Islam Dan Demokrasi Sentimental
Islam Dan Demokrasi Sentimental
Jika menarik benang merah antara agama dan negara, Islam selalu
menjadi target stigma yang condong dibenturkan dengan demokrasi dan
kebebasan. Seolah-olah nilai-nilai maupun ajaran Islam adalah kontradiksi
demokrasi kontemporer. Layaknya air dan minyak.
Pasca Pilkada Jakarta 2017, kekalahan Ahok, kampanye bunga dan lilin,
umat Islam telah dipersepsikan sebagai "the other side of the world".
Luapan emosi dan opini dalam bingkai karangan bunga yang terpampang
di balaikota sebagai 'perayaan' kekalahan Ahok atau cahaya ribuan lilin
menjadi simbol "matinya keadilan". Meme-meme sinis yang bertebaran di
media sosial tidak canggung mem-bully Islam dan kaum muslimin dengan
berbagai ikon mengejek.
Hashtag 'Save NKRI', antikebhinekaan dan "bangkitnya radikalisme"
merupakan tudingan yang dilekatkan pada kemenangan Anies-Sandi
yang kebetulan memperoleh banyak dukungan kalangan muslim atau
kelompok pergerakan Islam seperti NU, Muhammadiyah, dan FPI.
Persepsi itu tidak hanya tertanam kuat di kalangan pendukung Ahok, tapi
juga sebagian kaum muslimin sendiri.
Jika karena yang dikalahkan dalam Pilkada DKI Jakarta adalah figur yang
dikonotasikan representasi minoritas di Indonesia, Islam memberikan
antidote untuk membantah tuduhan anti-kebhinekaan. Surah Al-Hujuurat:
13 menyatakan "wa jaalnaakum zuuban wa qabaaila litaaraafu".
Artinya, Kami menjadikan kalian berbangsa-bangsa dan bersuku-suku,
supaya kalian saling kenal mengenal. Islam tidak alergi dengan demokrasi
heterogen.
Slogan 'Save NKRI' juga tidak pantas dibuat kontras dengan kecintaan
seorang muslim terhadap negerinya. Bagi seorang muslim yang taat,
"hubbun wathan minal iman" adalah prinsip yang memaralelkan kecintaan
kepada negeri sebagai bagian dari iman. Dalam kultur demokrasi
moderen, hubbul wathan itu yang kita kenal sebagai postulasi law abiding
citizen!
Jadi tak ada alasan untuk membenturkan Islam atau pemeluknya dengan
jargon-jargon tentang demokrasi, kebhinekaan maupun NKRI. DNA
seorang muslim inheren dengan kecintaan kepada Tanah Air, tetangga
dan lingkungan yang ditanamkan sejak kecil. Kita tak butuh banyak
retorika untuk membuktikan tesis tersebut.
Mantan Presiden Soeharto pernah berlaku seperti itu juga pada 1980.
Soeharto mempersonifikasikan dirinya sebagai perwujudan ide Pancasila.
Siapapun pengritik dirinya ketika itu ditafsirkan sebagai anti Pancasila.
Bilamana tidak hati-hati, cara pandang tersebut lambat laun membuat
hukum sebagai pembenaran atau legitimasi. Siapapun yang
berseberangan dengan penguasa identik dengan kriminal. Hukum dan
konstitusi pun menjadi sangat personal sehingga tidak dapat difungsikan
sepuritan mungkin.
Kutukan terburuk yang kita terima dalam kondisi seperti itu adalah hukum
dan konstitusi berubah sangat sentimental sekaligus judgemental.
Padahal saat hukum atau konstitusi telah ditegakkan seadil-adilnya, maka
hukum tak layak dibenci karena ia misalnya, memenjarakan orang yang
kita cintai. Sebaliknya, hukum juga tak elok dipuja hanya karena ia
memenjarakan orang yang kita benci.
Sayangnya, realitas yang kini kita hadapi di Indonesia cenderung
memainkan penghormatan hukum dan konstitusi dari satu "baper" cinta
dan benci akibat sikap sentimental atau judgemental tadi.