah yang
penduduknya hidup tenteram dan bahagia diibaratkan ladang yang digarap di
pinggir kota; hutan-hutan dan gunung-gunung yang tidak dihuni orang, yang
sekarang sudah aman untuk dilalui dan dijadikan tempat bersantai diibaratkan
taman-tamannya yang tenang, Ibukotanya ibarat sang Surya dan negerinya ibarat
cahaya yang dipancarkannya, demikian ia berkata di dalam sajaknya.
Faham yang menyatakan bahwa sifat kerohanian tidak tersebar secara
merata di antara sesama manusia melainkan tiap orang mendapat bagian yang
sesuai dengan kedudukannya menurut urutan tingkat martabat sosio-politik, mulai
dari raja di atas sampai ke petani di bawah, boleh dikatakan merupakan
kesimpulan logis yang bisa ditarik dari pandangan yang mengibaratkan kekuasaan
sebagai pusat yang memancarkan sinarnya. Kemampuan melihat ke dalam dengan
memusatkan kesadaranterhadap sumber-sumber keberadaan diri sendiri --
artinya, terhadap yang hakiki -- sebagaimana yang telah ditunjukkan oleh
Kalijaga, tidak hanya berbeda dan orang ke orang akan tetapi perbedaannya itu
menuruti suatu hirarki status yang sangat cermat; bukanlah suatu kebetulan bahwa
Kalijaga dilahirkan sebagai bangsawan. Kenyataan bahwa tidak ada persamaan di
antara manusia, di dalam dan pada dirinya sendiri, mempunyai makna metafisis:
pcrbedaan antara tinggi dan rendah bertepatan dengan perbedaan antara
mereka yang lebih mampu untuk melepaskan diri dari hal-hal yang fana untuk
merenungkan hal-hal yang kekal dan mereka yang kurang mampu untuk berbuat
demikian, artinya, antara yang relatif keramat dan yangrelatif profan. Prestise dan
kesucian merupakan istilah-istilah yang dapat dipertukarkan yang, seperti
kedudukan tinggi dan kedudukan rendah, mengenai tingkatan-tingkatan, dan
hirarki sosial ke atasnya menuju kulmi-nasi yang sama seperti meditasi religius:
'ketiadaan (nonbeing). Hamba harus menghormati majikan, demikian bunyi
sebuah naskah Majapahit lainnya, yang merupakan kumpulan peraturan
pemujaan, majikan harus menghormati penghulu, penghulu harus menghormati
bangsawan, bangsawan harus menghormati pangeran, pangeran harus
menghormati pendeta, pendeta harus menghormati raja-dewa, raja-dewa harus
menghormati kekuatan-kekuatan adikodrati, kekuatan-kekuatan adikodradi harus
menghormati Ketiaadaan Tertinggi.
Pandangan demikian mengandung sejumlah implikasi, di antaranya yang
tidak kurang pentingnya adalah bahwa raja, dengan sendirinya, merupakan obyek
yang paling suci. Dialah yang merupakan poros dari seluruh sistim, oleh karena ia
berdiri pada titik pertemuan antara yang gaib dan yang manusiawi, katakanlah
dengan satu kaki di dunia gaib dan dengan kaki lainnya di dunia manusia.
Lazimnya, hal itu diungkapkan dengan cara menganggapnya sebagai inkarnasi
dewa, atau, dalam .hal agama Budha, sebagai bodhisatva (atau, seringkali sebagai
kedua-duanya). Akan tetapi yang sangat menentukan bagi urutan tingkat
seseorang dilihat dan kemampuan untuk mencapai pencerahan rohani melului
mawas diri yang ketat, adalah mudah tidaknya ia mencapai yang hakiki. Karena
itu raja sekaligus melambangkan titik puncuki apabila orang memandang sistim
itu dari bawah ke atas, atau sumbernya apabila -- dan ini lebih sesuai dengan
faham mengenai pusat teladan -- orang memandangnya dari atas ke bawah. Di sini
yang menjadi masalahnya bukan soal memadukan orang kuat dengan orang suci --
kekuasaan dan karisma mempunyai korelasi yang inheren mulai dari tingkat
puncak masyarakat sampai ke bawah. Masalahnya adalah untuk memperluas
kekuasaan dengan menonjolkan karisma, untuk memperbesar matahan agar dapat
memancarkan sinar secara lebih luas dan lebih menyilaukan.
Dengan demikian maka, untuk melengkapkan lingkarannya, Negara
Teater hanya merupakan pelwujudan kongkrit dari. konsepsi ini. Kehidupan
ritual di keraton -- upacara-upacara massal, kesenian yang sangat halus, tata-
krama yang sangat rumit -- tidak' sekedar merupakan hiasan kekuasaan melainkan
merupakan substansinya. Tujuan negara adalah untuk menyajikan suatu
pertunjukan yang memukau; tugas utamanya bukanlah pertama-tama untuk
memerintah -- pekerjaan itu pada umumnya dilakukan oleh penduduk desa untuk
dan di antara mereka sendiri -- melainkan untuk memamerkan dalam bentuk
upacara keagamaan tema-tema yang dominan dari kebudayaan Jawa. Ibukota
merupakan panggung sandiwara di mana para pendeta dan kaum bangsawan,
dengan dipimpin oleh raja, tak henti-hentinya memamerkan upacara-upacara yang
megah, di `mana rakyat biasa bertindak sebagai penonton, pembawa tombak dan
Sekaligus, melalui upeti dan kerja-bakti yang wajib -ia berikan, sebagai sponsor.
Tingkat kegiatan seremonial yang mampu dilakukan oleh asuatu negara
merupakan ukuran bagi hegemoninya -- oleh karena sernakin efektif tehnik-tehnik
yang dimiliki negara untuk memobilisasi manusia dan peralatannya, semakin
tinggi tingkat kegiatan saremonial yang dapat dilakukannya -- dan untuk
memastikan sampai sejauh mana ia benar-benar merupakan suatu pusat teladan
yang mampu untuk membangkitkan sikap sebagaimana yang, menurut Prapanca,
telah diperlihatkan oleh se1uruh Tanah Jawa terhadap raja Majapahit yang
tiada taranya, yakni' "tak berdaya, menunduklgan kepala, membungkuk,
merendahkan diri
Selama masih ada peradaban agraris dari dataran-dataran persawahan yang
luas di daerah pedalaman dengan keraton-keratonnya - yang santai yang saling
bersaing untuk memungut surplus yang dihasilkan petani, maka selama itu pula
kombinasi yang elegan ini-antara sikap tawakal dan seremonialisme dengan
hirarkisme dapat berlangsung terus. Sebab kedua hal itu merupakan kondisi-
kondisi kehidupan sebagaimana yang diketahui oleh setiap orang mulai dari raja
sampai budak. meski dari sudut pandangan yang berbeda, dan pasti dengan
perasaan yang berbeda-beda dan mungkin malahan dengan keyakinan yang
berbeda-beda, Serta memberikan suatu penafsiran umum, atau katakanlah
pembenaran, tentang apa sebabnya keadaan mereka demikian. Yang
diungkapkannya dalam bentuk simbolis dihadapan orang dalam pengalaman yang
sesungguhnya, dan apa yang dihadapi orang dalam pengalaman yang
sesungguhnya dibennya bentuk yang lebih luas dan makna yang lebih dalam.
Keadaannya merupakan satu lingkaran; tetapi religi, apabila dipandang sebagai
suatu fenomena manusiawi, selalu demikian halnya. la memperoleh daya
persuasinya dan suatu realitas yang didefinisikannya sendiri. Sumber vitalitas dari
setiap kepercayaan, sekalipun kepercayaan yang begitu implisit dan tanpa ajaran
yang tersusun secara sistimatis seperti kepercayaan Jawa Hindu, terletak dalam
kenyataan bahwa ia iiieiiggambarkaii struktur eksistensi yang paling hakiki
dengan Cara sedeniikian rupa sehingga peristiwa-peristiwa dalam kehidupan
sehuri-hari kelihatannya berulang kali membenarkannya. Hanya jika lingkaran
magis ini putus dan konsep-konsep religius tidak lagi memancarkan realisme yang
bersahaja, apabila dunia yang dialami dan dunia yang dibayangkan kelihatannya
tidak lagi sekedar saling menjelaskan, akan timbullah kebingungan.
Putusnya lingkaran seperti itulali yang pasti telah diakibatkan oleh
kebangkitan kerajaan-kerajaan di pesisir utara, tidak hanya bagi orang-orang
terkeinuka seperti Kalijaga, akan tetapi bagi sejumlah besar orang Jawa dari
kalangan biasa. Bukan sekedar masuknya Islam -- sebab hal itu dengan mudah
dapat diserap, seperti yang telah terjadi di kalangan-kalangan atas, tanpa
menimbulkan perubahan pandangan yang inendasar -- melainkan ekspansi yang
mendadak dari kelas-kelas pedagang, yang terdiri dari orang-orang asing dan
orang-orang setempat secara campuraduk, yang telah melahirkan satu unsur yang
tidak dapat disesuaikan dengan pandangan dunia Hindu. Memang benar bahwa
sudah sejak berabad-abad terdapat kaum pedagang di daerah-daerah pantai, tidak
hanya di Jawa melainkan juga di Sumatera Kalimantan dan Sulawesi. Akan tetapi
yang merupakan hal baru dalam perkembangan dalam abad-abad ke-l5 dan ke--16
itu adalah adanya ancaman bahwa pusat kekuasaan politik dan ekonomi di
nusantara akan bergeser, dan selama lebih dari satu abad memang telah bergeser,
ke tangan kaum pedagang itu. Di kerajaan-kerajaan bandar, perubahan kuantitatif
menimbulkan perubahan kualitatif. Kaum pedagang itu, yang terbagi dalam
kelompok-kelompok etnis dan berdiam tidak di sekitar keraton setempat
melainkan sekitar mesjid dan pasar, dengan mudah berpindah-pindah dari satu
kota ke kota lain dan keluar masuk nusantara, dan oleh karena mereka terlalu
sibuk berdagang untuk memikirkan soal jabatan atau tatakrama, mereka
menjungkir-balikkan hirarki status, mengacaukan negara teater, dan menganggap
sepi pusat teladan -- artinya, mereka mencetuskan suatu revolusi sosial.
Dengan munculnya Mataram yang, meskipun secara resminya menganut
agama Islam, secara sadar mencontoh Majapahit, revolusi itu dapat dibendung --
meski hanya untuk sementara Seperti ternyata kelak. Akan tetapi menjelang saat
itu, revolusi terSebut telah berlangsung cukup lama sehingga dapat memasukkan
Suatu unsur baru ke dalam stmktur sosial Jawa dan, oleh karena banyak di antara
pedagang-pedagang itu berasal dari daerah-daerah luar Jawa, juga ke dalam
struktur sosial Indonesia. Meskipun penduduk -- pada mulanya tentunya mayoiitas
yang sangat besar dari mereka -- tetap menganut pandangan dunia Hindu
meskipun Secara nominal mereka sudah beralih ke agama Islam, namun
pandangan dunia itu tidak lagi tanpa saingan, satu saingan yang, dengan semakin
meningkatnya kegiatan perdagangan dan kontak dengan pusat-pusat dunia Islam,
semakin bertambah kuat. Suatu tema baru -- ketegangan antara daya pesona
Majapahit dan daya tarik Quran -- memasuki kehidupan rohani Indonesia dan
dimulailah apa yang nantinya akan mempakan suatu diferensiasi yang sangat
mendalam dari tradisi religius di negeri itu.
Bagian utama dari diferensiasi, dan dengan demikian pembentukan yang
deiinitif daai gaya religius klasik di Indonesia, berlangsung dalam kurun waktu
selama tiga abad, secara kasarnya dari 1530 sampai 1830, di mana negeri itu
berubah dari semacam toko rempah-rempah bagi Eropa menjadi sebuah
provinsinya. Hegemoni belanda, yang dilawan mati-matian oleh Majapahit
namun pada akhirnya berhasil ditegakkan telah merongrong sendi sendi tradisi
negara teater begitu rupa selungga pada akhirnya yang tinggal lebih merupakan
teater dari pada negara. Pandangan yang menganggap kuasaan sebagai teladan
pandangan yang menganggap pemujaan sebagai Jalan menugu Nirwana dan
pandangan yang menganggap dunia sebagai layar yang kosong yang sekarang
mengenakan pakaian Islam, terus berlangsung dan, anehnya, malahan berkembang
subur. Akan tetapi mereka yang menganut pandangan itu telah berubah secara
progresif, meskipun tidak tanpa insiden, dari pembela oligarki yang tak kenal
kompromi, yang berusaha keras untuk membangun kembali Majahapit, menjadi
pejabat-pejabat yang menurut yang sudah merasa puas dengan hanya
mengenangnya saja.
Penghancuran Mataram, yang pada dasarnya telah selesai menjelang
pertengahan abad ke-18, mengakibatkan terjadinya pembagian kerja antara tiga
fihak di bidang politik di Indonesia, suatu hal yang ciri-cirinya yang khas, yang
istimewa, belum mendapat apresiasi sebagaimana mestinya. Kekuasaan tertinggi,
dalam pengertian kedaulatan, dengan sendirinya berada di tangan Belanda,
meskipun intensitas pelaksanaannya tidak seragam di seluruh nusantara Akan
tetapi, pelaksanaan sehari-hari dari pemerintahan setempat hampir di seluruh
negeri berada di tangan pamongpraja bumiputera yang anggota-anggotanya adalah
para ahli waris dari kelas yang tadinya memerintah dan merupakan semacam
aristokrasi kantor (white-collar aristocracy). Dan simbol-simbol kekuasaan, tanda-
tanda kepemimpinan di bidang religio-kultural, tetap berada di keraton-keraton
yang sudah ditaklukkan dan di tangan kaum bangsawan yang sudah dilucuti yang
bertahan di keraton-keraton itu. Suatu sistiln politik, di mana sumber-sumber
kekuasaan, alat-alat pemerintahan, dan landasan-landasan legitimasinya begitu
terpisah satu sama lain dengan sendirinya akan goyah. Akan tetapi yang satu ini
ternyata dapat bertahan dan malahan tumbuh `subur selama kurang-lebih dua ratus
tahun. Untuk sebagian, hal ini disebabkan karena kekuatan Belanda begitu unggul,
Akan tetapi, untuk sebagian juga disebabkan karena matahari Majapahit masih
terus memancarkan sinamya, meski dari kejauhan dan harus menembus kabut.
Dalam kenyataannya, dengan dibatasinya peranan keraton-keraton lama
yang sekarang hanya merupakan tempat kegiatan rohani bagi pangeran-pangeran
yang dipensiun, maka terjadilah semacam kebangkitan kembali kebudayaan.
Kaum bangsawan yang telah dibebankan, untuk seluruhnya atau untuk bagian
terbesar, dari urusan politik, sekarang dapat mengabdikan diri kepada usaha
menyempurnakan segi ekspresif dari kekuasaan -- dengan mengembangkan
peraturan-peraturan tatakrama sampai ke tingkat yang hampir-hampir merugiakan
obsesi, memperhalus kesenian dan malahan menciptakan kesenian-kesenian baru,
dan di sisi religio-filosotis memelihara semacam mystagogy yang lesu yang
biasanya terdapat pada ora.ng yang merasa sedang mempertahankan peninggalan-
peninggalan dari Zaman kejayaan yang sudah silam. Keadaan ini, yang oleh G.P.
Rouffaer dengan jitu sekali dinamakan musim bunga Bizantium, selanjutnya
merupakan sumber dari mana kaum ningrat, yang sudah menjelma menjadi
pamongpraja, sebagai wahana dan bukan lagi sebagai mata-air kekuasaan di
Indonesia, menimba gaya hidup mereka, nilai-nilai sosial mereka, dan cita-cita
religius mereka. Menjelang permulaan abad ke-19, pola di mana golongan priyayi
menegakkan kekuasaan yang sesungguhnya tidak dimilikinya, atas nama suatu
cita-cita kebudayaan yang sesungguhnya tidak berlaku, merupakan karakteristik
yang terdapat tidak hanya di Jawa melainkan juga, dalam bentuk yang agak
berbeda dan tidak begitu intensif, di pulau-pulau lainnya. Warisan Kalijaga yang
dilahirkan di keraton telah berpindah ke tangan satu kelas pegawai kantor.
Akan tetapi, apabila pemerintahan berlangsung terus di Indonesia, maka
demikian pula halnya dengan perdagangan; apabila indicisme berlangsung tems,
maka demikian pula Islam. Dengan dikuasainya perdagangan internasional,
perdagangan jarak jauh, oleh Belanda -- yang juga merupakan hasil peljuangan
yang berlangsung lama, meskipun dalam hal ini Belanda lebih banyak berhadapan
dengan pedagang-pedagang yang cekatan dari pada dengan raja-raja yang keras
kepala -- maka pedagang-pedagang bumiputera didesak ke daerah pedalaman di
mana mereka membentuk suatu sistim pemasaran domestik. Dan sistim ini, yang
ada akhirnya menghubungkan seluruh nusantara dalam suatu jaringan
perdagangan setempat yang kontinu, menyebarkan pula nada umum dari
moralisme Quran (orang ragu-ragu untuk menggunakan kata yang lebih
substansial untuk itu) yang telah nenyertai ledakan perdagangan di abad-abad ke-
14 dan ke-15. Sementara Indicisme berlindung di kantor, maka Islam berlindung
di pasar.
Maka di sekitar jaringan pasar inilah lembaga-lembaga sosial islam
tumbuh di Indonesia, disekitarnya dan dari padanyalah telah menghablur suatu
komunitas Islam dalam arti yang sebenarnya, suatu umma. Saya akan membahas
kisah dan argumen ini secara lebih terperinci .lagi di dalam bab berikutnya, di
mana saya akan menyoroti masalah perubahan religius yang terjadi belakangan
ini. Untuk sementara, yang perlu saya kemukakan adalah bahwa kesadaran Islam
yang ortodoks -- artinya, yang setidak-tidaknya ingin dan, meski dengan
canggung dan melalui jalan yang berliku-liku, benar-benar berusaha untuk
mengikuti ajaran al Quran -- muncul sebagai suatu kontra-tradisi di Indonesia
suatu pandangan yang bertentangan dengan pandangan umum. Gaya religius yang
utama di pusat masyarakat ketika itu (dan, dengan beberapa penyesuaian, sampai
sekarang pun) adalah gaya yang berdasarkan pandangan negara teater dan pusat
teladan yang dipelihara terus oleh generasi-generasi Kalijaga yang digaji, dengan
jalan menutupinya, tipis-tipis, dengan pakaian Arab. Islam Sunni ketika itu, dan
sampai sekarang pun, tidak merupakan alur utama kerohanian di Indonesia.
Dengan kubu-kubu utamanya di daerah-daerah pinggiran nusantara, di daerah-
daerah kantong yang tidak dipengaruln kebudayaan Hindu dan letaknya strategis
di Sumatera dan Sulawesi, serta dengan dukungan utama di kalangan suatu kelas
sosial yang marginal, yakni pedagang-pedagang kecil yang berkeliling, ia
merupakan suatu tantangan bagi alur utama itu. Tantangan itu semakin kuat dan
semakin mendesak sementara masyarakat nasional yang sesungguhnya tumbuh
dengan pelan-pelan, namun demikian suatu tantangan yang kekuatannya
terpencar-pencar, dan daya-tariknya tcrbatas dan kemenangan-kemenangannya
bersifat lokal.
Dengan dcmikian, maka menjelang awal abad ke-l9, gambaran keagamaan
di Indonesia -- atau lebih tepat lagi, gambar tempel -- dalam garis-garis besarnya
sudah terbentuk: di pusatnya, secara geografis maupun sosial, versi pamong-praja
dari apa yang ingin saya namakan exemplarisme Majapahit; di bagian pinggiran
dan di celah-celahnya, Islam dari abad pertengahan yang sudah diindosiakan,
yang kadang-kadang bercorak ilmu kebatinan dan emosional, kadang-kadang sulit
dimengerti dan skolastik, kadang kadang dogmatis dan puritan; dan di bawah, atau
dibelakang, atau di sekitar keduanya, religi kerakyatan yang sinkretistik dan
massa petani -- satu soal yang akan saya bahas lebih lanjut nanti -- yang sekaligus
menimba dari padanya, menaturalisasikannya sambil menolak perembesannya.
Alur-alur yang berlainan itu, meskipun tidak pernah dapat didamaikan satu sama
lain, dapat dipersatukan dengan cukup baik di dalam Wadah satu sistini yang lebih
menxpakan semacam keseimbangan kekuatan di bidang kerohanian dari pada
suatu sintesa, yakni suatu keseimbangan kekuatan yang didasarkan atas asas tidak
saling ganggu, suatu pengaturan yang mungkin dijalankan dalam suatu
masyarakat yang masih lebih merupakan suatu himpunan rakyat-rakyat dan suatu
kumpulan kelompok-kelompok status yang secara longgar dihubungkan satu sama
lain oleh beberapa lembaga yang pengruhnya terasa di mana-mana -- yakni
lembaga pamong-praja dan lembaga pasar -- dari pada suatu komunitas nasional
yang terpadu. Dengan menghilangnya masyarakat semacam itu menghilang pula
keseimbangannya.
Di dalam uraian ini, di mana Asia dan Afrika silih-berganti ditampilkan
bagaikan orang bermain jungkitan, marilah kita sekarang kembali ke Maroko, di
mana tradisi keagamaan yang sudah mapan, yang hendak dipertahankan oleh
Lyusi dalam menghadapi transformasi-transformasi sosial, adalah apa yang secara
paling singkat dan jelas dapat diungkapkan dengan istilah maraboutisme.
Marabout adalah perkataan Perancis yang berasal dari perkataan Arab murabit
yang akar-katanya berarti mengikat, menyimpulkan, memasang, melekatkan,
mengaitkan, menambahkan. Dengan demikian, maka seorang murabit adalah
orang yang terikat, tertambat kepada Tuhan, bagaikan seekor unta ditambat
kepada tiang tambatan, sebuah kapal ditambat di dermaga, seorang tahanan
dirantai pada dinding tembok, atau, yang lebih tepat lagi, dari kata ribat, sebuah
kata turunan lainnya yang berarti sebuah tempat suci yang menyempai benteng,
sebuah tempat untuk para marabout, seperti biara bagi para bikisu. Di dalam
pelbagai bentukannya, kata itu terjalin erat`dengan sejarah Maroko. Dinasti
Berber yang pertama dan yang paling besar, yang mendirikan Marrakech dan
menaklukkan Andalusia, yang di dalam bahasa Inggrisnya dikenal sebagai
Almoravid, sesungguhnya bernama Al Murabatin, yang berarti"Kaum
Marabout. Rabat, ibukota negeri itu, berasal dari kata ribat yang berarti
tempat suci", dan memang tadinya ia merupakan tempat yang dianggap suci. Dan
begitulah selanjutnya orang-orang yang, di dalam pengertian yang hampir-hampir
indrawi, terikat, tertambat -- mungkin kata yang paling tepat adalah terbelenggu --
kepada Tuhan (atau setidak-tidaknya dianggap demikian), rnerupakan titik pusat
yang langsung dari emosi keagamaan di Maroko yang sudah si1am. Dan di
Maroko masa kini pun, kekuasaan sentimental mereka belum menghilang.
Isi ikatan ini, demikian pula tanda eksistensinya serta apa yang dihasilkan
olehnya adalah, untuk kembali kepada istilah yang telah saya sebutkan di bagian
atas, baraka. Secara harfiah, bararti berkah, dalam arti karunia ilahi. Akan tetapi,
sebagai pancaran dari arti inti itu, yang mempertegas dan membatasinya, ia
mencakup serentetan pengertian yang saling berkaitan: kemakmuran material,
keseliatan jasmani, kesenangan badani, kesempurnaan, keberuntungan, serta
kecukupan, dan, satu aspek yang paling ditonjolkan oleh penulis-penulis Barat
yang bernafsu untuk memasukkannya ke dalam satu kotak bersama-sama dengan
mana, kekuatan magis. Dalam artinya yang paling luas, baraka bukanlah
sebagaimana yang begitu sering dikemukakan, suatu kekuatan parafisis, semacam
aliran listrik spiritual -- suatu pandangan yang, mesti tidak tanpa alasan sama
sekali, terlampau tentang pusat teladan, ia merupakan suatu konsepsi mengenai
cara yang ditempuh oleh yang ilahi untuk mengatur dunia fana ini. Sebagai suatu
hal yang implisit, yang tidak dikritik dan jauh daripada sistimatis, ia pun
mempakan suatu doktrin.
Lebih tepat lagi, ia merupakan satu cara untuk menerangkan --
pengalaman manusia, semacam penjelasan kultural mengenai kehidupan. Dan
meskipun masalalmya sangat luas dan rumit, namun inti-sari dari keterangan, dari
penjelasan itu, setidak-tidaknya itulah kesan yang saya peroleh, adalah anggapan
(dengan sendirinya juga tak diucapkan) bahwa yang keramat itu menampakkan
diri secara paling langsung di dunia sebagai suatu pembawaan -- suatu bakat dan
suatu kemampuan, suatu kebolehan yang istimewa -- pada orang-orang tertentu.
