Anda di halaman 1dari 58

BAB 5

SULAWESI

Pulau Sulawesi dan sekitarnya menggambarkan titik pusat pertemuan tiga


lempeng, yang terdiri atas Lempeng Pasifik, Lempeng Eurasia dan Lempeng Hindia-
Australia. Lempeng Eurasia terletak di bagian utara yang bergerak relatif ke arah selatan,
Lempeng Pasifik terletak di bagian timur yang relatif bergerak ke arah barat dan
Lempeng Hindia-Australia terletak di bagian selatan yang bergerak relatif ke arah utara.
Kompleks transisional ini termasuk aktif secara tektonik dan juga dicirikan oleh
keterdapatannya mikro kontinen.
Dengan terjadinya tumbukan ketiga lempeng tersebut di atas menyebabkan
struktur geologi di wilayah tersebut menjadi sangat rumit. Pulau Sulawesi jika
diperhatikan mempunyai bentuk yang unik, yaitu menyerupai huruf K. Bentuk yang
unik tersebut tidak terlepas dari adanya kegiatan tektonik. Yang cukup rumit. Selain itu
produk batuan yang dihasilkan dari tumbukan ketiga lempeng tersebut sangat bervariasi
bahkan di beberapa tempat menunjukkan kumpulan batuan yang campur aduk (melange),
yang berumur Palezoik hingga Mesozoik. Berdasarkan pada tektonostratigrafinya, maka
Pulau Sulawesi dibedakan menjadi tiga mandala geologi.
Tiga mandala (Propinsi) geologi yang sangat berbeda dapat dilihat di wilayah
Sulawesi dan selitarnya (Gambar 1). Perbedaan itu terletak pada stratigrafinya, struktur
dan sejarahnya. Secara orogen bagian timur termasuk yang lebih tua, sedangkan bagian
barat yang lebih muda. Kepulauan Banggai dan Kepulauan Sula merupakan satu mandala
geologi tersendiri, yang selanjutnya disebut Mandala Banggai-Sula. Daerah-daerah
Sulawesi Tenggara dan tangan Timur Sulawesi termasuk mandala yang lain, yang
selanjutnya disebut Mandala Sulawesi Timur. Mandala yang ketiga meliputi daerah
Sulawesi Utara, yang selanjutnya disebut Mandala Sulawesi Barat.
Mandala Banggai-Sula dicirikan oleh orogen kuat sebelum Jura, pada zaman
batuan-batuan Paleozoikum mengalami matemorfosis regional dan metamorfosis dinamo.
Intrusi granit merah dan kegiatan gunungapi terjadi pada zaman-zaman Perem hingga
Trias. Batuan sedimen yang berumur Jura dan Kapur hanya terlipat lemah dan tidak
mengalami metamorfosis. Endapan rombakan granit merah meluas sampai di daerah
selatan tangan timur Sulawesi. Daerah itu yang merupakan laut dangkal pada Paleogen
dan kemungkinan dimulai dalam masa Mesozoikum, dapat dimasukkan ke dalam
Mandala Banggai-Sula. Pulau Buton mempunyai batuan sedimen yang berumur Jura
yang ciri-cirinya sama dengan batuan sedimen Jura dari Mandala Banggai-Sula, tetapi
berbeda dengan batuan sejenis dan seumur dari daerah Sulawesi Tenggara yang
mengalami metamorfosis lemah. Disamping itu dalam Trias di Buton ditemukan pula
batuan gunungapi yang kira-kira seumur dengan yang ditemukan di Mandala Banggai-
Sula, tetapi tidak di daerah-daerah mandala yang lain. Berdasarkan bukti-bukti tersebut
diduga, bahwa Pulau Buton bukan merupakan bagian Mandala Sulawesi Timur,
melainkan termasuk Mandala Banggai-Sula.
Mandala Sulawesi Timur tercirikan oleh gabungan ofiolit dan batuan
metamorfosis. Ofiolit tersebut cukup luas dan terletak bagian timurnya, sedangkan batuan
metamorfosis di bagian baratnya. Yang terakhir mengandung glaukofan yang makin ke
arah barat bertambah jumlahnya, hingga perbatasan dengan Mandala Sulawesi Barat.
Batuan sedimen laut-dalam berumur Mesozoikum di mandala ini mengalami
metamorfosis lemah. Strukturnya sangat rumit; sesar satuan-satuan ofiolit, batuan
metamorfosis dan batuan Mesozoikum.
Mandala Sulawesi Barat tercirikan oleh endapan palung berumur Kapur hingga
Paleogen, yang kemudian berkembang menjadi endapan-endapan gunungapi bawah-laut
dan akhirnya gunungapi darat pada Akhir Tersier. Tubuh-tubuh intrusi batuan asam dan
menengah di sini berumur Tersier. Batuan yang berumur Tersier, dan Kepulauan Togian
dan Pulau Unauna yang berumur Kuarter dimasukkan dalam mandala ini.

Fisiografi Regional Sulawesi


Sulawesi terbagi menjadi tiga jalur fisiografi (Gambar 2.4) yaitu busur vulkanik
Neogen pada jalur Sulawesi Barat, sekis dan batuan sedimen terdeformasi pada jalur
Sulawesi Tengah dan kompleks ofiolit pada jalur Sulawesi Timur (Hamilton, 1979;
Sukamto 1975a; 1975b; Smith, 1983).
Jalur Sulawesi Barat terdiri dari kompleks basement metamorfik Paleozoikum
Akhir dan Mesozoikum Awal pada bagian utara dan tengah, batuan mlange awal Kapur
Akhir di bagian selatan (Sukamto, 2000), sedimen flysch berumur Kapur Akhir sampai
Eosen yang kemungkinan diendapkan pada cekungan muka busur (Sukamto, 1975a,
1975c) pada bagian utara dan selatan, busur vulkanik Kapur Akhir sampai pertengahan
Eosen, sekuen batuan karbonat Eosen Akhir sampai Miosen Awal dan busur vulkanik
Miosen Tengah sampai Kuarter (Silver dkk, 1983). Batuan plutonik berupa batuan
granitik dan diorit berumur Miosen Akhir sampai Pleistosen, sedangkan batuan vulkanik
berupa batuan alkali dan kalk-alkali berumur Paleosen sampai Pleistosen. Sulawesi Barat
mempunyai aktivitas vulkanik kuat yang diendapkan pada lingkungan submarin sampai
terestrial selama Pliosen sampai Kuarter awal di bagian selatan, namun pada Sulawesi
Utara aktivitas vulkanik masih berlangsung sampai sekarang.
Jalur sekis Sulawesi Tengah terdiri dari fasies metamorfik sekis hijau dan sekis
biru. Bagian barat merupakan tempat terpisahnya antara sekis tekanan tinggi dengan sekis
temperatur tinggi, genes dan batuan granitik (Silver dkk, 1983). Fasies sekis biru
mengandung glaukofan, krosit, lawsonit, jadeit dan aegerine.

Gamba 2.4 Pembagian jalur fisiografi Sulawesi. Sumber Smith (1983).


Jalur Sulawesi Timur merupakan jalur ofiolit dan sedimen terimbrikasi serta
molasse. Pada Lengan Tenggara Sulawesi (segmen selatan) didominasi oleh batuan
ultramafik (van Bemmelen, 1970; Hamilton, 1979; Smith, 1983), hasburgit dan serpentin
hasburgit (Silver dkk, 1983). Sedangkan pada Lengan Timur Sulawesi (segmen utara)
merupakan sekuen ofiolit lengkap, berupa hasburgit, gabro, sekuen dike diabas dan
basalt, yang merupakan hasil dari tumbukan antara platform Sula dan Sulawesi pada saat
Miosen Tengah sampai Miosen Akhir (Hamilton, 1979; Smith, 1983), serta batuan
sedimen pelagos dan klastik yang berhubungan dengan batuan ultramafik (Silver dkk,
1983).

Struktur Geologi Sulawesi


Sulawesi didominasi oleh struktur berarah baratlaut tenggara (Gambar 2.5),
berupa sesar mendatar sinistral dan sesar naik.
Sesar Palu-Koro memotong Sulawesi bagian barat dan tengah, menerus ke bagian
utara sampai Palung Sulawesi Utara yang merupakan batas tepi benua di Laut Sulawesi.
Jalur SesarPalu-Koro merupakan sesar mendatar sinistral dengan pergeseran lebih dari
750 km (Tjia, 1973, Sukamto, 1975), arah gerak sesuai dengan jalur Sesar Matano dan
jalur sesar Sorong. Sesar Sadang yang terletak di bagian barat dan sejajar Sesar Palu
berada pada Lengan Selatan Sulawesi, menghasilkan lembah Sungai Sadang dan Sungai
Masupu yang sistemnya dikontrol oleh sesar mendatar (Hamilton, 1979).
Sesar Gorontalo merupakan sesar mendatar dekstral (Katili, 1969, Sukamto,
1975) yang berlawanan arah dengan Sesar Palu-Koro dan pola sesar sungkupnya
memperlihatkan arah yang konsekuen terhadap platform Banggai-Sula sehingga
memberikan gambaran adanya kemungkinan pemampatan (compression) mendatar yang
disebabkan oleh dorongan platform Banggai-Sula ke arah barat.
Sesar Matano yang merupakan sesar mendatar sinistral berarah baratlaut timur
memotong Sulawesi Tengah dan melalui Danau Matano, merupakan kelanjutan dari Sesar
Palu ke arah timur yang kemudian berlanjut dengan prisma akresi Tolo di Laut Banda
Utara.
Gambar 2.5 Struktur utama di Sulawesi. Sumber Hamilton (1979).

Sistem Sesar Lawanopo berarah baratlaut tenggara, melaui Teluk Bone dan
Sulawesi Tenggara. Sesar ini kemungkinan berperan dalam pembukaan Teluk Bone,
seperti pembukaan yang terjadi di daratan Sulawesi Tenggara yang merupakan zona sesar
mendatar sinistral Neogen. Sesar Lawanopo memisahkan mintakat benua Sulawesi
Tenggara pada Lengan Tenggara Sulawesi dengan metamorf Sulawesi Tengah.
Sesar naik Batui terletak pada bagian timur Lengan Timur Sulawesi, merupakan
hasil dari tumbukan platform Banggai-Sula dengan Sulawesi yang menyebabkan
pergeseran secara oblig sehingga Cekungan Gorontalo menjadi terangkat.

Evolusi Tektonik Sulawesi


Pada Zaman Kapur, Cekungan Sulawesi Barat dan Sulawesi Timur dipisahkan
oleh palung yang merupakan zona subduksi bagian barat, menghasilkan magmatisma
(Miosen Awal) di Sulawesi Barat dan metamorfisma pada bagian barat Sulawesi Timur
(Sukamto dan Simandjuntak, 1981).
Pergerakan relatif berarah baratlaut dari benua Australia pada Kala Eosen (60-40
juta tahun lalu), menghasilkan perpindahan lempeng Australia, mintakat Meratus dan
Sulawesi Barat yang tumbuh oleh akresi pada saat subduksi awal lantai samudera Pasifik
(Daly dkk, 1987) sehingga menghasilkan sedimen flysch di Sulawesi Barat bagian selatan
dan utara pada Kala Paleosen sampai Eosen.
Dibawah pengaruh pergerakan Lempeng Pasifik, busur vulkanik bergeser ke arah
barat dan kerak samudera menunjam kebawah perputaran Lengan Sulawesi Utara dan
dibawah Sulawesi Timur.
Pada Eosen Akhir, perubahan arah gerak Lempeng Pasifik dari utara-baratlaut
menjadi barat-baratlaut menghasilkan banyak lempeng-lempeng kecil di sebelah barat
Pasifik oleh transform utara-baratlaut dan zona rekahan yang merupakan zona subduksi
(Hilde dkk, 1977), diantaranya Lempeng Filipina yang memunculkan Busur Filipina dan
Sulawesi Barat (Seno dan Maruyama, 1984).
Subduksi di bagian selatan dari kerak Hindia-Australia yang terperangkap
dihentikan oleh tumbukan fragmen benua Australia (Buton dan Banggai-Sula) dengan
Sulawesi Timur. Buton merupakan bagian dari orogenesa akhir Tersier di Sulawesi,
dimana pada saat itu Sulawesi aktif membentuk sistem subduksi di sebelah timur.
Pada Miosen Awal sistem busur kepulauan antara Australia dan Pasifik mulai
bertumbukan dengan paparan utara Australia sehingga mengakibatkan pergerakan
langsung dengan sistem lempeng Pasifik/Filipina ke arah barat. Pada saat yang sama
pemekaran Lempeng Pasifik bertambah (Hilde dkk, 1977) dan pemekaran Lempeng
Caroline berhenti (Weissel dan Anderson, 1978). Tumbukan antara Australia Utara dan
Pasifik menyebabkan terpisahnya mikrokontinen Banggai-Sula dan Buton dari Kepala
Burung dan terangkut ke barat akibat rotasi Sulawesi Utara serta tarikan dari subduksi di
Sulawesi Barat. Terjadinya magmatisma berhubungan pula dengan proses tekanan batuan
di Sulawesi Timur akibat pergerakan ke arah barat dari mikrokontinen Banggai-Sula.
Pada Miosen Tengah fragmen Buton dan Banggai-Sula bertumbukan dengan
Sulawesi Timur dan kontaraksi dari tumbukan tersebut berakhir pada 15 jtl, sebagai
bagian dari sabuk sesar naik yang ditutupi sedimen tak terdeformasi (Kundig, 1956), lalu
diikuti fase sesar mendatar mengiri berarah timurlaut yang memotong sabuk sesar naik
dan menempatkan Banggai-Sula pada baratlaut.
Tektonik selama Miosen Tengah telah membelokan Sulawesi Barat menjadi
bentuknya saat ini dan memunculkan metamorf pada bagian leher pulaunya (Sukamto
dan Simandjuntak, 1981). Banyaknya batuan karbonat tebal di bagian selatan Sulawesi
mengindikasikan paparan yang stabil selama Eosen sampai Miosen.
Kejadian tektonik pada Pliosen Awal merupakan tumbukan ke arah utara dari
paparan pasif Australia dengan Palung Sunda dan muka busur Banda (Audley dan
Charles, 1981). Kontraksi arah utara-baratlaut menghasilkan zona tegasan mendatar dari
utara Busur Banda di Sulawesi Selatan dan deformasi ini memotong sesar naik yang lebih
tua dan sesar mendatar berarah timur - timurlaut sebagai zona sesar Palu dan Walanae.
Kedua zona sesar tersebut berasosiasi dengan sesar naik dan struktur ekstensional yang
terletak di pusat vulkanik aktif Sulawesi (Berry dan Grady, 1986) dan sesar Walanae
bertanggung jawab untuk lahirnya Cekungan pull-apart Bone dan depresi Walanae,
Sulawesi Selatan.

GEOLOGI DAN TEKTONIK SULAWESI TENGGARA


Geologi daerah Lengan Tenggara Sulawesi termasuk ke dalam mandala geologi
Sulawesi Bagian Timur, dimana batuan penyusunnya terdiri atas ofiolit, batuan malihan,
batuan terobosan serta endapan sedimen berumur Mesozoikum dan Neozoikum. Batuan
malihan dan batuan ofiolit di daerah tersebut merupakan batuan alas untuk sedimen
berumur Neogen.

Stratigrafi Batuan Pra-Tersier


Berdasarkan batuan malihan dan batuan ofiolitnya (Gambar 4), maka geologi
lengan tenggar Sulawesi dibagi menjadi 2(dua) lajur, yaitu Lajur Malihan yang
selanjutnya dinamakan lajur Tinondo dan Jalur Ofiolit yang selanjutnya dinamakan
sebagai jalur Hialu. Dengan dibaginya daerah Lengan Sulawesi Tenggara menjadi dua
jalur geologi menyebabkan stratigrafi dikedua jalur tersebut agak berbeda walaupun
keduanya terletak pada mandala geologi yang sama (Gambar 5).

