Selama ini dalam pengkajian klinis dispnea, yang biasa dikaji adalah ada tidaknya
sesak napas, intensitas, behavior, dan efek dalam beraktifitas. Tetapi tidak seperti pengkajian
pada nyeri, banyak pertimbangan yang harus dikaji tidak hanya sekedar pendeskripsian
dengan mengingat kembali sensasi. Kekonsistenan bahasa atau ekspresi yang digunakan
untuk mendekripsikan juga harus diperhatikan.
Dalam penelitian ini, sementara tidak ada perbedaan yang cukup signifikan dari
pendeskripsian sensasi exercise-induced breathlessness sesaat setelah dua kali tes berjalan
selama 6 menit, akan tetapi didapatkan perbedaan atau ketidak-konsisten-an ketika mereka
diminta melaporkan sensasi sesak napas dengan hanya mengingat kembali tanpa ada sesuatu
kegiatan yang melatarbelakangi untuk mengalami sesak napas. Penelitian ini secara tidak
langsung memeberikan pernyataan bahwa mendeskripsikan sensasi sesak napas dengan
hanya mengingat kembali tidak mencerminkan pengalaman nyata saat mengalami serangan
sesak napas.
Penemuan dalam penelitian ini mengimplikasikan untuk para peneliti dan tim
kesehatan yang dalam berkeja sering menemui dan berinteraksi dengan klien yang menderita
penyakit paru kronis yang memiliki manifestasi utama sesak napas, bahwa dalam mengkaji
pengalaman sesak napas harus mempertimbangkan dalam konteks yang spesifik apa yang
mendasarinya. Memang sangat bervariasi, tapi pertimbangan itu diperlukan untuk mendapat
informasi yang signifikan sehingga dapat memahami kondisi dispnea pada setiap individu,
karena dispnea itu multidimensional.