Analogi yang paling baik (meski belum tepat benar) bagi baraka bukanlah aliran
listrik, melainkan kehadiran pribadi, kekuatan watak, ketegasan moral. Para
marabout dikatakan mempunyai baraka seperti halnya orang memiliki kekuatan,
keberanian, martabat, keterampilan, keindahan atau kepintaran. Seperti sifat-sifat
itu, meskipun tidak sama, j uga tidak apabila semua sifat-sifat itu dijadikan satu,
baraka merupakan satu bakat yang tidak terdapat secara merata pada semua orang,
sedangkan ada beberapa marabout yang memilikinya dalam kadar yang luar biasa
tingginya. Masalahnya adalah untuk memutuskan siapa-siapa (bukan saja di
antara yang masih hidup namun, seperti yang akan kita lihat nanti, juga di antara
yang sudah mati) yang memilikinya, bagaimana kadarnya, dan bagaimana caranya
untuk menarik manfaat dari padanya.
Dan sesungguhnya, dalam beberapa hal, masalah tentang siapa siapa yang
memiliki baraka itu, merupakan masalah teologis yang sentral (sekiranya kata itu
tidak terlalu elegan untuk suatu persoalan yang jarang saja melampaui tingkat
lisan dan praktik di Maroko klasik. Dan untuk masalah itu ada dua golongan
jawaban yang utama, yang kadang-kadang dibelikan secara terpisah dan kadang-
kadang secara serentak: yang berdasarkan keajaiban dan yang berdasarkan garis
keturunan. Yang dianggap sebagai marabout, sebagai orang yang memiliki baraka
adalah orang-orang yang memiliki kesaktian, yang mampu melakukan hal-hal
yang ajaib, atau orang-orang yang dianggap sebagai keturunan langsung dari Nabi
Muhammad. Atau, seperti yang telah saya katakan, kedua-duanya. Akan tetapi,
meskipun kedua prinsip itu seringkali, dan setelah abad ke-17 mungkin paling
sering, dikemukakan senafas, namun kedua hal itu merupakan dua prinsip yang
berlainan, dan di dalam ketegangan antara kedua prinsip itu tercermin sebagian
besar dari dinamika sejarah kebudayaan Maroko. Ketegangan inilah, yang masih
kuat hingga kini, yang terdapat di belakang apa yang kelihatannya sebagai suatu
hal yang aneh pada akhir kisah mengenai Lyusi dan Sultan, sebagaimana yang
saya ceritakan di atas -- yakni di saat orang Berber pegunungan itu, setelah secara
meyakinkan membuktikan kesaktiannya kepada Sultan, masih juga minta agar
Sultan menyatakannya sebagai seorang keturunan sejati dari Nabi : .seorang
sherif. Akan tetapi, seperti halnya dengan sikap Sunan Bonang yang
mengherankan, yang menolak untuk mengajarkan isi Al Quran kepada Kalijaga
setelah yang belakangan ini melakukan meditasi yang luar biasa lamanya,
peristiwa itu bukan sekedar suatu peristiwa yang aneh, suatu anti-klimaks.
Peristiwa itu merupakan citra dari suatu keyakinan yang bereaksi terhadap suatu
peristiwa yang menggoyahkan, yakni bergesernya landasan di mana ia selama itu
berpijak, secara psikologis dan sosiologis, tanpa mempersoalkannya.
Dari sudut pandangan religius, maka kebangkitan dinasti Alawiya, dan
terutama konsolidasinya di tangan Mulay Ismail, mencerminkan pengukuhan
keunggulan pandangan yang mengangap garis keturunan sebagai landasan baraka
terhadap pandangan yang mendasarkannya atas keajaiban; keunggulan anggapan
yang menyatakan bahwa meskipun kesucian itu dengan sendirinya disertai
kesaktian, ia cukup diturunkan oleh darah. Sebagai satu dinasti kaum sherif, yang
garis keturunan patrilinialnya dapat ditelusuri kembali sampai kepada Ali,
menantu Nabi, ia diabadikan, dulu dan sekarang, kepada pengutamaan apa yang
oleh Max Weber dinamakan karisma herediter di atas apa yang ia namakan
karisma pribadi dan kepada usaha untuk menertibkan baraka di dalam batas-batas
suatu sistim status yang tetap dan teratur. Jawaban Alawijaya kepada
maraboutisme adalah untuk mengaturnya: atau, bagaimana pun, berusaha untuk
mengatumya.
Sudah tentu prinsip legitimasi yang berdasarkan kesherifan itu bukan hal
yang baru di Maroko abad ke-17. Seperti telah berulang k'ali saya kemukakan
sebelumnya, orang pertama yang merupakan raja Maroko yang sesungguhnya,
Idr'is II, mengaku keturunan sherif -- ayahnya, .Idris I, telah diusir dari Bagdad
oleh Harun Al Rachid. Akan tetapi kekuasaan Idns II tidak berlangsung lama,
hanya sekitar 20 tahun, dan terbatas di Fez dan daerah sekitarnya. Keluarga ldris
telah memperkenalkan konsep mengenai baraka yang berdasarkan keturunan akan
-tetapi mereka tidak berhasil menegakkan konsep itu; dalam Waktu singkat
maraboutisme yang visioner telah menyapunya sampai hampir habis sama sekali.
Munculnya kerajaan Almoravid yang disusul oleh kerajaan Almohad- - Almoravid
dalam abad ke--11 dan ke -12 dan Almohad dalam abad ke---12 dan ke--13 -
menggambarkan munculnya karisma personal sebagai satu kekuatan yang paling
tinggi di Maroko. Dinasti-dinasti Berber yang besar, yang satu didirikan oleh
seorang zahid messianik dari Sahara, yang lainnya oleh seorang zahid dari Atlas
Besar, sebagaimana dikemukakan oleh Alfred Bell, pada mulanya merupukan
sekte-sekte sebelum berhasil mendirikan imperium. Yakni sekte-sekte reformis,
oleh karena mereka muncul, setidak-tidaknya pada tingkat keagamaan, sebagai
reaksi terhadap aliran-aliran yang menyimpang dari ajaran resmi Serta heterodoks
-- Kharajisme, Shiisme dan malahan pemujaan berhala -- dalam masyarakat
Maroko. Dengan fanatisme yang berkobar-kobar untuk menegakkan hukum yang
dikoditikasikan, suatu fanatisme yang mungkin hanya dapat dimiliki oleh suku-
suku pengembara yang butahuruf, kaum Almoravid turun dari ribat-ribat mereka
untuk menegakkan mazhab Malakiyah yang ortodoks di seluruh dataran rendah
Maroko -- dan sudah tentu, sampai batas tertentu, juga di Spanyol. Dibakar oleh
rasa jijik terhadap kehidupan yang imoril yang bertahan di bawah kulit yang
legalistis itu, kaum Almohad -- nama itu berarti kira-kira yang berpegang kepada
kemahaesaan Tuhan, kaum monnteis mutlak pada giliran mereka keluar dari
ribat-ribat mereka untuk menegakkan suatu puntanisme berdasarkan rasa takut
terhadap Tuhan, satu aliran yang, seperti juga aliran legalisme, untuk seterusnya
tidak pernah hilang dari negeri itu. Seluruh prosesnya jauh lebih kompleks dari
apa yang dikemukakan di atas -- suatu proses yang menyangkut peperangan antar-
suku, perubahan hubungan antara dunia Islam dan dunia Kristen, terbukanya
tanah Barbaria bagi pusat-pusat pemikiran Islam, masuknya suku-suku Arab
Badawi; dan sebagainya. Akan tetapi, bahwasanya orang-orang suci yang
mengangkat diri sebagai prajurit hommes fetiches, sebagaimana mereka dengan
tepat sekali dinamakan oleh Bel -- bahwasanya merekalah yang telah menempa
hati-nurani Maroko yang belum diciptakan, yang malahan telah menempa Maroko
itu sendiri, tidak dapat disangsikan lagi.
Krisis Marabout, yang merupakan kumpulan komunitas-komunitas
kesektean di mana Lyusi telah dibentuk, hanya merupakan puing-puing dari tradisi
itu. Ambruknya dinasti pembentuk yang ketiga, Kaum Marinid, setelah bertahan
selama dua abad, telah mengakibatkan terpecah-pecahnya kekuasaan politik dan
tercerai-berainya hommes fetiches itu ke seluruh negeri. Kerajaan-kerajaan-ribat
di Maroko, yang menyerupai kerajaan-kerajaan pasar di Indonesia, meskipun
asa1-usu1 mereka berbeda dan gaya-gaya mereka merupakan kontras yang satu
terhadap yang lainnya, dibangun dari puing-puing sebuah peradaban yang
kekuatan spiritualnya dapat bertahan lebih lama daripada kemampuan politiknya.
Pada akhirnya, keduanya hanya mempakan selingan, penyimpangan-
penyimpangan sementara yang, ketika mereka berakhir, kelihatannya telah
meninggalkan segala-sesuatunya dalam keadaan yang sama namun yang
sebetulnya telah merupakan revolusi. Di Indonesia, perubahan yang bersifat
menentukan itu adalah munculnya suatu sumber wahyu alternatif -- yakni Al-
Quran; di Maroko, kebangkitan kembali suatu prinsip kekeramatan a1ternatif--
ketunman sherif.
Kemenangan kaum Alawiya, yang sebenarnya telah didahului oleh sebuah
dinasti sherif lainnya, Igaum Saadi, yang hanya muncul iebentar dan gagal untuk
memantapkan kekuasaannya, telah menghadapkan populisme religius dari orang-
orang seperti Lyusi --bagi mereka baraka itu dengan sendirinya tertuju kepada
orang-orang yang, tanpa memandang kedudukan, cukup adil sehingga pantas
memilikinya -- dengan faham yang kebalikannya, yakni faham -tentang
keningratan spiritual yang tumn-temurun. Akan tetapi, seperti halnya tradisi Hindu
tidak menghilang akibat Islamisasi di Indonesia, maka begitu pula anggapan
tentang orang suci yang sakti tidak menghilang akibat munculnya prinsip garis
keturunan di Maroko. Dan pada kenyataannya, meski kelihatannya
mengherankan, kedua prinsip itu -- yakni bahwa karisma itu merupakan bakat
individual dan juga merupakan warisan keluarga -- berpadu menjadi satu. Dalam
hal ini, hasil dari bentrokan antara suatu pandangan yang sudah mapan dan suatu
doktrin yang bertentangan bukanlah diferensiasi gaya religius yang makin
mendalam, melainkan gaya religius yang makin menyatu. Sete1ah abad ke---I6,
demikian tulis Levi-Provencal, pengajaran (tentang agama), apakah itu diberikan
di Fez atau di daerah pedalaman, memberikan cap khas yang sama kepada
kesusasteraan di negeri itu. Kebuclayaan kaum ulama Maroko terbentuk di dalam
periode itu, dan di dalam periode-periode selanjutnya, dan tidak mengalami
perubahan semenjak itu",
Dan seperti dengan kesusasteraan dan kaum ulama, begitu pula halnya,
meski lebih berangsur-angsur dan tidak begitu penuh, dengan masyarakatnya
secara keseluruhaim Pandangan berbagai macam orang -- penggembala, petani,
tukang, pedagang, intelektual, pejabat -- mengenai hakekat realitas dan moralitas
yang sejati tidak terpecah menjadi alur-alur yang khusus yang makin lama makin
berbeda satu sama lain, melainkan dalam pertumbuhannya makin saling
berdekatan, meskipun hal itu kelihatannya agak paradoksal mengingat adanya
antagonisme-antagonisme sosial yang tajam di antara pelbagai golongan itu, dan
menjadi varian-varian lokal mengenai suatu tema utama. Bahwasanya kisah
tentang konfrontasi Kalijaga dengan yang barn berakhir dengan sikap tak kenal
kompromi yang berkedok penyesuaian -- mempertahankan lndisisme di bawah
polcsan Islam dan bahwasanya kisah mengenai konfrontasi Lyusi berakhir
dengan kapitulasi yang berkedok sikap memberontak -- yakni disetujuinya prinsip
mengenai legitimasi religius yang berdasarkan keturunan sherif di dalam suatu
benturan moral dengan orang yang benar-benar mewakili prinsip itu -- merupakan
hal yang sangat membantu diagnosa. Pada saat Indonesia bergerak menuju
perpecahan spiritual, maka Maroko dengan cara yang sama tersendat-sendat nya
namun juga tak kurang pastinya bergerak menuju konsolidasi spiritual.
Keseluruhan proses itu, yakni stabilisasi maraboutisme Maroko secara
sosial dan kultural, biasanya digolongkan ke dalam rubrik Sufisme; akan tetapi
seperti terjemahannya yang paling lazim dalam bahasa Inggns, yakni mysticism,
istilah itu mengacu kepada kekhasan kepercayaan dan prakteknya, yang lalu larut
apabila orang menyimak sekian banyaknya fenomena yang beraneka ragam yang
dimaksudkan dengan istilah itu. Sufisme bukanlah pertama-tama suatu pendirian
tertentu dalam Islam, suatu konsepsi yang khusus mengenai penghayatan
keagamaan seperti Methodisme atau Swedenborgianisme, melainkan suatu
ungkapan yang terpencar-pencar mengenai kehamsan seperti yang telah saya
kemukakan di dalam bab yang lalu bagi sebuah agama dunia untuk menyesuaikan
diri dengan aneka ragam mentalitas dengan bermacam-macam bentuk
kepercayaan setempat namun tetap mempertahan kan esensi identitasnya sendiri.
Meskipun sering diasosiasikan dengan ide-ide dan kegiatan-kegiatan kebatinan,
Sufisme sebagai satu realitas historis terdiri dari serangkaian eksperimen-
eksperimen yang berbeda dan malahan saling bertentangan, yang bagian terbesar
dari padanya terjadi antara abad-abad ke--9 dan ke--19 untuk menghubungkan
Islam ortodoks (yang juga bukan merupakan satu kesatuan yang utuh sama sekali)
secara efektif dengan dunia, mendekatkannya kepada penganut-penganutnya dan
mendekatkan penganut-penganutnya kepadanya. Di Timur Tengah hal itu kiranya
tcrutama berarti inendamaikan pantcisme Arab dengan legalisme Quran; di
Indonesia, merumuskan kembali iluminasionisme Hindu dalam ungkapan-
ungkapan Arab; di Afrika Barat, mendefinisikan upacara-upacara berkurban,
kesurupan, mengusir roh-roh jahat, dan pcrdukunan sebagai ritual-ritual penduduk
islam. Di Maroko halituberarti memadukan konscpsi mengenai kesucian
berdasarkan keturunan dengan kesucian berdasarkan keajaihan mengeramatkan
les hommes fetiches.
Meskipun pada dasarnya merupakan proses yang sama yang menuju ke
arah pandangan yang scrupa mengenai caranya yang gaib menampilkan diri di
dunia. akan tetapi mengingat adanya berbagai macam struktur sosial dan terutama
situasi ekologis, maka perpaduan itu berlangsung di dalam pelbagai ragam
konteks, tiga di antaranya mungkin merupakan yang paling penting suatu kultus
orang-orang suci yang berpusat pada makam marabout-marabout yang telah
meninggal dunia dan menyangkut penetapan kekeramatan keluarga-keluarga yang
merupakan keturunan patrilincal dari marabout-marabout tersebut; organisasi-
organisasi keagamaan, yang dalam bahasa Inggris biasa dinamakan
"brotherhoods" (persaudaraan) yang tersusun dalam cabang-cabang dan
dipimpin oleh ahli-ahli kebatinan, para pendeta dan akhirnya pemerintah sherif
sendiri, Kesultanan dan kultus yang tcrpusat kepadanya, Kita dapat menamakan
ketiga kerangka institusional itu, yang tidak begitu berbeda, bertentangan atau
terpisah satu sama lain seperti kadang-kadang digambarkan orang sebagai
kompleks siyyid menurut nama yang diberikan kepada orang -orang suci dan
kepada makam-makam yang dianggap sebagai makam mereka; kompleks awiya
menurut kata untuk cabang organisasi persaudaraan dan dalam arti luas untuk
organisasi-organisasi persaudaraan secara keseluruhan dan kompleks maxzen
menurut istilah tradisional untuk pemerintah pusat.
Kompleks siyyid, dari dulu hingga sekarang, pada dasarnya merupakan
suatu fenomena kesukuan, meskipun dalam pada itu juga selalu ada siyyid-siyyid
kota, satu bukti lain dari kenyataan bahwa di Maroko mentalitas kequkuan tidak
berhenti di tembok-tembok kota. Unsur-unsur kompleks itu, yang terdapat pada
bentuk yang dianggap normal -- yang boleh dikatakan tidak akan sesuai benar
dengan bentuk-bentuk yang ada -- pertama-tama terdiri dari makam dan segala
kelengkapannya; kedua, orang suci yang dianggap dikuburkan di sana; ketiga,
orang-orang keturunan patrilineal dari orang suci itu; dan keempat, kultus yang
bertujuan untuk memanfaatkan baraka yang terdapat pada makam, pada orang
suci dan keturunannya itu bagi tujuan-tujuan manusia,
Makam itu (atau, kadang-kadang hanya senotafnya saja) berupa sebuah
bangunan dari batu yang kelihatan seperti pejal, dengan bentuk bagaikan orang
berbadan gemuk-pendek, bewarna putih dan biasanya berkubah, berdiri di bawah
pohon, di puncak bukit atau terpencil di tengah-tengah dataran terbuka bagaikan
sebuah sarang senapan-mesin yang sudah tidak dipakai lagi. Beribu-ribu
bangunan kecil tak menarik seperti itu bertebaran di seluruh negeri (orang tak
dapat menempuh jarak sejauh dua puluh mil tanpa menjumpai satu di antaranya),
akan tetapi hanya sebagian kecil saja dari padanya merupakan, atau pernah
merupakan, pusat-pusat kultus yang benar-benar berkembang, siyyid-siyyid dalam
pengertian yang sepenuhnya. Yang lainnya hanya sekedar tempat-tempat yang
sesekali didatangi orang untuk berdoa atau memberi sesajen;
Orang suci yang memberikan namanya kepada tempat keramat itu,
sehingga tempat itu dikenal sebagai Sidi Lahsen Lyusi, Sidi Ahmed ben
Yussef, dan sebagainya, hampir selalu merupakan seorang tokoh quasimitologis,
yang terjalin dalam legenda-legenda keajalban dari jenis yang telah saya ceritakan
mengenai Lyusi. Selanjutnya orang suci itu, setidak-tidaknya yang tergolong di
antara yang lebih penting, adalah sekaligus seorang sherif, seorang keturunan
Nabi, dan apa yang oleh orang-orang Maroko dinamakan mul blad, pemilik
(dalam arti kerohanian) dan tanah daerah sekitar makam atau, jika di daerah
perkotaan, dari suatu kejujuran satu Jenls pekerjaan, sebuah pelabuhan atau kota
secara keseluruhan -- kira-kira serupa dengan orang suci-pelindung menurut
faham Eropa Selatan atau Amenka Latin
Orang-orang yang masih hidup dari keturunan orang suci itu artinya
keturunan menurut garis laki-laki, yang disebut wulad siyyid putera-putera
siyyid adalah juga sherif, seperti orang suci itu, dan dianggap sebagai
pengemban-pengemban sementara dari kekeramatan orang suci itu, baraka-nya,
yang telah mereka warisi darinya seperti halnya ia telah mewarisinya dari Nabi.
Akan tetapi baraka itu tidak terbagi secara merata di antara mereka, sehingga,
mskipun mereka semua, termasuk wanita dan anak-anak setidak-tidaknya
tersentuh olehnya, hanya beberapa orang saja dari mereka -- biasanya hanya dua
atau tiga orang, dan sering kali hanya seorang -- benar-benar diresapi sepenuhnya
oleh baraka itu dan menjadi marabout-marabout hidup yang sejati, seperti yang
mereka buktikan dengan kemampuan mereka untuk melakukan hal-hal yang ajaib.
Malahan bisa terjadi bahwa selama beberapa. generasi tidak muncul marabout-
marabout sejati dalam pengertian tersebut.
Akhirnya, kultus yang ditopang oleh kepercayaan dan legenda itu terdiri
dari usaha untuk mengerahkan baraka, yang terkandung dalam diri orang suci itu,
dalam makamnya dan dalam diri keturunannya, terutama mereka yang menjadi
marabout, untuk tujuan-tujuan, mulai dari yang paling sepele sampai yang paling
luhur. Kita tak perlu menelusuri lebih lanjut sifat yang sebenarnya dari kultus-
kultus itu atau penggunaan-penggunaan sosialnya. kiranya cukup dikemukakan
bahwa dari segi ritualnya kultus itu mencangkup berbagai upacara, mulai dari
kurban hewan dan sembahyang massal sampai kepada tata-cara balas-membalas
keramah-tamahan yang terperinci dan pameran ketangkasan menunggang kuda-
fantasia-fantasia yang sangat terkenal -- sedangkan segi praktisnya mencakup
segala macam kegiatan, mulai dari penyembuhan dan; meramal sampai kepada
penengahan dalam soal.-soal hukum dan (di masa lampau) organisasi militer.
Yang panting adalah behwa bagi banyak orang Maroko, mulai dari orang-orang
Berber di pegunungan, petani-petani Arab di dataran rendah, sampai kepada para
tukang, pedagang dan malahan kerani di kota-kota rompleks siyyid itu merupakan
mekanisme institusional utama bagi mediasi Islam, dan bahwa di pusat lembaga
untuk mengubah kekuatan-kekuatan gaib menjadi kekuatan-kekuatan duniaw
berdiri orang-orang yang di dalam dirinya bertemu garis keturunan yang keramat
dan kesucian pribadi, baraka yang diwarisi katakanlah, baraka karakterologis,
untuk membuahkan kesucian yang sejati. Ernest Gellner dalam tulisannya
mengenai sebuah komunitas Berber masa kini di Pegunungan Atlas Tinggi,
mengemukakan bahwa (orang-orang suci itu) merupakan darah-daging Nabi.
Kandungan Al Quran seolah-olah memancar dari mereka. Islam adalah apa yang
mereka perbuat. Islam adalah mereka. Dan pandangan seperti itu terdapat di
kalangan yang sangat luas dari penduduk Maroko, baik yang berbahasa Arab
maupun-Berber, baik di kota maupun di daerah pedaiaman, selama empat abad
terakhir.
Kompleks Zawiya, setidak-tidaknya pada permukaannya,lebih mendekati
citra kita yang lazim mengenai praktek-praktek Sufi, dibandingkan dengan
kornpleks siyyid. Istilah itu, yang secara harfiahnya berarti tempat sunyi di mana
orang-orang Saleh berkumpul untuk melakukan peibagai latihan kerohanian (akar
kata itu berarti' sudut atau pojok), juga dipakai untuk menunjuk kepada
organisasi-organisasi keagamaan yang bersifat sukarela, organisasi-organisasi
persaudaraan, dimana cabang-cabangnya pada umumnya merupakan semacam
afi1iasi. Lusinan dari persaudaraan-persaudaraan itu, besar-kecil, baik yang
bersifat lokal maupun yang bersifat pan-Maroko, baik yang bercorak formulistik-
menjemukan maupun yang sangat mengutamakan ekstase, telah didirikan selama
periods Aiawiya, ada yang dibentuk dekat permulaannya, seperti kaum Nasiri, ada
yang lahir lebih kemudian seperti kaum Derqawi, dan ada yang baru muncul pada
pertengahan abad yang lalu seperti Kaum Kittani. Menjelang 1939, hampir
seperlima bagian dari kaum laid-laki dewasa di Maroko Perancis diperkirakan
menjadi anggota Salah satu di antara ke---23 persauadaraan yang terkemuka, dan
sekitar seperenam bagian menjadi anggota dari ketujuh organisasi yang terbesar di
antara mereka -yang merupakan sekte-sekte yang berukuran raksasa. Angka-angka
itu hendaknya dianggap sebagai indikator-indakator saja dan orang jangan lupa
bahwa angka-angka itu adalah untuk tahun 1939 dan bukan 1739. Akan tetapi
cukup jelas kiranya bahwa zawiya mempunyai arti yang sama pentingnya dalam
kehidupan keagamaan Maroko setelah abad ke-16 seperti ribat yang
mendahuluinya (dan dan mana untuk sebagian besar ia telah tumbuh)
Di sini pun kita tidak perlu membahas secara terperinci praktek-praktek
seremonial yang pernah terdapat, dan yang masih terdapat hingga kini -- yang
mula-mula merosot dengan tajam tapi kemudian keljhatannya kembali meningkat
-- di kalangan zawiya; cukup kiranya jika dikatakan bahwa praktek-prakek itu
beraneka-ragam, mulai dari .sekedar menguiangi nama Tuhan sambil menghitung
dengan tasbih, melaiui pengurbanan dari sampai kepada pertunjukan-pertunjukan
derwis yang lebih dikenal ,-- tari pedang, tari api, permainan dengan ular, pemain
sa1ing cambuk, dan sebagainya. Bagaimanapun, yang mempersatukan sesuatu
peisaudaraan tertentu adalah ntusnya yang khusus prosedur atau metodanya,
dalam istilah Islamnya tariqa, yang dijadikan ukuran apakah sesuatu cabang
termasuk dalam sekte Derqawi, dan bukannya Qadiri, dalam sekte Qadiri dan
bukannya Tijani. Di luar ciri ini, organisasi translokalnya biasanya sangat longgar
ikatannya, suatu persekutuan tanpa bentuk di antara orang-orang yang secara
samar-samar mempunyai persamaan fikiran. Dari segi sosial, kaum zawiya itu,
yang boleh dikatakan terdapat di mana-mana dan di dalam semua mazhab,
pertama-tama merupakan satu urusan lokal, suatu pojok yang sesungguhnya.
