Anda di halaman 1dari 37

Modul I

Cara Penanganan dan Pemberian Obat pada Hewan Percobaan

1. Sebutkan keuntungan serta kerugian pemakaian masing-masing hewan tersebut di


atas !
Jawab :
a. Mencit
Keuntungan : Siklus hidup relatif pendek, jumlah anak per kelahiran
banyak, variasi sifat-sifatnya tinggi, mudah ditangani, serta
sifat produksi dan reproduksinya menyerupai hewan
mamalia lain.
Kerugian : Penakut, fotofobik, cenderung berkumpul dengan sesamanya
dan bersembunyi, aktivitas pada malam hari lebih aktif,
kehadiran manusia mengurangi aktivitasnya, jika stres dan
takut mencit akan buang air besar atau buanag air kecil.

b. Tikus
Keuntungan : Memiliki kesamaan fisiologis dengan manusia, siklus hidup
yang relatif pendek, jumlah anak per kelahiran banyak,
variasi sifat-sifatnya tinggi dan mudah dalam penanganan.
Kerugian : Lebih resisten terhadap infeksi, galak.

c. Marmut
Keuntungan : Mudah ditangai, kulit halus, bulu tebal, tidak mengeluarkan
cairan hidung dan telinga.
Kerugian : Jatuh sakit bila tidak diberi makan teratur.

d. Kelinci
Keuntungan : Bersih, mudah dibiakkan.
Kerugian : Suhu tubuh cepat berubah, tidak punya struktur gen yang
mirip dengan manusia.
e. Katak
Keuntungan : Mudah diperoleh.
Kerugian : Lembab, licin.
(Moriwaki et al, 1994).

2. Mencit adalah hewan yang paling banyak digunakan dalam percobaan di


laboratorium. Mengapa ?
Jawab :
Karena mencit memiliki kesamaan secara fisiologis dengan manusia maupun
hewan lainnya, seperti hewan mamalia sehingga cocok digunakan sebgai hewan
penelitian. Selain itu mudah dalam penanganan, siklus hidup pendek, pengadaan
hewan tidak sulit dan pola reproduksi mencit yang singkat dan dari segi ekonomi
biaya yang diperlukan tidak terlalu mahal (Schuler, 2006).

3. Faktor-faktor yang perlu diperhatikan dalam memilih spesies hewan percobaan yang
bersif skrining ataupun pengujian suatu efek khusus !
Jawab :
a. Faktor internal : umur, jenis kelamin, bobot badan, keadaan kesehatan, nutrisi
dan sifat genetik
b. Faktor-faktor lain yaitu faktor lingkungan, keadaan kandang, suasana
kandang, populasi dalam kandang, keadaan ruang tempat pemeliharaan,
pengalaman hewan percobaan sebelumnya, suplai oksigen dalam ruang
pemeliharaan, dan cara pemeliharaan.
c. Keadaan faktor-faktor ini dapat merubah atau mempengaruhi respon hewan
percobaan terhadap senyawa bioaktif yang di ujikan. Penanganan yang tidak
wajar terhadap hewan percobaan dapat mempengaruhi hasil percobaan,
memberikan penyimpangan hasil. Di samping itu cara pemberian senyawa
bioaktif terhadap hewan percobaan tentu mempengaruhi respon respon hewan
terhadap senyawa bioaktif yang bersangkutan terutama segi kemunculan
efeknya. Cara pemberian yang digunakan tentu tergantung pula kepada bahan
atau bentuk sediaan yang akan digunakan (Schuler, 2006).
4. Jelaskan secara spesifik dengan contoh-contoh, mengenai karakteristik lingkungan
fisiologis, anatomis, dan biokimiawi yang berada pada daerah kontak mula antara
obat dan tubuh !
Jawab :
a. Jumlah suplai darah yang berbeda :
- Apabila supply darah meningkat, maka distribusi obat akan berjalan dengan
cepat.
- Apabila supply darah menurut, maka distribusi obat akan terhambat
b. Struktur anatomi yang berbeda :
Contoh: Kulit katak yang licin akan mengakibatkan pada pemberian dan
penyebaran obat yang berjalan dengan cepat
c. Enzim-enzim dan getah-getah fisiologis yang berbeda :
Contoh : Apabila enzim yang digunakan berbeda, maka hasil metabolit juga
akan berbeda (Priyanto, 2008).

5. Uraikan secara terperinci kondisi-kondisi penerimaan obat yang menentukan rute


pemberian obat yang dipilih !
Jawab :
a. Duration of effect serta onset yang diinginkan dari obat tersebut.
b. Stabilitas obat dalam sistem pencernaan. Apakah obat dapat rusak atau tidak.
c. Efek obat yang ingin diberikan. Efek obat terdiri atas 2, yaitu efek obat
sistemik dan lokal.
d. Keadaan pasien. Sebagai contoh, untuk pasien yang tidak sadarkan diri atau
muntah bila meminum obat, maka pemberian obat dilakukan melalui rektal
(Anief, 1990).

6. Sebutkan implikasi-implikasi praktis dari rute pemberian obat (umpamanya


persyaratan sediaan farmasi yang diberikan dengan rute tertentu, dosis obat jika
dipilih rute pemberian tertentu tsb).
Jawab :
a. Sifat obat
b. Kondisi pasien
c. Tujuan terapi
d. Stabilitas obat dalam lambung atau usus (Anief, 1990).
DAFTAR PUSTAKA

Anief, Moh. 1990. Perjalanan dan Nasib Obat dalam Badan. Yogyakarta : Gadjah Mada
University Press.
Moriwaki, K., T. Shiroishi dan H. Yonekawa. 1994. Genetic in Wold Mice. Its Aplication to
Biomedical Research. Karger, Tokyo : Japan Scientific Societies Press.
Priyanto. 2008. Farmakologi Dasar Edisi II. Depok : Leskonfi.
Schuler, L. 2006. Model Animal and Quatitative Genetics. Bogor : Institut Pertanian Bogor.
Modul II
PENGUJIAN AKTIVITAS ANALGETIKA

1. Apa perbedaan obat analgetika narkotika dan analgetika non-narkotika ?


Jawab :
a. Analgesic Narkotika (Opioida)
Analgetik Narkotika adalah senyawa yang dapat menekan fungsi system saraf
pusat secara selektif. Digunakan untuk mengurangi rasa sakit yang moderat
ataupun berat. Seperti rasa sakit yang disebabkan oleh penyakit kanker, serangan
jantung akut, sesudah operasi, dan kolik usus atau ginjal. Analgetik narkotika
sering pula digunakan untuk pramedikasi anestesi, bersama dengan atropine untuk
mengontrol sekresi (Ganiswara, 1995).
Analgetik opioida merupakan kelompok obat yang memiliki sifat seperti
opium. Opium berasal dari getah Papaver somniverum, mengandung sekitar 20
jenis alkaloid diantaranya morfin, kodein, tebain dan papaverin (Ganiswara,
1995).
b. Analgesic Non-narkotika
Analgetik non-narkotika digunakan untuk mengurangi rasa sakit yang ringan
sampai moderat, sehingga sering disebut juga analgetik ringan. Analgetik non-
narkotika bekerja menghambat enzim siklooksigenase dalam rangka menekan
sintesis prostaglandin yang berperan dalam stimulus nyeri dan demam. Karena itu
kebanyakan analgetik non-narkotik juga bekerja sebagai antipiretik. Disebut juga
analgesic perifer karena tidak mempengaruhi susunan syaraf pusat. Semua
analgesic perifer memiliki khasiat sebagai antipiretik, yaitu menurunkan suhu
pada saat demam. Khasiatnya berdasarkan rangsangan terhadap pusat pengatur
kalor di hipotalamus, mengakibatkan vasodilatasi perifer di kulit dengan
bertambahnya pengeluaran kalor disertai keluarnya banyak keringat. Misalnya
paracetamol, asetosal, dll. Dan berkhasiat pula sebagai antiinflamasi, anti radang
atau anti flogistik. Anti radang sama kuat dengan analgetik, digunakan sebagai
anti nyeri atau rematik. Contohnya asetosal, asam mefenamat, ibuprofen.
Antiradang yang lebih kuat contohnya fenil butazon. Sedangkan yang bekerja
serentak sebagai nati radang dan analgesic contohnya indometazin (Tan dan
Rahardja, 2002).
2. Bagaimana mekanisme kerja obat analgetika non-narkotika ?
Jawab :
Golongan obat NSAIDs bekerja dengan menghambat enzim siklooksigenase
sehingga dapat mengganggu perubahan asam arachodonat menjadi prostaglandin
(Tan dan Rahardja, 2002).

