Anda di halaman 1dari 17

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Dermatitis atopik masih merupakan masalah kesehatan, terutama pada bayi dan anak,
karena sifatnya yang kronik residif, sehingga dapat mempengaruhi kualitas hidup pasien.
Dermatitis atopik paling sering pada bayi, namun dapat juga pada anak dan dewasa. Pada
sebagian besar pasien, dermatitis atopik merupakan manifestasi klinis atopi yang pertama,
dan banyak diantara mereka kemudian akan mengalami asma dan rinitis alergik. Walaupun
predisposisi genetik merupakan salah satu faktor risiko yang paling penting, tetapi
meningkatnya prevalensi dermatitis atopik di negara-negara industri menunjukkan bahwa
faktor lingkungan (pajanan mikroba dan nutrisi) juga mempunyai peran yang cukup penting
(Schultz, et al., 1996 dalam Gondokaryono, 2009; Leung, 2007; Wisesa, 2009; Dharmadji,
2006).
Etiologi pasti dermatitis atopik ini belum diketahui, namun berbaga i penelitian
menunjukkan bahwa dermatitis atopik ini disebabkan dari interaksi antara genetik,
lingkungan, defek sawar kulit dan sistem imun (Peterson dan Chan, 2006). Simptom utama
dari dermatitis atopik ialah gatal. Gatal merupakan masalah utama selama tidur, pada waktu
kontrol kesadaran terhadap garukan menjadi hilang. Untuk bayi, dermatitis atopik dapat
menyebabkan keadaan yang tidak menyenangkan dan mengganggu oleh karena iritasi di
daerah kulit yang disertai rasa gatal, garukan, sampai terjadinya infeksi. Kesemua ini dapat
membuat bayi menjadi rewel, proses pemberian makan menjadi terganggu, dan akhirnya akan
mempengaruhi proses tumbuh kembangnya (Dewi, 2004).
Tidak ada penyembuhan yang total untuk dermatitis atopik, namun gejala yang timbul
cenderung berkurang seiring dengan perjalanan usia. Dari seluruh bayi yang menderita
dermatitis atopik, hanya sepertiga kasus yang masih terus mengalami kekambuhan penyakit
ini hingga masa kanak-kanak. Hal yang serupa Universitas Sumatera Utarajuga didapatkan
pada mereka masih menderita dermatitis atopik pada masa kanak-kanak, hanya sekitar
sepertiga kasus masih berlanjut hingga masa remaja. Sebagian besar penderita mengalami
periode remisi dan periode kambuh penyakit ini selama bertahun-tahun (Leung, et al., 2004
dalam Zulkarnain, 2009).
Faktor-faktor yang dapat menyebabkan timbulnya dermatitis atopik yang persisten
antara lain, adanya riwayat anggota keluarga yang menderita dermatitis atopik, awitan
penyakit pada usia dini, gambaran penyakit yang semakin meluas pada awal kehidupan dan
adanya penyakit asma atau rinitis alergik yang timbul secara bersamaan (Leung, et al., 2007) .
Prevalensi dermatitis atopik pada anak cenderung meningkat pada beberapa dekade
terakhir. Menurut International Study of Asthma and Allergies in Children, prevalensi
penderita dermatitis atopik pada anak bervariasi di berbagai negara. Prevalensi dermatitis
atopik pada anak di Iran dan China kurang lebih sebanyak 2%, di Australia, England dan
Scandinavia sebesar 20%. Prevalensi yang tinggi juga didapatkan di Negara Amerika Serikat
yaitu sebesar 17,2% (Flohr, et al., dalam Zulkarnain, 2009; Laughter, et al., 2000 dalam
Simpson dan Hanifin, 2005).
Pada penelitian Yuin Chew Chan dkk, di Asia Tenggara didapatkan prevalensi
dermatitis atopik pada orang dewasa adalah sebesar kurang lebih 20% (Chan, et al., 2006
dalam Zulkarnain, 2009). Data mengenai penderita dermatitis atopik di Indonesia belum
diketahui secara pasti. Berdasarkan data di Unit Rawat Jalan Penyakit Kulit Anak RSU Dr.
Soetomo didapatkan jumlah pasien dermatitis atopik mengalami peningkatan setiap tahunnya.
Jumlah pasien dermatitis atopik baru yang berkunjung pada tahun 2006 sebanyak 116 pasien
(8,14%) dan pada tahun 2007 sebanyak 148 pasien (11,05%), sedangkan tahun 2008
sebanyak 230 pasien (17,65%) (Zulkarnain, 2009).
Seperti negara sedang berkembang lainnya, di Indonesia, kelainan ini belum
mendapat cukup perhatian. Angka kejadian dermatitis atopik di Medan hingga saat ini belum
diketahui. Oleh karena itu, diperlukan suatu penelitian mengenai gambaran penyakit
dermatitis atopik di Indonesia.