Stratigrafi Paleozoikum-Mesozoikum Lajur Tinondo


Batuan tertua dan merupakan batuan alas di lajur ini adalah Batuan Malihan
Mekongga (Gambar 6), yang terdiri atas sekis, genes, kuarsit, amfibolit, filit, dan pualam.
Umur satuan ini belum diketahui dengan pasti. Bothe (1927) menyebutnya sebagai sekis
hablur yang diduga berumur Paleozoikum Akhir. Satuan ini juga mirip dengan batuan
malihan yang terdapat di Kepulauan Banggai-Sula yang berumur Karbon. Satuan ini
tertindih Formasi Meluhu secara takselaras, dan hubungannya dengan Batuan Malihan
Tamosi adalah berangsur. Di daerah Rantaiangin, satuan ini diterobos oleh batuan aplit.
Sebarannya terutama terdapat di bagian barat dan baratdaya Lengan Tenggara Sulawesi.
Ketebalannya diperkirakan 2000 M. Lokasi tipe formasi ini terdapat di Pegunungan
Mekongga, sebelah timurlaut Kolaka.
Secara berangsur Batuan Malihan Mekongga tertindih oleh Batuan Malihan
Tamosik yang terdiri atas batusabak, filit, sedikit sekis dan batupasir malih. Umumrnya
diduga Paleozoikum Akhir atau Trias Awal (?). Bothe (1927) memasukkannya kedalam
satuan sekis hablur. Batuan Malihan Tamosi ini mirip dengan Doole phylliet di Buton
yang berumur Paleozoikum (Hetzel, 1936). Sebarannya terdapat di Pegunungan Tamosi
(sebagai lokasi tipe) di sebelah selatan Mowewe. Ketebalannya tidak kurang dari 500 M.
Formasi Meluhu terdiri atas batupasir kuarsa termalihkan lemah, serpih merah, batusabak
dan 500 M. Formasi Meluhu terdiri atas batupasir kuarsa termalihkan lemah, serpih
merah, batusabak dan sedikit filit pada bagian bawah; serpih hitam berselingan batulanau
serta lensa batugamping pada bagian atas, terendapkan takselaras diatas batuan malihan
Mekongga dan Tamosi. Lensa atau sisipan batugampingnya mengandung fosil Halobia
sp. dan Daonell sp., sedangkan batusabaknya mengandung fosil Belemnit. Berdasarkan
fosil tersebut, umur satuan ini berkisar antara Trias Tengah sampai Jura. Bothe (1927)
menyebut satuan ini Kendari Mesozoikum yang terdiri atas Kendarilagen,
Kolonobaylagen dan Baitolagen yang berumur Trias-Jura. Satuan ini terendapkan dalam
lingkungan laut dangkal hingga dalam. Di beberapa tempat, Formasi Meluhu ini tertindih
oleh endapan molasa yang berumur Neogen secara takselaras. Ketebalannya diperkirakan
melebihi 750 M. Satuan ini melampar di bagian tenggara daerah yang dibahas. Lokasi
tipenya terdapat di Pegunungan Meluhu, sekitar 30 KM timurlaut Wawotobi.
Formasi Meluhu mempunyai anggota, yaitu Anggota Lembo yang terdiri atas
batugamping bersisipan batupasir, serpih dan sedikit batusabak.Sebagian
batugampingnya telah menghablur ulang dan kaya akan cangkang moluska serta koral
yang menunjukkan umur Trias Akhir. Satuan ini diendapkan dalam lingkungan laut
dangkal. Ketebalannya diperkirakan tidak kurang dari 500 M. Nama satuan didasarkan
pada singkapan yang baik di S. Lembo. Sebarannya terdapat di daerah Lembo,
Pegunungan Abuki, Tambua dan Olok.
Di bagian barat daerah yang dibahas terendapkan Formasi Tamborasi di atas
batuan malihan Mekongga secara tidak selaras. Satuan ini terdiri atas batugamping
mengandung koral, napal, dan serpih, serta konglomerat pada bagian bawah.
Batugamping merupakan penyusun utama satuan ini; sebagian telah terhablur ulang dan
terdaunkan lemah. Umurnya belum dapat dipastikan, tetapi diduga Trias-Jura. Satuan ini
terendapkan dalam lingkungan laut dangkal; ketebalannya diperkirakan melebihi 1000 M.
Lokasi tipenya terdapat di Tg. Tamborasi, Teluk Bone. Sebarannya terutama di daerah
Tamborasi, Gn. Mekongga dan sedikit di Ranteangin.

Stratigrafi Mesozoikum Lajur Hialu


Batuan tertua dan merupakan batuan alas dilajur ini ialah himpunan batuan yang
mencirikan batuan asal kerak samudera. Batuannya terdiri atas dunit, harzburgit, wehrlit,
gabro, dan serpentinit. Himpunan batuan tersebut tertindih oleh Formasi Tinala (Gambar
6) yang tersusun dari batugamping klastik (kalsilutit), serpih, napal, dan lempung pasiran.
Satuan ini mengandung fosil Halobia sp. Dan amonit yang menunjukkan umur Trias
Akhir. Brouwer (1934) menyebut satuan ini sebagai batuan Mesozoikum yang
mengandung mineral pikotit dan kromit yang boleh jadi berasal dari batuan ultramafik.
Di beberapa tempat satuan ini bersentuhan secara tektonik dengan batuan ofiolit. Formasi
Tinala ini diperkirakan ketebalannya tidak kurang dari 800 M. Satuan ini tersebar di
daerah Bungku, di bagian timur daerah yang dibahas. Lokasi tipenya terdapat di S.
Tinala, di selatan Bungku.
Dibagian Timurlaut dari lajur ini terendapkan Formasi Tetambahu yang terdiri
atas batugamping berlapis bersisipan rijang, napal dan serpih. Umurnya adalah Jura,
berdasarkan kandungan fosil Belemnit dalam kalsititnya; dan terendapkan dalam
lingkungan laut dalam. Ketebalannya diperkirakan melebihi 600 M dan lamparannya
meliputi Gn. Wahombaya. Singkapan yang bagus dijumpai di S. Tetambaho, di tenggara
D. Towuti. Tempat itu pula yang merupakan lokasi tipe.
Formasi Masiku terdiri atas batusabak, serpih merah, batupasir, dan batugamping
dengan lensa rijang radiolaria yang sebagian telah termalihkan lemah. Berdasarkan
kandungan fosil Globotruncana sp. dan Radiolaria sp., satuan yang terendapkan dalam
lingkungan laut dalam berumur Kapur. Satuan ini tertindih oleh Formasi Matano secara
takselaras. Hubungannya dengan batuan ofiolit umumnya berupa sesar. Tebal satuan
diperkirakan tidak kurang dari 100 M dan tersebar di sebelah selatan dan tenggara Danau
Towuti. Nama satuan ini didasarkan pada singkapan yang baik di S. Masiku, di tenggara
D. Towuti.
Formasi Matano tersusun dari kalsiltit bersisipan rijang dan sedikit serpih pada
bagian bawah. Umurnya adalah Kapur Akhir, yang didasarkan pada fosil Globotruncana
sp., Heterohelyx sp. dan Radiolaria. Satuan ini yang terendapkan dalam lingkungan laut
dalam, ketebalannya diperkirakan melebihi 1000 M. Di beberapa temapat alasnya adalah
batuan ofiolit. Sebarannya luas di Pegunungan Matarombeo, dan sedikit di selatan D.
Towuti. Formasi Matano dengan lokasi tipe di daerah Danau Matano, pertama kali
diperkenalkan oleh Koolhoven (1932).

Stratigrafi Batuan Neogen


Batuan yang terbentuk pada Neogen sebagian besar berupa endapan molasa dan
karbonat yang tersebar baik di Lajur Hialu maupun di Lajur Tinondo. Yang tertua adalah
Formasi Langkowala yang tersusun oleh konglomerat, batupasir dan batulempung.
Sarasin dan Sarasin (1901) menyebut satuan ini Molasa Sulawesi.
Satuan ini diduga berumur Miosen Tengah, dan terendapkan dalam lingkungan
laut dangkal. Formasi ini menindih batuan pra-Tersier secara takselaras dan tertindih oleh
Formasi Boepinang, juga secara takselaras. Sebarnnya di bagian tengah dan tenggara
daerah yang dibahas dan ketebalannya diperkirakan melebihi 450 M. Formasi ini yang
lokasi tipenya terdapat di S. Langkowala di bagian baratdaya daerah yang dibahas
pertama kali diberikan oleh Kartaadipoetra dan Sudiro (1973).
Selaras diatas Formasi Langkowala terendapkan Formasi Eemoiko yang terdiri
atas kalkarenit, batugamping koral dan napal dan mengandung foraminifera kecil dan
moluska. Foraminifera kecilnya menunjukkan umur Miosen Akhir-Pliosen Awal, dengan
lingkungan pengendapan Neritik. Satuan ini yang menjemari dengan Formasi Boepinang,
mencapai tebal sekitar 700 M. Nama formasi ini diberikan oleh Kertaadipoetra dan
Sudiro (1973).
Satuan yang seumur ialah Formasi Tampakura yang terdiri atas kalkarenit,
batugamping oolit, batugamping koral, batupasir dan napal. Formasi ini terendapkan
dalam lingkungan laut dangkal, menindih batuan pra-Tersier secara takselaras. Umurnya
diduga Miosen Akhir, berdasarkan kandungannya fosil foraminifera kecil. Sebarannya di
bagian timur daerah dengan ketebalan melebihi 200 M. Lokasi tipenya terdapat di S.
Tampakura, di barat Matarape. Yang juga seumur adalah Formasi Boepinang. Satuan ini
terdiri atas batulempung pasiran, napal pasiran dan batupasir. Berdasarkan kandungan
fosil foraminifera kecilnya, umur satuan ini adalah Miosen Akhir-Pliosen. Satuan ini
terendapkan dalam lingkungan laut dangkal, menindih Formasi Langkowala secara
takselaras. Tebal satuan lebih dari 50 M. Sebarannya terdapat di daerah Poleang,
Boepinang dan daerah Toeri. Nama formasi ini pertama kali diebrikan oleh
Kartaadipoetra dan Sudiro (1973).
Diatas Formasi Boepinang terendapkan Formasi Alangga secara takselaras.
Satuan ini terdiri atas batupasir dan konglomerat yang umumnya tidak padat. Umur
satuan ini diduga Plistosen Akhir. Ketebalannya berkisar antara 10 dan 50 M, dengan
tersebar di daerah Alangga, Lambuya, dan di sekitar Kendari. Formasi ini berlokasi tipe
di Desa Alangga, di barat Kendari.
Formasi Alangga menjemari dengan Formasi Buara yang tersusun dari
batugamping terumbu, konglomerat, dan batupasir, dan mengandung sedikit foraminifera
kecil. Satuan ini terendapkan dalam lingkungan laut dangkal, dengan ketebalan mencapai
antara 10 dan 75 M. Sebarannya terutama terdapat di daerah Buara dan Boepinang di
selatan Kolaka. Nama Formasi Buara pertama kali diperkenalkan oleh Kartaadipoetra dan
Sudiro (1973).

Ofiolit
Dalam teori tektonik lempeng, ofiolit merupakan jenis batuan kerak samudera
(oceanic crust) yang berasal dari pematang tengah samudera (mid-ocean ridges). Oleh
karena gerakan lempeng samudera, kadangkala ofiolit itu mempersatukan diri dengan
tepian benua di daerah pertemuan kedua lempeng benua dan lempeng samudera itu.
Ofiolit di Mandala Sulawesi Timur menarik perhatian para geologiawan
disebabkan kecuali karena penyebarannya yang sangat luas, juga karena potensinya akan
mineral logam yang cukup besar. Beberapa geologiawan menganggap bahwa pelamparan
ofiolit di Mandala Sulawesi Timur termasuk salah satu yang luas di dunia (Kundig, 1955,
Rutten, 1927). Untuk memperoleh gambaran tentang mekanisme ofiolit ini dalam
hubungannya denga tektonik yang penting ialah umur ofiolit itu sendiri. Oleh karena
rumitnya struktur di daerah Mandala Sulawesi Timur yang mengandung ofiolit itu, maka
terjadi penafsiran umur ofiolit yang berbeda-beda. Terlepas dari itu perlu ditinjau kembali
konsepsi terjadinya ofiolit. Apabila ofiolit dianggap bagian dari pada kerak samudera
yang terbentuk pada pemekaran dasar lautan (seafloor spreading), maka jelas itu
bukanlah intrusi yang menerobos batuan Mesozoikum, akan tetapi merupakan suatu
peleleran magma basa yang maha besar melewati suatu punggungan tengah samudera
dan merupakan alas dari pada batuan sedimen Mesozoikum yang mengandung serpih
merah dan rijang radiolaria.
Sekis Glaukofan ditemukan di berbagai tempat di bagian barat Mandala Sulawesi
di Timur, yakni di sekitar Danau Poso, Pegunungan Rumbia, Pegunungan Kendoke dan
Pulau Kabaena. Pembahasan panjang lebar mengenai sekis glaukofan di daerah-daerah
tersebut telah dilakukan oleh De Roever (1947, 1950) dalam karangan-karangannya.
Dibayangkan olehnya bahwa sekis glaukofan itu terbentuk dalam suatu geosinklin tempat
diendapkannya radiolarit dan batuan beku spilit.
Penelitian petrografi menunjukkan, bahwa radiolarit dan batuan beku spilit lebih
muda dari pada batuan metamorf yang berfasies amfibolit dan amfibolit-epidot, tetapi
lebih tua dari pada batuan metamorf yang bersubfasies glaukofanit-lawsonit (de Roever,
1950). Jika radiolit di daerah ini berumur Jura dan Kapur, maka jelas sekis glaukofan
berumur lewat Kapur. Batuan metamorf yang bersubfasies glaukofanit-lawsonit lebih tua
dari pada batuan metamorf yang berfasies sekis hijau. Yang pertama diperkirakan
terbentuk oleh metamorfosis geosinklin yang disebabkan terutama oleh tekanan
hidrostatika yang erat hubungannya dengan lingkungan geosinklin (de Roever, 1950).
Yang kedua diperkirakan terbentuk oleh metamorfosis dinamo yang disertai oleh gerakan
sesar-sungkup yang kuat. Metamorfosis dinamo kemungkinan besar terjadi setelah Eosen
(de Roever, 1950). Orogen kuat yang kemungkinan membentuk batuan metamorf
berfasies sekis hijau pada waktu Intra-Miosen. Dengan demikian maka glaukofan itu
terbentuk setelah Kapur dan sebelum Intra-Miosen.
Di daerah Sulawesi Selatan yang termasuk wilayah Mandala Sulawesi Barat
ditemukan pula sekis glaukofan di dalam komplek alas yang terdiri dari sekis dan ofiolit.
Sekis glaukofan di daerah ini secara stratigrafi rupanya tidak dapat dikorelasikan dengan
sekis glaukofan yang terdapat di Mandala Sulawesi Timur. Kemungkinan umurnya lebih
tua dari Kapur dan dipisahkan oleh suatu jalur gunungapi dari Mandala Sulawesi Timur.
Walaupun De Roever (1950) menerangkan terjadinya glaukofan itu oleh suatu
metamorfosis geosinklin, namun faktor tekanan hidrostatiklah juga ditonjolkannya
sebagai penyebab proses metamorfosis. Kalau De Roever (1950) menganggap, bahwa
tekanan hidrostatika itu berasal dari pembebanan sedimen yang sangat tebal dalam
geosinklin, geologiawan yang menganut teori tektonik lempeng akan menganggap bahwa
tekanan hidrostatika itu terjadi pada jalur penunjaman (subduction zone).
Dari Mandala Sulawesi Barat yang dibuat penanggalannya menunjukkan akan
umur Pliosen-Miosen (1,62-17,70 juta tahun), kecuali satu yang menunjukkan akan umur
Oligosen (31 juta tahun). Penanggalan pada granit dan ignimbrit dari Mandala Banggai-
Sula menunjukkan akan umur Trias-Perem (210-240 juta tahun), dan pada sekis
menunjukkan akan umur Karbon (300 juta tahun).

Sabuk Metamorfik Sulawesi Tengah Zaman Kapur-Paleosen


Sabuk Metamorfik Sulawesi Tengah terdiri dari variasi skis yang mengandung
amfibol-epidot, dan glaukofan-lawsonit atau fasies batuan skis hijau (de Roever, 1947,
Parkinson, 1991). Juga terdapat meta chert, meta limestone dan daerah philit garphitik di
daerah ini. Batuan metamorf yang terjadi akibat tekanan yang tinggi berkembang dengan
baik pada daerah Benioff yang menunjam ke arah barat selama tumbukan lempeng
tektonik Kapur-Paleosen, dimana kerak Proto-Laut Banda menyusup ke bawah sisi dari
Tameng Sunda (Kerak Eurasia Tenggara).

Hipotesa Tektonik Regional Dalam Kaitannya Dengan Ofiolite dan


Batuan Malihan di Lengan Tenggara Sulawesi.

Evolusi tektonik di Pulau Sulawesi dan sekitarnya, menyebabkan terbentuknya


ofiolit dan batuan malihan di Lengan Tenggara Sulawesi. Tercatat terjadinya beberapa
peristiwa tektonik yang mempengaruhi keberadaan batuan tesebut di daerah penelitian
(Gambar 7 dan 8).
a) Penunjaman zaman Kapur bertipe Cordilleran
b) Tektonik divergen Mesozoikum dan Tersier
c) Tumbukan Neogen bertipe Thetyan
Jenis Penunjaman cordileran pada zaman Kapur
Jenis penunjaman Cordileran zaman Kapur dicatat dengan adanya pertumbuhan
zona Benioff yang miring ke arah barat di sepanjang timur Sulawesi dimana kerak proto
Laut Banda berada di bawah Perisai Sunda (Kraton Eurasian tenggara). Pada waktu
Kapur Akhir terjadi batuan metamorf bertekanan tinggi di daerah ini (CSMB),
gunungapi-gunungapi Paleosen dan diikuti oleh intrusif Neogen WSMB dan komplek
melange berumur Kapur-Paleosen yang berasosiasi dengan batuan metamorf CSMB dan
sabuk ofilit ESOB yang terus berkembang selama terjadinya penunjaman berlangsung.
Pada Akhir Kapur sedimen flysch yang berasosiasi dengan lava basalt
memperlihatkan kemiringan sekuen bagian atas suatu palung selama tektonik konvergen
lempeng.