3. Bagaimana mekanisme kerja obat analgetika-antipiretika dalam menurunkan suhu


tubuh ?
Jawab :
Obat analgesic-antipiretik memberikan rangsangan terhadap pusat pengatur kalor
(suhu) di hipotalamus yang memberikan vasodilatasi perifer di kulit dengan
bertambahnya pengeluaran kalor yang disertai dengan banyaknya keringat yang
keluar (Murniati, 2007).

4. Terangkan mengapa asam asetat dapat menginduksi rasa nyeri (geliat) ?


Jawab :
Asam asetat merupakan asam lemah yang tidak terkonjugasi dalam tubuh,
pemberian sediaan asam asetat terhadap hewan percobaan akan merangsang
prostaglandin untuk menimbulkan rasa nyeri akibat adanya kerusakan jaringan
atau inflamasi. Prostagalandin menyebabkan sensitisasi reseptor nyeri terhadap
stimulasi mekanik dan kimiawi sehingga prostaglandin dapat menimbulkan
keadaan hiperalgesia, kemudian mediator kimiawi seperti bradikinin dan
histamine merangsangnya dan menimbulkan nyeri yang nyata. Akibat dari adanya
rasa nyeri inilah hewan percobaan akan menggeliatkan kaki belakangnya saat
efek dari penginduksi ini bekerja. (Ernest, 1991).

DAFTAR PUSTAKA

Ernest, Mutschler. 1991. Dinamika Obat edisi kelima. Bandung : ITB Press.
Ganiswara, Sulistia G (Ed), 1995. Farmakologi dan Terapi, Edisi IV. Jakarta : Balai Penerbit
Falkultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Murniati, Dra, Apt. Dkk.2007. Farmakologi. Jakarta : K3S SMF provinsi DKI Jakarta.
Tan, H. T. Dan Rahardja. 2002. Obat-obat Penting. Jakarta : Gramedia Pustaka Umum.
Modul III
PENGUJIAN AKTIVITAS DIARE

1. Terangkan bagaimana mekanisme terjadinya diare yang disebabkan oleh oleum ricini!
Jawab :
Oleum ricini (minyak jarak) merupakan trigliserida yang berkhasiat sebagai
laksativ. Di dalam usus halus, minyak ini mengalami hidrolisis menghasilkan
asam risinoleat yang merangsang mukosa usus, sehingga mempercepat gerak
peristaltiknya dan mengakibatkan pengeluaran isi usus dengan cepat (Katzung,
2002).

2. Terangkan bagaimana kemungkinan mekanisme obat antidiare dapat menghambat


diare yang disebabkan oleh oleum ricini!
Jawab :
Mekanisme umum kerja dari obat antidiare adalah memperlambat motilitas saluran cerna
dengan mempengaruhi otot sirkular dan longitudinal usus. Obat ini berkaitan dengan reseptor
opioid, sehingga diduga efek konstipasinya disebabkan oleh ikatan obat antidiare dengan
reseptor tersebut (Ansel, 2005).

3. Tuliskan paling sedikit 6 macam obat antidiare !


Jawab :
a. Difenoksilat dengan Atropin
b. Donnagel
c. Garam garam bismut (pepto-bismol)
d. Kaolin Pektin (kaopectate)
e. Kodein
f. Loperamid
g. Paregorik
h. Parepektolin
i. Tinctur Opium
(Kee & Hayes, 1994).
DAFTAR PUSTKA

Ansel, Howard C. 2005. Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi Edisi Keempat. Jakarta : University
of Indonesia Press.

Katzung, B.G. 2002. Farmakologi Dasar dan Klinik, Buku 2 Edisi VIII. Jakarta : Penerbit Salemba
Medika.
Kee, Joyce L. dan Hayes, Evelyn R. 1994. Farmakologi. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran
EGC.
Modul IV
PENGUJIAN AKTIVITAS OBAT SSO

1. Jelaskan aktivitas golongan obat berikut dan tuliskan paling sedikit lima contoh obat
dan indikasi penggunaannya !
a. Simpatomimetika
b. Simpatolitika
c. Parasimpatomimetika
d. Parasimpatolitika

Jawab :

a. Simpatomimetika
Aktivitas dari golongan obat adrenergik dibagi dalam 7 jenis, yaitu:
- Perangsang perifer terhadap otot polos, pembuluh darah, kulit, mukosa
terhadap kelenjar liur dan keringat.
- Penghambat perifer terhadap otot polos usus, bronkus, dan pembuluh darah
otot rangka.
- Perangsang jantung, dengan akibat peningkatan denyut jantung dan kekuatan
kontraksi
- Perangsang sistem saluran pernafasan
- Efek metabolik, misalnya peningkatan glikogenelisis di hati dan otot dan
pelepasan asam lemak bebas dari jaringan lemak
- Efek endokrin, misalnya mempengaruhi sekresi insulin, renin dan hormone
hipofisis.
- Efek prasinaptik, dengan akibat hambatan atau peningkatan pelepasan
neurotransmitter (Haritsah,2011).
Contoh obat :

Yohimbin kombinasi dengan metiltestoteron


In : Impotensi pada laki-laki
Salmeterol
In : Obstruksi saluran nafas reversibel (termasuk asma noktural dan asma
karena latihan fisik) pada pasien yang memerlukan terapi bronkodilator
jangka lama yang seharusnya juga menjalani pengobatan antiinflamasi
inhalasi (kortikosteroid) atau kortikosteroid oral (catatan : salmeterol tidak
bisa untuk mengatasi serangan akut dengan cepat, dan pengobatan
pengobatan kortikosteroid yang sedang berjalan tidak boleh dikurangi
dosisnya atau dihentikan)
Epinefrin
In : Terutama sebagai analepticum, yakni obat stimulan jantung yang aktif
sekali pada keadaan darurat, seperti kolaps, shock anafilaktis, atau jantung
berhenti. Obat ini sangat efektif pada serangan asma akut, tetapi harus
sebagai injeksi karena per oral diuraikan oleh getah lambung
Norepinefrin
In : Pengobatan pada pasien shock atau sebagai obat tambahan pada injeksi
pada anastetika local.
Dopamin
In : Pengobatan pada pasien syok dan hipovolemia
(Tan & Rahardja, 2002).