1.2. Rumusan Masalah


- Bagaimanakah gambaran penyakit dermatitis atopik?
- Bagaimana cara mendiagnosa penyakit dermatitis atopik?
- Bagaimana pencegahan dan penatalaksanaan penyakit dermatitis atopik?

1.3. Tujuan Penelitian


- Untuk mengetahui gambaran penyakit dermatitis atopik
- Untuk mengetahui cara mendiagnosa penyakit dermatitis atopik
- Untuk mengetahui pencegahan dan penatalaksanaan penyakit dermatitis atopik
1.4. Sistematika Penulisan
1. DEFINISI DERMATITIS ATOPIK
2. ETIOLOGI DERMATITIS ATOPIK
o Makanan
o Alergen Hidup
o Infeksi Kulit
3. PATOGENESIS DERMATITIS ATOPIK
o Genetik
o Sawar Kulit
o Lingkungan
o Imnopatogenesis DA
o Antigen Presenting Cells
o Faktor non imunologis
o Autoalergen
4. GAMBARAN KLINIS
o Bentuk Infantik
o Bentuk Anak
o Bentuk Dewasa
5. DIAGNOSA
o Kriteria Mayor
o Kriteria Minor
6. PENATALAKSANAAN
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi
Dermatitis atopik (DA) ialah keadaan peradangan kulit kronis dan residif, disertai
gatal yang umumnya sering terjadi selama masa bayi dan anak-anak, sering berhubungan
dengan peningkatan IgE dalam serum dan riway atatopi keluarga atau penderita (DA, rhinitis
alergi, dan atau asma bronchial) (Sularsito S.A., & D juanda A., 2005).

2.2. Etiologi
Penyebab dermatitis atopi tidak diketahui dengan pasti, diduga disebabkan oleh
berbagai faktor yang saling berkaitan (multifaktorial). Faktor intrinsik berupa predisposisi
genetik, kelainan fisiologi dan biokimia kulit, disfungsi imunologis, interaksi psikosomatik
dan disregulasi/ketidakseimbangan sistem saraf otonom, sedangkan faktor ekstrinsik
meliputi bahan yang bersifat iritan dan kontak tan, alergen hirup, makanan, mikroorganisme,
perubahan temperatur, dan trauma (FauziN., dkk., 2009).
Faktor psikologis dan psikosomatis dapatmen jadifak tor pencetus (Mans joer
A.,dkk.,2001).

Faktor pencetus lain diantaranya


Makanan
Berdasarkan hasil Double Blind Placebo Controlled Food Challenge (DBPCFC),
hampir 40% bayi dan anak dengan DA sedang dan berat mempunyai riwayat alergi
terhadap makanan. Bayi dan anak dengan alergi makanan umumnya disertai uji kulit
(skin prick test) dan kadar IgE spesifik positif terhadap pelbagai macam makanan.
Walaupun demikian uji kulit positif terhadap suatu makanan tertentu, tidak berarti
bahwa penderita tersebut alergi terhadap makanan tersebut, oleh karena itu masih
diperlukan suatu uji eliminasi dan provokasi terhadap makanan tersebut untuk
menentukan kepastiannya (Judarwanto W., 2009). Prevalensi reaksi alergi makanan
lebih banyak pada anak dengan dermatitis atopik berat. Makanan yang sering
mengakibatkan alergi antara lain susu, telur, gandum, kacang-kacangan kedelai dan
makanan laut (Roesyanto I.D., & Mahadi., 2009).

Alergen hirup
Alergen hirup sebagai penyebab DA dapat lewat kontak, yang dapat dibuktikan
dengan uji tempel, positif pada 30-50% penderita DA, atau lewat inhalasi. Reaksi
positif dapat terlihat pada alergi tungau debu rumah (TDR) bulu binatang rumah
tangga, jamur atau ragweed di negara-negara dengan 4 musim (Judarwanto W., 2009).
Infeksi kulit
Mikroorganisme telah diketahui sebagai salah satu faktor ekstrinsik yang
berperan memberi kontribusi sebagai pencetus kambuhnya dermatitis atopik.
Mikroorganisme utamanya adalah Staphylococcus aureus (SA). Pada penderita DA
didapatkan perbedaan yang nyata pada jumlah koloni Staphylococcus aureus
dibandingkan orang tanpa atopik. Adanya kolonisasi Staphylococcus aureus pada kulit
dengan lesi ataupun non lesi pada penderita dermatitis atopik, merupakan salah satu
faktor pencetus yang penting pada terjadinya eksaserbasi, dan merupakan faktor yang
dikatakan mempengaruhi beratnya penyakit. Faktor lain dari mikroorganisme yang
dapat menimbulkan kekambuhan dari DA adalah adanya toksin yang dihasilkan oleh
Staphylococcus aureus. Enterotoksin yang dihasilkan Staphylococcus aureus ini dapat
menembus fungsi sawar kulit, sehingga dapat mencetuskan terjadinya inflamasi.
Enterotoksin tersebut bersifat sebagai superantigen, yang secara kuat dapat
menstimulasi aktifasi sel T dan makrofag yang selanjutnya melepaskan histamin.
Enterotoxin Staphylococcus aureus menginduksi inflamasi pada dermatitis atopik dan
memprovokasi pengeluaran antibodi IgE spesifik terhadap enterotoksin Staphylococcus
aureus, tetapi menurut penelitian dari Fauzi nurul, dkk, 2009., tidak didapatkan korelasi
antara jumlah kolonisasi Staphylococcus aureus dan kadar IgE spesifik terhadap
enterotoksin Staphylococcus aureus.

