Anda di halaman 1dari 10

Lahirnya Pancasila dan Menimbang UKP-PIP

Lahirnya Pancasila dan Menimbang UKP-PIP


Satriwan Salim ; Peneliti Puspol Indonesia dan Guru Pendidikan Kewarganegaraan
SMA Labschool Rawamangun
REPUBLIKA, 03 Juni 2017

Pancasila karya bersama

Pada peringatan hari lahir Pancasila 1 Juni 2017 ini, menjadi lebih spesial
secara selebrasi. Setidaknya dua faktor kunci yang membentuk rasa yang
berbeda, baik dirasakan oleh pemerintah (sebagai pembuat kebijakan)
maupun oleh masyarakat luas dalam perayaan Hari Lahir Pancasila ini.
Hal tersebut mendesak untuk disampaikan dan dielaborasi lebih dalam,
menimbang akhir-akhir ini, isu-isu tentang intoleransi, anti-kebinekaan
bahkan anti-Pancasila santer bermunculan di berbagai media. Terlebih
lagi, Pancasila sebagai ideologi negara yang menjadi 'kalimatun sawa-nya'
bangsa Indonesia, kadung diharapkan menjadi obat mujarab (panacea)
oleh masyarakat atas berbagai varian ancaman terhadap negara dan
bangsa Indonesia.

Pertama, 1 Juni 2017 adalah peringatan hari lahir Pancasila yang secara
resmi ditetapkan oleh pemerintah sebagai hari libur nasional. 1 Juni kali ini
adalah selebrasi yang pertama kali dirayakan secara formal oleh
pemerintah, dengan penetapan 1 Juni sebagai hari lahir Pancasila dan
dijadikan sebagai libur nasional. Ramai-ramailah di jagad media sosial
muncul #SayaIndonesia dan #SayaPancasila bahkan menjadi trending
topix. Selebrasi rakyat atas peringatan hari Pancasila ini mendapatkan
momentum yang pas, di tengah maraknya isu-isu intoleransi, kekerasan,
anti-kebinekaan bahkan ancaman dari kelompok yang katanya ingin
mengganti ideologi Pancasila.

Terlepas dari legitimasi pemerintah akan 1 Juni sebagai lahirnya


Pancasila, padahal diskursus di ruang akademik masihlah tinggi ketika
memperdebatkan dimensi historis tentang kapan tepatnya Pancasila
tersebut lahir. 1 Juni 1945 adalah giliran Pidato Bung Karno dalam Sidang
Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK) atau
Docoritsu Junbi Cosakai dalam bahasa Jepang. Bung Karno meraih
impresi yang luar biasa dari seluruh anggota ketika pertama kalinya
memperkenalkan nama 'Pancasila' sebagai filosofische grondslag dasar
filosofis tegaknya negara Indonesia.

Bung Karno berhasil menguraikannya secara sistematis, rasional,


argumentatif yang sekaligus menjawab tantangan dr KRT Radjiman
Wedyodinigrat sebagai ketua sidang kala itu. Meskipun Yudi Latif dengan
bijak mengatakan dalam salah satu sub-judul buku Pancasila, yang
menjadi satu dari sekian deretan magnum opus-nya dengan kalimat,
Pancasila sebagai karya bersama (Latif, 2011: 39).

Atau justru Pancasila lahir pada 22 Juni 1945 sebagai hasil Panitia
Sembilan, dinamakan Piagam Jakarta, yang kemudian memunculkan
polemik antara para pendiri bangsa, terkait redaksi Sila I: Ketuhanan
dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya.
Dengan implikasi yuridis-politis dan sosiologis umat Islam diberikan 'ruang
khusus' untuk menjalankan ajaran syariatnya secara total di negara
Indonesia. Atau justru Pancasila itu lahir 18 Agustus 1945 seperti yang
diyakini pemerintah Orde Baru? Sebab pada tanggal itu pulalah UUD 1945
sebagai konstitusi negara baru bernama Indonesia disahkan oleh Panitia
Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI), yang sila-sila Pancasila secara
formal-struktural terdapat di alinea ke-4 Mukadimah/Pembukaan UUD
1945.

