Anda di halaman 1dari 52

TAKE HOME

MODUL PENDIDIKAN KESEHATAN TENTANG KEKERASAN PADA

PEREMPUAN DAN ANAK YANG MELANGGAR HAM

DISUSUN
OLEH

WIWI KURNIAWATI
1415301112

Pembimbing

ERMIZA .S.ST.M.Biomed

PROGRAM STUDI DIV BIDAN PENDIDIK


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN
FORT DE KOCK BUKITTINGGI
TAHUN 2015
MODUL UPAYA MENGATASI MASALAH PERLINDUNGAN
TERHADAP KEKERASAN ANAK DALAM TINJAUAN HAM

A. Latar Belakang Masalah

Anak adalah amanah Allah yang menjadi tanggung jawab setiap orang tua

untuk mendidik, membina dan menjadikan mereka generasi penerus yang tahu

eksistensinya sebagai hamba Allah yang harus mengabdi kepada-Nya dan sebagai

khalifah fil ardhi yang harus memberikan kemaslahatan bagi sesamanya. Anak

masih sangat membutuhkan bimbingan bagi kedua orang tuanya. Ia mempunyai

jiwa yang suci dan cemerlang bila ia sejak kecil dibiasakan baik, dididik dan

dilatih secara kontinyu, sehingga ia tumbuh dan berkembang menjadi anak yang

baik pula. Sebaliknya, apabila ia dibiasakan berbuat buruk, nantinya ia terbiasa

kepada perbuatan buruk pula dan menjadikan ia celaka.

Anak belajar dari kehidupannya. Hal ini seperti ungkapan Dorothy Law Nolte

(1998: vi) dalam Children Learn what They Live; Parenting to Inspire Values

yang menyatakan:

1. Jika anak dibesarkan dengan banyak kritikan dalam kehidupan, ia akan belajar

mengutuk

2. Jika anak dibesarkan dalam permusuhan, ia akan belajar berseteru

3. Jika anak dibesarkan dengan ketakutan dalam kehidupan, ia akan belajar

prihatin

4. Jika anak banyak dikasihani dalam kehidupan, ia akan belajar mengasihani

diri sendiri

5. Jika anak dibesarkan dalam cemoohan, ia akan menjadi rendah diri

6. Jika anak dibesarkan dalam kecemburuan, ia akan belajar iri hati


7. Jika anak banyak mengalami hal-hal yang memalukan dalam kehidupannya, ia

akan belajar merasa bersalah

8. Jika anak diberikan dorongan dalam kehidupannya, ia akan belajar percaya

diri

9. Jika anak dibesarkan dengan toleransi dalam kehidupannya, ia akan belajar

untuk sabar

10. Jika anak banyak dipuji dalam kehidupannya, ia akan belajar menghargai

11. Jika anak merasa diterima dalam kehidupannya, ia akan belajar menyenangi

diri sendiri

12. Jika anak diakui dalam kehidupannya, ia akan belajar mempunyai tujuan

hidup

13. Jika anak dibiasakan berbagi di dalam kehidupannya, ia akan belajar untuk

bermurah hati

14. Jika anak merasakan keadilan dalam kehidupannya, ia akan belajar bersikap

adil

15. Jika anak banyak diberikan kemurahan dan pertimbangan, ia akan belajar

menghormati

16. Jika anak merasa tentram dalam kehidupannya, ia akan belajar percaya

terhadap dirinya dan orang-orang di sekitarnya

17. Jika anak dibesarkan dengan kasih sayang dalam kehidupannya, ia akan

belajar untuk menemukan cinta dalam kehidupan dan menyadari dunia ini

adalah tempat tinggal yang menyenangkan.


Anak adalah buah hati sibiran tulang, demikian ungkapan masyarakat

melayu dalam mengekspresikan begitu pentingnya eksistensi seorang anak bagi

kelangsungan hidup mereka. Anak seyogyanya dipandang sebagai aset berharga

suatu bangsa dan negara di masa mendatang yang harus dijaga dan dilindungi

hak-haknya. Hal ini dikarenakan bagaimanapun juga di tangan anak-anak lah

kemajuan suatu bangsa tersebut akan ditentukan.

Semakin modern suatu negara, seharusnya semakin besar perhatiannya

dalam menciptakan kondisi yang kondusif bagi tumbuh kembang anak-anak

dalam rangka perlindungan. Perlindungan yang diberikan negara terhadap anak

anak meliputi berbagai aspek kehidupan, yaitu aspek ekonomi, sosial, budaya,

politik, hankam maupun aspek hukum.

Anak mempunyai hak yang bersifat asasi, sebagaimana yang dimiliki

orang dewasa, hak asasi manusia (HAM). Pemberitaan yang menyangkut hak

anak tidak segencar sebagaimana hak-hak orang dewasa (HAM) atau isu gender,

yang menyangkut hak perempuan. Perlindungan hak anak tidak banyak pihak

yang turut memikirkan dan melakukan langkah-langkah kongkrit. Demikian juga

upaya untuk melindungi hak-hak anak yang dilanggar yang dilakukan negara,

orang dewasa atau bahkan orang tuanya sendiri, tidak begitu menaruh perhatian

akan kepentingan masa depan anak. Padahal anak merupakan belahan jiwa,

gambaran dan cermin masa depan, aset keluarga, agama, bangsa dan negara. Di

berbagai negara dan berbagai tempat di negeri ini, anak-anak justru mengalami

perlakuan yang tidak semestinya, seperti eksploitasi anak, kekerasan terhadap

anak, dijadikan alat pemuas seks, pekerja anak, diterlantarkan, menjadi anak

jalanan dan korban perang / konflik bersenjata.


Menurut data yang dikeluarkan UNICEF tahun 1995, diketahui bahwa

dalam kurun waktu sepuluh tahun terakhir, hampir 2 juta anak-anak tewas, dan 4-

5 juta anak-anak cacat hidup akibat perang. Di beberapa negara, seperti Uganda,

Myanmar, Ethiopia, Afghanistan dan Guatemala, anak-anak dijadikan peserta

tempur (combatan) dengan dikenakan wajib militer. Semua terjadi akibat

kedahsyatan mesin perang yang diproduksi negara-negara industri, yang pada

akhirnya membawa penderitaan bukan hanya dalam jangka pendek, tetapi juga

berakibat pada jangka panjang yang menyangkut masa depan pembangunan

bangsa dan negara. (Laporan UNICEF, 1999: 1).

Demikian juga di negara-negara yang dalam keadaan aman, yang tidak

mengalami konflik bersenjata, telah terjadi pelanggaran terhadap hak-hak anak

akibat pembangunan ekonomi yang dilakukan, seperti pekerja anak (child labor),

anak jalanan (street children), pekerja seks anak (child prostitution), penculikan

dan perdagangan anak (child trafficking), kekerasan anak (violation) dan

penyiksaan (turtore) terhadap anak. (Laporan UNICEF, 1999: 2).