2.3. Patogenesis
Berbagai faktor turut berperan pada pathogenesis DA, antara lain faktor genetik
terkait dengan kelainan intrinsik sawar kulit, kelainan imunologik, dan faktor lingkungan
(Soebaryo R.W., 2009).
a. Genetik
Genetik Pengaruh gen maternal sangat kuat. Ada peran kromosom 5q31-33,
kromosom 3q21, serta kromosom 1q21 and 17q25. Juga melibatkan gen yang
independen dari mekanisme alergi. Ada peningkatan prevalensi HLA-A3 dan HLA-
A9. Pada umumnya berjalan bersama penyakit atopi lainnya, seperti asma dan
rhinitis. Risiko seorang kembar monosigotik yang saudara kembarnya menderita DA
adalah 86% (Judarwanto W., 2009).
Lebih dari seperempat anak dari seorang ibu yang menderita atopi keluarga
akan mengalami DA pada masa 3 bulan pertama kehidupan, bila salah satu orang tua
menderita atopi, lebih dari separuh jumlah anak akan mengalami gejala alergi
sampai usia 2 tahun, dan meningkat sampai 79% bila kedua orangtua menderita
atopi. Risiko mewarisi DA lebih tinggi bila ibu yang menderita DA dibandingkan
dengan ayah. Tetapi bila DA yang dialami berlanjut hingga masa dewasa maka risiko
untuk mewariskan kepada anaknya sama saja yaitu kira-kira 50%.
b. Sawar kulit
Hilangnya Ceramide dikulit, yang berfungsi sebagai molekul utama pengikat
air diruang ekstraseluler stratum korneum, dianggap sebagai penyebab kelainan
fungsi sawar kulit. Variasi ph kulit dapat menyebabkan kelainan metabolisme lipid
di kulit. Kelainan fungsi sawar mengakibatkan peningkatan transepidermal water
loss, kulit akan semakin kering dan merupakan port dentry untuk terjadinya
penetrasi alergen, iritan, bakteri dan virus. Bakteri pada pasien DA mensekresi
ceramide sehingga menyebabkan kulit makin kering (Soebaryo
R.W., 2009).
Respon imun kulit Sel-sel T baik subset CD4+ maupun subset CD8+ yang
diisolasi dari kulit (CLA+ CD45RO+ T cells) maupun dari darah perifer, terbukti
mensekresi sejumlah besar IL-5 dan IL-13, sehingga dengan kondisi ini lifespan dari
eosinofil memanjang dan terjadi induksi pada produksi IgE. Lesi akut didominasi
oleh ekspresi IL-4 dan IL-13, sedangkan lesi kronik didominasi oleh ekspresi IL-5,
GM-CSF, IL-12, dan IFN-g serta infiltrasi makrofag dan eosinofil
(Judarwanto W., 2009).
Imunopatologi Kulit Pada DA, sel T yang infiltrasi ke kulit adalah
CD45RO+. Sel T ini menggunakan CLA maupun reseptor lainnya untuk mengenali
dan menyeberangi endotelium pembuluh darah. Di pembuluh darah perifer pasien
DA, sel T subset CD4+ maupun subset CD8+ dari sel T dengan petanda
CLA+CD45RO+ dalam status teraktivasi (CD25+, CD40L+, HLADR+). Sel yang
teraktivasi ini mengekspresikan Fas dan Fas ligand yang menjadi penyebab
apoptosis. Sel-sel itu sendiri tidak menunjukkan apoptosis karena mereka diproteksi
oleh sitokin dan protein extracellular matrix (ECM). Sel-sel T tersebut mensekresi
IFN g yang melakukan upregulation Fas pada keratinocytes dan menjadikannya peka
terhadap proses apoptosis di kulit. Apoptosis keratinosit diinduksi oleh Fas ligand
yang diekspresi di permukaan sel-sel T atau yang berada di microenvironment
(Judarwanto W., 2009).
c. Lingkungan
Sebagai tambahan selain alergen hirup, alergen makanan, eksaserbasi pada
DA dapat dipicu oleh berbagai macam infeksi, antara lain jamur, bakteri dan virus,
juga pajanan tungau debu rumah dan binatang peliharaan. Hal tersebut mendukung
teori Hygiene Hypothesis (Roesyanto I.D., & Mahadi., 2009).
Hygiene Hypothesis menyatakan bahwa berkurangnya stimulasi sistem imun
oleh pajanan antigen mikroba dinegara barat mengakibatkan meningkatnya
kerentanan terhadap penyakit atopik (Sugito T.L., 2009).
Sampai saat ini etiologi maupun mekanisme yang pasti DA belum semuanya
diketahui, demikian pula pruritus pada DA. Rasa gatal dan rasa nyeri sama-sama
memiliki reseptor di taut dermoepidermal, yang disalurkan lewat saraf C tidak
bermielin ke saraf spinal sensorik yang selanjutnya diteruskan ke talamus
kontralateral dan korteks untuk diartikan. Rangsangan yang ringan, superfisial
dengan intensitas rendah menyebabkan rasa gatal, sedangkan yang dalam dan
berintensitas tinggi menyebabkan rasa nyeri. Sebagian patogenesis DA dapat
dijelaskan secara imunologik dan nonimunologik (Judarwanto W., 2009).
d. Imnopatogenesis DA
Histamin dianggap sebagai zat penting yang memberi reaksi dan
menyebabkan pruritus. Histamin menghambat kemotaksis dan menekan produksi sel
T. Sel mast meningkat pada lesi dermatitis atopik kronis. Sel ini mempunyai
kemampuan melepaskan histamin. Histamin sendiri tidak dapat menyebabkan lesi
ekzematosa. kemungkinan zat tersebut menyebabkan pruritus dan eritema, mungkin
akibat garukan karena gatal menimbulkan lesi ekzematosa. Pada pasien dermatitis
atopik kapasitas untuk menghasilkan IgE secara berlebihan diturunkan secara
genetik. Demikian pula defisiensi sel T penekan (suppressor). Defisiensi sel ini
menyebabkan produksi berlebih igE (Mansjoer A.,dkk., 2001).
Respon Imun Sistemik Terdapat IFN-g yang menurun. Interleukin spesifik
alergen yang diproduksi sel T pada darah perifer (interleukin IL-4, IL-5 dan IL-13)
meningkat. Juga terjadi Eosinophilia dan peningkatan IgE (Judarwanto W., 2009).

