Anda di halaman 1dari 49

BAB I

PENDAHULUAN

Saluran pencernaan manusia mengandung 10-100 triliun bakteri dan


sekitar 500-1500 spesies bakteri yang berbeda. Mikroorganisme ini memiliki
fungsi penting dalam berbagai aspek fisiologi manusia seperti regulasi proses
metabolisme, edukasi dari sistem kekebalan tubuh, dan perkembangan respon
dari sel epitel dimana hal ini penting untuk mempertahankan mutualisme.
Mikroflora usus berbeda baik secara kuantitatif dan kualitatif diantara spesies
dan individu. Gaya hidup, usia, kebiasaan diet, paparan antibiotik, dan
genotipe tuan rumah memainkan peran penting dalam komposisi mikroflora
usus. Selain itu, gangguan pada keseimbangan ekosistem komunitas bakteri
pada saluran pencernaan dapat menyebabkan keadaan patologis yang berat.
Hubungan fungsional yang erat antara hati dan saluran pencernaan
(sumbu usus-hati) disoroti pada beberapa fungsi fisiologis yang penting yang
menghubungkan kedua organ ini. Hati, adalah organ terbesar dalam tubuh,
dan memiliki suplai darah ganda. Pembuluh arteri hati, yang berasal dari
arteri celiac, memasok darah yang mengandung oksigen ke hati, sedangkan
vena porta membawa darah vena dari usus dan limpa. Sekitar 75% dari aliran
darah hati berasal dari pembuluh darah portal (1000-1200 mL / menit), dan
karena itu, hati ini terus terpapar nutrisi, racun, antigen yang berasal dari
makanan, produk mikroba, dan mikroorganisme yang berasal dari saluran
usus. Lokasi strategis ini memberikan hati peranan yang penting pada fungsi
metabolik, imunologi, dan detoksifikasi dan menekankan peranan penting
dari mikrobiota usus pada patofisiologi hati.
Bukti terbaru saat ini menunjukkan bahwa mikrobiota usus
memainkan peran penting dalam proses fisiologis dan patologis, khususnya
sebagai kunci utama penentu patologi kekebalan tubuh dan sindrom
metabolik.
Hati sebagai organ tubuh yang menerima suplai darah dari vena
portal, merupakan garis pertahanan pertama terhadap antigen dari makanan,
racun, turunan dari produk mikroba, dan mikroorganisme.

1
Selain itu, hati memiliki fungsi penting untuk mengintegrasikan hasil
metabolisme dengan asupan gizi. Untuk mencapai fungsi ini, hati ini
dilengkapi dengan susunan yang luas dari jaringan kekebalan tubuh. Oleh
karena itu sekarang dapat dimengerti dengan jelas bahwa, selama proses
patologis yang terkait dengan obesitas, asupan alkohol, atau autoimunitas,
interaksi antara populasi sel kekebalan tubuh ini dan mikrobiota usus
meningkatkan progresifitas dari penyakit hati kronis, dan oleh karena itu hal
ini membuka untuk sebuah target terapi yang baru.
Pada tinjauan pustaka ini akan dibahas tentang hubungan antara
microbiota di usus, sistem imun bawaan, dan hubungannya dengan
progresifitas penyakit hati kronis
Dalam tinjauan pustaka ini kami membahas dampak dari mikrobiota
usus pada penyakit hati, berfokus pada bagaimana dysbiosis dan respon imun
dipicu oleh produk turunan microbiota membentuk perkembangan patologi
hati kronis

2
BAB II
PENYAKIT HATI KRONIK

2.1. Definisi
Penyakit hati kronik adalah suatu penyakit nekroinflamasi hati yang
berlanjut dan tanpa perbaikan paling sedikit selama 6 bulan. Penyakit hati
kronik dapat asimtomatik atau disertai gejala-gejala seperti mudah lelah,
malaise dan nafsu makan berkurang. Serum aminotransferase dapat
meningkat secara sementara atau menetap. Ikterus sering tidak ditemukan,
kecuali pada kasus - kasus stadium lanjut. Keadaan ini dapat disertai
splenomegali, limfadenopati, berkurangnya berat badan, dan demam.
Fibrosis hati adalah suatu respon penyembuhan luka yang kemudian
diikuti dengan adanya proliferasi jaringan ikat di hepar. Pada fibrosis hati
terbentuknya jaringan ikat yang terjadi sebagai respon terhadap cedera hati,
diawali oleh cedera hati kronis ditandai oleh aktivasi Hepatic Stellate Cells
(HSC) dan produksi berlebih komponen Matriks Ekstraseluler (MES).
Penumpukan protein matriks ekstraseluler yang berlebihan akan
menyebabkan gangguan arsitektur hati, terbentuk jaringan ikat yang diikuti
2,6
regenerasi sel hepatosit. Bila fibrosis berjalan secara progresif, dapat
menyebabkan sirosis hati.
Penentuan derajat fibrosis mempunyai peranan penting dalam
hepatologi karena pada umumnya penyakit hati kronis berkembang menjadi
fibrosis dan dapat berakhir menjadi sirosis. Selain penting untuk prognosis,
penentuan derajat fibrosis hati dapat mengungkapkan riwayat alamiah
1,2
penyakit dan faktor faktor resiko yang berkaitan dengan progresifitas
penyakit untuk dijadikan panduan variasi terapi antifibrotik. Patogenesa
fibrosis hati merupakan proses yang sangat kompleks yang melibatkan sel
stellata hati (HSC) sebagai sel utama, sel kupffer, lekosit, berbagai mediator,
sitokin, growth factors dan inhibitor, serta berbagai jenis kolagen.

3
2.1. Etiologi
Penyakit hepar kronik dapat disebabkan oleh beberapa faktor, bisa
disebabkan oleh karena virus hepatitis B dan C dan juga bisa terjadi oleh
karena nonviral.Berikut ini adalah beberapa penyebab berkembangnya
penyakit hati kronik: a). Virus hepatitis B, C, dan D. b). Alkohol c). Obat-
obatan atau toksin. d). Kelainan metabolik : hemokromatosis, penyakit
Wilson, defisiensi 1-antitripsin, diabetes melitus, glikogenosis tipe IV,
galaktosemia, tirosinemia, fruktosa intoleran. e). Kolestasis intra dan ekstra
hepatik. f). Gagal jantung dan obstruksi aliran vena hepatika. g). Gangguan
imunitas. h). Sirosis biliaris primer dan sekunder. i). Idiopatik atau
kriptogenik.
2.1.1. Hepatitis Virus
Hepatitis virus terutama tipe B sering disebut sebagai salah satu
penyebab penyakit hati kronik, apalagi setelah penemuan Australian Antigen
oleh Blumberg pada tahun 1965 dalam darah penderita dengan penyakit hati
kronis , maka didug a mempunyai peranan yang besar untuk terjadinya
nekrosa sel hati sehingga terjadi sirosis. Secara klinik telah dikenal bahwa
hepatitis virus B lebih banyak mempunyai kecenderungan untuk lebih
menetap dan memberi gejala sisa serta menunjukan perjalanan yang kronis,
bila dibandingkan dengan hepatitis virus A.
2.1.2. Zat hepatotoksik
Beberapa obat-obatan dan bahan kimia dapat menyebabkan
terjadinya kerusakan pada sel hati secara akut dan kronis. Kerusakan hati akut
akan berakibat nekrosis atau degenerasi lemak, sedangkan kerusakan kronis
akan berupa sirosis hati. Zat hepatotoksik yang sering disebut-sebut ialah
alkohol.
2.1.3. Penyakit Wilson (Wilson Disease)
Suatu penyakit yang jarang ditemukan , biasanya terdapat pada
orang-orang muda dengan ditandai sirosis hati, degenerasi basal ganglia dari
otak, dan terdapatnya cincin pada kornea yang berwarna coklat kehijauan
disebut Kayser Fleischer Ring. Penyakit ini diduga disebabkan defesiensi

4
bawaan dari seruloplasmin. Penyebabnya belum diketahui dengan pasti
mungkin ada hubungannya dengan penimbunan tembaga dalam jaringan hati.
2.1.4. Penyakit Wilson (Wilson Disease)
Bentuk penyakit hati kronik yang terjadi biasanya tipe portal. Ada dua
kemungkinan timbulnya hemokromatosis, yaitu: Sejak dilahirkan si penderita
menghalami kenaikan absorpsi dari Fe. Kemungkinan didapat setelah lahir,
misalnya dijumpai pada penderita dengan penyakit hati alkoholik. Bertambahnya
absorpsi dari Fe, kemungkinan menyebabkan timbulnya penyakit hepar kronik.
2.1.5. Penyebab Lain
Beberapa penyebab lain misalnya adalah: a) Kelemahan jantung
yang lama dapat menyebabkan timbulnya sirosis kardiak. Perubahan fibrotik
dalam hati terjadi sekunder terhadap reaksi dan nekrosis sentrilobuler b)
Obstruksi saluran empedu yang lama pada saluran empedu akan dapat
menimbulkan sirosis biliaris primer. Penyakit ini lebih banyak dijumpai pada
kaum wanita. c). Penyebab sirosis hati yang tidak diketahui dan digolongkan
dalam sirosis kriptogenik. Penyakit ini banyak ditemukan di Inggris. Dari data
yang ada di Indonesia Virus Hepatitis B menyebabkan sirosis 40-50% kasus,
sedangkan hepatitis C dalam 30-40%. Sejumlah 10-20% penyebabnya tidak
diketahui dan termasuk disini kelompok virus yang bukan B atau C.
2.2. Patogensis Penyakit Hepar Kronik
Penyakit hepar kronik dimulai dengan terbentuknya jaringan ikat
yang terjadi sebagai respon terhadap cedera hati, diawali oleh cedera hati
kronis yang dapat disebabkan oleh infeksi virus, ketergantungan alkohol,
nonalkoholik steatohepatitis dan penyebab lainnya.
Fibrosis hati terjadi dalam beberapa tahap. Jika hepatosit yang rusak
mati, diantaranya akan terjadi kebocoran enzim lisosom dan pelepasan sitokin
dari matriks ekstrasel. Sitokin ini bersama dengan debris sel yang mati akan
mengaktifkan sel kupffer di sinusoid hati dan menarik sel inflamasi
(granulosit, limfosit dan monosit). Berbagai faktor pertumbuhan dan sitokin
kemudian dilepaskan dari sel kupffer dan dari sel inflamasi yang terlibat.

5
2.2.1. Faktor faktor yang berpengaruh pada fibrosis hati.
Transformasi sel normal menjadi sel yang fibrotik merupakan
proses yang sangat rumit. Terdapat interaksi antara HSC dengan sel-sel
parenkimal, sitokin, growth factor, berbagai protease matriks beserta
.
inhibitornya dan MES.
Faktor-faktor yang berperan dalam terjadinya fibrosis hati:
1. Cedera hati
2. Inflamasi yang ditandai oleh
a. Infiltrasi dan aktivasi dari berbagai sel seperti : netrofil, limfosit, trombosit
dan sel-sel endotelial, termasuk sel kupffer.
b. Pelepasan berbagai mediator, sitokin, growth factor, proteinase berikut
inhibitornya dan beberapa jenis substansi toksik seperti reactive oxygen
spesies (ROS) dan peroksida lipid
3. Aktivasi dan migrasi sel HSC ke daerah yang mengalami cedera.
4. Perubahan jumlah dan komposisi MES akibat pengaruh HSC serta
pengaruh berbagai sel, mediator dan growth factor.
5. Inaktivasi HSC, apoptosis serta hambatan apoptosis oleh berbagai
komponen yang terlibat dalam perubahan MES
2.2.2. Aktivasi Sitokin Proinflamasi
Beberapa aktivitas sitokin proinflamasi dapat menyebabkan:
mengubah sel HSC penyimpan lemak di hati menjadi miofibroblas,
mengubah monosit yang bermigrasi menjadi makrofag aktif , memicu
prolifrasi fibroblas. Aksi kemotaktik transforming growth factor (TGF- ) dan
protein kemotaktik monosit (MCP-1), yang dilepaskan dari sel HSC (dirangsang
oleh tumor necrosis factor (TNF-), platelet- derived growth factor (PDGF),
dan interleukin akan memperkuat proses ini, demikian pula dengan sejumlah zat
sinyal lainnya. Akibat sejumlah interaksi ini (penjelasan yang lebih rinci belum
dipahami sepenuhnya), pembentukan matriks eksraseluler ditingkatkan oleh
miofibroblas dan fibroblas, yang berarti peningkatan penimbunan kolagen (Tipe
I, III, IV), proteoglikan (dekorin, biglikan,lumikan, agrekan), dan glikoprotein
(fibronektin, laminin, tenaskin dan undulin) di ruang disse. Fibrinolisis

6
glikoprotein di ruang disse menghambat pertukaran zat antara sinusoid darah dan
hepatosit, serta meningkatkan resistensi aliran di sinusoid.

