Anda di halaman 1dari 11

PAPER BIOEKOLGI

PENGGUNAAN LAHAN : TERFOKUS PADA PERTANIAN DAN


KEHUTANAN

OLEH :

1. RAYFIQA MAULIDAH (1520422021)


2. INELVI YULIA (1520422020)

PROGRAM PASCASARJANA BIOLOGI


FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS ANDALAS
PADANG, 2016
PENGGUNAAN LAHAN : TERFOKUS PADA PERTANIAN DAN
KEHUTANAN

Penggunaan lahan (land use) merupakan setiap bentuk intervensi (campur tangan)
manusia terhadap lahan dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya baik material
maupun spiritual. Penggunaan lahan dapat dikelompokkan dalam dua golongan besar
yaitu penggunaan lahan pertanian dan penggunaan lahan bukan pertanian.
Penggunaan lahan dibedakan berdasarkan atas penyediaan air dan komoditi yang
diusahakan, dimanfaatkan atau yang terdapat di atas lahan tersebut. Berdasarkan hal
ini dapat dikenal macam-macam penggunaan lahan seperti tegalan, sawah, kebun,
hutan produksi, hutan lindung dan lain-lain. Sedangkan penggunaan lahan bukan
pertanian dapat dibedakan menjadi lahan permukiman, industri dan lain-lain (Arsyad,
1989).

A. POLA PENGGUNAAN LAHAN DI MASA LALU


Berdasarkan penemuan-penemuan beberapa artefak dan tulisan-tulisan
dibidang pertanian. Akhirnya para ahli prasejarah umumnya bersepakat bahwa
pertanian pertama kali berkembang sekitar 12.000 tahun yang lalu dari kebudayaan
di daerah Bulan sabit yang subur di timur tengah, yang meliputi daerah lembah
sungai tigris dan eufrat terus memanjang ke barat hingga daerah Suriah dan Yordania
sekarang. Adapula ahli yang berpendapat bahwa pertanian lahir pada 2000 tahun
setelah berakhirnya zaman es. Pada saat itu banyak dijumpai hutan dan padang yang
sangat cocok untuk pertanian. Sehingga timbulah inisiatif manusia untuk bercocok
tanam. Secara singkatnya pertanian telah dikenal oleh masyarakat yang telah
mencapai kebudayaan batu muda (neolitikum).
Pada zaman perunggu dan logam, yang mengikutoi era neolitikum, pertanian
menjadi suatu praktek yang umum. Adanya teknologi logam, dimulai dengan
pembuatan alat bantu dalam pertanian seperti cangkul dan parang. Di daerah yang
lebih gersang, berkembanglah sistem irigasi untuk pengairan sawah dan lading
masyarakat. Manusia sebagai petani memiliki kontrol yang besar terhadap
lingkungannya, menggunakan lahan untuk pertanian dan tempat tinggal yang
permanen. Sejalan dengan berkembangnya sistem pertanian yang dilakukan oleh
manusia maka lahirlah masa industrialisasi yang mengakibatkan keragaman
penggunaan lahan, era ini lebih dikenal dengan Revolusi Industri.
Revolusi Industri dimulai pada akhir abad ke-18, di mana terjadinya peralihan
dalam penggunaan tenaga kerja di Inggris yang sebelumnya menggunakan tenaga
hewan dan manusia, yang kemudian digantikan oleh penggunaan mesin yang
berbasis menufaktur. Periode awal dimulai dengan dilakukannya mekanisasi
terhadap industri tekstil, pengembangan teknik pembuatan besi dan peningkatan
penggunaan batubara. Ekspansi perdagangan turut dikembangkan dengan
dibangunnya terusan, perbaikan jalan raya dan rel kereta api (Inikori, 2002). Adanya
peralihan dari perekonomian yang berbasis pertanian ke perekonomian yang berbasis
manufaktur menyebabkan terjadinya perpindahan penduduk besar-besaran dari desa
ke kota, dan pada akhirnya menyebabkan membengkaknya populasi di kota-kota
besar di Inggris. Revolusi Industri yang dimulai dari Inggris kemudian menyebar ke
seluruh Eropa Barat, Amerika Utara, Jepang, dan akhirnya ke seluruh dunia
(Redford, 1976).