Tektonik Divergen Mesozoikum-Tersier


Pada batuan berumur Perm-Trias terjadi thermal doming pada tepi benua
Australia yang mengalami rifting sepanjang patahan (Gambar 7). Kemudian fragmen-
fragmen benua terpisah dari bagian utara-tenggara tepi benua Australia dan berpindah di
bagian baratlaut yang membentuk mikro-kontinen di daerah Laut Banda, yang sering
disebut juga Anjungan Banggai-Sula (BSP), dan Anjungan Tukang Besi-Buton (TBP).
Secara kasar diketahui terdiri dari 4 hyatus dalam beberapa anjungan,
Simandjuntak (1986b) memperkirakan bahwa asal mula tektonik mikro-kontinen dan
hyatus disebabkan oleh terjadinya perubahan muka air laut pada tektonik divergen.
Adanya hyatus di sebagian besar anjungan pada Awal Kapur menunjukkan bahwa mikro-
kontinen mengalami penurunan dan pelagik kalsilutit diendapkan pada puncak dari
sekuen passive margin Trias-Jura.
Tektonik divergen memperlihatkan dominansi perpindahan transcurrent-
transformal sepanjang Patahan Sorong dan patahan-patahan lainnya yang masih dalam
satu wilayah.

Tumbukan Neogen Jenis Thetyan di Sulawesi Timur (Gambar 8)


Dalam Miosen Tengah bagian baratlaut-barat fragmen kontinen (atau mikro
kontinen) bergerak, termasuk Anjungan Banggai-Sula (BSP), dan Anjungan Tukang Besi-
Buton (TBP) bertumbukan dengan sabuk ofiolit dari ESMB dan kompleks penunjaman
(CSMB). Tektonik konvergen mempunyai tipe Thetyan, dimana dalam tipe mikro-
kontinen BSP dan TBP berada di bawah lempeng dari sabuk ofiolit (ESOB) dan
kompleks penunjaman (CSMB). Saat ini zona tumbukan dicirikan oleh adanya blok
melange yang berada di sepanjang jalur Patahan Batui di lengan timur Sulawesi
(Simandjuntak, 1986a). Secara karakteristik tektonik konvergen tidak menghasilkan
busur gunungapi dan secara geometri tidak berkembang di lingkungan cekungan busur
depan dan busur belakang. Hasil akhir dari tumbukan ini secara karakteristik dicirikan
menunjukkan adanya Sesar naik atau (Obduksi) batuan ofiolit ke dalam tepi mikro-
kontinen dan Sesar naik komplek subduksi (CSMB) melebihi busur magmatik (WSMB).
Sabuk ofiolit Papua Nugini juga melalui proses tektonik obduksi (Davies, 1976).
Berdasar pada analisa Bourger diperkirakan bahwa batuan ofiolit mengalami
penebalan ke arah barat coinsiding dengan Bourger tinggi. Hal ini mungkin disebabkan
oleh adanya imbrication ofiolit berlembar yang meningkat penggandaan secara lama dari
batuan ofiolit. Selanjutnya mereka mempertimbangkan bahwa sabuk ofiolit mungkin
ditutupi oleh sejumlah material yang lebih ringan, kemungkinan blok melange dan/atau
batuan sedimen.
Pada kala post orogenic terjadi pengendapan klastik kasar dari jenis mollase yang
berumur Neogen Akhir, sebagian besar dari mollase marin, tetapi juga bagian terrestrial
memperlihatkan adanya lensa lignit yang berasosiasi dengan klastik, yang terakumulasi
tersendiri dan Patahan yang dibatasi graben yang menyerupai cekungan, terutama di
bagian dalam Sulawesi Tengah. Mollase marine bagian yang paling kecil nampaknya
diendapkan dalam lingkungan kipas submarine.

GEOLOGI DAN TEKTONIK SULAWESI TIMUR


Struktur utama yang berkembang di Lengan Timur Sulawesi adalah Sesar
Sungkup dan Sesar Jurus Mendatar Balantak.
Sesar Batui mencirikan lajur tumbukan antara sedimen pinggiran benua Mintakat
Banggai-Sula (MBS) dan Jalur Ofiolit Sulawesi Timur (JOST). Sesar sungkup ini
membusur dan cembung ke arah baratlaut dan utara. Ujung selatannya terdapat di Teluk
Tomori dan diperkirakan berakhir di Sesar Matano Sula yang menyambung dan bersatu
dengan Sesar Matano ke arah barat dan ke Sesar Sorong di timur. Ujung utaranya
bersambung dengan Sesar Sangihe Timur di bagian utara Laut Maluku. Sesar Batui ini
terbentuk sepanjang 100 km. Melalui potret udara dan citraan Landsat, Sesar Batui
terlihat dengan jelas.
Bagian timurlaut Sesar Batui, dari Poh ke Ujung Balantak pernah dalam
perkembangannya mengalami pergerakan mendatar menganan. Didaerah ini bidang
sesarnya miring terjal ke arah utara, yang kemungkinan disebabkan oleh perubahan
pergerakan tegak (penyungkupan) Sesar Batui ke arah mendatar Sesar Balantak.
Bersamaan atau setelah terbentuknya Sesar Balantak ini, terbentuk juga sesar-
sesar lain (sesar pasca tumbukan) antaranya Sesar Toili, Sesar Ampana dan Sesar Wekuli.
Sesar Toili terdiri dari beberapa sesar terjal berjurus tenggara-baratlaut,
memotong diagonal bagian tengah Lengan Timur Sulawesi di sepanjang lembah Sungai
Toili. Ujung utara sesar ini berakhir di Sesar Balantak. Melalui pengamatan di lapangan
dapat dilihat bahwa sesar ini merupakan sesar jurus mendatar mengiri sejauh kira-kira 20
km.
Sesar Ampana diperkirakan berupa sesar jurus mendatar menganan berarah
tenggar-baratlaut hampir sejajar dengan Sesar Toili. Jurus pergerakan ini didasarkan pada
bentuk fisiografi daerah Tanjung Api yang bergeser ke arah utara sejauh 60 km dari garis
pantai di Teluk Bunta. Gerakan mendatar menganan Sesar Ampana ini diperkirakan
sebagai akibat langsung gerakan jurus mendatar mengiri Sesar Toili.
Sesar Wekuli terletak di ujung barat Lengan Timur Sulawesi berarh tenggara-
baratlaut hampir sejajar dengan Sesar Toili dan Sesar Ampana. Arah pergerakan sesar ini
diperkirakan mengiri sama dengan Sesar Toili.
Dibeberapa tempat sepanjang Sesar Batui-Sesar Balantak tersingkap batuan
bancuh (melange) yang terbentuk pada kala Miosen Tengah. Proses pembentukan batuan
bancuh ini dipengaruhi oleh proses diapir di Sesar Batui.
Pengamatan di lapangan menunjukkan struktur sirapan terlihat dengan jelas pada
singkapan di hulu S. Nambo dan di ujung pantai di utara Balantak, Lengan Timur
Sulawesi. Sirapan batuan sedimen pinggiran benua MBS membentuk struktur rangkap
yaitu struktur rangkap Balantak dan struktur rangkap Nambo. Proses pembentukan
struktur rangkap ini sangat erat hubungannya dengan proses majunya Sesar Batui.

Kompleks Tumbukan Neogen Di Lengan Timur Sulawesi


Kompleks tumbukan antara Mandala Geologi Mintakat Banggai-Sula (MBS) dan
Jalur Ofiolit Sulawesi Timur (JOST) ditutupi tak selaras oleh sedimen klastika pasca-
orogenesis bertipe molasa (Kelompok molasa Sulawesi) yang berumur Miosen Akhir-
Pliosen yang sebagian besar diendapkan dalam lingkungan kipas bawah laut. Setempat
molasa ini, terutama yang mengandung lignit merupakan endapan darat (terestrial) yang
diendapkan dalam cekungan kecil yang terbentuk sebagai terban karena pensesaran
bongkah.
Dibagian tengah dan timur Lengan Timur Sulawesi, sedimen klastika ini
didominasi rombakan batuan yang berasal dan timur Lengan Timur Sulawesi, sedimen
klastika ini didominasi rombakan batuan yang berasal dari ofiolit (JOST) dan sedimen
pinggiran benua MBS, sedangkan di bagian barat semakin banyak mengandung
rombakan batuan malihan yang berasal dari Jalur Malihan Sulawesi Tengah (JMST),
Kompleks Malihan Pompangeo (Simandjuntak dkk, 1983, 1984).
Terdapat juga batuan bancuh (melange) yang secara setempat tersingkap di
sepanjang lajur Sesar Batui-Balantak. Bancuh Kolokolo (Simandjuntak, 1986a)
mengandung bongkahan batuan sampai ratusan meter panjangnya, terdiri dari peridotit,
batuan mafik, batuan malihan, rijang, batugamping, napal, batupasir kasir dan serpih
dengan matriks lumpur karbonatan mengandung foraminifera bentos dan plangton yang
berumur Miosen Tengah hingga Pliosen. Di beberapa tempat bancuh ini mengandung
rembesan minyak, seperti yang terdapat di Kolo Atas. Bentuk bongkahan dalam bancuh
ini memperlihatkan, sebagian terutama yang lonjong membundar berasal dari olisostrom.
Sebagian, terutama bongkahan batuan yang ujung-ujungnya terpecah-pecah runcing
tanpa gejala yang memperlihatkan pengaruh gesekan arus (abrasi), menunjukkan
pengaruh proses diapir yang kiranya turut berperan besar dalam pemebntukan batuan
bancuh ini. Nampaknya penerobosan lumpur matriks dengan tekanan hidrolis dapat
memecahkan bongkah batuan menjadi kepingan yang lebih kecil dan bercampur baur di
dalam massa dasar. Proses pencampuradukan batuan bancuh oleh proses diapir yang
serupa diperlihatkan oleh Barber dkk (1986) di Kompleks Bobonaro, Timor.
Batugamping terumbu Kuarter terdapat di sepanjang pantai selatan Lengan Timur
Sulawesi dan di beberapa tempat lainnya. Di bagian selatan Lengan Timur terdapat tiga
undak dengan ketinggian masing-masing 400 m, 200 m dan 60 m di atas muka laut.
Adanya undak-undak ini memperlihatkan dengan jelas betapa cepatnya pergerakan
Mintakat Banggai-Sula (MBS) yang menyusup di bawah Jalur Ofiolit Sulawesi Timur
(JOST). Tautan ketektonikan undak terumbu ini akan disajikan dalam pembahasan
berikutnya.
Gb. 1 memperlihatkan peta bagan geologi daerah Lengan Timur Sulawesi dengan
sedimen pinggiran benua MBS selalu bersentuhan tektonik dengan batuan ofiolit JOST.
Gb. 2 menyajikan tektonostratigrafi daerah itu yang bercirikan pinggiran giat menumpu
(Simandjuntak, 1986a).

Struktur Di Lengan Sulawesi Timur


Runtunan batuan serta struktur dan biostratigrafi daerah Lengan Timur Sulawesi
menunjukkan bahwa daerah ini dapat dibagi menjadi dua satuan yang sangat berbeda,
yaitu : 1. Batuan allohton termasuk batuan di MBS, batuan ofiolit JOST dan batuan
volkaniklastika MSB, dan 2. Batuan autohton yang terdiri dari batuan molasa dan
batugamping terumbu. Bancuh secara keseluruhan termasuk dalam batuan autohton.
Kedua satuan ini memperlihatkan struktur yang sangat berbeda. Batuan sedimen
di MBS dan JOST nampaknya telah terlipat beberapa kali. Lipatan berskala renik
(mikroskopik), menengah (mesoskopik) dan regional berkembaqng dari jenis lipatan
tertutup, tegak hingga lipatan rebah dengan sumbu-sumbu lipatan yang tidak beraturan
(superimposed fold). Sebaliknya batuan klastika molasa pada umumnya hanya terlipat
lemah dan membentuk lipatan terbuka dengan sumbu lipatan berarah timur-barat.
Struktur utama yang terdapat di Lengan Timur Sulawesi adalah sesar, termasuk
sesar sungkup (thrust fault), sesar jurus mendatar, sesar turun dan sesar bongkah dalam
ukuran kecil, menengah dan regional. Berdasarkan pembentukannya sesar ini dapat
dikelompokkan dalam dua jenis yang sangat berbeda satu dengan yang lain, yakni 1.
Sesar bareng tumbukan (sincollision faults) adalah sesar yang terjadi pada saat tumbukan
antara MBS dan JOST dan 2. Sesar pasca-tumbukan (post-collision faults) adalah sesar
yang terjadi setelah tumbukan.

Tumbukan Disertai Pensesaran


Sesar yang terbentuk pada saat tumbukan antara MBS dan JOST didominasi oleh
sesar sungkup (thrust fault) yang umumnya miring ke arah baratlaut-utara. Yang utama
berukuran regional adalah Sesar (Sungkup) Batui, sedangkan yang bersifat ikutan yang
ukurannya lebih kecil terdapat, terutama di dalam batuan sedimen pinggiran benua MBS
dan dalam batuan ofiolit serta sedimen pelagos JOST.

Sesar Batui
Sesar Batui mencirikan lajur tumbukan antara sedimen pinggiran benua MBS dan
batuan ofiolit JOST(Gb.3). Sesar sungkup ini membusur dan cembung ke arah baratlaut
dan utara. Ujung selatannya terdapat di Teluk Tomori dan diperkirakan berakhir di Sesar
Matano Sula yang menyambung dan bersatu dengan Sesar Matano ke arah barat dan ke
Sesar Sorong di timur. Ujung utaranya bersambung dengan Sesar Sangihe Timur di
bagian utara Laut Maluku. Di Lengan Timur Sulawesi panjang Sesar Batui melebihi 100
km.
Sesar Batui ini sangat jelas terlihat di potret udara dan citraan Landsat (Gb. 4a,b
dan 5).
Di lapangan, Sesar Batui ini dicirikan oleh keterdapatan breksi sesar, gerusan,
cermin sesar yang menunjukkan arah pergerakan tegak, milonit, lapisan tegak, perubahan
mendadak arah dan jurus lapisan batuan sedimen dan bidang sesar yang biasanya
terbentuk lereng yang terjal di sepanjang lajur sesar ini. Lebar lajur sesar berkisar dari
ratusan meter hingga melebihi 1 km. Di dalam peta yang berukuran kewilayahan
(berskala regional), Sesar Batui ini diperlihatkan dalam bentuk sebuah garis tebal bergigi
ke arah baratlaut-utara. Kenyataan di lapangan menunjukkan jalur sesar ini terdiri dari
beberapa sesar sungkup yang semuanya miring ke arah baratlaut-utara.
Bagian timurlaut Sesar Batui, dari Poh ke Ujung Balantak (Gb. 3) pada suatu saat
dalam sejarah perkembangannya, mengalami pergerakan mendatar menganan.
Lajur sesar ini di beberapa tempat mengandung batuan bancuh (Bancuh
Kolokolo) dengan matriks lumpur karbonatan yang kaya foraminifera berumur Miosen
Tengah hingga Pliosen. Sebagian matriks berupa lempung bersisik dan bongkahan
batuannya sebagian terbodinasikan.
Di Kolo Atas, perdaunan (foliation) dalam matriks lempung memperlihatkan
bidang sesar miring tidak begitu terjal ke arah barat laut. Di daerah Poh dan Ujung
Balantak, bidang sesar ini miring terjal ke arah utara, yang kemungkinan disebabkan oleh
perubahan pergerakn tegak (penyungkupan) Sesar Batui ke arah mendatar Sesar
Balantak.
Di ujung timur pantai Balantak, batuan ofiolit tersesarsungkupkan di atas
gamping pelataran (platform) Paleogen (Formasi Salodik), gamping kalsilutit Kapur
Akhir (Formasi Luok) dan gamping hemipelagos Jura Akhir (Formasi Sinsidik) dari
MBS. Bongkahan besar batuan ofiolit yang terpisah di Tanah Merah di utara Balantak,
menunjukkan bahwa ofiolit JOST membentuk struktur klippe atau nappe ofiolit di atas
batuan sedimen pinggiran benua MBS (Gb. 6).
Di daerah Kolo Atas, Poh dan Toili singkapan lajur sesar ini memperlihatkan,
bahwa Formasi Salodik dan Poh yang berumur Oligosen hingga Miosen Awal,
tersesarsungkupkan di bawah ofiolit. Di daerah Tokala, batuan ofiolit tersesarsungkupkan
ke atas Formasi Tokala yang berumur Trias Akhir.
Semua bukti lapangan memperlihatkan, bahwa penyesarsungkupan ofiolit di atas
batuan sedimen pinggiran benua MBS terjadi pada kala Miosen Tengah. Hal ini
ditunjukkan oleh batuan termuda yang terlibat dalam Sesar Batui adalah Formasi Poh
yang berumur Oligosen-Miosen Awal, serta matriks batuan bancuh yang mengandung
foraminifera berumur Miosen Tengah-Pliosen. Umur Miosen Tengah Sesar Batui
mencirikan lajur tumbukan antara MBS dan JOST diperkuat juga oleh batuan sedimen
pasca-orogenesis yang berumur Miosen Akhir-Pliosen.
Pada saat tumbukan terjadi, tekanan pemampatan (convergence) berjurus
tenggara-baratlaut yang diakibatkan pergerakan MBS ke arah utara-baratlaut dan di
bagian utara di Laut Sulawesi terjadi pula penunjaman kerak samudera Laut Sulawesi
yang miring ke selatan di bawah Jalur Magmatik Sulawesi Barat (Simandjuntak, 1986a,
b) yang menghasilkan tekanan pemampatan tersebut di atas. Tekanan pemampatan ini
mendorong JOST tersesarkan sedemikian jauh ke atas MBS.
Tekanan pemampatan ini juga, pada gilirannya, mengakibatkan pemendekan
(shortening) JOST berarah utara-selatan di Lengan Timur Sulawesi. Mekanisme
pemendekan ini diawali oleh penyesarsungkupan batuan ofiolit di atas MBS sehingga
terbentuk struktur sirapan (imbrication) baik di batuan sedimen pinggiran benua MBS
amupun di batuan ofiolit JOST. Nampaknya batuan ofiolit ini semakin tebal ke arah utara
Lengan Timur Sulawesi.
Silver dkk (1978) berdasarkan penelitian gayaberat Bouguer di Sulawesi Tengah
sepanjang lintasan berarah barat-timur menyimpulkan bahwa ofiolit menipis ke arah
timur dan menebal ke arah barat berimpitan dengan anomali tinggian Bouguer di bagian
barat JOST. Analisis ini juga memperlihatkan, bahwa JOST dialasi oleh batuan yang
relatif ringan yang mungkin terdiri dari batuan sedimen ataupun batuan bancuh yang
tebalnya mencapai 15 km. Diperkirakan keadaan yang sama terdapat di sepanjang JOST,
termasuk di ujung utaranya di Lengan Timur Sulawesi.