b. Simpatolitika
Menghambat efek norepineprin (mencegah respon pada reseptor) atau melawan
efek perangsangan saraf-saraf simpatis.
Aktifitas :
- Penghambat adrenoseptor (adrenoseptor bloker)
Yaitu obat yang menduduki adrenoseptor baik alfa (a) maupun beta (b)
sehingga menghalanginya untuk berinteraksi dengan obat adrenergik.
Penghambat adrenoseptor ini dibagi menjadi dua yaitu, Antagonis
adrenoseptor alfa (alfa bloker) dan Antagonis adrenoseptor beta (beta bloker)
- Penghambat saraf adrenergic
Yaitu obat yang mengurangi respons sel efektor terhadap perangsangan saraf
adrenergik. Obat ini bekerja dengan cara menghambat sintesis, penyimpanan,
dan pelepasan neurotransmitter.
- Penghambat adrenergik sentral atau adrenolitik sentral
- Yaitu obat yang menghambat perangsangan adrenergik di SSP. Obat
penghambat adrenergik sentral atau adrenolitik sentral (Kee, 1996).
Contoh obat :
Prazosin (alfa bloker)
In : Hipertensi
Asebutolol (beta bloker)
In : Hipertensi dan irama cepat ventrikular pada orang dewasa
Guanetidinbetanidin (penghambat saraf adrenergik)
In : Hipertensi
Reserpin (penghambat saraf adrenergik)
in : Hipertensi esensial ringan, juga digunakan sebagai terapi tambahan
dengan obat hipertensi lain pada kasus hipertensi yang lebih berat.
klonidin (penghambat adrenergik sentral)
In : Hipertensi
metildopa (penghambat adrenergik sentral)
In : Hipertensi, bersama dengan diuretika; krisis hipertensi jika tidak
diperlukan efek segera
(Tan & Rahardja, 2002).
c. Parasimpatomimetika
Aktivitas dari golongan obat kolinergik, yaitu :
- Stimulasi pencernaan dengan jalan memperkuat peristaktik dan sekresi
kelenjar ludah, getah lambung (HCl) dan sekresi air mata.
- Memperkuat sirkulasi antara lain dengan mengurangi kegiatan jantung,
vasodilatasi dan mengakibatkan penurunan tekanan darah.
- Memperlambat pernafasan antara lain dengan menciutkan bronchi sedangkan
sekresi dahak diperbesar
- Kontraksi otot mata dengan efek penyempitan pupil (miosis) dan menurunnya
tekanan intraokuler akibat lancarnya pengeluaran air mata.
- Kontraksi kantung kemih dan ureter dengan efek memperlancar pengeluaran
urin
- Dilatasi pembuluh dan kontraksi otot kerangka, menekan system saraf pusat
setelah pada permulaan menstimulasinya (Tan & Rahardja, 2002).
Contoh obat :
Ambenonium
In : Menambah kekuatan otot masa kerja panjang
Karbakol
In : Menurunkan tekanan intraocular
Prostigmin
In : Miestania gravis, pencegahan distensi dan retensi urin pasca oprasi, retensi
urin, obat penghambat neuromuskular nondepolarisasi
Pilokarpin
In : Menurunkan tekanan intraocular
Fisostigmin
In : Untuk menurunkan tekana intraocular, masa kerja singkat
(Tan & Rahardja, 2002).
d. Parasimpatolitika
Menghambat kerja asetilkolin dengan menempati reseptor-reseptor asetilkolin
disebut dengan antikolinergik atau parasimpatolitik.
Reseptor-reseptor ini muskarinik yang merupakan reseptor-reseptor kolinergik,
berperan dalam respon jaringan dan organ terhadap antikolinergik karena
antikolinergik menghambat kerja asetilkolin dengan menempati tempat reseptor-
reseptor ini (Depkes, 2009).
Contoh obat :
Atropine
In : Mengurangi salivasi dan sekresi bronkial
Skopolamin
In : Obat pra-anestesi
Ekstrak beladona
In : Gangguan spastik (kejang) pada saluran pencernaan, saluran kemih dan
kelamin, saluran empedu.
Oksifenonium bromide
In : Gangguan saluran cerna yang ditandai oleh spasme otot polos.
Glikopirolat
In : Mengurangi sekresi dan tukak peptic
(Tan & Rahardja, 2002).

2. Jelaskan pengaruh obat-obat di atas terhadap berbagai organ efektor !


Jawab :
a. Simpatomimetik
- Pada pembuluh darah, konstriksi
- Pada jantung, peningkatan kekuatan dan laju denyut jantung
- Pada kandung kemih, Relaksasi dinding kandung kemih, konstriksi otot
spincter
- Pada kelenjar ludah, peningkatan sekresi saliva kental
- Pada pankreas, Peningkatan sekresi insulin (beta), penurunan sekresi (alfa)
- Pada paru-paru, relaksasi bronkus dan pelebaran saluran nafas (Kee, 1996).

b. Simpatolitik
- Pada SSP, menimbulkan efek sedativ atau stimulansi, mual dan muntah
- Pada mata, menimbulkan efek miosis
- Pada kardiovaskuler, terjadi sedikit penurunan tekanan darah diastolik, tetapi
pada waktu bediri atau pada penderita hipovolemia penurunan tekanan darah
sistolik dan diastolik lebih hebat sebagai akibat blokade refleks vasokontriksi,
blokade pressor respons NE dan Epinefrin.
- Pada saluran cerna, terjadi peningkatan motilitas dan sekresi kelenjar
- Pada saluran kemih-kelamin, terjadi gangguan ejakulasi, dan penurunan tonus
sfingter
- Efek metabolik, terjadi peningkatan pembebasan insulin (Kee, 1996).

c. Parasimpatomimetik
- Pada jantung, Penurunan laju dan kekuatan denyut jantung, menurunkan
tekanan darah akibat vasodilatasi dan memperlambat konduksi nodus AV
- Pada paru-paru, Konstriksi bronkiolus (2), penyempitan saluran nafas
- Pada mata, Pupil berkontriksi, menambah akomodasi
- Pada kandung kemih, Kontraksi dinding saluran kemih, relaksasi otot spincter
- Pada saluran cerna, Peningkatan akitivitas dinding saluran cerna (Kee, 1996).

d. Parasimpatolitik
- Pada paru-paru, Dilatasi bronkus dan mengurangi sekresi bronkial
- Pada mata, Dilatasi pupil mata dana paralisis otot siliaris, berkurangnya
akomodasi
- Pada kelenjar, Mengurangi salivasi, berkeringat, dan sekresi bronkial
- Pada gastrointestinal, Merelaksasi tonus otot polos gastrointestinal,
mengurangi motilitas dan peristaltic
- Pada SSP, mengurangi tremor dan rigiditas otot (Kee, 1996).

DAFTARPUSTAKA

Depkes. 2009. Farmakologi dan Terapi. Jakarta : FKUI.


Haritsah. 2011. Tinjauan Pustaka Obat Adrenergik. Available online at
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/26908/4/Chapter%20II.pdf [Diakses
pada 28 Maret 2015].
Kee, Joyce L. 1996. Farmakologi Pendekatan Proses Keperawatan. Jakarta : EGC.
Tan, Tjay dan Rahardja, Kirana. 2002. Obat-Obat Penting: Khasiat, Penggunaan, Dan Efek-
Efek Sampingnya, Edisi V, Cetakan I, 599-618. Jakarta : Elex Media Komputindo.
Modul V
PENGUJIAN AKTIVITAS HORMONE DAN TERAPI PENGGANTI HORMON
-
Modul VI
HUBUNGAN DOSIS DAN RESPONS OBAT
PENENTUAN INDEK TERAPI DAN LD50

1. Bagaimana cara menghitung indeks terapi suatu obat?


Jawab:
Indeks terapi =

LD 50 = dosis yang dapat membunuh 50 % hewan percobaan


ED 50 = dosis efektif pada 50 % hewan percobaan ( Mary J.Myceh, 2001).

2. Diskusikan konsep indeks terapi dari segi efektifitas dan keamanan pemakaian obat ?
Jawab:
Obat dengan luas indeks terapi sempit yaitu obat dengan selisih kecil anatara
dosis terapi dan dosis toksisitasnya, sehingga mudah sekali menimbulkan
keracunan bila dosis normalnya dilampau atau Indeks terapi sempit menandakan
bahwa obat tidak aman diberikan dalam dosis berlebih. Sedangkan indeks terapi
sempi menandakan bahwa obat akan aman bila diberikan dalam dosis berlebih
(Tan & Kirana, 2007).

