SULAWESI
Sistem Sesar Lawanopo berarah baratlaut tenggara, melaui Teluk Bone dan
Sulawesi Tenggara. Sesar ini kemungkinan berperan dalam pembukaan Teluk Bone,
seperti pembukaan yang terjadi di daratan Sulawesi Tenggara yang merupakan zona sesar
mendatar sinistral Neogen. Sesar Lawanopo memisahkan mintakat benua Sulawesi
Tenggara pada Lengan Tenggara Sulawesi dengan metamorf Sulawesi Tengah.
Sesar naik Batui terletak pada bagian timur Lengan Timur Sulawesi, merupakan
hasil dari tumbukan platform Banggai-Sula dengan Sulawesi yang menyebabkan
pergeseran secara oblig sehingga Cekungan Gorontalo menjadi terangkat.
Ofiolit
Dalam teori tektonik lempeng, ofiolit merupakan jenis batuan kerak samudera
(oceanic crust) yang berasal dari pematang tengah samudera (mid-ocean ridges). Oleh
karena gerakan lempeng samudera, kadangkala ofiolit itu mempersatukan diri dengan
tepian benua di daerah pertemuan kedua lempeng benua dan lempeng samudera itu.
Ofiolit di Mandala Sulawesi Timur menarik perhatian para geologiawan
disebabkan kecuali karena penyebarannya yang sangat luas, juga karena potensinya akan
mineral logam yang cukup besar. Beberapa geologiawan menganggap bahwa pelamparan
ofiolit di Mandala Sulawesi Timur termasuk salah satu yang luas di dunia (Kundig, 1955,
Rutten, 1927). Untuk memperoleh gambaran tentang mekanisme ofiolit ini dalam
hubungannya denga tektonik yang penting ialah umur ofiolit itu sendiri. Oleh karena
rumitnya struktur di daerah Mandala Sulawesi Timur yang mengandung ofiolit itu, maka
terjadi penafsiran umur ofiolit yang berbeda-beda. Terlepas dari itu perlu ditinjau kembali
konsepsi terjadinya ofiolit. Apabila ofiolit dianggap bagian dari pada kerak samudera
yang terbentuk pada pemekaran dasar lautan (seafloor spreading), maka jelas itu
bukanlah intrusi yang menerobos batuan Mesozoikum, akan tetapi merupakan suatu
peleleran magma basa yang maha besar melewati suatu punggungan tengah samudera
dan merupakan alas dari pada batuan sedimen Mesozoikum yang mengandung serpih
merah dan rijang radiolaria.
Sekis Glaukofan ditemukan di berbagai tempat di bagian barat Mandala Sulawesi
di Timur, yakni di sekitar Danau Poso, Pegunungan Rumbia, Pegunungan Kendoke dan
Pulau Kabaena. Pembahasan panjang lebar mengenai sekis glaukofan di daerah-daerah
tersebut telah dilakukan oleh De Roever (1947, 1950) dalam karangan-karangannya.
Dibayangkan olehnya bahwa sekis glaukofan itu terbentuk dalam suatu geosinklin tempat
diendapkannya radiolarit dan batuan beku spilit.
Penelitian petrografi menunjukkan, bahwa radiolarit dan batuan beku spilit lebih
muda dari pada batuan metamorf yang berfasies amfibolit dan amfibolit-epidot, tetapi
lebih tua dari pada batuan metamorf yang bersubfasies glaukofanit-lawsonit (de Roever,
1950). Jika radiolit di daerah ini berumur Jura dan Kapur, maka jelas sekis glaukofan
berumur lewat Kapur. Batuan metamorf yang bersubfasies glaukofanit-lawsonit lebih tua
dari pada batuan metamorf yang berfasies sekis hijau. Yang pertama diperkirakan
terbentuk oleh metamorfosis geosinklin yang disebabkan terutama oleh tekanan
hidrostatika yang erat hubungannya dengan lingkungan geosinklin (de Roever, 1950).
Yang kedua diperkirakan terbentuk oleh metamorfosis dinamo yang disertai oleh gerakan
sesar-sungkup yang kuat. Metamorfosis dinamo kemungkinan besar terjadi setelah Eosen
(de Roever, 1950). Orogen kuat yang kemungkinan membentuk batuan metamorf
berfasies sekis hijau pada waktu Intra-Miosen. Dengan demikian maka glaukofan itu
terbentuk setelah Kapur dan sebelum Intra-Miosen.