Tokohnya yang berk uasa bukanlah pemimpin dari seluruh sekter yang berada di
tempat yangjauh --jika memang ada pemimpin yang sedemikian -- melainkan
orang yang (dengan meminjam sebuah ungkapan dari Berque) menghubungkan
kekuatan-kekuatan yang sangat terbatas dengan tujuan-tujuan yang sangat besar,
yakni Sheikh yang memimpin cabang.
Bagi anggota-anggota zawiya yang bersangkutan, sheikh (atau sheikh-
Sheikh, karena kadang-kadang terdapat lebih dari seorang) adalah sekaligus guru
yang sah yang mengajarkan tehnik sekte,kanena ia sendiri telah belajar dari guru
lainnya, yang telah belajar dari guru lainnyalagi, dan begitu setemsnya sampai
kepada pendiri sekte itu sendiri, dan orang yang karena telah menguasai tehnik itu
berada paling dekat dengan keadaan suci yang sesungguhnya. Oleh karena tidak
semua keturunan orang suci adalah sherif, maka tidak semua sheikh zawiya
adalah sherif. Akan tetapi seperti halnya dengan wulaci siyyid, orang-orang yang
lebih penting di pntara mereka hampir tidak-boleh-tidak dianggap sebagai sherif;
Tau, sebaliknya, orang-orang yang sudah dapat dipastikan sebagai keturunan
Nabi, mempunyai kesempatan yang paling besar untuk menjadi sheikh Sejak
awalnya beberapa persaudaraan berpusat pada inti suatu marga (dan) sherif yang
besar; beberapa persaudaraan lainnya didirikan dan diabadikan oleh orang-orang
seperti Lyusi yang keluarganya mula-mula tidak mengaku sebagai keturunan
sherif tapi setelah berhasil memasuki golongan elite keagamaan lalu memandang
asal-usul mereka dari segi yang lebih rohani. Bagaimana pun, orang yang telah
berhasil memiliki baraka dalam jumlah yang besar berkat usaha-usaha
spiritualnya sendiri apaakah dengan jalan mengulang-ulang ayat-ayat suci atau
menjilati alat pengupak api yang panas -- hampir selalu cenderung untuk mengaku
bahwa baraka itu juga dimilikinya berkat garis keturunannya.
Mengenai Kesultanan, saya akan membahasnya secara lebih panjang lebar
dalam bab berikutnya, di mana saya akan menyoroti nasib yang dialami oleh
gaya-gaya religius klasik itu di Zaman modern, oleh karena di sanalah, lebih
daripada di dalam lembaga lainnya yang manapun di Maroko, muncul akibat-
akibat yang ditimbulkan oleh kontradikstkontradiksi yang secara implisit
terkandung di dalam Islam, yang dalam teorinya berpegang kepada Kitab Suci
namun dalam kenyataannya. memuja manusia. Di sini hanya perlu dikemukakan
bahwa secara tradisional raja Maroko itu sendiri dalam kenyataannya adalah
seorang homme fetiche, orang yang memiliki karisma, baik berkat keturunan
maupun berkat kemampuan piibadi. Legitimasinya, hak moralnya untuk
memerintah, bersumber sekaligus pada kenyataan bahwa ia adalah seorang sherif
Alawiya dan bahwa ia oleh para ulama di sekeliling tahta kerajaan dianggap
sebagai orang yang paling cocok secara spiritual di kalangan keluarga kerajaan
untuk menduduki tahta. Oleh karena itu maka, setelah ia terpilih, ia menjadi bukan
sekedar orang yang memerintah, melainkan pusat dari suatu kultus kerajaan:
pemimpin agama yang resmi di ncgeii itu, pengejawantahaan tertinggi dari
kekeramatan keturunan Nabi, dan orang yang memiliki kekuatan magis dalam
kadar yang besar yang tak dapat dilukiskan dengan kata. Bahwasanya, seperti
halnya dengan Mulay lsmail, aspek-aspek orang-kuat dari peranannya tak-
terelakkan lagi harus bentrok dengan aspek-aspek orang-suci dan biasanya
mendominasi aspek-aspek itu, adalah satu kenyataan yang panting sekali bagi
pemahaman sifat negara Maroko. Akan tetapi justm kenyataan ini, yakni bahwa
adalah sulit untuk secara sekaligus memainkan peranan raja dan peranan orang
suci, yang menyebabkan kultus itu begitu diperlukan ketika itu (dan saya kira,
sekarang pun masih demikian halnya). .
Kultus kerajaan itu meliputi unsur-unsur seperti pemberian perlindungan
kepada kaum ulama di kota-kota besar di dalam kerajaan, seperti halnya Mulai
Ismail memberikan perlindungan kepada Lyusi sampai yang terakhir itu
memecahkan piring-piringnya; penyelenggaraan upacara-upacara tertentu pada
hari-hari besar utama lslam dan haxi-hari besar lainnya yang ada hubungannya
dengan pemerintahan raja; pengangkatan para kadi dan pejabat-pejabat agama
lainnya; pemujaan umdm terhadap pendiri dinasti Alawite di inakamnya di
Maroko selatan; khotbah sembahyang Jumat yang diucapkan atas nama Sultan;
dan sebagainya. Di sini pun kita tidak perlu membahasnya sampai soal-soal
kecilnya. Yang penting untuk dikemukakan adalah bahwa baraka itu melekat pada
diri Sultan, dan pada diri anggota-anggota tortentu dari stafnya, para Maxzen,
seperti halnya ia melekat pada diri orang-orang tertentu dari keturunan orang-
orang suci dan pada diri pemimpin-pemimpin persaudaraan tertentu. Walaupun di
antara mereka terdapat perbedaan-perbedaan yang sangat besar dalam hal status,
kekuasaan dan jabatan, dan walaupun dalam kenyataannya terdapat pertentangan
yang sedikit-banyaknya bersifat-terbuka di antara mereka, dari segi keagamaan
mereka semua tergolong dalam jenis tokoh yang sama. Pemujaan orang suci di
kalangan rakyat, doktrin sufi (baik di Spanyol maupun di Timur Tengah), dan
prinsip kesherifan, semuanya mengalir dan, bagaikan batang air yang semakin
besar, bertemu dan menyatu di dalam sebuah saluran kerohanian tunggal yang
sudah digali sebelumnya: maraboutisme.
dengan demikian maka, apabila kita perbandingan caranya kedua rakyat
itu musing-masing, secara keseluruhan, mengembangkan suatu konsepsi yang
khas mengenai makna kehidupan, suatu konsepsi yang mereka namakan ajaran
Islam, maka ternyatalah bahwa mistisisme, kesalehan, Pemujaan,
kepercayaan,keyakinan, kekeramatan, tradisi, kebajikun, kerohanian
malahan agama itu sendiri --- semua kata-kata yang digunakan itu, dan yang
memang harus kita pergunakan karena tidak ada kata-kata lain yang dapat
menggantikannya apabila kita ingin berbicara dengan cara yang bisa dimengerti
mengenai pokok persoalan kita itu -- mempunyai makna yang agak berlainan di
dalam kedua kasus itu. Di fihak Indonesia terdapat kebatinan, ketenangan,
kesabaran, keseimbangan, kehalusan perasaan, citarasa tentang keindahan,
elitisme dan sikap yang mendekati obsesi untuk tidak menonjolkan diri,
penghapusan individualitas secara radikal; di fihak Maroko, aktivisme, fanatisme
semangat yang menggelora, keberanian, kekerasan, moralisme, populisme, dan
satu sikap yang mendekati obsesi untuk, menonjolkan diri, intensifikasi
individualitas secara radikal. Apa yang dapat kita katakan, apabila kita
memperbandingkan seorang Jawa yang bersikap tenang seperti Kalijaga dengan
seorang Berber yang fanatik seperti Lyusi, selain rnengemukakan bahwa
walaupun mereka mungkin Sama-sama Muslim dan mistikus, mereka pasti
tergolong Mualim dan mistikus dari jenis-jenis yang agak berlainan satu sama
lain? Tidaklah benar, seperti yang telah dikemukakan orang, bahwa semakin
dalam kita memasuki seluk-beluk suatu persoalan, semakin berkuranglah
pengetahuan kita mengenai persoalan itu pada khususnya? Apakah Studi
perbandingan tentang ageama sudah ditakdirkan untuk hanya terbatas pada sifat
diskriptif yang dangkal dan pada pekerjaan yang sama dangkalnya yang hanya
mementingkan hal-hal yang unik?
Saya kira tidak. Harapan akan dapat dicapainya kesimpulan-kesimpulan
umum di bidang ini tidak terletak dalam semacam pentransendensian kesamaan
dalam isi pengalaman religius atau di dalam bentuk perilaku religius, di antara
bangsa-bangsa atau di antara orang perorangan, ia terletak dalam fakta atau yang
saya anggap sebagai fakta, bahwa keanekaragaman dalam isi dan perilaku itu
bukanlah merupakan sekedar kumulan ide-ide dan emosi-emosi serta perbuatan-
perbuatan yang tidak ada kaitannya satu sama lain, melainkan suatu universum
yang tersusun dengan tertib, yang tertibnya harus kita singkapkan justru dengan
jalan memperbandingkan, secara agak terperinci, kasus-kasus yang diambil dari
berbagai bagiannya. Tugas utamanya adalah untuk menemukan atau menciptakan,
patokan-patokan yang cocok untuk perbandingan itu, kerangka yang cocok di
mana kita dapat menyimak hal-hal yang secara fenomenal begitu berlainan
sehingga justru keberlainannya itu memungkinkan kita untuk memahaminua
secara lebih mendalam lagi. Saya akan berbuar banyak, atau malahan menjanjikan
sesuatu. Akan tetapi, bagaikan selangkah demi selangkah, secara empiris dan
bukannya secara deduktif, kerangka yang demikian itu. Sesungguhnya persamaan
yang terdapat antara Kalijaga dan Lyusi tak ubahnya persamaan yang terdapat
antara planet-lanet dan pendulim-pendulum: dilihat secara tepat, perbedaan-
perbedaan mereka justru memperhubungkan mereka.
INTERLUDA SKRIPTURALIS
Anggapan bahwa agama agama berubah Kelihatannya merupakan suatu hal yang
hampir dapat dikatakan murtad. Sevav, apa itu iman kalau bukan kepercayaan
yang tak tergoyahkan kepada yang kekeal? Pernahkah ada suatu agama, mulai dari
kepercayaan penduduk Australia sampai Ke Anglican, yang menganggap pokok-
pokok sebagai ajarannya bersifat sementara, kebenaran-kebenarannya sebagai hal
yang fana, perintah-perintahnya dapat ditawar-tawar? Namun demikian, agama-
agama itu memang berubah, dan setiap orang apakah ia beragama atau tidak yang
mengctahui barang sedikit tentang sejarah atau memahami barang sedikit apa
yang terjadi dunia ini, mengctahui bahwa agama-agama itu telah berubah dan
akan bcmbah, Bagi orang yang beragama, paradoks ini menimbulkan banyak
masalah yang, sebenarnya tidak termasuk bidang perhatian saya. Akan tetapi bagi
orang yang sedang terlibat dalam pengkajian agama, hal itu juga menimbulkan
satu masalah: apa sebabnya maka suatu lcmbaga yang secara inheren diabdikan
kepada apa yang sudah tetap dalam kehidupan ini temyata menunjukan begitu
banyak pembahan di dalamnya? Rupa-rupanya, tidak ada yang begitu berupa dari
pada apa yang tidak bisa diubah.
Pada tingkat sekular, pemecahan paradoks ini terletak dalam fakta bahwa
agama itu bukanlah yang ilahi, bukan pula semacam manifestasi dari pada yang
ilahi itu di dunia, melainkan suatu konsepsi mengenai yang ilahi itu. Bagaimana
pun rupa yang sesungguhnya dari yang benar-benar rial itu, manusia harus merasa
puas dengan hanya membuat citra tentangnya yang, apabila ia orang yang kuat, ia
anggap sebagai gambaran dari yang sejati itu dan ia pakai sebagai pedoman untuk
menghubungkan diri dengannya. Dan tra-citra yang mana, apabila ada, yang
kelihatannya dianggap sebagai wahyu dan mengandung petunjuk-petunjuk ilahi,
tergantung kepada tempatnya, sebagaimana telah saya coba menunjukkannya di
dalam bah yang lalu, dan juga pada waktunya, sebagaimana yang akan saya coba
nienibuktikannya di dalam bab ini. Apa yang dialami oleh satu bangsa pada
umumnya,juga dialami oleh kepercayaan mereka dan oleh simbol-simbol yang
membentuk dan nienopang kepcrcayaan itu. Di antara orang-orang yang di dalam
bab yang lalu telah saya kemukakan untuk menggambarkan kehidupan kerolianian
di Indonesia dan Maroko dizaman klasik, yakni Kaiijaga dan Lyusi, dan orang-
orang yang akan saya tampilkan di dalam bab ini (dengan Cara yang agak
berlainan), yakni Presiden Sukarno dan Sultan Muhammad V, sebagai ekspresi
kerohanian itu di Zaman kita sekarang, terbentang kurun waktu dimana telah
terjadi revolusi inciustri, kedatangan dan dominasi Barat, kemunduran prinsip
penicrintahan aristorkratis, dan kemenangan nasionalisine radikal. Yang
mengherankan bukanlah adanya perbedaan-perbedaan di antara kedua pasangan
tokoh-tokoh itu, melainkan justru adanya persamaan-persamaan di antara mereka
Akan tetupi, sudah barung tentu yang menarik perhatian kita bukan
sekedar perbedaan-pcrbedaan antara masa silam dan masa kini, melainkan
caranya masa siiam tumbuh menjadi masa kini proses-proses sosial dan kulturai
yang menghubungkan keduanya memang sangatlah panjang jalan yang terhentang
antara Demak atau Meknes di Zaman pra-kolonial dan Jakarta atau Rabat di
Zaman pasca ko1onial. Seorang traclisionalis yang (paling buta sekalipun akan
melihatnya. Masalahnya adalah bagaimana, dan titik awal yang demikian, kita
telah tiba, untuk sementara, pada titik akhir yang sekarang ini.
Untuk melakukan tugas itu, yakni niemberikan penjelasan ilmiah tentang
pembahan- kuitural, sumber-daya intelektnal kita boleh dikatakan kurang
memadai Penibahasan-pembahasan sistimatik mengenai transforniasi masyarakat-
masyarakat dari keadaan di masa lampau, herdasarkan data-data yang kita peroleh
ke keadaan seperti apa yang kelihatannya sekarang ini, pada umumnya rnenempuh
salah satu dari beberapa strategi yang ada yang dapat kita namakan strategi-
strategj indeks (indexicial tipologis (fypological), aku1trasi-dunia (waod
acculturative) dan evolusioner (evolutionary ).
Yang paling sederhana adalah strategi indeks. Sejumlah indeks tentang
kemajuan-kemajuan di bidang sosial yang biasanya tentukan secara semaunya --
indeks-indeks mengenai persentasi orang yang melek-huruf, panjangnya jalan
yang diaspal, besarnya penghasilan per kapita, kompleksitas stmktur pekeljaan
-disusun lalu dipakai untuk mengukur masyarakat yang bersangkutan. Perubahan
terdiri dari pergeseran dad skor yanglebih jauh dari ciri-ciri masyarakat yang
sudah mencapai taraf industrialisasi penuh ke skor yang lebih dekat kepadanya.
Juga apabila tidak digunakan ukuran-ukuran kuantitatif, gaya berfikirnya adalah
sama: perubahan religius terdiri dari (katakanlah) kemerosotan unsur magis dalam
pemujaan dan peningkatan unsur ketakwaan; perubahan politik terdiri dari
(katakanlah) hirarkisasi yang lebih besar dari kekuasaan.
Pendekatan tipologis menggunakan tahap-tahap tipe-ideal - primitif,
kuno, zaman pertengahan, modern, dan sebagainya - dan menganggap
perubahan sebagai semacam terobosan kuantum dari satu tahap ke tahap
be1ikutnya. Karir suatu kebudayaan dipotret dalam serangkajan snapshot yang
diambil pada titik-titik strategis tertentu di sepanjang karir itu dan disusun dalam
suatu urutan yang sekaligus temporal dan logis.
Di dalam pendekatan akultrasi-dunia, modernisasi digambarkan sebagai
suatu proses meminjam dan Barat, dan oleh karena itu maka yang dijadikan
ukulan perubahan adalah sampai sejauh mana nilai-nilai, gagasan-gagasan, dan
lembaga-lembaga yang dianggap telah disempurnakan di Barat - tata-kehidupan
yang tunduk kepada hukum, atau keluarga yang berukuran kecil - telah merembesi
masyarakat yang bersangkutan dan berakar di sana.
Dan di dalam pendekatan evolusioner, yang' sekarang mulai agak
disenangi kembali setelah sekian lamanya dilupakan, kecondongan-kecondongan
tertentu dalam sejarah dunia semakin meningkatnya diferensiasi sosial,
pengawasan atas energi, individualisme dan kesopanan - dianggap sebagai ha-hal
yang intrinsik dari kebudayaan manusia, Dan yang dijadikan ukuran bagi gerak
suatu masyarakat adalah sejauh mana kecondongan-kecondongan itu berhasil
mengekspresikan dirinya dengan melawan kelambatan sejarah.
Menurut hemat saya, di antara pendekatan-pendekatan itu tidak ada yang
memberi harapan sangat baik. Pendekatan indeks ada kegunaannya apabila anda
sedikit banyaknya sudah mempunyai gambaran mengenai sifat proses-proses yang
sedang anda teliti, .dan apabila indeks-indeksnya benar-benar mencerminkan
proses-proses itu. Akan tetapi, apabila ia digunakan sebagai cara untuk
mengetahui proses-proses itu, ia boleh dikatakan tidak ada nilainya. Anda hanya
menumpuk indeks-indeks untuk memperbandingkan masyarakat-masyarakat satu
sama lain tanpa memperoleh gambaran yang lebih jelas mengenai realitas historis
yang dianggap tercermin dalam indeks-indeks itu.
Kelemahan pendekatan tipologis adalah bahwa bukan saja terdapat teori-
teori tahap yang hampir sebanyak ahli teorinya, akan tetapi yang lebih penting
lagi, bahwa pendekatan itu meletakkan tekanan kepada rangkaian gambar-gambar
statis yang terlalu gampang dibakukan apa yang sebenarnya merupakan satu
proses, seolah-olah kita mencoba untuk memahami dinamika pertumbuhan
manusia sebagai satu urutan keadaan-keadaan biologis yang terputus-putus yang
dinamakan masa bayi, masa-kanak-kanak, masa remaja, masa dewasa dan masa
tua.
Model akulturasi-dunia hanya mengandaikan apa yang sebenarnya rnasih
hams dibuktikan (dan, sebenarnya, mungkin salah) yakni bahwa perkembangan
dari apa yang, di dalam idiom ini, kadang-kadang dinamakan
masyarakabmasyarakat terkebe1akang, merupakan gerak masyarakat-
masyarakat itu dalam usaha mendekati kondisi masyarakat Barat sekarang ini dan
bahwa proses ini berlangsung sebagai penyebaran yang boleh dikatakan cepat dari
kebudayaan Barat ke dalam masyarakat-masyarakat itu. Tidak saja ada kesangsian
apakah memang terjadi konvergensi menurut pola-pola Barat itu, akan tetapi
pendekatan ini tidak memberi jalan untuk mengkonsepsikan sumbangan yang
diberikan oleh kebudayaan penerima kepada proses perubahan dengan Cara lain
kecuali cara yang pasif. Dan sesungguhnya, di dalam perspektif ini, kebudayaan
yang sudah' mapan (dan terutama agama yang sudah mapan) biasanya dianggap
sebagai rintangan yang harus diatasi, apabila orang menghendaki perubahan,
artinya akulturasi, Akan halnya teori-teori evolusi, apabila sifatnya tidak begitu
umum sehingga menjadi tak bermakna sama sekali - seperti ungkapan suatu
kemajuan dan kesederhanaan yang kacau ke keadaan kompleks yang teratur dan
hal-hal semacam itu - maka teoria teori itu bersandar kepada gagasan yang dapat
diperdebatkan yakni bahwa kecondongan-kecondongan yang telah diamati dalam
sejarah dunia itu dapat diubah begitu saja menjadi hukum-hukum sejarah dunia,
jalan yang telah dilalui sejarah adalah jalan yang memang harus dilaluinya.
Sudah barang tentu pelbagai strategi untuk mempelajari perubahan itu bisa
dikombinasikan, dan suatu kombinasi yang lazimi umpamanya, adalah
pendekatan evolusi dengan pendekatan tipologis. Akan tetapi, ditinjau secara
bersama-sama atau secara tersendiri-sendiri, pendekatan-pendekatan itu menurut
hemat saya semuanya mempunyai satu kekurangan: pendekatan-pndekatan itu
melukiskan hasil-hasil perubahan, bukan mekanisme-mekanismenya. Mungkin
saja benar bahwa, dibandingkan dengan Indonesia atau maroko di tahun 1967,
lebih tinggi tingkat melek-hurufnya, telah meningkat dari masyarakat kuno
menjadi masyarakatpra-modern (apapun maknanya istilah itu), telah
dipengaruhi secara mendalam oleh nilai-nilai, tehnik dan cara-cara berfikir Barat,
dan memperlihatkan tingkat diferensiasi sosial yang lebih tinggi; Akan tetapi,
menyatakan hal itu berarti mengemukakan persoalan-persoalan, bukan
menjawabnya. Apa yang kita ingin ketahui adalah, dengan mekanisme-mekanisme
apa dan karena sebab-sebab apa penlbahan-pcrubahan yang luarbiasa itu telah
terjadi. Dan untuk itu, kita hams mengarahkan perhatian kita pertama-tama tidak
kepada indcks-indcks, tahap-tahap. Sifat-sifat atau kecondongan-kecondongan,
melainkan kepada proses-proses. kepada caranya hal-hal berubah menjadi hal-hal
lain.
Sampai tingkat tertentu, mengcmukakan pcrmasalahannya seperti yang
telah saya lakukan - bagaimana kedua negeri itu sampai ke keadaan yang sekarang
dari keadaan di masa lampau adalah menelusuri kembali jalannya scj'arah. Jadi,
dengan mengetahui hasilnya, kita berusaha mencari penjelasan tentang bagaimana
suatu situasi tertentu di masa lampau dapat membuahkan hasil itu.`Prosedur
demikian bukannya tanpa bahaya, oleh karena dengan mudah sekali orang dapat
membalikkan penalarannyu dan berandai bahwa dari situasi yang lampau tidak
boleh tidak akan lahir situasi sekarang. Hal ini sesungguhnya merupakan suatu
kesalahan, suatu kekeliruan logis yang telah diperkuat oleh impian-impian ilmiah
mengenai kemegahan, kekeliruan yang diperbuat oleh kaum cvolusionis sosial,
dan sesungguhnya oleh segala macam diterminis historis. Akan tetapi penalaran
itu tidak bisa dibalikkan. Dari keadaan di zaman Kalijaga atau Lyusi bisa timbul
ribuan macam masa depan. Fakta bahwa /hanya satu saia yang terwujud tidak
membuktikan bahwa keadaan sekarang ini secara mutlak harus dilahirkan oleh
keadaan lampau, melainkan bahwa dalam sejarah, peristiwa-peristiwa itu
merupakan kemungkinan-kemungkinan sebelum terjadinya dan merupakan
kepastian-kepastian sesudahnya. Adalah sah untuk menclaah suatu keadaan yang
lebih kemudian dan mengisolasi kekuatan-kekuatan yang, dengan finalitas dari
apa yang sudah tcljadi, menghasilkan keadaan itu dari suatu keadaan sebelumnya.