3. Diskusikan implikasi terapi suatu obat dengan kurva dosis respons yang terjal dan
yang datar !
Jawab:
Slope kurva dosis-respons bervariasi dari suatu obat ke obat lainnya. Suatu slope
yang curam menunjukkan bahwa suatu peningkatan dosis yang kecil
menghasilkan suatu perubahan yang besar. Sedangkan slope yang datar
menunjukkan bahwa suatu obat akan menimbulkan suatu perubahan berupa efek
jika dalam dosis yang besar (Katzung, 1989).

4. Sebutkan beberapa pendekatan untuk memperbesar ketelitian eksperimen ini


khususnya untuk mendapatkan ED50 ?
Jawab:
Dosis obat dalam plasma diplot dalam sumbu horisontal sedangkan persentase
individu (hewan atau manusia) yang menanggapi atau menunjukkan efek toksik
direpresentasikan dalam sumbu vertikal. kit kepala untuk obat antimigraine,
peningkatan denyut jantung minimal 20 bpm untuk stimulan jantung, atau 10
jatuh mmHg pada tekanan darah diastolik untuk antihipertensi. -respons dinilai,
data untuk kurva dosis-respons quantal diperoleh dari banyak individu (Guzman,
2011).

DAFTAR PUSTAKA

Guzman, Flavio. 2011. Terapi Indeks. Diakses onlie di


http://translate.google.co.id/translate?hl=id&langpair=en|id&u=htp://pharmacoloycorne
r.com/therapeutic-index [diakses tanggal 19 April 2015]
Katzung.1989. Farmakologi Dasar dan Klinik Edisi 3. Jakarta : EGC.
Maycek, Mary J. 2001. Farmakologi Ulasan Bergambar edisi 2. Jakarta : Widya Medika.
Tjay, Tan Hoan dan Drs. Kirana Rahardja. 2007. Obat-Obat Penting : Khasiat, Penggunaan
dan Efek-Efek Sampingnya. Jakarta : PT. Elex Media Komputindo
MODUL VII
PENGUJIAN AKTIVITAS ANTIINFLAMASI

1. Jelaskan mekanisme terbentuknya radang !


Jawab :
Aktifitas peradangan yang disebabkan oleh mediator inflamasi dimulai dengan
dilatasi pembuluh darah arterial dan pembuluh darah kapiler setempat untuk
menciptakan kondisi hiperemi. Setelah itu, akan terjadi kontraksi endotel dinding
kapiler yang dapat meningkatkan permeabilitas vaskuler, sehingga akan terbentuk
eksudat di interstisium daerah yang mengalami peradangan. Apabila pembuluh
darah kapiler cedera akibat peradangan, maka dinding pembuluh darah kapiler
menjadi lebih permeabel dan akan lebih mudah dilalui oleh larutan protein yang
berupa koloid. Peningkatan permeabilitas tersebut menyebabkan peningkatan
jumlah cairan yang keluar dari pembuluh darah kapiler. Cairan tersebut akan
mengisi jaringan sekitar radang dan menyebabkan edema, sehingga akan terlihat
gejala radang yaitu pembengkakan. Larutan protein (koloid) dapat dengan mudah
keluar melalui dinding pembuluh darah kapiler yang cedera/rusak tersebut.
Molekul protein awal yang keluar dari pembuluh darah adalah albumin,
kemudian diikuti oleh molekul-molekul protein yang lebih besar (globulin dan
fibrinogen). Kondisi ini menyebabkan cairan edema mempunyai kadar protein
yang tinggi. Kadar protein yang tinggi dalam plasma di jaringan tersebut akan
mengakibatkan peningkatan tekanan osmotik dalam jaringan, sehingga
menghalangi cairan plasma tersebut masuk ke dalam pembuluh darah kapiler
(Tjarta, 1973). Gejala radang utama diantaranya adalah nyeri, kemerahan, panas,
kebengkakan, serta gangguan pada fungsi tubuh normal. Rasa nyeri (dolor)
disebabkan oleh zat-zatmediator inflamasi seperti histamin dan adanya tekanan
tehadap jaringan oleh eksudat (Boden, 2005).
Warna merah (rubor) terjadi karena adanya peningkatan sirkulasi darah di
daerah radang dan vasodilatasi dari kapiler. Panas (calor) terjadi akibat
peningkatan sirkulasi darah di daerah radang. Pembengkakan (tumor) disebabkan
oleh adanya eksudat di jaringan daerah radang (Boden, 2005).
2. Sebutkan obat-obat antiinflamasi dan jelaskan mekanisme kerjanya. Apakah ada di
antara obat-obat tersebut yang juga dapat menghilangkan rasa nyeri dan meredakan
demam?
Jawab :
Obat antiinflamasi (anti radang) non steroid, atau yang lebih dikenal dengan
sebutan NSAID (Non Steroidal Anti-inflammatory Drugs) adalah suatu golongan
obat yang memiliki khasiat analgesik (pereda nyeri), antipiretik (penurun panas),
dan antiinflamasi (anti radang) (Depkes RI, 2000).
a. Ibuprofen
Cara kerja : menghambat reaksi inflamasi dan rasa sakit dengan mengurangi
sintesis prostaglandin (Depkes RI, 2000).
b. Naproxen
Cara kerja : mengurangi aktivitas sikloolsigenase, yang bertanggung jawab
pada sintesis prostaglandin. NSAID menurunkan tekanan intraglomerular dan
penurunan proteinuria (Depkes RI, 2000).
c. Aspirin
Cara kerja : menghambat produksi prostaglandin dan menghambat enzim
COX-2. Molekul aspirin menempel pada COX-2 untuk menghambat reaksi
kimia. Bila tidak ada reaksi kimia maka tidak ada pesan yang di transmisikan
ke otak untuk mempeoduksi prostaglandin, sehingga rasa nyeri hilang / tidak
ada (Depkes RI, 2000).
d. Indometasin
Cara kerja : menghambat prostaglandin dengan membentuk ikatan dengan
enzim siklooksigenase sehingga asam arachidonat ridak dapat berikatan
dengan enzim dan prostaglandin todak terbentuk (Depkes RI, 2000).

Obat antinflamasi steroid


a. Metilprednisolon
Cara kerja : menghambat fagositosis, pelepasan enzim lisosomal, sintesis dan
atau pelepasan beberapa mediator kimia inflamasi. Meskipun mekanisme yang
pasti belum diketahui secara lengkap, kemungkinan efeknya melalui blokade
faktor penghambat makrofag (MIF), menghambat lokalisasi makrofag: reduksi
atau dilatasi permeabilitas kapiler yang terinflamasi dan mengurangi lekatan
leukosit pada endotelium kapiler, menghambat pembentukan edema dan
migrasi leukosit; dan meningkatkan sintesis lipomodulin (macrocortin), suatu
inhibitor fosfolipase A2-mediasi pelepasan asam arakhidonat dari membran
fosfolipid, dan hambatan selanjutnya terhadap sintesis asam arakhidonat-
mediator inflamasi derivat (prostaglandin, tromboksan dan leukotrien)
(Depkes RI, 2000).
b. Deksametason
Cara kerja : Mengurangi inflamasi dengan menekan migrasi neutrofil,
mengurangi produksi mediator inflamasi, dan menurunkan permeabilitas
kapiler yang semula tinggi dan menekan respon imun (Depkes RI, 2000).
c. Betametason
Cara kerja : Mengontrol kecepatan sintesis protein, menekan migrasi leukosit
polimorfonuklear, fibroblast, mengubah permeabilitas kapiler dan stabilisasi
lisosomal pada level selular untuk mencegah atau mengontrol inflamasi
(Depkes RI, 2000).
d. Hidrokortison
Cara kerja : Menurunkan inflamasi dengan menekan migrasi leukosit
polimorfonuklear, dan peningkatkan permeabilitas kapiler (Depkes RI, 2000).