Di daerah Sulawesi Selatan yang termasuk wilayah Mandala Sulawesi Barat
ditemukan pula sekis glaukofan di dalam komplek alas yang terdiri dari sekis dan ofiolit.
Sekis glaukofan di daerah ini secara stratigrafi rupanya tidak dapat dikorelasikan dengan
sekis glaukofan yang terdapat di Mandala Sulawesi Timur. Kemungkinan umurnya lebih
tua dari Kapur dan dipisahkan oleh suatu jalur gunungapi dari Mandala Sulawesi Timur.
Walaupun De Roever (1950) menerangkan terjadinya glaukofan itu oleh suatu
metamorfosis geosinklin, namun faktor tekanan hidrostatiklah juga ditonjolkannya
sebagai penyebab proses metamorfosis. Kalau De Roever (1950) menganggap, bahwa
tekanan hidrostatika itu berasal dari pembebanan sedimen yang sangat tebal dalam
geosinklin, geologiawan yang menganut teori tektonik lempeng akan menganggap bahwa
tekanan hidrostatika itu terjadi pada jalur penunjaman (subduction zone).
Dari Mandala Sulawesi Barat yang dibuat penanggalannya menunjukkan akan
umur Pliosen-Miosen (1,62-17,70 juta tahun), kecuali satu yang menunjukkan akan umur
Oligosen (31 juta tahun). Penanggalan pada granit dan ignimbrit dari Mandala Banggai-
Sula menunjukkan akan umur Trias-Perem (210-240 juta tahun), dan pada sekis
menunjukkan akan umur Karbon (300 juta tahun).
Sesar Batui
Sesar Batui mencirikan lajur tumbukan antara sedimen pinggiran benua MBS dan
batuan ofiolit JOST(Gb.3). Sesar sungkup ini membusur dan cembung ke arah baratlaut
dan utara. Ujung selatannya terdapat di Teluk Tomori dan diperkirakan berakhir di Sesar
Matano Sula yang menyambung dan bersatu dengan Sesar Matano ke arah barat dan ke
Sesar Sorong di timur. Ujung utaranya bersambung dengan Sesar Sangihe Timur di
bagian utara Laut Maluku. Di Lengan Timur Sulawesi panjang Sesar Batui melebihi 100
km.
Sesar Batui ini sangat jelas terlihat di potret udara dan citraan Landsat (Gb. 4a,b
dan 5).
Di lapangan, Sesar Batui ini dicirikan oleh keterdapatan breksi sesar, gerusan,
cermin sesar yang menunjukkan arah pergerakan tegak, milonit, lapisan tegak, perubahan
mendadak arah dan jurus lapisan batuan sedimen dan bidang sesar yang biasanya
terbentuk lereng yang terjal di sepanjang lajur sesar ini. Lebar lajur sesar berkisar dari
ratusan meter hingga melebihi 1 km. Di dalam peta yang berukuran kewilayahan
(berskala regional), Sesar Batui ini diperlihatkan dalam bentuk sebuah garis tebal bergigi
ke arah baratlaut-utara. Kenyataan di lapangan menunjukkan jalur sesar ini terdiri dari
beberapa sesar sungkup yang semuanya miring ke arah baratlaut-utara.
Bagian timurlaut Sesar Batui, dari Poh ke Ujung Balantak (Gb. 3) pada suatu saat
dalam sejarah perkembangannya, mengalami pergerakan mendatar menganan.
Lajur sesar ini di beberapa tempat mengandung batuan bancuh (Bancuh
Kolokolo) dengan matriks lumpur karbonatan yang kaya foraminifera berumur Miosen
Tengah hingga Pliosen. Sebagian matriks berupa lempung bersisik dan bongkahan
batuannya sebagian terbodinasikan.
Di Kolo Atas, perdaunan (foliation) dalam matriks lempung memperlihatkan
bidang sesar miring tidak begitu terjal ke arah barat laut. Di daerah Poh dan Ujung
Balantak, bidang sesar ini miring terjal ke arah utara, yang kemungkinan disebabkan oleh
perubahan pergerakn tegak (penyungkupan) Sesar Batui ke arah mendatar Sesar
Balantak.