Di Indonesia pelanggaran hak-hak anak baik yang tampak mata maupun tidak

tampak mata, menjadi pemandangan yang lazim dan biasa diberitakan di media

masa, seperti mempekerjakan anak baik di sektor formal, maupun informal,

eksploitasi hak-hak anak. Upaya mendorong prestasi yang terlampau memaksakan

kehendak pada anak secara berlebihan, atau untuk mengikuti berbagai kegiatan

belajar dengan porsi yang melampaui batas kewajaran agar mencapai prestasi

seperti yang diinginkan orang tua. Termasuk juga meminta anak menuruti

kehendak pihak tertentu (produser) untuk menjadi penyanyi atau bintang cilik,
dengan kegiatan dan jadwal yang padat, sehingga anak kehilangan dunia anak-

anaknya.

Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA) mengaku menerima

berbagai pengaduan dengan jumlah anak korban kekerasan yang terus meningkat.

Dari 481 kasus pada 2004 menjadi 736 kasus pada tahun 2005, dan meningkat

lagi menjadi 1.124 kasus pada 2006. Jumlah kekerasan terhadap anak-anak ini

hanyalah jumlah yang dilaporkan wilayah sekitar Jabodetabek. Sementara jumlah

kekerasan terhadap anak secara nasional diperkirakan mencapai 72.000 kasus.

(Sirait, 2007).

Wakil Ketua KPAI (Komisi Perlindungan Anak Indonesia) Asrorum

Niam Sholeh dalam siaran pers menyatakan bahwa pada tahun 2010, dari 171

kasus pengaduan kekerasan pada anak yang masuk yang ditemukan oleh KPAI

sebanyak 67,8 persen terkait dengan kekerasan, 17 persen terkait dengan kasus

anak bermasalah dengan hukum, dan sisanya terkait kasus anak dalam situasi

darurat, kasus eksploitasi, kasus trafficking, dan kasus diskriminasi. Dari data

tersebut, jenis kekerasan yang paling banyak terjadi pada anak adalah kasus

kekerasan seksual sebanyak 45,7 persen (53 kasus), kekerasan fisik 25 persen (29

kasus), penelantaran sebanyak 20,7 persen (24 kasus), dan kekerasan fisik

sebanyak 8,7 persen (10 kasus). (Sirait, 2007)

Harus diakui, keberadaan anak-anak merupakan mayoritas di negeri ini.

Karenanya diperlukan tindakan aktif untuk melindungi hak-hak dan kepentingan

mereka melalui penegakan hukum dan tindakan legislasi lainnya. Hak asasi anak

belum sepenuhnya terpenuhi secara maksimal, sehingga membawa konsekuensi

bagi kehidupan diri dan keluarganya. Berbagai bukti empiris menunjukkan bahwa
masih dijumpai anak-anak yang mendapat perlakuan yang belum sesuai dengan

harapan. Kendalanya antara lain, kurangnya koordinasi antar instansi pemerintah,

belum terlaksananya sosialisasi dengan baik, dan kemiskinan yang masih dialami

masyarakat.

Uraian tentang fenomena kekerasan terhadap anak seperti yang

dideskripsikan di atas inilah yang membuat peneliti tertarik untuk menganalisis

tentang kekerasan terhadap anak dalam perspektif hak asasi manusia, sebagai

upaya untuk mengangkat harkat dan martabat anak serta memberikan kesetaraan

perhatian terhadap anak sebagai tunas bangsa. Hal ini dimaksudkan supaya

fenomena kekerasan yang sangat merusak kehidupan anak dapat dikurangi dan

dihilangkan, dengan berbagai sudut pendekatan yuridis, agama, psikologi dan

pendidikan - dan tindakan - preventif maupun kuratif.

B. Rumusan Masalah

Dari deskripsi yang dipaparkan pada latar belakang, dapat diformulasikan

permasalahan yang akan menjadi kajian dalam penelitian ini, yaitu: Bagaimana

upaya yang dilakukan dalam mengatasi masalah perlindungan terhadap kekerasan

anak dalam tinjauan HAM?

C. Pembahasan

Mendapatkan perlindungan merupakan hak dari setiap anak dan

diwujudkannya perlindungan bagi anak berarti terwujudnya keadilan dalam suatu

masyarakat. Asumsi ini diperkuat dengan pendapat Age yang dikutip oleh Gosita
(1996: 1), yang telah mengemukakan dengan tepat bahwa melindungi anak pada

hakekatnya melindungi keluarga, masyarakat, bangsa dan negara di masa depan.

Dari ungkapan tersebut nampak betapa pentingnya upaya perlindungan anak demi

kelangsungan masa depan sebuah komunitas, baik komunitas yang terkecil yaitu

keluarga, maupun komunitas yang terbesar yaitu negara. Artinya, dengan

mengupayakan perlindungan bagi anak komunitas-komunitas tersebut tidak hanya

telah menegakkan hak-hak anak, tapi juga sekaligus menanam investasi untuk

kehidupan mereka di masa yang akan datang. Di sini, dapat dikatakan telah terjadi

simbiosis mutualisme antara keduanya.

Perlindungan anak merupakan suatu usaha yang mengadakan situasi dan

kondisi yang memungkinkan pelaksanaan hak dan kewajiban anak secara

manusiawi positif. Ini berarti dilindunginya anak untuk memperoleh dan

mempertahankan haknya untuk hidup, mempunyai kelangsungan hidup,

bertumbuh kembang dan perlindungan dalam pelaksanaan hak dan kewajibannya

sendiri atau bersama para pelindungnya (Gosita, 1996:14).

Menurut pasal 1 nomor 2 , Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang

Perlindungan anak disebutkan bahwa:

Perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak

dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi, secara

optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan serta mendapat

perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.

Pada umumnya, upaya perlindungan anak dapat dibagi menjadi perlindungan

langsung dan tidak langsung, dan perlindungan yuridis dan non-yuridis. Upaya-
upaya perlindungan secara langsung di antaranya meliputi: pengadaan sesuatu

agar anak terlindungi dan diselamatkan dari sesuatu yang membahayakannya,

pencegahan dari segala sesuatu yang dapat merugikan atau mengorbankan anak,

pengawasan, penjagaan terhadap gangguan dari dalam dirinya atau dari luar

dirinya, pembinaan (mental, fisik, sosial), pemasyarakatan pendidikan formal dan

informal, pengasuhan (asah, asih, asuh), pengganjaran (reward), pengaturan

dalam peraturan perundang-undangan.(Gosita, 1996: 6)

Sedangkan, upaya perlindungan tidak langsung antara lain meliputi:

pencegahan orang lain merugikan, mengorbankan kepentingan anak melalui suatu

peraturan perundang-undangan, peningkatan pengertian yang tepat mengenai

manusia anak serta hak dan kewajiban, penyuluhan mengenai pembinaan anak

dan keluarga, pengadaan sesuatu yang menguntungkan anak, pembinaan (mental,

fisik dan sosial) para partisipan selain anak yang bersangkutan dalam pelaksanaan

perlindungan anak, penindakan mereka yang menghalangi usaha perlindungan

anak. (Gosita, 1996:7)

Kedua upaya perlindungan di atas sekilas nampak sama dalam hal bentuk

upaya perlindungannya. Perbedaan antara keduanya terletak pada objek dari

perlindungan itu sendiri. Objek dalam upaya perlindungan langsung tentunya

adalah anak secara langsung. Sedangkan upaya perlindungan tidak langsung, lebih

pada para partisipan yang berkaitan dan berkepentingan terhadap perlindungan

anak, yaitu orang tua, petugas dan pembina.