Reaksi imunologis DA
Sekitar 70% anak dengan DA mempunyai riwayat atopi dalam keluarganya seperti
asma bronkial, rinitis alergi, atau dermatitis atopik. Sebagian besar anak dengan DA
(sekitar 80%), terdapat peningkatan kadar IgE total dan eosinofil di dalam darah.
Anak dengan DA terutama yang moderat dan berat akan berlanjut dengan asma
dan/atau rinitis alergika di kemudian hari (allergic march), dan semuanya ini
memberikan dugaan bahwa dasar DA adalah suatu penyakit atopi.
Ekspresi sitokin

Keseimbangan sitokin yang berasal dari Th1 dan Th2 sangat berperan pada reaksi
inflamasi penderita Dermatitis Atopik (DA). Pada lesi yang akut ditandai dengan
kadar Il-4, Il-5, dan Il-13 yang tinggi sedangkan pada DA yang kronis disertai kadar
Il-4 dan Il-13 yang lebih rendah, tetapi kadar Il-5, GM-CSF (granulocyte-macrophage
colony-stimulating factor), Il-12 dan INFg lebih tinggi dibandingkan pada DA akut.
Anak dengan bawaan atopi lebih mudah bereaksi terhadap antigen lingkungan
(makanan dan inhalan), dan menimbulkan sensitisasi terhadap reaksi hipersentivitas
tipe I. Imunitas seluler dan respons terhadap reaksi hipersensitivitas tipe lambat
akan menurun pada 80% penderita dengan DA, akibat menurunnya jumlah limfosit
T sitolitik (CD8+), sehingga rasio limfosit T sitolitik (CD 8+) terhadap limfosit T
helper (CD4+) menurun dengan akibat kepekaan terhadap infeksi virus, bakteri, dan
jamur meningkat.
Di antara mediator yang dilepaskan oleh sel mast, yang berperan pada pruritus
adalah vasoaktif amin, seperti histamin, kinin, bradikinin, leukotrien, prostaglandin
dan sebagainya, sehingga dapat dipahami bahwa dalam penatalaksanaan DA,
walaupun antihistamin sering digunakan, namun hasilnya tidak terlalu
menggembirakan dan sampai saat ini masih banyak silang pendapat para ahli
mengenai manfaat antihistamin pada DA (Soebaryo R.W., 2009). Trauma mekanik
(garukan) akan melepaskan TNF-a dan sitokin pro inflammatory lainnya
diepidermis, yang selanjutnya akan meningkatkan kronisitas DA dan bertambah
beratnya eksema (Judarwanto W., 2009).
e. Antigen Presenting Cells
Kulit penderita DA mengandung sel Langerhans (LC) yang mempunyai
afinitas tinggi untuk mengikat antigen asing (Ag) dan IgE lewat reseptor FceRI
pada permukaannya, dan beperan untuk mempresentasikan alergen ke limfosit Th2,
mengaktifkan sel memori Th2 di kulit dan yang juga berperan mengaktifkan Th0
menjadi Th2 di dalam sirkulasi (Judarwanto W., 2009).
f. Faktor non imunologis
Faktor non imunologis yang menyebabkan rasa gatal pada DA antara lain
adanya faktor genetik, yaitu kulit DA yang kering (xerosis). Kulit yang kering akan
menyebabkan nilai ambang rasa gatal menurun, sehingga dengan rangsangan yang
ringan seperti iritasi wol, rangsangan mekanik, dan termal akan mengakibatkan
rasa gatal (Judarwanto W., 2009).

