Anda di halaman 1dari 5

Islam dan Demokrasi Sentimental

Islam dan Demokrasi Sentimental


Muhammad Takdir ; Alumni Geneva Centre for Security Policy (GCSP), Swiss
DETIKNEWS, 05 Juni 2017

Apakah kita masih dapat "menemukan" Tuhan dalam berkebangsaan?


Bagi Indonesia, pertanyaan ini sangat relevan dan kritikal dengan
kehidupan berbangsa saat ini. Bahkan dalam konteks global, divisi agama
dan negara terus menjadi diskursus perdebatan yang tidak berujung.
Sekaliber demokrasi AS sekalipun, masalah negara dan agama tidak
pernah tuntas sampai sekarang.

Jika menarik benang merah antara agama dan negara, Islam selalu
menjadi target stigma yang condong dibenturkan dengan demokrasi dan
kebebasan. Seolah-olah nilai-nilai maupun ajaran Islam adalah kontradiksi
demokrasi kontemporer. Layaknya air dan minyak.

Pasca Pilkada Jakarta 2017, kekalahan Ahok, kampanye bunga dan lilin,
umat Islam telah dipersepsikan sebagai "the other side of the world".
Luapan emosi dan opini dalam bingkai karangan bunga yang terpampang
di balaikota sebagai 'perayaan' kekalahan Ahok atau cahaya ribuan lilin
menjadi simbol "matinya keadilan". Meme-meme sinis yang bertebaran di
media sosial tidak canggung mem-bully Islam dan kaum muslimin dengan
berbagai ikon mengejek.
Hashtag 'Save NKRI', antikebhinekaan dan "bangkitnya radikalisme"
merupakan tudingan yang dilekatkan pada kemenangan Anies-Sandi
yang kebetulan memperoleh banyak dukungan kalangan muslim atau
kelompok pergerakan Islam seperti NU, Muhammadiyah, dan FPI.
Persepsi itu tidak hanya tertanam kuat di kalangan pendukung Ahok, tapi
juga sebagian kaum muslimin sendiri.

Mereka mungkin tidak paham sejarah bangsanya ataupun ajaran


agamanya jika ia seorang muslim. Jauh sebelum Indonesia lahir,
perjuangan dan kontribusi ulama bersama umat Islam identik dengan
kelahiran berbagai gerakan kebangsaan yang memberi inspirasi bagi
kemerdekaan kita. Sebagai agama, Islam juga menanamkan fondasi dan
pedoman yang kuat dalam kehidupan berkebangsaan, bernegara atau
berdemokrasi.

Dituding a-demokratis atau gemar berseberangan dengan pemerintah,


Islam punya jawaban dengan "ati'ullaha wa ati'ur rasula wa ulil amri
minkum" (An-Nisaa: 59). Taatilah Allah, Rasul dan pemerintah di antara
kalian!

Jika karena yang dikalahkan dalam Pilkada DKI Jakarta adalah figur yang
dikonotasikan representasi minoritas di Indonesia, Islam memberikan
antidote untuk membantah tuduhan anti-kebhinekaan. Surah Al-Hujuurat:
13 menyatakan "wa jaalnaakum zuuban wa qabaaila litaaraafu".
Artinya, Kami menjadikan kalian berbangsa-bangsa dan bersuku-suku,
supaya kalian saling kenal mengenal. Islam tidak alergi dengan demokrasi
heterogen.
Slogan 'Save NKRI' juga tidak pantas dibuat kontras dengan kecintaan
seorang muslim terhadap negerinya. Bagi seorang muslim yang taat,
"hubbun wathan minal iman" adalah prinsip yang memaralelkan kecintaan
kepada negeri sebagai bagian dari iman. Dalam kultur demokrasi
moderen, hubbul wathan itu yang kita kenal sebagai postulasi law abiding
citizen!

Seorang muslim tidak akan menghabiskan waktu dan energinya untuk


menggerogoti negerinya sendiri dengan melanggar hukum atau membuat
hukum berfungsi bagi dirinya semata. Egoistik kebangsaan tidak memiliki
tempat di hati umat Islam yang mengutamakan harmoni dan kecintaan
terhadap tempat tinggalnya.

Bahkan sekalipun dalam kondisi menjadi seorang muslim minoritas di


Australia, seperti Yassmin Abdel Magied menguliahi politisi negara itu,
Senator Jacqui Lambie dalam perdebatan tentang hukum syariah, "you
follow the law of land in which you are on!"

Jadi tak ada alasan untuk membenturkan Islam atau pemeluknya dengan
jargon-jargon tentang demokrasi, kebhinekaan maupun NKRI. DNA
seorang muslim inheren dengan kecintaan kepada Tanah Air, tetangga
dan lingkungan yang ditanamkan sejak kecil. Kita tak butuh banyak
retorika untuk membuktikan tesis tersebut.

Persoalan menjadi berbeda ketika agama mulai dibentur-benturkan


berhadapan dengan negara, dengan kemasan berbagai macam
kepentingan kelompok. Satu-satunya yang bisa melerai itu adalah hukum
dan konstitusi yang ditegakkan bersama sebagai rule of the game. Esensi
demokrasi yang dewasa sangat jelas tersimpan di situ.

Demokrasi pantang disederhanakan dengan silogisme berpikir bahwa


ketika kepentingan sekelompok orang kalah, lalu keadilan atau demokrasi
mati. Itu artinya, kita telah mempersonifikasi demokrasi dengan
attachment personal atau kelompok. Persis seperti ungkapan Ahok yang
menyebut dirinya wujud kebhinekaan. Lalu apa bedanya dengan Raja
Louis XIV Perancis yang berkata, "c'est moi". Saya adalah negara!

Mantan Presiden Soeharto pernah berlaku seperti itu juga pada 1980.
Soeharto mempersonifikasikan dirinya sebagai perwujudan ide Pancasila.
Siapapun pengritik dirinya ketika itu ditafsirkan sebagai anti Pancasila.
Bilamana tidak hati-hati, cara pandang tersebut lambat laun membuat
hukum sebagai pembenaran atau legitimasi. Siapapun yang
berseberangan dengan penguasa identik dengan kriminal. Hukum dan
konstitusi pun menjadi sangat personal sehingga tidak dapat difungsikan
sepuritan mungkin.

Kutukan terburuk yang kita terima dalam kondisi seperti itu adalah hukum
dan konstitusi berubah sangat sentimental sekaligus judgemental.
Padahal saat hukum atau konstitusi telah ditegakkan seadil-adilnya, maka
hukum tak layak dibenci karena ia misalnya, memenjarakan orang yang
kita cintai. Sebaliknya, hukum juga tak elok dipuja hanya karena ia
memenjarakan orang yang kita benci.
Sayangnya, realitas yang kini kita hadapi di Indonesia cenderung
memainkan penghormatan hukum dan konstitusi dari satu "baper" cinta
dan benci akibat sikap sentimental atau judgemental tadi.

Islam dalam demokrasi kontemporer Indonesia selama ini selalu terdepan


untuk bersikap logis dan rasional. Sayangnya, sebagian kita yang terlalu
lemah untuk tidak sentimental ataupun judgemental; membuat Islam atau
umat Islam seolah-olah sulit mengikuti ritme demokrasi dan "menemukan"
Tuhan dalam kehidupan berbangsa. Begitulah yang terjadi saat ini.

Anda mungkin juga menyukai