Demi menimbulkan hasil yang optimal, seyogyanya upaya perlindungan ini

ditempuh dari dua jalur, yaitu dari jalur pembinaan para partisipan yang
berkepentingan dalam perlindungan anak, kemudian selanjutnya pembinaan anak

secara langsung oleh para partisipan tersebut.

Upaya-upaya ini lebih merupakan upaya yang integral, karena bagaimana

mungkin pelaksanaan perlindungan terhadap anak dapat berhasil, apabila para

partisipan yang terkait seperti orang tua, para petugas dan pembina, tidak terlebih

dahulu dibina dan dibimbing serta diberikan pemahaman mengenai cara

melindungi anak dengan baik.

Ditinjau dari sifat perlindungannya, perlindungan anak juga dapat

dibedakan dari menjadi: perlindungan yang bersifat yuridis, meliputi perlindungan

dalam bidang hukum perdata dan dalam hukum pidana; perlindungan yang

bersifat non-yuridis, meliputi perlindungan di bidang sosial, bidang kesehatan dan

bidang pendidikan. (Waddong, 2000:40)

Perlindungan yang bersifat yuridis atau yang lebih dikenal dengan

perlindungan hukum. Menurut Arief (1998: 156) hal tersebut merupakan upaya

perlindungan hukum terhadap berbagai kebebasan dan hak asasi anak

(fundamental rights and freedoms of children) serta berbagai kepentingan yang

berhubungan dengan kesejahteraan anak.

Perlindungan hukum dalam bidang keperdataan, terakomodir dalam

ketentuan dalam hukum perdata yang mengatur mengenai anak seperti, (1)

Kedudukan anak sah dan hukum waris; (2) pengakuan dan pengesahan anak di

luar kawin; (3) kewajiban orang tua terhadap anak; (4)kebelumdewasaan anak dan

perwalian. (Retnowulan, 1996:3)

Dalam hukum pidana, perlindungan anak selain diatur dalam pasal 45, 46,

dan 47 KUHP (telah dicabut dengan diundangkannya Undang-undang Nomor 11


Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak). Kemudian, terdapat juga

beberapa pasal yang secara langsung atau tidak langsung berkaitan dengan

perlindungan anak, yaitu antara lain pasal 278, pasal 283, pasal 287, pasal 290,

pasal 297, pasal 301, pasal 305, pasal 308, pasal 341 dan pasal 356 KUHP.

Selanjutnya, dalam Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan

anak yang pada prinsipnya mengatur mengenai perlindungan hak-hak anak.

Dalam Undang-undang Nomor 4 tahun 1979, tentang Kesejahteraan Anak, pada

prinsipnya diatur mengenai upaya-upaya untuk mencapai kesejahteraan anak.

Dan, yang terakhir Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem

Peradilan Pidana Anak, yang pada prinsipnya mengatur mengenai perlindungan

terhadap anak sebagai pelaku tindak pidana dalam konteks peradilan anak.

Implementasi perlindungan hukum bagi anak sebagai korban ternyata

belum maksimal sebagaimana yang diberikan oleh undang-undang. Walaupun

belum maksimal, namun ada beberapa bentuk perlindungan hukum yang sudah

diberikan kepada anak sebagai korban sesuai Undang-Undang No. 23 Tahun 2002

pasal 64 ayat (3), bahwa anak sebagai korban mendapatkan (a) rehabilitasi baik

dalam lembaga maupun luar lembaga, (b) upaya perlindungan dan pemberitaan

identitas melalui media massa untuk menghindari labelisasi, (c) pemberian

jaminan keselamatan bagi saksi korban dan saksi ahli baik fisik, mental, maupun

sosial, dan (d) pemberian aksebilitas untuk mendapatkan informasi mengenai

perkembangan perkara.

Selain itu, hak anak sebagai korban yang menderita secara fisik perlu

mendapatkan restitusi maupun kompensasi atas akibat penderitaan yang

dialaminya. Sebagaimana terkandung dalam Deklarasi Prinsip-prinsip Dasar


Keadilan Bagi Para Korban Kejahatan dan Penyalahgunaan Kekuasaan (Resolusi

Majelis Umum PBB No. 40/34 tertanggal 29 November 1985). Deklarasi tersebut

mengandung ketentuan-ketentuan sebagai berikut:

1. Para korban berhak untuk mendapatkan penggantian segera atas kerugian

yang mereka derita.

2. Mereka harus diberitahu tentang hak mereka untuk mendapat ganti rugi.

3. Para pelaku atau pihak ketiga harus memberi restitusi yang adil bagi para

korban, keluarga, dan tanggungjawab mereka. Penggantian demikian harus

mencakup pengembalian hak milik atau pembayaran atas derita atau kerugian

yang dialami, penggantian atas biaya yang dikeluarkan sebagai akibat

viktimisasi tersebut, dan penyediaan pelayanan serta pemulihan hak-hak.

4. Bilamana kompensasi tidak sepenuhnya didapat dari pelaku atas sumber-

sumber lainnya, negara harus berusaha menyediakan kompensasi keuangan.

5. Para korban harus mendapat dukungan dan bantuan material, pengobatan,

psikologis dan sosial yang diperlukan. (Yulia, 2010: 196)

Menurut deklarasi tersebut di atas, merupakan bagian dari hak anak

sebagai korban yang harus dipenuhi. Karenanya, dalam perlindungan hukum

terhadap anak sebagai korban merupakan bagian dari perlindungan kepada

masyarakat, dapat diwujudkan dalam berbagai bentuk, seperti pemberian restitusi

maupun kompensasi, pelayanan medis, bantuan hukum dan rehabilitasi.

