Semua ajaran dalam Tripitaka (Kitab Suci Agama Buddha) merupakan alat untuk
memengaruhi makhluk hidup guna memutuskan kemelekatannya.
Singkat kata, tujuannya adalah untuk menjauhkan semua makhluk hidup dari
kemelekatan. Inilah ajaran Buddhis tentang keselamatan. Tiada jalan lain kembali ke
sumber, kendati terdapat banyak metode berfaedah. Kita, para murid dan para praktisi
Buddhis sudah seharusnya tidak melekat pada metode-metode ini. Ketika pemikiran
timbul dalam batin kita yang membeda-bedakan antara apa yang benar dan apa yang
salah, hal tersebut bertentangan dengan tujuan Sang Buddha dan merupakan
penyimpangan dari jalan Ajaran Buddha.
Sama dengan ini, ketika Sang Buddha mengajarkan Keberadaan, hal ini bukanlah lawan
dari Kekosongan, namun lebih dikarenakan bermaksud mengatakan: Ketika sesuatu ada,
maka semuanya ada; tiada Bukan-Keberadaan yang terpisah. Tanpa Bukan-Keberadaan
untuk dikontraskan dengan Keberadaan, Keberadaan sendiri adalah tak-tercapai.
Kita harus memahami makna sebenarnya dari Kekosongan dan Keberadaan. Tiada kata-
kata dari kita yang dapat menggambarkan Kekosongan dan Keberadaan dengan tepat.
Dan dikarenakan hal ini, mengapa kau masih tetap meyakininya?
Mahaguru Han-Shan memahami dengan menyeluruh tujuan dari semua Buddha. Selaras
dengan batin Para Sesepuh, beliau menyebarkan Dharma, dengan berpegangan pada
tanpa Kekosongan pun tanpa Keberadaan, juga tanpa Bukan-Kekosongan pun tanpa
Bukan-Keberadaan sehingga mewujudkan Jalan Tengah. Dengan demikianlah, beliau
mempromosikan pembinaan gabungan Zen dan Alam Murni, menunjuk pada ketanpa-
dualitasan Kekosongan dan Keberadaan. Ajaran itu adalah Pencerahan Yang
Menakjubkan.
Sebagai contoh, aliran Zen mengajarkan meditasi mengenai sebuah hua-tou (Jp.
Wato). Hua-tou berarti sebelum kata-kata, sebelum sebuah pemikiran timbul dalam
batin tunggal. Apa yang ada sebelum sebuah pemikiran timbul? Tiada pemikiran. Tiada
pemikiran adalah Batin Murni seseorang, Hakikat Kebuddhaan seseorang, Wajah Asal
seseorang. Bermeditasi tentang sebuah hua-tou tidak berarti melafalkannya, dikarenakan
pelafalan sebuah hua-tou juga adalah pemikiran palsu besar. Sebaliknya, mengenali
Wajah Asal seseorang adalah tujuan sebuah hua-tou.
Dharma Alam Murni, diajarkan oleh Buddha Sakyamuni tanpa diminta, memperlihatkan
welas asih dari Beliau yang agung. Kecemerlangan dunia dan hiasan Alam Murni Barat
dilukiskan dengan jelas dalam Amithaba Sutra. Dharma Alam Murni disanjung oleh Para
Buddha di kesepuluh penjuru dan diikuti oleh Para Bodhisattva dan Sesepuh. Sebagai
contoh, Bodhisattva agung Avalokitesvara (Kuan-Yin), Mahasthamaprapta (Kekuatan
Besar), Manjusri dan Samantabhadra semuanya mendukung dan mengikuti Alam Murni.
Pada zaman kuno di India, Sesepuh Asvaghosa, Nagarjuna dan Vasubandhu, bersama
dengan lain-lainnya, semuanya memperkenalkan ajaran Alam Murni. Setelah Dharma
ditransmisikan ke Cina, banyak master Zen dan sesepuh agung memperkenalkan Alam
Murni. Betapa sempurna dan luhurnya Dharma Alam Murni yang menakjubkan,
diajarkan oleh Buddha Sakyamuni dan dibabarkan oleh Para Buddha yang meliputi
kesepuluh penjuru! Kita, sebaliknya, hanyalah makhluk biasa yang masih belum
memutuskan ketidaktahuan dan pencemaran. Dengan demikian, terdapat orang-orang
arogan dan berwatak angkuh yang merendahkan Dharma ini.
Terdapat kisah yang sangat populer dalam Avatamsaka Sutra, yang berisi tentang pemuda
Sudhana yang melakukan perjalanan mengunjungi lima puluh tiga orang Guru Mulia.
Yang pertama ia jumpai, Bhiksu Awan Kebaikan, mengajarkan padanya betapa
pentingnya Dharma Alam Murni. Dari sini, Sudhana melanjutkan kunjungannya hingga
ia mengunjungi seluruhnya lima puluh tiga orang Guru., yang terakhir darinya adalah
Bodhisattva Samantabhadra. Yang terakhir juga mengajarkan padanya mengenai gerbang
Dharma Alam Murni yang menakjubkan. Dengan demikian, kita seharusnya memahami
bahwa Alam Murni adalah krusial bagi praktisi pada Zaman Akhir-Dharma. Sebagai
murid Para Buddha, kita seharusnya mulai mempraktikkan Dharma ini sedini mungkin.
Ringkasnya, Zen dan Tanah Murni bersifat saling melengkapi. Pada masa lampau, Para
Buddha di kesepuluh penjuru bergantung pada metode Dharma ini untuk melatih dan
mencapai Kebuddhaan. Para Buddha di masa kini juga bergantung padanya untuk melatih
dan mencapai Kebuddhaan. Hal yang sama berlaku pula untuk Para Buddha di masa
mendatang. Kedua metode Dharma ini secara khusus disampaikan dalam Avatamsaka
Sutra, Sutra Teratai dan Surangam Sutra, bersama dengan banyak sutra-sutra lainnya
yang mengajak orang-orang untuk belajar dan berlatih.
Master LokTo
New York, Mei 1993