Gambar 2.1 Ilustrasi patogenesis fibrosis hati.


di kutip dari Bataller R., Brenner DA., E Miscellaneous,
Overview of liver fibrosis, Textbook of Gastroenterology
Jumlah matriks yang berlebihan dapat dirusak (mula-mula oleh
metaloprotease), dan hepatosit dapat mengalami regenerasi. Jika nekrosis
terbatas di pusat lobulus hati, pergantian struktur hati yang sempurna
dimungkinkan terjadi. Namun jika nekrosis telah meluas menembus parenkim
perifer lobulus hati, akan terbentuk septa jaringan ikat. Akibatnya, regenerasi
fungsional yang sempurna tidak mungkin lagi terjadi dan akan terbentuk nodul
38
yang dikenal dengan sirosis. Ilustrasi inisiasi dan maintenance fibrogenesis
diilustrasikan dalam gambar dibawah

7
Gambar 2.2. Inisiasi terjadinya fibrosis hepar
Dikutip dari Safadi R, Friedman SL. Hepatic Fibrosis; Role of
hepatic stellata cell activation. MedGenMed 2002.
2.2.3. Aktivasi sel HSC
Terjadinya fibrosis hati dimulai dengan aktivasi HSC yang dibagi dalam
beberapa fase, walaupun pada kenyataannya proses ini berlangsung simultan
dan tumpang tindih.
2.2.3.1. Fase Inisiasi
Merupakan fase aktivasi HSC menjadi miofibroblas yang bersifat
proliferatif, fibrogenik dan kontraktil. Terjadi induksi cepat terhadap gen
HSC akibat rangsangan dari parakrin yang berasal dari sel-sel inflamasi,
hepatosit yang rusak, sel-sel duktus biliaris serta perubahan awal komposisi
MES.
Perubahan-perubahan tersebut menyebabkan HSC responsif
terhadap berbagai sitokin dan stimulasi lokal lainnya. Pada fase inisiasi ini,
setelah cedera pada sel hati, terjadi stimulasi parakrin terhadap HSC oleh sel-
sel yang berdekatan dengan HSC seperti sel endotelial dan hepatosit serta sel
kupffer, platelet dan lekosit yang menginfiltrasi lokal cedera hati. Stimulasi
parakrin berupa :
1. Inflamasi akibat pelepasan berbagai sitokin seperti IL-1, IL-4, IL-5, IL-6,
IL-13 yang terutama di hasilkan oleh limfosit TH2, pelepasan berbagai
sitokin, faktor-faktor nekrosis dan interferon yang dihasilkan oleh sel kupffer.
2. Oksidasi, terutama oleh reactive oxygen (ROS) dan peroksida lipid yang
dihasilkan oleh netrofil dan sel kupffer. Oksidan-oksidan tersebut
meningkatkan sintesis kolagen oleh HSC.
3. Pelepasan dan aktivitas berbagai growth factors yang terutama dihasilkan
oleh sel kupffer yang teraktivasi oleh sel-sel endotelial lainnya.
4. Pengeluaran proteinase
5. Gangguan reseptor HSC. Peroxisome proliferator activated reseptor yang
terdapat pada reseptor HSC.

8
2.2.3.2. Fase Perpetuisi
Terjadi respon selular akibat proses inisiasi. Pada fase ini terjadi
berbagai reaksi yang menguatkan fenotip sel aktif melalui peningkatan ekspresi
berbagai faktor pertumbuhan dan responnya yang merupakan hasil rangsangan
autokrin dan parakrin, serta akselerasi remodelling MES. Fase ini sangat dinamis
dan berkesinambungan. Fase perpetuisi ini merupakan hasil stimulasi parakrin
dan autokrin, meliputi tahap proliferasi, fibrogenesis, peningkatan
kontraktilitas, pelepasan sitokin proinflamasi, kemotaksis, retinoid loss dan
degradasi matriks.

Gambar 2.3. Aktifasi sel HSC


Dikutip dari dikutip dari Friedman SL, Arthur MJ.
Reversing hepatic fibrosis. Sci Med 2002
Tahap akhir dari fase pengkekalan adalah degradasi matriks, yuang
diatur oleh keseimbangan antara matrix metalloproteinase (MMP) dan
antagonisnya yaitu TIMP (tissue inhibitor metalloproteinase). Degradasi MES
terdiri dari degradasi restoratif yang merusak kelebihan jaringan parut, dan yang
menyebabkan degradasi patologik adalah MMP-2 dan MMP-9 dimana kedua
enzim ini merusak kolagen tipe IV, serta membran type metalloproteinase 1 dan
2 ( aktivator MMP-2).

9
2.2.3.3. Fase Resolusi
Pada fase ini jumlah HSC yang aktif berkurang dan integritas jaringan
kembali normal. Terjadi 2 keadaan pada fase ini yaitu reversi, dimana terjadi
perubahan HSC aktif menjadi inaktif dan apoptosis. Pada cedera hati apoptosis
dihambat oleh berbagai faktor dan komponen matriks yang terlihat dalam proses
inflamasi, dimana yang berperan penting dalam menghambat apoptosis adalah
IGF-1 dan TNF-.
2.2.4. Perubahan Matriks Extraseluler
Pada jaringan hati normal terdapat MES yang merupakan kompleks
yang terdiri dari tiga group makromolekul yakni kolagen, glikoprotein dan
proteoglikan. Makromolekul utama adalah group kolagen yang paling dikenal
pada fibrosis hati, terdiri dari kolagen interstisial atau fibrillar (kolagen tipe
I,III) yang memiliki densitas tinggi dan kolagen membran basal (kolagen tipe
IV) yang memiliki densitas rendah di dalam ruang Disse. Kolagen terbanyak
pada jaringan hati yang normal adalah kolagen tipe IV.

Gambar 2.4. Arsitektur sinusoidal dan lokasi sel HSC.


Pada fibrogenesis terjadi peningkatan jumlah MES 3 sampai 8 kali
lipat, dimana kolagen tipe I dan tipe III menggantikan kolagen tipe IV.
Glikoprotein adhesif yang dominan adalah laminin yang membentuk
membran basal dan fibronektin yang berperan dalam proses perlekatan,
diferensiasi dan migrasi sel. Proteoglikan merupakan protein yang berperan

10
sebagai tulang punggung MES dalam ikatannya dengan glikosaminoglikan.
Pada fibrogenesis terjadi peningkatan fibronektin, asam hialuronat,
proteoglikan dan berbagai glikokonjugat. Pembentukkan jaringan fibrotik
terjadi karena sintesis matriks yang berlebihan dan penurunan penguraian
matriks.
Penguraian matriks tergantung kepada keseimbangan antara enzim-
enzim yang melakukan degradasi matriks dan inhibitor enzim-enzim
tersebut.Akumulasi MES lebih sering berawal dari ruang Disse perisinusoid
terutama pada metabolic zone 3 di asinus hati (perivenous) menuju fibrosis
perisentral.
2.2.4. Nekrosis Sel Hepar.
Struktur dan fungsi hati yang normal tergantung pada keseimbangan
antara kematian sel dan regenerasi sel. Kematian sel hati dapat terjadi melalui
dua proses, yakni nekrosis dan apoptosis. Pada nekrosis yang merupakan
keadaan yang diawali oleh kerusakan sel, terjadi gangguan integritas
membran plasma, keluarnya isi sel dan timbulnya respon inflamasi. Respon
ini meningkatkan proses penyakit dan mengakibatkan bertambahnya jumlah
sel yang mati.
Mekanisme apoptosis merupakan respon tubuh untuk menyingkirkan
sel yang rusak, berlebihan maupun sel yang sudah tua. Terjadi fragmentasi
DNA sedangkan organel sel tetap viabel. Saat dibutuhkan tambahan
hepatosit, sel hati yang inaktif dirangsang oleh berbagai mediator termasuk
sitokin untuk masuk kedalam fase G1 dari siklus mitosis sel, dimana berbagai
faktor pertumbuhan termasuk nuclear factors yang merangsang sintesis
DNA, keadaan ini disebut regenerasi. Pada keadaan sirosis hati terjadi
regenerasi secara cepat dan berlebihan sehingga nodul nodul beregenerasi.
Pada kerusakan hati yang luas, hepatosit dapat dihasilkan oleh sel-sel yang
berhubungan dengan duktus biliaris yang disebut dengan sel oval dan dari
stemsel ekstrahepatik seperti sumsum tulang.
2.2.3 Manifestasi Penyakit Hepar Kronik
Stadium awal penyakit hepar kronik sering tanpa gejala sehingga
kadang ditemukan pada waktu pasien melakukan pemeriksaan kesehatan rutin

11
atau karena kelainan penyakit lain.1 Bila sudah lanjut, gejala-gejala lebih
menonjol terutama bila timbul komplikasi kegagalan hati dan hipertensi porta,
meliputi hilangnya rambut badan, gangguan tidur, dan deman hilang timbul.
Mungkin disertai adanya gangguan pembekuan darah, perdarahan gusi,
epistaksis, gangguan siklus haid, ikterus dengan air kemih berwarna seperti teh
pekat, muntah darah dan/atau melena, serta perubahan mental, meliputi mudah
lupa, sukar konsentrasi, bingung, agitasi, sampai koma.
Timbulnya ikterus pada penyakit hepar kronik merupakan tanda bahwa
ia sedang menderita penyakit hati. Penguningan pada kulit dan mata terjadi
ketika liver sakit dan tidak bisa menyerap bilirubin. 17 Ikterus dapat menjadi
penunjuk beratnya kerusakan sel hati. Ikterus terjadi sedikitnya pada 60 %
penderita selama perjalanan penyakit.
Ketika liver kehilangan kemampuannya membuat protein albumin, air
menumpuk pada kaki (edema) dan abdomen (ascites). Faktor utama asites adalah
peningkatan tekanan hidrostatik pada kapiler usus . Edema umumnya timbul
setelah timbulnya asites sebagai akibat dari hipoalbuminemia dan resistensi
garam dan air.
Hipertensi portal adalah peningkatan tekanan darah vena portal yang memetap
di atas nilai normal. Penyebab hipertensi portal adalah peningkatan resistensi
terhadap aliran darah melalui hati
2.2.4. Komplikasi Penyakit Hepar Kronik
2.2.4.1. Varises Esofagus
Perdarahan varises esofagus merupakan komplikasi serius yang
sering terjadi akibat hipertensi portal. Duapuluh sampai 40% pasien sirosis
dengan varises esofagus pecah yang menimbulkan perdarahan. Angka
kematiannya sangat tinggi, sebanyak duapertiganya akan meninggal dalam
waktu satu tahun walaupun dilakukan tindakan untuk menanggulangi varises
ini dengan beberapa cara.
Risiko kematian akibat perdarahan varises esofagus tergantung
pada tingkat keparahan dari kondisi hati dilihat dari ukuran varises, adanya
tanda bahaya dari varises dan keparahan penyakit hati.37 Penyebab lain
perdarahan pada penderita sirosis hati adalah tukak lambung dan tukak
duodeni. Perdarahan varises esofagus merupakan komplikasi yang sangat

12
serius, 30%-70% pasien sirosis hati dengan hipertensi portal mengalami
keadaan ini. Angka kematiannya dilaporkan mencapai 20%-50%
2.2.4.2. Ascites
Penderita sirosis hati disertai hipertensi portal memiliki sistem
pengaturan volume cairan ekstraseluler yang tidak normal sehingga terjadi
retensi air dan natrium. Asites dapat bersifat ringan, sedang dan berat. Asites
berat dengan jumlah cairan banyak menyebabkan rasa tidak nyaman pada
abdomen sehingga dapat mengganggu aktivitas sehari-hari.
2.2.4.3. Ensefalopati hepatikum
Merupakan kelainan neuropsikiatrik akibat disfungsi hati. Mula-mula
ada gangguan tidur (insomnia dan hipersomnia), selanjutnya dapat timbul
gangguan kesadaran yang berlanjut sampai koma.1 Timbulnya koma hepatikum
akibat dari faal hati yang sudah sangat rusak, sehingga hati tidak dapat
melakukan fungsinya sama sekali. Koma hepatikum dibagi menjadi dua, yaitu:
Pertama koma hepatikum primer, yaitu disebabkan oleh nekrosis hati yang
meluas dan fungsi vital terganggu seluruhnya, maka metabolism tidak dapat
berjalan dengan sempurna. Kedua koma hepatikum sekunder, yaitu koma
hepatikum yang timbul bukan karena kerusakan hati secara langsung, tetapi oleh
sebab lain, antara lain karena perdarahan, akibat terapi terhadap asites, karena
obat-obatan dan pengaruh substansia nitrogen
2.2.4.4. Peritonitis bakterial spontan
Peritonitis bakterialis spontan yaitu infeksi cairan asites oleh satu jenis bakteri
tanpa ada bukti infeksi sekunder intra abdominal. Biasanya pasien ini tanpa
gejala, namun dapat timbul demam dan nyeri abdomen.
2.2.4.5. Hepatorenal syndrom
Keadaan ini terjadi pada penderita penyakit hati kronik lanjut, ditandai oleh
kerusakan fungsi ginjal dan abnormalitas sirkulasi arteri menyebabkan
vasokonstriksi ginjal yang nyata dan penurunan GFR.Dan dapat terjadi gangguan
fungsi ginjal akut berupa oliguri, peningkatan ureum, kreatinin tanpa adanya
kelainan organik ginjal.