Di ujung timur pantai Balantak, batuan ofiolit tersesarsungkupkan di atas
gamping pelataran (platform) Paleogen (Formasi Salodik), gamping kalsilutit Kapur
Akhir (Formasi Luok) dan gamping hemipelagos Jura Akhir (Formasi Sinsidik) dari
MBS. Bongkahan besar batuan ofiolit yang terpisah di Tanah Merah di utara Balantak,
menunjukkan bahwa ofiolit JOST membentuk struktur klippe atau nappe ofiolit di atas
batuan sedimen pinggiran benua MBS (Gb. 6).
Di daerah Kolo Atas, Poh dan Toili singkapan lajur sesar ini memperlihatkan,
bahwa Formasi Salodik dan Poh yang berumur Oligosen hingga Miosen Awal,
tersesarsungkupkan di bawah ofiolit. Di daerah Tokala, batuan ofiolit tersesarsungkupkan
ke atas Formasi Tokala yang berumur Trias Akhir.
Semua bukti lapangan memperlihatkan, bahwa penyesarsungkupan ofiolit di atas
batuan sedimen pinggiran benua MBS terjadi pada kala Miosen Tengah. Hal ini
ditunjukkan oleh batuan termuda yang terlibat dalam Sesar Batui adalah Formasi Poh
yang berumur Oligosen-Miosen Awal, serta matriks batuan bancuh yang mengandung
foraminifera berumur Miosen Tengah-Pliosen. Umur Miosen Tengah Sesar Batui
mencirikan lajur tumbukan antara MBS dan JOST diperkuat juga oleh batuan sedimen
pasca-orogenesis yang berumur Miosen Akhir-Pliosen.
Pada saat tumbukan terjadi, tekanan pemampatan (convergence) berjurus
tenggara-baratlaut yang diakibatkan pergerakan MBS ke arah utara-baratlaut dan di
bagian utara di Laut Sulawesi terjadi pula penunjaman kerak samudera Laut Sulawesi
yang miring ke selatan di bawah Jalur Magmatik Sulawesi Barat (Simandjuntak, 1986a,
b) yang menghasilkan tekanan pemampatan tersebut di atas. Tekanan pemampatan ini
mendorong JOST tersesarkan sedemikian jauh ke atas MBS.
Tekanan pemampatan ini juga, pada gilirannya, mengakibatkan pemendekan
(shortening) JOST berarah utara-selatan di Lengan Timur Sulawesi. Mekanisme
pemendekan ini diawali oleh penyesarsungkupan batuan ofiolit di atas MBS sehingga
terbentuk struktur sirapan (imbrication) baik di batuan sedimen pinggiran benua MBS
amupun di batuan ofiolit JOST. Nampaknya batuan ofiolit ini semakin tebal ke arah utara
Lengan Timur Sulawesi.
Silver dkk (1978) berdasarkan penelitian gayaberat Bouguer di Sulawesi Tengah
sepanjang lintasan berarah barat-timur menyimpulkan bahwa ofiolit menipis ke arah
timur dan menebal ke arah barat berimpitan dengan anomali tinggian Bouguer di bagian
barat JOST. Analisis ini juga memperlihatkan, bahwa JOST dialasi oleh batuan yang
relatif ringan yang mungkin terdiri dari batuan sedimen ataupun batuan bancuh yang
tebalnya mencapai 15 km. Diperkirakan keadaan yang sama terdapat di sepanjang JOST,
termasuk di ujung utaranya di Lengan Timur Sulawesi.
Sesar Balantak
Sesar Balantak terdiri dari beberapa sesar terjal yang semuanya berjurus hampir
barat-timur, mulai dari Ujung Balantak di timur ke Poh dan terus ke Tanjung Api di barat
(Gb. 3). Ujung barat sesar ini diperkirakan berakhir di Sesar Palu-Koro, sedangkan ujung
timurnya bersambung dan bersatu dengan Sesar Sula-Sorong (Gb. 8).
Seperti yang dijelaskan sebelumnya, penggalan sesar ini pada mulanya
merupakan bagian dari Sesar Sungkup Batui yang terjadi pada saat tumbukan antara
MBS dan JOST pada Miosen Tengah. Pensesaran sungkup ini nampaknya giat kembali
pada Holosen dan bahkan menyambung dan bersatu dengan Sesar Sangihe Timur di utara
(Simandjuntak, 1986b).