Struktur Rangkap / Ganda (Duplex)


Pengamatan seksama di lapangan menunjukkan, bahwa struktur sirapan terlihat
dengan jelas pada singkapan di hulu S. Nambo dan di ujung pantai di utara Balantak,
Lengan Timur Sulawesi. Sirapan batuan sedimen pinggiran benua MBS membentuk
struktur rangkap dan setiap penggalan satuan batuan dibatasi oleh sesar sungkup yang
miring ke arah utara dan/atau baratlaut.

Struktur Rangkap (Duplex) Balantak


Di pantai Ujung Balantak, batuan sedimen pinggiran benua MBS, termasuk
Formasi Sinsidik (Jura Akhir), Formasi Luok (Kapur Akhir) dan Formasi Salodik
(Paleogen) membentuk struktur rangkap tiap satuan batuan tersesarsungkupkan terhadap
yang lainnya. Di dalam satuan batuan terdapat juga sesar sungkup dan sesar naik yang
membatasi setiap penggalan batuan dengan bidang sesar semuanya miring landai hingga
terjal ke arah utara. Di beberapa tempat terlihat juga sesar sungkup belakang (back thrust)
dengan bidang sesar miring tidak terlalu terjal ke arah selatan (Gb. 6). Sesar-sesar
sungkup di batuan sedimen MBS terdapat dibagian yang turun (footwall) pada sesar
sungkup utama (Sesar Batui).
Singkapan batuan di pantai Balantak memperlihatkan, bahwa keseluruhan
perangkat (paket) sesar sungkup dan sesar naik di rangkap Balantak merupakan
kumpulan penggalan batuan sedimen pinggiran benua MBS yang menyirap dengan
bidang sesar yang miring ke utara.
Di dalam penampang geologi yang ditarik sepanjang pantai Balantak-Pulau Dua
(Gb. 6) nampak, bahwa batuan ofiolit JOST tersesarsungkupkan di atas batuan sedimen
pinggiran benua MBS. Batuan ofiolit terdapat di bagian yang naik (hanging wall) pada
sesar sungkup utama (Sesar Batui). Pada saat tekanan pemampatan memuncak batuan
ofiolit JOST membentuk struktur nappe dan/atau klippe. Karena pengaruh sesar yang
terjadi kemudian dan pengikisan maka penggalan ofiolit menyendiri nomplok di atas
sirapan batuan sedimen pinggiran benua MBS di Tanah Merah dan merupakan bagian
dari klippe ini.
Batuan sedimen pinggiran benua MBS yang tersirapkan di bagian footwall
dibatasi oelh atas sungkup (roof thrust) yang dibentuk oleh bidang sesar utama (Sesar
Batui) itu sendiri. Sedangkan di bagian bawah dibatasi oleh alas sungkup (floor thrust)
dari dekolmen di pinggiran MBS.
Penyirapan batuan sedimen pinggiran benua MBS diapit oleh dua bidang sungkup
utama ini membentuk struktur rangkap (duplex) yang terjadi karena pindahmajunya Sesar
Batui menjelang akhir dan/atau sesaat setelah tersesarsungkupkannya JOST ke atas
pinggiran MBS.

Struktur Rangkap (Duplex) Nambo


Di S. Nambo terdapat enam penggalan Formasi Sinsidik (Formasi Nambo, Surono
dkk, 1984) yang berumur Jura Akhir dengan tebal yang berkisar dari puluhan hingga
ratusan meter. Penggalan satuan batuan ini dibatasi oleh sesar sungkup yang miring ke
arah baratlaut. Di kedua ujung tenggara dan baratlaut tumpukan (paket) sirapan Formasi
Sinsidik tersesarkan terhadap Formasi Salodik yang berumur Paleogen. Di dalam
penampang geologi pada Gb. 7 terlihat, bahwa sirapan batuan sedimen ini membentuk
struktur rangkap.
Bagian atas rangkap Nambo ini, pada awalnya dibatasi oleh atap sungkup dari
bidang sesar utama (Sesar Batui), sedangkan bagian bawahnya, diperkirakan dibatasi oleh
akar sungkupan berupa penggelinciran (decollement) atau sesar sudu (listrik fault) di
MBS, yang nampaknya telah tertutup oleh sedimen klastika Neogen dan Kuarter di pantai
selatan Lengan Timur Sulawesi ataupun berada di dasar Teluk Tomori.
Terbentuknya struktur rangkap di S. Nambo, seperti halnya di Ujung Balantak,
sangat erat hubungannya dengan pindahmajunya sesar sungkup utama (Sesar Batui) pada
akhir dan/atau sesaat setelah tersesarsungkupkannya JOST ke atas pinggiran MBS.
Pergerakan maju ini mengakibatkan penyirapan Formasi Sinsidik dan Formasi Salodik di
bagian alas (footwall), sedangkan batuan ofiolit yang berada di bagian atas (hangingwall)
terbawa maju ke depan dalam bentuk nappe yang tergendong dibelakang (piggyback
manner) oleh sesar sungkup yang terbentuk belakangan.
Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa pembentukan struktur rangkap
di bagian alas (footwall) Sesar Batui kemungkinan masih terus berlangsung ataupun
bergiat kembali atau paling tidak diperkuat pada Kuarter. Hal tersebut dimungkinkan oleh
giatnya kembali tumbukan antara MBS dan JOST. McCaffrey dkk (1982) berdasarkan
hasil pengamatan kegiatan seismik di bagian utara Sulawesi, memperkirakan bahwa
Sesar Batui giat kembali pada saat sekarang ini. Hal ini juga diperlihatkan terbentuknya
undak-undak gamping terumbu Kuarter di pantai selatan Lengan Timur Sulawesi dengan
ketinggian masing-masing 60 m, 200 m dan di atas 400 m di atas muka laut.
Pembentukan undak-undak terumbu ini memperlihatkan betapa giatnya tumbukan
tersebut.
Giatnya tumbukan antara MBS dan JOST mengakibatkan semakin menyusupnya
pinggiran benua MBS di bawah ofiolit di sepanjang lajur Sesar Batui. Pada gilirannya,
batuan sedimen pinggiran benua MBS di bagian alas (footwall) Sesar Batui akan semakin
tersirapkan dan membentuk struktur rangkap yang semakin meluas, kuat dan semakin
nyata pula.

Sesar Pasca Tumbukan


Struktur yang terbentuk setelah tumbukan antara MBS dan JOST terutama sesar
jurus mendatar dan sesar ikutan lainnya, seperti sesar normal dan sesar bongkah.
Sedangkan lipatan yang terjadi pada akhir Neogen hanya berupa lipatan lemah dan
terbuka, seperti yang terdapat dalam sedimen klastika pasca orogenesis, sekalipun di
beberapa tempat, terutama di sekitar lajur sesar sedimen Neogen terlipat lebih kuat.
Sesar jurus mendatar yang utama dan berskala regional adalah Sesar Balantak
yang menyambung ke timur ke Sesar Sula-Sorong dan ke arah barat ke Sesar Palu-Koro.
Sesar ikutan yang berukuran lebih kecil termasuk Sesar Toili, Sesar Ampana, Sesar
Wekuli dan Sesar Gorontalo (Gb. 3 dan 8). Sesar Palu-Koro, Sesar Gorontalo dan Sesar
Sula-Sorong berada di luar Lengan Timur Sulawesi, namun karena proses kejadiannya
saling berkait dengan sesar-sesar jurus mendatar di Lengan Timur Sulawesi, maka terasa
perlu mendiskusikan ketiga sesar tersebut.

Sesar Balantak
Sesar Balantak terdiri dari beberapa sesar terjal yang semuanya berjurus hampir
barat-timur, mulai dari Ujung Balantak di timur ke Poh dan terus ke Tanjung Api di barat
(Gb. 3). Ujung barat sesar ini diperkirakan berakhir di Sesar Palu-Koro, sedangkan ujung
timurnya bersambung dan bersatu dengan Sesar Sula-Sorong (Gb. 8).
Seperti yang dijelaskan sebelumnya, penggalan sesar ini pada mulanya
merupakan bagian dari Sesar Sungkup Batui yang terjadi pada saat tumbukan antara
MBS dan JOST pada Miosen Tengah. Pensesaran sungkup ini nampaknya giat kembali
pada Holosen dan bahkan menyambung dan bersatu dengan Sesar Sangihe Timur di utara
(Simandjuntak, 1986b).
Pengamatan di lapangan daerah Poh dan Ujung Balantak, singkapan batuan dalam
lajur Sesar Balantak ini mengandung cermin sesar yang memperlihatkan gerakan jurus
mendatar. Di beberapa tempat cermin sesar ini berimpitan dengan cermin sesar yang
memperlihatkan gerak tegak, yakni arah gerakan sungkup Sesar Batui.
Analisis struktur dari 160 sesar terjal (steep fault) yang direkam di daerah Poh dan
Ujung Balantak (Gb. 9) menunjukkan dengan jelas, bahwa jurus maksimum utama
berarah hampir barat-timur, yang memperlihatkan arah gerakan Sesar Balantak.
Maksima-maksima yang lebih kecil berarah tenggara-baratlaut merupakan jurus
pergerakan sesar-sesar mendatar ikutan seperti Sesar Toili dan Sesar Gorontalo.
Dalam pola dan sistem ini semua sesar jurus mendatar di daerah Lengan Timur
Sulawesi khususnya dan bagian utara Sulawesi umumnya terbentuk sebagai akibat
tekanan pemampatan berarah tenggara baratlaut yang bersumber dari kegiatan
penumpuan (convergence) antara MBS yang bergerak ke arah utara-baratlaut dan kerak
samudera Laut Sulawesi yang bergerak ke selatan-tenggara dan menunjam di bawah
Busur Magmatik Sulawesi Barat di Lengan Utara (Gb. 10).
Analisis pola dan sistem tekanan mendatar di bagian utara Sulawesi lebih lanjut
menghasilkan struktur berikut :
a. Gerakan mendatar menganan (dextral) di Sesar Balantak,
b. Gerakan mendatar menganan Sesar Balantak ini pada Plio-Plistosen lebih lanjut
mengakibatkan pengalihtempatan bagian utara Kepala Poh dari daerah sekitar Leher
Sulawesi (ujung barat Teluk Tomini) ke tempat yang sekarang, sejauh paling tidak 150
km.
c. Sebagai hasil ikutan, terjadi pergerakan mendatar mengiri baik di Sesar Toili di barat
maupun Sesar Gorontalo di timur yang akan diperikan berikut, serta sesar normal di
bagian baratlaut Lengan Timur Sulawesi dan kemungkinan di Leher Sulawesi.

Sesar Toili
Sesar Toili juga terdiri dari beberapa sesar terjal berjurus tenggara-baratlaut,
memotong diagonal bagian tengah Lengan Timur Sulawesi di sepanjang lembah Sungai
Toili (Gb. 3,8,10). Ujung utara sesar ini berakhir di Sesar Balantak dan ujung selatannya
memotong Teluk Tomori dan berakhir di Sesar Matano-Sula.
Sesar Toili ini terlihat dengan jelas di potret udara dan citra Landsat (Gb. 4).
Pengamatan di lapangan memperlihatkan, bahwa sesar ini merupakan sesar jurus
mendatar mengiri yang mengakibatkan pergeseran sejauh kira-kira 20 km. Hal ini
ditunjukkan oleh tersingkapnya Formasi Salodik di Kolo Atas dan di dasar Teluk Tomori
(data seismik dan lubang bor) serta bergesernya Sesar Batui ke selatan di penggalan
sebelah barat Sesar Toili.
Rusmana dkk (1984) dan Surono dkk (1984) memperlihatkan bahwa sedimen
klastika Neogen terpengaruh gerakan mendatar Sesar Toili ini. Hal ini menunjukkan
bahwa Sesar Toili terjadi setelah pengendapan sedimen molasa pada Miosen Akhir-
Pliosen bersamaan dengan pergerakan mendatar menganan Sesar Balantak.

Sesar Ampana
Sesar Ampana diperkirakan berupa sesar jurus mendatar menganan berarah
tenggara-baratlaut hampir sejajar dengan Sesar Toili. Jurus pergerakan ini didasarkan
pada bentuk fisiografi daerah Tanjung Api yang bergeser ke arah utara sejauh 60 km dari
garis pantai di Teluk Bunta (Gb. 3 dan 10). Kontak sesar ini merupakan sesar sungkup
yang pada awalnya terbentuk sebagai bagian dari lajur tumbukan antara MBS dan JOST
pada Miosen Tengah.
Ujung selatan sesar ini terdapat di Teluk Tomori dan berakhir di Sesar Matano-
Sula, sedangkan ujung utaranya berakhir di Sesar Balantak.
Gerakan mendatar menganan Sesar Ampana ini diperkirakan sebagai akibat
langsung gerakan jurus mendatar mengiri Sesar Toili. Gerakan mendatar menganan sesar
ini memungkinkan bergesernya lajur tumbukan antara MBS dan JOST ke arah utara
sejauh lebih kurang 90 km, seperti yang ditunjukkan kontak sesar antara Formasi Tokala
(Trias Akhir) dan ofiolit di bagian tengah Lengan Timur Sulawesi (Gb. 1 dan 4).

Sesar Wekuli
Sesar Wekuli di ujung barat Lengan Timur Sulawesi berarah tenggara-baratlaut
hampir sejajar dengan Sesar Toili dan Sesar Ampana. Arah pergerakan sesar ini
diperkirakan mengiri sama dengan Sesar Toili, seperti yang ditunjukkan oleh bergesernya
ke arah utara kontak sesar antara Formasi Sinsidik (Formasi Tetambahu, Simandjuntak
dkk, 1984) berumur Jura Akhir (sedimen pinggiran MBS) dengan ofiolit, sejauh lebih
kurang 70 km, di penggalan bagian barat sesar tersebut (Gb. 3 dan 10). Kontak sesar ini
diperkirakan merupakan bagian dari lajur tumbukan antara MBS dan JOST pada Miosen
Tengah.
Ujung utara Sesar Wekuli berakhir di bagian barat Sesar Balantak, sedang ujung
selatannya terdapat di Teluk Tomori yang dalamnya 3000 m, dan berakhir di Sesar
Matano-Sula (Gb. 10).