3. Jelaskan efek samping obat-obat antiinflamasi tersebut !


Jawab :
a. Ibuprofen
Efek samping : menyebabkan masalah jantung atau sirkulasi darah yang
mengancam jiwa, seperti serangan jantung atau stroke bila di konsumsi jangka
panjang (Depkes RI, 2000).
b. Naproxen
Efek samping : gangguan jantung, stroke, efek serius pada perut atau usus,
termasuk pendarahan atau perforasi (pembentukan lubang) (Depkes RI, 2000).
c. Aspirin
Efek samping : penyebab kejang pada pasien asma dan timbulnya pendarahan
(Depkes RI, 2000).
d. Indometasin
Efek samping : sakit kepala, pusing, muntah, diare, sembelit, ruam, iritasi
rectum, bengkak pada mata wajah, lidah, bibir, tenggorokan, tangan, kaki serta
kulit pucat (Depkes RI, 2000).
e. Metilprednisolon
Efek samping : Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit : retensi cairan
tubuh retensi natrium, kehilangan kalium, alkalosis, hypokalemia, gangguan
jantung kongestif, hipertensi. Gangguan muskuloskeletal : lemah otot, mipati
steroid, hilangnya masa otot, osteoporosis, putus tendon, (terutama tendon
achilles) fraktur vertebral, nekrosis aseptik pada ujung tulang paha dan tungkai
fraktur patologis dari tulang panjang. gangguan pencernaan : borok lambung
(peptic ulcer) kemungkinan disertai perforasi dan perdarahan. pankreatitis,
kembun, peningkatan SGPT (Glutamate Piruvat Transaminase Serum), SGOT
(Glutamate Oksaloasetat Transaminase Serum), dan enzim fosfatase alkalin
serum. Umumnya tidak tinggi dan bersifat reversibel, akan turun kembali jika
terapi dihentikan (Depkes RI, 2000).
f. Deksametason
Efek samping : Kardiovaskuler : Aritmia, bradikardia, henti jantung,
kardiomiopati, CHF, kolaps sirkulasi, edema, hipertens, ruptur miokardial
(post-MI), syncope, tromboembolisme, vasculitis. Susunan saraf pusat :
Depresi, instabilitas emosional, euforia, sakit kepala, peningkatan tekanan
intracranial, insomnia, malaise, neuritis, pseudotumor cerebri, perubahan
psikis, kejang, vertigo. Dermatologis : Akne, dermatitis alergi, alopecia,
angioedema, kulit kering, erythema, kulit pecah-pecah, hirsutism, hiper-
/hipopigmentasi, hypertrichosis, perianal pruritus (pemberian IV), petechiae,
rash, atrofi kulit, striae, urticaria, luka lama sembuh (Depkes RI, 2000).
g. Betametason
Efek samping : Absorpsi melalui kulit dapat mensupresi adrenal dan sindrom
cushing tergantung luas permukaan kulit dan lama pengobatan. Pada kulit
dapat terjadi peningkatan lebar dan buruknya infeksi yang tidak diobati,
penipisan kulit dan perubahan struktur kulit, dermatitis kontak, dermatitis
perioral. Timbul jerawat atau memperparah jerawat, depigmentasi sedang dan
hipertrikosis (Depkes RI, 2000).
h. Hidrokortison
Efek samping : gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit : retensi cairan,
retensi natrium, gangguan jantung kongestif : kehilangan kalium, alkalosis
hipokalemia, hipertensi. Gangguan muskuloskeletal : nekrosis aseptik pada
ujung tulang paha dan tungkai, fraktur patologis dari tulang panjang. Lemah
otot : miopati steroid, hilangnya masa otot, osteoporosis, putus tendon,
terutama tendon achilles, fraktur vertebral. Gangguan pencernaan : iritasi dan
rasa tidak enak di lambung, kembung, borok lambung (peptic ulcer)
kemungkinan disertai perforasi dan perdarahan, borok esophagus (ulcerative
esophagitis), pankreatitis. Gangguan dermatologis : gangguan penyembuhan
luka, kulit menjadi tipis dan rapuh, petechiae dan ecchymoses, erythema pada
wajah, keringat berlebihan. Gangguan metabolisme : keseimbangan nitrogen
negatif, yang disebabkan oleh katabolisme protein. Gangguan neurologis :
tekanan intrakranial meningkat disertai papilledema (pseudo-tumor cerebri),
biasanya setelah terapi, konvulsi, vertigo, sakit kepala, pusing, depresi, rasa
cemas berlebihan. Gangguan endokrin : menstruasi tak teratur, cushingoid,
menurunnya respons kelenjar hipofisis dan adrenal, terutama pada saat stress,
misalnya pada trauma, pembedahan atau sakit. Hambatan pertumbuhan pada
anak-anak menurunnya toleransi karbohidrat, manifestasi diabetes mellitus
laten. Perlunya peningkatan dosis insulin atau oho (obat hipoglikemik oral)
pada pasien yang sedang dalam terapi diabetes mellitus, katarak subkapsular
posterior, tekanan intraokular meningkat, glaucoma (Depkes RI, 2000).

DAFTAR PUSTAKA

Boden G. 2005. Free Fatty Acids in Insulin Secretion in Humans. Current Diab Reports 5:
167-170, 2005.
Tjarta, Achmad, dkk. 1973. Kumpulan Kuliah Patologi. Jakarta : Bagian Patologi Anatomi
FKUI.
Depkes RI. 2000. Informatorium Obat Nasional Indonesia. Jakarta : Departemen Kesehatan
Republik Indonesia Direktorat Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan
Modul VIII

PENGUJIAN AKTIVITAS ANTIDEPRESI

1. Sebutkan penggolongan obat antidepresi beserta contoh-contohnya !


Jawab :
a. Golongan trisiklik : imipramine, amitriptiline, clomipramine, desipramine,
doxepine, nortriptyline, protriptyline, trimipramine (Syarif, 2007).
b. Golongan tetrasiklik (generasi kedua dan ketiga) atau Tetracyclics (TCAs) :
amoxapine, maptrotiline, trazodone, bupropion, mirtazapine, nefazodone
(Syarif, 2007).
c. Golongan SSRI (Selective Serotonin Reuptake Inhibitor) : fluoxetine,
paroxetine, setraline, fluvoxamine, citalopram (Syarif, 2007).
d. Penghambat MAO (Mono-amine Oxidase Inhibitor) : isokarboksazid,
phenelzine, tranylcypromine (Syarif, 2007).
e. Golongan SNRI (Serotonine Norephinephrine Reuptake Inhibitor) atau
Atypical : venlafaxine, tradozone, nefazodone, mirtazapine, bupropion (Potter,
2002).