Akan tetapi adalah tidak sah untuk menetupkan bahwa kekuatan-kekuatan itu
sudah ter- dapat di dalam keadaan yang terdahulu itu, atau di mana pun kecuali di
dalam peristiwa-peristiwa dengan mana kekuatan-kekuatan itu bekerja. Seperti
dikatakan oleh Kierkegaard, hidup itu dijalani ke depan tapi difahami ke belakang.
Bagi ahli sosiologi sejarah, yang mencan penjelasan secara umum, berlawanan
dengan ahli sejarah deskriptif yang hendak membenkan gambaran yang
selengkapnya, mempelajari sejarah dengan jalan melangkah surut merupakan cara
yang paling tepat.`
Sepanjang mengenai pokok pembahasan kita, yakni perubahan keagamaan
di Indonesia dan Maroko, maka perbedaan yang besar di dalam situasi sekarang
dibandingkan dengan situasi yang telah saya lukiskan sebelumnya adalah bahwa
di kedua kasus itu, gaya-gaya religius klasik tersebut - iluminasionisme dan
maraboutisme - tidak lagi sendirian melainkan dikepung dan segala penjuru oleh
aliran-aliran yang menyimpang. Diserang dari sayap kerohanian kiri oleh
sekularisme dan, yang jauh lebih penting lagi, dari sayap -kerohanian kanan oleh
apa yang akan saya namakan skriptura1isme - dengan menggunakan istilaln itu
dengan Cara yang mungkin agak ganjil - maka tradisi-tradisi aluran-utama iiu
bukan saja tidak memiliki lagi hegemoni yang pernah dimilikinya, akan tetapi
malahan tidak mempunyai definisi. Dengan Cara yang agak umum, menyeluruh,
yang secara samar-samar meresapi segala bidang kehidupan, tradisi-tradisi itu
tetap nierupakan orientasi-orientasi religius yang pokok, bentuk-bentuk
kepercayaan yang karakteristik di negeri masing-masing. Secara substantif mereka
tidak berubah. Yang telah berubah apabila kita berbicara secara antropomorfis
sejenak, adalah kesadaran mereka bahwa pengaruh mereka yang dominan itu
sudah sempurna dan kedudukan mereka tak tergoyahkan. Kesadaran itu sudah
tidak ada lagi dan untuk selama-lamanya, kecuali jika terjadi perkembangan-
perkembangan yang luarbiasa. Tradisi-tradisi itu, atau lebih tepat lagi penganut-
penganutnya, merasa diri mereka terlibat dalam pertarungan, sebagai ahli Waris
suatu yang sudah teruji tapi juga dirasakan sebagai sudah ketinggalan zaman.
Mereka tetap taat tapi tidak yakin lagi.
Oleh karena itu, maka melukiskan sejarah religius dalam kurun waktu,
katakanlah, seratus limapuluh tahun yang liwat di Indonesia dan Maroko berarti
melukiskan suatu peningkatan yang progresif dalam kesangsian. Akan tetapi suatu
jenis kesangsian yang khas. Dengan heberapa pengecualian, yang mungkin, atau
mungkin pula tidak, mencerminkan gelombang masa depan (Saya sendiri
cenderung untuk berpendapat tidak), boleh dikatakan telah terjadi kenaikan yang
kecil saja dalam skeptisisme dalam pengertian yang sesungguhnya, dalam ateisme
dan agnostisisme. Hampir setiap orang di kedua negeri itu masih menganut
kepercayaan-kepercayaan yang dengan hampir setiap definisi yang Wajar dapat
dinamakan religius, dan bagian terbesar dari mereka menganut banyak sekali
kepercayaan-kepercayaan demikian. Yang mereka sangsikan, secara tidak sadar
dan terputus-putus, adalah keyakinan mereka - kedalamannya, kekuatannya,
kemantapannya - dan bukan va1iditasnya. Saya harap, saya tidak menggunakan
kata-kata yang terlalu sukar untuk ditangkap atau mengandung hal-hal yang
bertentangan. Bukan itu maksud saya. Soal yang hendak saya. jelaskan itu
memang sukar untuk ditangkap; namun demikian soal itu menurut hemat saya
teramat penting artinya. Pada tingkat kerohanian, perubahan besar yang terjadi
dalam kurun waktu antara zaman Mataram dan Mulai Ismail dan zaman sekarang
adalah bahwa pertanyaan yang pokok telah bergeser dari Kepercayaan apa yang
harus saya anut? menjadi Bagaimana saya harus menganutnya?. Di kedua
negeri, orang yang menyangsikan Tuhan belum mencapai jumlah yang sangat
besar. Akan tetapi orang-orang yang menyangsikan diri sendiri, meskipun belum
mencapai jumlah yang sangat besar, sudah cukup banyak. `
Di dalam bab pertama saya telah mencoba menjelaskan soal ini dengan
mengadakan pembedaan antara religiousness dan religious-mindedness, antara
dirangkul oleh keyakinan keagamaan dan merangkul agama itu. Religious-
mindedness, yang lebih menonjolkan kepercayaannya danpada isi kepercayaan itu
sendiri, sesungguhnya merupakan suatu simbol, mungkin timbol yang paling
logis, terhadap jenis kesangsian yang saya maksudkan. Dengan terjadinya ketidak-
seimbangan antara kekuatan simbo1-simbol k1asik yang telah berkurang, dan
perintah-perintah yang terkandung di dalamnya yang tidak berkurang atau tidak
begitu banyak berkurang, maka prosedur yang telah dikemukakan di atas adalah
intuk mendasarkan validitas simbol-simbol itu atas apa saja kecuali daya-
paksanya yang intnnsik: yakni, apabila saya diperkenankan untuk menggunakan
paradoks untuk kali yang terakhir, kekeramatan simbol-simbbol itu - reputasi
spiritualnya dan bukan kekuatan spiritualnya.
Bagian terbesar dari kedua bangsa itu masih menganggap keseimbangan
jiwa melalui mawas diri atau intensifikasi moral pribadi yang menghadirkan
ekspresi spiritual yang paling Wajar. Masalahnya adalah bahwa dewasa ini
kewajaran nampaknya semakin sulit untuk dicapai. Segala sesuatunya sedang
semakin terencana, diinginkan, disengaja, voulu. Semakin banyak orang Indonesia
dan Maroko yang - setidak-tidaknya di dalam dimensi ini, - menjadi korban dari
suatu situasi sosial yang sudah berubah, sedang menyadari bahwa meskipun
tradisi-tradisi religius dan Kalijaga dan Lyusi terbuka, dan malahan menarik, bagi
mereka, tidaklah demikian halnya dengan kepastian yang dihasilkan oleh
tradisi-'tradisi itu. Transvformasi simbol-simbol religius dari pengungkapan-
pengungkapan wahyu secara citrawi mengenai yang ilahi, bukti-bukti tentang
Tuhan, menjadi pernyataan-pernyataan ideologis mengenai pentingnya yang ilahi,
menjadi lencana-lencana tanda ketaatan, menxpakan reaksi yang sama, meskipun
dengan cara-cara yang berlainan, di kedua negen, atas kesadaran yang
menawarkan hati itu. Dan proses inilah, Serta menghilangnya rasa percaya-diri'
spixitual yang mendasarinya, yang bagaimana pun perlu kita cari penjelasannya.
Oleh karena bagaimana pun kita tidak akan mampu menelusuri seluruh
tenunan perubahan sejarah selama masa-masa terakhir di kedua negeri itu, maka
baiklah kita pusatkan perhatian kita kepada tiga perkembangan yang dapat
dipisah-pisahkan meskipun dengan sendirinya saling berkaitan, dan yang mampu;
mempunyai pengaruh yang paling mendalam terhadap kebudayaan klasik:
ditegakkannya dominasi Barat, pengaruh yang semakin bertambah besar dari
Islam yang skolastik, legalistik dan doktrinal artinya yang berpegang teguh
kepada Kitab Suci (skriptura1); dan kristalisasi negara-kebangsaan yang aktivis.
Bersama-sama, ketiga proses ini, yang masing-masing belum selesai, telah
menggoncangkan tatanan lama di Indonesia dan Maroko dengan cara yang sama
hebatnya, meskipun sebegitu jauh tidak sama produktifitasnya seperti
Kapitalisme, Protestanisme dan Nasionalisme telah menggoncangkan tatanan
Iama di Barat.
Apabila kita menyimak periode-periode kolonial di kedua masyarakat itu,
maka yang pertama-tama menarik perhatian kita adalah bahwa di Indonesia
periode itu kelihatannya muliputi kurun waktu yang jauh lebih Iama. Periode
kolonial di Indonesia biasanva diangqan dimulai dengan lahir Batavia tahun 1619,
sedangkan di Maroko periode itu dimulai dengan ditegakkannya Protektorat
Perancis tahun 1912. Akan tetapi tahun-tahun itu sangat menyesatkan, karena bagi
Indonesia tahun itu terlalu dini dan bagi Maroko terlalu barn. Pengaruh Belanda
yang intensif di Indonesia pada umumnya hanya terbatas di daerah-daerah pesisir
Jawa dan bagian-bagian tertentu di Maluku sampai jauh sesudah dimulainya abad
ke--18, dan ketika itu pun kekuasaan Belanda masih terbatas dan tidak merata. Di
lain fihak, masuknya secara paksa orang-orang Eropa ke daeiah-daerah pesisir
Maroko sudah dimulai sejak abad ke-15, dan sejak abad ke-17 intrik-intrik politik
dan ekonomi negara-negara Eropa merupakan unsur yang konstan dalam
kehidupan Maroko. Tanpa berusaha untuk menyangkal bahwa intensitas
pengalaman kolonial kedua negeri berbeda sama sekali, saya.kira adalah mungkin
untuk mengemukakan permulaan imperialisme tinggi, yakni imperialisme dengan
efek-efek sosial yang kekal dan fundamental, adalah sama untuk kedua kasus itu
yakni: 1830 . tahun di mana Perancis merebut Aljir dan Belanda melancarkan
program wajib tanam di Jawa yang dikenal dengan stilah yang agak
membingungkan, yakni Cultuur steIsel.
Pengaruh yang primer dari kolonialisme, di sini dan di manapun, adalah
ekonomis. Permintaan Eropa akan barang-barang konsumsi - kopi dan gula di
Indonesia, wol dan gandum di Maroko - telah mengawali periode kolonialisme
besar-besaran; permintaan Eropa akan bahan -bahan mentah untuk industri -karet
di Indonesia, fosfat di Maroko - menyempurnakan periode itu. Di antara kedua
ujung itu telah diletakkan dasar-dasar bagi suatu perekonomian modern, dengan
sendirinya suatu perekonomian daerah-kantong namun bagaimana pun suatu
perekonomian yang modern. Kita tidak perlu mengutip angka-angka yang sudah
cukup diketahui, atau pun mengulangi polemik yang lebih dikenal lagi.
Monumen-monumen besar dari kolonialisme bukanlah katredal-katedra1, teater-
teater, atau istana-istana, melainkan jalan-jalan, rel kereta-api, pelabuhan-
pelabuhan dan bank-bank.
Akan tetapi sudah barang tentu, di luar pengaruh ekonominya dan pada
umumnya justru karena itu, kolonialisme juga telah menciptakan suatu situasi
politik yang unik jika tidak hendak dikatakan ganjil. Sebabnya adalah bukan saja
karena penguasa-penguasa pribumi telah dicopot atau dijadikan sekedar kaki-
tangan kekuasaan asing, melainkan, vang lebih penting lagi, karena simbol-simbol
legitimasi, tempat-tempat kedudukan kekuasaan, dan alat-alat kekuasaan telah
dipisahkan secara kasar satu sama Iain. Saya sudah menyinggung soal ini dalam
kasus Indonesia: bagaimana, setelah Mataram dilumpuhkan, Belandalah yang
menetapkan politik, jika perlu dengan kekuatan fisik; kaum aristokrasi yang sudah
mengalami transformasi melaksanakan pekexjaan administrasi sehari-hari; dan
kelaton-keraton lama mempertahankan ilusi tentang kesinambungan kultural, atau
setidak-tidaknya berusaha ke arah itu. Akan tetapi hal itu berlaku pula bagi
Maroko, di mana Perancis (dan Spanyol) memenntah dengan perantaraan orang-
orang kuat pribumi atas nama Kesultanan Sherif. Keadaan yang ganjil ini telah
menimbulkan dua akibat yang utama: terciptanya suatu kerangka untuk integrasi
nasional dari jenis yang tadinya belum pernah ada; dan pembedaan antara yang
memerintah dan yang diperintah menjadi lebih dari sekedar perbedaan dalam
kekuaasaan, status, atau situasi, ia menjadi suatu perbedaan dalam identitas
kultural. Protektorat (Perancis) Hindia Timur (Belanda) melahirkan Maroko dan
Indonesia bukan saja sebagai negara-negara yang terintegrasi, melainkan juga
sebagai organisasi-organisasi politik yang terbelah dua.
Atau lebih tepat lagi, masyarakat-masyarakat yang terbelah dua, oleh
karena di sekitar intinya yang terdiri dari serdadu-serdadu dan pejabat-pejabat
kolonial terhimpun para pengelola perkebunan, pengusaha pertanian komersil,
pengusaha bank, pengusaha pertambangan, pengusaha ekspor dan pedagang-
pedagang (ditambah dengan segelintir pendeta, gum dan cendekiawan sebagai
utusan hati-nurani), dan untuk mereka itulah seluruh usaha itu direncanakan.
Kelompok ini, yang mempakan 1ingkungan yang tertutup rapat, dengan hak-hak
istimewa dan teruatama sekali terdiri dari orang-orang asing, sesuai dengan
keinginannya dan dalam kenyataannya, merupakan satu unsur yang tidak dapat
dicernakan di dalam kedua masyarakat. Tidak ada ideologi kolonial, yang
berusaha membenarkan imperialisme dengan jalan mengangkatnya ke tingkat
yang lebih tinggi - apakah itu namanya mission civilisatrice dari orang-orang
Perancis yang menyombongkan kebudayaan mereka, atau ethische richting dari
orang-orang Belanda Calvinis - yang akan dapat ngubah fakta itu. Sesungguhnya,
pembelaan-pembelaan itu rupakan timbal atas sikapnya yang ke-ras kepala. Di
luar bidang ekonomi dan politik, konfrontasi kolonial itu spiritual: suatu
bentrokan kepribadian. Dan dalam pertarungan di bidang ini, fihak yang dijajah
keluar sebagai pemenang bukannya tanpa pengorbanan dan pengecualianz mereka
dan mempertahankan identitas mereka, meskipun dengan sedikit perubahan.
Di dalam usaha yang penuh tekad untuk mempertahankan kepribadian
sosial itu, agama, sebagaimana yang dapat diperkirakan, telah memainkan peranan
yang penting sekali. Satu-satunya hal yang tidak dapat dilakukan oleh kaum elit
kolonial, kecuali beberapa kasus yang tidak jelas, adalah menjadi Muslim. Ciri-
ciri luar dari kebudayaan setempat bisa dioper - couscous, burmous, dan kubat-
kubat gaya Moor di Maroko; rijsttafel, sarung, dan kamar tamu tanpa dinding di
Indonesia. Etiket setempat dapat ditiru, keahlian pertukangan setempat dapat
dipelajari. Bahasanya pun dapat dipelajari. Akan tetapi itu semuanya adalah
Mauresque atau indich, bukan Maroko atau Indonesia. Garis pemisah antara kaum
Nasrani dan kaum yang Percaya di Maroko, atau antara umat Kristen dan umat
Islam di Indonesia, tidak hapus. Garis itu malahan bertambah tajam. Suatu ironi
yang mengherankan adalah bahwa keterlibatan yang sangat giat dengan Barat
telah lebih mendekatkan keyakinan religius kepada pusat detinisi-diri bangsa-
bangsa itu daripada sebelumnya. Sebelumnya, orang menjadi Muslim karena
keadaan; sekarang, semakin banyak orang yang menjadi Muslim atas dasar
pertimbangan politik. Mereka adalah kaum oposisi. Sudah barang tentu tidak
hanya karena ingin beroposisi saja; akan tetapi, ke dalam .apa yang tadinya
merupakan sikap halus dari Zaman pertengahan yang memandang rendah orang-
orang katir, sekarang telah merasuk suatu nada yang modern dan tegang, yang
memantulkan rasa irihati bercampur cemas dan kebanggaan defensif.
Akan tetapi, apabila kolonialisme telah menciptakan kondisi-kondisi di
mana agama Islam yang bercorak oposisi yang mempertahankan identitas dan
dianut secara sadar, dapat dan memang berkembang subur, maka skripturalisme --
kembali ke Quran, Hadits, dan Syariat, bersama-sama dengan pelbagai tafsirnya
yang standar, sebagai landasan-Iandasan yang dapat diterima bagi otoritas religius
- memberi isi kepada Islam yang sedemikian itu. Masuknya Barat telah
menimbulkan suatu reaksi bukan hanya terhadap agama Kristen (aspek ini dapat
dengan mudah dilebih-lebihkan), melainkan juga terhadap tradisi-tradisi
keagamaan klasik di kedua negeri itu sendiri. Yang menjadi sasaran utama
serangan-serangan ajaran kaum skripturalis bukanlah kepercayaan-kepercayaan
dan praktek-praktek Barat yang melanggar kehidupan spiritual di Maroko atau
Indonesia hanya dari samping dan secara tidak langsung; yang menjadi sasaran
utama adalah maraboutisme dan iluminasionisme. Sumber pergolakan ada di
dalam negeri-negeri itu sendiri, yang mendapat rangsang dari luar.
Di Indonesia, gerakan umum ke arah agama Islam yang hanya berpegang
kepada Kitab Suci dan bukannya ngelamun dan keajaiban-keajaiban, biasanya
dikaitkan dengan kata santri, istilah Jawa untuk orang yang sedang belajar agama.
Di Maroko tidak ada istilah yang khas untuk gerakan.itu yang memang
merupakan suatu perkembangan yang kurang berbentuk, akan tetapi gerakan itu
berpusat sekitar tokoh yang sama, yang di sana disebut taleb. Kedua gerakan itu
tidak pernah mencapai tingkat organisasi atau integrasi yang tinggi dan sampai
baru-baru ini memang tidak mengenal organisasi atau integrasi sama sekali.
Demikian pula kedua-duanya bukan merupakan hal yang baru dalam zaman
kolonial: hampir sejak kedatangan Islam sudah ada ulama-ulama yang keras hati
yang berdebat di sekolah-sekolah mesjid yang pengap di Fez dan Demak. Akan
tetapi baru di Zaman kolonial, di saat kolonialisme sudah mengakar, gerakan-
gerakan itu menjadi bertambah kuat dan setelah memuncak, seperti yang akan kita
lihat nanti, di dalam semacam usaha membersihkan diri yang penuh gejolak,
untuk sementara waktu mengancam akan menghalau tradisi-tradisi klasik bukan
sekedar dari pusat panggung, melainkan keluar dari gelanggang sama sekali.
Saya sudah mengemukakan bagaimana, sesudah Islam berakar di
Indonesia, orientasi-orientasi keagamaan di sana mulai bercabang menjadi tiga
aliran yang terpisah dan tidak sepadan. Tradisi Hindu hidup terus setelah
kehilangan bagian terbesar dari ekspresi ritualnya (kecuali di Bali yang tidak
berhasil diislamkan) namun masih memiliki sifat kebatinannya. Kekuatan
utamanya terdapat di Jawa dan di kalangan kelas-kelas atasan, meskipun
penganut-penganutnya terdapat juga di tempat-tempat lain. Massa petani tetap
memuja roh-roh setempat, melakukan upacara-upacara di rumah dan
menggunakan mantera-mantera yang sudah di-kenal, Roh-roh, upacara-upacara
dan mantera-mantera itu berbedaan antara kelompok yang satu dan kelompok
lainnya dan hampir-hampir berbeda pula dari desa ke desa. Namun demikian,
dengan mengecualikan suku-suku bangsa Papua di Irian Jaya dan Maluku, maka
sejak dulu hingga sekarang tampak adanya persamaan-persamaan kekeluargaan di
antara roh-roh, upacara-upacara dan mantera-mantera itu, dan hal itu tak
disangsikan lagi karena pada umumnya sumbernya sama, yakni apa yang kadang-
kadang dinamakan substratum Melayu. Terkecuali orang-orang Kristen dan
pemuja-pemuja berhala (yang mencakup sekitar enam persen dari seluruh
penduduk), mereka semua, baik kaum berbangsa maupun kaum petani,
menganggap diri mereka sebagai Muslim; Akan tetapi hanya di dalam aliran yang
ketiga, kaum santri, pengertian itu mengimplikasikan suatu sikap yang dengan
cermat menaati ketentuan-ketentuan hukum, moran dan ritual sebagaimana yang
ditetapkan dalam Kitab Suci Islam. Sebagai agama, Islam boleh dikatakan sudah
universal di Indonesia menjelang akhir abad ke-19; akan tetapi sebagai satu
himpunan ajaran-ajaran suci yang ditaati, biar secara sporadis sekalipun, ia belum
universal, Islam ortodoks, atau lebih tepat lagi Islam yang berusaha untuk menjadi
ortodoks, merupakan satu kepercayaan minoritas, baik dulu maupun sekarang.
Seperti telah saya kemukakan, landasan bagi agama Islam yang lebih
murni telah diletakkan jauh sebelum abad ke-l9, Zaman-Zaman keemasan Islam
yang berlangsung tidak lama di abad ke-I7 di Aceh di ujung utara pulau Sumatera,
di Makasar di ujung selatan pulau Sulawesi dan di Banten di ujung Barat pulau
Jawa, setidak-tidaknya sudah memberi alamat dan, bagaikan suatu bayangan yang
terbalik, begitu pula halnya dengan serangan-serangan yang semakin tajam di
bidang kesusasteraan yang dilancarkan oleh pujangga-pujangga keraton terhadap
pejabat-pejabat mesjid dan para kadi dalam abad ke-18. Akan tetapi baru di dalam
abad kesembilanbelaslah hal itu secara definitif menghablur menjadi suatu kontra-
tradisi yang agresif, yang mendakwa sebagai bertentangan dengan ajaian Islam,
bukan saja kekuasaan Belanda, akan tetapi juga tradisi Jawa-Hindu yang di- anut
oleh kaum berbangsa dan sinkretisme yang terdapat di kalangan kaum tani.
Faktor-faktor yang secara langsung menggefakkkan proses kristalisasi ini
adalah perjalanan naik haji ke Mekah, pesantren, dan sistim pasar dalam negeri.
Faktor-faktor itu pun bukan hal-hal yang baru, akan tetapi semuanya menjadi
sangat penting setelah 1850, ketika kapal laut, kereta-api dan Terusan Suez secara
tiba-tiba saja membuat bumi ini seolah-olah'menjadi sangat kecil. Sekitar dua ribu
orang Indonesia menunaikan ibadah haji menjelang tahun 1860; dan jumlah itu
meningkat menjadi sepuluh ribu menjelang 1880, dan limapuluh Iibu menjelang
1926, dan lahirlah satu kelas baru yang terdin dari para alim ulama: orang-orang
yang pernah mengunjungi Tanah Suci dan (setidak-tidaknya dalam anggapan
mereka sendiri) telah melihat Islam melalui kacamata yang terang. Sekembalinya
di tanahair, orang-orang yang paling sungguh-sungguh di antara mereka lalu
mendirikan pesantren-pesantren, di antaranya ada yang cukup besar, untuk
mendidik pemuda-pemuda dalam apa yang mereka anggap sebagai ajaran Nabi
yang sebenarnya yang selama ini diabadikan. Orang-orang itu yang disebut ulama,
'dari istilah Arab untuk ahli agama atau kiyayi, dari istilah Jawa untuk orang yang
bijaksana, menjadi pemimpin-pemimpin komunitas santri, suatu komunitas yang
segera meluas sehingga mencakup setiap orang yang telah pernah di pesantren
dalam hidupnya atau yang hanya bersimpati dengan sentimen-sentimen yang
dipupuk oleh pesantren-pesantren itu, tidak peduli apakah ia pernah belajar di
pesantren atau tidak.