13
2.2.4.6. Karsinoma Hepatoseluler
Karsinoma hepatoseluler berhubungan erat dengan 3 faktor yang
dianggap merupakan faktor predisposisinya yaitu infeksi virus hepatitis B kronik,
sirosis hati dan hepatokarsinogen dalam makanan.38 Meskipun prevalensi dan
etiologi dari sirosis berbeda-beda di seluruh dunia, namun jelas bahwa di seluruh
negara, karsinoma hepatoseluler sering ditemukan bersama sirosis, terutama tipe
makronoduler. Komplikasi sirosis berupa karsinoma hepatoseluler biasanya
sudah mencapai tahap lanjut. 5-year survival ratenya sangat rendah (kurang dari
5%) dan sebagian besar penderita meninggal dalam 6 bulan.

14
BAB III
MIKROBIOTA USUS PADA PENYAKIT HATI KRONIS

3.1. Peranan Mikrobiota Usus pada Penyakit Hati Kronis


3.1.1. Penyakit Perlemakan Hati Nonalkohol
Penyakit perlemakan hati nonalkohol (NAFLD) adalah penyebab
utama penyakit hati kronis di negara barat, dengan prevalensi berkisar antara
20% sampai 40% pada populasi umum dan hingga 75-100% pada individu
obesitas. NAFLD dianggap manifestasi hati dari suatu sindrom metabolik,
seperti banyak pada pasien sindrom metabolik lainnya yang memiliki
manifestasi komorbiditas yang berbeda, termasuk resistensi insulin,
hiperlipidemia, penyakit kardiovaskular, sindrom polikistik ovarium, dan
obstruksi henti nafas saat tidur. Sementara kebanyakan pasien dengan
NAFLD tetap asimtomatik, terdapat 20% kemungkinan untuk berkembang
menjadi peradangan hati yang kronis (non-alkohol steatohepatitis, NASH),
yang nantinya dapat menyebabkan sirosis, hipertensi portal, karsinoma
hepatoseluler (HCC), dan peningkatan mortalitas. NASH dapat
diklasifikasikan sebagai NASH primer (berhubungan dengan obesitas,
diabetes tipe 2, dan hiperlipidemia) dan NASH sekunder (terjadi setelah
intervensi farmakologis, nutrisi parenteral, operasi bypass jejunoileal, atau
penyakit Wilson). Meskipun memiliki prevalensi yang tinggi, faktor yang
menyebabkan perkembangan dari NAFLD ke NASH tetap belum dipahami
dengan jelas dan tidak ada terapi yang telah terbukti efektif.

Mekanisme yang disebut dengan two-hit mekanisme diusulkan untuk


mendorong NAFLD / NASH patogenesis. Hit pertama, steatosis hati,
berkaitan erat dengan lipotoksisitas yang diinduksi kelainan mitokondria
yang mempengaruhi hati untuk meningkatkan penambahan agen proinflamasi
yang meningkatkan progresifitas penyakit. Hit kedua termasuk
peningkatan produksi dari spesies oksigen reaktif (ROS), peningkatan
peroksidasi lipid, dan faktor turunan usus. Akibat dari tindakan paralel ini
adalah terjadinya kerusakan jaringan hati yang berkembang menjadi

15
steatohepatitis. Dalam beberapa dekade terakhir, terdapat perkembangan
penelitian yang secara fungsional menghubungkan mikrobiota usus dengan
perkembangan steatosis (hit pertama) dan dengan perkembangan ke NASH
(hit kedua).

Obesitas dianggap faktor risiko yang paling umum untuk NAFLD pada
manusia. Beberapa bukti yang jelas menghubungkan mikrobiota usus dengan
berat badan dan komposisi lemak tubuh.

Gambar 3.1 Efek mikrobiota usus pada faktor resiko NAFLD

Dalam penelitian hewan, tikus yang bebas kuman memiliki


kandungan lemak tubuh yang lebih rendah daripada tikus konvensional.
Selain itu, inokulasi pada tikus yang bebas kuman dengan mikrobiota dari tipe
tikus liar menunjukkan peningkatan akumulasi lemak yang signifikan dalam
tubuh. Filum Bacteroidetes dan Firmicutes mewakili sebagian besar
komposisi mikrobiota usus pada tikus dan manusia, namun jumlah mereka
yang relatif tergantung pada komposisi tubuh setiap individu. Tikus dengan
obesitas secara genetik memiliki peningkatan yang signifikan dari rasio
Bacteroidetes terhadap Firmicutes, bila dibandingkan dengan kontrol pada
tikus pasangannya yang kurus, tapi mungkin yang lebih penting, adalah pada
tikus bebas kuman yang dikolonisasi dengan mikrobiota dari tikus yang
obesitas secara genetic, memiliki penambahan berat badan yang lebih cepat

16
dan pengumpulan kalori yang lebih efisien daripada tikus yang dikolonisasi
dengan microbiota usus daritikus yang kurus. Temuan ini menunjukkan
bahwa komposisi mikrobiota secara langsung mempengaruhi ekstraksi kalori,
komposisi lemak tubuh, dan berat badan

Pada manusia, ditemukan bukti bahwa terdapat korelasi antara


komposisi dari mikrobiota usus dengan beberapa parameter metabolik dan
inflamasi, demikian halnya dengan kebiasaan makan. Serupa dengan tikus,
individu dengan obesitas memiliki peningkatan kadar Bacteroidetes dan
pengurangan dari filum ini di mikroflora usus secara signifikan berhubungan
dengan penurunan berat badan, baik karena diet lemak atau karbohidrat yang
dibatasi. Hal ini menunjukkan bahwa Bacteroidetes mungkin responsif
terhadap asupan kalori. Studi asosiasi lebar dari Metagenome-lebar
menunjukkan bahwa pasien DMT2 ditandai dengan adanya disbiosis dari
mikrobiota usus, penurunan produksi dari bakteri yang memproduksi butirat
dan peningkatan berbagai bakteri patogen yang oportunistik. Selain itu,
penanda mikroba usus ini dapat berguna untuk mengklasifikasikan DMT2,
menunjukkan bahwa konformasi spesifik mikrobiota usus memiliki peran
penting dalam patogenesis DMT2 dan gangguan lain yang terkait. Asupan
kalori diet masyarakat Barat merupakan penentu utama dari sindrom
metabolik. Kebiasaan diet jangka panjang memiliki efek mendalam pada
mikrobiota usus manusia dan oleh karena itu memiliki potensi merusak hasil
akhir metabolik. Telah diusulkan bahwa mikrobiota usus manusia harus
dibagi menjadi tiga komposisi (enterotypes), namun gagasan ini masih
diperdebatkan dan membutuhkan validasi lebih lanjut. Setiap enterotype yang
disarankan didominasi oleh genus yang berbeda, yaitu genus-Bacteroides,
Prevotella, atau Ruminococcus. Menariknya, enterotypes yang didominasi
oleh Bacteroides berhubungan dengan diet kaya protein dan lemak hewani
(diet Barat), sementara Prevotelladominated enterotypes berhubungan
dengan konsumsi makanan yang kaya karbohidrat atau serat. Hal ini
menunjukkan bahwa mikrobiota usus dibentuk oleh diet yang berbeda untuk
memaksimalkan ekstraksi energi. Secara bersama-sama, studi ini
menunjukkan bahwa komposisi

17
mikrobiota memegang peranan penting dalam status metabolik dari tubuh kita
dan gangguan yang berhubungan dengan kelainan metabolik yang berkaitan
dengan Hit pertama (steatosis) selama patogenesis dari NAFLD.

Meskipun sekarang jelas bahwa mikrobiota usus memainkan peran


penting dalam akumulasi lemak tubuh dan berat badan, peran dari faktor
turunan usus pada perkembangan NAFLD baru saja dapat dijelaskan.
Perkembangan dari steatosis menjadi steatohepatitis terutama disebabkan
oleh proses inflamasi yang mungkin mencerminkan efek yang merusak dari
beberapa rangsangan yang berbahaya. Beberapa bukti saat ini menunjukkan
bahwa komunitas bakteri usus mungkin memainkan bagian penting dalam
proses ini. Jejunoileal bypass, divertikulosis pada usus kecil, nutrisi
parenteral total, dan kegagalan usus berhubungan dengan perkembangan
NASH. Menariknya, pertumbuhan bakteri usus kecil (SIBO) sebagai
konsekuensi dari rendahnya motilitas usus telah diusulkan sebagai faktor
penentu utama untuk progresifitas NAFLD pada manusia. Oleh karena itu,
pengobatan antibiotik atau operasi pengangkatan bagian usus dapat
membalikkan SIBO dan steatohepatitis. Demikian pula, tikus yang diberi
makan bawah total nutrisi parenteral ditandai dengan kerusakan hati yang
parah disertai hipomotilitas usus, yang mengarah ke perluasan populasi
bakteri Gram-negatif dan peningkatan mediator hepatotoksik seperti
endotoksin atau tumor nekrosis faktor.

Peran mikrobiota usus pada NASH primer dengan prevalensi yang


lebih tinggi hingga saat ini masih belum jelas. Prevalensi SIBO meningkat
secara signifikan pada individu dengan obesitas jika dibandingkan dengan
subyek yang ramping dan sehat, namun perannya dalam perkembangan
NAFLD sebagian besar telah diabaikan. Namun demikian, sebuah studi
terbaru yang dilakukan oleh Miele et al. (2009) melakukan evaluasi terhadap
permeabilitas usus, SIBO, dan stadium penyakit NAFLD. Menariknya,
pasien dengan NAFLD dilaporkan memiliki peningkatan yang signifikan
pada permeabilitas usus dan SIBO bila dibandingkan dengan orang yang
sehat. Hal ni menunjukkan bahwa pertumbuhan yang berlebihan dari bakteri

18
flora usus dapat menyebabkan translokasi bakteri, portal endotoksemia, dan
kerusakan hati pada akhirnya. Dalam hubungannya dengan kemungkinan ini,
beberapa studi telah menunjukkan bahwa tingginya tingkat prevalensi SIBO
dalam beberapa studi kohort yang berbeda dari pasien NASH. Selain itu,
baru-baru ini diketahui bahwa dysbiosis inflammasomemediated ditandai
dengan perluasan dari Prevotellaceae dan keluarga Porphyromonadaceae
serta taksa TM7 mempercepat perkembangan dari NAFLD dalam model tikus
yang berbeda. Secara kolektif, studi ini menunjukkan bahwa komposisi yang
berbeda dari komunitas bakteri dari usus mungkin mengatur perkembangan
NAFLD di manusia dan hal ini mewakili target terapi yang baru.
Karakterisasi dari komunitas bakteri pada tahapan yang berbeda dari NAFLD
dan peran yang tepat dari metabolit yang berasal dari mikrobiota dalam
perkembangan penyakit seharusnya memberikan kejelasan pada peranan
pasti dari microbiota dalam penyakit hati dalam konteksnya sebagai sindrom
metabolik.

3.1.2. Sirosis dan Komorbiditas yang Berhubungan

Sirosis adalah tahap klinis-histopatologi akhir dari beragam


penyakit hati. Mikrobiota usus adalah denominator umum dari komplikasi
utama dari sirosis hati, termasuk peritonitis bakteri spontan, ensefalopati
hepatik (HE), dan perdarahan varises esofagus. Proses fibrogenesis hati
mempercepat dysbiosis dan disfungsi barrier usus melalui beberapa proses
patologis. Pasien sirosis mengalami penurunan aliran darah melalui vena
porta dan sumbatan pada pembuluh darah di usus, yang berdampak pada
peningkatan permeabilitas usus. Selain itu, gangguan fungsi hati
mempercepat perubahan komunitas bakteri dalam usus melalui penurunan
produksi dari cairan empedu dan kerusakan pada motilitas usus yang
mengarah ke SIBO. Oleh karena itu, sekarang juga diakui bahwa gangguan
cairan atau fisiologi hati dan imunitas bawaan dalam kombinasi dengan
dysbiosis adalah kunci dari proses patologis yang mempercepat translokasi
bakteri ke peritoneum.