Sesar Ikutan Lainnya


Di dalam sistem dan pola tekanan pemampatan yang berarah tenggara-baratlaut
dan/atau selatan-utara di sebagian utara Sulawesi juga menghasilkan sesar ikutan berupa
sesar normal dan sesar bongkah di bagian timurlaut Lengan Timur Sulawesi. Hal ini juga
terlihat dengan jelas dalam potret udara dan citraan Landsat (Gb. 4).
Sebagian dari sesar tersebut nampaknya mengalami pergerakan sungkup pada
suatu saat dalam sejarah pergerakan Sesar Batui, terutama saat giatnya kembali sesar
utama tersebut pada Holosen.
Sejarah Geologi Sulawesi Timur
Secara fisiografi dan geologi, bagian utara Kepala Poh di Lengan Timur Sulawesi
mirip dengan Leher Sulawesi (ujung barat Teluk Tomini, selatan Gorontalo). Batuan yang
serupa dengan sedimen vulkaniklastika Neogen di utara Kepala Poh tersebar luas di
Gorontalo dan Leher Sulawesi dan merupakan bagian dari Busur Magmatik Sulawesi
Barat. Batuan yang sama terdapat juga di P. Togian di Teluk Tomini (Rusmana dkk, 1984)
yang diperkirakan merupakan penggalan bagian utara dari Kepala Poh.
Bongkahan basal-andesitan dalam vulkaniklastika Neogen di utara Kepala Poh
berumur Oligosen (Simandjuntak, 1986a,c) dan berasal dari Busur Magamtik Gunungapi
Paleogen di Sulawesi Barat.
Munculnya sedimen vulkaniklastika Neogen ini di utara Kepala Poh yang dalam
sejarah perkembangannya tidak termasuk dalam jalur gunungapi, menunjukkan bahwa
batuan ini bersama alasnya berasal dari barat (MSB) dan dialihtempatkan sejauh kira-kira
150 km ke tempat sekarang di utara Lengan Timur Sulawesi pada kala Plio-Plistosen.
Nampaknya pergerakan menganan Sesar Balantak ini juga telah
mengalihtempatkan penggalan utara batuan ofiolit JOST lebih jauh ke arah timur yang
kemungkinan di sekitar Halmahera. Penafsiran ini lebih jauh memperkirakan, bahwa
batuan ofiolit di Halmahera mungkin berasal dan merupakan bagian utara dari Jalur
Ofiolit Sulawesi Timur (JOST).
Gerakan mendatar menganan Sesar Balantak nampaknya berkaitan juga dengan
terputarnya Lengan Utara Sulawesi hampir 90 searah jarum jam, seperti yang
disimpulkan oleh Otofuji dkk (1981) berdasarkan analisis paleomagnetis di bagian utara
Sulawesi.
Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa tataan geologi, struktur, tektonik
dan bahkan fisiografi memperlihatkan bahwa Lengan Timur Sulawesi merupakan hasil
akhir dari tumbukan antara Pelataran Banggai-Sula (MBS) dan Jalur Ofiolit Sulawesi
Timur (JOST), bersamaan dengan giatnya kembali jalur penunjaman di lajur Sesar
Sulawesi Utara.
Lajur tumbukan antara MBS dan JOST pada Miosen Tengah dicirikan oleh Sesar
Batui yang miring ke utara-baratlaut. Lajur tumbukan ini giat kembali pada Holosen
bersama-sama dengan Sesar Sangihe Timur yang miring ke arah barat dan menghasilkan
busur gunungapi Unauna-Minahasa-Sangihe.
Disepanjang lajur tumbukan setempat terdapat batuan bancuh dan rembesan
minyak yang kemunculannya kemungkinan dipengaruhi oleh proses diapir.
Pada akhir dan/atau sesaat setelah gerakan sungkup Sesar Batui pada Miosen
Tengah terjadi penyirapan sedimen pinggiran benua MBS di bagian alas (footwall) yang
mengakibatkan terbentuknya Dwiganda Nambo dan Dwiganda Balantak. Kemungkinan
struktur dwiganda ini semakin diperkuat dan meluas pada waktu Sesar Batui bergiat
kembali pada Holosen.
Proses pemampatan berarah tenggara-baratlaut di Lengan Timur Sulawesi pada
gilirannya menghasilkan pergerakan mendatar menganan di Sesar Balantak yang
sekaligus pula mengalihtempatkan sedimen vulkaniklasti bersama alasnya dari sekitar
Leher Sulawesi di barat sejauh kira-kira 150 km. Pergerakan Sesar Balantak ini diikuti
oleh Sesar Toili yang bergerak mendatar mengiri pada Plio-Plistosen.
Sesar Balantak bersama Sesar Batui dan menyambung ke utara ke Sesar Sangihe
Timur bergiat kembali pada Holosen dan membentuk busur gunungapi Unauna-
Minahasa-Sangihe.
Gerakan mendatar menganan Sesar Balantak berkait erat dengan terputarnya
hampir 90 derajat searah jarum jam Lengan Utara Sulawesi.

SULAWESI SELATAN- BONAPARTE


Daerah ini merupakan gugusan pulau yang membentuk morfologi perbukitan
tinggi, perbukitan rendah dan pedataran rendah. Bentuk geomorfologi perbukitan tinggi,
ditemui sekitar pulau-pulau Tanajempa, Kalao, Kalaotoa dan Kayuadi dengan puncak
tertinggi sekitar 300 m mdpl. Morfologi perbukitan landai dengan ketinggian kurang dari
100 mdpl menempati hampir semua pulau, sedangkan morfologi dataran rendah
umumnya menempati daerah pantai disekeliling P.Bonarate.
Jenis batuan yang tersingkap di daerah ini adalah batuan beku, dan sedimen.
Batuan beku terdiri atas batuan ofiolit, granit, diorit, andesit dan diabas.
Ofiolit (Of)merupakan batuan dasar yang kemungkinan berumur Kapur Akhir, dan
tersingkap di pulau-pulau Kalao, Kalaotoa dan madu. Batuan intrusi yang terdiri atas
granit dan monzonit (Gr) tersingkap di pulau-pulau Tanajempa, Tanamalala dan Kalao
yang diperkirakan berumur tidak lebih muda dari Miosen Awal. Batuan intrusi lainnya
adalah berupa Diorit (Di) yang menerobo batuan granit dan monzonit yang ditafsirkan
berumur Miosen Akhir. Andesit (An) dan Basal diabas (Db) berupa retas yang menerobos
granit, monzonit dan batugamping.
Batuan sedimen dan batuan gunungapi dibagi menjadi beberapa satuan. Satuan
tertua adalah Formasi Kayuadi (Tomk) yang terdiri atas breksi, aglomerat dan tuff yang
berumur Oligo-Miosen. Formasi Batu (Tombl) yang terdiri atas batugamping kristalin,
berumur Oligosen-Miosen menjemari dengan Formasi Kayuadi. Secara tidak selaras
diatas Formasi Kalao (Tmks) yang terdiri atas batupasir tuf dan konglomerat dengan
umur Miosen Tengah-Pliosen.
Batugamping pejal dan batugamping pasiran berumur Miosen Akhir-Pliosen Awal.
Semua satuan batuan tersebut dibeberapa tempat tertindih tak selaras oleh Formasi
Bonarate yang terdiri atas batugamping koral. Satuan batuan endapan termuda adalah
aluvium berupa endapan sungai dan pantai berumur Holosen (Koswara drr, 1991).

Sesar Palu-Koro Dan Sesar Walane


Perkembangan struktur geologi didaerah ini diduga erat hubungannya dengan
perkembangan struktur tektonik di Sulawesi Selatan. Di Sulawesi Selatan terdapat zona
sesar Palu-Koro dan sesar Walanae yang berarah baratlaut-tenggara, mulai dari palu
sampai ke teluk Bone sepanjang lebih kurang 300 Km (Tjia dan Zakaria, 1974).
Sesar Palu-Koro dan sesar Walanae sudah banyak diteliti antara lain oleh Magetsari
(1984), Tjia dan Zakaria (1974), Silver (1983), serta Sukamto dan Supriyantan (1981)
yang menyatakan bahwa pembentukannya berkaitan dengan adanya tumbukan antara
Sulawesi lempeng mikro Banggai-Sula.
Secara geometri dan kinematika sesar tersebut berbentuk terban selebar 7 Km,
kearah selatan zona sesar bercirikan lembah sempit yang diduga menerus sampai ke
daerah bukaan teluk Bone, bahkan diduga sampai kelaut Flores. Pergerakannya mendatar
dibuktikan dengan adanya gores garis horizontal sampai sub horizontal (Tjia,1971).
Teluk Bone yang terletak diantara lengan selatan dan lengan tenggara Sulawesi
merupakan daerah cekungan dan banyka orang berpendapat, bahwa teluk Bone
merupakan daerah bukaan. Sesar Palu-Koro yang diperkirakan terbagi 2 didaerah
tersebut, menunjukan bahwa daerah Teluk Bone merupakan daerah regangan tarik.
Sesar Walanae dan sesar Palu-Koro merupakan sesar aktif di Sulawesi dan mulai
terbentuk pada Miosen Awal hingga Pliosen, dibarengai oleh kegiatan gunungapi
disekitarnya. Leuwen (1981), melaporkan bahwa sesar Walanae timur merupakan sesar
berbalik bersudut besar menurun ketimur dan merupakan daerah pertemuan antara 2
sesar, Sukamto (1975) dan Simanjuntak (1992) menyatakan bahwa sesar Walane barat
merupakan sesar geser mengiri. Sesar tersebut terbagi dua di sekitar selatan P.Pulasi dan
tabolongan. Arah ketimur melintasi Pulau Tanajempa, Kalao, Bonerate dan cabang
lainnya menerus ke selatan.

Analisis Kelurusan Dan Foto Udara

Untuk mengetahui arah umum dan jenis kelurusan sesar yang berkembang di
daerah kepulauan Bonerate adalah dengan cara membuat diagram mawar yang hasilnya
adalah terinci sebagai berikut :
- Kelurusan yang berkembang di P.Tanajempa menunjukan arah umum U125 0T yang
diduga berupa kelurusan sesar dan kekar dan jenis rekahan terbuka.
- Kelurusan yang berkembang di P.Kalao menunjukan arah umum U150T yang dikuasai
oleh kelurusan sesar dan jenis rekahan terbuka.
Jenis kekar atau rekahan yang berkembang dikedua pulau tersebut dapat
ditafsirkan berupa retakan ikutan dari terusan sesar Walanae yang melintas disebelah
utara pulau-pulau Tanajempa, kalao dan Bonerate.
- Kelurusan yang berkembang di P.Madu menunjukan arah umum U250 0T yang
dikuasai oleh kelurusan sesar jenis rekahan tertutup.
- Kelurusan yang berkembang di P.Kalotoa menunjukan arah umum U345 0T yang
diduga berupa kelurusan sesar dan jenis rekahan tertutup.
- Kelurusan yang berkembang di P.Karompa Besar dan Karompa Kecil menunjukan
arah umum U3400T yang di dominasi kelurusan sesar menganan dan jenis rekahan
tertutup.
Berdasarkan analisis diagram mawar, pola struktur yang berkembang di daerah
kepulauan Bonerate dapat dikelompokan kedalam wilayah bagian timur dan barat
lanjutan sesar Palu-Koro. Di bagian barat yang melipuiti pola struktur disekitar
P.Tanajempa, Kalao dan Bonerate diduga merupakan pola kelurusan sesar dari sesar
Walanae, sedangkan bagian timur yang meliputi pola kelurusan di sekitar P.Madu, kalatoa
dan Karompa merupakan pola kelurusan dari terusan sesar Palu-Koro. Dengan kata lai,
sesar-sesar yang berkembang di kepulauan Bonerate merupakan sesar ikutan rekahan
tertutup dan rekahan terbuka dari sesar Walanae dan Plau-Koro.

GEOLOGI DAERAH BANGGAI DAN SULA


Kepulauan banggal dan sula adalah bagian daripada suatu lempeng kerak benua
yang relative sudah mantap sejak masa mesozoikum tengah. Secara geologi kepulauan
kepulauan ini termasuk dalam suatu mendala, yang meluas kebarat dan mencakup
sebagian dari Sulawesi timur.Batuan tertua adalah batuan-batuan metamorfosa,sediment
dan gunung api, yang berumur sebelum perem dan yang belum terperinci. Granit,
granidiorit dan diorite yang berumur perem hingga trias menerobos batuan-batuan
sebelum perem. Magma asam dimuntahkan dan membentuk ignimbrite dan vitrofir
selama zaman perem hingga trias.deret batu pasir dan konglomerat setebal tidak kurang
dari 2.000 m, dan yang tersusun daripada rombakan batuan-batuan Trias dan yang lebih
tua, menindih tak selaras diatas ignimbrite dan vitrifir. Serpih jura yang kaya akan
amonit, belemit dan pesipoda, setebal tidak kurang dari 3.500 m, menindih selaras deret
batu pasir dan konglomerat. Serpih itu berangsur keatas melalui batupasir glaukonitan
gampingan ke napal yang berumur kapur. Batuan-batuan yang lebih muda kebanyakan
adalah batugamping koral yang berumur akhir tertier dan kwarter.
Pada tahun 1915, Brouwer melakukan beberapa lintasan dipulau Sulabesi, Pulau
Mangole, dan dipulau Taliabu, di kepulauan Sula. Pemerian geologi sebagai data dasar
telah diterbitkan pada tahun 1921 di dalam Jaarboek van het Mijnwezen 1920. Laporan
itu sudah mencakup keterangan-keterangan geologi daerah kepulauan Sula yang
sebelumnya dilaporkan oleh Boehm (1904, 1907), Bucking (1904), Verbeek (1908), Van
nouhuys (1910), Wichman (1914), Closs (1916), dan Van Hulstijn (1918). Hasil
pengenalan fosil-fosil amonit dan belemit telah dilaporkan oleh Kruizinga (1921,1926)
dan oleh Jarowski (1921). Didaerah kepulauan Banggai telah dilakukan pemetaan tinjau
oleh Koolhoven (1930); akan tetapi meliputi daerah seluruhnya.
Berdasarkan data geologi yang sangat sedikit itu,telah banyak tulisan-tulisan yang
mencoba menerangkan perkembangan tektoniknya. Berbagai penjelasan dan hipotesis
mengenai atau yang menyangkut kepulauan Banggai dan Sula telah ditulis oleh para
geologiwan, seperti Klompe (1956), Visser dan Hermes (1962), Hamilton (1972,1973),
Audley Charles dkk. (1972) dan Gribi (1973).
Data yang telah dikumpulkan oleh Brouwer (1921) dan Kolhoven (1930) kiranya
belum cukup untuk menyusun suatu peta geologi yang meliputi seluruh wilayah
kepulauan Banggai dan Sula, meski mdalam taraf peta tinjau. Dalam rangka pemetaan
regional lembar ujung pandang, yang kini masih dalam status uji warna ( color froof ),
penulis dengan rombongannya pada bulan pebruari dan maret 1972 telah melakukan
pemetaan tinjau didaerah kepulauan Banggal dan Sula, dengan menyewa kapal motor
pulau peling dari Luwuk. Rombongan terdiri dra penulis, sebagai pimpinan, Don
E.Wolcott (USGS-USAID) sebagai penasehat, dengan anggota-anggota tjarda Sapei dan
Parwoto ( Bagian geologi UNPAD), ahli geologi, Saeun hardjoprawiro dan Didi sudana,
assisten geologi dan pembantu-pembantu pemetaan Didi suoriatna, Sahardjo, E.Titersole
dan Sutarman. Kapal, pulau peling dipimpin oleh nakhoda K. Supit dengan awak kapal
sebanyak 8 orang; dan pekerja-pekerja harian lepas dari Luwuk, Sulawesi, sebanyak 14
orang dengan pimpinan Yasman Baka.
Terlepas dari hipotesis-hipotesis yang telah diajukan, disini penulis akan
menyajikan fakta geologi yang dapat dikumpulkan selama dua bulan pemetaan tinjau
tersebut.
Pemetaan tinjau yang jarak lintasannya antara 10 dan 30 km pada peta dasar
bersekala 1:250.000 di kepulauan Banggai dan Sula ini pada dasarnya baru merupakan
pelengkap daripada data geologi yang telah dikumpulkan oleh brouwer (1921) dan
koolhoven (1930). Pemetaan ini belum memungkinkan untuk memetakan satuan-satuan
yang lebih terperinci. Pada batuan atas , hanya batuan terobosan yang besar dan sebagian
daripada batuan gunung api saja yang sementara dapat dipetakan tersendiri berdasarkan
interpretasi yang sangat kasar. Penulis yakin bahwa penyelidikan-penyelidikan yang lebih
seksama dikemudian hari akan dapat menghimpun lebih banyak data untuk interpretasi
yang lebih sempurna.
Kertas karya ini disajikan untuk mengenang DON E. WOLCOTT yang telah
mencurahkan jiwa dan raganya dalam memberikan nasehat selama dua bulan pemetaan
tinjau dikepulauan Banggai dan Sula, Pebruari-Maret 1972, dan selama ,menyusun
laporannya.(This paper is dedicated to DON E. WOLCOTT who gave his devoted
attention to supervising the two months reconnaissance mapping in Banggai and Sula
Island, February-March 1972, and in compiling the report).
Dibandingkan dengan daerah sekitarnya, secara geologi dan geografi, wilayah
kepulauan Banggai dan Sula ini sangat menarik (Gb.1). Ditinjau dari letak geografisnya,
kepulauan Banggai dan Sula merupakan kelompok pulau-pulau yang tidak ada
hubungannya dengan system busur kepulauan di sekitarnya. Disebelah barat berbatasan
dengan komplek ofiolit, sebagai batuan asal dasar samudera,yang mendominasi bagian
timur Mendala Sulawesi Timur ( sukamto ,1975 ). Disebelah utara dibatasi oleh anomaly
isostasi negative regional lebih besar dari -50 milligal ( maksimum -204 milligal ),
sebagai lanjutan dari daerah anomaly isostasi negative regional Mendala Sulawesi Timur
( Vening Meinesz, 1934 ). Disebelah sekatan dibatasi oleh jalur sesar Sorong,yang kearah
barat menerus ke jalur sesar Matano dan bersambung dengan jalur sesar pulau Koro. Laut
Banda yang terletak disebelah selatannya merupakan palung dalam, sampai lebih dari
5000 m. Disebelah timurnya mempunyai bentuk yang membaji kearah timur. Daerah ini
merupakan bagian daripada suatu lempeng kerak benua yang relative sudah mantap sejak
masa Mesozoikum Tengah. Penulis (1975) memasukkan daerah ini sebagai suatu
mendala geologi, yakni mendala Banggai-Sula, yang dapat dibedakan dari mendala-
mendala geologi Sulawesi Timur dan Sulawesi Barat.
Sejak lama mendala Banggai-Sula ini telah menarik perhatian para geologiwan.
Dahulu mendala ini terkenal dengan nama Taji Sula ( Sula Spur ). Para geologiwan
sependapat bahwa Taji Sula adalah salah satu pemegeng peranan dalam perkembangan
struktur di kepulauan Indonesia bagian timur ( Stille,1943, dalam Klompe 1956;
Westerveld,1952; Van bemmelen, 1949; Klompe, 1956; Visser dan hermes, 1962;
Audley- Charles dkk., 1972).
Staub ( 1928, dalam klompe, 1956 ) dalam studinya berkesimpulan bahwa
Maluku utara, dimana termasuk pulau-pulau Banggai-Sula-Obi, membentuk bagian
daripada taji barat busur perlipatan Australi-Nugini yang berumer Hercynian. Pendapat
ini dapat diterima oleh para geologiwan selanjutnya, yang oleh Visser dan Hermes (1962)
dan Audley Charles dkk (1972) digambarkannya dengan jelas bahwa Taji Sula itu telah
terapung-apung bergerak dari arah timur atau tenggara sejak Zaman Permo-Trias.
Klompe (1956) menganggap bahwa Taji Sula bukan hanya penyebab melengkungnya
busur Banda di sebelah timur, tetapi juga penyebab melengkungnya busur Sulawesi
disebelah barat.