Pengamatan di lapangan daerah Poh dan Ujung Balantak, singkapan batuan dalam
lajur Sesar Balantak ini mengandung cermin sesar yang memperlihatkan gerakan jurus
mendatar. Di beberapa tempat cermin sesar ini berimpitan dengan cermin sesar yang
memperlihatkan gerak tegak, yakni arah gerakan sungkup Sesar Batui.
Analisis struktur dari 160 sesar terjal (steep fault) yang direkam di daerah Poh dan
Ujung Balantak (Gb. 9) menunjukkan dengan jelas, bahwa jurus maksimum utama
berarah hampir barat-timur, yang memperlihatkan arah gerakan Sesar Balantak.
Maksima-maksima yang lebih kecil berarah tenggara-baratlaut merupakan jurus
pergerakan sesar-sesar mendatar ikutan seperti Sesar Toili dan Sesar Gorontalo.
Dalam pola dan sistem ini semua sesar jurus mendatar di daerah Lengan Timur
Sulawesi khususnya dan bagian utara Sulawesi umumnya terbentuk sebagai akibat
tekanan pemampatan berarah tenggara baratlaut yang bersumber dari kegiatan
penumpuan (convergence) antara MBS yang bergerak ke arah utara-baratlaut dan kerak
samudera Laut Sulawesi yang bergerak ke selatan-tenggara dan menunjam di bawah
Busur Magmatik Sulawesi Barat di Lengan Utara (Gb. 10).
Analisis pola dan sistem tekanan mendatar di bagian utara Sulawesi lebih lanjut
menghasilkan struktur berikut :
a. Gerakan mendatar menganan (dextral) di Sesar Balantak,
b. Gerakan mendatar menganan Sesar Balantak ini pada Plio-Plistosen lebih lanjut
mengakibatkan pengalihtempatan bagian utara Kepala Poh dari daerah sekitar Leher
Sulawesi (ujung barat Teluk Tomini) ke tempat yang sekarang, sejauh paling tidak 150
km.
c. Sebagai hasil ikutan, terjadi pergerakan mendatar mengiri baik di Sesar Toili di barat
maupun Sesar Gorontalo di timur yang akan diperikan berikut, serta sesar normal di
bagian baratlaut Lengan Timur Sulawesi dan kemungkinan di Leher Sulawesi.
Sesar Toili
Sesar Toili juga terdiri dari beberapa sesar terjal berjurus tenggara-baratlaut,
memotong diagonal bagian tengah Lengan Timur Sulawesi di sepanjang lembah Sungai
Toili (Gb. 3,8,10). Ujung utara sesar ini berakhir di Sesar Balantak dan ujung selatannya
memotong Teluk Tomori dan berakhir di Sesar Matano-Sula.
Sesar Toili ini terlihat dengan jelas di potret udara dan citra Landsat (Gb. 4).
Pengamatan di lapangan memperlihatkan, bahwa sesar ini merupakan sesar jurus
mendatar mengiri yang mengakibatkan pergeseran sejauh kira-kira 20 km. Hal ini
ditunjukkan oleh tersingkapnya Formasi Salodik di Kolo Atas dan di dasar Teluk Tomori
(data seismik dan lubang bor) serta bergesernya Sesar Batui ke selatan di penggalan
sebelah barat Sesar Toili.
Rusmana dkk (1984) dan Surono dkk (1984) memperlihatkan bahwa sedimen
klastika Neogen terpengaruh gerakan mendatar Sesar Toili ini. Hal ini menunjukkan
bahwa Sesar Toili terjadi setelah pengendapan sedimen molasa pada Miosen Akhir-
Pliosen bersamaan dengan pergerakan mendatar menganan Sesar Balantak.
Sesar Ampana
Sesar Ampana diperkirakan berupa sesar jurus mendatar menganan berarah
tenggara-baratlaut hampir sejajar dengan Sesar Toili. Jurus pergerakan ini didasarkan
pada bentuk fisiografi daerah Tanjung Api yang bergeser ke arah utara sejauh 60 km dari
garis pantai di Teluk Bunta (Gb. 3 dan 10). Kontak sesar ini merupakan sesar sungkup
yang pada awalnya terbentuk sebagai bagian dari lajur tumbukan antara MBS dan JOST
pada Miosen Tengah.
Ujung selatan sesar ini terdapat di Teluk Tomori dan berakhir di Sesar Matano-
Sula, sedangkan ujung utaranya berakhir di Sesar Balantak.