19
HE adalah istilah luas yang mencakup kumpulan gejala dari
kelainan neuropsikiatri yang didapatkan pada pasien dengan gangguan
fungsii hati. HE dengan gejala yang jelas, didiagnosa pada 45% pasien
dengan sirosis, sementara HE dengan gejala yang minimal didapatkan pada
60-80% pasien sirosis. Pada individu yang sehat, hati melindungi otak dari
amonia dengan mengubahnya menjadi urea, yang kemudian diekskresikan
oleh ginjal. Dalam keadaan terjadinya gangguan hati yang berat, amonia
menjadi penyebab penting dari patogenesis HE dan mikrobiota usus sampai
saat ini dianggap sebagai sumber utamanya. Secara khusus, bakteri yang
memproduksi urease seperti spesies Klebsiella dan Proteus memainkan peran
penting dalam peningkatan produksi amonia dan terjadinya HE. Dalam
kaitannya dengan konsep bahwa HE adalah penyakit yang disebabkan
bakteri, pengobatan dengan antibiotik nonabsorbable seperti Neomycin dan
Rifaximinis dikaitkan dengan penurunan resiko yang signifikan terhadap
perkembangan dari terjadinya HE, angka kekambuhan, atau angka rawat inap
yang disebabkan karena komplikasi neuropsikiatri ini.

Baru-baru ini, peranan keluarga bakteri tertentu pada sirosis telah


mulai menjadi perhatian. Dua studi telah dilakukan dengan metode berbasis
nonculture untuk menentukan komposisi mikrobiota pada pasien dengan
sirosis dan HE. Kedua studi ini menemukan adanya konsentrasi yang lebih
tinggi dari Streptococcaceae dan korelasi negatif antara sirosis dan jumlah
dari Lachnospiraceae. Menariknya, Bajaj et al. (2012) menemukan bahwa
selain perubahan mikrobiota usus antara individu yang sehat dan individu
dengan sirosis, terdapat peningkatan yang signifikan dalam jumlah keluarga
bakteri yang berbeda (Enterobacteriaceae, Alcaligenaceae, dan
Streptococcaceae) pada pasien dengan HE. Selain itu, korelasi positif antara
disfungsi kognitif dan adanya Alcaligenaceae dan Porphyromonadaceae
dibuktikan dengan tes kognitif standar. Penyelidikan microbiome usus di
sirosis dan korelasinya dengan komplikasi klinis yang parah masih dalam
tahap awal, namun identifikasi spesies bakteri yang secara khusus mendorong
perkembangan penyakit akan sangat meningkatkan pemahaman kita tentang
patogenesis penyakit yang kompleks ini.

20
3.1.3. Karsinoma Hepatoselular

Karsinoma hepatoselular (HCC) merupakan salah satu kanker pada


manusia yang paling sering ditemui di seluruh dunia. Sekitar 80-90% dari
HCC didahului oleh penyakit hati kronis, fibrosis hati, dan sirosis. Oleh
karena itu, telah dipikirkan bahwa produk mikroba yang diturunkan
merupakan salah satu penentu yang penting pada progresifitas HCC.
Walaupun studi terbaru yang dilakukan menggunakan model tikus dengan
HCC menunjukkan bahwa hepatokarsinogenesis pada kerusakan hati yang
kronis tergantung pada mikrobiota dan aktivasi dari Toll-like receptor usus 4
(TLR4) dalam non sumsum tulang yang merupakan turunan dari sel hati. Hal
yang juga penting adalah bahwa TLR4 dan mikrobiota usus tidak diperlukan
untuk inisiasi HCC tapi untuk perkembangan HCC seperti halnya sterilisasi
usus dapat membatasi tahap akhir dari hepatokarsinogenesis. Peran
microbiome pada HCC adalah daerah yang belum dijelajahi dan masih
membutuhkan investigasi lebih lanjut kedepannya.

3.1.4. Penyakit Hati Autoimun

Kolangitis sklerosis primer (PSC) adalah penyakit hati kronis yang


ditandai oleh peradangan dan pada akhirnya obstruksi dari saluran empedu.
Meskipun patogenesis PSC belum dapat ditentukan, mikrobiota usus
dianggap menjadi faktor utama dalam etiologinya. Peranan dari komunitas
bakteri usus pada patogenesis kolitis ulserativa (UC) dapat diketahui dengan
baik. Menariknya, sekitar 75% pasien dengan PSC memiliki UC dan hampir
3% dari pasien dengan UC memiliki PSC sebagai komorbiditas yang
bersamaan. Selain itu, PSC lebih sering ditemukan pada pasien UC dengan
keterlibatan kolon dimana hal ini menunjukkan korelasi positif yang kuat
antara peradangan pada usus dan perkembangan PSC.

Beberapa hal telah dibuktikan yang menunjukkan bahwa mikrobiota


sebagai denominator umum yang mengendalikan peradangan hati dan usus
dalam kondisi ini. Dalam empedu pasien dengan PSC, Candida dan bakteri
enterik seperti Escherichia coli sering terdeteksi. Stadium akhir PSC hati
menunjukkan peningkatan yang signifikan pada ekspresi dan aktivasi gen

21
penting yang terlibat pada jalur imun bawaan. Akhirnya, serum atipikal
perinuklear antibodi sitoplasma antineutrophil (pANCA) diketahui sering
ditemukan pada pasien dengan PSC. Baru-baru ini, autoantigen dari pANCA
atipikal ini telah dilaporkan sebagai -tubulin, tapi mungkin hal yang lebih
penting adalah, pANCA bereaksi silang dengan FtsZ, sebuah sitoskeletal
protein bakteri yang ada di semua bakteri usus. Dengan demikian,
mengidentifikasi spesies bakteri tertentu yang memicu PCS adalah masalah
klinis yang relevan yang layak diteliti lebih lanjut.

Sirosis bilier primer (PBC) mempengaruhi sekitar 40 per 100.000


orang di Amerika Serikat. PBC adalah gangguan autoimun hati ditandai oleh
aktivasi sel kekebalan tubuh dan kerusakan cholangiocytes yang terarah,
dimana menyebabkan kolestasis yang pada akhirnya menyebabkan
fibrogenesis hati dan kegagalan hati pada 26% pasien dalam waktu 10 tahun
sejak diagnosis. Didapatkannya serum antibodi antimitochondrial (AMA)
adalah tanda yang khas dari PBC. AMA terdeteksi pada 95% pasien-pasien
dengan PBC dan reaksi silangnya dengan komponen bakteri diajukan sebagai
peristiwa penting sebagai patogenesis awal dari PBC. AMA dilaporkan telah
bereaksi dengan protein dari E. coli yang diisolasi dari pasien PBC. Selain
itu, antibodi IgG3 pada sekitar 50% pasien PBC bereaksi silang dengan
-galaktosidase dari Lactobacillus delbrueckii, dan pada 25% pasien PBC,
serum bereaksi secara khusus dengan protein dari Novosphingobium
aromaticivorans yang berasal dari spesimen tinja. Mengingat hubungan ini,
studi lebih lanjut diperlukan untuk menentukan apakah modulasi dari
mikrobiota usus mungkin membantu dalam pengobatan penyakit ini.

3.2. Interaksi Sistem Imun Bawaan dengan Mikrobiota Usus pada


Penyakit Hati Kronis

Interaksi yang kompleks antara tubuh dan mikroflora asli yang


dimediasi oleh susunan reseptor pengenalan pola (PRRS) dari sistem imun
bawaan. Pada dasarny hal ini diperlukan karena fungsinya dalam mengenali
mikroba patogen dan untuk inisiasi respon imun adaptif, reseptor ini dan
kaskade penghataran sinyal kebawah diakui memiliki peranan penting

22
sebagai pengenalan terhadap mikrobiota komensal. Pengenalan mikrobiota
ini memiliki peranan penting dalam kondisi homeostasis, dan gangguan
dalam penghantaran sinyal bawaan ini di usus telah dihubungkan dengan
pengembangan yang menyimpang dari sistem kekebalan usus, kegagalan
dalam pemeliharaan homeostasis epitel usus dan fungsi penghalangnya, dan
eksaserbasi kerusakan usus. Hal yang penting diketahui, fungsi pengenalan
bawaan ini juga berfungsi untuk mempertahankan mikrobiota lokal dan
mengeluarkan mikroorganisme usus dari sirkulasi sistemik.

Reseptor bawaan dalam saluran pencernaan mewakili lini pertama


pertahanan terhadap invasi mikroorganisme. Namun, dalam kasus
peningkatan translokasi mikroba yang melewati penghalang gastrointestinal,
hati sebagai pertahanan pertama memerlukan PRR bawaan untuk mengatur
sistem surveilans sekunder dari produk mikroba yang berpotensi menguras
dari saluran pencernaan, pada tempat yang seharusnya. Memang, ekspresi
intrahepatik dari reseptor imun bawaan telah dideskripsikan oleh sel kupfer,
sel endotel sinusoid hati, sel stelate hati, sel epitelial bilier dan hepatosit.
Akibatnya, hati harus dapat menguasai keseimbangan antara kemampuannya
untuk menginduksi toleransi sistemik menuju partikel makanan berbahaya
dan beberapa translokasi dari produk mikroba komensal dan perannya dalam
merangsang sistem inflamasi ketika terjadi stimulus mikroba yang persisten
diakibatkan oleh dilewatinya pertahanan usus adalah indikasi dari adanya
penyebaran mikroba secara sistemik. Pada bagian berikut, kita akan
membahas bagaimana PRR hati memberi sinyal pada tubuh adanya interaksi
mikroba dengan inang di organ vital ini, dan bagaimana penyimpangan
ekspresi dan sinyal PRR berkontribusi terhadap etiologi dari penyakit hati.

3.2.1. Reseptor Toll-like

Reseptor Toll-like (TLR) adalah kelas pertama dari PRRS yang


ditemukan. Mereka dikenal memiliki jangkauan yang luas terhadap ligan
mikroba, mulai dari bakteri dan komponen dinding sel jamur hingga asam
nukleat. TLR diekspresikan dalam berbagai varietas dari sel-sel hati dan telah
lama dikenal untuk terlibat dalam patogenesis penyakit hati. Secara khusus,

23
sel Kupffer mengekspresikan tingginya kadar TLR2, TLR3, andTLR4, dan
menanggapi rangsangan LPS dengan produksi TNF-, IL-6, dan IFN-. Selain
itu, ekspresi TLR juga ditemukan pada hepatosit, sel-sel epitel empedu, sel
stelate hati, dan sel endotel sinusoidal hati.

Gambar 3.2 Reseptor pola-pengenalan pada penyakit hati

TLR4-MyD88-NF-kB sumbu pemberi sinyal diketahui memainkan


peranan penting dalam berbagai pengaturan patofisiologi hati, termasuk
sirosis, fibrosis, hepatitis virus, HCC, dan penyakit hati berlemak. Misalnya, pada
tikus dengan diet tinggi lemak, kekurangan TLR4 meningkatkan resiko kejadian
steatosis hati. Selain itu, sinyal yang melalui TRIF menuju TLR4 di dalam sel
Kupffer menunjukkan dapatn mempercepat progresifitas dari penyakit hati
alkoholik. Lebih lanjut, ekspresi TLR4 hati meningkat pada model binatang dengan
NASH, PSC dan PBC. Penelitian pada hewan ini telah didukung oleh data genetik
dari manusia. Sebuah polimorfisme pada gen yang mengkode TLR4, yang
melemahkan sinyal dari reseptor dalam responnya menanggapi rangsangan LPS,
telah dikaitkan dengan penurunan risiko untuk progresifitas sirosis.

24
TLR lain yang telah berulang kali dikaitkan dengan peningkatan tingkat
keparahan dari penyakit hati inflamasi adalah TLR9, yang sinyal melalui IRF-7
untuk menginduksi ekspresi tipe I interferon (IFN). Menariknya, tipe I IFN dalam
kurun waktu terakhir ini, dideskripsikan sebagai pelindung dari kerusakan hati yang
terkait dengan TLR9. Dan efek ini dimediasi oleh endogen antagonis reseptor IL-1.
Penulis yang sama juga menemukan peran pelindung untuk tipe I IFN dalam model
TLR4-yang didorong sebagai model penyakit hati alkoholik.