2. Jelaskan mekanisme kerja obat antidepresi !


Jawab :
a. Golongan Trisiklik dan Golongan Heterosiklik
Efek jangka pendek obat trisiklik dan tetrasiklik adalah untuk menurunkan
ambilan kembali norepinefrin dan serotonin dan menghambat reseptor
asetilkolin muskarinik dan histamin. Pemberian jangka panjang obat risiklik
dan tetrasiklik menyebabkan penurunan jumlah reseptor adrenergik- dan,
kemungkinan, penurunan yang serupaa dalam jumlah reseptor serotonin tipe 2
(5-HT2) (Syarif, 2007).
b. Golongan SSRI
SSRI memiliki dua ciri yang sama : Pertama, mereka memiliki aktivitas
spesifik dalam hal inhibisi ambilan kembali serotonin tanpa efek pada ambilan
kembali norepinefrin dan dopamin. Kedua, SSRI pada intinya tidak memiliki
sama sekali aktivitas agonis dan antagonis pada tiap reseptor neurotransmiter.
Tidak adanya aktivitas pada reseptor antikolinergik, antihistaminergik, dan
anti-adrenergik-1 adalah dasar farmakologis untuk rendahnya insidensi efek
samping yang terlihat pada pemberian SSRI (Syarif, 2007).
c. Penghambat MAO
MAO menginaktifasi monoamin (NE, serotonin, dopamin) yang keluar dari
vesikel sehingga monoamin dalam neuron berkurang. Obat MAOI juga
menghambat inaktivasi monoamin oleh MAO, sehingga monoamin tetap aktif
dan berdifusi kedalam ruang sinaps (Syarif, 2007).
d. Golongan SNRI
Bekerja dengan cara mempengaruhi baik system serotonernik maupun
norepinefrin. SNRI menyebabkan penguatan aktivitas neurotransmitter di
sistem syaraf pusat, yang barangkali terjadi akibat penghambatan asupan ulang
serotonin dan noradrenalin (Potter, 2002).

DAFTAR PUSTAKA

Syarif, A. 2007. Farmakologi dan Terapi edisi V. Jakarta : Departemen Farmakologi dan
Teraupetik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
Potter W Z, Hollister L E. 2002. Agen-Agen Antidepresi : Farmakologi Dasar dan Klinik
edisi VIII. Jakarta: Salemba Medik
Modul IX
Pengujian Aktivitas Lokomotor

1. Jelaskan mekanisme kerja obat sedatif-hipnotik golongan benzodiazepin dan


barbiturate dan berikan paling sedikit 6 contoh obat masing-masing !
Jawab :
a. Benzodiadepin
Benzodiazepin berikatan langsung pada sisi spesifik (subunit ) reseptor
GABAA (reseptor kanal ion klorida kompleks), sedangkan GABA berikatan
pada subunit atau . Pengikatan ini akan menyebabkan pembukaan kanal
klorida, memungkinkan masuknya ion klorida ke dalam sel, menyebabkan
peningkatan potensial elektrik sepanjang membran sel dan menyebabkan sel
sukar tereksitasi. Hal ini menghasilkan efek anxiolisis, sedasi, amnesia
retrograde, potensiasi alkohol, antikonvulsi dan relaksasi otot skeletal
(Purnomo dkk, 2004).
Contoh : midazolam, diazepam, lorazepam, alprazolam, bromazepam,
prazepam (Purnomo dkk, 2004).

b. Barbiturate
Barbiturat mempengaruhi GABA-benzodiazepine komplek kanal ion klorida
(GABAA). Ikatan ini akan meningkatkan lama pembukaan kanal ion klorida
yang diaktivasi oleh GABA, sehingga membuat sel dalam keadaan
hiperpolarisasi dan mengurangi eksitabilitas neural. Pada konsentrasi tinggi,
barbiturate juga bersifat sebagai GABA-mimetik dimana akan mengaktifkan
kanal klorida secara langsung. Peristiwa ini menyebabkan masuknya ion
klorida pada badan neuron sehingga potensial intramembran neuron menjadi
lebih negative. Barbiturat bekerja secara tidak selektif. Selain mengaktifkan
reseptor GABA, Barbiturat juga mendepresi neurotransmitter eksitatorik.
Ketidakselektifan ini mungkin mendasari kemampuan barbiturat yang dapat
berfungsi sebagai anestesi total dan kuatnya efek depresi saraf pusat (Katzung,
2004).
Contoh : fenobarbital, allobarbital, amobarbital, barbital, pentobarbital,
secobarbital (Hikmat, 2013).
2. Amfetamin dan kafein merupakan salah satu obat yang merangsang SSP, terangkan
begaimana mekanisme kerjanya!
Jawab :
a. Amfetamin
Mekanisme kerja amfetamin pada susunan saraf dipengaruhi oleh pelepasan
biogenik amine yaitu dopamin, norepinefrin, atau serotonin atau pelepasan
ketiganya dari tempat penyimpanan pada persinap yang terletak pada akhiran
saraf. Pada dopamin didapati bahwa amfetamin menghambat re uptake
dopaminergik dan sinapstosom di hipotalamus dan secara langsung
melepaskan dopamin yang baru disintesa.
Pada norepinefrin, amfetamin memblok re uptake norepinefrin dan juga
menyebabkan pelepasan norepinefrin baru, penambahan atau pengurangan
karbon diantara cincin fenil dan nitrogen melemahkan efek amfetamin pada
pelepasan reuptake norepinefrin.
Pada serotonin, devirat metamafetamin dengan elektron kuat yang menari
penggantian pada cincin fenil akan mempengaruhi sistim serotoninergik.
Sehingga, dapat disimpulkan bahwa ketiga kerja reseptor biogenik tersebut
saling mempengaruhi satu sama lain (Japardi, 2002).

b. Kafein
Mekanisme kerja kafein dalam tubuh adalah dengan menyaingi fungsi
adenosin, salah satu senyawa dalam sel otak yang membuat orang mudah
tertidur. Namun berbeda dengan ikatan adenosin asli dengan reseptor, kafein
tidak memperlambat gerak sel tubuh. Lama kelamaan sel-sel tubuh tidak akan
bekerja lagi terhadap perintah adenosin. Kafein akan membalikkan semua
kerja adenosin, sehingga tubuh tidak lagi mengantuk, tetapi muncul perasaan
segar, sedikit gembira, mata terbuka lebih lebar, namun jantung juga akan
berdetak lebih cepat, tekanan darah naik, otot-otot berkontraksi dan hati akan
melepas gula ke aliran darah yang akan membentuk energi ekstra (Lawani,
2006).
DAFTAR PUSTAKA

Hikmat. 2013. Apakah Barbiturat?. Tersedia online di


http://hikmat.web.id/uncategorized/apakah-barbiturat/ [diakses tanggal 09 Mei 2015].
Japardi, I. 2002. Patofisiologi Stroke Infark Akibat Tromboemboli. Medan : Bagian Bedah
FK-USU.
Katzung, BG. Farmakologi Dasar dan klinik. Buku 2, edisi 8. Jakarta : Salemba Medika
Lawani, Misran. 2006. Food Science and Technology : Kafein dan Kesehatan. Tersedia di
http://misranlawani.weebly.com/ [diakses tanggal 09 Mei 2015]
Purnomo, Loka., Darsono, L. dan Santosa, S. 2004. Efektivitas Infusa Kayu Ules (Helicteres
isora L.) sebagai Obat Hipnotik Sedatif. Volume 3, Nomor 2
Modul X
PENGUJIAN AKTIVITAS ANTIDIABETES

1. Jelaskan penyakit diabetes dan etiologinya !


Jawab :
Diabetes melitus adalah gangguan metabolisme yang ditandai dengan
hiperglikemia dan glukosuria yang berhubungan dengan abnormalitas
metabolisme karbohidrat, lemak dan protein yang diakibatkan kurangnya insulin
yang diproduksi oleh sel pulau Langerhans kelenjar Pankreas baik absolut
maupun relatif. Bila terjadi gangguan pada kerja insulin, baik secara kualitas
maupun kuantitas, maka keseimbangan akan terganggu, dan kadar glukosa darah
cenderung naik (hiperglikemia) (Herman, 1993).
Etiologi :
a. Genetik atau Faktor Keturunan
Diabetes Melitus tidak bisa menular melainkan diturunkan oleh orang tua
kepada anak, anggota keluarga yang menderita Diabetes Melitus memiliki
kemungkinan lebih besar terserang diabetes melitus dibandingkan dengan
keluarga yang tidak pernah terserang diabetes melitus.
b. Ovarium Polikistik atau Diabetes Melitus Gestasional
Menyebabkan peningkatan produksi androgen di ovarium dan resistensi
insulin serta merupakan salah satu kelainan endokrin tersering pada wanita,
dan kira-kira mengenai 6 persen dari semua wanita, selama masa
reproduksinya.
c. Etiologi Diabetes karena Pola Makan yang Salah
Kebanyakan makan karbohidrat, minuman manis, soda, menyebabkan obesitas
dan mengakitkan organ pankreas untuk bekerja lebih menghasilkan insulin
akibatnya, sel beta pankreas mengalami kerusakan dan menghasilkan insulin
semakin lama semakin sedikit untuk tubuh (Solomon, 2015).

