Anda di halaman 1dari 5

Airmata Sukarno dan

Kerendahan Hati Para Pendiri Bangsa


Jimmy Z Usfunan ; Pengajar Hukum Tata Negara Universitas Udayana, Bali
DETIKNEWS, 06 Juni 2017

Gejala saat ini menunjukkan bahwa manusia Indonesia sudah mulai


mudah dicerai-beraikan. Berita hoax yang memperuncing perbedaan
suku, agama, golongan makin laris di media sosial. Kondisi ini membuat
was-was kita semua akan keutuhan NKRI, mengingat ikatan persatuan
sebagai bangsa dan negara sudah mulai mengalami keretakan.

Padahal the founding fathers (para pendiri bangsa) telah menghentikan


perdebatan mengenai perbedaan. Berawal pada momen pembahasan
"preambule" atau "pembukaan" UUD 1945 di sidang Badan Penyelidik
Usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK).

Sidang Cuo Sangi In ke VIII pada 18-21 Juni 1945 yang dihadiri oleh 38
orang membentuk panitia kecil (PPKI) beranggotakan 9 orang yang
diketuai oleh Ir Sukarno.

Agenda pembahasan PPKI, akhirnya mengarah pada pilihan


mempertahankan 7 kata dalam kalimat pembukaan yang menyatakan:
"dengan kewajiban menjalankan syariat bagi pemeluk-pemeluknya" atau
menghapuskan 3 kata terakhir yaitu "bagi pemeluk-pemeluknya".
Akhirnya, hasil pembahasan PPKI yang dibawa pada sidang BPUPK pada
11 Juli 1945 mempertahankan eksistensi 7 kata dalam pembukaan.
Alhasil, berbagai pandangan menyeruak di antaranya dari Mr. Latuharhary
yang mengatakan ketidaksetujuannya dengan 7 kata tersebut, karena
akan berpengaruh besar pada hukum adat.

Begitu juga dengan Prof Djayaningrat yang mengkhawatirkan bahwa


adanya 7 kata itu akan menimbulkan fanatisme, misalnya pemaksaan
sembahyang, dan lain-lain.

Atas perdebatan yang menemukan jalan buntu itu akhirnya pada 16 Juli
1945, dengan berlinang air mata, Sukarno mengimbau dihapusnya
rumusan 7 kata itu, dan berkorban demi persatuan, yang akhirnya menjadi
konsensus bersama.

Kendati, pada1956-1959 pada sidang konstituante muncul lagi anak


kalimat yang berisikan 7 kata itu, namun tidak pernah bisa direalisasikan.
(RM. A.B. Kusuma, 2009: h. 16-17 & 23)

Peristiwa sejarah itu memberikan refleksi bagi kita semua bahwa dengan
kerendahan hati, para pendiri bangsa kita berani menanggalkan
kepentingan kelompok, demi persatuan.

Persatuan menjadi hakiki di kala perdebatan antarkelompok


mengatasnamakan agama, suku, atau ras mulai merajalela.
Selayaknya peristiwa itu menjadi panduan penghayatan kita semua dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara demi majunya Indonesia. Sebab,
bila tidak dibendung, tindakan fanatisme sempit agama, suku atau
kedaerahan akan mengakar pada anak-anak sejak dini dalam
pergaulannya, dan menjadi bom waktu yang ledakannya akan
menghancurkan keutuhan negara ini.

Apalagi dalam Pidato Sukarno 1 Juni 1945, kita semua diingatkan bahwa
guna mewujudkan Persatuan Indonesia diawali dengan nilai kebangsaan,
dengan sikap; memiliki sifat nasionalisme, rasa kebangsaan Indonesia,
tidak fanatisme kedaerahan, tidak membeda-bedakan suku, agama, ras
dan antargolongan dan adanya rasa persatuan dan kesatuan sebagai
bangsa Indonesia.

Representasi Nilai Kultural

Pancasila dapat dipahami sebagai pandangan bangsa dan cita-cita yang


bersumber dari nilai adat istiadat, budaya dan agama. Karenanya, tidak
ada alasan untuk menolak Pancasila sebagai panduan hidup bangsa,
sebagai orang Indonesia.

Hanya dengan memegang teguh nilai Pancasila, maka tujuan negara


akan tercapai, dan menjadikan manusia Indonesia berketuhanan,
beradab, mementingkan persatuan, mementingkan musyawarah dan
mengedepankan keadilan.
Dicantumkannya sila Pancasila pada Pembukaan Undang-Undang Dasar
1945 menunjukkan eksistensinya sebagai dasar penyelenggaraan negara
serta jiwa ketentuan-ketentuan di dalam batang tubuh.

Selebihnya alinea ke-4 pembukaan tersebut menunjukkan bahwa tujuan


negara Indonesia dapat terwujud melalui sistem demokrasi dengan
bersumber pada nilai-nilai Pancasila. Bila meminjam istilah Hans
Nawiasky maka sekiranya Pancasila disebut sebagai "staat
fundamentalnorm" (norma dasar negara).

Secara yuridis pengakuan itu dicantumkan dalam Pasal 2 Undang-


Undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
undangan, menentukan bahwa Pancasila sebagai sumber dari segala
sumber hukum negara. Untuk itu, peran mengamalkan Pancasila tidak
hanya dilakukan oleh pemerintah semata, melainkan semua lembaga
negara dan komponen bangsa bertindak didasari Pancasila dalam
menjalankan wewenangnya.

Upaya Pemerintah

Pasal 28I ayat (4) UUD 1945 menyebutkan; Perlindungan, pemajuan,


penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab
negara, terutama pemerintah. Maka, pemerintah berkewajiban untuk
melindungi masyarakat Indonesia dari ancaman perpecahan.

Dengan melakukan upaya, pertama, mengoptimalkan pendidikan


pengamalan Pancasila di satuan pendidikan dalam tingkatan dasar,
menengah, atas dan pendidikan tinggi. Kedua, mengidentifikasi dan
menutup website, blog atau akun-akun media sosial lainnya yang
menyebarkan isu perpecahan.

Mengingat hak berkomunikasi, memperoleh informasi, dan


menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang
tersedia sebagaimana dijamin dalam konstitusi adalah HAM yang dapat
dibatasi (HAM relatif).

Ketiga, melakukan tindakan represif terhadap pelaku penghasutan.


Keempat, membubarkan ormas radikal. Kelima, meningkatkan SDM
masyarakat Indonesia melalui pendidikan. Keenam, mengoptimalkan
dialog-dialog antarkeagamaan.

Keenam, mengevaluasi berita atau tayangan yang mempertontonkan aksi


provokasi. Upaya pemerintah yang demikian diharapkan menjadi solusi
dalam mempertahankan NKRI. Karena, kita semua sepakat bahwa
Pancasila sebagai perekat NKRI!

Anda mungkin juga menyukai