Keterlibatan TLR dalam banyak patologi hati jelas menunjukkan perannya


untuk meningkatkan translokasi mikroba melewati saluran gastrointestinal dan
pengenalan hati terhadap produk mikroba, tetapi bukti langsung untuk gagasan ini
masih kurang sampai saat ini. Tinjauan pertama datang dari sebuah studi oleh Seki
et al. yang menunjukkan keterlibatan mikrobiota dalam pengembangan fibrosis hati.
Pengobatan antibiotik, seperti halnya atau defisiensi MyD88, mengurangi fibrosis
setelah ligasi pada saluran empedu. Ekspresi TLR4 pada sel stelata hati
menyebabkan peningkatan sinyal dari TGF- dan pengumpulan sel Kupffer ke hati
yang mengalami fibrosis.

Seperti yang dijelaskan di bawah ini, baru-baru ini diketahui bahwa, dalam
kondisi peradangan usus, masuknya produk mikroba ke dalam hati mempercepat
pengembangan dan progresifitas dari NAFLD pada TLR4- dan TLR9 tergantung
cara yang ditentukan. Dalam hubungannya dengan hasil ini, Lin et al. baru-baru ini
menggunakan Concanavalin A (ConA), suatu model luka hati fulminan untuk
menunjukkan bahwa mikrobiota usus secara kritis terlibat dalam hepatitis yang
dimediasi oleh TLR4. Pengobatan pada tikus dengan antibiotik spektrum luas seperti
halnya kekurangan TLR4 sangat memperbaiki kerusakan hati, sebagaimana
dibuktikan dengan berkurangnya pelepasan aminotransferase ke dalam darah,
berkurangnya produksi sitokin proinflamasi, dan penurunan kematian sel hati.
Sebaliknya, pemberian LPS yang telah dimurnikan berpotensi patologi hati dalam
model ConA. Percobaan transfer menggunakan splenosit yang kekurangan atau
kelebihan TLR4 mengungkapkan bahwa sel-sel imun berkontribusi untuk
progresifitas penyakit melalui ekspresi dari TLR4.

3.2.2. Inflamasomes
Inflammasomes adalah kelompok kompleks multiprotein sitosol,
yang terdiri dari protein sensor hulu dari reseptor NOD-seperti keluarga

25
(NLR), adaptor protein (ASC), dan efektor hilir caspase-1. Untuk saat ini,
protein NLR NLRP1, NLRP2, NLRP3, NLRP6, NLRP7, NLRC4, dan
anggota keluarga HIN-200 AIM2 telah dilaporkan untuk memulai
pembentukan inflammasome. Setelah stimulasi dengan beragam rangkaian
mikroba atau kerusakan yang berkaitan dengan pola molekul, pembentukan
inflammasome mengarah kepada pembelahan autokatalitik dari caspase-1
dan pengolahan pro-IL-1 dan pro-IL-18 dalam bentuk yang matang dan
bioaktif. Kegiatan Inflammasome diduga memerlukan dua rangsangan
berurutan. Stimulus pertama mendorong transkripsi proforms IL-1 dan IL-
18, sedangkan stimulus kedua diperlukan untuk pembentukan kompleks
inflammasome. Inflammasomes memenuhi dua peran, yang pertama untuk
mengenali kedua zat endogen yang berkaitan dengan kerusakan seperti ATP
atau partikel kristal dan memulai respon imun dalam reaksi patogen terkait
dengan pola molekul selama infeksi oelh bakteri, virus, jamur, dan parasit).
Selain itu, inflammasomes penting terlibat dalam interaksi yang rumit antara
sistem kekebalan usus dan mikrobiota usus, yang akan dibahas lebih rinci di
bawah.
Baru-baru ini, inflammasomes diidentifikasi berperan dalam
patogenesis penyakit hati. Komponen Inflammasome diekspresikan oleh
berbagai jenis sel dalam hati. Sel Kupffer dan sel endotel sinusoidal
mengungkapkan tingginya kadar NLRP1, NLRP3, dan AIM2, dan hepatosit
meningkatkan ekspresi NLRP3 sesuai dengan ketergantungan pada LPS.
Imaeda et al. pada tahun 2009 awalnya menunjukkan keterlibatan dari
inflammasome NLRP3 dalam pengembangan hepatotoksisitas yang diinduksi
oleh acetaminophen dan menunjukkan penurunan mortalitas pada tikus yang
dberikan acetaminophen dengan kekurangan kadar komponen dari NLRP3
inflammasome, meskipun peneliti lain tidak bisa menemukan peranan
NLRP3 pada kasus gagal hati yang dimediasi oleh acetaminophen. Watanabe
et al. pada tahun 2009 mengungkapkan didapatkannya ekspresi komponen
inflammasome pada sel stelate hati dan menunjukkan keterlibatan dari
inflammasome pada model tikus dengan fibrosis hati menggunakan karbon
tetraklorida atau thioacetamide. Demikian pula, turunnya kadar NLRP3 dapat

26
memperbaiki peradangan hati dan melindungi cedera reperfusi-iskemia pada
tikus dengan mencegah berlebihnya produksi dari sitokin inflamasi dan
aktivitas NF-kB.
Penelitian awal ini terutama difokuskan pada peran inflammasome
dalam responnya melawan kerusakan jaringan dalam penyakit hati pada
model yang dimediasi kerusakan steril. Laporan selanjutnya, juga
menunjukkan keterlibatan dari inflammasome dalam patologi hati yang
disebabkan oleh komponen mikroba atau mikroorganisme hidup, seperti
dalam model Propionibacterium acnes yang menginduksi sensitisasi cedera
hati hingga kerusakan hati yang diinduksi oleh LPS dan pada infeksi
Schistosoma mansoni. Dalam studi ini, perilaku kooperatif dari sinyal TLR
dan aktivasi inflammasome terlihat untuk menjadi kekuatan pendorong dalam
kejadian peradangan hati yang jelas, menunjukkan peristiwa pengenalan
kejadian dari mikroba- dan kerusakan molekul yang terkait.
Menariknya, baru-baru ini ditunjukkan keterlibatan inflammasome
NLRP3 dalam pengembangan dan perkembangan NASH. Pada induksi
model tikus dengan NASH, ekspresi komponen inflammasome diregulasi di
dalam hati dan aktifasi inflammasome terjadi di hepatosit yang terisolasi.
Secara mekanis, asam palmitat, suatu asam lemak jenuh, ditemukan untuk
mengaktifkan inflammasome dan hepatosit yang sudah tersensitisasi terhadap
sekresi IL-1b dalam responnya terhadap adanya LPS. Hasil dari penelitian ini
menunjukkan bahwa keduanya, yaitu mikroba dan nonmikroba ligan PRR
bertindak dalam fungsinya untuk menginduksi respon patogen inflammasome
di dalam hati. Sebuah studi kemudian mengkonfirmasi aktivasi NLRP3 dalam
hati dan menunjukkan bahwa stimulasi LPS sendiri saja sudah cukup untuk
mendorong hati memproduksi sitokin inflamasi menuju aktifasi NLRP3
inflammasome.
3.2.3. C-type Lectins
C-type Lectin (CTL) reseptor dan molekul adaptor hilir mereka
adalah media untuk mengidentifikasi ligan glikosilasi pada mikroorganisme.
Dectin-1 dan 2 adalah dua CTL yang terlibat dalam kekebalan tubuh dalam
melawan jamur patogen. Identifikasi jamur terkait pola molekul

27
memunculkan kaskade hilir melalui pengambilan molekul sinyal caspase
yang mengandung protein 9 (CARD9) dan Syk . Sebuah penelitian baru
menemukan ekspresi mRNA hati pada manusia terdiri dari banyak faktor
yang terlibat dalam CTL signaling, termasuk Dectin-1, Syk, dan CARD9).
Menariknya, CARD9, yang dikenal sebagai lokus kerentanan pada penyakit
radang usus (IBD), baru-baru ini diakatakan memiliki keterkaitan dengan
PSC, bersama dengan Rel dan IL-2, dua lokus resiko rentan IBD lainnya. Rel
adalah anggota dari keluarga faktor transkripsi NF-kB, CARD9 menginduksi
NF-kB signaling, dan IL-2 adalah gen target, yang berpotensi
menggabungkan semua tiga lokus rentan tadi ke daam satu jalur.
Keterlibatan tiga anggota dari jalur identifikasi jamur di PSC
menyiratkan peran fungsional pengenalan imun bawaan terhada[
mikroorganisme jamur dalam patogenesis penyakit ini. CARD9 sangat
penting untuk pengendalian infeksi jamur, dan kekurangan CARD9 pada
tikus menunjukkan tingginya tingkat kematian dini setelah terinfeksi Candida
albicans. Seperti telah disebutkan di atas, Candida terdeteksi dalam cairan
empedu dari 1 dalam setiap 10 pasien PSC. Dalam kebanyakan kasus, deteksi
negati jamur di empedu mempengaruhi prognosis pada keparahan penyakit.
Studi fungsional dibutuhkan di masa depan untuk menggambarkan
mekanisme dan pentingnya interaksi inang-jamur pada patofisiologi penyakit
hati. Menariknya, hubungan baru yang disarankan antara perubahan dalam
kemampuan mengenali jamur komensal dan kerentanan terhadap IBD
berpotensi memberikan penjelasan mekanistik untuk kerentanan substansial
pada PSC diantara pasien IBD kronis.
Secara bersama-sama, keterlibatan PRR dari sistem kekebalan
bawaan dalam patogenesis penyakit hati inflamasi sejauh ini ditafsirkan
dalam konteks respon lokal terhadap kerusakan sinyal endogen. Sementara
identifikasi kerusakan mediasi PRR terkait molekul pola tertentu memainkan
peranan penting dalam pengembangan dan progesifitas penyakit, bukti
terbaru menunjukkan bahwa juga harus dipertimbangkan mikroba ligan
sebagai pendorong dalam gangguan inflamasi hati.

28
3.2.4. Disbiosis Terkait Gangguan Sistem Imun Bawaan dan Dampaknya pada
Penyakit Hati
Kasus-kasus yang dijelaskan di atas adalah contoh dari peran intrinsik hati
dari identifikasi mikroba dan hubungannya dengan patogenesis penyakit. Penelitian
terkini, menunjukkan peranan baru sistem kekebalan bawaaan ekstrahepatik
terhadap mikroba dan reaksi silangnya dengan inisiasi dan perkembangan penyakit
hati. Bukti pertama datang dari laporan yang menunjukkan tikus dengan kekurangan
kadar TLR5, yaitu suatu reseptor yang dapat mengenali flagellin bakteri,
mengembangkan fitur dari sindrom metabolik sebagai konsekuensi dari perubahan
komposisi mikroba di dalam usus. Meskipun sebuah penelitian terbaru telah
berpendapat bahwa transmisi kekeluargaan mungkin memiliki peran lebih dominan
dibandingkan defisiensi genetik, terhadap terjadinya disbiosis pada tikus. Gagasan
yang menarik adalah interaksi host-microbiome yang rusak dalam usus mungkin
memiliki konsekuensi yang tidak terbatas mengatur inflamasi pada saluran
pencernaan, melainkan mempengaruhi metabolisme sistemik dan penyakit hati,
namun hal ini masih memerlukan penyelidikan lebih lanjut.
Kami baru-baru menemukan bahwa saluran usus dari tikus memiliki
kekurangan dalam komponen inflammasome NLRP3, NLRP6, ASC, dan Caspase-
1, serta tikusjuga tidak memiliki efektor sitokin hilir IL-18, pelabuhan yang
menyimpang dari komunitas mikroba yang ditandai dengan terlalu banyak jumlah
spesies bakteri anaerob dari keluarga Prevotellaceae dan kandidat filum TM7. Hal
ini menunjukkan bahwa aktifitas inflamasom di dalam usus diperlukan untuk
menjaga kestabilan komposisi mikroflora, sebagian melalui sekresi IL-18.
Perubahan mikrobiota yang ditemukan pada tikus dengan kekurangan
inflammasome itu dialihkan untuk tikus tipe liar pada cohousing di kandang yang
sama, menunjukkan efek popukasi yang dominan, dan reversibel setelah pengobatan
antibiotik. Niche biogeografi memungkinkan perkembangan dari Prevotellaceae
tampaknya menjadi area yang dekat dengan lapisan epitel kolon, suatu area yang
biasanya kurang dihuni oleh mikroba karena mekanisme yang melibatkan produksi
peptida antimikroba dan sekresi lendir. Perubahan flora usus ini menyebabkan
peradangan kronis yang ringan dan meningkatkan faktor prediposisis terjadinya
kolitis eksperimental. Secara mekanis, bakteri colitogenic hadir dalam tikus yang
kekurangan inflamasom menyebabkan peningkatan produksi epitel dari kemokin
CCL5, yang pada gilirannya akan merekrut populasi proinflamasi sel imun terhadap
lamina propria usus.