Sangat penting dinsyafi, berkat kelapangan hati tokoh-tokoh Islam, seperti


Ki Bagus Hadikusumo, Kasman Singodimedjo atau KH. Wahid Hasyim,
maka atas masukan dari Bung Hatta, tujuh (7) kata dalam Sila I Pancasila
di Piagam Jakarta ini dihapuskan, sehingga menjadi format Pancasila
sebagaimana terdapat dalam Mukadimah/Pembukaan UUD 1945, sampai
sekarang ini. Tiga versi waktu di atas selalu membangkitkan ghirah
romantisme sejarah kita, khususnya bagi mereka yang menonjolkan rasa
politiknya ketimbang strategi mebumikan Pancasila itu sendiri.

Bagi saya polemik tanggal lahir Pancasila ini sudah mestinya diselesaikan.
Karena, hal yang lebih mendesak untuk segera dilaksanakan adalah
bagaimana strategi kita sebagai sebuah nation state mampu
mengejawantahkan nilai-nilai Pancasila dalam laku lampah sehari-hari
oleh masyarakat dan berupa kebijakan negara yang selalu bernafaskan
jiwa Pancasila itu. Inilah tugas pokok kita sebagai bangsa.

Harus diakui jika sila-sila yang diungkapkan Bung Karno pada 1 Juni 1945
tersebut secara prinsipil dan mendalam taklah berjarak alias sama secara
substantif dengan sila-sila Pancasila dalam UUD 1945. Walaupun begitu,
Bung Karno tetap dengan tawadhu mengatakan: Kenapa diucapkan
terima kasih kepada saya, kenapa saya diagung-agungkan, padahal toh
sudah sering saya katakan, bahwa saya bukan pencipta Pancasila. Saya
sekedar penggali Pancasila daripada bumi tanah air Indonesia ini, yang
kemudian lima mutiara yang saya gali itu, saya persembahkan kembali
kepada bangsa Indonesia. Malah pernah saya katakan, bahwa
sebenarnya hasil, atau lebih tegas penggalian daripada Pancasila ini
saudara-saudara, adalah pemberian Tuhan kepada saya Sebagaimana
tiap-tiap manusia, jikalau ia benar-benar memohon kepada Allah
Subhanahu Wataala, diberi ilham oleh Allah Subhanahu Wataala.
(Soekarno dalam Latif, 2011: 20-21).

Begitu besarnya kerendahan hati penggali Pancasila ini. Bahkan jika


ditelisik kembali dari kalimatnya di atas, justru Bung Karno berbicara
dimensi hakikat, yaitu sesungguhnya Pancasila merupakan pemberian dari
Allah SWT, sebagai Sang Pemilik Ilmu. Artinya adalah Pancasila adalah
anugerah Allah bagi bangsa Indonesia, melalui lisan Soekarno.

Problematika berpancasila

Sementara itu, untuk mereaktualisasikan nilai-nilai Pancasila ini,


keberadaan Pancasila menurut Kuntowijoyo dapat diukur dengan tiga (3)
faktor; konsistensi, koherensi dan korespondensi. Ketiga faktor tersebut
gagal dilaksanakan oleh Orde Lama dan Orde Baru, demikian penilain
Kuntowijoyo. Bahkan P-4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan
Pancasila) yang terkenal itu berkembang 'amat jauh', ke wilayah yang nota
bene domain agama.

Faktanya, yang terjadi adalah penyelewengan Pancasila oleh rezim


penguasa. Oleh karena itu, perlu kiranya melakukan upaya mendesak
untuk (1) mengembalikan Pancasila sebagai ideologi negara, (2)
mengganti persepsi dari Pancasila sebagai ideologi menjadi Pancasila
sebagai ilmu, (3) mengusahakan Pancasila mempunyai konsistensi
dengan produk-produk perundangan, koherensi antarsila, dan
korespondensi dengan realitas sosial, dan (4) Pancasila yang semula
melayani kepentingan vertikal menjadi Pancasila yang melayani
kepentingan horizontal. Inilah yang dinamakan Kuntowijoyo sebagai
radikalisasi Pancasila. (Kompas, 2001)

Sedangkan Azyumardi Azra (Kompas, 2004) menawarkan ide rejuvenasi


Pancasila agar Pancasila bisa kembali hidup. Istilah rejuvenasi Pancasila
yang Azyumardi kemukakan merujuk kepada proses pembaharuan
kembali yang bersifat lebih nyata sehingga dapat mengubah citra atau
persepsi publik. Karena pasca-reformasi 98 Pancasila secara negatif
diasosiasikan dengan Orde Baru. Sehingga, perlu untuk membentuk citra
baru. Dalam rangka rejuvenasi Pancasila tersebut Azra mensyaratkan
adanya diskursus publik agar bisa memaknai kembali Pancasila dan nilai-
nilainya. Selanjutnya dalam tulisannya mengatakan:

Saya melihat urgensi mendesak rehabilitasi dan rejuvenasi Pancasila...


