Anda di halaman 1dari 9

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Lansia adalah individu berusia diatas 60 tahun dimana memiliki tanda-tanda

penurunan fungsi biologis, psikologis, social dan ekonomi yang berlangsung terus

menerus secaraalamiah (Maryam,2008). Menurut WHO batas usia untuk kategori

lanjut usia berdasarkan tingkatan usiayaitu : usia pertengahan (middleage) 45 59

tahun, usia lanjut (elderly) 60 74 tahun, usia lanjut usia (old) 75 90 tahun dan

sangat tua(veryold) lebih dari 90 tahun (ugroho,2000).


Dalam jajak pendapat yang dilakukan Galup terhadap orang dewasa di Amerika

menyebutkan bahwa 49% menderita gangguan insomnia dan beberapa gangguan lain

yang berkaitan dengan tidur. Sedangkan penelitian yang dilakukan di Jepang

disebutkan 29% responden tidur kurang dari 6 Jam, 23% merasa kekurangan dalam

jam tidur, 6% menggunakan obat tidur, kemudian 21% memiliki prevalensi insomnia

dan 15% kondisi mengantuk yang parah pada siang harinya (Purwanto, 2007).
Berdasarkan data dari Biro Pusat Statistik (BPS) menyatakan bahwa peningkatan

jumlah lansia di Indonesia pada tahun 2000-2011 baik secara absolute maupun

persentase mengalami peningkatan. Persentase lansia terhadap jumlah penduduk

meningkat dari 9,27% pada tahun 2000 menjadi 10,57% pada tahun 2011. Hal ini

antara lain disebabkan oleh meningkatnya usia harapan hidup sebagai hasil dari

pembangunan di bidang kesehatan. Jumlah penduduk di Jawa Tengah pada tahun

2011 berdasarkan proyeksi penduduk hasil SP 2010 menjadi 3,49 juta (BPS, 2011).

Provinsi Jawa Tengah (Jateng), termasuk salah satu dari tujuh provinsi di Indonesia

yang berpenduduk dengan struktur tua (lansia). Data Departemen Sosial (Depsos)

menyebutkan, jumlah penduduk dengan struktur tua (lansia) mencapai 9,36%. Jumlah

1
lansia di Indonesia setiap tahun cenderung mengalami peningkatan. Jika pada tahun

1970 sebanyak 5,3 juta jiwa (4,48%), tahun 1990 menjadi 12,7 juta jiwa (6.29%),

tahun 2000 sebanyak 14,4 juta jiwa (7,18%) dan tahun 2005 meningkat menjadi 16,8

juta jiwa (7,78%). Tahun 2020 jumlah lansia di Indonesia diperkirakan akan mencapai

28,8 juta orang, atau sekitar 11,34%. Indonesia termasuk negara berstruktur penduduk

tua (lansia), karena jumlah penduduk usia lanjutnya lebih dari 7% di atas ketentuan

badan dunia (Depsos, 2009).


Insomnia adalah laporan subjektif, insidensi tahunan insomnia pada sekitar 50%

pada usia lanjut. Insidensi keseluruhan insomnia serupa pada laki-laki dan

perempuan, tetapi lebih tinggi di antara pria 85 tahun dan lebih tua (Handoko, 2003,

hlm.72). Menurut Zorick (1994 dikutip dari Potter & Perry, 2005) insomnia adalah

gejala yang dialami oleh klien yang mengalami kesulitan kronis untuk tidur, sering

terbangun dari tidur, dan/atau tidur yang singkat atau tidur non restoratif. Zion &

Israel (2003 dikutip dari Darmodjo, 2009) mengatakan ada beberapa faktor penyebab

insomnia pada usia lanjut yaitu faktor fisik, psikologis, penggunaan obat-obatan dan

alkohol, kebiasaan tidur serta penyakit komorbid lain yang di derita.


The Diagnostic and Statistical of Mental Disorder (DSM-IV) mendefinisikan

gangguan insomnia primer adalah keluhan tentang kesulitan mengawali tidur dan

/atau menjaga keadaan tidur atau keadaan tidur yang tidak restoratif minimal satu

bulan terakhir(Espie, 2002).