Stratigrafi Banggai-Sula
Secara regional stratigrafi daerah kepulauan Banggai dan Sula ini dapat dibagi
menjadi komplek batuan alas, batuan sediment Mesozoikum dan batuan sediment
Kenozoikum. Gambar 2 menunjukkan geologi daerah kepulauan Banggai dan Sula. Peta
geologi ini disusun berdasarkan 2 buah laporan terbuka pada dinas perpetaan geologi,
Direktorat geologi, sebagai hasil pemetaan tinjau daerah tersebut ( Sukamto dkk.,1972 ).
Komplek alas terdiri dari batuan metamorfosa, batuab sediment dan batuan gunung api
yang terperinci, batuan terobosan granit dan diorite yang berumur perem hingga trias, dan
batuan gunung api ignimbrit dan vitrofir yang juga berumur perem hingga trias. Batuan
sediment Mesozoikum dari bawah keatas terdiri dari deret batu pasir dan konlomerat,
deret serpih yang berumur Jura atas, dan deret napal dan serpih yang berumur kapur.
Batuan sediment Kenozoikum sebagian besar terdiri dari batuan karbonat yang terjadi
pada akhir tersier dan kwarter; batuan sediment Tersier bawah hamper tidak ditemukan
diwilayah Kepulauan Banggai dan Sula ini, yang mungkin karena adanya runpang
sedimentasi.

Komplek batuan alas


Batuan tertua yang merupakan atas daripada batuan sediment Mesozoikum terdiri
dari sekis, genes,filit, kwarsit, pualam, batuan terkersikkan, batupasir, serpih, batusabak,
andesit dan dasit. Batuan ini diterobos oleh granit, granodiorit, diorite dan sienit berupa
batolit dan tiang. Batuan terobosan mikrodiorit,diabas, aplit dan pegmatite umumnya
berupa retas. Dibanyak tempat, batuan alas ini terlihat mengalami deformasi yang kuat
serta batuannya sangat terkoyakkan. Deformasi kuat juga terpengaruh pada batuan
terobosan asam dan menengah.Dipulau Sulabesi batuannya lebih kuat
terkoyakkandaripada batuan alas dipulau-pulau yang lain. Granit di pantai barat pulau
Sulabesi terlihat terdaunkan. Dibagian timur pulau Mangole sebagian besar batuan
alasnya terdiri dari komplek batuan beku yangbervasi dari asam hingga basa, dan batuan
metasedimen yang diterobosnya. Makin kebarat, yakni dibagian barat pulau Mnagole dan
pulau Taliabu, makin banyak ditemukan sekis, genes dan filit. Dikepulauan Banggai,
batuan alas yang tersingkap disana sini diantara batuan sediment Kenozoikum terutama
terdiri dari sekis dan genes.
Batuan terobosan yang dipetakan terdiri dari granit, granodiorit, dan diorite.
Sebagian dari granitnya berwarna merah muda, yang merupakan cirri khas yang berbeda
dengan granit di Mendala Sulawesi Barat misalnya. Batuan gunung api bersifat dasit,
andesit dan riolit yang berupa ignimbrit dan vitrofier dipetakan terpisah secara kasar di
pulau Mangole dan Banggai. Batuan gunung api ini kiranya merupakan leleran
permukaan dari magma yang juga membentuk terobosan terobosan.
Penanggalan terhadap batuan alas yang dapat dilakukan barulah dengan cara
radiometri pada granit, ignimbrit dan sekis. Granit dari pulau Banggai dan Taliabu
berumur trias hingga perem ( 235 10 hingga 245 25 juta tahun ), ignimbrit dari
pulau Banggai dan Mangole juga berumur trias hingga perem ( 210 + 25 hingga 330
90 juta tahun ), dan sekis dari pulau Peleng berumur karbon ( 306 305 6 juta tahun )
( mobiloil Co, komunikasi tertilis, 1973 ).

Batuan Sedimen Mesozoikum


Deret batu pasir dan konglomerat yang tebalnya tidak kurang dari 2000 meter
menindih tak selaras batuan alas, dan membawahi selaras batuan serpih yang berumur
jura atas. Deret sedimen ini bertipe molasa dan terdiri dari lapisan batupasir dengan
sisipan konglomerat kasar dan batubara.
Komponen batupasir dan konglomeratnya jelas terlihat terdiri dari rombakan
batuan alas yang berupa batuan metamorfosis, sedimen, gunung api dan batuan
terobosan. Batu pasirnya bervariasi dari bersifat kuarsa, arkosa hingga grawake. Butir
butir pasir dan kerikil dari granit merah adalah komponen yang mudah dikenal di dalam
deret sedimen ini. Suatu hal yang sangat menarik ialah ppenyebaran daripada rombakan
granit merah ini (GB 3 ). Butir butir pasir dan kerikil granit merah yang asalnya dari
pulau Banggai dan Sula ditemukan pula dibagian timur Mendala Sulawesi Timur
( hopper, 1941 dan kundig, 1956 ).
Fosil fosil yang ditemukan belum memberikan petunjuk umur daripada deret
batu pasir dan konglomerat ini ; tetapi yang jelas ditindih selaras oleh deret serpih yang
berumur jura atas. Adanya batubara, sisa tumbuhan terarangkan, sepongea, ostrakoda dan
foraminifera menunjukan bahwa deret batu pasir dan konglomerat ini diendapkan dalam
lingkungan terestris hingga neritik lepas paparan.
Mendala Sulawesi Timur batuannya didominasi oleh batuan dasar samudra yang
terdiri dari ofiolit dan sedimen laut dalam. Ada kemungkinan bahwa molasa Banggai-
Sula di daerah bagian timur Mendala Sulawesi Timur ini diendapkan di atas batuan dasar
samudra tersebut yang telah mendangkal dan yang telah berdampingan dengan lempeng
Banggai-Sula. Kundig ( 1956 ) menyatakan bahwa batu pasir dan konglomerat di daerak
Toeli bagian timur Mendala sulawesi timur, diendapkan di dalam laut dangkal di sebelah
barat kraton intraorogen Banggai-Sula.
Deret sedimen yang menindih selaras di atas batu pasir dan konglomerat adalah
deret serpih yang tebalnya tidak kurang dari 3500 meter. Batuannya terdiri dari lapisan
lapisan serpih hitam dan kelabu yang banyak mengandung fosol fosil amonit, belemnit
dan pelesipoda. Di dalamnya ditemukan sisipan sisipan batu pasir buncak buncak
batu gamping dan argilit dan kongkreso kerucut dalam kerucut.
Pengenalan fosil mollusca yang dipungut selama pemetaan tinjau 1971 itu
dilakukan oleh Ralp W. Imlay ( omunikasi tertulis USGS, 1972 ). Fosil fosil
Machrocephalites, oecotraustes, oxycerites, bositra bouchii, kranosphinctes,
prograyiceras, mayaites, bichotomosphinctes, peltoceratoides, haplothyloceras,
blanfordericeras, dan firgotosphinctes menunjukan umur jura atas. Dikirakan bahwa
deret serpih ini diendapkan dalam lingkungan air laut tenang dibawah dasar gelombang
( Ralp W. Imly, komunikasi tertulis USGS, 1972 ). Pengenalan fosil mikro dilakukan oleh
Tom Rothwell ( komunikasi tertulis Gulf + western indonesia Inc.,1973 ). Fosil jura atas
yang ditemukan hanya berupa radiola . fosil fosil enoceramus dan foraminifera, yang
ditemukan di dalam batuan serpih, menunjukan kemungkinan umur jura atas hingga
kapur. Dikirakan batuannya diendapkan di lingkungan neritik lepas paparan hingga batial
tengah ( 300 / 1600 meter ).
Deret ser5pih dan batu deret batupasir dan konglomarat tersebar luas dipulau
Taliabu dan pulau Mangole. Didaerah barat deret-deret ini hanya tersingkap sempit
dibagian timur pulau Peleng, diantara batuan neogen yang tersebar sangat luas. Dipulau
Sulabesi hanyaditemukan deret batu pasir dan konglomerat, dengan sisipa-sisipan serpih
hitam dan batubara. Deret serpih dan konglomerat dipulau Sulabesi ini menindih tak
selaras batuan alas dan ditindih tak selaras oleh batuan Neogen. Tidak ditemukan fosil
didalamnya, tetapi menurut jenis batuannya dapat dipersamakan dengan derert batu pasir
dan konglomerat di pulau Taliabu dan pulau Mangole.
Deret serpih Jura tersebut keatasnya beralih secara berangsur kebatuan napalan
yang berumur kapur, dengan melewati sisipan-sisipan batupasir barglaukonit gampingan.
Batuan kapur ini terdiri dari napal dan serpih dengan sisipan-sisipan batu pasir dan batu
gamping. Dipulau Taliabu dan pulau Mangole batuan kapur ini tersingkap tidak kurang
dari 1.250 m tebalnya. Dipulau-pulau yang lain batuan ini tidak ditemukan, kecuali
dibagian timur pulau Peleng tersingkap sedikit bersama dengan batuan serpih Jura.
Umur batuan napal dan serpih ini ditentukan berdasarkan pengenalan foram
plankton dan benton yang dilakukan oleh Tom Rothwell ( komunikasi tertulis, Gulf +
Western indomesia, INC., 1973 ). Fosil-fosil yang dikenali diantaranya ialah :
Globotruncana, Globigerinelloides, Abathomphalus, Ventilabrella, recemiquembelina,
Pseudotextularia dll. Lingkungan pengendapannya kira-kira ialah neritik lepas paparan
hingga batial atas ( 300-600 m ).

Batuan sedimen Kenozoikum


Batuan tersier menindih tak selaras batuan kapur. Penyebarabbya sabgat luas
dikepulauan Banggai; tetapi hanya sedikit dikepulauan Sula, yakni dibagian selatan pulau
Sulabesi, dipulau ufumatola, dibagian timur pulau Mangole dan dibagian utara pulau
Taliabu dan Mangole. Sebagian besar batuan tersier terdiri dari batu gamping. Dibagian
selatan pulau Sulabesi, dibagian timur pulau Mangole dan di pulau Ufumatola,
Batuannya terutama terdiri dari batugamping koral, dengan sisipan-sisipan batupasir.
Diujung timur pulau Mangole ditemukan batupasir yang dapat dipetakan, dan yang
dikirakan seumur dengan batuganpingnya. Fosil-fosil Globoqudrina, Globorotalia dan
Sphaeroidinella didalam batugamping dari pulau Sulabesi yang dikenali oleh Tom
Rothwell menunjukkan umur Pliosen ( komunikasi tertulis, Gulf + Western indomesia,
INC., 1973 ). Batu gamping yang mengandung Proporocyclina dari pulau Timpaus
dikirakan berumur Eosen. Disamping fosil-fosil Foraminifera tersebut diatas, beberapa
jenis moluska, pecahan Echinoida, jejak cacing, ganggang dan koral menunjukkan
lingkungan pengendapan dari air sadah hingga neritik paparan tengah.
Batu gamping koral yang meliputi sebagian besar dari pulau Peleng dan pulau-
pulau disekitarnya, dan dipantai utara pulau Taliabu dan pulau Mangole, dikirakan di
endapkan selama waktu Pliosen hingga Plistosen. Batugamping ini dipulau Peleng telah
terangkat, hingga dibagian tengah pulau mencapai ketinggian 1.000 m. Batugamping ini
oleh koolhoven (1930) disebut Peling-kalken.

Analisis Geologi Banggai Sula


Sebagai kesimpulan daripada uraian singkat ini didapatkan tiga buah segi
pemandangan geologi, yang dapat dipakai sebagai parameter untuk menganalisa
perkembangan tektonik wilayah kepulauan Banggai dan Sula, dan daerah sekitarnya.
Tiga buah segi pemandangan geologi itu adalah sebagai berikut :
1. Deformasi kuat yang menyebabkan pelipatan, koyakan dan metamorfosa, dan
kegiatan magma yang menyebabkan timbulnya terobosan-terobosan serta
munculnya gunungapi di Mendala Banggai-Sula ini terhenti pada Zaman Trias.
2. Orogenesa kuat terjadi dan diikuti oleh pengendapan molasa Banggai Sula, yang
penyebarannya hingga dipinggiran timur komplek ofiolit dan Mendala Sulawesi
Timur (gb.4), pengendapanmolasa Banggai-Sula ini mungkin terjadi pada Zaman
Akhir Trias Jura atau Awal Jura.
3. Sejak Zaman Akhir Trias hingga sekarang di Mendala Banggai-Sula ini tidak lagi
terjadi kegiatan magma dan orogenesa yang kuat. Tektonik selanjutnya bercirikan
gerakan orogenik, yang digambarkan didalam jenis sedimennya serta lingkungan
pengendapan (Gb.4).

GEOLOGI DAN TEKTONIK BANDA DAN TUKANG BESI


Indonesia terletak diantara tiga pertemuan lempeng besar yaitu Lempeng Indo
Australia di selatan yang relatif bergerak ke arah utara dengan kecepatan 5,1 cm/tahun,
Lempeng Pasifik di sebelah timur yang bergerak relatif ke arah barat dengan kecepatan
8,5 cm/tahun dan Lempeng Eurasia di utara yang relatif lebih stabil (Sukamto, 2000).
Kawasan Timur Indonesia merupakan daerah pertumbukan antara lempeng benua
Australia dan busur kepulauan Asia Tenggara (Smith, 1983). Salah satu pertumbukan
lempeng tersebut terjadi antara kerak benua Indo-Australia dengan kerak benua Australia.
Laut Banda diperkirakan terjadi karena pemekaran busur belakang pada Kala
Miosen (Miocene Back Arc Spreading) (Hamilton, 1979; Hall, 1996), merupakan hasil
perangkap kerak samudera Hindia tua yang berumur Kapur pada waktu Neogen (Bowin
dkk, 1980; Karta, 1985; Lapouille dkk, 1985; Lee & McCabe, 1986; Prasetyo, 1989),
sedangkan menurut Silver dkk (1985) merupakan kompleks cekungan yang dibentuk
karena perangkap kerak samudera tua (Cekungan Sula dan Banda) dan perpindahan
fragmen kerak benua (Punggungan Banda), serta berdasarkan analisis pelenturan
merupakan hasil pemekaran lantai samudera belakang busur kepulauan dan hasil
peremajaan kerak (Taib, 1996,1997).
Secara geomorfologi, Silver (1983) membedakan sistem Laut Banda menjadi tiga
bagian yaitu:
1. Cekungan Banda (Banda Basin) di sebelah selatan, memanjang dengan arah
timurlaut baratdaya, dibatasi oleh Pulau Wetar, Pulau Romang, Kepulauan
Tanimbar, Kepulauan Kai, Pulau Seram dan Punggungan Banda (Kepulauan Penyu
dan Lucipara).
2. Punggungan Banda (Banda Ridges) di bagian tengah, terdiri dari gugusan
punggungan dan pulau-pulau berarah baratdaya timurlaut yang memisahkan
Cekungan Sula dan Cekungan Banda.
3. Cekungan Sula (Sula Basin) di bagian utara yang berbentuk relatif bujursangkar,
dibatasi oleh Pulau Sulawesi, Kepulauan Tukangbesi, Kepulauan Sula, Pulau Buru
dan Punggungan Banda (Kepulauan Penyu dan Lucipara).
Berdasarkan penafsiran liniasi magnetik, Laut Banda Utara merupakan bagian
dari Laut Banda Selatan yang berasal dari kerak samudera Hindia yang terperangkap dan
berumur Kapur Atas atau lebih muda (Bowin, 1980; Karta, 1985; Lapouille, 1985; Lee
dan McCabe, 1986), sedangkan berdasarkan rekonstruksi geodinamika dan kesamaan
pola akuisisi batuan dasar yang berumur Neogen, Laut Banda Utara merupakan bagian
lempeng Laut Maluku yang berasal dari Samudera Pasifik (Silver, 1985). Rehault dkk
(1991) mengungkapkan bahwa Laut Banda Utara berasal dari bagian kerak samudera
muda dan tertekan diantara sesar mendatar yang luas dan aktif pada saat tumbukan antara
mikrokontinen Sula dan Tukangbesi dengan Sulawesi Barat.
Cekungan Banda Utara merupakan laut dalam yang terganggu oleh sejumlah
patahan berarah baratlaut - tenggara yang memotong batuan dasar cekungan dalam
bentuk blok-blok dengan lereng-lereng yang sangat terjal. Hasil penanggalan umur pada
batuan dasar yang berjenis lava bawah laut menunjukkan umur 6 9 juta tahun yang
mengindikasikan bahwa Cekungan Banda Utara mempunyai sejarah geologi sangat
muda. Secara umum cekungan ini merupakan bagian dari lempeng Eurasia dan Australia
yang telah mengkompresi dan mengetatkan seluruh struktur sehingga mengakibatkan
blok-blok kecil terpisah dan beberapa cekungan samudera terbuka (Rehault dkk, 1994).
Gambar 2.1 Tatanan geologi Indonesia bagian timur. Sumber Hamilton (1979).