Rejuvenasi Pancasila dapat dimulai dengan menjadikan Pancasila kembali
sebagai public discourse, wacana publik. Dengan menjadi wacana publik,
sekaligus dapat dilakukan reassessment, penilaian kembali atas
pemaknaan Pancasila selama ini, untuk kemudian menghasilkan
pemikiran dan pemaknaan baru. Dengan demikian, menjadikan Pancasila
sebagai wacana publik merupakan tahap awal krusial untuk
pengembangan kembali Pancasila sebagai ideologi terbuka, yang dapat
dimaknai secara terus menerus, sehingga tetap relevan dalam kehidupan
bangsa dan negara Indonesia. (Azra, 2008 selanjutnya dapat lihat di
http://www.setneg.go.id/index.php?option=com_content&task=view&id=16
59)

Merujuk kepada pemaparan Azra tersebut, saya memaknai jika


pemerintah semenjak SBY-JK sampai pada Jokowi-JK saat ini, telah
berhasil menjadikan Pancasila sebagai wacana publik, orang ramai-ramai
mengatakan rindu Pancasila, ketika terjadi aksi-aksi kekerasan,
intoleransi, radikalisme atau penggusuran pemukiman kumuh dan
sejenisnya, masyarakat berharap Pancasila hadir di tengah-tengah
kehidupan. Munculnya hastag #SayaPancasila seperti yang hari ini trend
di media sosial, adalah salah satu bukti nyata. Pancasila sudah menjadi
milik publik saat ini. Pancasila tidak lagi diidentikan dengan Orde Baru.
Benang merahnya yaitu prasyarat rejuvenasi Pancasila sebagai fase awal
yang diutarakan Azra tersebut sudah terpenuhi.

Lahirnya UKP-PIP

Kedua adalah untuk menjawab soalan paling fundamental sekaligus


tantangan bagaimana strategi kita sebagai sebuah nation state mampu
mengejawantahkan nilai-nilai Pancasila dalam laku lampah sehari-hari
oleh masyarakat dan berupa kebijakan negara yang selalu bernapaskan
jiwa Pancasila itu, justru inilah yang mendesak dijawab dan dicarikan jalan
keluarnya. Untuk itulah saya berpikir bahwa, ditantandatanganinya
Peraturan Presiden No 54 Tahun 2017 tentang Unit Kerja Presiden
Pembinaan Ideologi Pancasila (UKP-PIP), menjadi ikhtiar pemerintah
menjawab tantangan di atas.

Momentum selebrasi hari lahir Pancasila 1 Juni 2017 ini menjadi sudah
semestinya (jika tak dikatakan terlambat), untuk merekonseptualisasi,
revitalisasi dan reaktualisasi nilai-nilai Pancasila dalam tiap etos di
pemerintahan dan masyarakat umum. Sehingga, Pancasila tidak hanya
menjadi konsumsi elitis pemerintah, atau perkakas untuk aktivitas
kampanye. Tetapi, Pancasila (melalui UKP-PIP) ini mampu menghadirkan
energi pathos yang menarik antara pemerintah dan rakyat banyak,
sehingga rakyat Indonesia merasa memiliki Pancasila ini.

Diferensiasi strategi dan keunggulan kompetitif UKP-PIP

Persoalan kemudian yang mungkin timbul adalah, bagaimana UKP-PIP


yang merupakan lembaga non-struktural yang bekerja dan berada
langsung di bawah Presiden ini mampu meyakinkan seluruh komponen
masyarakat, jika lembaga baru ini tidak 100 persen meniru dan merepetisi
apa yang sudah dikerjakan oleh Orde Baru melalui BP-7 (Badan
Pembinaan Pendidikan Pelaksanaan Pedoman Penghayatan dan
Pengamalan Pancasila) dengan Penataran P-4 yang terkenal indoktrinatif.
Seperti yang dikatakan oleh Azyumardi Azra (Azra, 2008), bahwa
Pancasila terlanjur tercemar karena kebijakan rejim Soeharto yang
menjadikan Pancasila sebagai alat politik untuk mempertahankan status-
quo kekuasaannya. Rejim Soeharto juga mendominasi pemaknaan
Pancasila yang selanjutnya diindoktrinasikan secara paksa melalui
Penataran P4.