Seseorang dapat mengalami insomnia akibat stres situasional seperti masalah

keluarga, kerja atau sekolah, jet lag, penyakit, atau kehilangan orang yang di cintai

(Potter & Perry, 2005). Insomnia akibat situasi stres dapat menyebabkan kesulitan

kronik untuk mendapatkan tidur yang cukup (Potter & Perry, 2005). Sebuah studi

yang telah dilakukan selama 14 tahun di Peen State dan melibatkan 1741 pria dan

2
juga wanita menunjukkan bahwa pria yang menderita insomnia memiliki resiko

angka kematian 4 kali lebih besar dari pada pria yang memiliki siklus tidur normal

selama 6 jam dan dr. N. Vgontzas dan timnya juga menemukan bahwa baik wanita

maupun pria dengan insomnia lebih sering mengalami tekanan darah lebih tinggi,

diabetes, dan defisit neurokognitif jika dibandingkan dengan mereka yang tidur

secara normal. Penelitian ini dilakukan oleh tim peneliti di Peen State, dr. Alexandros

N. Vgontzas dan rekan-rekannya. (DokterUmum.net,Hati-Hati Insomnia Dapat

Menyebabkan Kematian, 2013).


Penatalaksanaan terhadap kualitas tidur yang buruk dapat dibagi yaitu secara

farmakologis dan non farmakologis. Secara farmakologis yaitu dengan pemberian

obat tidur dari golongan Benzodizepin, kloralhidrat, dan Prometazin (Phenergen).

Obat - obat hipnotik ini sanga tefektif dalam mempercepat tercapainya saat mulai

tidur, memperpanjang tidur, dan mengurangi frekuensi bangun. Namun, obat ini

menimbulkan efek negatif, diantaranya meninggalkan efek sisa obat, yaitu rasa mual

dan mengantuk pada siang hari, dan menyebabkan penderita gangguan tidur

mengalami ketergantungan obat sehingga kualitas tidur yang baik tidak akan tercapai.

Untuk itu, obat ini sebaiknya diberikan dengan dosis yang sekeci lmungkin, dalam

jangka waktu yang sependek mungkin (Lanywati,2001).


Penatalaksanaan non farmakologis saat ini sangat dianjurkan, karena tidak

menimbulkan efek samping, dan dapat memandirikan lansi auntuk dapat menjaga

kesehatan mereka sendiri. Salah satu pengobatan secara non farmakologis dalam

mengatasi gangguan tidur menurut para ahli di antaranya adalah teknik relaksasi otot

progresif. Relaksasi otot progresif adalah relaksasi yang dilakukan dengan cara

3
melakukan peregangan otot dan mengistirahatkannya kembali secara bertahap dan

teratur.
Teknik relaksasi pertama kali dikenalkan oleh Edmund Jacobson seorang

Psikolog dari Chicago yang mengembangkan metode fisiologis melawan ketegangan

dan kecemasaan. Metode relaksasi terdiri dari beberapa macam, yaitu: (1) relaksasi

otot, (2) pernafasan diafragma, (3) imagery training, (4) biofeedback, dan (5)

hypnosis (Miltenberger, 2004).


Latihan relaksasi otot progresif dapat memberikan pemijitan halus pada berbagai

kelenjer-kelenjer pada tubuh, menurunkan produksi kortisol dalam darah,

mengembalikan pengeluaran hormone yang secukupnya sehingga memberi

keseimbangan emosi dan ketenangan pikiran (Purwoto,2007).


Kebanyakan dari lansia biasanya mengeluh pusing dan lemas, stress, mengeluh

tidak bisa tidur dalam sehari hanya tidur 2 3 jam sehari, sulit mengawali tidur pada

malam hari. Bagi lansia yang mengalami keluhan gangguan tidur yang dapat

mengganggu ketenangan tidur lansia yang lain atas instruksi dokter diberikan obat

tidur. Tetapi penggunaan obat tidur dalam jangka waktu yang lama dapat

mengakibatkan efek yang tidak baik untuk kesehatan. Atas dasar pertimbangan inilah

saya tertarik untuk melakukan penelitian tentang pengaruh terapi relaksasi otot

progresif terhadap penurunan tingkat insomnia.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan diatas maka rumusan masalah

dalam penelitian ini adalah Adakah pengaruh terapi relakssasi otot progresif

terhadap perubahan tingkat insomnia pada lansia.