Kemudian menurut peraturan Beijing Rules mengandung ketentuan khusus yakni

bahwa:
Untuk memfasilitasi kebijakan mengenai kasus anak-anak, maka harus ada upaya

yang dilakukan untuk membekali para pelaksana program kemasyarakatan dengan

hal-hal seperti pengawasan dan bimbingan sementara, restitusi dan kompensasi

bagi para para korban. (Peraturan Minimum Standar Amerika Serikat Untuk

Administrasi Keadilan Anak-Anak (Peraturan Beijing Rule), Peraturan 11)

Dalam ketentuan KUHAP Pasal 98, KUHAP memberi kesempatan kepada

korban untuk menggabungkan perkara gugatan ganti kerugian ke dalam proses

peradilan pidana, di mana ganti kerugian ini dipertanggungjawabkan kepada

pelaku tindak pidana. Penggabungan gugatan ganti kerugian dalam perkara pidana

akan memudahkan korban atau keluarganya karena tidak perlu mengajukan

gugatan tersendiri. Gugatan ganti rugi ini tetap bersifat keperdataan walaupun

diberikan melalui proses pidana. (Harris dalam Yulia, 2010: 178). Dilihat dari

kepentingan korban, dalam konsep ganti kerugian terkandung dua manfaat yaitu

pertama, untuk memenuhi kerugian materiil dan segala biaya yang telah

dikeluarkan, dan kedua merupakan perumusan emosional korban. Sedangkan

dilihat dari sisi kepentingan pelaku, kewajiban mengganti kerugian dipandang

sebagai suatu bentuk pidana yang dijatuhkan dan dirasakan sebagai suatu yang

konkrit dan langsung berkaitan dengan kesalahan yang diperbuat pelaku.

(Chaerudin & Syarif Fadillah, 2004: 65).

Tujuan dari kewajiban mengganti kerugian menurut Gelaway ((Chaerudin

& Syarif Fadillah, 2004: 65), yaitu: a) Meringankan penderitaan korban, b)

sebagai unsur yang meringankan hukuman yang akan dijatuhkan, c) sebagai salah

satu cara merehabilitasi terpidana, dan d) mempermudah proses peradilan.


Selaras dengan hak yang telah disebut menurut Van Boven yang dikutip Rena

Yulia menyebutkan:

Hak-hak para korban adalah hak untuk tahu, hak atas keadilan, dan hak

atas reparasi (pemulihan), yaitu hak yang menunjuk kepada semua tipe pemulihan

baik material maupun non material bagi korban pelanggaran hak asasi manusia.

hak tersebut terdapat dalam berbagai instrumen hak asasi manusia yang berlaku

dan juga terdapat dalam yurisprudensi komite-komite hak asasi manusia

internasional maupun pengadilan regional hak asasi manusia. (Yulia, 2010: 43)

Selain hak-hak anak sebagai korban yang didapat berupa ganti kerugian, terdapat

beberapa hak anak sebagai korban untuk mendapatkan bantuan medis dan bantuan

rehabilitasi psiko-sosial. Bantuan rehabilitasi psikososial adalah bantuan yang

diberikan oleh psikolog kepada korban yang menderita trauma atau masalah

kejiwaan lainnya untuk memulihkan kembali kondisi kejiwaan korban. (Waluyo,

2011: 42).

Menurut ketentuan undang-undang No.23 Tahun 2002 tentang

perlindungan Anak pasal 64 (3) dan Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 pasal 90

mengatur, anak sebagai korban berhak mendapatkan rehabilitasi dari lembaga

maupun di luar lembaga. Kemudian di atur pula ke dalam Undang-Undang No. 13

Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban bahwa korban tindak pidana

berhak mendapatkan bantuan hukum baik medis, rehabilitasi psiko-sosial.

Anak sebagai korban selain dia mendapatkan hak-haknya sebagai korban maka

dia memiliki kewajiban yang harus dilaksanakannya. Kewajiban tersebut seperti

anak tidak boleh main hakim sendiri, berpartisipasi dengan masyarakat untuk

mencegah perbuatan agar korban tidak lebih banyak lagi (dapat terminimalisir),
bersedia dibina atau membina dari sendiri untuk tidak menjadi korban lagi,

(Waluyo, 2011: 44) serta mempergunakan uang restitusi maupun kompensasi

sebaik mungkin untuk kepentingan korban bukan untuk disalahgunakan.

Oleh karena itu, pemenuhan terhadap hak-hak korban merupakan hal yang

terpenting dalam perlindungan korban. Selain hak yang harus dipenuhi korban,

namun harus ada kewajiban yang harus dilaksanakan oleh korban. Dengan begitu

pentingnya hak asasi manusia bagi korban harus senantiasa diakui, dihargai, dan

dilindungi, diantaranya melalui produk perundang-undangan. (Waluyo, 2011:

158)

Bentuk perlindungan hukum yang ideal dalam memberikan perlindungan

terhadap anak sebagai korban di masa depan dilakukan secara preventif dan

represif. Adapun upaya yang dilakukan dalam mencegah terjadinya tindak pidana

perkosaan (preventif) terhadap anak, berupa: (1) Pengaturan dalam perspektif

normatif yakni Peraturan Perundang-Undangan, ada beberapa hal yang harus

diperhatikan seperti (a) sanksi pidana, dalam pemberian sanksi pidana terhadap

pelaku sebaiknya diberikan hukuman seberat-beratnya. Pemberian sanksi berat

tersebut harus diperhatikan pada motif pelaku, tujuan pelaku melakukan tindak

pidana, cara pelaku melakukan tindak pidana dan motif korban. Artinya, kalau

perkosaan tersebut dilakukan atas kesalahan murni dari pelaku dengan adanya

ancaman kekerasan, maupun kekerasan terhadap korban maka penjatuhan sanksi

tersebut dapat diperberat. Dan tipologi korban dalam hal ini adalah korban murni

yang artinya mereka menjadi korban yang sama sekali tidak bersalah, melainkan

karena perbuatan pelaku yang mengancam ataupun melakukan kekerasan untuk

melakukan persetubuhan dan itu dilakukan di luar perkawinan. (Gosita, 1993: 12).
Kemudian upaya preventif perlu juga dibentuknya lembaga yang berskala

nasional untuk menampung anak yang menjadi korban tindak kekerasan seperti

halnya perkosaan atau KDRT. Lembaga penyantun korban semacam ini sudah

sangat mendesak, mengingat viktimisasi yang terjadi di Indonesia pada beberapa

tahun terakhir ini sangat memprihatinkan. Koordinasi dengan pihak kepolisian

harus dilakukan, agar kepolisian segera meminta bantuan lembaga ini ketika

mendapat laporan terjadinya tindak kekerasan terhadap perempuan. Lembaga ini

perlu didukung setidaknya oleh pekerja sosial, psikolog, ahli hukum dan dokter.