Selanjutnya, hubungan-hubungan antara komunitas golongan agama di
dalam konteks Indonesia ini dan sistim pasar dalam negeri, yang merupakan satu
jaringan pasar-pasar kecil di lapangan terbuka, untuk sebagian bersifat historis dan
untuk sebagian fungsional Historis, oleh karena, sebagaimana yang telah
berulang-kali saya kemukakan, Islam sampai ke Indonesia melalui ekspansi
perdagangan yang dua abad kemudian dihalau ke daerah pedalaman oleh Belanda
yang menguasai daerah-daerah pesisir. Fungsional, oleh karena, dengan
menggunakan ungkapan Weber yang terkenal yang dikutipnya dari Gothe,
terdapat suatu afinitas yang bersifat pilih-pilih antara pedagang-pedagang kecil
yang berkeliling dan surau-surau tempat menginap dan ibadah yang beraneka
ragam dan tidak formal, berdiri sendiri, terbuka setiap saat dan boleh dikatakan
tidak memungut biaya, yang tersebut di mana-mana di daerah pedalaman. Di
sebagian besar Dunia Islam, mesjid dan pasar sejak dulu merupakan pasangan
alamiah, di mana yang satu meratakan jalan bagi yang lainnya dalam
menyebarkan suatu peradaban yang memperhatikan baik kehidupan di dunia ini
maupun kehidupan di akhirat nanti. Di Indonesia, di mana kebudayaan tingkat
atas pada dasarnya adalah kebudayaan Hindu, kedua lembaga itu, yang
dipersatukan oleh ibadah haji dan mad rasah, muncul sebagai satu kekuatan yang
mengganggu, menyimpang dari yang lazim dan mengacaukan.
Komunitas yang sedang terbentuk, yang mencakup orang orang yang
sudah naik haji, para alim-ulama, santri dan pedagang-pedagang berkeliling,
mengembangkan, mula-mula secara perlahan-lahan lalu dengan kecepatan yang
semakin meningkat, suatu konsepsi tentang penghayatan agama di mana
iluminasionisme dan gaya klasik semakin terdesak dan akhirnya tidak mempunyai
tempat sama sekali. Dalam tahap-tahap pertama, perbedaan antara kedua tradisi
itu kecil saja; yang diajarkandi pesantren-pesantren pada pokoknya boleh
dikatakan tidak lebih dari pada kepercayaan-kepercayaan pra-Islam yang
dibumbumi dengan istilah-istilah unsur-unsur ilmu gaib dan kias-kias yang
dipungut dari tokoh-tokoh sufi di Tanah Suci. Akan tetapi lama-kelamaan isi
ajaran-ajaran itu menjadi tidak saja berlainan dengan tradisi Hindu dan Melayu,
melainkan menjadi anti tradisi-tradisi itu.
Ajaran-ajaran itu juga menjadi anti-Belanda, .dan antara 1820 dan 1880
telah meletus sekurang-kurangnya empat pemberontakan santri (dan sekian
banyaknya pemberontakan kecil) yang sekaligus ditujukan terhadap tradisi-tradisi
yang sudah mapan dan kekuasaan kolonial. Di Sumatcra Barat di tahun l82l-28,
sejumlah ulama yang fanatik, yang menentang adat-istiadat setempat yang
menyiinpang dari ajaran Islam dan yang bertekad untuk mendirikan sebuah
pemerintahan yang teokratis, membunuh anggota-anggota keluarga raja yang
bertradisi Hindu dan sejumlah besar pejabat desa; pemberontakan itu baru dapat
ditumpas setelah fihak Belanda melancarkan operasi militer. Di Jawa Tengah
dalam tahun 1826-30, seorang pangeran yang merasa berhak atas tahta kerajaan
Jawa tetapi dikecewakan dalam harapannya itu mempermaklumkan Perang Jihad
secara besar-besaran melawan pemerintah kolonial dan orang-orang pribumi yang
menjadi kaki-tangannya. Di Jawa Barat Laut dalam tahun-tahun 1840-an dan
1880-an, pemberontakan-pemberotakan rakyat yang dihasut oleh ulama-ulama
setempat telah memusnahkan hampir seluruh komunitas orang-orang Eropa dan
bagian terbesar dari tokoh-tokoh pribumi yang bekeijia sebagai pamong praja. Di
Sumatera Utara di tahun 1873-1903, orang-orang Aceh yang masih terkenang
akan kejayaan mereka di masa lampau, yang pada umumnya menganggap rendah
semua orang asing dan menganggap diri mereka sebagai umat Islam yang paling
taat di Asia, memerangi Belanda selama tigapululi tahun. Menjelang 1900,
santriisme sudah berdiri kokoh sebagai idcologi keagamaan yang penentang dan
sebagai ideologi politik yang bercorak membrontak. Dan keseimbangan kekuatan
spiritual yang, seperti yang telah saya kemukakan di dalam bab yang lalu, telah
memungkinkan orang-orang yang masih berpcgang kepada tradisi Hindu, orang-
orang yang menganut ajaran Islam dan orang-orang yang memuja dewa pohon,
sekurang-kurangnya tidak saling mengganggu apabila tidak dapat dikatakan
bersatu-padu, sudah hilang secara definitif dan, sejauh penglihatan saya, tidak
dapat dipulihkan lagi.
Di dalam abad ini gerakan skripturalis berlangsung terus dan, sesuai
dengan kodratnya, menuju penutupnya yang logisz murniisme radikal dan tak
kenal kompromi. Munculnya di seluruh Dunia Islam sesudah 1880 apa yang
dinamakan, secara agak kabur dan tidak memuaskan,'Gerakan Pembaruan Islam
yakni usaha Lmtuk menegakkan kembali Islam yang bersih, asli, tidak
dipalsukan, progresif dari zaman Nabi dan para Khulafa ar-Rasyidin - hanya
memberikan satu landasan teologis yang eksplisit untuk apa yang sudah sedang
berkembang di Indonesia meskipun dengan cara yang jauh kurang reflektif,
selama sekurang-kurangnya setengah abad. Penyebaran argumen-argumen dari
tokoh-tokoh gerakan kebangkitan kem.bali Islam ,dari Timur Tengah, seperti
Jamal Ad-Din Al-Afghani atau Muhamamed Abduh yang menyerukan agar umat
Islam kembali kepada ajaran Al Quran dan dengan ajaran itu memasuki zaman
modern -- kegiatan gerakan itu sangat ekstensif menjelang tahun; tahun 1920-an -
tidak dapat mengubah arah pemikiran kaum santri, malahan melengkapinya.
Campuran yang tegang inilah, yakni antara fundamentalis me yang radikal
dan modernisme yang penuh tekad, yang menjadikan tahap-tahap kulminasi dari
gerakan skipturalis begitu membingungkan bagi pengamat-pengamat Barat.
Melangkah mundur dengan tujuan agar dapat melompat lebih baik merupakan
satu prinsip yang sudah diakui kebenarannya dalam perubahan kultural;
Reformasi kita sendiri telah terwujud dengan cara itu. Akan tetapi dalam kasus
Islam, melangkah mundur itu kelihatannya seringkali dianggap sebagai lompatan
itu sendiri, dan apa yang tadinya dimulai dengan pcnemuan kembali Kitab Suci
berakhir dengan semacam pcndewaannya Seorang kiyayi yang berfikiran maju
pernah mengatakan kepada saya bahwa Pernyataan Hak-hak Asasi Manusia,
rahasia tenaga Atom. Dan prinsip-prinsip ilmu kecloktcran, semuanya terdapat di
dalam Al Quran, lalu ia mengutip ayat-ayat yang ia anggap relevan; Dengan
demikian, maka Islam merupakan suatu pembenaran bagi modernitas tanpa ia
sendiri menjadi modern. Ia memajukan apa yang ia sendiri, dengan menggunakan
metator. Tidak dapat merangkul atau memahaminya. Oleh karena itu. Maka baik
di Indonesia maupun di Maroko, skripturalisme di dalam abad ini dalam
kenyataannya bukan merupakan taha'p-tahap pertama dari pembaruan Islam,
melainkan merupakan tahap-tahap terakhir dan ideologisasinya.
Meskipun di dalam garis-garis besarnya gerakan Maroko ke arah Islam
kaum ulama secara mengherankan sekali serupa dengan gerakan di Indonesia, ada
beberapa perbedaan dalam pelaksanaan detil-detilnya dan dalam pengaruh yang
ditimbulkannya. Perbedaan itu disebabkan oleh beberapa hal. Pertama, meskipun
kedua masyarakat sejak mulanya mempunyai semacam tradisi keilmuan dalam
pengertian Islam yang sebenarnya, tradisi Maroko jauh lebih maju daripada tradisi
Indonesia di mana, dengan beberapa pengecualian, pujangga-pujangga, penulis-
penulis riwayat dan ahli-ahli filsafatnya yang terkemuka mempunyai pandangan
dan berpendidikan Hindu. Kedua, dan ini mungkin lebih penting lagi, bahasa Arab
merupakan bahasa ibn dari setidak-tidaknya sebagian besar penduduk Maroko
(sementara bahasa ibu dari penduduk lainnya mempunyai huhungan yang erat
dengan bahasa Arab), sedangkan di Indonesia bahasa itu merupakan bahasa asing,
bahasa yang sangat asing, yang di kalangan kaum ulama dan kiyayi sekalipun
mungkin tidak sampai satu dari seratus orang benar-benar mengu:isainya. Dengan
demikian maka Arabisme memainkan peranan dalam usaha kaum skripturalis
untuk membela kepribadian nasional di Maroko, sedangkan hal itu tidak mungkin
di Indonesia di mana santri-santri membaca Quran dengan lagu dan tekanan-
tekanan suara yang mereka tiru, dan mencoba memahami arti ayat-ayat itu sebisa-
bisanya dari ihtisar-ihtisar dan penjelasan-penjelasan dalam bahasa setempat yang
didiktekan oleh guru-guru mereka yang dalam banyak hal tidak jauh lebih pintar
dari murid-murid itu sendiri dalam soal memahami naskah aslinya. Orang-orang
Indonesia dapat menjadi penganjur-penganjur pan-Islamisme, dan pernah
beberapa kali tampil sebagai penganjur-penganjur yang gigih, akan tetapi mereka
tidak bisa menjadi pan-Arabis; orang-orang Maroko bisa menjadi kedua-duanya,
dan memang tidak membedakan yang satu dari yang lainnya.
Dan akhirnya, di zaman Granada, Sevilla dan Cordoba, orang-orang
Maroko setidak-tidaknya berada di daerah pinggiran yang paling dekat dari saty
peradaban Islam yang besar - ada yang menganggapnya paling besar - sedangkan
orang-orang Indonesia belum pernah berada di dekat salah satu pusat utama dari
kemegahan kebudayaan Islam. Kebudayaan Mughal sekalipun, yang paling dekat
dengan mereka, kelihatannya tak pernah menyentuh mereka. Bagi suatu bangsa
yang telah pernah mempunyai kontak langsung dengan pusat-pusat pemikiran
yang sangat maju, seperti apa yang telah dialami, sampai tingkat tertentu, oleh
Maroko sebelum abad ke-14, kemudian kehiiangan kontak itu, persoalannya
sangat berlainan dibandingkan dengan bangsa yang tidak pernah sama sekali
mempunyai kontalokontak seperti itu, Adalah lebih mudah untuk menghidupkan
kembali kenangan akan masa lalu kita sendiri, biar yang khayalan sekalipun, dari
pada mengimpor kenangan masa lampau orang lain lalu menghidupkannya
kembali.
Meskipun demikian, adalah kelim untuk memberikan penilaian yang
sangat tinggi kepada tradisi keilmuan Maroko. Tradisi itu selamanya terbatas
kepada soal-soal khusus, dengan hanya melibatkan beberapa pedant yang
mengasingkan did, dan di antara mereka, seorang tokoh dari awal abad ke--18
yang telah berhasil memberikan 2.100 ceramah (di hadapan siapa-siapa, tidak
diberitakan) mengenai partikel b- dalam ungkapan bismillah, mungkin
merupakan satu contoh yang tidak terlalu menyesatkan, meskipun sebagai
karikatur. Sebagai satu gerakan yang merakyat, skripturalisme di Maroko tidak
lebih tua dari di Indonesia, dan, setidak-tidaknya sejauh yang dapat saya lihat,
tidak jauh lebih berilmu. Akan tetapi di Maroko ia merupakan satu gerakan yang
lebih asli sifatnya, yang berakar dari dalam.
Di sana skripturalisme, meskipun menentang maraboutisme, tidak
merupakan satu kekuatan yang masuk dengan paksa dan mengacaukan suatu
keseimbangan yang halus antara komitmen komitmen yang bertentangan satu
sama lain, melainkan ia merupakan kelanjutan dari kecondongan yang sudah
berlangsung selama berabad-abad ke arah konsolidasi spiritual, Sementara prinsip
kesherifan, yang mengaitkan karisma dengan garis keturunan. telah memasukkan
pemujaan orang suci, organisasi-organisasi persaudaraan, dan kultus kerajaan, ke
dalam satu kerangka manaboutisme turun-temurun yang tunggal meski longgar;
gerakan kripturalis berusaha untuk menggantikan sintesa ini, yang di anggapnya
sebagai murtad dan sudah usang, dengan sintesa lain yang didasarkan atas ajaran
yang ortodoks yang diberi. Batasan yang cermat. Pertarungan antara pembela-
pembela pola lama dan pembela-pembela pola baru itu berlangsung seru dan
penuh dengan kegetiran, dan sampai sekarangpun belum berakhir. Akan tetapi
ia .mempakan satu pertamngan memperebutkan pimpinan keagamaan, bukan
sekedar untuk sebagian melainkan untuk seluruh bangsa. Berlainan dengan di
Indonesia, kemunculan skripturalisme di Maroko tidak menuju ke arah pemisahan
spiritual, yakni mengerasnya variasi-variasi yang sudah diterima menjadi
pccahan-pecahan yang bersifat mutlak; ia menuju ke arah titik-api spiritual,
dibatasinya kehidupan keagamaan di dalam suatu lingkaran yang lebih. kecil,
dengan batas-batas yang lebih jelas.
Wahana menuju ke titik-api ini adalah apa yang dinamakan gerakan
pembaharuan, atau f`undamentalis atau modernis atau neo-ortodoks
yang didirikan pada akhir abad ke--19 oleh ahli teologi Mesir Muhammed Abduh,
dan biasanya dikenal dalam bahasa Arab sebagai gerakan Salafi, dari as-salafas-
salih, yang secara harfiah berarti leluliur yang salili - Muhammed dan Sahabat-
sahabatnya. Di Maroko pun landasannya telah diletak- kan lebih duluan, terutama
oleh para ulama di sekeliling Kesultanan dan di universitas mesjid yang terkenal
di Fez, yakni Qarawiyyin. Serangan-serangan secara terbuka terhadap
marabout.isme sudah dimulai sejak akliir abad ke--18. Akan tetapi baru dalam
tahun-tahun 1870-an, ketika seorang Maroko - sesungguhnya juga seorang Berber
yang gelisali dari daerah pedalaman kembali` setelah belajar di Mesir, untuk
membela, di Qarawiyyin dan di hadapan majlis ulama kesultanan, suatu
penafsiran atas Kitab Suci yang sesuai- dengan nash, dengan mengesampingkan
komentar-komentar yang telah ada mengenai kandungan Al Quran dan menolak
segala bentuk Sufisme, baru ketika itulah gagasan-gagasan Salafi benar-benar
mulai berpengaruh, di kalangan-kalangan yang terbatas sekalipun. Menjelang
tahun-tahun 1920 pertarungan antara skripturalisme dan maraboutisme mulai
berkobar. Menjelang tahun-tahun 1920 pertarungan itu mendominasi tidak hanya
pembahasan-pembahasan di kalangan para ulama, melainkan juga pembicaraan-
pembicaraan di kalangan rakyat. Dan pernyataan sombong dari Allal Al-Fassig
yang pada akhirnya merupakan tokoh utama gerakan itu, bahwa cara yang
ditempuh oleh gerakan Salafi di Maroko .......memungkinkan ia meneapai sukses
yang tak dapat ditandingi di negeri Muhammed Abduh dan Jamal al-Din
sekalipun, yang merupakan tempat asal gerakan itu sekali-kali bukan merupakan
omong kosong. Sesungguhnya, bagi Indonesia pun kata-kata itu tidak perlu
mempakan omong kosong, meskipun di sana Salafisme (orang tidak
menggunakan istilah itu di sana) hanya terbatas kepada penduduk saja, Seperti
halnya di Indonesia, ungkapan-ungkapan pertama dari golongan skripturalis di
Maroko baru bersifat coba-coba' dan belum dapat dibedakan dengan tajam dan
alur umum praktek-praktek yang sudah lazim. Para sultan mengumpulkan di sekitr
.diri mereka baik orang-orang anti-Sufi maupun orang-orang sufi, baik orang-
orang antilegis maupun orang-orang legis, baik orang-orang yang menginginkan
pembaruan maupun orang-orang yang anti piembaruan, lalu mengadu-domba
mereka satu sama lain dan mengusahakan agar mereka semua tetap berpusat pada
diri Sultan sebagai Muslim Pertama di negeri mereka. Di kalangan rakyat pada
umumnya, madrasah-madrasah yang terorganisasi di mana-mana kembali
merupakan sarana utama bagi penetrasi skripturalis, hanya saja kali ini guru-guru
madrasah itu bukan orang-orang yang telah naik haji, melainkan hanya tenaga-
tenaga pengajar yang dididik di Marrakech, Rabat, Tetuan, atau, terutama sekali,
Fez, dan disebut taleb. Biasanya mereka hanya mengajar mengaji dan menyalin
ayat-ayat Quran di samping berusaha menanamkan pengertian tentang garis-garis
besar hukum Islam pada murid-murid mereka yang lebih tua dan lebih cardas.
Dengan nafkah yang hampir-hampir tak mencukupi, yang diperoleh dari yayasan-
yayasan amal ditambah dengan sumbangan-sumbangan pribadi dari para orang-
tua murid, pembawa-pembawaQuran" ini - demikian julukan yang diberikan
kepada mereka oleh orang orang Perancis - hidup menyendiri sebagai orang-orang
yang tidak terpandang dalam masyarakat, seperti halnya guru-guru yang mengajar
dan rumah ke rumah di Zaman pertengahan. Kebanyakan dari mereka adalah
orang-orang pelarian yang tak bertanah, yang terpaksa meninggalkan kampung
halaman mareka untuk mencan nafkah sebagai guru agama seperti halnya anak-
anak petani di Eropa dulu terpaksa meninggalkan kampung halaman mereka
untuk bekezja sebagai pegawai rendahan gereja. Mereka mengajar dalam segala
macam lingkungan, mulai dari ruangan-ruangan sempit di kota sampai kepada
tenda-tenda perkemahan suku, dan seringkali berpindah-pindah selang tiga atau
empat tahun dari perkemahan, desa atau kota yang satu ke yang lainnya Secara
fonnal mereka dihormati sebagai orang-orang yang berilmu akan tetapi secara
tidak formal mereka dipandang hina seperti pelayan rumah Kebanyakan di antara
mereka sedikit saja pengetahuannya dan itupun banyak salahnya. Mereka menjual
jimat-jimat dan kadang-kadang melakukan pekerjaan tukang sihir.Akan tetapi
selama abad ke--19 mereka tersebar di sebagian besar negeri itu dan kepada
beribu-ribu orang Maroko dari kalangan rakyat biasa mereka mengajar membaca
tulisan Arab, cara-ca-ra melakukan ibadah, dan terutama sekali mereka
mengajarkan untuk menganggap Quran tidak sekedar sebagai jimat yang
memancarkan baraka, melainkan sebagai kumpulan ajaran-ajaran yang hams
dihafal, difahami dan diamalkan.
Bahwasanya dalam kenyataannya lebih banyak yang dihafal dari pada
yang difahami, dan lebih banyak yang difahami dari pada yang diamalkan, sudah
dapat diduga. Akan tetapi setidak-tidaknya dengan itu sudah diletakkan landasan
bagi purisme Salafi. Dan melalui purisme Salafi, setidak-tidaknya teiah
dipersiapkan landasan bagi nasionalisme. Di Indonesia dan Maroko, prolog bagi
nasionalisme bertepatan dengan epilog bagi skripturalisme. Organisasi-organisasi
nasionalis massa yang pertama - Sarekat Islam tahun 1912 di Indonesia dan Kutlat
al-Ama1 at-Watani (Blok Aksi'Nasional) tahun 1930, di Maroko - merupakan
hasil-hasil yang langsung dari gerakan skripturalis, pengejawantahan dari
dorongan untuk memumikan agama dan untuk menyatakan diri di bidang politik.
Dan memang kedua hal itu begitu erat pertautannya sehingga hampir-hampir tak
dapat dibadakan satu dari yang lainnya. Akan tetapi persekutuan itu tidak
berlangsung lama. Perpaduan itu hanya bersifat sementara. Dan pada akhirnya,
artinya setelah merdeka, kaum skripturalis dihadapkan kepada kenyataan bahwa
di bidang politik mereka tidak mempunyai hak-apa-apa, dan bahwa mereka secaia
progresif dikucilkan dari mekanisme negara yang berkembang dengan pesat.
Strategi untuk memeluk abad ke-20 sebagai reinkarnasi abad ke-7 ternyata tidak
membawa hasil sebagaimana yang diharapkan. Orang-orang dengan komitmen-
komitmen keagamaan yang lebih tradisional dan komitmen-komitmen politik
yang tidak begitu tradisional pada akhirnya mendominasi gerakan nasionalis dan,
dengan berhasilnya gerakan-gerakan itu, mendominasi negara-negara yang
mereka ciptakan.
Cara memandang sejarag dari segi tokoh-tokoh terkemuka, terutama
tokoh-tokoh yang dramatis, selalu mengandung bahaya; bukanlah virtus yang
menggerakan masyarakat. Namun demikian, tidak disangsikan lagi, bahwa sejarah
kedua negeri dari bagian akhir tahun-tahun 1920an sampai awal tahun-tahun
1960-an, yakni dalam kurun waktu tiga atau empat dasawarsa di mana segala
sesuatu yang' dianggap bisa terjadi memang telah terjadi, tidak dapat dipisahkan
dari karir Sukarno untuk Indonesia, dan Muhammed V untuk Marokp. Kalaupun
mereka tidak membuat seluruh -sejarah dari zaman mereka - dan mereka membuat
sebagian besar daripadanya - mereka pasti merupakan penjelmaan daripadanya.
Seperti Kalijaga dan Lyusi, mereka mencerminkan hal-hal yang jauh melebihi diri
mereka sendiri.
Dan apa yang mereka cerminkan itu tidaklah begitu berbeda dari apa yang
telah dicerminkan oleh tokoh-tokoh klasik, apapun kesan yang timbul dari
perbedaan yang radikal dalam situasi historis di mana mereka beroperasi (dan
dengan demikian membuahkan hasil-hasil yang berbeda secara radikal), Sukarno
dan Muhammed V menghadapi suatu peralihan politik, ekonomi dan kebudayaan
yang jauh lebih besar dan lebih drastis dibandingkan dengan peralihan yang
terjadi setelah ambiuknya Majapahit dan berakhirnya Zaman Kejayaan Barbaria,
akan tetapi mereka masing-masing, menghadapinya dengan satu gaya yang
luarbiasa, Dengan Sukarno, negara teater kembali lagi di Indonesia; dan dengan
Muhammed V kerajaan marabout kembali lagi diMaroko.
Dengan sendirinya, pengamh kedua tokoh besar ini pada umumnya
disalurkan melalui peran-peran politik yang mereka mainkan pada akhirnya:
sebagai presiden Indonesia dan sebagai sultan Maroko. Memang benar bahwa
jabatan presiden itu`merupakan suatu lembaga baru, yang boleh dikatakan telah
diciptakan sendiri oleh Sukarno, sementara kesultanan sudah merupakan suatu
lembaga yang dimuliakan menjelang saat Muhammed V dinobatkan sebagai
sultan Alawiya yang ke-22. Akan tetapi, seperti halnya dengan soal lamanya
zaman kolonial, maka di sini pun perbedaan-perbedaannya mudah dilebih-
lebihkan. Dengan gayanya yang tenang, ulet, lemah-lembut tapi keras kepala,
Muhammed V telah menciptakan sesuatu yang baru sama sekali dari lembaga
kesultanan. Ketika pelindung-pelindung Perancis menghadiahkan jabatan sultan
kepadanya dalam 1927, jabatan itu tidak lebih dari sebuah benda museum, akan
tetapi pengaruh nya terhadap lembaga itu sedikit-dikitnya sama besarnya dengan
pengaruh lembaga itu terhadap dirinya, dan ketika ia meninggal dalam 1961, ia
.meninggalkan suatu jabatan yang sudah dihidupkan kembali dan diperbarui. Di
lain fihak, konsepsi Sukarno tentang jabatan presiden, penemuannya yang
kelihatannya begitu Barat, mempunyai suatu kemiripan dengan jabatan raja
Mataram sebagaimana telah dikemukakan oleh sejumlah orang. Di sini tidaklah
semudah kelihatannya, untuk memastikan siapa kepala eksekutif dan siapa raja
(morarch). Sesungguhnya orang tidak dapat skedar mengatakan bahwa peran
yang satu baru dan yang lainnya sudah lama, dan bahwa orang yang satu
revolusioner dan yang lainnya tradisional. Mereka adalah bagaikan gambar teka-
teki yang pernah saya lihat ketika masih kecil; tergantung kepada cam
meletakkannya, gambar itu menunjukkan orang tua keriput dengan kepala botak,
jenggot panjang dan dahi berkerut seperti sedang berfikir, atau seorang pemuda
tanpa jenggot, bermata bulat, rambut gondrong dan menyeringai dungu. Begitu
pula halnya dengan negara-negara yang dipelintah oleh kedua orang dalam
jabatan puncaknya masing-masing; dan setidak-tidaknya itulah sebabnya untuk
sebagian mengapa berita-berita tentang sifat-sifat mereka begitu saling
bertentangan.