C. Hipotesis
Hipotesis alternative (Ha) ada pengaruh terapi relaksasi otot progresif terhadap

perubahan tingkat insomnia pada lansia


D. Tujuan

4
1. Tujuan Umum
Mengetahui apakah terapi relaksasi otot progresif ini bagus di gunakan

untuk menurunkan tingkat insomnia pada lansia.


2. Tujuan Khusus
a. Mengetahui kualitas dari pelaksanaan terapi relaksasi otot progresif untuk

mengurangi tingkat insomnia pada lansia


b. Mengetahui kualitas tidur lansia sebelum dilaksakan terapi relaksasi otot

progresif
c. Mengetahui kualitas tidur lansia sesudah dilaksanakan terapi relaksasi otot

progresif
E. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat yang peneliti harapkan setelah proses penelitian yaitu :
1. Bagi peneliti
Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan oleh peneliti lain sebagai

bahan informasi untuk melakukan penelitian lebih lanjut, terutama yang terkait

dengan penanganan insomnia pada lansia


2. Bagi institusi
Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai langkah awal untuk penelitian

selanjutnya dalam bidan ilmu keperawatan khususnya menyangkut peran perawat

sebagai educator
3. Bagi instansi
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi kepada

instansi terkait agar kiranya hasil penelitian ini dapat dijadikan bahan acuan

dalam penigkatan kualitas pelayanan pada pasien.


4. Bagi masyarakat
Dengan penelitian ini diharapkan masyarakat dapat mengetahui informasi

yang terkait dengan penelitian agar bisa menjadi acuan dalam menjalani pola

hidup yang sehat kedepannya.


F. Definisi Operasional
1. Latihan relaksasi otot progresif dapat memberikan pemijitan halus pada berbagai

kelenjer-kelenjer pada tubuh, menurunkan produksi kortisol dalam darah,

5
mengembalikan pengeluaran hormone yang secukupnya sehingga memberi

keseimbangan emosi dan ketenangan pikiran (Purwoto,2007).


2. Insomnia berasal dari kata in artinya tidak dan somnus yang berarti tidur, jadi

insomnia berarti tidak tidur atau gangguan tidur. Selanjutnya dijelaskan bahwa

insomnia ada tiga macam, yaitu pertama, Initial Insomnia artinya gangguan tidur

saat memasuki tidur. Kedua, Middle Insomnia yaitu terbangun di tengah malam

dan sulit untuk tidur lagi. Ketiga, Late Insomnia yaitu sering mengalami

gangguan tidur saat bangun pagi (Hawari,1990. Salah satu cara untuk mengatasi

insomnia ini adalah dengan metode relaksasi (woolfolk, 1983). Relaksasi adalah

salah satu teknik di dalam terapi perilaku yang pertama kali dikenalkan oleh

Jacobson, seorang psikolog dari Chicago, yang mengembangkan metode

fisiologis melawan ketegangan dan kecemasan. Teknik ini disebutnya relaksasi

progresif yaitu teknik untuk mengurangi ketegangan. Jacobson berpendapat

bahwa Semua bentuk ketegangan termasuk ketegangan mental didasarkan pada

kontraksi otot (Utami, 1993). Jika seseorang dapat diajarkan untuk

merelaksasikan otot mereka, maka mereka benar-benar relaks.


Kriteria Objektif
Terapi relaksasi otot progresif dikatakan berhasil jika :
a. Kebutuhan tidur secara kualitas pada lansia terpenuhi.
b. Susah tidur, selalu terbangun di tengah malam, sudah tidak terjadi lagi pada lansia
c. Meningkatnya kebutuhan tidur dan menurunkan gangguan tidur yang cenderung

meningkat pada lansia


d. Keluhan lansia yang sering dirasakan sebelum dilakukan terapi relaksasi otot

progresif sudah tidak ada.