B. URBANISASI
Semakin berkembangnya industri di suatu areal yang dikenal dengan areal
perkotaan, masyarakat yang tinggal di wilayah pertanian (pedesaan) mulai
meninggalkan aktivitas lamanya dan berpindah ke daerah perkotaan. Perpindahan
penduduk dari desa ke kota ini lebih dikenal dengan istilah urbanisasi. Menurut
Tjiptoherijanto (1999) menyatakan bahwa secara umum urbanisasi diartikan sebagai
perpindahan penduduk dari pedesaan menuju perkotaan, namun pengertian ini tidak
selalu benar merujuk pada kondisi kontekstual. Urbanisasi yang sesungguhnya
adalah proporsi penduduk yang tinggal di perkotaan (urban area). Perkotaan (urban
area) tidak sama dengan kota (city). Yang dimaksud dengan perkotaan (urban)
adalah daerah atau wilayah yang memenuhi tiga persyaratan, yaitu sebagai berikut :
1). Kepadatan penduduk 5000 orang atau lebih per km persegi, 2). Jumlah rumah
tangga yang bekerja di sektor pertanian sebesar 25 % atau kurang dan 3). Memiliki 8
atau lebih jenis fasilitas perkotaan.
Sebagai akibat dari cepatnya pertambahan penduduk yang ditunjang dengan
perkembangan ekonomi, transportasi dan pendidikan, frekuensi mobilitas yang
semakin meningkat, urbanisasi memiliki implikasi terhadap berbagai sektor
kehidupan. Dalam sektor ekonomi, urbanisasi mendorong adanya usaha atau
kegiatan di bidang transportasi, perdagangan dan jasa timbul dari mereka yang
bermodal kecil sampai bermodal besar. Sementara itu, berkembangnya industrialisasi
menyebabkan tenaga kerja murah dan melimpah, pasaran industri meluas dan
cenderung lebih berkembang. Adapun dampak negatif dari urbanisasi adalah
pertambahan penduduk yang semakin pesat diikuti dengan semakin sulitnya
kemampuan daya tampung kota (Tjokroamidjojo, 1986).
Urbanisasi yang terjadi di negara maju dan berkembang sangat berbeda
polanya. Di negara yang berkembang, urbanisasi terjadi setelah terjadinya Perang
Dunia ke-2 dan era ini ditandai dengan pertambahan penduduk yang pesat juga
dengan perkembangan ekonomi yang lambat. Lain halnya dengan negara maju yang
urbanisasinya dimulai sejalan dengan era Revolusi Industri yang ditandai dengan
pertambahan penduduk yang lambat serta perkembangan ekonomi yang pesat.