29
Hal yang paling penting, ditemukan bahwa proses inflamasi diatur oleh
flora colitogenic tidak terbatas pada regulasi respon imun lokal. Ketika tikus yang
kekurangan inflamasom diberi asupan diet pengurangan metionin / kolin, model
yang biasa digunakan untuk menginduksi NAFLD, mereka menampilkan hasil
pertumbuhan yang dramatis dari spesies bakteri keluarga Porphyromonadaceae dan
meningkatkan translokasi produk mikroba, khususnya, TLR4 dan TLR9 ligan, untuk
portal sirkulasi. Sekali lagi, peningkatan translokasi mikroba ini di saluran
pencernaan tergantung pada produksi dysbiosis-diinduksi CCL5 dan radang di usus.
Dalam hati, peningkatan stimulasi TLR4 dan TLR9 menyebabkan peningkatan
produksi TNF-melalui sinyal MyD88 / Trif, yang memulai proses inflamasi dan
berkembang ke arah terjadinya NASH. Perubahan mikrobiota sendiri, ketika
ditransfer dari tikus kekurangan IL-18 atatupun kekurangan inflammasome ke
penerima tikus tipe liar, mampu meningkatkan kerentanan terhadap NASH di CCL5,
TLR4-, TLR9-, MyD88 / TRIF, dan TNF secara dependent, menunjukkan bahwa
dysbiosis bila dibandingkan denan kekurangan genetik, lebih bertanggung jawab
untuk meningkatkan kerentanan penyakit dan penyakit metabolik tersebut dapat
menjadi menular, melalui transmisi mikroba, dan komponen. Sejalan dengan itu,
pengobatan antibiotik pada tikus yang kekurangan inflammasome dengan pemberian
diet MCD tidak hanya memperbaiki tingkat keparahan NASH tetapi juga
menghambat transmisi fenotip ke penerima tipe liar.
Selain itu, mikroflora normal juga dipengaruhi manifestasi lainnya dari
sindrom metabolik pada model tikus dengan penyakit lainnya. Secara genetik tikus
obesitas yang kekurangan reseptor leptin memperoleh penambahan berat badan yang
lebih nyata ketika ditempatkan bersamaan dengan tikus yang kekurangan
inflammasome dan begitu pula tikus dengan kekurangan ASC dan ditempatkan
bersama dengan tikus tipe liar yang diberi diet tinggi lemak. Pengobatan antibiotik
tidak hanya mengembalikan berat badan tetapi juga mengembalikan jumlah plasma
insulin puasa dan intoleransi glukosa ke tingkat normal, menunjukkan pengaruh
yang kuat dari komponen mikroba pada parameter sistem metabolik.
Hasil ini menunjukkan bahwa ekspresi homeostatis ekstrahepatik dari
PRR diperlukan untuk mencegah perkembangan dysbiosis di saluran pencernaan,
yang pada gilirannya menjadi predisposisi penyakit hati melalui koneksi anatomi
yang erat antara kedua sistem organ. Mereka juga memberikan contoh di mana
interaksi multistage inang-mikroba melalui berbagai jenis PRR dan signaling hilir
terlibat dalam perkembangan penyakit, baik di distal (dalam hal ini, inflammasomes)

30
dan situs proksimal (dalam hal ini, TLR). Perubahan yang disebabkan oleh
mikroflora colitogenic mempengaruhi proses inflamasi lokal (induksi CCL5 dan
perekrutan leukosit ke usus), di situs yang paling proksimal sehingga menghabiskan
(produksi sitokin inflamatori dalam hati), dan bahkan di luar (pengaturan multiorgan
terhadap berat badan dan sensitivitas insulin).

31
BAB IV
KESIMPULAN

Node mesenterika kelenjar getah bening adalah organ "seleksi pertama"


untuk nutrisi dan zat mikroba yang memasuki cairan getah bening di lamina usus
propria. Dengan demikian, ia berfungsi sebagai situs utama untuk toleransi induksi
partikel makanan tetapi pada saat yang sama bertindak sebagai pelindung untuk
mencegah penyebaran sistemik mikroorganisme. Demikian pula dengan hati, organ
ini terpapar oleh semua zat yang meninggalkan saluran pencernaan melalui sirkulasi
darah portal dan menghadapi tantangan yang sama dalam menyeimbangkan toleransi
terhadap partikel berbahaya mengalir dari usus dan fungsi penghalang untuk zat
mikroba yang berpotensi membahayakan. Berbeda dengan kelenjar getah bening
mesenterika, hati adalah organ metabolik utama, dan setiap penyimpangan dari
keadaan homeostatis pada interaksi inang-mikroba di hati dapat mempengaruhi
fungsi metabolisme.
Diyakini bahwa kesadaran bahwa baik interaksi antara host-mikroba pada
intrahepatik dan ekstrahepatik, dan khususnya interaksi antara sistem dan mikroflora
pada sistem imun bawaan secara drastis mempengaruhi fisiologis sistemik dan
proses patofisiologis yang akan membimbing kita ke depannya untuk berusaha
mengeksploitasi ini dan mengerti lebih jauh teori ini dalam pengaturan praklinis dan
klinis.

32
33
DAFTAR PUSTAKA
1. Arumugam, M., Raes, J., Pelletier, E., Le Paslier, D., Yamada, T., Mende,
D. R., et al.
2. (2011). Enterotypes of the human gut microbiome. Nature, 473, 174180.
3. Bajaj, J. S. (2010). Review article: The modern management of hepatic
encephalopathy.
4. Alimentary Pharmacology & Therapeutics, 31, 537547.
5. Bajaj, J. S., Heuman, D. M., Wade, J. B., Gibson, D. P., Saeian, K., Wegelin,
J. A., et al.
6. (2011). Rifaximin improves driving simulator performance in a randomized
trial of
7. patients with minimal hepatic encephalopathy. Gastroenterology, 140, 478
487 e471.
8. Bajaj, J. S., Ridlon, J. M., Hylemon, P. B., Thacker, L. R., Heuman, D. M.,
Smith, S., et al.
9. (2012). Linkage of gut microbiome with cognition in hepatic
encephalopathy. American
10. Journal of Physiology. Gastrointestinal and Liver Physiology, 302, G168
G175.
11. Bambha, K., Kim, W. R., Talwalkar, J., Torgerson, H., Benson, J. T.,
Therneau, T. M., et al.
12. (2003). Incidence, clinical spectrum, and outcomes of primary sclerosing
cholangitis in a
13. United States community. Gastroenterology, 125, 13641369.
14. Basile, A. S., & Jones, E. A. (1997). Ammonia and GABA-ergic
neurotransmission: Interrelated factors in the pathogenesis of hepatic
encephalopathy. Hepatology, 25, 13031305.
15. Bass, N. M., Mullen, K. D., Sanyal, A., Poordad, F., Neff, G., Leevy, C. B.,
et al. (2010).
16. Rifaximin treatment in hepatic encephalopathy. The New England Journal
of Medicine,
17. 362, 10711081.
18. Bauer, T. M., Steinbruckner, B., Brinkmann, F. E., Ditzen, A. K., Schwacha,
H.,

34
19. Aponte, J. J., et al. (2001). Small intestinal bacterial overgrowth in patients
with cirrhosis:
20. Prevalence and relation with spontaneous bacterial peritonitis. The
American Journal of
21. Gastroenterology, 96, 29622967.
22. Bergquist, A., Montgomery, S. M., Bahmanyar, S., Olsson, R., Danielsson,
A., Lindgren, S.,
23. et al. (2008). Increased risk of primary sclerosing cholangitis and ulcerative
colitis in firstdegree relatives of patients with primary sclerosing cholangitis.
Clinical Gastroenterology
24. and Hepatology, 6, 939943.
25. Boaru, S. G., Borkham-Kamphorst, E., Tihaa, L., Haas, U., & Weiskirchen,
R. (2012).
26. Expression analysis of inflammasomes in experimental models of
inflammatory and
27. fibrotic liver disease. Journal of Inflammation (London), 9, 49.
28. Bogdanos, D. P., Baum, H., Grasso, A., Okamoto, M., Butler, P., Ma, Y., et
al. (2004).
29. Microbial mimics are major targets of crossreactivity with human pyruvate
dehydrogenase in primary biliary cirrhosis. Journal of Hepatology, 40, 31
39.
30. Bogdanos, D. P., Baum, H., Okamoto, M., Montalto, P., Sharma, U. C.,
Rigopoulou, E. I.,
31. et al. (2005). Primary biliary cirrhosis is characterized by IgG3 antibodies
cross-reactive
32. with the major mitochondrial autoepitope and its Lactobacillus mimic.
Hepatology, 42,
33. 458465.
34. Caldwell, S. H., Oelsner, D. H., Iezzoni, J. C., Hespenheide, E. E., Battle, E.
H., &
35. Driscoll, C. J. (1999). Cryptogenic cirrhosis: Clinical characterization and
risk factors
36. for underlying disease. Hepatology, 29, 664669.
37. Campillo, B., Pernet, P., Bories, P. N., Richardet, J. P., Devanlay, M., &
Aussel, C. (1999).

35
38. Intestinal permeability in liver cirrhosis: Relationship with severe septic
complications.
39. European Journal of Gastroenterology & Hepatology, 11, 755759.
40. The Intestinal Microbiota in Chronic Liver Disease 91
41. Carter, B. A., & Karpen, S. J. (2007). Intestinal failure-associated liver
disease: Management
42. and treatment strategies past, present, and future. Seminars in Liver Disease,
27, 251258.
43. Carvalho, F. A., Aitken, J. D., Vijay-Kumar, M., & Gewirtz, A. T. (2012).
Toll-like
44. receptor-gut microbiota interactions: Perturb at your own risk!. Annual
Review of Physiology, 74, 177198.
45. Cerda, C., Perez-Ayuso, R. M., Riquelme, A., Soza, A., Villaseca, P., Sir-
Petermann, T.,
46. et al. (2007). Nonalcoholic fatty liver disease in women with polycystic
ovary syndrome.
47. Journal of Hepatology, 47, 412417.
48. Charlton, M. (2008). Cirrhosis and liver failure in nonalcoholic fatty liver
disease: Molehill or
49. mountain? Hepatology, 47, 14311433.
50. Chen, Y., Yang, F., Lu, H., Wang, B., Lei, D., Wang, Y., et al. (2011).
Characterization of
51. fecal microbial communities in patients with liver cirrhosis. Hepatology, 54,
562572.
52. Claesson, M. J., Jeffery, I. B., Conde, S., Power, S. E., OConnor, E. M.,
Cusack, S., et al.
53. (2012). Gut microbiota composition correlates with diet and health in the
elderly. Nature,
54. 488, 178184.
55. Corrodi, P. (1984). Jejunoileal bypass: Change in the flora of the small
intestine and its clinical
56. impact. Reviews of Infectious Diseases, 6(Suppl. 1), S80S84.
57. Csak, T., Ganz, M., Pespisa, J., Kodys, K., Dolganiuc, A., & Szabo, G.
(2011). Fatty acid and

36
58. endotoxin activate inflammasomes in mouse hepatocytes that release danger
signals to
59. stimulate immune cells. Hepatology, 54, 133144.
60. Dapito, D. H., Mencin, A., Gwak, G. Y., Pradere, J. P., Jang, M. K.,
Mederacke, I., et al.
61. (2012). Promotion of hepatocellular carcinoma by the intestinal microbiota
and TLR4.
62. Cancer Cell, 21, 504516.
63. Day, C. P., & James, O. F. (1998). Steatohepatitis: A tale of two hits?
Gastroenterology, 114,
64. 842845.
65. De Filippo, C., Cavalieri, D., Di Paola, M., Ramazzotti, M., Poullet, J. B.,
Massart, S., et al.
66. (2010). Impact of diet in shaping gut microbiota revealed by a comparative
study in children from Europe and rural Africa. In: Proceedings of the
National Academy of Sciences of the
67. United States of America, 107, 1469114696.
68. DuPont, A. W., & DuPont, H. L. (2011). The intestinal microbiota and
chronic disorders of
69. the gut. Nature Reviews. Gastroenterology & Hepatology, 8, 523531.
70. Elinav, E., Strowig, T., Henao-Mejia, J., & Flavell, R. A. (2011). Regulation
of the antimicrobial response by NLR proteins. Immunity, 34, 665679.
71. Elinav, E., Strowig, T., Kau, A. L., Henao-Mejia, J., Thaiss, C. A., Booth,
C. J., et al. (2011).
72. NLRP6 inflammasome regulates colonic microbial ecology and risk for
colitis. Cell, 145,
73. 745757.
74. Figueroa, L., Xiong, Y., Song, C., Piao, W., Vogel, S. N., & Medvedev, A.
E. (2012). The
75. Asp299Gly polymorphism alters TLR4 signaling by interfering with
recruitment of
76. MyD88 and TRIF. The Journal of Immunology, 188, 45064515.
77. Ganz, M., Csak, T., Nath, B., & Szabo, G. (2011). Lipopolysaccharide
induces and activates