Agar ikhtiar UKP-PIP ini tidak sekedar mengulangi sejarah Orde Baru, baik
dari konsep, strategi maupun metode yang dipakai dalam rangka
pembinaan dan aktualisasi nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan
berbangsa bernegara, mesti ada diferensiasi strategi dan semacam
keunggulan kompetitif (competitive advantages) UKP-PIP atas BP-7 dan
model Penataran P-4 tersebut. Apa sebab konstruksi diferensiasi strategi
dan keunggulan kompetitif UKP-PIP ini penting sekali? Sebab persepsi
sebagian masyarakat hingga kini terhadap Orde Baru dan segala sesuatu
yang bersenyawa dengannya adalah barang tercela. Tentu ini akan
merugikan dan menghabiskan energi tim UKP-PIP nantinya untuk
menjernihkan stigma akan anasir BP-7 dan Penataran P-4 tersebut.

Perihal inipun sudah mulai menjadi wacana di kalangan akademisi (dosen-


guru) dan pengamat, santer ketika wacana pembuatan UKP-PIP (sebelum
Perpres No 54/2017 lahir). Ada kekhawatiran UKP-PIP tak ubahnya akan
menjiplak Orde Baru, cara-cara BP-7 dan P-4 yang dimodifikasi, sehingga
penyelewengan pun terjadi seperti yang dikatakan Kuntowijoyo tadi.
Skeptisisme sebagian akademisi, khususnya pegiat Pendidikan Pancasila
dan Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) misalnya dengan alasan di atas
memang beralasan. Ini saya pribadi alami sendiri dalam diskusi dengan
rekan-rekan sejawat pengajar Pendidikan Pancasila/Pendidikan
Kewarganegaraan/PPKn di level sekolah dan perguruan tinggi. Ditambah
lagi kalangan aktivis yang dulu habis-habisan mencemooh program BP-7
dan P-4, yang sekarang masih ada dan tetap menolak.

Meskipun demikian saya meyakini UKP-PIP yang dikepalai Yudi Latif akan
mampu membangun citra yang baru atas UKP-PIP. Sebagai sosok yang
konsisten dan concern terhadap diskursus Pancasila, setidaknya melalui
buku Negara Paripurna, Historisitas, Rasionalitas dan Aktualitas Pancasila
(2011), buku Mata Air Keteladanan, Pancasila dalam Perbuatan (2014),
saya sendiri pernah menjadi moderator, dalam diskusi peluncuran buku ini
bersama penulisnya, Tamrin Amal Tomagola (Guru Besar UI) dan Suhadi
(Kaprodi PPKn FIS-UNJ) pada Ramadan 2014 di Aula Perpustakaan UNJ,
dan buku Revolusi Pancasila (2015) sudah cukup menjadi bukti yang
sebenarnya. Jika Kang Yudi sudah sangat otoritatif berbicara Pancasila
dan memimpin lembaga UKP-PIP ini.

UKP-PIP mau tidak mau harus meyakinkan publik, terutama kalangan


muda generasi bangsa. Lembaga ini hadir membangun citra baru,
menawarkan strategi dan model kekinian, menjawab tantangan generasi
milenial dan terpenting yaitu membumi. Lembaga ini wajib memosisikan
diri sebagai rumah bersama titik konvergensi bertemunya ide-ide
imajinatif, kreatif dan progresif lintas generasi, lintas profesi dan golongan.
Rumah bersama yang menjadi titik permulaan untuk menjadikan Pancasila
sebagai etos kehidupan. Sehingga, 3 kriteria aktualisasi nilai-nilai
Pancasila; konsistensi, koherensi dan korespondensi sebagaimana ide
Kuntowijoyo tadi, spiritnya menjadi nyata adanya di tangan Yudi Latif dan
tim. Semoga bersamaan dengan momentum peringatan lahirnya Pancasila
tahun 2017 ini, UKP-PIP akan melahirkan pula ide-ide cemerlang yang
menginspirasi kita untuk berbuat dan membumikan Pancasila, bagi
segenap bangsa Indonesia tanpa kecuali.

Selamat Bekerja, Kang!

Anda mungkin juga menyukai