C. PERTANIAN
Hancurnya lahan pertanian setelah masa Perang Dunia I dan II
mengakibatkan tidak terpenuhinya kebutuhan pangan masyarakat yang semakin
besar populasinya. Hal ini memunculkan ide untuk mengupayakan peningkatan
produksi dan kualitas pangan. Cara yang digunakan adalah dengan memanipulasi
ekosistem alami untuk produk memproduksi tumbuhan dan ternak, terutama untuk
pangan juga pakaian dan tempat berlindung. Modifikasi ekosistem ini lebih dikenal
dengan Agroekosistem. Penerapan Agroekosistem merupakan bagian dari Revolusi
hijau yang memiliki dua metode suatu bentuk pemanfaatan lahan yaitu metode
ekstensif dan intensif. Metode intensifikasi merupakan suatu pengolahan lahan yang
diikuti dengan penggunaan bibit unggul (mutasi dan persilangan), pemberantasan
hama, pemupukan dan irigasi. Sementara itu metode ekstensifikasi merupakan suatu
bentuk pengolahan dengan pembukaan lahan baru yang sebelumnya tandus menjadi
bisa ditanami.
Gerakan Revolusi Hijau sebagai paket teknologi pertanian modern dengan
jalan penggunaan varietas unggul berproduksi tinggi, penggunaan pestisida kimia,
penggunaan pupuk kimia atau sintetis, dan penggunaan mesinmesin pertanian untuk
mengolah tanah dan memanen hasil sebagai upaya untuk peningkatan produksi
pertanian tidak dapat berlangsung lama karena pendekatan teknologi dalam Revolusi
Hijau tidak diimbangi dengan faktor kelestarian sumber daya dan lingkungan (Aeni,
2006).
Salah satu areal yang dijadikan sebagai tempat pengembangan bahan pangan
pada era Revolusi Hijau adalah daerah Sahel yang berada di daerah perbatasan antara
gurun sahara dan wilayah tropis Afrika Barat. Di areal ini dikembangkan bibit unggu
sorgum dan padi dengan mengandalkan aliran air irigasi dari sungai Nigel dan
Sinegal. Pada tahun 1980, produksi padi di Sahel ini sekitar 352.000 ton dan pada
tahun 1990 terjadi peningkatan yang signifikan dengan total produksi 800.000 ton
sehingga daerah Sahel dikenal sebagai salah satu pemasok beras terbesar di Afrika
Barat (12%).
Namun seiring berjalannya waktu dan produksi pertanian yang semakin
melimpah tidak dibarengi dengan sistem pertanian yang memadai, dimana
masyarakat menggunakan sistem irigasi dan drainase yang buruk serta pengaruh
musim kemarau berkepanjangan yang menyebabkan produksi pertanian menurun
drastis. Pada tahun 2014, PBB menetapkan Sahel sebagai wilayah krisis pangan
dengna total 20 juta jiwa yang terancam kelaparan.

D. KEHUTANAN
Hutan alami yang ada di dunia memiliki tingkat eksploitasi yang berbeda. Di
Negara maju seperti Eropa Barat, deforestasi merupakan bagian dari sejarah zaman
purbakala. Sementara itu di negara berkembang, deforestasi dalam skala besar terjadi
pada saat sekarang ini. Deforestasi menyebabkan berkurang atau terancamnya
kenakearagaman di kawasan hutan tropis dan menimbulkan permasalah lingkungan
maupun sosial yang menjadi isu. pembersihan hutan alami lebih dikenal dengan
deforestasi.
Di Negara maju, untuk memenuhi kebutuhan kayu bakar dan kayu produksi,
pemerintah melakukan program aforestasi. Aforestasi adalah
pembentukan hutan atau tegakkan pepohonan di area di mana sebelumnya bukan
merupakan hutan (Dictionaryofforestry.org., 2012). Kementerian Kehutanan
Republik Indonesia dalam Peraturan Menteri Kehutanan Nomor : P.14/Menhut-
II/2004 menyebutkan definisi aforestasi adalah "penghutanan pada lahan yang
selama 50 tahun atau lebih bukan merupakan hutan". Berbeda dengan
reforestasi atau reboisasi yang merupakan pembentukan kembali hutan yang pernah
gundul, secara alami maupun buatan. Berbagai lembaga pemerintah dan lembaga non
pemerintahbergerak dalam program aforestasi untuk menciptakan hutan,
meningkatkan aktivitas penangkapan dan sekuestrasi karbon, dan membantu
meningkatkan keanekaragaman hayati.
Silvikultur adalah praktik pengendalian proses permudaan (penanaman),
pertumbuhan, komposisi, kesehatan, dan kualitas suatu hutan demi mencapai aspek-
aspek ekologi dan ekonomi yang diharapkan. Silvikultur berfokus pada perawatan
tegakan hutan untuk menjamin produktivitas (Hawley and Smith, 1954). Dengan
kata lain, silvikultur adalah perpaduan antara ilmu dan seni menumbuhkan hutan,
dengan berdasarkan ilmu silvika, yaitu pemahaman mengenai sifat-sifat hidup jenis-
jenis pohon serta interaksinya dalam tegakan, dan penerapannya dengan
memperhatikan karakteristik lingkungan setempat (Ford-Robertson, 1971).
Terdapat dua teknik yang menentukan dampak lingkungan dari praktek
kehutanan, yaitu tebang pilih (selective cutting) dan clear cutting. Tebang pilih
(selective cutting) merupakan penebangan pohon secara selektif, dimana hanya
pohon dewasa yang dipilih untuk ditebang dan diambil hasilnya. Penebangan
selektif ini dapat meminimalkan kerusakan ekosistem hutan. Sebaliknya, clear
cutting merupakan penebangan pohon secara besar-besaran tanpa memperhatikan
umur pohon.