Kerak samudera pada Cekungan Banda Utara telah mengalami proses


penunjaman di bawah Pulau Sulawesi, terbukti dengan mengembungnya dasar cekungan
pada bagian tengah dan menunjam ke arah barat di bawah Pulau Sulawesi. Pada bagian
palungnya, sedimen mengisi tepian Sulawesi membentuk sedimentasi prisma akresi Tolo
(Rehault dkk, 1994).

Mandala Geologi Cekungan Banda Utara


Cekungan Banda Utara terbagi menjadi enam mandala berdasarkan kenampakan
batimetri (Gambar 2.2), yaitu paparan Lengan Tenggara Sulawesi pada bagian barat,
Banggai-Sula pada bagian utara, Sulabesi-Buru pada bagian timur, blok Muna-Buton-
Tukangbesi pada bagian baratdaya, Punggungan Sinta pada bagian tenggara dan pusat
cekungan dalam pada bagian tengah (Sarmili, 1992).
Paparan Lengan Tenggara Sulawesi
Paparan Lengan Tenggara Sulawesi berbentuk sejajar dengan pantai Lengan
Tenggara Sulawesi dan mempunyai kedalaman mencapai 500 m pada bagian dangkal.
Cekungan sempit dengan kedalaman 500 m 1000 m dan memanjang selebar 50 km
sejajar dengan pantai Sulawesi Tenggara yang berarah baratlaut tenggara berhubungan
dengan struktur di daratan Sulawesi, tepatnya pada bagian utara Kendari. Pada bagian
timur dari mandala ini terdapat prisma akresi Tolo yang memperlihatkan relief curam dan
berbukit-bukit sampai dengan kedalaman 4000 m serta Palung Buton yang terdapat pada
bagian tenggara dengan kedalaman lebih dari 6000 m menerus ke utara dengan Palung
Tolo.

Gambar 2.2 Batimetri Cekungan Banda Utara. Sumber Sarmili (1992).

Banggai-Sula
Banggai-Sula merupakan platform yang relatif besar dan memanjang serta
dikontrol oleh Zona Rekahan Sorong Selatan (Silver, 1985; Rehault, 1991; Sarmili,
1992). Pada bagian selatan Banggai-Sula terdapat lereng curam yang memanjang timur -
barat mengikuti orientasi mikrokontinen Banggai-Sula dengan kedalaman 4400 m dan
pada bagian bawah lereng tersebut terdapat depresi yang besar dengan kedalaman lebih
dari 5000 m, yang disebut sebagai Zona Rekahan Sula Selatan.

Paparan Sulabesi dan Buru


Paparan Sulabesi dan Buru merupakan lereng yang curam ke arah barat dan
dibatasi cekungan pusat yang mencapai kedalaman lebih dari 5000 m. Depresi yang luas
dan melintasi Cekungan Banda Utara serta merupakan kelurusan utama disebut Zona
Rekahan Buru Barat (Rehault dkk, 1991 dan Sarmili, 1992).

Blok Muna-Buton-Tukangbesi
Platform Tukangbesi terletak di sebelah tenggara Pulau Buton, berbentuk
memanjang dan tegak lurus platform Muna-Buton. Platform ini disusun oleh koral atol
dan pulau-pulau dengan teras-teras gamping Neogen sampai Resen yang terangkat ke
permukaan. Punggungan-punggungan muncul dari puncak kedalaman kurang dari 200 m
dan sistem palungnya lebih dalam dari 1000 m. Punggungan pada bagian timur platform
Tukangbesi muncul pada kedalaman kurang dari 2000 m dan palung memanjang
memisahkan punggungan-punggungan dengan kedalaman 4000 m. Pada bagian timur
dari platform mempunyai topografi kasar dan ditutupi sedimen sangat tipis (penampang
seismik dalam Hamilton, 1979 dan Bowin dkk, 1980).
Batuan alas platform Tukangbesi diperkirakan merupakan fragmen benua
(Hamilton, 1979; Silver dan Mc Caffrey, 1983; Rehault dkk, 1993) yang mirip dengan
platform Sula, dan batuan sedimen pada Kompleks Wolio, Buton sebagai hasil deformasi
akibat tumbukan fragmen Tukangbesi dengan Sulawesi. Bukti-bukti bahwa platform
Tukangbesi mempunyai basement benua adalah bentuk punggungan-punggungannya
yang memanjang dengan puncak kedalamannya yang dangkal, adanya palung yang
kedalamannya sangat mencolok, keberadaan sedimen yang menutupinya dan formasi
karang dari fosil busur vulkanik atau irisan material vulkanik samudera (Rehault dkk,
1993).
Pada bagian utara, sebuah zona depresi (Sesar Hamilton) yang merupakan sesar
transform berarah baratlaut tenggara dengan inklinasi sangat dalam ke arah timur
(Hamilton, 1979 dan Sarmili, 1992) memisahkan platform dari punggungan-punggungan
bagian timur yang berarah timurlaut. Pada bagian dinding Sesar Hamilton tersingkap
basement Tukangbesi dan didapatkan jenis diabas yang mirip dengan transisi basalt
samudera pada bagian Laut Banda Utara (Rehault dkk, 1993).

Punggungan Sinta
Punggungan Sinta yang berorientasi barat timur mempunyai relief punggungan
bawah laut yang tinggi dan memanjang dengan kedalaman lebih dari 2000 m serta
mencapai panjang 250 km dan bagian yang paling dangkal dengan kedalaman 800 m
berada di selatan Pulau Buru. Bagian baratdaya Punggungan Sinta dibatasi oleh depresi
Palung Tukangbesi yang berarah baratlaut tenggara (Sarmili, 1992).

Pusat Cekungan Banda


Pada pusat Cekungan Banda, yang merupakan dataran abisal paling dalam di
wilayah Indonesia Timur dengan kedalaman laut lebih dari 5000 m, terletak Palung
Buton dan platform Tukangbesi serta pada bagian pusatnya muncul morfologi yang
disebut sebagai Punggungan Tampomas.

Struktur Geologi Cekungan Banda Utara


Berdasarkan interpretasi batimetri dan seismik pantul, Cekungan Banda Utara
dibagi menjadi lima kompleks tektonik (Sarmili, 1992) yaitu (Gambar 2.3):
1. Kompleks akresi Matano-Tolo
2. Zona Rekahan Hamilton
3. Zona Rekahan Buru Barat
4. Zona Rekahan Sula Selatan
5. Punggungan Sinta
Gambar 2.3 Kerangka struktur Cekungan Banda Utara. Sumber Rehault dkk
(1993).

Kompleks akresi Matano-Tolo


Zona rekahan Matano terletak pada paparan Sulawesi Tenggara di sebelah utara
Buton, terdiri dari palung yang landai dan memanjang, berbatasan dengan blok Banggai-
Sula pada bagian utara dan struktur geologinya diperkirakan sebagai hasil pergerakan
Zona Rekahan Sula Selatan.
Prisma Tolo yang terletak di sebelah timur paparan Lengan Tenggara Sulawesi
merupakan hasil dari konvergensi antara Cekungan Banda Utara dengan paparan
Sulawesi Tenggara. Berdasarkan tumbukan antara platform Banggai-Sula dengan paparan
timurlaut Sulawesi, arah konvergensi Cekungan Banda Utara adalah timur - barat (Silver
dkk, 1983a dan b). Namun, perkembangan prisma pada bagian timurlaut lebih baik
daripada bagian utara dan arah struktur yang diketahui sebagai palung diinterpretasikan
sebagai arah konvergensi tenggara-baratlaut yang sedimennya berasal dari bagian
timurlaut Sulawesi dan Banggai-Sula. Hal tersebut membuktikan bahwa prisma Tolo
dihasilkan oleh penunjaman berarah baratlaut tenggara antara Laut Banda Utara dengan
Lengan Tenggara Sulawesi.
Sesar naik Tolo yang berada di sebelah timur Sulawesi Tenggara berhubungan
dengan orientasi struktur di Buton yang mempunyai arah umum utara - selatan sampai
timurlaut - baratdaya. Jejak sesar naik ini berubah menjadi arah timur barat di Teluk
Tolo yang kemudian berlanjut ke arah baratlaut dengan Sesar Matano yang merupakan
sesar mendatar sinistral aktif di Sulawesi Tengah dan memotong sedimen Kwarter. Lebar
zona deformasi Sesar Naik Tolo semakin berkurang ke arah selatan menuju Buton dan
berhenti pada bagian baratlaut platform Tukangbesi menuju zona perlipatan antara Buton
dan Tukangbesi. Umur dari sesar ini tidak diketahui, namun berdasarkan kelanjutannya
dengan Sesar Matano, kemungkinan Sesar Naik Tolo berumur lebih muda dari deformasi
di Buton.

Zona Rekahan Hamilton


Zona Rekahan Hamilton berarah baratlaut - tenggara dan merupakan lereng
sangat curam yang mencapai kedalaman 3250 m pada bagian timur dan pada beberapa
tempat lebih dari 5250 m. Panjang kelurusan sesar ini lebih dari 300 km, berakhir pada
sisi baratlaut Pulau Wowoni dan kemiringannya semakin mengecil ke arah timur serta
menghilang pada Punggungan Sinta yang merupakan pemisah antara Cekungan Banda
Utara dengan Cekungan Banda Selatan. Palung Tukangbesi memisahkan dua unit
morfologi yang sangat mencolok, dimana pada bagian barat merupakan kerak benua dan
pada bagian timur merupakan kerak samudera. Deformasi diperkirakan berlanjut ke arah
barat berlanjut dengan Zona Rekahan Lawanopo, dimana sesar aktif kembali dan berarah
baratlaut tenggara sejajar dengan Zona Rekahan Hamilton (Rehault dkk, 1991).

Zona Rekahan Buru Barat


Zona rekahan Buru Barat terletak pada bagian timurlaut Laut Banda Utara di
sebelah baratdaya Pulau Buru, merupakan struktur yang lurus sepanjang 300 km dan
sejajar dengan arah Zona Rekahan Hamilton. Kelurusan baratlaut - tenggara dan tampilan
konfigurasi dari graben besar serta flower structure dari penampang seismik, menandakan
konsekuensi dari pergerakan sesar mendatar yang diperkirakan sebagai sesar mendatar
sinistral yang aktif pada saat pergerakan kerak di Cekungan Banda Utara (Rehault dkk,
1991 dan Sarmili, 1992) atau sebagai struktur transtensional.

Zona Rekahan Sula Selatan


Zona rekahan Sula Selatan berarah timur - barat dan memperlihatkan struktur
yang mengembung pada graben ekstensi di Pulau Sanana. Lereng timur barat di selatan
platform Banggai-Sula merupakan lokasi dari sesar utama Zona Rekahan Sula Selatan
(Malod dkk, 1992).

Punggungan Sinta
Punggungan Sinta merupakan punggungaan yang tersesarkan lemah dengan arah
baratlaut - tenggara. Punggungan ditutupi oleh sedimen tipis yang mirip dengan sedimen
yang menutupi bagian pusat Cekungan Banda Utara.

Evolusi Cekungan Banda Utara dan Sulawesi


Perkembangan Sulawesi dan Cekungan Banda dipengaruhi oleh sejumlah
mintakat benua seperti Banggai-Sula, Buton dan Tukangbesi yang berasal dari paparan
utara benua Australia (Hamilton, 1979; Pigram & Panggabean, 1984; Pigram dkk, 1985;
Audley-Charles, 1988; Metcalf, 1988, 1990; Simandjuntak, 1994; Surono, 1997).
Evolusi tektonik Cekungan Banda terjadi akibat interaksi konvergen dan
divergen, yang terdiri dari:
a. Konvergensi jenis Cordilleran Kapur dimana kerak Laut Banda menunjam
dibawah Lempeng Eurasia sehingga menghasilkan busur vulkanik Paleogen di
Sulawesi Barat, melange Kapur dan metamorfik Kapur-Paleogen di Sulawesi Tengah.
b. Interaksi divergen dimana beberapa mikrokontinen, seperti platform Banggai-
Sula, Tukangbesi-Buton, Mekong-Ga, Seram-Buru, Obi-Bacan, Misol-Kepala Burung
dan Lucipara, terlepas dari paparan baratlaut Australia dan bergerak ke arah barat atau
baratlaut oleh sesar transcurrent-transformal.
c. Konvergensi jenis Tethyan Neogen dimana platform Banggai-Sula menempatkan
jalur ofiolit dan busur kepulauan di Sulawesi Timur bersamaan dengan penunjaman
laut Sulawesi ke bawah Lengan Utara Sulawesi.
Mintakat-mintakat benua di Indonesia bagian timur merupakan pecahan (breakup)
dari paparan benua dan dipindahkan kearah baratlaut oleh pemekaran lantai samudera
(sea-floor spreading) dan sesar transform (Surono, 1997).
Pre-breakup dicirikan oleh cepatnya penunjaman cekungan intrakraton yang
merupakan perkembangan paparan benua baru. Cekungan ini mempunyai tingkat
sedimentasi tinggi yang didominasi oleh lapisan silisiklastik yang diendapkan dalam
lingkungan non-marin sampai marin.
Breakup ditandai dengan terjadinya pensesaran secara besar-besaran, vulkanisme
lokal, pengangkatan sebagai indikasi turunnya muka laut serta terjadinya erosi. Pada
tahap ini kerak samudera mulai terbentuk pada saat pemekaran benua.
Post-breakup dicirikan oleh penurunan atau penunjaman paparan benua dengan
perkembangan pengendapan sedimen marin secara terbatas diikuti pembukaan lautan.
Smith (1983) mengungkapkan model kinematik yang dapat menjelaskan evolusi
tumbukan di Sulawesi Timur yaitu:
1. Tumbukan terjadi antara dua fragmen benua yang terpisah (platform
Tukangbesi dan Sula) dengan Sulawesi.
2. Penyatuan secara oblig antara platform Sula dengan Sulawesi
menghasilkan tumbukan dengan arah pergerakan ke utara diawali dari
Buton dan berakhir pada Lengan Timur Sulawesi.
Rekonstruksi tentang dinamika platform Tukangbesi dan Sula (Gambar 2.6)
menurut Smith (1983):
1. Fragmen Tukangbesi dan fragmen Sula merupakan fragmen benua yang berasal
dari paparan utara New Guinea (Irian Jaya) (Visser dan Hermes, 1962; Hamilton,
1979). Pada Miosen Awal bertumbukan dengan muka busur kepulauan bagian selatan
(Jacques dan Robinson, 1977; Hamilton, 1979) sehingga terlepas dan bergerak ke
arah barat mengikuti jalur sesar mendatar mengiri Sorong. Australia yang bergerak ke
arah utara menuju Eurasia sejak kala Eosen (Johnson dkk, 1976; Smith dkk, 1981)
mendorong terjadinya tumbukan antara fragmen Tukangbesi dengan Buton pada
Miosen Tengah, sedangkan fragmen Sula yang terlepas lebih akhir dibanding fragmen
Tukangbesi bertumbukan dengan Sulawesi di Lengan Tenggara dan Lengan Timur
pada Kala Miosen Akhir.
2. Tukangbesi dan Sula merupakan fragmen yang berbeda. Tumbukan antara
fragmen Sula yang merupakan fragmen benua dengan Sulawesi di Buton dimulai
pada Miosen Tengah dan terus bergerak ke utara sehingga bersentuhan dengan
Lengan Timur Sulawesi pada akhir Miosen Akhir. Fragmen Sula bergerak ke utara
dan meninggalkan batuan sedimen yang terdeformasi kuat, membentuk jejak
tumbukan. Tukangbesi yang merupakan fragmen kerak yang belum jelas
bertumbukan dengan Buton pada Miosen Akhir, dan peristiwa ini sebagai akibat dari
berlanjutnya konvergensi Buton pada Miosen Tengah dan Miosen Akhir.
3. Tukangbesi dan Sula merupakan fragmen benua yang pada awalnya bersatu.
Fragmen ini bertumbukan dengan Sulawesi pada Miosen Awal di Buton sehingga
terpecah dan bagian selatannya tertinggal sebagai platform Tukangbesi, sedangkan
bagian yang lainnya terus bergerak ke utara sebagai platform Sula.
Gambar 2.6 Rekonstruksi dinamika mintakat Tukangbesi dan Sula (Smith,
1983).