37
78. the Nalp3 inflammasome in the liver. World Journal of Gastroenterology,
17, 47724778.
79. Gao, B., Seki, E., Brenner, D. A., Friedman, S., Cohen, J. I., Nagy, L., et al.
(2011). Innate
80. immunity in alcoholic liver disease. American Journal of Physiology.
Gastrointestinal and Liver
81. Physiology, 300, G516G525.
82. Gross, O., Gewies, A., Finger, K., Schafer, M., Sparwasser, T., Peschel, C.,
et al. (2006).
83. Card9 controls a non-TLR signalling pathway for innate anti-fungal
immunity. Nature,
84. 442, 651656.
85. Guarner, C., & Soriano, G. (1997). Spontaneous bacterial peritonitis.
Seminars in Liver Disease, 17, 203217.
86. Gunnarsdottir, S. A., Sadik, R., Shev, S., Simren, M., Sjovall, H., Stotzer, P.
O., et al. (2003).
87. Small intestinal motility disturbances and bacterial overgrowth in patients
with liver cirrhosis and portal hypertension. The American Journal of
Gastroenterology, 98, 13621370.
88. 92 Jorge Henao-Mejia et al.
89. Hashimoto, E., Ideta, M., Taniai, M., Watanabe, U., Okuda, H., Nagasako,
K., et al. (1993).
90. Prevalence of primary sclerosing cholangitis and other liver diseases in
Japanese patients
91. with chronic ulcerative colitis. Journal of Gastroenterology and Hepatology,
8, 146149.
92. Henao-Mejia, J., Elinav, E., Jin, C., Hao, L., Mehal, W. Z., Strowig, T., et
al. (2012).
93. Inflammasome-mediated dysbiosis regulates progression of NAFLD and
obesity. Nature,
94. 482, 179185.
95. Henao-Mejia, J., Elinav, E., Strowig, T., & Flavell, R. A. (2012).
Inflammasomes: Far
96. beyond inflammation. Nature Immunology, 13, 321324.

38
97. Hjelkrem, M. C., Torres, D. M., & Harrison, S. A. (2008). Nonalcoholic
fatty liver disease.
98. Minerva Medica, 99, 583593.
99. Hopf, U., Moller, B., Stemerowicz, R., Lobeck, H., Rodloff, A.,
Freudenberg, M., et al.
100. (1989). Relation between Escherichia coli R(rough)-forms in gut, lipid A
in liver, and primary biliary cirrhosis. The Lancet, 2, 14191422.
101. Hosel, M., Broxtermann, M., Janicki, H., Esser, K., Arzberger, S.,
Hartmann, P., et al.
102. (2012). Toll-like receptor 2-mediated innate immune response in human
nonparenchymal liver cells toward adeno-associated viral vectors.
Hepatology, 55, 287297.
103. Huang, H., Shiffman, M. L., Friedman, S., Venkatesh, R., Bzowej, N.,
Abar, O. T., et al.
104. (2007). A 7 gene signature identifies the risk of developing cirrhosis in
patients with
105. chronic hepatitis C. Hepatology, 46, 297306.
106. Husova, L., Lata, J., Husa, P., Senkyrik, M., Jurankova, J., & Dite, P.
(2005). Bacterial infection and acute bleeding from upper gastrointestinal
tract in patients with liver cirrhosis.
107. Hepato-Gastroenterology, 52, 14881490.
108. Iliev, I. D., Funari, V. A., Taylor, K. D., Nguyen, Q., Reyes, C. N., Strom,
S. P., et al. (2012).
109. Interactions between commensal fungi and the C-type lectin receptor
Dectin-1 influence
110. colitis. Science, 336, 13141317.
111. Imaeda, A. B., Watanabe, A., Sohail, M. A., Mahmood, S.,
Mohamadnejad, M.,
112. Sutterwala, F. S., et al. (2009). Acetaminophen-induced hepatotoxicity in
mice is dependent on Tlr9 and the Nalp3 inflammasome. The Journal of
Clinical Investigation, 119,
113. 305314.
114. Janse, M., Lamberts, L. E., Franke, L., Raychaudhuri, S., Ellinghaus, E.,
Muri Boberg, K.,

39
115. et al. (2011). Three ulcerative colitis susceptibility loci are associated with
primary sclerosing cholangitis and indicate a role for IL2, REL, and
CARD9. Hepatology, 53,
116. 19771985.
117. Joo, M., Abreu-e-Lima, P., Farraye, F., Smith, T., Swaroop, P., Gardner,
L., et al. (2009).
118. Pathologic features of ulcerative colitis in patients with primary sclerosing
cholangitis:
119. A case-control study. The American Journal of Surgical Pathology, 33,
854862.
120. Kawai, T., & Akira, S. (2010). The role of pattern-recognition receptors
in innate immunity:
121. Update on Toll-like receptors. Nature Immunology, 11, 373384.
122. Kerrigan, A. M., & Brown, G. D. (2011). Syk-coupled C-type lectins in
immunity. Trends in
123. Immunology, 32, 151156.
124. Latz, E. (2010). The inflammasomes: Mechanisms of activation and
function. Current Opinion
125. in Immunology, 22, 2833.
126. Lech, M., Susanti, H. E., Rommele, C., Grobmayr, R., Gunthner, R., &
Anders, H. J.
127. (2012). Quantitative expression of C-type lectin receptors in humans and
mice. International Journal of Molecular Sciences, 13, 1011310131.
128. Levy, C., & Lindor, K. D. (2006). Primary sclerosing cholangitis:
Epidemiology, natural history, and prognosis. Seminars in Liver Disease,
26, 2230.
129. Ley, R. E., Backhed, F., Turnbaugh, P., Lozupone, C. A., Knight, R. D.,
& Gordon, J. I.
130. (2005). Obesity alters gut microbial ecology. In: Proceedings of the
National Academy of
131. Sciences of the United States of America, 102, 1107011075.
132. Ley, R. E., Turnbaugh, P. J., Klein, S., & Gordon, J. I. (2006). Microbial
ecology: Human
133. gut microbes associated with obesity. Nature, 444, 10221023.
134. The Intestinal Microbiota in Chronic Liver Disease 93

40
135. Li, L., Chen, L., Hu, L., Liu, Y., Sun, H. Y., Tang, J., et al. (2011). Nuclear
factor highmobility group box1 mediating the activation of Toll-like
receptor 4 signaling in hepatocytes in the early stage of nonalcoholic fatty
liver disease in mice. Hepatology, 54,
136. 16201630.
137. Lin, Y., Yu, L. X., Yan, H. X., Yang, W., Tang, L., Zhang, H. L., et al.
(2012). Gut-derived
138. lipopolysaccharide promotes T-cell-mediated hepatitis in mice through
Toll-like receptor 4. Cancer Prevention Research (Philadelphia, PA), 5,
10901102.
139. Liu, Q., Duan, Z. P., Ha, D. K., Bengmark, S., Kurtovic, J., & Riordan, S.
M. (2004). Synbiotic modulation of gut flora: Effect on minimal hepatic
encephalopathy in patients with
140. cirrhosis. Hepatology, 39, 14411449.
141. Lozupone, C. A., Stombaugh, J. I., Gordon, J. I., Jansson, J. K., & Knight,
R. (2012). Diversity, stability and resilience of the human gut microbiota.
Nature, 489, 220230.
142. Ludwig, J., Viggiano, T. R., McGill, D. B., & Oh, B. J. (1980).
Nonalcoholic steatohepatitis:
143. Mayo Clinic experiences with a hitherto unnamed disease. Mayo Clinic
Proceedings, 55,
144. 434438.
145. Marchesini, G., Bugianesi, E., Forlani, G., Cerrelli, F., Lenzi, M., Manini,
R., et al. (2003).
146. Nonalcoholic fatty liver, steatohepatitis, and the metabolic syndrome.
Hepatology, 37,
147. 917923.
148. Maynard, C. L., Elson, C. O., Hatton, R. D., & Weaver, C. T. (2012).
Reciprocal interactions of the intestinal microbiota and immune system.
Nature, 489, 231241.
149. Michelsen, K. S., & Arditi, M. (2007). Toll-like receptors and innate
immunity in gut
150. homeostasis and pathology. Current Opinion in Hematology, 14, 4854.
151. Miele, L., Valenza, V., La Torre, G., Montalto, M., Cammarota, G., Ricci,
R., et al. (2009).

41
152. Increased intestinal permeability and tight junction alterations in
nonalcoholic fatty liver
153. disease. Hepatology, 49, 18771887.
154. Miyake, Y., & Yamamoto, K. (2013). Role of gut microbiota in liver
diseases. Hepatology
155. Research, 43(2), 139146.
156. Muegge, B. D., Kuczynski, J., Knights, D., Clemente, J. C., Gonzalez, A.,
Fontana, L., et al.
157. (2011). Diet drives convergence in gut microbiome functions across
mammalian phylogeny and within humans. Science, 332, 970974.
158. Mueller, T., Beutler, C., Pico, A. H., Shibolet, O., Pratt, D. S., Pascher, A.,
et al. (2011).
159. Enhanced innate immune responsiveness and intolerance to intestinal
endotoxins in
160. human biliary epithelial cells contributes to chronic cholangitis. Liver
International, 31,
161. 15741588.
162. Mulder, A. H., Horst, G., Haagsma, E. B., Limburg, P. C., Kleibeuker, J.
H., &
163. Kallenberg, C. G. (1993). Prevalence and characterization of neutrophil
cytoplasmic
164. antibodies in autoimmune liver diseases. Hepatology, 17, 411417.
165. Nardone, G., Compare, D., Liguori, E., Di Mauro, V., Rocco, A., Barone,
M., et al. (2010).
166. Protective effects of Lactobacillus paracasei F19 in a rat model of
oxidative and metabolic
167. hepatic injury. American Journal of Physiology. Gastrointestinal and
Liver Physiology, 299,
168. G669G676.
169. Nazim, M., Stamp, G., & Hodgson, H. J. (1989). Non-alcoholic
steatohepatitis associated
170. with small intestinal diverticulosis and bacterial overgrowth. Hepato-
Gastroenterology,
171. 36, 349351.