Dalam kondisi daerah yang tidak memungkinkan, harus diupayakan untuk

menempatkan orang-orang dengan kualifikasi yang paling mendekati para

profesional di atas, dengan maksud agar lembaga ini dapat mencapai tujuan yang

diinginkan dengan baik. Pendanaan untuk lembaga ini harus dimulai dari

pemerintah sendiri, baik pusat maupun daerah, dan tentunya dapat melibatkan

masyarakat setempat baik secara individu maupun kelompok. (Harkrisnowo,

2003)

Secara Represif diperlukan perlindungan hukum berupa: (a) pemberian

restitusi dan kompensasi bertujuan mengembalikan kerugian yang dialami oleh

korban baik fisik maupun psikis, serta penggantian atas biaya yang dikeluarkan

sebagai akibat viktimisasi tersebut. Mengenai hak ini diatur dalam Pasal 98 ayat

(1) KUHAP, yaitu:

Jika suatu perbuatan yang menjadi dasar dakwaan di dalam suatu pemeriksaan

perkara pidana oleh Pengadilan Negeri menimbulkan kerugian bagi orang lain,

maka Hakim Ketua Sidang atas permintaan orang itu dapat menetapkan untuk

menggabungkan perkara gugatan ganti kerugian kepada perkara pidana itu.


Ketentuan yang ada dalam Pasal 98 KUHAP tersebut, tentang kemungkinan

korban mendapat ganti kerugian sangatlah kurang, terutama karena ganti kerugian

yang diperkenankan adalah yang berkenaan dengan penggantian biaya yang telah

dikeluarkan oleh pihak yang dirugikan (korban), (b) Konseling diberikan kepada

anak sebagai korban perkosaan yang mengalami trauma berupa rehabilitasi yang

bertujuan untuk mengembalikan kondisi psikis korban semula. Sebagaimana yang

dijelaskan dalam Pasal 64 ayat (3) Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang

Perlindungan Anak, bahwa salah satu bentuk perlindungan khusus bagi anak

menjadi korban adalah upaya rehabilitasi, baik dalam lembaga maupun di luar

lembaga. (c) Pelayanan / bantuan medis, diberikan kepada korban yang menderita

secara medis akibat suatu tindak pidana seperti perkosaan, yang mengakibatkan

penderitaan fisik. Sebagaimana diatur dalam Pasal 90 ayat (1) Undang-Undang

No.11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, menjelaskan bahwa

Anak korban dan Anak saksi berhak atas upaya rehabilitasi medis dan

rehabilitasi sosial, baik di dalam lembaga maupun di luar lembaga. Yang

dimaksud dengan rehabilitasi medis tersebut adalah proses kegiatan pengobatan

secara terpadu dengan memulihkan kondisi fisik anak, anak korban dan atau anak

saksi. Kemudian yang dimaksud dengan rehabilitasi sosial adalah proses kegiatan

pemulihan secara terpadu, baik fisik, mental maupun sosial, agar anak korban, dan

atau anak saksi dapat kembali melaksanakan fungsi sosial dalam kehidupan di

masyarakat. (Penjelasan pasal 91 ayat (3) Undang-Undang No. 11 Tahun 2012

tentang Sistem Peradilan Pidana Anak)


Oleh karena itu, perlu dibentuknya lembaga sosial untuk menampung kaum

perempuan maupun anak yang menjadi korban tindak kekerasan maupun

kekerasan seksual. Lembaga penyantun korban semacam ini sudah sangat

mendesak, mengingat viktimisasi yang terjadi di Indonesia pada beberapa tahun

terakhir ini sangat memprihatinkan.

Sebagaimana di dalam ketentuan Pasal 18 Undang-Undang No. 23 Tahun

2002 tentang Perlindungan Anak menyatakan bahwa, setiap anak yang menjadi

korban atau pelaku tindak pidana berhak mendapatkan bantuan hukum dan

bantuan lainnya. Penjelasan pasal 18 tersebut, mendapatkan bantuan lainnya

dalam ketentuan ini termasuk bantuan medik, sosial, rehabilitasi, vokasional dan

pendidikan. (Penjelasan pasal 18 Undang-Undang No. 13 Tahun 2006 tentang

Perlindungan Saksi dan Korban)

Selanjutnya (d) Pemberian informasi, Hak korban untuk mendapat informasi

mengenai perkembangan kasus dan juga keputusan hakim. Hak korban untuk

mendapat informasi mengenai perkembangan kasus dan juga keputusan hakim,

termasuk pula hak untuk diberitahu apabila si pelaku telah dikeluarkan atau

dibebaskan dari penjara (kalau ia dihukum). Apabila tidak dihukum, misalnya

karena bukti yang kurang kuat, seyogyanya korban diberi akses untuk

mendapatkan perlindungan agar tidak terjadi pembalasan dendam oleh pelaku

dalam segala bentuknya.

Yang terakhir (e) perlindungan yang diberikan oleh keluarga maupun

masyarakat. Keluarga merupakan orang-orang terdekat korban (anak) yang

mempunyai andil besar dalam membantu memberikan perlindungan kepada

korban. Hal ini dengan dapat ditunjukkan dengan selalu menghibur korban (anak),
tidak mengungkit-ungkit dengan menanyakan peristiwa perkosaan yang telah

dialaminya, memberi dorongan dan motivasi bahwa korban tidak boleh terlalu

larut dengan masalah yang dihadapinya, memberi keyakinan bahwa perkosaan

yang dialaminya tidak boleh merusak masa depannya, melindungi dia dari cibiran

masyarakat yang menilai buruk dirinya, dan lain-lain. Sedangkan berkaitan

dengan peran masyarakat oleh media massa harus dilakukan dengan bijaksana

demi perlindungan anak karena dalam Pasal 64 Undang-Undang No.23 tahun

2002 tentang Perlindungan Anak ditegaskan perlindungan dari pemberitaan

identitas melalui media massa dan untuk menghindari labelisasi. Artinya dalam

hal ini seharusnya masyarakat ikut membantu memulihkan kondisi kejiwaan

korban. Masyarakat diharapkan ikut mengayomi dan melindungi korban dengan

tidak mengucilkan korban, tidak memberi penilaian buruk kepada korban.

Perlakuan semacam ini juga dirasa sebagai salah satu perwujudan perlindungan

kepada korban, karena dengan sikap masyarakat yang baik, korban tidak merasa

minder dan takut dalam menjalani kehidupan bermasyarakat.

Perlindungan anak yang bersifat non-yuridis dapat berupa, pengadaan

kondisi sosial dan lingkungan yang kondusif bagi pertumbuhan anak, kemudian

upaya peningkatan kesehatan dan gizi anak-anak, serta peningkatan kualitas

pendidikan melalui berbagai program bea siswa dan pengadaan fasilitas

pendidikan yang lebih lengkap dan canggih.