Perbandingan Stratigrafi Cekungan Banda Utara dan Sulawesi


Pada Zaman Perm Akhir sampai Trias Awal terjadi ketidakselarasan yang
dibuktikan dengan adanya granit yang mengintrusi batuan metamorf Pra-Karbon di
Banggai-Sula (Sukamto, 1975; Supandjono dkk, 1993; Smith, 1983; Surono, 1997),
pantai barat Teluk Bone di Sulawesi Tenggara (Surono, 1997) dan Papua New Guinea
(Dow, 1977; Pigram & Davies, 1987; Surono, 1997). Pada Zaman Trias Akhir cekungan
semakin dalam dengan indikasi progresi ke atas dari tingkatan fluvial pada bagian dasar
dan batuan delta pada bagian tengah.
Hiatus Jura Awal terjadi pada seluruh mintakat benua di Indonesia timur yang
berasal dari Australia. Pada Zaman Jura Akhir terjadi rifting benua Australia dalam
wilayah antara Sulawesi Timur dan Timor (Falvey & Mutter, 1981; Pigram &
Panggabean, 1984; Audley-Charles, 1987; Surono, 1997) dan magmatisma di Formasi
Bobong Banggai Sula kemungkinan berhubungan dengan kejadian pemisahan tersebut,
sedangkan di Lengan Tenggara Sulawesi kejadian breakup ditandai dengan pengangkatan
yang diikuti turunnya muka laut serta erosi.
Peningkatan kedalaman cekungan yang terjadi pada saat pengendapan merupakan
refleksi transgresi secara besar-besaran setelah pemisahan, kemungkinan dihasilkan dari
subsidence akibat perpindahan fragmen benua dari daerah pemekaran (rift). Batuan
sedimen klastik makin berkurang dan ditempati oleh kenaikan jumlah batuan karbonat,
selain itu chert dengan radiolaria yang melimpah menunjukkan umur Jura-Kapur Awal.
Pada Kapur Awal terjadi ketidakselarasan di platform Banggai-Sula dan
Tukangbesi yang berkaitan dengan cepatnya kenaikan muka laut dan terhentinya
sedimentasi di lautan karena terperangkap dalam kompleks delta.
Hiatus Akhir Kapur terjadi di Lengan Tenggara, Buton (Smith, 1983;
Simandjuntak dkk, 1991; Surono, 1997), Banggai-Sula (Surono & Sukarna, 1993; Surono
dkk, 1994; Surono, 1997), dan Papua New Guinea (Pigram & Davies, 1987; Surono,
1997). Hal tersebut menunjukkan bahwa pengangkatan mintakat benua diatas muka laut
terjadi pada saat drifting (Surono, 1997), searah dengan perpindahan transcurrent-
transformal pada saat penurunan muka laut dan divergensi tektonik yang berhubungan
dengan aktifnya Sistem Sesar Sorong yang memecahkan dan menempatkan Banggai-
Sula, Tukangbesi-Buton dan Buru-Seram ke arah barat dari Irian (Simandjuntak, 1990)
dan hiatus ini dianggap sebagai ketidakselarasan post-breakup (Pigram & Panggabean,
1984; Surono, 1997).
Hiatus Miosen Tengah berkaitan dengan konvergensi tektonik di Sulawesi timur
yang menyebabkan tumbukan antara Banggai-Sula dan Tukangbesi dengan jalur ofiolit
Sulawesi.
Tabel 2.1 Perbandingan Stratigrafi Sulawesi Tenggara, Buton, Banggai-Sula dan Papua
New Guinea (Surono, 1997).

Sekuen Turumbia, Buton merupakan batuan yang tidak termetasedimen, dimana


bagian yang tua terdiri dari batuan klastik yang berasal dari benua dan berumur Trias,
sedangkan lapisan Jura Eosen terdiri dari batugamping pelagis laut dalam. Sekuen
tersebut bergabung dan berdeformasi dengan paparan barat platform Tukangbesi pada
saat tumbukan Miosen. Ofiolit Buton merupakan kompleks ultrabasa Kapantoreh (Hetzel,
1936; Smith, 1991; Endharto & Surono, 1991) yang tersingkap pada bagian barat Buton
serta terdiri dari peridotit dan gabro.
Zona tumbukan di Buton dan Lengan Timur Sulawesi dicirikan oleh akresi dari
sekuen batuan Mesozoikum sampai Miosen yang mempunyai kemiripan geologi dengan
platform Sula. Kemiripan geologi Buton dan platform Sula ditunjukkan oleh filit Formasi
Doole yang merupakan fragmen basement terkristalisasi di Buton, mirip dengan bagian
dari basement pre-Trias platform Sula, dan batupasir terigenus yang mengandung lithic
arenite dengan filit dan sekis mika berasal dari basement yang sama. Namun, terdapat
perbedaan fasies sedimen Tersier antara Buton dan Lengan Timur Sulawesi, dimana
tumbukan di Buton melibatkan fasies distal dan karbonat paparan laut dalam, sedangkan
di Lengan Timur Sulawesi menunjukkan transisi antara fasies laut dalam sampai paparan
laut dangkal.
Buton memiliki kesamaan jenis batuan dengan Lengan Tenggara Sulawesi Timur
yaitu batuan ultramafik, batuan sedimen Mesozoikum dan Paleogen yang terdeformasi
kuat dan batuan sedimen Neogen yang kurang terdeformasi. Studi provenance
menunjukkan bahwa Formasi Winto di Buton yang berumur Trias mempunyai kemiripan
sumber metamorf dengan Formasi Meluhu Anggota Toronipa di Sulawesi Tenggara
(Smith, 1983; Surono, 1997), dimana kedua formasi menunjukkan tipe sekuen paparan
benua dan lingkungan pengendapan semakin dalam ke atas seperti sekuen menjadi
kalkareus. Namun, tebalnya lapisan berumur Trias di Sulawesi Tenggara menunjukkan
bahwa mintakat ini lebih jarang mengalami penurunan daripada di Buton (Surono, 1997).
Buton menunjukkan perbedaan dengan Sulawesi Tenggara sejak Zaman Jura
Awal, sehingga kemungkinan setelah Trias mempunyai perkembangan masing-masing
atau terpotong oleh sesar naik. Hal itu mengindikasikan bahwa kemungkinan mereka
berpisah pada waktu pemisahan benua Zaman Jura (Surono, 1997).
Sulawesi Tenggara tersusun oleh basement batuan metamorf berderajat rendah,
beberapa intrusi aplitik, lapisan sedimen klastik dan karbonat Mesozoikum, batugamping
Paleogen (Surono, 1997) dan ofiolit tua yang terangkat ke permukaan pada bagian ujung
timur Sulawesi Tenggara. Pada metamorfisma tersebut terdapat fasies epidot-amfibolit
metamorf tua dan fasies sekis glaukofan dari metamorf dinamo berderajat rendah yang
berumur lebih muda (deRoever, 1956; Helmers dkk, 1989, 1990; Surono, 1997).
Metamorf yang lebih tua terkubur ketika metamorf yang lebih muda terbentuk akibat
overthrusting secara luas ketika mintakat benua Sulawesi Tenggara bertumbukan dengan
jalur ofiolit. Mintakat benua Sulawesi Tenggara dan ofiolit dipisahkan oleh sesar naik
yang membentuk zona imbrikasi antara dua mintakat, lalu dipotong oleh sesar mendatar
mengiri yang berumur lebih muda, yang mendominasi struktur di Sulawesi.
Tumbukan antara busur kepulauan Sulawesi dan platform Banggai-Sula
menghasilkan ofiolit di Lengan Timur dan Lengan Tenggara Sulawesi. Ofiolit Lengan
Timur Sulawesi (segmen utara) yang dihasilkan akibat tumbukan antara Platform Sula
dan Sulawesi pada saat Miosen Tengah sampai Miosen Akhir (Hamilton, 1979; Smith,
1983), merupakan sekuen ofiolit lengkap dan umumnya merupakan kompleks ofiolit
tektonik ekstensif. Ofiolit tersebut tersingkap di daerah Poh Head yang didominasi oleh
gabro dan diabas pada bagian bawah dari unit ofiolit di bagian utara sesar naik Batui.
Berdasarkan penanggalan radiometric K-Ar pada gabro, dolerit dan basal, ofiolit
Sulawesi Timur berumur antara 93.42 dan 32.22 yang diinterpretasikan sebagai
indikasi lantai samudera Kapur dengan gunung bawah laut berumur Eosen atau Oligosen
(Simandjuntak, 1986). Ofiolit tersebut dibentuk oleh punggungan tengah samudra Kapur
Akhir Eosen pada koordinat 17-24 LS (Surono & Sukarna, 1995).
Ofiolit Lengan Tenggara Sulawesi terdiri dari batuan ultramafik (van Bemmelen,
1970; Hamilton, 1979; Smith, 1983) dan mlange yang dipisahkan oleh Sesar Lawanopo
dengan metamorf Sulawesi Tengah serta dipisahkan oleh Sesar Labengke dengan
sedimen karbonat paparan benua Zaman Paleogen. Ofiolit Lengan Tenggara Sulawesi
(segmen selatan) didominasi oleh serpentin hasburgit (Silver dkk, 1983), hasburgit,
batugamping, chert, serpih merah dan hornblenda (Silver dkk, 1983; Endharto & Surono,
1991).
Sekuen sedimen di Lengan Timur Sulawesi terdiri dari sekuen paparan benua
Trias Paleogen yang terdiri dari sedimen klastik kaya karbonat dan kuarsa, sekuen
sedimen laut dalam yang terdiri dari rijang dan radiolaria kaya kalsilutit berumur Kapur
dan merupakan bagian dari ofiolit, serta sekuen sedimen klastik post-orogenic Neogen
atau tipe sedimen molasse yang diendapkan pada bagian atas kompleks tumbukan dan
terdiri dari material yang berasal dari kompleks basement benua yang dicirikan dengan
kehadiran fragmen vulkanik menengah-asam, fragmen kuarsit, K-feldspar, muskovit,
biotit serta genes dan sekuen ofiolit.
Batuan metamorf di Banggai-Sula umumnya terdiri dari sekis mika, genes,
batusabak, filit dan kuarsit (Sukamto, 1975; Pigram dkk, 1985; Garrad dkk, 1989;
Surono, 1997). Batuan dasar pra-Karbon ditindih oleh riolit Karbon dan ignimbrit, serta
diintrusi oleh granitoid Perm-Trias.
Setelah terjadi tumbukan antara fragmen benua Banggai-Sula dan jalur ofiolit di
Sulawesi, maka diendapkan molasse yang terdiri dari sekuen sedimen klastik berbutir
halus sampai kasar dengan sekuen karbonat laut dangkal, secara luas di Sulawesi bagian
timur. Molasse diendapkan pada cekungan terbuka dan laut dalam yang diperkirakan
sebagai palung belakang busur yang memisahkan platform Banggai-Sula dengan
kompleks orogenesa Sulawesi bagian timur pada Miosen Tengah atau kemungkinan
sebagai trench-fill atau slope basin pada hanging wall kompleks akresi dari zona
tumbukan Sulawesi (Simandjuntak, 1990). Molasse di Lengan Tenggara lebih tua
(Miosen Awal) daripada molasse Lengan Timur yang berumur Miosen Akhir (Surono,
1997).
Kemiripan stratigrafi dan sejarah pengendapan antara Banggai-Sula dan Sulawesi
Tenggara menunjukkan bahwa mereka kemungkinan berasal dari bagian yang sama dari
Benua Australia yaitu fragmen benua Banggai-Sula Besar sampai pengendapan karbonat
Paleogen. Pemisahan Sulawesi Tenggara dan Banggai-Sula bertempat di Sulawesi
Tenggara, berdasarkan pengendapan molasse Sulawesi pada Miosen Awal (Formasi
Pandua) yang mempunyai fragmen yang berasal dari ofiolit dan mintakat benua (Surono,
1997).

Sejarah Tektonik Platform Tukangbesi


Konvergensi tektonik di Sulawesi terjadi dalam dua periode yaitu pada Zaman
Kapur dan pada Kala Miosen Tengah. Konvergensi Kapur menghasilkan penunjaman
Laut Banda dibawah Lempeng Eurasia, sedangkan pada Miosen Tengah terjadi tumbukan
antara blok Banggai-Sula dengan busur vulkanik Sulawesi Barat di muka lempeng Asia
sehingga menghasilkan ofiolit Sulawesi di bagian Timur (Rehault dkk, 1993;
Simandjuntak, 1994) yang diikuti dengan pengendapan molasse Sulawesi selama
Miosen-Pliosen Akhir (Kundig, 1956).
Gambar 2.7 Peta geologi Sulawesi bagian timur. Sumber Smith (1983).
Keterangan gambar: (1) Aluvium Kuarter; (2) Batugamping terumbu Neogen AtasKuarter; (3)
Neogen Celebes Molasse (Sulawesi); (4) Sekuen paparan pasif MesozoikumMiosen; (5) Batuan
sedimen dan mlange Mesozoikum-Paleogen; (6) Sekis, filit dan granit Pra-Trias; (7) Ofiolit; (8)
Sekis dan batuan sedimen Mesozoikum terdeformasi dari Jalur Sulawesi Tengah.
Tumbukan antara Australia Utara dan Pasifik menyebabkan terpecahnya beberapa
fragmen benua dari tepian utara New Guinea Barat (Irian Jaya) pada Kala Oligosen
sampai Miosen Awal. Pergerakan fragmen ke arah barat oleh sesar transform akibat rotasi
Sulawesi Utara dan tarikan dari subduksi di Sulawesi menghasilkan tumbukan antara
fragmen benua dengan Sulawesi (Hamilton, 1979). Platform Sula merupakan fragmen
terbesar dan akibat dari tumbukannya dengan Sulawesi menghasilkan ofiolit di bagian
baratlaut Lengan Timur Sulawesi pada Miosen Tengah sampai Miosen Akhir, sedangkan
platform Tukangbesi yang dianggap sebagai fragmen benua yang lebih kecil,
bertumbukan dengan Sulawesi menghasilkan kompleks tumbukan Buton pada Kala
Miosen Tengah (Smith, 1983).
Berdasarkan data-data stratigrafi di Buton, tumbukan terjadi pada saat Miosen
Tengah, sedangkan data struktur di Buton dan lautan sekitarnya menunjukkan peristiwa
konvergensi dan tumbukan antara Buton dengan Tukangbesi terjadi pada Kala Miosen
Akhir (Smith, 1983). Adanya kesamaan data struktur di Formasi Tondo, Buton dengan
selat berarah timurlaut yang memisahkan Buton dan Kepulauan Tukangbesi, dimana
terlihat adanya zona perlipatan dan pensesaran dengan sudut besar, maka Tukangbesi
berada pada tempatnya bersamaan dengan Buton yaitu pada Miosen Akhir.

DAFTAR PUSTAKA

Karta, K., 1993. Geodinamika Pembentukan Busur Banda Dengan Menggunakan


Interpretasi Data Magnet dan Gravitasi, Direktorat Geologi.
Simandjuntak, T.O., 1981. Some sedimentological aspect of Mesozoic rock in
Eastern Sulawesi, PIT. IAGI IX, Yogyakarta.
Simandjuntak, T.O., 1993. Neogene Orogeny Of Sulawesi, Direktorat Geologi
Simandjuntak, T.O., 1992. Review of Tectonic Evolution of Central Indonesia,
Journal Geologi dan Sumberdaya Mineral, vol. II, no.15, hal 2-18
Sukamto, R., 1973a, Peta Geologi Daerah Palu, Sulawesi Tengah, Direktorat
Geologi
Sukamto, R., Geologi Daerah Kepulauan Banggai dan Sula, Majalah IAGI, vol.2,
no.3, hal 23-28.
Sukamto, R., 1975, Perkembangan tektonik di Sulawesi dan daerah sekitarnya :
Suatu sintesis perkembangan berdasarkan tektonik lempeng, Majalah IAGI, vol 2, no.1,
hal 1-13
---------------, 1973b, Peta Geologi Tinjau Daerah Ujung Pandang, Sulawesi
Selatan, arsip terbuka Direktorat Geologi.
Tjia, H.D., 1973, The Palu-Koro fault zone, Sulawesi, Berita Direktorat Geologi,
jl.5, no.15, h.3.
Barber, A.J., S. Tjokrosaputro dan T.R. Chalton, 1986. Mud volcanoes, shale diapirs,
wrench faults and melanges in accretionary complexes, in eastern Indonesia. Am.
Assoc. Petro. Geol. Bull.
McCaffrey, R., R. Sutarjo, R. Susanto, R. Buyung, B. Sukarman, M. Husni, Sudiono, D.
Setuju and E. Sukamto, 1983. Microearthquake survey of the Molluca Sea

Anda mungkin juga menyukai