G. Kajian pustaka
Berdasarkan penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Nessma Putri Austaryani

dan Arif Widodo Jurusan Keperawatan FIK UMS Jln. Ahmad Yani Tromol Pos I

Pabelan Kartasura yang berjudul pengaruh terapi relaksasi otot progresif terhadap

6
perubahan tingkat insomnia pada lansia di posyandu lansia desa gonilan,

kartasura. Telah melakukan penelitian dengan menggunakan metode eksperimental

semu atau Quasi eksperimental dengan rancangan pre test post test design.

Penelitian ini dilakukan pada tanggal 3 November 2010 di 7 Posyandu Lansia Desa

Gonilan, Kartasura didapatkan hasil bahwa terdapat 397 lansia yang aktif ikut serta

dalam kegiatan posyandu tersebut. Dari hasil wawancara dengan petugas pengelola

posyandu, lansia sering mengeluh pusing dan lemas. Hasil wawancara dari 30 lansia

yang ikut dalam posyandu lansia tersebut 16 diantaranya mengeluh tidak bisa tidur.

Dalam sehari hanya tidur 2 sampai 3 jam saja. Lansia pada kelompok perlakuan

(sebelum terapi) 6,7% mengalami insomnia berat, 83,3% mengalami insomnia

sedang, 10,0% mengalami insomnia ringan, sedangkan pada kelompok kontrol 3,3%

juga mengalami insomnia berat, 86,7% mengalami insomnia sedang, dan 10,0%

mengalami insomnia ringan. Setelah diberikan terapi relaksasi otot progresif pada

kelompok perlakuan lansia yang mengalami insomnia berat menurun menjadi 0%,

lansia yang mengalami insomnia sedang sebesar 56,7% dan lansia yang mengalami

insomnia ringan sebesar 43,3%, sedangkan pada kelompok kontrol tingkat insomnia

pada lansia relative tidak mengalami perubahan.


Selain itu terdapat juga penelitian yang dilakukan oleh Erna Erliana dkk.2008

yang berjudul perbedaan tingkat insomnia lansia sebelum dan sesudah latihan

relaksasi otot progresif (progressive muscle relaxation) di bpstw ciparay bandung.

Penelitian ini menggunakan metode quasi eksperimen tanpa kelompok kontrol

dengan pendekatan One Group Pretest-Posttest Design. Rancangan ini menggunakan

satu kelompok sampel yang diwawancara sebanyak dua kali, yaitu wawancara

sebelum eksperimen (01) disebut pretest, dan wawancara sesudah akan tetapi selama

7
proses penelitian (1-7 Juni 2008) terdapat 1 orang yang sakit, sehingga pada akhir

penelitian didapatkan sampel sebanyak 29 orang. Hasil penelitian mengenai

perbedaan tingkat insomnia sebelum dan sesudah latihan relaksasi otot progresif

menunjukkan terdapat penurunan yang signifikan terhadap tingkat insomnia relaksasi

otot progresif selama 20-30 menit, satu kali sehari secara teratur selama satu minggu.

Hal ini terbukti dari adanya penurunan skor insomnia pada lansia tersebut, yaitu

sesudah diberikan intervensi latihan relaksasi otot progresif terjadi penurunan jumlah

lansia pada tingkat insomnia ringan menjadi 10 lansia, tingkat insomnia berat dan

sangat berat menjadi tidak ada sama sekali, dan terdapat 19 lansia dalam keadaan

tidak ada keluhan insomnia. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Setiap lansia di

BPSTW Ciparay Bandung merasakan manfaat latihan relaksasi otot progresif,

Sebelum latihan relaksasi otot progresif, sebagian besar lansia mengalami tingkat

insomnia ringan dan sebagian kecil mengalami tingkat insomnia berat dan sangat

berat, Sesudah latihan relaksasi otot progresif sebagian besar lansia berada pada

tingkat tidak ada keluhan insomnia, dan sebagian kecil mengalami tingkat insomnia

ringan, Berdasarkan uji statistik terdapat perbedaan yang signifikan terhadap tingkat

insomnia lansia sebelum dan sesudah latihan relaksasi otot progresif di BPSTW

Ciparay Bandung pada taraf signifikansi 5%.

8
9

Anda mungkin juga menyukai