Pertama-tama, monarki Maroko bukanlah sekedar lembaga kunci dalam
sistim politik negara itu. Hal itu dengan sendirinya sudah dapat diduga. Akan
tetapi, sebagaimana yang telah saya kemukakan dalam bab yang lalu, ia juga
merupakan lembaga kunci dalam sistim keagamaan Maroko,.dan itu mungkin
agak lebih mengherankan, setidak-tidaknya dalam pertengahan abad ke- 20 ini.
Bukan itu saja, akan tetapi di dalam dunia Islam pun, di mana orang sudah
terbiasa menghadapi kesulitan untuk menarik garis pemisah antara urusan dunia
dan urusan akhirat, monarki Maroko itu merupakan satu lembaga yang benar-
benar khas.
Pada tingkat yang paling fundamental, kekhasan itu bersumber pada fakta
bahwa monarki menggabungkan di dalam dirinya apa yang mungkin merupakan
kedua tradisi utama dari legitimasi politik dalam Islam, tradisi-tradisi yang dari
luar kelihatannya seperti saling bertentangan secara radikal dan tak dapat
didamaikan satu sama lain, seperti halnya dengan Hak Ilahi Para Raja dan Doktrin
Kehendak Umum (dan sesungguhnya, memang ada sedikit persamaan antara
kedua kasus itu). Di banyak tempat-tempat lainnya, kedua hal itu memang tak
dapat diprsatukan; akan tetapi di Maroko, di mana bakat untuk mempersatukan
hal-hal yang sesungguhnya tak dapat dipersatukan sudah berkembang Sedemikian
rupa sehingga kedua hal itu dapat diperpadukan, kalaupun tidak menjadi satu
kesatuan yang tanpa sambungan, setidak-tidaknya menjadi satu lembaga-yang
integral yang, hingga kini, telah terbukti cukup' efektif untuk mengekang
kontradiksi-kontradiksi di dalam dirinya sendiri, sekali pun ada usaha-usaha untuk
menarik keuntungan dan kontradiksi-kontradiksi itu. Kedua tradisi, atau konsep,
tentang legitimasi itu adalah apa yang oleh W. Montgomery Watt, seorang ahli
Islam dari Edinburgh, dinamakan tradisi otokratik dan tradisi konstitusionalis.
Akan tetapi, yang menjadi persoalannya bukanlah tirani lawan demokrasi, atau
-malahan kesewenang-wenangan lawan legalisme, melainkan apakah kekuasaan
itu dianggap sebagai pancaran dari seorang tokoh yang karismatik atau dari suatu
komunitas yang karismatik. Oleh karena itu, saya anggap istilah-istilah itu dapat
menyesatkan dan sebagai gantinya saya gunakan istilah-istilah intrinsik dan
kontraktual. Sebagaimana dikemukakan oleh Watt, soal yang menentukan
adalah apakah hak untuk memerintah itu dipandang sebagai suatu sifat organis,
suatu bahan ramuan magis di dalam diri pribadi orang. yang memerintah, atau
sebagai sesuatu yang dianugerahkan kepadanya, dengan suatu cara yang
tersembunyi dan berliku-liku, oleh rakyat yang diperintahnya. Dan di Maroko,
jawaban atas pertanyaan ini adalah kedua-dua nya
Menurut pandangan Watt teori intrinsik tentang legitimasi yang
menganggap kekuasaan sebagai sesuatu yang inheren dalam diri penguasa sebagai
penguasa, dapat ditelusuri asal-usulnya sampai kepada faham Syiah mengenai
pemimpin yang keramat yakni Imam, teori kontraktual ia telusuri kembali
sampai; kepada konsep Sunni mengenai komunitas keramat., yakni umma.
Dengan sendirinya ide tentang Imam itu berasal dari pengakuan Syiah, dan
penolakan Sunni, terhadap hakyang dikemukakan oleh menantu Nabi Muhammad
Ali dan keturunannya, atas jabatan Khalifah - pemirnpin kerohanian masyarakat
Islam yang dapat diwariskan secara turun-tcmurun. Ide mengenai Umma berasal
dari pendapat para ahli hukum Sunni bahwa sikap tunduk kepada suatu
interpretasi yang distandarkan mengenai ritus dan doktrin -- artinya interpretasi
mereka - merupakan persyaratan bagi seseorang untuk menjadi anggota
Komunitas Muhammad, suatu persyaratan yang berlaku baik bagi raja mau pun
bagi penggembala. Masalah-masalah historis, yuridis, dan teologisnya sangat
rumit dan menyangkut sekian banyaknya aliran yang saling berlawanan dalam
Islam tradisional. Akan tetapi masalah-masalah itu tidak sangat penting bagi
pembahasan kita. Yang sangat penting artinya adalah bahwa, di bawah dinasti
Alawiya, jabatan. sultan Maroko mempersatukan apa yang di kebanyakan bagian-
bagian lainnya dalam Dunia Islam merupakan prinsip-prinsip yang saling
bertentangan secara langsung tentang organisasi politik dan keagamaan: yakni
prinsip bahwa penguasa adalah penguasa karena secara adikodrati ia sudah diberi
kecakapan untuk itu dan prinsip bahwa penguasa adalah penguasa oleh karena
jurubicara-jurubicara yang kompeten dari komunitas telah sepakat bahwa ia cakap
untuk menjadi penguasa.
Seperti -telah saya jelaskan, dimensi intrinsik dari peranan sultan
bersumber pada kenyataan bahwa ia adalah keturunan Nabi, dan terutama pada
kenyataan bahwa ia adalah anggota keluarga yang dekat, biasanya sebagai anak
laki-laki, kadang-kadang sebagai saudara, dari sultan yang lama, dan dengan
demikian telah mewarisi barakanya. Akan tetapi dimensi kontraktual didasarkan
atas suatu lembaga Sunni yang sudah tua, yang disebut bala- yang berasal dari
akar kata menjual, dan berarti suatu transaksi usaha atau jual-beli, lalu
memperoleh makna persetujuan, pengaturan atau penghormatan. Maroko
tidak mengenal hak putera sulung sultan untuk menggantikan ayahnya, (sampai
Muhammed V mulai memberlakukan prinsip itu dalam tahun 1961). Dan selain
persyaratan bahwa sultan harus berasal dari keluarga yang memerintah, tidak ada
ketentuan-ketentuan yang sangat jelas mengenai pergantian sultan itu. Dalam
kenyatannya, kebanyakan sultan dipilih dari mereka yang berhak untuk dipilih
oleh sultan yang akan mengundurkan diri atau oleh klik di sekitar tahta. Akan
tetapi pemilihan formalnya, penobatannya, dilakukan oleh suatu masjlis ulama,
yang bersidang di Fez, dan diratifikasi oleh sidang-sidang serupa yang dihadiri
oleh para ulama dan pemuka di kota-kota besar lainnya. Kita tidak perlu
membahas lebih mendalam lagi yang mana bentuk dan yang mana substansi. Yang
penting adalah bahwa baia dapat dikatakan mensahkan legitimasi Sultan: di atas
karisma pribadinya ia meletakkan karisma Komunitas Yang Patuh.
Landasan ganda dari legitimasi ini selanjutnya menimbulkan, atau
mungkin lebih tepat lagi, merupakan akibat dari, suatu persepsi ganda tentang
sifat jabatan sultan di kalangan penduduk. disatu fihak, Sultan merupakan kepala
marabout di dalam-negeri, orang suci pertama; kekuasaannya bersifat spiritual. Di
lain fihak Sultan merupakan pemimpin Komunitas Islam yang dipilih
sebagaimana mestinya, kepalanya yang diangkat secara resmi; kekuasaannya
bersifat politis. Dan lebih dari itu, kedua konsep mengenai jabatan Sultan itu tidak
menyebar secara merata didalam masyarakat: kekeramatannya diakui secara
universal, atau boleh dikatakan begitu, akan tetapi tidaklah demikian halnya
dengan kedaulatannya. Ia berkuasa di mana-mana akan tetapi hanya memerintah
di sebagiannya saja.
93
sai jabatan sultan, mempurcbutkan hak untuk mendefinisikannya,
atau lebih baik, mendefinisikannya kembali - suatu perlombaan
yang dengan cukup meyakinkan dimenangkan oleh Sultan, meski-
pun tidak seluruhnya atas usahanya sendiri. Seandainya revolusi
Maroko hams mempunyai satu semboyan lain di samping sembo-
yan k111<3fdkH21H (istz'qIaI!) yang kedengarannya banal, mung-
lkin semboyan itu akan berbunyi: Kesu1tanan sudah mati; hidup
Kesultanan!.
fg Poros pertarungan antara nasionalisme skripturalis dan nasional-
isme royalis, kalau saya boleh menggunakan istilah-istilah itu, kem-
bali merupakan soal tekanan relatif yang diletakkan di atas aspek-
Bspek intrinsil< dan kontrak'tual dari kesultanan. Sebelum
abad ini penobatan sultan oleh komunitas jelas-.ielas lebih meru-
pakan satu pengakuan atas sesuatu yang sudah merupakan kenya-
taan jadr suatu penghormatan, daripada suatu perjianjian yang se-
ungguhnya. Akan tetapi dengan tumbuhnya gerakan skripturalis-
B e, maka faham kontrak, seperti banyak faham lainnya yang di-
anggap sebagai ajaran Islam yang sesungguhnya, mulai diartikan
ilecara lebih harfiah; faham tenlang karismu kedinastian, seperti
banyak faham lainnya yang dianggap sebagai penyimpangan-
eenyimpangan setempat dari ajaran yang benar, mulai diserang
ccara terang-terangan. Peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam
entrokan antara pendukung-pendukung monarki deputatif dan
endukung-pendukung monarki maraboutik sangat besar jum-
hnya dan kompleks, akan tetapi dua di antaranya telah menen-
lkiill arah perkembangannya secara umum: dikeluarkannya
ig yang dinamakan Dekrit Berber, atas nama Sultan, dalam
Q930; dan pemecatan, pembuangan dan kembalinya Sultan dalam
5 53---55.
Dekrit Berber dapat dianggap sebagai satu usaha dari .fihak
Iancis untuk mengkonsolidasikan pembedaan antara Wilayah
rnerintah dan wilayah kaum yang berbeda faham dan untuk
nempatkan yang disebut belakangan di bawah pengawasan
gsung Perancis, tanpa perantaraan Sultan, dalam aspek-aspek
gamaannya yang murni sekalipun. secara kongkritnya dekrit
menetapkan bahwa orang-orang Berber yang kebanyakan
ITlLlk3. berdiam di daerah-daerah pinggiran, tidak lagi tunduk
ada Syariat, hukum Islam, melainkan kepada pengadilan-pe-
dililn adat mereka sendiri. Sampai tingkat tertentu, hal itu
a sekedar mensahkan suatu keadaan yang sudah berlaku.
un dengan me,nahkan keadaan itu dekrit tersebutjuga ingin
Elnlmkan kesadaran, sesuai dengan tujuannya, bahwa orang-
orang Berber sesungguhnya bukanlah orang-orang Muslim,
bahwa hukum Islam tidak saja belum meresap cukup dalam di
banyak daerah yang letaknya jauh akan tetapi bahwa hukum itu
tidak boleh dibiarkan memasuki daerah-daerah itu, dan bahwa
sesungguhnya Sultan bukanlah kepala kerohanian seluruh negeri.
Kelihatannya, merancang suatu politik yang akan mampu inengan-
cam sekaligus kaum maraboutis, skripturalis, royalis dan nasionalis
dan memaksa mereka untuk bersatu, merupakan satu pekeljaan
yang sulif; akan tetapi dengan Dekrit Berber itu Perancis berhasil
menciptakan politik yang sedemikian itu. Seperti dikatakan oleh
Charles Andre Julien, dekrit itu merupakan lebih dari suatu ke-
jahatan juridis, ia lnerupakan satu kesalahan politik".
Bagaimana besarnya kesalahan itu akan segera nampak. Ke-
lompok-kelompok kecil kaum intelektual nasionalis di Fez dan
Rabat secara tiba-tiba saja disodori kesempatan yang sedang me-
reka nanti-nantikan selama itu dan, setelah bergabung di bawah
pimpinan tokoh skripturalis yang fanatik, Allah Al-Fagsi, mereka,
atas nama Islam yang dihina, melancarkan gerakan massa yang
pertama untuk menuntut kemerdekaan - Blok Aksi Nasional
yang telah saya sebutkan di atas. Demontrasi-demontrasi rakyal
peeah di kota-kota besar; di seluruh negeri Cliadakan Sembahyang
bersamu untuk memohon kepada Tuhan agar menghukum pemef
riniah l<<.>lonial Perancis; Al-Fassi dan rekan-rekannya ,mengobar
kan semangat rnassadengan khotbah-khotbah mereka di mesjid-
lncsjid terkemuka, Persoalan itu, yang kemudian dioper oleh
gerakan Pan-Islam, meluas melampaui tapal batas Maroko, dan
komite-komitc untuk menyelamatkan orang-orang Berber bapi
Islam didirikan di Mesir, India, dan sebagai satu-satunya hue
bungan historis yang langsung antara kedua negeri yang sebeginn
jauh telah dapat saya temukan Jawa. Ini merupakan pasang
naik nasionalisme skripturalis, saat klimaknya. Seandainya Maru
ko sudah merdeka dalam tahun-tahun l930-an, satu hal yang tak
mungkin sama sekali, maka tak disangsikan lagi ia akanberbunt
yang serupa terhadap monarki, dan Al-Fassi tak disangsikan luygi
akan menjadi semacam Sukarno, Nkrumah atau Houphouet
Maroko. Ketika Maroko benar-benar mernperoleh kemerdekaan
nya tahun l956, kemerdekaan itu diperolehnya melalui monzn=
ki, dan Al-Fassi hanyalah seorang di antara sekian banyaknya
tokoh politik.
Meningkatnya secara mantap arti penting Sultan di dalann
gerakan nasionalis yang mengakibatkan semakin tidak baikny
hubungan antara dia dan kaum skripturalis dapat ditelusuri Sala;
7.)
. tahun-tahun 1930-an dan 1940-an, di mana agitasi politik
iderung untuk semakin memusat sekitar pribadi Muhammed
yang sedang naik bintangnya, dan semakin menjauhi soal me-
llihkan kemurnian. Islam. Akan tetapi yang menyebabkan dia
injadi pemimpin mutlak dari gerakan nasionalis itu adalah
dakan Perancis yang menumnkannya dari tahta dan mem-
angnya dalam bulan Agustus 1953, ketika ia menolak untuk
enandatangani dekrit-dekrit baru yang disodorkan Perancis
padanya. Ketika, dua tahun lebih sedikit kemudian, ia kembali
tuk memimpin Maroko yang sudah merdeka, ia merupakan
>rang pemimpin yang tak ada tandingannya di antara para
tan Alawiya sebelum dia, bagaimana besar pun kekuasaannya,
Jrang pahl-awan yang otentik, Tulisan-tulisan yang terpampang
ia spanduk-spanduk dalam demontrasi-demontrasi nasionalis
ng pertama - Hidup Islaml "Hidup Marokol Hidup Sul-
\! - telah dibalik urutannya secara efektil`. Pemerintahan ko-
iial Perancis telah melahirkan apa yang hampir pasti tak mampu
:iptakan oleh dinasti itu, jika dibiarkan saja - seorang raja
iraboutik.
Kekhasan yang luarbiasa dari keadaan itu perlu diberi lekanun.
ya menyangsikan apakah ada bangsa baru lainnya, jika Maroko
nar-benar merupakan sebuah bangsa yang baru, di mana pahla-
n dan pemimpin revolusi dan kemerdekaannya mempunyai
kuasaan yang begitu besar di bidang /ceagamaan, di atas kekua-
rn politikfnya, seperti yang dimiliki Muhammed V di,Maroko
lam l956. Andaikata Ghandi dan bukannya Nehru yang men-
ii perdana menteri India yang pertama, maka anda mungkin
an dapat mengadakan perbandingan, meskipun isi keyakinan-
yakinan religius dan politik dari kedua orang itu dengan sendi-
ya berbeda secara radikal. Adalah sulit untuk memperoleh
pastian mengenai hal-hal seperti itu, apabila persoalannya me-
angkut orang-orang besar, namun Muhammed V>kelihatannya
alah seorang yang sangat Saleh, suatu kesalehan yang lebih se-
li dengan personalisme dan gaya klasik dari pada dengan dia-
Ltika skripturalisme. Hannah Arendt pernah mengemukakan
ndapat bahwa hal yang sangat mengherankan mengenai jabatan
Us Yohannes XXIII adalah bahwa pada akhirnya seorang Kristen
mjadi Paus. Begitu pula, hal yang sangat mengherankan menge-
l masa pemerintahan Muhammed V slama lima tahun yang
gkat sebagai raja yang merdeka adalah bahwa seorang Muslim
QB akhirnya menjadi Sultan.
lNamun demikian, ketegangan intern antara orang kuat dan
orang Suci tak dapat dipecahkan. Masalah itu memang tak terpe-
cahkan. Malahan, dengan adanya kemauan untuk modem - dan
tak ada negara baru yang bisa hidup tanpa kemauan itu - kete-
gangan tersebut malahan menjadi lebih besar. Dengan mengizin-
kan puteri-puterinya untuk menanggall<an cadar tapi .melarang
iSteri-isterinya untuk tampil di muka umum, dengan berpakaian
Barat dalam kehidupan pribadinya dan berpakaian Arab jika
hams tampil di maka umum, dengan merasionulkan birokrasi
pemerintahan tapi menghidupkan kembali tata-cara keraton
yang tradisional, Muhammed V merupakan contoh yang paling
baik mengenai adanya pemisahan yang radikal antara bentuk-
bentuk kehidupan religius dan aubstansi kehidupan sekulcr yang
di dalam bab pertama saya kemukakan sebagai Ciri Islam di Maro-
ko dewasa ini. Muhammed V tidak hidup cukup lama untuk me-
nyaksikan apakah pemisahan yang disengaja ini antara yang spi-
ritual dan yang praktis bisa dipertahanl<;m pada tingkatan yang
begitu tinggi. Kematiannya - yang tiba-tiba, prematur, dan di-
tandai oleh Salah satu pcrnyataan berkabung kolektif yang paling
besar yang pernah disaksikan orang di dunia hanya mengaki-
batkan bahwa secara lebih pasti lagi ia dianggap sebagai orang
suci. Jika tidak terjacli hal-hal yang luarbiasa (dan di Dunia Keti'
ga segala sesuatunya sulit diramalkan). maka mitosnya akan terus
membimbing Maroko dalam peqialanan hidupnya untuk waktu
Waktu mendatang. Dan dengan mitos itu, dengan me1asul< kalbu
mereka yang mengikutinya, akan memberikan bimbixannya citnu
seorang manusia yang dengan jalan membagi-bagikan kehidupan
nya menjadi llllgl<1`(lll-llllgkZ:ll`2il1 yang tcrpisah satu sama lain,
telah berhasil menjadi sekaligus seorang lzomme feric/ze dan sl-
orang politikus ulung.
/U
Marxis -- bertemu untuk memperdebatkan soal-soal fprinsip
dan taktik, melewati tahap perbedaan-perbedaan faham tentan;
revolusi, sampai kepada keputus-asaan usaha untuk memperta-
hankan Demokrasi Terpimpin dengan slogan-slogan, Sukarnc
menempuh suatu kurva antusiasme ideologisyang tems menan-
jak. Kepandaiannya, yang sangat besar, semuanya bersifat retorik
termasuk juga yang tidak dinyatakan dengan kata-kata. Kalau Mu-
hammed V bertindak secara tenang, malahan dengan sikap segan
segan, untuk menggunakan kekuatan yang terdapat secara inherer
di dalam suatu Iembaga yang sudah mapan, maka Sukarno menem-
puh Cara yang lantang dan riuh-rendah, untuk memikat imajinas
suatu bangsa yang mengira bahwa Zaman raja-raja sudah lampau
Corak yang sangat intelektualis dari nasionalisme Indonesia
yang secara ekstrini mengandalkan kepadaapa yang oleh Herber'
Feith dinaniakan manipulasi simbol, seringkali dicatat orang
akan tetapi, menurut hemat saya, jarang saja difahami. Sukarnf
tidak saja tidak mewarisi tahta, ia juga tidak memiliki suatu or
ganisasi partai yang komprehensif seperti, umpamanya, yan;
dimiliki Nkrumah di Ghana, ia tidak memiliki korps pamong
praja yang sudah dimodernisasi seperti yang dimiliki Nehru d
India, tidak menipunyai tentara kerakyatan seperti yang dipu
nyai Nasser di Mesir. Ia malahan tidak mempunyai buljuasi pri
burni seperti yang terdapat di Filipina yang oleh Quezon dijadi-
kan landasan pembangunannya, atau kebanggaan kesukuan yan;
dijadikan landasan pembangunan oleh Kenyatta di Kenya. Ia ha
nya mempunyai ideologi dan orang-orang yang paling tertarii-
oleh ideologi -- yakni kaum intelegensia Peranan seorang inte
Iektual, itu tokoh yang tidak dapat diandalkan yang oleh Real di
Curban didefinisikan sebagai orang yang lebih pintar berbahas:
Latin daripada niemiliki hafta-benda (meskipun dalam hal ini
bahasanya adalah bahasa Belanda), adalah sama besarnya dalan
nasionalisme Indonesia seperti dalam nasionalisme negarafnegan
baru lainnya kecuali, mungkin, Aljazair. Orang-orang yang secai;
mengerikan menyederhanakan segala sesuatunya, sebagaimana
yang digambarkan oleh Burkhardt, telah menemukan Erewhmi
(Negeri Utopia) mereka di Indonesia, dan Sukarnolah, dengan
segala keuletan dan kepandaiannya, yang boleh dikatakan paula
setiap persimpangan jalan yang menentukan, membelikan kepznla
mereka penyederhanaan-penyederhanaan yang diperlukan.
Menyederhanakan penyederhanaan bukanlah sattiipekerjuail
yang menarik. Akan tetapi dalam gerak maju Sukarno dan Indo
nesia menuju apa yang ia sendiri namakan suatu mythos, terdupai
99
tiga tahap ideologis yang utama - yang pertama berpnsat sekitar
agitasinya di Zaman Kolonial; yang kedua berpusat sekitar Re-
volusi; dan yang ketiga berpusat sckitar masa otokrai presiden=
sial. Sebagai tahap-tahap, di mana yang satu tumbuh dari yang
lainnya, maka tahap yang kemudian tidak nienggantikan tahap
yang terdahulu. melainkan mencakupnya dalam sL\atukompleks
simbol-simbol yang semakin berkembang. Meskipun demikian,
tahap-tahap itu menandai langl<ah-langkah yang dapat dibeda-
kan yang satu dari yang Iainnya` dalam gerak maju menuju pen-
uiptaan kelnbali suatu ncgara fl[Cl`. untuk menghidupkan kem-
b,aI'i politik 1cladan. dalam menghadapi purisme, baik yang me-
makai cap skripturalis manpun yang memakai cap Marxis.
Tahap Zaman Kolonial secara garis hcsarnya terdiri dari
usaha untuk II`|L`il]1M|Wli5l<Lll1 diri dari skriptualis dan Marxismer
dan nn1nlwcnIuk satu iduologi yang asli IndoncSia. Sctelah
dalam tahun |921 Scnrkat Islam pecah menjadi sayap skrip-
luralis dan sayap Marxis - yang disebut paling akhir itu tidak
lama kermlclian Lnmbulu nnenjznli Partai Komunis Indonesia -
Sl|kLll`I1(>. dengan nwndirikan Partai Nasionalis, mulai dcngan
usa|'|anya lncnciptakan idcologi demikian. Idcologi itu, yang
Llilwri nama "MarhacnismQ", dari nama scorang pctani miskin
yang ia .jurnpai dan ia ajak bc1'caI<ap-cal<ap pada satu hari ketika
ia scdang bCl1iLlILlI]-jLl|LlIl melalni sawah pada aknir fLll`lL1l]tLll`1l|I1
l92O-an. diclasarkan atas fpcmbcdaan antara, di satu I"ihak, pc-
tani kuciI` pcdagang l<cciI. tukang, kusir gcrobak dan sebagai-
nya. yang memiliki tanah sendiri, perkakas Sendai, kuda scn-
Jiri. atau apa sa.ia. artinya, memiliki hafta bcnda tapi misl<in.
dan, di lain t`iha|<, prolctar yang scsungguhnya menurut faham
|\/Iarx, yakni orang yang menjual tenaganya tanpa ikut murni-
liki alat-alat produksi, Indonesia merupakan masyarakatnya
orang-orang seperti pctani l\/Iarhaen; seperti yang dikemuka-
kannya dalam pcmbclaannya yang sangat terkenal di muka pe-
ngadilan di Bandung tahun 1929, kolonialisme telah membuat
sctiap orang dan segala sesuatunya menjadi kecil - petani, peker-
ja. pcclagang, jurutulis, semuanya pada akhirnya mendapat cap
ukuran l<cciI". Sebagai scbuah doktrin, Marhacnisme hanyalah
suatu populisme prilnitif, suatu mistik aksi massa, dan ia tidak
Qurnah menjadi sesuatu yang lebih dari itu. Akan tetapi dengan
doktrin itu Sukarno, seperti dikatakannya sendiri, telah mem-
ulwaskan diri dan keharusan untuk menantikan penyelamatan
ngan scbuah pcsawat tcrbang dari Moskwa atau seorang kha-
ftlh dari Istambul.