E. DAMPAK DARI PERTANIAN DAN KEHUTANAN


Terdapat beberapa dampak yang ditimbulkan dari aktifitas pertanian dan
kehutanan yang sampai saat ini masih sering terjadi. Beberapa dampak tersebut
seperti : Deforestasi, Salinisasi, Erosi Tanah dan Desertifikasi. Deforestasi
merupakan kegiatan penebangan hutan atau tegakan pohon (stand of trees) sehingga
lahannya dapat dialihgunakan untuk penggunaan nir-hutan (non-forest use),
yakni pertanian, peternakan atau kawasan perkotaan. Banyak penebangan hutan pada
masa kini terjadi karena penyelewengan kuasa pemerintahan (political corruption) di
kalangan lembaga pemerintah, ketidakadilan dalam pembagian kekayaan (wealth)
dan kekuasaan, pertumbuhan penduduk, ledakan penduduk (over population)
maupun urbanisasi (Hecht, Kandel, Gomes, Cuellar and Rosa, 2006).
Deforestasi telah menimbulkan dampak ekologi yang sangat besar
bagi Indonesia dan dunia. Indonesia memiliki 10% hutan tropis dunia yang masih
tersisa. Hutan Indonesia memiliki 12% dari jumlah spesies mamalia, pemilik 16%
spesies reptil dan amphibi, 1.519 spesies burung dan 25% dari spesies ikan dunia.
Sebagian di antaranya adalah endemik atau hanya dapat ditemui di daerah tersebut.
Luas hutan alam asli Indonesia menyusut dengan kecepatan yang sangat
mengkhawatirkan. Hingga saat ini, Indonesia telah kehilangan hutan aslinya sebesar
72% (World Resource Institute, 1997). Penebangan hutan Indonesia yang tidak
terkendali selama puluhan tahun dan menyebabkan terjadinya penyusutan hutan
tropis secara besar-besaran. Laju kerusakan hutan periode 1985-1997 tercatat 1,6 juta
hektare per tahun, sedangkan pada periode 1997-2000 menjadi 3,8 juta hektare per
tahun. Ini menjadikan Indonesia merupakan salah satu tempat dengan tingkat
kerusakan hutan tertinggi di dunia. Di Indonesia berdasarkan hasil penafsiran citra
landsat tahun 2000 terdapat 101,73 juta hektar hutan dan lahan rusak, di antaranya
seluas 59,62 juta hektar berada dalam kawasan hutan (Badan Planologi Dephut,
2003).
Salinitas tanah adalah kandungan garam yang berada di tanah. Proses
peningkatan kadar garam disebut dengan salinisasi. Garam adalah senyawa alami
yang berada di tanah dan air. Salinisasi dapat disebabkan oleh proses alami seperti
pencucian mineral atau penarikan deposit garam dari lautan. Salinisasi juga bisa
terjadi karena aktivitas manusia seperti irigasi. Akumulasi garam berlebih, terutama
pada bagian permukaannya, disebabkan oleh perpindahan garam melalui proses
kapilaritas dari bagian di dalam tanah yang mengandung air dengan garam terlarut,
ke permukaan. Proses evaporasi menarik air dari dalam tanah ke permukaan, dan air
yang menguap meninggalkan garam di permukaan tanah. Garam yang terkonsentrasi
juga bisa berasal dari pupuk kimia.
Salinisasi dapat disebabkan oleh beberapa faktor seperti tingginya kadar
garam pada perairan, fitur lanskap yang menyebabkan garam berpindah melalui
pergerakan air tanah, faktor iklim yang menyebabkan akumulasi garam, aktivitas
manusia seperti tebang habis, irigasi, akuakultur, dan penggaraman untuk
melelehkan salju dan es (The Canadian Environmental Protection Act, 1999).
Konsekuensi tingginya kadar garam pada tanah, yaitu : efek yang merusak bagi
pertumbuhan tanaman hingga menyebabkan kematian tanaman, kerusakan
infrastruktur yang berada di atas (jalan, bangunan) dan bawah tanah (korosi
perpipaan), penurunan kualitas air tanah dan permukaan serta erosi tanah (Yahya dan
Adib, 1992).
Menurut Kironoto dan Yulistiyanto (2000), Erosi Tanah yang juga disebut sebagai
pengikisan atau kelongsoran tanah adalah proses penghanyutan tanah oleh desakan atau
kekuatan air dan angin baik yang berlangsung secara alami maupun sebagai akibat atau
tindakan dari manusia. Menurut Bennet (1939) cit. Yunianto (1994), erosi dibedakan