2. Tuliskan macam-macam obat antihiperglikemik oral dan mekanisme kerjanya !


Jawab :
a. Metformin mempunyai mekanisme kerja bukan meningkatkan sekresi insulin
di sel beta pankreas akan tetapi terutama bekerja menghambat produksi
glukosa oleh hati dengan menekan glukoneogenesis dan glikogenolisis. Selain
itu metformin bekerja pada daerah jaringan perifer dengan meningkatkan
asupan glukosa (glucose-uptake) dan menghambat absorbsi glukosa di usus
(Darman, 2011).

b. Glimepiride adalah golongan sulfonilurea generasi ke 3 yang mempunyai


kelebihan dari generasi sebelumnya yaitu selain meningkatkan sekresi insulin,
juga meningkatkan asupan glukosa di perifer dengan memacu
translokasi GLUT 4 untuk masuknya glukosa dalam sel dan efek
hipoglikemik yang minimal dan tidak menyebabkan vasokonstriksi perifer.
Golongan obat nonsulfonilurea seperti repaglinide, nateglinide mempunyai
tempat reseptor tersendiri atau berbeda dengan tempat reseptor sulfonilurea
dan tidak memacu secara langsung eksositosis insulin dalam meningkatkan
sekresi insulin. Obat ini dikenal dengan Prandial Glucose Regulator
sehingga timbul konsep No Meal- No Dose (Darman, 2011).

c. Repaglinide adalah AHO yang mempunyai struktur molekuler, mekanisme


kerja, dan ekskresi yang unik. Walaupun bukan sulfonilurea akan tetapi obat
ini dimasukkan kedalam kelompok insulin secretagogue karena mekanisme
kerjanya merangsang sekresi insulin dari sel beta pankreas akan tetapi waktu
paruhnya pendek dan sebagian besar tidak diekskresi lewat ginjal serta cepat
diabsorbsi (Darman, 2011).

d. Sulfonilurea bekerja dengan meningkatkan sekresi insulin pada sel beta


pankreas dengan menghambat dan menutup ATP dependent K channel,
sehingga K efflux menurun, terjadi retensi kalium (K) , menyebabkan
depolarisasi yang membuka votage Ca ++ channel mengakibatkan influx
Ca++ meningkat, merangsang eksositosis granula insulin sehingga akhirnya
sekresi insulin meningkat. Selain itu sulfonilurea dapat berfungsi menekan sel-
sel alfa menghasilkan glukagon dan merangsang sel delta untuk meningkatkan
sekresi somatostatin yang merupakan penghambat glucagon (Darman, 2011).
DAFTAR PUSTAKA

Darman. 2011. Terapi Kombinasi AHO Untuk Diabetes Melitus 2. Tersedia di


http://dokternetworkangk97.com/2011/02/terapi-kombinasi-obat antihiperglikemik.html
[diakses 17 Mei 2015]
Herman, F. 1993. Penggunaan Obat Hipoglikemik Oral pada Penderita Diabetes Melitus.
Pharos Bulletin No. 1
Solomon. 2015. Etiologi Diabetes Metlitus. Tersedia di http://diabetes-
melitus.net/daniel/etiologi-diabetes-melitus/ [diakses 17 Mei 2015]
Modul XI
SKRINING FARMAKOLOGI

1. Jelaskan apa yang diketahui tentang tahap-tahap pengembangan obat baru sejak
skrining sampai dapat digunakan dalam terapi !
Jawab :
Tahap pengembangan obat baru dimulai dari :
a. Meneliti dan skrining bahan obat
b. Meneliti dan mensintesis zat/senyawa analog dari obat yang sudah ada dan
diketahui efek farmakologinya
c. Meneliti dan mensintesis dan membuat variasi struktur
d. Dikembangkan obat alami dengan serangkaian pengujian yang dilaksanakan
secara sistematik, terencana dan terarah (Ganiswara, 1995).

Tahap-tahap diatas dapat dilakukan dengan uji pra-klinik dan klinik.


a. Uji pra-klinik
Suatu senyawa baru terlebih dahulu di uji dengan serangkaian uji farmakologi
pada hewan. Dibutuhkan waktu beberapa tahun untuk meneliti sifat
farmakodinamik, farmakokinetik, farmasetika dan efek toksiknya pada hewan
uji (Ganiswara, 1995).
b. Uji klinik
Suatu pengujian khasiat obat baru pada manusia, dimana sebelumnya diawali
oleh pengujian pada hewan uji. Uji klinik memastikan efektivitas keamanan
dan gambaran efek samping yang sering timbul pada manusia akibat
pemberian suatu obat. Uji klinikn terdiri dari 4 fase. Fase I meneliti keamanan
dan tolerabilitas obat. Fasa II meneliti efek terapi obat. Fasa III untuk
memastikan bahwa obat baru benar-benar berkhasiat dan untuk mengetahui
kedudukannya disbanding obat standard. Fasa IV merupakan survey
epidemiologic menyangkut efek samping maupun efektivitas obat (Ganiswara,
1995).

2. Rumuskan secara garis besar rancangan suatu skrining yang mencangkup pemilihan
hewan, percobaan dan jenis skrining sampai diperoleh suatu kepastian akan khasiat
farmakologis untuk suatu senyawa yang baru berhasil diisolasi dari suatu tanaman dan
belum ada informasi baik mengenai sifat kimia maupun difat farmakologinya !
Jawab :
- Hewan percobaan : mencit atau tikus, sehat/normal, tidak cacat, aktif. Terdiri
atas hewan uji dua ekor, hewan kontrol satu ekor.
- Percobaan : uji neurofarmakologik meliputi pengamatan terhadap sikap,
neurologis, dan fungsi otonom.
- Skrinning yang dilakukan adalah skrinning buta karena tidak diketahui khasiat
obat dan struktur kimianya.

Percobaan :
Sebelum diberikan perlakuan, amati keadaan neurofarmakologisnya selama 2
menit untuk semua hewan. Kemudian, setelah 5 menit pemberian obat uji
kepada hewan uji, lakukan uji neurofarmakologis dan amati responnya untuk
semua hewan uji. Hal tersebut di lakukan kembali dalam kurun waktu 10, 15,
20, 30, 60, dan 90 menit setelah pemberian obat (Ganiswara, 1995).