Sebagaimana yang telah dikemukakan sebelumnya, berbagai upaya perlindungan

anak tersebut tidak lain diorientasikan sebagai upaya untuk menciptakan

kesejahteraan anak. Guna mencapai tujuan tersebut, maka pelaksanaan

perlindungan tersebut tidak boleh dipisahkan dari prinsip-prinsip dasar


perlindungan anak dalam Konvensi Hak Anak, yaitu: (1) Prinsip-prinsip non-

diskriminasi (non-discrimination); (2) Prinsip Kepentingan terbaik untuk anak

(the best interest of the child;(3) Prinsip hak-hak anak untuk hidup, bertahan

hidup dan pengembangan (the right to life, survival and development);(4) Prinsip

menghormati pandangan anak (respect to the views of the

child).(www.sekitarkita.com,2002)

Upaya perlindungan anak korban kekerasan baru mulai mendapat

perhatian penguasa, secara lebih komprehensif, sejak ditetapkannya Undang-

Undang Perlindungan Anak, meski perlindungan itu masih memerlukan instrumen

hukum lainnya guna mengoperasionalkan perlindungan tersebut. Di samping

adanya perlindungan yang bersifat abstrak (secara tidak langsung) melalui

pemberian sanksi pidana kepada pelaku kekerasan terhadap anak, Undang-

Undang Perlindungan Anak juga menetapkan beberapa bentuk perlindungan yang

lain terhadap anak korban kekerasan. Pasal 17 ayat (2) yang berbunyi:

Setiap anak yang menjadi korban atau pelaku kekerasan seksual atau yang

berhadapan dengan hukum berhak dirahasiakan.

Kemudian dalam Pasal 18 disebutkan:

Setiap anak yang menjadi korban atau pelaku tindak pidana berhak memperoleh

bantuan hukum dan bantuan lainnya.

Bentuk perlindungan yang diberikan oleh Undang-Undang (Pasal 17 ayat 2 dan

Pasal 18) hanya berupa kerahasiaan si anak, bantuan hukum dan bantuan lain.

Hanya sayang, bahwa makna kerahasiaan tersebut tidak ada penjelasan lebih
lanjut. Dalam penjelasan umum Undang-Undang Perlindungan Anak, antara lain,

disebutkan, bahwa:

Meskipun Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang HAM telah

mencantumkan tentang hak anak, pelaksanaan kewajiban dan tanggungjawab

orang tua, keluarga, masyarakat, pemerintah dan negara, untuk memberikan

perlindungan pada anak masih memerlukan suatu undang-undang mengenai

perlindungan anak sebagai landasan yuridis bagi pelaksanaan kewajiban dan

tanggungjawab tersebut. Dengan demikian, pembentukan Undang-Undang ini

didasarkan pada pertimbangan bahwa perlindungan anak dalam segala aspeknya

merupakan bagian dari kegiatan pembangunan nasional, khususnya dalam

memajukan kehidupan berbangsa dan bernegara.

Kemudian perlindungan yang berupa bantuan lainnya, dalam penjelasan Pasal18,

hanya disebutkan bahwa:

Bantuan lainnya dalam ketentuan ini termasuk bantuan medik,, sosial,

rehabilitasi, vokasional, dan pendidikan.

Dalam Bab IX tentang Penyelenggaraan Perlindungan ditetapkan beberapa bentuk

perlindungan anak yang mencakup perlindungan agama, kesehatan, sosial, dan

pendidikan. Dalam perlindungan tersebut tidak disebutkan secara khusus tentang

perlindungan bagi anak korban kekerasan. Baru dalam bagian kelima (Pasal 59-

71) diatur tentang perlindungan khusus, namun sayangnya dalam ketentuan ini

juga ditegaskan tentang bentuk perlindungan khusus bagi anak korban kekerasan.

Dalam ketentuan ini hanya ditetapkan tentang proses dan pihak yang
bertanggungjawab atas perlindungan anak korban kekerasan. Misalnya,

perlindungan anak korban tindak pidana (Pasal 64 ayat 3) hanya ditentukan

prosesnya, yaitu melalui: (1) upaya rehabilitasi, baik dalam lembaga maupun di

luar lembaga; (2) upaya perlindungan dari pemberitaan identitas melalui media

massa dan menghindari labelisasi; (3) pemberian jaminan keselamatan bagi saksi

korban dan saksi ahli, baik fisik, mental maupun sosial; dan (4) pemberian

aksesibilitas untuk mendapatkan informasi mengenai perkembangan perkara.

Kemudian juga dalam hal terjadi kekerasan yang berupa eksploitasi anak

secara ekonomi dan/atau seksual (Pasal 66), perlindungan dilakukan melalui: (1)

penyebarluasan dan/atau sosialisasi ketentuan peraturan perundang-undangan

yang berkaitan dengan perlindungan anak yang dieksploitasi secara ekonomi

dan/atau seksual; (2) pemantauan, pelaporan, dan pemberian sanksi; dan (3)

pelibatan pemerintah dan masyarakat dalam penghapusan eksploitasi anak secara

ekonomi dan/atau seksual. Pihak yang bertanggung jawab dalam perlindungan

tersebut, semuanya hanya ditentukan, yaitu pemerintah dan masyarakat.

Perlindungan yang diberikan oleh Undang-Undang ini pada dasarnya juga masih

bersifat abstrak, tidak secara langsung dapat dinikmati oleh korban kekerasan.

Artinya, bahwa korban kekerasan tidak memperoleh perlindungan yang berupa

pemenuhan atas kerugian yang dideritanya.

Adanya ketentuan tentang Komisi Perlindungan Anak (Pasal 74-76) juga

belum menunjukkan adanya upaya pemberian perlindungan terhadap anak korban

kekerasan, sebab komisi ini tentunya juga hanya tergantung dari ada tidaknya

perlindungan yang berupa pemenuhan atas kerugian atau penderitaan anak korban

kekerasan.
Selanjutnya dalam Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 tentang Pencegahan

Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UUKDRT), mengenai perlindungan korban

KDRT, ditetapkan dalam Bab IV tentang Hak-hak Korban, Bab VI tentang

Perlindungan dan Bab VII tentang Pemulihan Korban. Hak-hak, perlindungan

maupun pemulihan korban, dalam UUKDRT, dimaksudkan untuk semua korban

KDRT, tentunya termasuk perlindungan terhadap anak korban KDRT. Dalam

UUKDRT, perlindungan anak korban kekerasan, juga tidak berbeda dengan yang

ditetapkan dalam Undang-Undang Perlindungan Anak, namun UUKDRT dalam

merumuskan perlindungan terhadap korban kekerasan lebih kongkret dan

operable. Pemberian perlindungan terhadap anak korban kekerasan, khususnya

yang berupa pemenuhan ganti kerugian, baik melalui pemberian kompensasi

dan/atau restitusi seharusnya memperoleh perhatian dari pembuat kebijakan

Mengenai kompensasi dan restitusi, Schafer (1968: 172) mengemukakan 5

(lima) sistem pemberian kompensasi dan restitusi kepada korban kejahatan, yaitu:

(1) ganti rugi yang bersifat perdata, diberikan melalui proses hukum perdata,

terpisah dengan proses hukum pidana; (2) kompensasi yang bersifat keperdataan,

diberikan melalui proses pidana; (3) restitusi yang bersifat perdata dan bercampur

dengan sifat pidana, diberikan melalui proses pidana; (4) kompensasi yang

bersifat perdata, diberikan melalui proses pidana dan didukung oleh sumber-

sumber penghasilan negara; (5) kompensasi yang bersifat netral diberikan melalui

prosedur khusus.

