Lahirnya Pancasila Dan Menimbang UKP
Lahirnya Pancasila Dan Menimbang UKP
Pada peringatan hari lahir Pancasila 1 Juni 2017 ini, menjadi lebih spesial
secara selebrasi. Setidaknya dua faktor kunci yang membentuk rasa yang
berbeda, baik dirasakan oleh pemerintah (sebagai pembuat kebijakan)
maupun oleh masyarakat luas dalam perayaan Hari Lahir Pancasila ini.
Hal tersebut mendesak untuk disampaikan dan dielaborasi lebih dalam,
menimbang akhir-akhir ini, isu-isu tentang intoleransi, anti-kebinekaan
bahkan anti-Pancasila santer bermunculan di berbagai media. Terlebih
lagi, Pancasila sebagai ideologi negara yang menjadi 'kalimatun sawa-nya'
bangsa Indonesia, kadung diharapkan menjadi obat mujarab (panacea)
oleh masyarakat atas berbagai varian ancaman terhadap negara dan
bangsa Indonesia.
Pertama, 1 Juni 2017 adalah peringatan hari lahir Pancasila yang secara
resmi ditetapkan oleh pemerintah sebagai hari libur nasional. 1 Juni kali ini
adalah selebrasi yang pertama kali dirayakan secara formal oleh
pemerintah, dengan penetapan 1 Juni sebagai hari lahir Pancasila dan
dijadikan sebagai libur nasional. Ramai-ramailah di jagad media sosial
muncul #SayaIndonesia dan #SayaPancasila bahkan menjadi trending
topix. Selebrasi rakyat atas peringatan hari Pancasila ini mendapatkan
momentum yang pas, di tengah maraknya isu-isu intoleransi, kekerasan,
anti-kebinekaan bahkan ancaman dari kelompok yang katanya ingin
mengganti ideologi Pancasila.
Atau justru Pancasila lahir pada 22 Juni 1945 sebagai hasil Panitia
Sembilan, dinamakan Piagam Jakarta, yang kemudian memunculkan
polemik antara para pendiri bangsa, terkait redaksi Sila I: Ketuhanan
dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya.
Dengan implikasi yuridis-politis dan sosiologis umat Islam diberikan 'ruang
khusus' untuk menjalankan ajaran syariatnya secara total di negara
Indonesia. Atau justru Pancasila itu lahir 18 Agustus 1945 seperti yang
diyakini pemerintah Orde Baru? Sebab pada tanggal itu pulalah UUD 1945
sebagai konstitusi negara baru bernama Indonesia disahkan oleh Panitia
Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI), yang sila-sila Pancasila secara
formal-struktural terdapat di alinea ke-4 Mukadimah/Pembukaan UUD
1945.
Bagi saya polemik tanggal lahir Pancasila ini sudah mestinya diselesaikan.
Karena, hal yang lebih mendesak untuk segera dilaksanakan adalah
bagaimana strategi kita sebagai sebuah nation state mampu
mengejawantahkan nilai-nilai Pancasila dalam laku lampah sehari-hari
oleh masyarakat dan berupa kebijakan negara yang selalu bernafaskan
jiwa Pancasila itu. Inilah tugas pokok kita sebagai bangsa.
Harus diakui jika sila-sila yang diungkapkan Bung Karno pada 1 Juni 1945
tersebut secara prinsipil dan mendalam taklah berjarak alias sama secara
substantif dengan sila-sila Pancasila dalam UUD 1945. Walaupun begitu,
Bung Karno tetap dengan tawadhu mengatakan: Kenapa diucapkan
terima kasih kepada saya, kenapa saya diagung-agungkan, padahal toh
sudah sering saya katakan, bahwa saya bukan pencipta Pancasila. Saya
sekedar penggali Pancasila daripada bumi tanah air Indonesia ini, yang
kemudian lima mutiara yang saya gali itu, saya persembahkan kembali
kepada bangsa Indonesia. Malah pernah saya katakan, bahwa
sebenarnya hasil, atau lebih tegas penggalian daripada Pancasila ini
saudara-saudara, adalah pemberian Tuhan kepada saya Sebagaimana
tiap-tiap manusia, jikalau ia benar-benar memohon kepada Allah
Subhanahu Wataala, diberi ilham oleh Allah Subhanahu Wataala.
(Soekarno dalam Latif, 2011: 20-21).
Problematika berpancasila
Lahirnya UKP-PIP
Momentum selebrasi hari lahir Pancasila 1 Juni 2017 ini menjadi sudah
semestinya (jika tak dikatakan terlambat), untuk merekonseptualisasi,
revitalisasi dan reaktualisasi nilai-nilai Pancasila dalam tiap etos di
pemerintahan dan masyarakat umum. Sehingga, Pancasila tidak hanya
menjadi konsumsi elitis pemerintah, atau perkakas untuk aktivitas
kampanye. Tetapi, Pancasila (melalui UKP-PIP) ini mampu menghadirkan
energi pathos yang menarik antara pemerintah dan rakyat banyak,
sehingga rakyat Indonesia merasa memiliki Pancasila ini.
Agar ikhtiar UKP-PIP ini tidak sekedar mengulangi sejarah Orde Baru, baik
dari konsep, strategi maupun metode yang dipakai dalam rangka
pembinaan dan aktualisasi nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan
berbangsa bernegara, mesti ada diferensiasi strategi dan semacam
keunggulan kompetitif (competitive advantages) UKP-PIP atas BP-7 dan
model Penataran P-4 tersebut. Apa sebab konstruksi diferensiasi strategi
dan keunggulan kompetitif UKP-PIP ini penting sekali? Sebab persepsi
sebagian masyarakat hingga kini terhadap Orde Baru dan segala sesuatu
yang bersenyawa dengannya adalah barang tercela. Tentu ini akan
merugikan dan menghabiskan energi tim UKP-PIP nantinya untuk
menjernihkan stigma akan anasir BP-7 dan Penataran P-4 tersebut.
Meskipun demikian saya meyakini UKP-PIP yang dikepalai Yudi Latif akan
mampu membangun citra yang baru atas UKP-PIP. Sebagai sosok yang
konsisten dan concern terhadap diskursus Pancasila, setidaknya melalui
buku Negara Paripurna, Historisitas, Rasionalitas dan Aktualitas Pancasila
(2011), buku Mata Air Keteladanan, Pancasila dalam Perbuatan (2014),
saya sendiri pernah menjadi moderator, dalam diskusi peluncuran buku ini
bersama penulisnya, Tamrin Amal Tomagola (Guru Besar UI) dan Suhadi
(Kaprodi PPKn FIS-UNJ) pada Ramadan 2014 di Aula Perpustakaan UNJ,
dan buku Revolusi Pancasila (2015) sudah cukup menjadi bukti yang
sebenarnya. Jika Kang Yudi sudah sangat otoritatif berbicara Pancasila
dan memimpin lembaga UKP-PIP ini.