3. Apa yang dimaksud dengan reliabilitas, validitas dan obyektivitas dalam suatu
percobaan?
Jawab :
a. Reliabilitas
Suatu tingkatan yang mengukur konsistensi hasil jika dilakukan pengukuran
yang berulang pada suatu karakteristik (Malhotra & Birks, 2007).
b. Validitas
Suatu tingkatan yang mengukur karakteristik yang ada di dalam percobaan.
Atau ketepatan alat ukur ketika mengukur yang di ukur (Malhotra & Birks,
2007).
c. Obyektivitas
Suatu hal yang ingin diketahui atau di teliti. Obyektivitas menekankan prinsip
standarisasi observasi dan konsistensi. Pengamatan berdasarkan apa yang
terjadi pada objek pengamatan benar-benar terjadi, bukan berdasarkan feeling
atau perasaan seorang pengamat (Arif, 2014).
4. Jelaskan hubungan antara gejala-gejala neurofarmakologis yang tercantum dalam
tabel dengan jenis aktivitas obatnya !
Jawab :
SIKAP
a. Awareness
Alertness : depresan / sedatif
Visual placing : depresan / sedatif
Stereotypy : depresan / sedatif
Passivity : depresan / sedatif

b. Mood
Grooming : stimulasi parasimpatik
Vocalization : stimulasi menyakitkan
Restlessness : stimulasi simpatik
Irritability : stimulasi simpatik
Fearfulness : stimulasi simpatik

c. Aktivitas motoric
Aktivitas spontan : depresan
Reaktivitas : depresan
Touch response : analgesik
Respon nyeri : analgesik

PROFIL NEUROLOGIS
a. Eksitasi SSP
Startle response : Stimulasi SSP
Stroub renponse : Stimulasi SSP
Tremor : Stimulasi SSP
Konvulsi : Stimulasi SSP

b. Inkoordinasi motoric
Posisi tubuh : Hambatan neuromuskular/gangguan SSP
Posisi anggota badan : Hambatan neuromuskular/gangguan SSP
Staggering gait : Hambatan neuromuskular/gangguan SSP
Abnormal gait : Hambatan neuromuskular/gangguan SSP
Somersault-test : Hambatan neuromuskular/gangguan SSP

c. Tonus otot
Otot anggota tubuh : sedatif/gangguan SSP
Grip strength : sedatif/gangguan SSP
Body tone : sedatif/gangguan SSP
Abdominal tone : sedatif/gangguan SSP

d. Reflex
Pinna : Penghambatan saraf sensoris
Corneal : Penghambatan saraf sensoris
Ipsilaterial flexor : Penghambatan saraf sensoris

PROFIL OTONOMIK
a. Optik
Ukuran pupil : Parasimpatolik / simpatik
Pembukaan palpebral : Parasimpatolik / simpatik
Exophtalmus : Parasimpatolik / simpatik

b. Sekresi
Urinasi : Aktivitas muskarinik/ parasimpatik
Salivasi : Aktivitas muskarinik/ parasimpatik

c. Umum
Writhing : Stimulasi reseptor sensori
Piloekresi : Simpatomimetik
Hypothermis : Simpatomimetik
Warna kulit : Vasodilatasi / Simpatomimetik
Kec. denyut jantung : Simpatik / parasimpatik / depresan
Kec. respirasi : Simpatik / parasimpatik / depresan
(Darazy, 2012).
DAFTAR PUSTAKA

Arif, Andrew. 2014. Saat Aliran Scientific Berlaku di Kalangan Para Ahli Ilmu Eksa.
Tersedia online di http://m.kompasiana.com/post/read/670352/1/saat-aliran-scientific-
berlaku-dikalangan-para-ahli-ilmu-eksa.html [diakses tanggal 18 Mei 2015].
Darazy. 2012. Tersedia online di https://www.scribd.com/doc/8978-3228/diah-
farmol#download [18 Mei 2015].
Ganiswara, S.G., Setiabudi, R., Suyatna, F.D., dan Purwantyastuti, Nafrialdi. 1995.
Farmakologi dan Terapi edisi IV. Jakarta : Bagian Farmakologi FK UI.
Malhotra, N.K. dan Birks, D.F. 2007. Marketing Research : an Applied Approach, 3rd
European Edition. UK : Pearson Education.
Modul XII
PENGUJIAN AKTIVITAS ANTIHIPERURISEMIA

1. Jelaskan mekanisme terjadinya hiperurikemia dan mekanisme kerja obat yang dapat
digunakan untuk mengatasinya !
Jawab :
Hiperurikemia adalah keadaan dimana terjadi peningkatan kadar serum asam urat
di dalam darah (di atas 7,0 mg/dl untuk pria dan 6,0 mg/dl untuk wanita). Asam
urat merupakan produk akhir dari degradasi purin. Pada kondisi normal, jumlah
asam urat yang terakumulasi sekitar 1200 mg pada pria dan 600 mg pada wanita
(Ernst et al, 2008).
Berdasarkan patofisiologinya, hiperurikemia terjadi akibat beberapa hal yaitu,
peningkatan produksi asam urat, penurunan ekskresi asam urat dan gabungan dari
keduanya (Murray et. all, 2006).
Peningkatan produksi asam urat terjadi akibat peningkatan kecepatan biosintesa
purin dari asam amino untuk membentuk inti sel DNA dan RNA. Peningkatan
produksi asam urat juga dapat disebabkan oleh asupan makanan kaya protein dan
purin / asam nukleat berlebih (Murray et. all, 2006).
Penurunan ekskresi asam urat menyebabkan akumulasi asam urat di dalam darah.
90% penderita hiperurikemia mengalami gangguan ginjal dalam pembuangan
asam urat. Peningkatan kerja ginjal lama-lama menyebabkan kelelahan ginjal dan
menurunkan kerja ginjal sehingga ekskresi asam urat berkurang. Dalam kondisi
normal, tubuh mampu mengeluarkan 2/3 asam urat melalui urin (sekitar 300-600
mg/hari). Sisanya di ekskresikan melaui saluran gastrointestinal (Murray et. all,
2006).
Ketika kadar asam urat serum melebihi batas kelarutannya, terjadilah kristalisasi
natrium urat di jaringan lunak dan sendi sehingga sehingga menimbulkan reaksi
inflamasi, artritis gout. Namun sebagian besar kasus gout mencerminkan
gangguan pengaturan asam urat di ginjal (Murray et. all, 2006).

Mekanisme kerja obat :


a. Urikostatik
Menghambat enzim xantin oksidase, yaitu enzim yang bertanggung jawab
untuk merombak senyawa purin (hipoxantin dan xantin) menjadi asam urat.
Allopurinol memiliki struktur yang mirip dengan xantin sehingga enzim xantin
oksidase bekerja pada zat tersebut. Akibatnya perombakan xantin menjadi
asam urat menurun (Depkes RI, 2006).
b. Urikolitik Sebagai katalisator. Urat oksidasebmerubah asam urat menjadi
alantoin pada binatang tingkat rendah (Depkes RI, 2006).
c. Orikosurik (ex : probenesid dan sulfinpirazon)
Meningkatkan ekskresi asam urat di ginjal dengan menghambat reabsorbsi
pada proksimal tubule. Untuk mencegah kemungkinan batu ginjal maka
diberikan dosis awal yang rendah kemudian ditingkatkan perlahan-lahan dan
hidrasi yang cukup. Obat ini cocok digunakan untuk hiperurikemia yang
disebabkan diuretic (Depkes RI, 2006).
d. Losartan
Menghambat reabsorbsi tubular ginjal. Losartan bekerja sebagai urikosurik.
Obat ini menunjukkan penurunan asam urat dalam serum yang meningkat
akibat diuretik (Depkes RI, 2006).

2. Berikan contoh obat antihiperurikemia tersebut !


Jawab :
a. Allopurinol (urikostatik)
b. Benzbromaron (urikosurik)
c. Urat oksidase (urikolitik)
d. Ibuprofen (NSAID)
e. Indometazin
f. Kolkisin
g. Peroxicam
h. Naproxen (Depkes RI, 2006).
DAFTAR PUSTAKA

Depkes RI. 2006. Pharmaceutical Care untuk Pasien Penyakit Arthritis Rematik. Jakarta :
Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan Klinik, Ditjen Bina Kefarmasian dan Alat
Kesehatan, Departemen Kesehatan.
Ernst, M.E., Clark, E.C and Hawkins, D.W. 2008. Gout and Hyperuricemia
Pharmacotherapy : a Pathophysiologic Approach, 7th ed. USA : McGraw-Hill
Companies
Murray, R.K et all. 2003. Biokimia Harper edisi 25. Jakarta : Kedokteran EGC

Anda mungkin juga menyukai