menjadi erosi normal yakni erosi geologi atau erosi natural dan erosi dipercepat atau erosi
tanah. Erosi dipercepat dibedakan lagi menjadi erosi dipercepat alami dan erosi dipercepat
manusia. Erosi dipercepat manusia merupakan dampak dari pembukaan lahan pertanian,
sistem pertanian yang buruk dan penggundulan hutan.
Desertifikasi adalah tipe degradasi lahan dimana lahan yang relatif
kering menjadi semakin gersang, kehilangan badan air, vegetasi, dan juga kehidupan
liar. Desertifikasi umumnya disebabkan oleh berbagai faktor seperti perubahan
iklim dan aktivitas manusia. Desertifikasi adalah masalah lingkungan dan
ekologis global yang signifikan. Penyebab utama desertifikasi adalah menghilangnya
vegetasi yang terjadi karena berbagai hal seperti kekeringan, perubahan iklim,
aktivitas pertanian, penggembalaan hewan berlebih, dan deforestasi. Vegetasi
memainkan peran penting dalam menentukan komposisi biologis dari tanah. Sebuah
studi menunjukan bahwa di berbagai lingkungan, laju erosi dan aliran air permukaan
berkurang secara ekseponensial dengan meningkatnya luas tutupan vegetasi (Geeson,
2002).
Permukaan lahan kering yang tidak terlindungi akan tertiup oleh angin atau
tercuci oleh banjir bandang, meninggalkan lapisan tanah yang tidak subur dan
terpanggang oleh cahaya matahari dan tidak menjadi produktif. Namun sebuah
penelitian lain menunjukan bahwa pergerakan hewan ternak dan hewan liar menjadi
faktor penentu utama dalam mempertahankan vegetasi dan kualitas tanah, dan
menghilangnya hewan ternak dan hewan liar menjadi salah satu penyebab
desertifikasi (Butterfield, 2006). Metode untuk mitigas atau membalikkan efek
desertifikasi telah diusulkan, namun terdapat halangan dalam
mengimplementasikannya. Salah satunya adalah praktik pertanian
berkelanjutan yang diketahui mampu memitigiasi desertifikasi, terkadang
membutuhkan biaya melebihi keuntungan petani. Masalah lainnya adalah rendahnya
motivasi politik dan pembiayaan dalam reklamasi lahan dan program anti
desertifikasi (Briassoulis, 2005).
Salah satu peristiwa besar yang menjadi dampak dari pertanian dan
kehutanan adalah Dush Bowl di Amerika Serikat. Dush Bowl merupakan bagian dari
Black Sunday yang dipertama kali terjadi pada tanggal 14 April 1935. Sekitar 300
juta ton tanah yang telah mengalami erosi dibawa oleh angin dari areal pertanian dan
padang rumput ke wilayah lainnya di Amerika Serikat. Wilayah pertama yang
dilanda Black Sunday adalah Oklahoma Panhandle (wilayah Oklahoma yang
menyerupai gagang panci meliputi Cimarron, Texas, dan Beaver) dan Oklahoma
Barat Laut lainnya (meliputi Harper, Woods, Alfalfa, Grant, Kay, Ellis, Woodward,
Major, Garfield, Noble, Dewey, Blaine, dan Kingfisher), yang lalu bergerak menuju
wilayah bagian selatan. Kondisi paling parah menimpa Texas dan dampaknya terasa
ke daerah-daerah di sekitarnya.
Berawal dari musim hujan yang tidak biasa, pemerintah yakin bahwa iklim
berubah karena menetapnya penduduk dan banyaknya pertanian di daerah tersebut.
Pada akhirnya teori ini ditolak oleh para ahli klimatologi dan dianggap hanya
takhayul saja. Akibat kepercayaan yang salah, saat itu pemerintah berpendapat
bahwa iklim di area tersebut sudah berubah secara tetap atau permanen dan pasti
berhasil untuk pertanian.
Metode pertanian yang dilakukan oleh para petani di jaman itu menyebabkan
erosi dalam skala besar. Pembajakan tanah dalam-dalam dan persiapan lainnya
membuat tanaman asli menghilang yang mana tanaman tersebut menahan tanah di
tempatnya dan membantu mempertahankan kelembaban tanah. Lebih jauh lagi, para
petani katun meninggalkan lahan gundul selama musim dingin ketika angin sedang
kencang-kencangnya, dan membakar tunggul dengan maksud untuk mengendalikan
gulma atau tanaman pengganggu sebelum menanam. Hal ini tentunya
menghilangkan nutrisi organik tanah dan vegetasi permukaan tanah.
DAFTAR PUSTAKA