IUU
Akan tetapi orang-orang lainnya terus saja menunggu, dan
menjelang pecahnya Revolusi, pertentangan di antara golongan-
golongan politik yang terkemuka - Islam, Marxis dan populis -
adalah luarbiasa sengitnya. Oleh karena itu maka penemuan ideo
logis berikutnya yang dilakukan oleh Sukarno adalah satu usaha
untuk mengadakan sintesa. Di dalam apa yang dinamakan Pancu-
sila, yang untuk pertama kalinya diutarakan dalam 1945 sebagui
suatu ideologi bagi republik yang akan lahir, ia berusaha melua
takkan landasan bagi persatuan revolusioner dengan jalan memua
lihkan apa yang merupakan semacam keseimbangan kekuatan
di bidang spiritual yang telah dihancurkan oleh peristiwa-peris-
tiwa yang telah terjadi selama seratus tahun yang lalu, dan terua
tama selama duapuluh tahun yang terakhir. Di dalam Sila yang
Lima -a- Nasionalisme, Peri-Kemanusiaan, Demokrasi, Keadilan
Sosial dan Kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa - setiap
orang memperoleh bagiannya yang sesuai..Sukarno sendiri me
nganggap dirinya sebagai teladan dari integrasi eklektik semacaln
ini, suatu mikrokosmos ideologis: Aku adalah seorang penganul
Karl Marx, demikian katanya dalam Salah satu pidatonya, .akan
tetapi, di flhak lain, aku adalah juga seorang yang beragama, oleh
karena itu aku dapat memahami segala faham yang terletak antara
Marxisme dan teisme Aku mengetahui semua aliran dan me
mahaminya Al<u-telah menjadikan dinku sebagai tempat ber
temu semua aliran dan icleologi itu. Aku telah menggoclok, meng
goclok dan menggodoknya itu semua sampai pada akhimya menjn
di Sukamo yang sekarang.
Seperti diketahui umum, perkembangannya tidaklah begilu
serasi dalam masyarakat pada umumnya; dunia di sekitarnya
tidak secara otomatis berkembang menurut citra pemimpin
teladannya. Menjelang 1957, dan malahan sebelum itu, kontms
antara kosmos yang dilukiskan dalam Pancasila dan menjelma
dalam diri Sukarno dan kekacauan yang terjadi dalam kehidupaui
sehari-hari adalah' cukup besar untuk tidak dilihat oleh jpemugja
pemujanya yang paling penjilat sekalipun. Ihtiar Sukarno yang ke;
tiga di bidang ideologi, yang akhirnya menghancurkannya kelilia
itu pun gagal, adalah berupa usaha untuk menyelaraskan kedua
faham itu, tidak dengan jalan mengubah cita-citanya, karena itg
kerarnat, tidak pula dengan memaksakannya oleh karena it;
berada di luar kekuatannya, melainkan dengan jalan membenlu `
kembali, (ia menggunakan kata Inggris, buatannya sendiri, "YQ
shaping) lembaga-lembaga politik, dan bersamaan dengan if
101
moralitas politik dari pemenntah nasional agar dapat mencer-
minkannya secara lebih tepat. Ia menamakannya Demokrasi
Terpirnpin, akan tetapi apa yang ia ciptakan, atau dicoba di-
ciptakannya, adalah satu versi modern dari negara teater, sebuah
negara yang dari pamerampameran kemegahannya, mitos-mitos,
tokoh-tokoh terkena] dan monumen-monumennya, petani kecil
atau penjaja, Marhaen yang tahan mendenta, dapat memperoleh
gambaran tentang kebesaran bangsanya dan berusahauntuk
mewujudkannya,
Kita tak perlu membahas secara mendetil unsur-unsur ge-
Iombang pasang yang menuju klimaks politik teladan itu pem-
bangunan -mesjid terbesar di dunia, sebuah stadion olahraga
yang kolosal, dan sebuah monumen nasional yang lebih tinggi
dari menara Eiffel, lebih besar dari Borobudur dan dirancang agar
dapat bertahan selama seribu tahun; seremonialisme sirkus dari
Asian Games, Gerakan Hidup Baru, perjuangan membebaskan
Irian Barat dan konfrontasi dengan Malaysia; labirin raja Kafka
bempa Dewan Penasihat Agung, Dewan Perencanaan Nasional,
kabinet yang beranggota 40 orang, dan Majlis Permusyawaratan
Rakyat Sementara, dan di atas itu semua jabatan presiden seumur
hidup, Itu semua, bersama-sama dengan banjir singkatan-singkab
an, slcpgan-slogan, ungkapan-ungkapan bersayap, dan proklamasi-
proklamasi yang mengiringinya, telah dibahas panjang-le-bar,
ineski tidak selalu secara mendalam, dalam literatur mengenai
Qndonesia masa akhir-akhir ini. Bagi kita, yang penting adalah bah-
iwa sesudah tahun 1960, doktrin yang menyatakan bahwa kesejah-
$@raan negeri disebabkan oleh kemegahan ibukotanya, bahwa
emegahan lbukotanya disebabkan oleh kecemerlangan elitnya,
an kecemerlangan elltnya drsebabkan oleh keunggulan kero-
r aniaan penguasanya, berlaku kembali sepenuhnya.
' Namun demikian, di sini diperlukan kejelasan. Eksemplaris-
baru itu tidaklah timbul dari ketidak-sadaran kolektif bangsa
donesia, ia bukan kembalinya apa yang telah ditekan secara
' ltura1, Sukarno, yang tidaklah begitu merakyat seperti yang
khayalkan sendiri dan tidak seradikal ucapan-ucapannya, me-
akan pewaris historis dari tradisi Hindu, seperti halnya Mu-
med V dapat dipastikan merupakan pewaris kesultanan
f, Seperti telah saya jelaskan di muka, tradisi ini diperta-
kan oleh golongan priyayi yang sudah m.<-:njadi birokrat di
*tm Kolonial. Dan dari kelas inilah - atau, lebih tepat lagi,
; lapisan bawahnya yang revolusioner- Sukarno berasal dan,
upun ia terus menghantam feodalisme, ia tak pernah
keluar dari kelas ini dan ia tak pernah berhenti menjadi jum-
bicaranya. Gaya religiusnya adalah gaya Sukarnoi sendiri, begitu
pula cita-citanya yang sudah disesuaikan dengan konclisi-kondiSi
modrn dan dibersihkan dari sikap penurut kepada kaum pen-
jajah. Dengan gayanya yang ekspansif yang seolah -olah .hendak
merangkul seluruh dunia, ia pada satu ketika berkata kepada
Louis Fisher bahwa ia adalah sekaligus seorang Kristen, Muslim
dan Hindu. Akan tetapi yang ia hafal di luar kepala adalah la>
kon-lakon wayang dari Ramayana dan Mahabharata, dan bukan isi
Kitab Injil atau`Quran; dan apabila. ia memrlukan bimbingan
ilahi maka ia mencafinya dengan mengheningkan cipta dan buss
kan di gerejaatau mesjid. Sukamo pun telah mengalami saat-Saul
di pinggir sungai, dan apabila kita boleh mempercayainya, dan sa-
ya kira dalam hal ini sebaiknya kita ipercaya, maka kita dapal
membayangkan bahwa apa yang telah dialaminya di sana adalah
kira-kira sama dengan apa yang telah dialami oleh Kalijaga di
Jepara 1
Jika aku teringat akan pengalamanmu selama lima tahun tinggal di
Flores, bagaimana, ketika aku duduk di pantai di kala matahari ter-
benami .... Aku menclengarkan deburnya ombak menerjang pantai,
clam ketiku aku duduk sendirian, tenggelam dalam renungan di pantai
lflorcs itu, aku mendngar laut menyanyikan lagu pujian bagi Tuhan
Yung Maha Kuasa: Ya Allah, Tuhanku, Kau telah memberikan ke=
imlziliaii seperti ini kepada bangsa kami. Iika' aku teringat akan niasaf
ku di Bengkulu, (di mana ia tinggal dalam pembuangn setelah dipin-
dahkan dari Flores), di mana aku seringkali pergi ke luar kota masuk
ke dalam hutan; angin meniup lembut di sela-sela pepohonan, daun
daun berjatuhan ke tanah. Angin itu .... yang bertiup lembut di hutani
angin itu dalam pcndengaranku menyanyikan lagu-lagu pujian, pujizm
Indonesia kepada Yang Maha Kuasa. A '
. 7;.;iM.:v V. ,, ,M - .,
si kesultanan di mata 1ak.ya,t,"te1`h . -.- u ntuk terus menghi=
dupkan citra ayahgnya- sebagafsorang rajaiyang suci, perpaduan
antara orang suci dan orang kuat, dan untuk menggabungkan citra-
nya sendin dengan citra ayahnya itu, meskipun dalam usaha ini ia
tidak begitu berhasil. Jendral Suharto, yang tidak memiliki bakat
untuk mendramatisasikan dirinya seperti Sukarno, adalah juga
orang yang cenderung kepada tradisi Hindu dan berusaha untuk
menegakkan kembali semacam keseimbangan kekuatan spiritual
di Indonesia, kalau pun hanya dengan tujuan agar dapat terus
memerintah. Dan sesungguhnya, apa yang dinamakan Ordc
Baruf di Indonesia sudah mulai menampakkan beberapa ciri
teatrikalisme gaya Sukarno.
Namun demikian, dalam bidang ini ramalan-ramalan tak ada
artinya. Apa yang benar-benar dapat dilakukan oleh seseorang
yang sedang mendalami ilmu perbandingan agama .paling banter
adalah membentangkan batas-batas umum di mana kehidupan
spiritual sesuatu bangsa telah bergerak, sedang bergerak, dan bagai-
mana kiranya ia akan bergerak untuk selanjutnya, dengan mengi-
ngat bahwa masa depan tidak akan berbeda sama sekali dari masa
kini. Bagaimana persisnya, di dalam batas-batas umum, kehidupan
spritual itu akan bergerak dalam kenyataannya, hanya Tuhanlah
yang tahu, seperti kata orang.
109
Malinowski tidak keliru dalam nalurinya bahwa dunia yang
biasa ini, dengan obyek-obyek akalsehat dan perbuatan-perbuatan
praktisnya, dengan kebijaksanaan konvensibnal dan `prasangka-
prasangka yang diterixnanya, dengan benda-benda yang diketahui
oleh setiap orang, dengan keputusan-keputusan yang diambil
oleh setiap ,orang, dengan perasaan-perasaan yang dipunyai oleh
setiap orang, dunia ini, dengan meminjam ungkapan dari Alfred
Schutz, mempakan realitas yang paling utama dalam pengalaman
lnanusia 4 paling utama dalam pengertian bahwa inilah dunia di
mana kita berakar paling kokoh, yang aktualitas inherennya tak
dapat kita pertanyakan, dan di mana kita paling banter hanya
dapat lolos untuk sementara saja dari tekanan-tekanan dan tun-
tutan-tuntutannya. Kekeliiuan Malinowski adalah karena ia
melihat dunia ini sebagai terdin dari tehnfk-tehnik untuk me-
ngatasi masalah-masalah hidup dan bukannya sebagai satu cara
untuk memahaminya. Sebabnyaadalah karena, pada dasarnya,
akalsehat bukanlah teknologi rakyat; bukan pula pengetahuan
rayat; iafadalah suatu kerangka batin. Akalsehat bukanlah suatu
empiri yang kasar satu kumpulan kemampuan-kemampuan
praktis dan tehnis, aturan-aturan praktis dan keterampilan yang ti-
dak mempunyai nilaie teoritis, seperti yang dikatakan oleh Mali-
nowski, melainkan merupakan satu kumpulan pengandaian-pe-
ngandian, di antaranya ada yang dianut secara sadar tetapi ba-
gian terbesar hanya diterima begitu saja, mengenai segala sesuatu
dalam keadaannya yang sederhana -- mengenai apa yang dianggap
normal dan apa yang tidak, yang wajar dan yang tidak, yang rial
Dillhdt dan sudut pandangan 1n1 maka suatu pemahaman me
]`lgI'la1 apa yang dmamakan akalsehat 1tu sebagzu suatu cara me
mandang kehldupan (artinya cara hidup) memang mendahului
itu yaknl suatu Cara memandang kehidupan yang berbeda Ini bu-
kan karena agama itu mempakan pemanjangan yang tersamar
an akalsehat seperti yang hendak dikemukakan oleh Malinowski
elalnkan oleh karena seperti kesenian ilmu pengetahuan ideo-
og1 hukum atau sejarah ia timbul dari suatu persepsi mengenal
dak memadainya pengertian-pengertian menumt akalsehat untuk
e lakukan tugas yang diberikan kepadanya: yakni untuk mema-
ini pengalaman. Dunia sehari-hari sebagaimana yang dilihat
setiap orang yang mempanyai mata untuk 'melihat dan yang
engar oleh setiap orang yang mempunyai telinga untuk mende-
memang bisa mempunyai arti yang utama: seseorang (atau
dan yang tidak.
.A,..
I . 1 I 1 I l
pemahaman mengenal agama sebaga1 suatu cara yang sedemlklan
111
saja texjadi gerak untuk menerobos lapisan kerak akalshat,
akan tetapi ada gerak' kembali ke dunia hal-hal yang biasa dan
yang sudah jelas, untuk meralat dan mengubahnya atas dasar apa
yang telah dipelajari, atau dianggap telah dipelajan, dengan jalan
mengatasinya. Gambaran kita mengenai fakta-fakta kehidupan
tidaklah begitu sederhana seperti -ke1ihatannya;gambaran itu di-
bentuk dan dibentuk kembali berdasarkan usaha-usaha kultuml
yang khusus yang tumbuh dari padanya dan menjauhinya, kemu-
dian bereaksi kembali terhadapnya, seperti halnya yang texjadi
dengan sekian banyaknya pemikiran kembali. Ada dialektika
antara agama dan akalsehat - seperti juga antara kesenian, ilmu
pengetahuan dan sebagainya dengan akalsehat - yang menye-
babkan' yang satu harus ditinjau dalam kaitannya dengan yang
lainnya. Agama harus ditinjau dengan latar belakang akalsehat
yang tidak memadai, atau setidak-tidaknya dianggap .tidak me-
madai, sebagai suatu orientasi total terhadap kehidupan; dan ia
juga harus ditinjau dari segi pengaruh formatifnya terhadap
akalsehat, yakni caranya ia, dengan jalan mempemoalkan apa yang
tidak dapat dipemoalkan lagi, membentuk pemahaman kita ten-
tang dunia sehan-hari, dunia apa adanya, di mana kita semua
harus hidup, betapa pun aneka ragamnya pemukul genderang
yang mungkin kita dengar atau tidak dengar.
113
mereka yang karena profesinya mempunyai pandangan yang
berlawanan, akan dianggap sebagai ada sangkut-pautnya secara
samar-samar dengan agama, lalu mencari apa yang menye-
babkan' kita berlikir begitu, apa' yang menyebabkan kita berflkir
bahwa bagaimana pun hal-hal yang boleh dikatakan khusus itu,
yang dilakukan, dipercayai, dirasakan, atau dikatakan oleh orang-
orang tertentu dapat dikelompokkan bersama dengan keintiman
yang cukup besar sehingga dapat diben nama bersama. Saya akui
bahwa cara itu juga merupakan satu prosedur definisional, akan
tetapi prosedur definisional yang lebih induktif, yang lebih dapat
disamakan dengan cara mencatat kemiripan-kemiripan yang tak
begitu kentara dalam cara 'berjalan antara orang Dublin dan
orang Paris, dan pada menyarlng substansi-substansi yang murni.
Kita tidak mencari suatu sifat yang universal -- l<ekeramatan
atau kepercayaan akan hal yang adikodrati, umpamanya - yang
memisahkan fenomena keagarnaan dari fenomena bukan keagama-
an dengan ketajaman Cartesian, melainkan kiga mencari suatu sis-
tim konse.p-konsep yang dapat mengihtisarkan seperangkap persa-
maan-persamaan yang tidak persis, namun merupakan pe1samaan-
persamaan yang sesungguhnya, yang kita rasakan sebagai hal yang
inheren dalam sekumpulan bahan-bahan tertentu. Kita berusaha
untuk mengartikulasikan suatu cara memandang dunia, bukan un-
tuk lmemberi deskxipsi mengenai suatu benda yang luar biasa.
Inti dari cara memandang dunia ini, yakni dari perspektif
keagamaan, bukanlah - demikianlah argumen yang ingin saya
kemukakan -- teori yang menyatakan bahwa di luar dunia yang
nampak ini terdapat dunia yang tidak nampak (meskipun ke-
banyakan orang yang religius memang menganut teori yang se-
demikian, walau dengan tingkat sofistikasi yang berbeda-beda);
bukan doktrin yang menyatakan bahwa suatu kehadiran ilahi
ledang mengayomi dunia ini (meskipun, dengan bentuk-bentuk
yang sangat beraneka-ragam, mulai dad animisme sampai ke-
ispada monoteisme, itu pun merupakan suatu ide yang boleh di-
fiiatakan populer); malahan bukan pula pendapat yang lebih ber-
E haja yang menyatakasn 'bahwa di langit dan di bumi terdapat
8.1-hal yang tak pernah kita mimpikan dj, dalam flsafat kita.
ang merupakan intinya adalah keyakinan bahwa nilai-nilai yang
anut berakar di dalam struktur realitas yang inheren, bahwa
a tara cara hidup yang hams kita tempuh 'dan kenyataan terdapat
atu hubungan dalam yang tidak dapat diputuskan. Fungsi sim-
1-Simbel keramat bagi mereka yang menganggapnya keramat
sah memmuskan suatu citra tentang.konst1'ul<si dunia dan
suatu program bagi perilaku manusia yang hanya merupakan
bayan gan cermin satu sama lainnya.
Dalam antropologi sudah merupakan kelaziman untuk mena<
makan kumpulan pengertian-pengertian yang terdapat pada satu
bangsa mengenai susunan dasar realitas ini pandangan dunia bang=
sa itu, Gaya hidup mereka pada umumnya, cara mereka me1aku=
kan sesuatu dan yang mereka anggap sebagai cara yang paling
baik untuk melakukan sesuatu, biasanya kita namakan etos merc=
ka. Dengan demikian, maka fungsi simbol-simbol keagamaan adaa
lah untuk niemperhubungkan itu semua sedemikian rupa sehinggu
saling membenarkan. Simbol-simbol demikian membuat pan=
dangan dunia menjadi dapat clipercaya dan etosnya bia dibenarf
kan, dan hal itu dilakukan dengan suatu cara di mana kedua-dua-
nya saling menopang. Pandangan dunia dapat dipercaya oleh karc-
na etos, yang tumbuh daripadanya, dirasakan sebagai otoritatif;
etos bisa dibenarkan oleh karena pandangan dunia, yang meru-
pakan landasannya, dianggap benar. Dilihat dari luar perspektifnf-1
ligius, cara ini yang bagaikan menggantungkan lukisan pada paku
yang terpasang pada bingkainya kelihatannya seperti permainan
sulap. Dilihat dan dalam, nampaknya sederhana saja.
Dengan demikian maka pola-pola religius seperti yang saya
bahas itu mempunyai aspek ganda: sebagai kerangka-kerangku
persepsi, tapisan-tapisan simbolik yang digunakan untuk menall
sirkan pengalaman; dan sebagai petunjuk untuk perbuatan, cetaka
biru untuk tingkah-laku. Iluminasionisme Indonesia menggambav
kan realitas sebagai suatu hirarki estetik yang berkulminasi di
dalam suatu kekosongan, dan ia memproyeksikan suatu gaya hi
dup yang mengutamakan ketenangan batin. Maraboutisme Maroko
menggambarkan realitas sebagai suatu lapangan energi-energi
spiritual yang berinti pada diri individu-individu, dan ia mempmf
yeksikan suatu gaya hidup yang mengutamakan emosi moral;
Di Maroko klasik, Kalijaga tidak akan merupakan seomng yang
heroik melainkan seorang yang tidak jantan; di Jawa klasik, Lyusi
tidak akan merupakan orang suci melainkan seorang Lxdik yang
tak tahu tata-krama.
Dengan demikian, maka segi pandangan dunia.dari perspektif
keagamaan berpusat sekitar masalah kepercayaan, sedangkaii
segi etosnya berpusat sekitar masalah perbuatan. Sebagai tvlj
saya katakan, maka di dalam batas-batas keyakinan, hal-hal it?
tidak saja tidak dapat dipisahkan satu sama lain melainkan yan
satu merupakan bayangan cermin dari yang lainnya. Namun
115
mikian, untuk tujuan-tujuan analitis, maka di sini saya ingin
memisahkannya untuk sementara waktu dan, dengan menggu-
nakan-kasus-kasus Maroko dan Indonesia sebagai titik-titik acuan,
membahasnya secara terpisah-pisah. Sesudah itu, relevansi umum
dari kasus-kasus khusus itu bagi pemahaman agama itu sendiri
diharapkan akan lebih jelas, begitu pula kegunaan (saya tidak
ingin menuntut lebih banyak dari itu) dari seluruh cara pende-
katan ini terhadap studi perbandingannya.
Ciri utama dari kepercayaan-kepercayaan agama, dibanding-
kan dengan jenis-jenis kepercayaan lainnya, apakah itu ideologis
filosofis, ilmiah atau berdasarkan akalsehat saja, adalah bahwa ke-
percayaan-kepercayaan agama itu dianggap bukan sebagai kesim-
pulan-kesimpulan dari pengalaman - dan kesadaran sosial yang
lebih dalam, dari spekulasi reflektif dan analisa logis, dari penga-
matan empiris dan pengujian hipotesa, atau dan penga1aman-pe-
ngalaman yang pahit - melainkan sebagai yang mendahuluinya.
Bagi mereka yang menganutnya, kepercayaan-kepercayaan reli-
gius itu tidak diperoleh secam induktif melainkan secara para-
digmatik; dengan meminjam Iumusan dari Alisdair Maclntyre
maka dunia ini tidak memberikan bukti-bukti tentang kebe-
narannya melainkan ilustrasi-ilustrasi dari padanya. Kepercayaan-
kepercayaan itu merupakan cahaya yang dipancarkan ke arah ke-
hidupan manusiawi dari sesuatu tempat di luarnya.
Ahli-ahli ilmu sosial, termasuk ahli-ahli antropologi, pada
umumnya tidak merasa nyaman dengan perumusan seperti itu,
bukan saja oleh karena kebanyakan dari mereka tidak beragama
(termaSuk saya sendiri), melainkan karena hal itu kelihatannya
menyimpang dari jalur empirisme yang sebenarnya. Meskipun
demikian, tidaklah bertentangan dengan empiris (wa1aupun-ba-
nyak sekali kesuhtannya) untuk meluklskan caranya keperfaayaan
T@l1g1l/IS menampakkan dm kepada yang pmeaya Malahan tldak
herbuat dem1k1an b1dI`t1 t1dak beram men rapkan emplnslsme
alam bldang bldang d1 mana dengan alasan alasan yang mungkm
blh menuntut suatu penjelasan ps1koanal1t1s aan pada penjelas
metodelogls S1 pene11t1 merasa kebmgungan dan terancam
9
7
an eblh pentmg lagl, hal 1tu juga berartl la1a1 untuk mengemu
< 1 . .
. . I . . . , /H
I .... . . . , V. .
y kan (atau 'malahan untuk mengakui adanya) beberapfa di antara
-..V
pertanyaan ilmiah yang paling penting di seluruh lapangan Studi
ini, di antaranya yang tidak kurang pentingnya adalah, Apa sc-
babnya orang-olang yang percaya itu sampai bisa percaya?
Atau, dengan mengambil risiko untuk dianggap sebagai orang
yang membela urusan dari dunia lain, "Dari mana asalnya iman
itu?