g. Autoalergen
Sebagian besar serum pasien dermatitis atopik mengandung antibody IgE
terhadap protein manusia.Autoalergen tersebut merupakan protein intraseluler,yang
dapat dikeluarkan karena kerusakan keratinosit akibat garukan dan dapat memicu
respon IgE atau sel T. pada dermatitis atopik berat, inflamasi tersebut dapat
dipertahankan oleh adanya antigen endogen manusia sehingga dermatitis atopik
dapat digolongkan sebagai penyakit terkait dengan alergi dan autoimunitas
(Soebaryo R.W., 2009).
Gambar 1. Mekanisme Alergi (Endaryanto E., & Harsono A., 2010).

Keterangan: Pada individu yang memiliki predisposisi alergi, paparan pertama


alergen menimbulkan aktivasi sel-sel allergen-specific T helper 2 (TH2) dan sintesis
IgE, yang dikenal sebagai sensitisasi alergi. Paparan allergen selanjutnya akan
menimbulkan penarikan sel-sel inflamasi dan aktivasi serta pelepasan mediator-
mediator, yang dapat menimbulkan early (acute) allergic responses (EARs) dan late
allergic responses (LARs). Pada EAR, dalam beberapa menit 3 kontak dengan alergen,
sel mast yang tersensitisasi IgE mengalami degranulasi, melepaskan mediator pre-
formed dan mediator newly synthesized pada individu sensitif. Mediator-mediator
tersebut meliputi histamin, leukotrien dan sitokin yang meningkatkan permeabilitas
vaskuler, kontraksi otot polos dan produksi mukus. Kemokin yang dilepas sel mast dan
sel-sel lain merekrut sel-sel inflamasi yang menyebabkan LAR, yang ditandai dengan
influks eosinofil dan sel-sel TH2. Pelepasan eosinofil menimbulkan pelepasan mediator
pro-inflamasi, termasuk leukotrien-leukotrien dan protein-protein basic (cationic
proteins, eosinophil peroxidase, major basic protein and eosinophil-derived
neurotoxin), dan mereka merupakan sumber dari interleukin-3 (IL-3), IL-5, IL-13 dan
granulocyte/macrophage colony-stimulating factor. Neuropeptides juga berkonstribusi
pada patofisiologi simptom alergi (Endaryanto E., & Harsono A., 2010).

2.4. Gambaran Klinis


a. Bentuk Infantil (2 bulan-2tahun)
Lesi terutama pada muka, badan dan ekstremitas bagian ekstensor
Lesi eczematous (polimorf) dengan papulo-vesikel eritematosa, erosi,ekskoriasi,
krusta dan skuama
Lesi awal dermatitis atopik muncul pada bulan pertama kelahiran, biasanya
bersifat akut, sub akut, rekuren, simetris dikedua pipi (Zulkarnain I., 2009). Karena
letaknya didaerah pipi yang berkontak dengan payudara, sering disebut eksema susu.
Terdapat eritem berbatas tegas, dapat disertai papul-papul dan vesikel-vesikel miliar,
yang menjadi erosif, eksudatif, dan berkrusta. Tempat predileksi dikedua pipi,
ekstremitas bagian fleksor, dan ekstensor. (Mansjoer A.,dkk., 2001).
Rasa gatal yang timbul sangat mengganggu sehingga anak gelisah, susah tidur,
dan sering menangis. Pada umumnya lesi DA infantil eksudatif, banyak eksudat,
erosi, krusta dan dapat mengalami infeksi. Lesi dapat meluas generalisata bahkan
walaupun jarang, dapat terjadi eritroderma. Sekitar usia 18 bulan mulai tampak
likenifikasi. (Sularsito S.A., & Djuanda A., 2005).

b. Bentuk Anak (3-11tahun)