Arsyad, S., 1989. Konservasi Tanah dan Air. Institut Pertanian Bogor (IPB) Press.
Bogor.

Briassoulis, H. 2005. Policy integration for complex environmental problems: the


example of Mediterranean desertification. Ashgate Publishing. Ashgate.

Butterfield, J. 2006. Holistic Management Handbook: Healthy Land, Healthy Profits,


Second Edition. Island Press. Island.

Ford-Robertson, FC. (Ed.) 1971. Terminology of Forest Science, Technology,


Practice and Products. English language version. Soc. Amer .Washington DC.

Geeson, N. et al. 2002. Mediterranean desertification: a mosaic of processes and


responses. John Wiley & Sons. p. 58.

Hawley, RC. and DM. Smith. 1954. The Practice of Silviculture. 6th edition. John
Wiley & Sons Inc. New York.

Hecht, S.B. S. Kandel., I. Gomes., N. Cuellar and H. Rosa. 2006. Globalization,


Forest Resurgence, and Environmental Politics in El Salvador (PDF). World
Development Vol. 34, No. 2. pp. 308323.

Inikori, J.E., 2002. Africans and the Industrial Revolution in England. Cambridge
University Press. Inggris.

Kironoto, B.A. dan Yulistiyanto, B. 2000. Konservasi Lahan. Program Magister


Pengelolaan Air Program Pasca Sarjana Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.

Peraturan Menteri Kehutanan Nomor : P.14/Menhut-Ii/2004 Tentang Tata Cara


Aforestasi Dan Reforestasi Dalam Kerangka Mekanisme Pembangunan
Bersih. Kementerian Kehutanan Republik Indonesia.

Redford, A. 1976. Labour migration in England, 1800-1850. Manchester University


Press, Manchester.

SAFnet Dictionary | Definition For [afforestation]. Dictionaryofforestry.org. 2008-


10-23. Diakses tanggal 2012-02-17.

The Canadian Environmental Protection Act. 1999. Priority Substances List


Assessment Report, Road Salts are environmentally toxic.

Tjiptoherijanto, P. 1999. Keseimbangan Penduduk, Manajemen Sumber Daya


Manusia dan Pembangunan Daerah. Pustaka Sinar Harapan. Jakarta.
Tjokroamidjojo, B. 1986. Perencanaan Pembangunan. Penerbit PT Gunung Agung
Jakarta. Jakarta.

Yahya, S., M. Adib. 1992. Uji Toleransi Terhadap Salinitas Bibit Beberapa Varietas
Kakao (Theobroma Cacao L.). Jurnal Agronomi Indonesia.

Yunianto, T. 1994. Erosi dan Sedimentasi. Pasca Sarjana Universitas Gadjah Mada.
Yogyakarta.

Anda mungkin juga menyukai