Nawawi Arief (2007: 49) menjelaskan bahwa pada delik umum, hukum

pidana positif Indonesia tidak mengenal ganti rugi, hanya untuk delik-delik

tertentu ada jenis ganti rugi. Misalnya , tindakan tata tertib dalam tindak pidana
ekonomi; pidana tambahan yang berupa pembayaran ganti rugi dalam tindak

pidana korupsi. Sementara itu, ganti rugi dalam pidana bersyarat (Pasal 14c

KUHP) tidak dapat disamakan dengan denda kompensasi, karena ganti rugi

tersebut merupakan syarat untuk adanya pidana bersyarat yang dibebankan kepada

terpidana.

Berbagai bentuk ganti rugi tersebut bukan semata-mata diberikan untuk

perlindungan korban. Oleh karena itu perlu ada perhatian dari pembuat Undang-

Undang tentang pemberian perlindungan korban kejahatan (kekerasan) secara

langsung. Perlindungan ini sangat diperlukan bagi korban kekerasan yang

memang sangat memerlukan pemulihan kerugian, baik ekonomi maupun fisik,

sementara korban tidak mampu. Pemberian perlindungan korban kejahatan ini

dapat dilakukan negara dengan pertimbangan bahwa negara gagal dalam

melindungi warganya dari rasa aman. Dalam hal ini Nawawi Arief (1982: 164)

mengemukakan, bahwa gagasan untuk memberikan kompensasi kepada korban

kejahatan (kekerasan) oleh negara atau masyarakat perlu dikembangkan di

Indonesia, meskipun hal itu masih tergantung dari kemampuan negara. Apabila

tersangka (pelaku) saja mendapat perlindungan dan bantuan dari negara untuk

memperoleh hak rehabilitasi, ganti rugi, dan bantuan hukum cuma-cuma, dalam

hal-hal tertentu, maka wajar apabila korban juga mendapat perlindungan dari

negara. Terlebih dilihat dari tujuan dan tanggungjawab negara untuk mewujudkan

pemerataan keadilan sosial dan kesejahteraan umum.

Pemikiran tersebut sejalan dengan himbauan yang diberikan oleh Kongres

PBB ke-7 dan Resolusi MU-PBB No. 40/34, butir 9, kepada negara-negara

anggota, sebagai berikut:


Government should review their practices, regulations and law to consider

restitution as an available sentencing option in criminal cases, in addition to other

criminal sanctions.

Dalam butir berikutnya juga disampaikan, bahwa

Where public officials or other agents acting in official or quasi-official capacity

have violated national criminal laws, the victim should receive restitute from the

state whose officials or agents were responsible for the harm influenced.

Selanjutnya dalam butir 12 disebutkan:

When compensation isnt fully available from the often or other sources, state

should endeavor to provide compensation to: (a) victims who have sustained

significant bodily injure or impairment of physical or mental health as a rest of

serious crime; (b) the family, in particular dependents of persons have diet or

become physically or mentally incapacitated as a result of such victimization.

Seperti dikemukakan di atas, meski kedua Undang-Undang tersebut sudah

menetapkan berbagai bentuk perlindungan anak korban kekerasan, namun bentuk

perlindungan yang bersifat langsung, baik dari negara ataupun dari pelaku

kekerasan belum nampak secara jelas. Oleh karenanya perlu ditetapkan model

pemberian perlindungan anak korban kekerasan baik dalam Undang-Undang

Perlindungan Anak maupun UUKDRT secara jelas dan tegas serta bersifat

operable, sehingga dalam kehidupan selanjutnya anak korban kekerasan benar-

benar mendapat jaminan hukum yang jelas.


Upaya yang harus menjadi prioritas utama (high priority) untuk

melindungi anak dari tindakan penyiksaan atau perlakuan atau hukuman lain yang

keji, tidak manusiawi atau merendahkan martabat adalah melalui reformasi

hukum. Reformasi hukum tersebut pertama kali dengan cara mentransformasi

paradigma hukum yang menjadi spririt upaya reformasi hukum tersebut. Spirit

untuk melakukan reformasi hukum dilandasi dengan paradigma pendekatan

berpusat pada kepentingan terbaik bagi anak (a child-centred approach) berbasis

pendekatan hak. Regulasi dan kebijakan dan penegakan hukum harus sesuai

dengan prinsip-prinsip dan norma-norma KHA dan instrumen hukum HAM

internasional utama lainnya. Sebagai contoh, hal ini mulai dilihat dengan

mengamandemen Undang-Undang Pengadilan Anak dengan lebih melakukan

paradigma pendekatan berpusat pada kepentingan terbaik bagi anak (a child-

centred approach).

Di samping itu, adalah perlunya penegakan hukum (Law Enforcement)

dari instansi pemerintah yang berwenang dengan meningkatkan pelaksanaan

peraturan perundang-undangan guna meningkatkan pemenuhan dan perlindungan

HAM bagi kelompok rentan khususnya anak. Supremasi hukum harus ditegakkan,

sistem peradilan harus berjalan dengan baik dan adil, para pejabat penegak hukum

harus memenuhi kewajiban tugas yang dibebankan kepadanya dengan

memberikan pelayanan yang baik dan adil kepada masyarakat pencari keadilan.

Dalam menegakkan hukum, perlu panduan agar hak anak dapat terlindungi

sebagai contoh antara lain: menghapus semua bentuk penghukuman fisik terhadap

anak dan tindakan terhadap anak harus disesuaikan dengan usia anak.
Di samping itu, perlunya pengawasan dari setiap unsur masyarakat untuk

memonitor setiap pelanggaran HAM yang melibatkan anak; memastikan bahwa

semua tersangka yang sedang diinvestigasi dalam proses peradilan pidana harus

teregistrasi termasuk anak-anak; Memperluas upaya yang telah dilakukan saat ini

guna mengatasi masalah pelecehan, penelantaran, termasuk pelecehan seksual,

dan memastikan bahwa ada suatu sistem nasional yang menerima, mengawasi dan

menyelidiki laporan tentang anak, dan bilamana perlu membawa kasus ke

pengadilan dengan cara yang berpihak pada anak serta menjamin kerahasiaan

korban; pendidikan publik (public education) kepada masyarakat tentang

perlindungan hak anak dan praktek-praktek pelanggaran terhadap hak anak,

sehingga diharapkan masyarakat dapat sejak dini potensi pelanggaran hak asasi

terhadap anak.