42
172. Nordenstedt, H., White, D. L., & El-Serag, H. B. (2010). The changing
pattern of epidemiology in hepatocellular carcinoma. Digestive and Liver
Disease, 42(Suppl. 3),
173. S206S214.
174. OToole, A., Alakkari, A., Keegan, D., Doherty, G., Mulcahy, H., &
ODonoghue, D.
175. (2012). Primary sclerosing cholangitis and disease distribution in
inflammatory bowel
176. disease. Clinical Gastroenterology and Hepatology, 10, 439441.
177. Osman, N., Adawi, D., Ahrne, S., Jeppsson, B., & Molin, G. (2007).
Endotoxin- and Dgalactosamine-induced liver injury improved by the
administration of Lactobacillus,
178. Bifidobacterium and blueberry. Digestive and Liver Disease, 39, 849856.
179. 94 Jorge Henao-Mejia et al.
180. Pappo, I., Bercovier, H., Berry, E. M., Haviv, Y., Gallily, R., & Freund,
H. R. (1992). Polymyxin B reduces total parenteral nutrition-associated
hepatic steatosis by its antibacterial
181. activity and by blocking deleterious effects of lipopolysaccharide. Journal
of Parenteral and
182. Enteral Nutrition, 16, 529532.
183. Petrasek, J., Dolganiuc, A., Csak, T., Kurt-Jones, E. A., & Szabo, G.
(2011). Type I interferons protect from Toll-like receptor 9-associated liver
injury and regulate IL-1 receptor
184. antagonist in mice. Gastroenterology, 140, 697708 e694.
185. Petrasek, J., Dolganiuc, A., Csak, T., Nath, B., Hritz, I., Kodys, K., et al.
(2011). Interferon
186. regulatory factor 3 and type I interferons are protective in alcoholic liver
injury in mice
187. by way of crosstalk of parenchymal and myeloid cells. Hepatology, 53,
649660.
188. Propst, A., Propst, T., Judmaier, G., & Vogel, W. (1995). Prognosis in
nonalcoholic
189. steatohepatitis. Gastroenterology, 108, 1607.
190. Qin, J., Li, Y., Cai, Z., Li, S., Zhu, J., Zhang, F., et al. (2012). A
metagenome-wide

43
191. association study of gut microbiota in type 2 diabetes. Nature, 490, 5560.
192. Quigley, E. M., Marsh, M. N., Shaffer, J. L., & Markin, R. S. (1993).
Hepatobiliary complications of total parenteral nutrition. Gastroenterology,
104, 286301.
193. Ritter, M., Gross, O., Kays, S., Ruland, J., Nimmerjahn, F., Saijo, S., et al.
(2010).
194. Schistosoma mansoni triggers Dectin-2, which activates the Nlrp3
inflammasome and
195. alters adaptive immune responses. In: Proceedings of the National
Academy of Sciences of
196. the United States of America, 107, 2045920464.
197. Rudolph, G., Gotthardt, D., Kloters-Plachky, P., Kulaksiz, H., Rost, D., &
Stiehl, A. (2009).
198. Influence of dominant bile duct stenoses and biliary infections on outcome
in primary
199. sclerosing cholangitis. Journal of Hepatology, 51, 149155.
200. Sabate, J. M., Jouet, P., Harnois, F., Mechler, C., Msika, S., Grossin, M.,
et al. (2008). High
201. prevalence of small intestinal bacterial overgrowth in patients with morbid
obesity:
202. A contributor to severe hepatic steatosis. Obesity Surgery, 18, 371377.
203. Sajjad, A., Mottershead, M., Syn, W. K., Jones, R., Smith, S., & Nwokolo,
C. U. (2005).
204. Ciprofloxacin suppresses bacterial overgrowth, increases fasting insulin
but does not correct low acylated ghrelin concentration in non-alcoholic
steatohepatitis. Alimentary Pharmacology & Therapeutics, 22, 291299.
205. Sancho, D., & Reis e Sousa, C. (2012). Signaling by myeloid C-type lectin
receptors in
206. immunity and homeostasis. Annual Review of Immunology, 30, 491529.
207. Sano, H., Nakazawa, T., Ando, T., Hayashi, K., Naitoh, I., Okumura, F.,
et al. (2011).
208. Clinical characteristics of inflammatory bowel disease associated with
primary sclerosing
209. cholangitis. Journal of Hepato-Biliary-Pancreatic Sciences, 18, 154161.

44
210. Sanyal, A. J., Campbell-Sargent, C., Mirshahi, F., Rizzo, W. B., Contos,
M. J.,
211. Sterling, R. K., et al. (2001). Nonalcoholic steatohepatitis: Association of
insulin resistance and mitochondrial abnormalities. Gastroenterology, 120,
11831192.
212. Seki, E., De Minicis, S., Osterreicher, C. H., Kluwe, J., Osawa, Y.,
Brenner, D. A., et al.
213. (2007). TLR4 enhances TGF-beta signaling and hepatic fibrosis. Nature
Medicine, 13,
214. 13241332.
215. Selmi, C., Balkwill, D. L., Invernizzi, P., Ansari, A. A., Coppel, R. L.,
Podda, M., et al.
216. (2003). Patients with primary biliary cirrhosis react against a ubiquitous
xenobioticmetabolizing bacterium. Hepatology, 38, 12501257.
217. Sheth, S. G., Gordon, F. D., & Chopra, S. (1997). Nonalcoholic
steatohepatitis. Annals of
218. Internal Medicine, 126, 137145.
219. Shimada, M., Hashimoto, E., Taniai, M., Hasegawa, K., Okuda, H.,
Hayashi, N., et al.
220. (2002). Hepatocellular carcinoma in patients with non-alcoholic
steatohepatitis. Journal
221. of Hepatology, 37, 154160.
222. Sidhu, S. S., Goyal, O., Mishra, B. P., Sood, A., Chhina, R. S., & Soni, R.
K. (2011).
223. Rifaximin improves psychometric performance and health-related quality
of life in
224. patients with minimal hepatic encephalopathy (the RIME Trial). The
American Journal
225. of Gastroenterology, 106, 307316.
226. The Intestinal Microbiota in Chronic Liver Disease 95
227. Slack, E., Hapfelmeier, S., Stecher, B., Velykoredko, Y., Stoel, M.,
Lawson, M. A., et al.
228. (2009). Innate and adaptive immunity cooperate flexibly to maintain host-
microbiota
229. mutualism. Science, 325, 617620.

45
230. Strowig, T., Henao-Mejia, J., Elinav, E., & Flavell, R. (2012).
Inflammasomes in health and
231. disease. Nature, 481, 278286.
232. Sung, J. Y., Shaffer, E. A., & Costerton, J. W. (1993). Antibacterial
activity of bile salts against
233. common biliary pathogens. Effects of hydrophobicity of the molecule and
in the presence of phospholipids. Digestive Diseases and Sciences, 38,
21042112.
234. Terjung, B., Herzog, V., Worman, H. J., Gestmann, I., Bauer, C.,
Sauerbruch, T., et al.
235. (1998). Atypical antineutrophil cytoplasmic antibodies with perinuclear
fluorescence
236. in chronic inflammatory bowel diseases and hepatobiliary disorders
colocalize with
237. nuclear lamina proteins. Hepatology, 28, 332340.
238. Terjung, B., Sohne, J., Lechtenberg, B., Gottwein, J., Muennich, M.,
Herzog, V., et al.
239. (2010). p-ANCAs in autoimmune liver disorders recognise human beta-
tubulin isotype
240. 5 and cross-react with microbial protein FtsZ. Gut, 59, 808816.
241. Thalheimer, U., Triantos, C. K., Samonakis, D. N., Patch, D., &
Burroughs, A. K. (2005).
242. Infection, coagulation, and variceal bleeding in cirrhosis. Gut, 54, 556
563.
243. Thuy, S., Ladurner, R., Volynets, V., Wagner, S., Strahl, S., Konigsrainer,
A., et al. (2008).
244. Nonalcoholic fatty liver disease in humans is associated with increased
plasma endotoxin
245. and plasminogen activator inhibitor 1 concentrations and with fructose
intake. The Journal of Nutrition, 138, 14521455.
246. Tolman, K. G., Fonseca, V., Dalpiaz, A., & Tan, M. H. (2007). Spectrum
of liver disease in
247. type 2 diabetes and management of patients with diabetes and liver
disease. Diabetes Care,
248. 30, 734743.

46
249. Tremaroli, V., & Backhed, F. (2012). Functional interactions between the
gut microbiota
250. and host metabolism. Nature, 489, 242249.
251. Tsutsui, H., Imamura, M., Fujimoto, J., & Nakanishi, K. (2010). The
TLR4/TRIFmediated activation of NLRP3 inflammasome underlies
endotoxin-induced liver injury
252. in mice. Gastroenterology Research and Practice, 2010, 641865.
253. Turnbaugh, P. J., Hamady, M., Yatsunenko, T., Cantarel, B. L., Duncan,
A., Ley, R. E.,
254. et al. (2009). A core gut microbiome in obese and lean twins. Nature, 457,
480484.
255. Turnbaugh, P. J., Ley, R. E., Mahowald, M. A., Magrini, V., Mardis, E.
R., & Gordon, J. I.
256. (2006). An obesity-associated gut microbiome with increased capacity for
energy harvest. Nature, 444, 10271031.
257. Ubeda, C., Lipuma, L., Gobourne, A., Viale, A., Leiner, I., Equinda, M.,
et al. (2012).
258. Familial transmission rather than defective innate immunity shapes the
distinct
259. intestinal microbiota of TLR-deficient mice. The Journal of Experimental
Medicine, 209,
260. 14451456.
261. Vanderhoof, J. A., Tuma, D. J., Antonson, D. L., & Sorrell, M. F. (1982).
Effect of antibiotics
262. in the prevention of jejunoileal bypass-induced liver dysfunction.
Digestion, 23, 915.
263. Vijay-Kumar, M., Aitken, J. D., Carvalho, F. A., Cullender, T. C.,
Mwangi, S.,
264. Srinivasan, S., et al. (2010). Metabolic syndrome and altered gut
microbiota in mice lacking Toll-like receptor 5. Science, 328, 228231.
265. Visvanathan, K., Skinner, N. A., Thompson, A. J., Riordan, S. M., Sozzi,
V., Edwards, R.,
266. et al. (2007). Regulation of Toll-like receptor-2 expression in chronic
hepatitis B by the
267. precore protein. Hepatology, 45, 102110.

47
268. Wang, A. P., Migita, K., Ito, M., Takii, Y., Daikoku, M., Yokoyama, T.,
et al. (2005).
269. Hepatic expression of toll-like receptor 4 in primary biliary cirrhosis.
Journal of Autoimmunity, 25, 8591.
270. Wang, B., Trippler, M., Pei, R., Lu, M., Broering, R., Gerken, G., et al.
(2009). Toll-like
271. receptor activated human and murine hepatic stellate cells are potent
regulators of hepatitis C virus replication. Journal of Hepatology, 51, 1037
1045.
272. 96 Jorge Henao-Mejia et al.
273. Washington, M. K. (2007). Autoimmune liver disease: Overlap and
outliers. Modern Pathology, 20(Suppl. 1), S15S30.
274. Watanabe, A., Sohail, M. A., Gomes, D. A., Hashmi, A., Nagata, J.,
Sutterwala, F. S., et al.
275. (2009). Inflammasome-mediated regulation of hepatic stellate cells.
American Journal of
276. Physiology. Gastrointestinal and Liver Physiology, 296, G1248G1257.
277. Wigg, A. J., Roberts-Thomson, I. C., Dymock, R. B., McCarthy, P. J.,
Grose, R. H., &
278. Cummins, A. G. (2001). The role of small intestinal bacterial overgrowth,
intestinal permeability, endotoxaemia, and tumour necrosis factor alpha in
the pathogenesis of nonalcoholic steatohepatitis. Gut, 48, 206211.
279. Williams, R. (2007). Review article: Bacterial flora and pathogenesis in
hepatic encephalopathy. Alimentary Pharmacology & Therapeutics,
25(Suppl. 1), 1722.
280. Williams, C. D., Farhood, A., & Jaeschke, H. (2010). Role of caspase-1
and interleukin-
281. 1beta in acetaminophen-induced hepatic inflammation and liver injury.
Toxicology and
282. Applied Pharmacology, 247, 169178.
283. Wu, G. D., Chen, J., Hoffmann, C., Bittinger, K., Chen, Y. Y., Keilbaugh,
S. A., et al.
284. (2011). Linking long-term dietary patterns with gut microbial enterotypes.
Science,
285. 334, 105108.

48
286. Xie, N., Cui, Y., Yin, Y. N., Zhao, X., Yang, J. W., Wang, Z. G., et al.
(2011). Effects of
287. two Lactobacillus strains on lipid metabolism and intestinal microflora in
rats fed a highcholesterol diet. BMC Complementary and Alternative
Medicine, 11, 53.
288. Ye, B. D., Yang, S. K., Boo, S. J., Cho, Y. K., Yang, D. H., Yoon, S. M.,
et al. (2011).
289. Clinical characteristics of ulcerative colitis associated with primary
sclerosing cholangitis
290. in Korea. Inflammatory Bowel Diseases, 17, 19011906.
291. Yokoyama, T., Komori, A., Nakamura, M., Takii, Y., Kamihira, T.,
Shimoda, S., et al.
292. (2006). Human intrahepatic biliary epithelial cells function in innate
immunity by producing IL-6 and IL-8 via the TLR4-NF-kappaB and -
MAPK signaling pathways. Liver
293. International, 26, 467476.
294. Younossi, Z. M., Stepanova, M., Afendy, M., Fang, Y., Younossi, Y., Mir,
H., et al. (2011).
295. Changes in the prevalence of the most common causes of chronic liver
diseases in the
296. United States from 1988 to 2008. Clinical Gastroenterology and
Hepatology, 9, 524530,
297. e521; quiz e560.
298. Zhu, P., Duan, L., Chen, J., Xiong, A., Xu, Q., Zhang, H., et al. (2011).
Gene silencing of
299. NALP3 protects against liver ischemia-reperfusion injury in mice. Human
Gene Therapy,
300. 22, 853864.

49

Anda mungkin juga menyukai