Terlepas dari jawabanziawaban teologis, adalah jelas bahwa
iman timbul dan pengamh sosial dan psikologis simbol-simbol
religius. Memakai kata religius di sini bisa berarti menganggap
apa yang sedang dipersoalkan itu sudah terang, akan tetapi hal
itu hanyalah apabila kita membayangkan setiap orang itu lahir
dalam dunia yang tanpa kebudayaan lalu menciptakan dunia
budaya di sekitar dirinya dari substansi batinnya, seperti halnya
laba-laba memintal sarangnya dengan menggunakan bahan yang
keluar dari perutnya. Sudah- barang tentu tidaklah demikian ke-
adaan yang sebenamya: oleh karena bagi tiap individu, maka tiap
perbuatan, benda, dongeng, adatq kebiasaan tertentu dan Asebagai-
nya itu sudah dianggap oleh anggota-anggota masyarakatnya.
atau setidak-tidaknya oleh sebagian dari mereka, sebagai sarana
suatu pandangan dunia yang sah pada saat ia djlahirkan dalam
masyarakat itu. Bagi Kalijaga sudah siap menanti tradisi ilumina-
sionis dan Majapahit, ketika ia memutuskan untuk mengubah
dan dinasti-dinasti Berber sudah siap menantikan Lyusi ketiku
ia turun dari pegunungan Atlas untuk menjadi pengubah para
sultan. Sukarno dan Muhammed V dilahirkan dalam keadaan=
keadaan kultural yang malahan lebih kaya lagi, Seperti halnya
tidak ada orang yang hams menciptakan bahasa dulu untuk
dapat berbicara, maka demikian pula tidak ada orang yang ha-
rus menciptakan suatu agama dulu untuk dapat memuja; mes
kipun benar bahwa soal memuja lebih merupakan soal kebe=
basan memilih (terutama, tapi tidak semata-mata,'da1am masya-
rakat-niasyarakat modem) dibandingkan dengan soal berbicara,
Selain itu, keterampilan-keterampilan akal sehat pada umumnya
merupakan hal yang wajib bagi setiap orang yang ingin hidup
makmur, sedangkan keterampilan-keterampilan spiritual tidak
merupakan keha1usan. Seperti pernah dikatakan oleh Don M2111
quis, Orang tidak .harus mempunyai jiwa, kecuali jika ia memang
menginginkannya.
Sudah barang tentu, konteks utama, meski bukan satu-satu-
nya, di mana simbol-simbol religius bekelja untuk menciptakun
dan menopang kepercayaan, adalah konteks 1itua1. Yang men<=
117
pang dan menggerakkan maraboutisme adalah pembacaan-pem-
bacaan doa dan perayaan-perayaan di sekitar makam seorang
suci, takbiran dan zikir di tempat pertemuan persaudaraan, dan
suasana kepatuhan yang obsesif di sekitar sultan; yang memeli-
ham iluminasionisme adalah praktek mengheningkan cipta, ke-
senian yang sangat halus dan seremonialisme kenegaraan. Seperti
apa yang terjadi dengan segelintir orang di Indonesia dan Maroko,
orang perseorangan dapat mencapai suatu konsep tentang tatanan
kosmik di luar lembaga-lembaga itu yang khusus diabdikan untuk
menanamkan konsep demikian (meskipun dalam kasus-kasus itu
pun harus ada dukungan dari simbol-simbol kultural dengan cara
apa pun). Akan tetapi, bagi mayolitas yang sangat besar dari
kaum yang beragama dalam tiap masyarakat, keterikatan dengan
sesuatu bentuk hubungan yang diritualisasikan dengan simbol-
simbol keramat merupakan mekanisme utama yang memungkin-
kan mereka tidak saja untuk menghadapi suatu pandangan hidup
akan tetapi malahan untuk menerimanya, menghayatinya sebagai
bagian dari kepxibadian mereka. '
Apa sebabnya orang-orang tertentu peka terhadap pengaruh
simbol-simbol keramat, apa Sebabnya mereka melakukan ritual-
ritual dan apa sebabnya ritual-ritual itu mempunyailefek (atau,
sebaliknya, tidak mempunyai efek), sudah barang tentu merupa-
kan masalah lain. Sebagian jawabannya pasti bersifat psikologis,
yang ada sangkut-pautnya dengan kebutuhan-kebutuhan individu
akan hal-hal yang menguatkan harapan, akan otontas dari luar,
atau entah apa, Serta dengan kemampuan untuk menannh ke-
percayaan, memberikan kasih-sayang, dan sebagainya. Sebagian
lagi pasti bersifat sosial, Terutama dalam masyarakat-masyarakat
non-industri, tekanan-tekanan sosial ke arah konfonnitas religius
t besar dan di semua bagian dan masyarakat industri pun
itu tidaldah selemah seperti yang kadang-kadang
orang, Di Maroko dan Indonesia, tekanan-tekanan
tetap san gat kuat, dan meskipun dalam beberapa kasus keadaan
hanya mengakibatkan konformitas yang dangkal, maka berda-
pengamatan-pengamatan saya, tekanan-tekanan itu dalam
hal menumbuhkan iman dengan kadar yang cukup tinggi.
bahwa tuntutan akan konfonnitas religius dapat meng-
orang-orang munafik dan bukannya orang-orang yang
adalah keliru. Adalah sulit untuk mengatakan apakah
banyak orang telah beriman karena hal itu diharapkan dari
dibandingkan dengan orang yang memperoleh iman karena
batin; dan karena kedua faktor itu sedikit-banyaknya
12]
ketidak-benaran hukum-hukum alam dengan mengutip kitab
suci, hal itu tak dapat disangkal kebenarannya. Pun tak dapat
disangkal, bahwa tidak ada alasan yang inheren mengapa pan-
dangan tentang realitas yang timbul dari kontak dengan simbol-
simbol ilmiah, di dalam laboratorium atau di mana pun, harus
bertentangan dengan pandangan yang timbul dari kontak de-
ngan simbol-simbol religius, dalam mesjid atau di mana pun.
Dan yang jelas adalah bahwa ilmu pengetahuan dan agama
bukan merupakan jawaban-jawaban atas jenis ketidak-memadaian
yang sama dari akalsehat. Bidang-bidang perhatian ilmu pengu-
tahuan dan agama, meskipun saling melimpahi, tidaklah sama
benar, dan oleh karena itu kedua hal itu tidak sekedar merupa-
kan alternatifsatu terhadap lainnya.
Namun demikian, fakta cmpiris yang senyata-nyatanya adalah
bahwa pertumbuhan ilmu pengetahuan telah membuat hampir
semua kepercayaan religius lebih sulit untuk dipertahankan, dan
banyak sekali dari kepercayaan religius itu boleh dikatakan tidak
mungkin dipcrtahankan Iagi. Andaikata pun keduanya tidak secara
langsung saling berantitesa, namun trdapat ketegangan yang alami
antara cara ilmiah dan cara agama untuk memahami dunia satu
ketcgangan yang tidak perlu, dan menurut pendapat saya mu ngkin
tidak akan dan malahan mungkin tidak bisa, berkesudahan dengan
kehancuran salah satu di antaranya. Meskipun begitu ketegangan
tersebut tetap merupakan satu ketegangan yang rial, kronis dan
semakin hebat. Kecuali jika arti penting dari pertarungan mem-
perebutkan kebenaran ini diakui dan tidak dibiarkan lalu begitu
Saja dengan sikapmenganggap cntcng di kedua belah fihak, maka
Scjarah agama, Islam atau agama lainnya, di Zaman kita sekarang
ini, tidak akan dapat di1`ahami, setidak-tidaknya secara ilmiah.
Pepcrangan antara ilmu pengetahuan dan agama (yang sebenamya
lebih merupakan screntetan bentrokan yang tak terarah, singkat,
kzlcau dan tidak menentukan, danpada peperangan yang sesung-
L|hnya) bukan saja belum berakhir; ia mungkin sekali tidak per-
ihah akan berakhir. y
' Kaum skripturalis adalah golongan di dalam kedua masyarakat
u yang paling merasakan ketegangan ini antara sekularisasi
'ang progrcsif dari pemikiran dalam dunia modern ini dan esensi
ari perspcktif rcligius dan yang memberi jawaban yang paling
ih terhadap keadaan itu. Pergeseran ke arah pemberian tekanan
ng cksklusifis kepada sumber-sumber tcrtulis dari ajaran agama
am dengan menjauhi ajaran seperti yang dicerminkan oleh pe-
mujaan orang suci di Maroko dan sampai di Indonesia, suatu per-
geseran yang untuk sebagian dirangsang oleh mekarnya perspektif
ilmiah di Barat, telah membuat ketegangan itu, jika tidak lebih
besar, pasti lebih tak dapat dihindari lagi. Selanjutnya, konfrontasi
dengan pandangan ilmiah hanya dilakukan secara langsung oleh
pemimpin-pemilnpin yang paling maju dari gerakan itu, dan di
sana pun internalisasi pandangan itu paling banter `bers.ifat sangat
pursial. Akan tetapi fakta bahwa bagi kaum skripturalis, Islam
telah menjadi seperangkat dogma-dogma yang eksplisit yang harus
dipertahankan telah melemparkan mereka ketengah-tengah kancah
pertarungan memperebutkan kebenaran, jauh sebelum golongan-
golongan yang lebih tradisionalis dalam kedua masyarakat itu
menyadari adanya pertamngan itu.
Di kedua masyarakat, skripturalisme sesungguhnya merupakan
sarana utama dari apa yang saya namakan - mungkin tidak me-
muaskan sama sekali - ideologisasi agama, dan dengan alasan itu-
lah, dan bukan karena sumbangan-sumbangan teologisnya yang ti-
dak berarti, maka penganut-penganutnya patut dinamakan pemba-
ru-pcmbaru. Apa yang dicapai oleh gerakan skripturalis, dan yang
setelah dicapai' itu menjauhkannya dari pusat panggung untuk
mernberi tempat kepada nasionalisme dan neo-tradisionalisme reli-
gius yang menyertainya,'adalah satu garis kebijaksanaan umum ba-
gi Islam dalam menghadapi dunia modern, satu sikap umum yang
hams diambil dalam suatu lingkungan kultural di mana cara-cara
pcmahaman sekular (bukan hanya ilmu pengetahuan, yang di sini
saya anggap sebagai mewakili selumh kompleks, melainkan juga
filsafat modern, historiografi, etika, dan malahan estetlka) me-
mainkan peranan poros yang di dalam masyarakat-masyarakat k1a-
sik dimainkan oleh cara-cara pemahaman religius. Skripturalisme,
setidak-tidaknya di kedua negeli - meskipun saya menduga juga
di negeri-negeri lain, dengan pendefinisian yang cocok bagi kebu-
dayaan-kebudayaan atau kepercayaan-kepercayaan lain - telah
memulai revolusi intelektual yang kulminasinya menjelma dalam
konsep-konscp politik yang lebih eskplisit di saat-saat proklamasi
kemerdekaan, dan sesudahnya. Kaum skripturalis telah mengajau
bukan hanya pengikut-pengikut mereka, akan tetapi yang lebih
penting lagi lawan-lawan merka cara merumuskan cita-cita sua-a
tu peradaban yang sudah mapan sedemikian wpa sehingga mereka
dapat mempertahankan kelangsungan hidup mereka, setidak-tidak
nya untuk sementara wuktu, di dalam satu dunia modern yang
sangat tidak ramah terhadap mereka.
' a 123
Pada dasarnya ada dua strategi, bukan hanya di kedua negeri
akan tetapi dalam gerakan itu pada umumnya, yang telah diren-
canakan oleh kaum skripturalis dalam menghadapi pertamngan
memperebutkan kebenaran: pemisahan secara mutlak soal-soal
keagamaan dari soal-soal ilmiah, dan usaha untuk menunjukkan
bahwa kitab-kitab suci, terutama Quran, telah mengantisipasi dan
selaras sepenuhnya dengan semangat dan isi ilmu pengetahuan
modern. Cala pendekatan yang pertama mengambil sikap bahwa
ilmu. pcngetahuan, dan malahan penalaran sekular dalam bentuk
yang bagaimana pun, tidak mempunya arti metafisis apa-apa;
kompetensinya hanya terbatas kepada pemahaman alam sebagai
semacam sistim duniawi yang berdiri sendir. Kepercayaan dan
rasio dipisahkan satu sama lain, agar yang pertama tidak tercemar
dan yang kedua terbelenggn. Cara pendekatan yang kedua menaf-
sirkan ilmu pengetahuan sebagai hanya menjelaskan apa yang
sudah 'terkandung secara implisit di dalam agama, suatu perpan-
jangan dan spesitikasi dari pempektif religius dan bukan suatu
cara berfikir yang otonom. `
Apabila dipematukan, maka kedua faham itu membentuk
semacam deisme Islam: ajaran-ajaran yang pokok dilindungi dari
setiap macam tantangan dengan menjauhkannya dan pengalaman
manusia, sedangkan rasio sekular dibiarkan beroperasi bebas de-
ngan kedaulatan penuh di.da1am dunia sehari-hari, karena orang
merasa yakin bahwa penemuan-penemuannya tidak dapat me-
nimbulkan masalah bagi kepercayaan religius, sebab kepercayaan
religius sudah mengimplikasikan penemuan-penemuan itu. Abduh
pemah menulis bahwa me1akukan refleksi tentang hakekat
Pencipta (artinya, soal-soal kepercayaan agama pada umu.mnya)
adalah dilarang bagi akal manusia, oleh karena kedua eksistensi itu
terpisah sama sekali satu sama lain. Akan tetapi di lain fihak,
seruan Islam agar melakukan refleksi mengenai hal-hal yang di-
ciptakan tidak dibatasi atau dikenakan pexsyaratan apapun,o1eh
karena sudah diketahui bahwa setiap spekulasi yang sehat menuju
kepada kepercayaan terhadap Tuhan sebagaimana Ia dilukiskan
di dalam Al Quran. Ata.u sebagaimana dikemukakan secara lebih
tegas lagi oleh Knneith Cragg: Dogma-dogma yang dianggap suci
berdampingan dengan kebebasan-kebebasan yang dianjurkan seca-
ra menye1umh.
Sebagaimana sudah dapat diperkirakan sekarang, kedua sisi
dari jawaban sknpturalis terhadap tantangan yang ditimbulkan
oleh sekularisasi fikiran itu dicerminkan secara berbeda di kedua
masyarakat Kedua sisi itu terdapat di dalam kedua masyarakat.
nu.,
diri dari padanya dun dalam mencari akar-akar spiritualnya, ia
kembali berpaling kepada pola-pola kepercayaan yang ylebih
mapan di kedua negeri. Akan tetapi, dalam mendamaikan pan-
dangan-pandangan dunia . yang diproyeksikan oleh pola-pola
itu kepada dunia modern, ia menggunakan strategi-strategi yang
sudah dikembangkan oleh skripturalisme untuk tujuan-tujuan
yang serupa. Dan malahan ia melanjutkan proses ideologisasi
agama, suatu gerakan dari penghayatan agama menuju kepatuhan
kepada peraturan-peraturan agama, sampai kepada tahapfrahap-
nya yang terakhir. Usaha Sukarno untuk menghidupkan kembali
negara teater dengan kedok nasionalisme revolusioner dan usaha
Muhammad `V untuk menghidupkan kembali maraboutisme
dengan kedok yang sama, didasarkan atas usaha membangkitkan
semacam religiositas sekular yang mencakup segala-galanya dalam
kasus yang pertama-tama dan atas pemisahan yang radikal antara
kesalehan pribadi dan kehidupan publik dalam kasus yang kedua.
Apakah tradisi-tradisi yang sudah diperbaiki itu sekarang mampu
untuk bertahan tcrus, tcrgantung kepadasoal apakah pola-pola
kehidupan yang diimplikasikan oleh tradisi-tradisi itu bisa hidup
terus di dalam negara-kebangsaan yang sem'i-modern dalam per-
tengahan kedua abad ke-20 ini.
Akan tetapi hal ini membawa kitakepada segi pedoman-
untuk-bertindak dari simbol-simbol religius -- kepada pengaruh
simbol-simbol itu terhadap pcrilakuy manusia yang sebenarnya.
ILO
Dalam Studi-studi mengenai agama situasinya tidak berbeda.
Kadang-kadang, seperti halnya 'dengan pengalaman-pengalaman
ekstase di Indonesia, orang yang bersangkutan seringkali tidak
dapat apa-apa lagi sesudahnya, kecuali apabila perasaan Samar-
samar, yang adalah juga merupakan suatu keyakinan, bahwa ia
telah mengalami sesuatu yang sangat luarbiasa, dapat dianggap
sebagai ingatan., Ada kalanya juga, katakanlah sesudah berdoa
di makam seorang marabout, orang yang bersangkutan mungkin
dapat mengingat sesuatu akan tetapi akan menutupinya dengan
secondary revision sedemikian r Irupa ' sehingga bagian terbesar
dad vitalitasnya dan maknanya yang sesungguhnya, maknanya
bagi. dia, hilang atau bagaimana pun tidak dikomunikasikan.
Oleh karena itu, dalam hal agama sebagai suatu perspektif, de-
ngan interpretasi brmakna yang diberikannya kepada penga-
laman, kita terpaksa harus melihatnya nielalui kacamata yang
cukup gelap. `
Dengan sendirinya, unalisa agama tidaklah lebih mustahil
daripada penafsiran mimpi, temtama apabila masalah secondary
revision disadaaj dan, seperti yang dilakukan oleh Freud, juga di-
analisa dan dii>ecahkan. Akan tetapi itu sudah menyimpang
dari pokok persoalannya. Yang tidak menyimpang dari pokok
persoalannya, dan yang malahan merupakan kunci untuk mengoa
tahui bagaimana agama membentuk penlaku sosial adalahgbahwzn
sebagian besar dari efek praktis agama, seperti sebagian besar dari
efek praktis mimpi, merupakan semacam refleksi yang kabux
yang masih dapat diingat mengenai pengalaman religius yang sc
sungguhnya di tengah-tengah kehidupan sehari-hari. Manusin,
atau setidalvtidaknya manusia yang religius, bergerak mondau
mandir antara perspektif religius dan perspektif akalsehat dengan
frekuensi yang besar, semakin besar frekuensi itu semakin rcli
giuslah mereka, dan seperti mimpi yang berulang-ulang, pengaf
laman religius yang berulang-ulang - ekstase amnestik atau pcm=
benan sesajen yang diwajibkan -- datang pada waktunya untuk
rnencekam kehidupan sehari-hari dan memancarkan semaczun
sinar yang tidak langsung terhadapnya. Sebagian dari efek sosial
yang paling penting dari agama (meskipun sudah barang tcnlli
tidak terbatas kepada yang ini saja) terjadi melalui semafsuii
apa yang di muka saya namakan rekonstruksi akalsehat. PerbuaE
an-perbuatan sehari-hari yang langsung akan dilihat, meski Sunni
kabur dan samar-samar dan hampir tak disadari, dalam konlck
konteks yang utama, dan seluruh kualitas hidup, etosnya, diuhj
119
secara halus. Dengan demikian, maka suatu pembedaan yang tegas
antara agama yang dialami dan agama yang diingat mempakan
satu alat analitik yang penting untuk memahami fenomena-feno-
mena yang tanpa itu akan sulit untuk difahami. Dan di antara
fenomena-fenomena itu yang tidak.kurang pentingnya adalah
masalah hubungan antara kepercayaan dan aperbuatan.
Apabila orang-orang berpaling kepada kehidupan sehari-hari
mereka akan melihat segala sesuatunya dan segi pengalaman yang
sehari-hari. Apabila orang-orang itu religius, maka peristiwa-
peristiwa sehari-hari itu dengan sesuatu cara akan dipengaruhi
oleh keyakinan-keyakinan religius mereka, olelt karena sudah
merupakan kodrat kepercayaan, yang paling tidak duniawi dan
paling tidak etis sekali pun, untuk menuntut kedaulatan yung
efektif atas perilaku manusia, Perpaduan dalam antara pandang-
an dunia dan etos merupakan - setidak-tidaknya begitulah pen-
dapat saya -- jantung perspektif religius, dan fungsi simbol-sinv
bol keramat adalah untuk mewujudkan perpaduan itu. Akan
tetapi pprjumpaan yang mewahyu dengan simbol-simbol yang
demikiank tidak berlangsung dalam dunia sehari-hari yang bor-
dasarkan akalschat, melainkan di.dalan1 konteks-kontcks sosial
yang tidak boleh tidak agar terpisah dari padanya. Yang diha-
dapi oleh orang-orang yang rcligius dalam kehidupan Schari-hari
bukanlah pcrsepsi yang langsung dari yang hakiki, atau yang merc-
ka anggap sebagai yang. hakiki, melainkan ingatan akan pcrscpsi
yang scdemikian. Seperti filosof-tilosof di dalam gnu Plato, me-
reka kembali di dalam dunia bayangan yang lnercku tafsirkan
dengan cara yang berbeda oleh karena mereka pcrnah, untuk
sesaai, berada di bawah sinar matahari. Akan tetapi hcrbecla dc-
ngan filosoflfilosof dalam gua Plato, masalah mereka, sctidalv
tidaknya di dalam hubungan ini, bukanlah pcrtama-tuma untuk
mengkomunikasikan bagaimana keadaannya di luar gua, melain-
kan untuk membuat apa yang terjadi di dalam gua itu lebih bor-
makna.
Atau, apabila kita mengcsampingkan perumpamaan (yang
merupakan hal yang sangat sulit apabila kita sedang membica-
rakan soal-soal seperti itu), maka kepercayaan religius memberi-
kan etbknya terhadap akal 'sehat, bukan dengan jalan menggantn
kannya melainkan dengan jalan menjadi bagian dari padanya.
Kalijaga yang scdang bermeditasi adalah satu hal; Kalijaga yang,
setelah bernieditasi, bertolak untuk"mendirikan Mataram, meru-
pakan hal lain. Lyusi yang sedang Sembahyang di pekubnran
adalah satu hal; Lyusi yang, setelah melakukan sembahyang,
131
bangsa lainnya. Memang sulit untuk membuktikannya, akan te-
tapi kiranya tidak seorang pun yang pernah tinggal untuk waktu
yang lama di tengah-tengah orang-orang Indonesia dan orang-
orang Maroko, akan menyangsikan. bahwa, secara keselumhan,
yang disebut belakangan dalam soal agama bersikap lebih tegas
(yang tidak perlu berarti Lebih sungguh-sungguh) dibandingkan
dengan yang disebut duluan. Dalam hubungan ini,\pe`rhatian sa-
ja orang-orang India dan orang-orang Cina, orang-orang Irlandia
dan orang-orang Perancis, orang--orang Skotlandia dan orang-
orang Prusia. Meskipun sama-sama percaya, mereka belum tentu
sama salehnya.
Dengan scope di lain Iihak saya maksudkan lingkup konteks-
konteks sosial di mana pertimbangan-pertimbangan religius diang-
gap sebagai mempunyai relevansi yang sedikit banyak bersifat
langsung. Sudah jelas bahwa force dan scope mempunyai kaitan
satu sama lain dalam pengertian bahwa seseorang yang menggang-
gap agama penting bagi dirinya pribadi akan dengan sendirinya
cenderung untuk mengakui kekuasaan agama di bidang-bidang
yang sangat luas dalam kehidupan + untuk melihat Tangan Tuhan
dalam segala sesuatunya, mulai dari sakit perut sampai 'kepada
hasil pemilihan. Namun demikian kedua hal itu tidak sama. Pada
umumnya dapat dikatakan bahwa kekuatan agama lebih kuat
di Maroko dibandingkan dengan di Indonesia, akan tetapi seperti
yang telah beberapa kali saya kemukakan, Iingkupnya Lebih sem-
pit. Di Indonesia, hampir segala sesuatunya diwarnai, biar secara
samar-samar, dengan makna metafisis, selumh kehidupan sehari-
hari -diliputi suasana transendental yang samar-samar, dan sulitlah
untuk memisahkan sebagian dari padanya di mana kepercayaan-
kepercayaan religius dan sikap-sikap yang ditimbulkannya me-
mainkan peranan yanglebih menonjol dari yang lainnya. Di Maro-
ko, bagian utama dari kehidupan sehali-hari sifatnya cukup sekular
sehingga cocok bagi seorang rasionalis yang paling gigih pun, se-
dangkan pertimbangan-pertimbangan religius, meskipnn sangat
kental intens, hanya berlaku bagi beberapa bidang perilaku yang
terbatasi cukup jelas, sehingga orang akan menjumpai sikap tak
kenal anipun dalam, katakanlah, bidang-bidang komersil dan po-
litik yang, dalam keadaannya yang paling ekstrim, mengingatkan
kita kepada kombinasi yang menarik antara kekejaman profesional
dan kesalehan pribadi yang terdapat pada diri sementara penjahat
di Amerika Serikat.
Bagaimana pun, dalam membahas caranya kepercayaan-keper=
ayaan re1igiuS` dan sentimen-sentimen yang ditimbulkannya dise-