Lesi pada terutama pada daerah flexura, fossa cubiti, popllitea, lipatan leher,
pergelangan tangan dan kaki, juga badan, pantat; jarang pada muka
Likenifikasi
Awitan lesi muncul sebelum umur 5 tahun. Sebagian merupakan kelanjutan
fase bayi. Pada kondisi kronis tampak lesi hiperkeratosis, hiperpigmentasi, dan
likenifikasi. Akibat adanya gatal dan garukan, akan tampak erosi, eksoriasi linear
yang disebut starch marks. Tempat predileksi tengkuk, fleksor kubital, dan fleksor
popliteal. Sangat jarang diwajah (Mansjoer A.,dkk., 2001). lesi DA pada anak juga
bisa terjadi dipaha dan bokong (Zulkarnain I., 2009).
Eksim pada kelompok ini sering terjadi pada daerah ekstensor(luar) daerah
persendian, (sendi pergelangan tangan, siku, dan lutut), pada daerah genital juga
dapat terjadi (Simpson E.L., & Hanifin J.M., 2005).

c. Bentuk Remaja dan Dewasa (>12tahun)


Bentuk lesi pada fase dewasa hampir serupa dengan lesi kulit fase akhir anak-
anak (Zulkarnain I., 2009). Lesi selalu kering dan dapat disertai likenifikasi dan
hiperpigmentasi. Tempat predileksi tengkuk serta daerah fleksor kubital dan fleksor
popliteal.
Manifestasi lain berupa kulit kering dan sukar berkeringat, gatal-gatal
terutama jika berkeringat. Berbagai kelainan yang dapat menyertainya ialah xerosis
kutis, iktiosis, hiperlinearis Palmaris et plantaris, pomfoliks, ptiriasis alba, keratosis
pilaris (berupa papul-papul miliar, ditengahnya terdapat lekukan), dll. (Mansjoer
A.,dkk., 2001).
Pada orang dewasa sering mengeluh bahwa penyakitnya kambuh apabila
mengalami stress, mungkin karena stress menurunkan ambang rangsang gatal. DA
remaja cenderung berlangsung lama kemudian menurun dan membaik (sembuh)
satelah usia 30 tahun, jarang sampai usia pertengahan, hanya sebagian kecil
berlangsung sampai tua (Sularsito S.A., & Djuanda A., 2005).

2.5. Diagnosa
Kriteria diagnosis dermatitis atopik dari Hanifin dan Lobitz, 1977
a. Kriteria Mayor (>3)
1. Pruritus
2. Morfologi dan distribusi khas
3. Dermatitis bersifat kronik residif
- Dewasa : likenifikasi fleksura
- Bayi & anak : lokasi kelainan di daerah muka dan ekstensor
4. Riwayat atopi pada penderita atau keluarganya
b. Kriteria Minor (>3)
1. Xerosis Iktiosis/pertambahan garis di palmar/keatosis pilaris
2. Reaktivasi pada uji kulit tipe cepat
3. Peningkatan kadar IgE
4. Kecenderungan mendapat infeksi kulit/kelainan imunitas selular
5. Dermatitis pada areola mammae
6. Keilitis
7. Konjungtivitis berulang
8. Lipatan Dennie-Morgan daerah infraorbita
9. Keratokonus
10. Katarak subkapular anterior
11. Hiperpigmentasi daerah orbita
12. Kepucatan/eritema daerah muka
13. Ptiriasis alba
14. Lipatan leher anterior
15. Gatal bila berkeringat
16. Intoleransi terhadap wol dan lipid solven
17. Gambaran perifokular lebih nyata
18. Intoleransi makanan
19. Perjalanan penyakit dipengaruhi lingk
20. ungan dan emosi
21. White dermographism/delayed blanch
2.6. Penatalaksanaan
Atasi kekeringan kulit dengan pelembab
Hindari sabun yg keras/antiseptik, tetapi bisa pakai cleanser
- dengan antiseptik untuk mengurangi Staphylococcus aureus (superantigen)
steroid topical
Anti histamin untuk mengatasi gatal
Hindari kortikosteroid sistemik untuk jangka panjang
Bila ada infeksi sekunder, beri antibiotika per oral : kloksasilin,
- eritromisin
Counselling untuk pasien :
- Hindari faktor pencetus
- dianjurkan untuk menghindari pekerjaan basah seperti juru
- masak, teknisi mesin, perawat, tukang cuci

BAB III
PENUTUP

3.1. Kesimpulan

Dermatitis atopik (DA) ialah keadaan peradangan kulit kronis dan residif, disertai
gatal yang umumnya sering terjadi selama masa bayi dan anak-anak, sering berhubungan
dengan peningkatan IgE dalam serum dan riway atatopi keluarga atau penderita (DA, rhinitis
alergi, dan atau asma bronchial) yang memiliki gambaran klinis berbeda-beda pda infentil,
anak dan dewasa. Yang didiagnosa dengan melihat kriteria mayor maupun kriteria minnor
dari Hanifin dan Lobitz.
Untuk mencegah dermatitis atopik ini diharapkan untuk menghindari faktor etiologi
serta faktor pencetus lain diantaranta makanan,alergen hidup dan juga infeksi kult. Dan
apabila sudah terkena diterapi dengan pelembab, kortikosteroid dan antihistamin.