Gerakan mendatar menganan Sesar Ampana ini diperkirakan sebagai akibat
langsung gerakan jurus mendatar mengiri Sesar Toili. Gerakan mendatar menganan sesar
ini memungkinkan bergesernya lajur tumbukan antara MBS dan JOST ke arah utara
sejauh lebih kurang 90 km, seperti yang ditunjukkan kontak sesar antara Formasi Tokala
(Trias Akhir) dan ofiolit di bagian tengah Lengan Timur Sulawesi (Gb. 1 dan 4).
Sesar Wekuli
Sesar Wekuli di ujung barat Lengan Timur Sulawesi berarah tenggara-baratlaut
hampir sejajar dengan Sesar Toili dan Sesar Ampana. Arah pergerakan sesar ini
diperkirakan mengiri sama dengan Sesar Toili, seperti yang ditunjukkan oleh bergesernya
ke arah utara kontak sesar antara Formasi Sinsidik (Formasi Tetambahu, Simandjuntak
dkk, 1984) berumur Jura Akhir (sedimen pinggiran MBS) dengan ofiolit, sejauh lebih
kurang 70 km, di penggalan bagian barat sesar tersebut (Gb. 3 dan 10). Kontak sesar ini
diperkirakan merupakan bagian dari lajur tumbukan antara MBS dan JOST pada Miosen
Tengah.
Ujung utara Sesar Wekuli berakhir di bagian barat Sesar Balantak, sedang ujung
selatannya terdapat di Teluk Tomori yang dalamnya 3000 m, dan berakhir di Sesar
Matano-Sula (Gb. 10).
Untuk mengetahui arah umum dan jenis kelurusan sesar yang berkembang di
daerah kepulauan Bonerate adalah dengan cara membuat diagram mawar yang hasilnya
adalah terinci sebagai berikut :
- Kelurusan yang berkembang di P.Tanajempa menunjukan arah umum U125 0T yang
diduga berupa kelurusan sesar dan kekar dan jenis rekahan terbuka.
- Kelurusan yang berkembang di P.Kalao menunjukan arah umum U150T yang dikuasai
oleh kelurusan sesar dan jenis rekahan terbuka.
Jenis kekar atau rekahan yang berkembang dikedua pulau tersebut dapat
ditafsirkan berupa retakan ikutan dari terusan sesar Walanae yang melintas disebelah
utara pulau-pulau Tanajempa, kalao dan Bonerate.
- Kelurusan yang berkembang di P.Madu menunjukan arah umum U250 0T yang
dikuasai oleh kelurusan sesar jenis rekahan tertutup.
- Kelurusan yang berkembang di P.Kalotoa menunjukan arah umum U345 0T yang
diduga berupa kelurusan sesar dan jenis rekahan tertutup.
- Kelurusan yang berkembang di P.Karompa Besar dan Karompa Kecil menunjukan
arah umum U3400T yang di dominasi kelurusan sesar menganan dan jenis rekahan
tertutup.
Berdasarkan analisis diagram mawar, pola struktur yang berkembang di daerah
kepulauan Bonerate dapat dikelompokan kedalam wilayah bagian timur dan barat
lanjutan sesar Palu-Koro. Di bagian barat yang melipuiti pola struktur disekitar
P.Tanajempa, Kalao dan Bonerate diduga merupakan pola kelurusan sesar dari sesar
Walanae, sedangkan bagian timur yang meliputi pola kelurusan di sekitar P.Madu, kalatoa
dan Karompa merupakan pola kelurusan dari terusan sesar Palu-Koro. Dengan kata lai,
sesar-sesar yang berkembang di kepulauan Bonerate merupakan sesar ikutan rekahan
tertutup dan rekahan terbuka dari sesar Walanae dan Plau-Koro.
Stratigrafi Banggai-Sula
Secara regional stratigrafi daerah kepulauan Banggai dan Sula ini dapat dibagi
menjadi komplek batuan alas, batuan sediment Mesozoikum dan batuan sediment
Kenozoikum. Gambar 2 menunjukkan geologi daerah kepulauan Banggai dan Sula. Peta
geologi ini disusun berdasarkan 2 buah laporan terbuka pada dinas perpetaan geologi,
Direktorat geologi, sebagai hasil pemetaan tinjau daerah tersebut ( Sukamto dkk.,1972 ).