3.2. Saran

Perkembangan dermatitis atopik merupakan hasil perpaduan antara faktor


genetik, lingkungan, imunologis, dan farmakologis. Karena semakin hari angka kejadian
dermatitis atopik ini semakin berkembang sejalan dengan kemajuan teknologi, dan industri
yang menghasilkan banyak polutan dan iritan, maka langkah untuk mencegah dermatitis
atopik ini sangat bermanfaat untuk mencegah kenaikan prevalensi.
Jadi diharapkan untuk mengenali lebih dalam tentang penyakit dermatitis atopik ini
sehingga diharapkan pula dapat mengurangi angka kesakitan yang terjadi baik pada masa
infantil, anak-anak maupun dewasa.

DAFTAR PUSTAKA

Fauzi N., Sawitri, Pohan S.S., 2009. Korelasi antara Jumlah Koloni Staphylococcus Aureus &
IgE spesifik terhadap Enterotoksin Staphylococcus Aureus pada Dermatitis Atopik.
Departemen / SMF Kesehatan Kulit dan Kelamin FK UNAIR / RSU Dr. Soetomo.
Surabaya.
William H.C., 2005. Atopic Dermatitis. N Engl J Med;; 352: 2314-24.
Judarwanto W., 2009. Dermatitis Atopik. Children Allergy Clinic Information;
www.Childrenallergicclinic.wordpress.com.
Budiastuti M., Wandita S., Sumandiono., 2007 . Exclusive breastfeeding and risk of atopic
dermatitis in high risk infant. Berkala Ilmu Kedokteran, Volume 39, No. 4, Hal.
192-198.
Zulkarnain I., 2009. Manifestasi Klinis dan Diagnosis Dermatitis Atopik. dalam Boediarja
S.A., Sugito T.L., Indriatmi W., Devita M., Prihanti S., (Ed). Dermatitis Atopik.
Balai Penerbit FK UI. Jakarta. Hal. 39-51
Tada J., 2002. Diagnostic Standard for Atopic Dermatitis. JMAJ. Vol. 45, No. 11. 460-65.
Sularsito S.A., & Djuanda A., 2005. Dermatitis. dalam Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin.
(Ed).IV.Jakarta; Balai Penerbit FK UI; Hal.129-47.
Soebaryo R.W., 2009. Imunopatogenesis. Dalam Boediarja S.A., Sugito T.L., Indriatmi W.,
Devita M., Prihanti S., (Ed). Dermatitis Atopik. Balai Penerbit FK UI. Jakarta. Hal.
39-51.
Mansjoer A., Kuspuji T., Rakhmi S., Wahyu I.W., Wiwiek S.,(Ed). 2001. Dermatitis Atopik
dalam Kapita Selekta Kedokteran Edisi Ketiga Jilid II. Jakarta. Penerbit Media
Aesculapius FKUI. Hal.
Roesyanto I.D., & Mahadi., 2009. Peran Alergi Makanan pada Dermatitis Atopik. dalam
Boediarja S.A., Sugito T.L., Indriatmi W., Devita M., Prihanti S., (Ed). Dermatitis
Atopik. Balai Penerbit FK UI. Jakarta. Hal.12-20.
Sugito T.L., 2009. Penatalaksanaan Terbaru Dermatitis Atopik. dalam Boediarja S.A., Sugito
T.L., Indriatmi W., Devita M., Prihanti S., (Ed). Dermatitis Atopik. Balai Penerbit
FK UI. Jakarta. Hal. 39-55
Endaryanto E., & Harsono A., 2010. Prospek Probiotik dalam pencegahan alergi melalui
induksi aktif toleransi imunologis. Divisi Alergi Imunologi Bagian/SMF Ilmu
Kesehatan Anak FK-Unair/RSU Dr. Soetomo Surabaya.
Kariossentono H., 2006. Dermatitis Atopik (Eksema). Cetakan I.LPP UNS dan UNS Press.
Surakarta. Hal.8-12.
Graham B.R., 2005. Dermatologi.Edisi VIII. Erlangga.Jakarta.Hal.73-74.
Simpson E.L., & Hanifin J.M., 2005. Atopic dermatitis. Periodic synopsis. J Am Acad
Dermatol. 53(1): 115-28.
Bhakta I.M.,2006. Pendekatan Terhadap Pasien Anemia. dalam Ari W.S., Bambang S., Idrus
A., Marcelius S.K., Siti S.s (eds). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. jilid I. Edisi IV.
FKUI. Jakarta. Hal: 632-35