Komplek alas terdiri dari batuan metamorfosa, batuab sediment dan batuan gunung api
yang terperinci, batuan terobosan granit dan diorite yang berumur perem hingga trias, dan
batuan gunung api ignimbrit dan vitrofir yang juga berumur perem hingga trias. Batuan
sediment Mesozoikum dari bawah keatas terdiri dari deret batu pasir dan konlomerat,
deret serpih yang berumur Jura atas, dan deret napal dan serpih yang berumur kapur.
Batuan sediment Kenozoikum sebagian besar terdiri dari batuan karbonat yang terjadi
pada akhir tersier dan kwarter; batuan sediment Tersier bawah hamper tidak ditemukan
diwilayah Kepulauan Banggai dan Sula ini, yang mungkin karena adanya runpang
sedimentasi.
Banggai-Sula
Banggai-Sula merupakan platform yang relatif besar dan memanjang serta
dikontrol oleh Zona Rekahan Sorong Selatan (Silver, 1985; Rehault, 1991; Sarmili,
1992). Pada bagian selatan Banggai-Sula terdapat lereng curam yang memanjang timur -
barat mengikuti orientasi mikrokontinen Banggai-Sula dengan kedalaman 4400 m dan
pada bagian bawah lereng tersebut terdapat depresi yang besar dengan kedalaman lebih
dari 5000 m, yang disebut sebagai Zona Rekahan Sula Selatan.
Blok Muna-Buton-Tukangbesi
Platform Tukangbesi terletak di sebelah tenggara Pulau Buton, berbentuk
memanjang dan tegak lurus platform Muna-Buton. Platform ini disusun oleh koral atol
dan pulau-pulau dengan teras-teras gamping Neogen sampai Resen yang terangkat ke
permukaan. Punggungan-punggungan muncul dari puncak kedalaman kurang dari 200 m
dan sistem palungnya lebih dalam dari 1000 m. Punggungan pada bagian timur platform
Tukangbesi muncul pada kedalaman kurang dari 2000 m dan palung memanjang
memisahkan punggungan-punggungan dengan kedalaman 4000 m. Pada bagian timur
dari platform mempunyai topografi kasar dan ditutupi sedimen sangat tipis (penampang
seismik dalam Hamilton, 1979 dan Bowin dkk, 1980).
Batuan alas platform Tukangbesi diperkirakan merupakan fragmen benua
(Hamilton, 1979; Silver dan Mc Caffrey, 1983; Rehault dkk, 1993) yang mirip dengan
platform Sula, dan batuan sedimen pada Kompleks Wolio, Buton sebagai hasil deformasi
akibat tumbukan fragmen Tukangbesi dengan Sulawesi. Bukti-bukti bahwa platform
Tukangbesi mempunyai basement benua adalah bentuk punggungan-punggungannya
yang memanjang dengan puncak kedalamannya yang dangkal, adanya palung yang
kedalamannya sangat mencolok, keberadaan sedimen yang menutupinya dan formasi
karang dari fosil busur vulkanik atau irisan material vulkanik samudera (Rehault dkk,
1993).
Pada bagian utara, sebuah zona depresi (Sesar Hamilton) yang merupakan sesar
transform berarah baratlaut tenggara dengan inklinasi sangat dalam ke arah timur
(Hamilton, 1979 dan Sarmili, 1992) memisahkan platform dari punggungan-punggungan
bagian timur yang berarah timurlaut. Pada bagian dinding Sesar Hamilton tersingkap
basement Tukangbesi dan didapatkan jenis diabas yang mirip dengan transisi basalt
samudera pada bagian Laut Banda Utara (Rehault dkk, 1993).
Punggungan Sinta
Punggungan Sinta yang berorientasi barat timur mempunyai relief punggungan
bawah laut yang tinggi dan memanjang dengan kedalaman lebih dari 2000 m serta
mencapai panjang 250 km dan bagian yang paling dangkal dengan kedalaman 800 m
berada di selatan Pulau Buru. Bagian baratdaya Punggungan Sinta dibatasi oleh depresi
Palung Tukangbesi yang berarah baratlaut tenggara (Sarmili, 1992).
Punggungan Sinta
Punggungan Sinta merupakan punggungaan yang tersesarkan lemah dengan arah
baratlaut - tenggara. Punggungan ditutupi oleh sedimen tipis yang mirip dengan sedimen
yang menutupi bagian pusat Cekungan Banda Utara.
DAFTAR PUSTAKA