Anda mungkin juga menyukai

  • Hormon - Tugas
    Hormon - Tugas
    Dokumen17 halaman
    Hormon - Tugas
    Primarthaswari Prayastuti
    Belum ada peringkat
  • Makalah Hepatitis Anak
    Makalah Hepatitis Anak
    Dokumen10 halaman
    Makalah Hepatitis Anak
    Primarthaswari Prayastuti
    Belum ada peringkat
  • Portofolio Varicella
    Portofolio Varicella
    Dokumen4 halaman
    Portofolio Varicella
    Primarthaswari Prayastuti
    Belum ada peringkat
  • Kyoto Rute
    Kyoto Rute
    Dokumen2 halaman
    Kyoto Rute
    Primarthaswari Prayastuti
    Belum ada peringkat
  • Sistem Konduksi Jantung
    Sistem Konduksi Jantung
    Dokumen3 halaman
    Sistem Konduksi Jantung
    Primarthaswari Prayastuti
    Belum ada peringkat
  • Hematemesis
    Hematemesis
    Dokumen18 halaman
    Hematemesis
    Primarthaswari Prayastuti
    Belum ada peringkat
  • BAB I Revisi-1
    BAB I Revisi-1
    Dokumen3 halaman
    BAB I Revisi-1
    Primarthaswari Prayastuti
    Belum ada peringkat
  • Penyuluhan-Dm Ima
    Penyuluhan-Dm Ima
    Dokumen25 halaman
    Penyuluhan-Dm Ima
    Primarthaswari Prayastuti
    Belum ada peringkat
  • Kyoto Rute
    Kyoto Rute
    Dokumen2 halaman
    Kyoto Rute
    Primarthaswari Prayastuti
    Belum ada peringkat
  • Asma
    Asma
    Dokumen4 halaman
    Asma
    Primarthaswari Prayastuti
    Belum ada peringkat
  • Penyuluhan DM
    Penyuluhan DM
    Dokumen25 halaman
    Penyuluhan DM
    Primarthaswari Prayastuti
    Belum ada peringkat
  • Kerangka Konsep ISPA Bab III
    Kerangka Konsep ISPA Bab III
    Dokumen3 halaman
    Kerangka Konsep ISPA Bab III
    Primarthaswari Prayastuti
    50% (2)
  • Fishbone Fix
    Fishbone Fix
    Dokumen1 halaman
    Fishbone Fix
    Primarthaswari Prayastuti
    Belum ada peringkat
  • Prak Trematoda Usus Hati Paru
    Prak Trematoda Usus Hati Paru
    Dokumen20 halaman
    Prak Trematoda Usus Hati Paru
    Primarthaswari Prayastuti
    Belum ada peringkat
  • Bordetella Pertussis
    Bordetella Pertussis
    Dokumen9 halaman
    Bordetella Pertussis
    Primarthaswari Prayastuti
    Belum ada peringkat
  • Varicella
    Varicella
    Dokumen23 halaman
    Varicella
    Primarthaswari Prayastuti
    Belum ada peringkat
  • Defisiensi Imun
    Defisiensi Imun
    Dokumen11 halaman
    Defisiensi Imun
    Primarthaswari Prayastuti
    Belum ada peringkat
  • 4.HISTOPATOLOGI KULIT L 2007 (Compatibility Mode) PDF
    4.HISTOPATOLOGI KULIT L 2007 (Compatibility Mode) PDF
    Dokumen6 halaman
    4.HISTOPATOLOGI KULIT L 2007 (Compatibility Mode) PDF
    Primarthaswari Prayastuti
    Belum ada peringkat
  • Defisiensi Imun
    Defisiensi Imun
    Dokumen11 halaman
    Defisiensi Imun
    elyoka
    Belum ada peringkat
  • Cornyebacterium Difteri
    Cornyebacterium Difteri
    Dokumen44 halaman
    Cornyebacterium Difteri
    pinky melinda
    Belum ada peringkat
  • CMKDDN
    CMKDDN
    Dokumen9 halaman
    CMKDDN
    Primarthaswari Prayastuti
    Belum ada peringkat
  • CMKDDN
    CMKDDN
    Dokumen9 halaman
    CMKDDN
    Primarthaswari Prayastuti
    Belum ada peringkat
  • Arbo P
    Arbo P
    Dokumen29 halaman
    Arbo P
    Primarthaswari Prayastuti
    Belum ada peringkat
  • Bordetella Pertussis
    Bordetella Pertussis
    Dokumen7 halaman
    Bordetella Pertussis
    Primarthaswari Prayastuti
    Belum ada peringkat
  • Campylobacter
    Campylobacter
    Dokumen6 halaman
    Campylobacter
    Primarthaswari Prayastuti
    Belum ada peringkat
  • Arbo P T
    Arbo P T
    Dokumen29 halaman
    Arbo P T
    Primarthaswari Prayastuti
    Belum ada peringkat
  • Manifestasi Klinis Alfred
    Manifestasi Klinis Alfred
    Dokumen5 halaman
    Manifestasi Klinis Alfred
    Primarthaswari Prayastuti
    Belum ada peringkat
  • Hepatitis Hendra DX
    Hepatitis Hendra DX
    Dokumen3 halaman
    Hepatitis Hendra DX
    Primarthaswari Prayastuti
    Belum ada peringkat
  • Campylobacter
    Campylobacter
    Dokumen6 halaman
    Campylobacter
    Lukas Anjar Krismulyono
    Belum ada peringkat