Perlindungan korban (tentunya termasuk anak) kejahatan (kekerasan)

dapat mencakup bentuk perlindungan yang bersifat abstrak (tidak langsung)

maupun yang konkret (langsung). Perlindungan yang abstrak pada dasarnya

merupakan bentuk perlindungan yang hanya bisa dinikmati atau dirasakan secara

emosional (psikis), seperti rasa puas (kepuasan). Sementara itu, perlindungan

yang kongkret pada dasarnya merupakan bentuk perlindungan yang dapat

dinikmati secara nyata, seperti pemberian yang berupa atau bersifat materi

maupun non-materi. Pemberian yang bersifat materi dapat berupa pemberian

kompensasi atau restitusi, pembebasan biaya hidup atau pendidikan. Pemberian

perlindungan yang bersifat non-materi dapat berupa pembebasan dari ancaman,

dari pemberitaan yang merendahkan martabat kemanusiaan.


Perlindungan terhadap anak korban kejahatan (kekerasan) dapat dilakukan

melalui hukum, baik hukum administrasi, perdata, maupun pidana. Penetapan

tindak pidana kekerasan pada anak dan upaya penanggulangan kekerasan pada

anak dengan hukum, melalui berbagai tahap, sebenarnya terkandung pula upaya

perlindungan bagi anak korban kekerasan, meski masih bersifat abstrak atau tidak

langsung. Namun, dapat dikatakan bahwa dewasa ini, pemberian perlindungan

korban kejahatan oleh hukum pidana masih belum menampakkan pola yang

jelas.10 Sistem peradilan pidana, baik hukum pidana positif maupun

penerapannya pada dasarnya lebih banyak memberikan perlindungan yang abstrak

(tindak langsung).

Adanya perumusan (penetapan) perbuatan kekerasan terhadap anak

sebagai tindak pidana (dengan sanksi pidana) dalam peraturan perundang-

undangan pada hakikatnya merupakan pemberian perlindungan in abstracto,

secara tidak langsung, terhadap anak korban kejahatan (kekerasan). Dikatakan

demikian, karena tindak pidana dalam hukum positif tidak dianggap sebagai

perbuatan menyerang/melanggar kepentingan hukum seseorang (korban) secara

pribadi dan kongkret, tetapi hanya dianggap sebagai pelanggaran norma/tertib

hukum in abstracto. Konsekuensinya, perlindungan korbanpun tidak secara

langsung, tapi hanya secara tidak langsung (in abstracto). Dengan kata lain,

sistem sanksi dan pertanggungjawaban pidana tidak ditujukan pada perlindungan

korban secara langsung dan kongkret, tetapi hanya perlindungan korban secara

tidak langsung dan abstrak.

Dengan demikian, pertanggungjawaban pidana oleh perlaku kejahatan

(kekerasan) bukanlah pertanggungjawaban pidana terhadap kerugian/penderitaan


korban secara langsung dan konkret, tetapi lebih merupakan pertanggungjawaban

yang bersifat pribadi/individual. Dalam pertanggungjawaban pidana yang bersifat

pribadi/individual pada dasarnya juga terkandung adanya perlindungan korban

kejahatan secara tidak langsung, dan bahkan terhadap calon-calon korban atau

korban potensial.

Pemberian pidana, baik secara abstrak (in abstracto) maupun secara

konkret (in concreto) oleh badan (lembaga) yang berwenang, misalnya pidana

mati, penjara maupun pidana denda, dapat memberikan rasa puas bagi korban dan

rasa aman (tenang) bagi korban potensial. Pemberian pidana kepada pelaku

kejahatan (kekerasan) memang belum bisa memberikan rasa keadilan yang

sempurna. Lebih-lebih apabila korban menderita kerugian secara materiil maupun

secara fisik.

Studi yang pernah dilakukan oleh Iswanto (1995) tentang Perlindungan

Korban Akibat Kecelakaan Lalulintas Jalan Raya menunjukkan bahwa

perlindungan hukum terhadap korban, yang bersifat abstrak, masih jauh dari rasa

keadilan. Pemberian ganti rugi (kompensasi) dari pelaku melalui proses alternatif

(proses di luar peradilan) justru dinilai lebih bermanfaat dan berkeadilan, serta

dalam menyelesaikan persoalan yang timbul akibat dari kecelakaan tersebut.

Di samping memberikan perlindungan secara tidak langsung, hukum

pidana positif, dalam hal-hal tertentu, juga memberikan perlindungan secara

langsung. Dalam Pasal 14c KUHP ditetapkan bahwa dalam hal hakim

menjatuhkan pidana bersyarat (Pasal 14a), hakim dapat dapat menetapkan syarat

khusus bagi terpidana, yaitu mengganti semua atau sebagian kerugian yang

ditimbulkan oleh perbuatannya dalam waktu yang lebih pendek dari masa
percobaannya. Perlindungan yang langsung ini, di samping jarang diterapkan,

masih mengandung banyak kelemahan, yaitu: (1) ganti kerugian tidak dapat

diberikan secara mandiri, artinya bahwa ganti kerugian hanya dapat diberikan

apabila hakim menjatuhkan pidana bersyarat; (2) pidana bersyarat hanya

berkedudukan sebagai pengganti dari pidana pokok yang dijatuhkan hakim yang

berupa pidana penjara paling lama satu tahun atau pidana kurungan; (3)

pemberian ganti kerugian hanya bersifat fakultatif, bukan bersifat imperatif. Jadi,

pemberian ganti kerugian tidak selalu ada, meski hakim menjatuhkan pidana

bersyarat.

Dalam KUHAP, Pasal 98-101, diatur tentang kemungkinan penggabungan

perkara gugatan ganti kerugian (perdata) ke dalam perkara pidana. Ketentuan ini

dapat dikatakan memberikan perlindungan korban kejahatan dalam

mempermudah perolehan ganti kerugian, namun model ini juga mempersempit

ruang gerak korban sendiri. Dalam penggabungan perkara ini, berakhirnya

putusan pidana berarti juga berakhirnya putusan perdata. Jadi, apabila dalam

perkara pidana tidak ada upaya hukum, banding misalnya, maka putusan perdata

harus mengikuti putusan pidana. Artinya, pihak penggugat yang menitipkan

perkara kepada Jaksa tidak dapat melakukan upaya hukum, meski putusan atas

tuntutan ganti kerugiannya tidak memuaskan.

Di samping dari aspek hukum, upaya untuk mereduksi meningkatnya

jumlah kekerasan terhadap anak di Indonesia dapat dilakukan oleh orang tua, guru

sebagai pendidik, masyarakat dan pemerintah, yaitu:

1. Pertama, Orang Tua. Para orang tua seharusnya lebih memperhatikan

kehidupan anaknya. Orang tua dituntut kecakapannya dalam mendidik dan


menyayangi anak-anaknya. Jangan membiarkan anak hidup dalam

kekangan, mental maupun fisik. Sikap memarahi anak habis-habisan,

apalagi tindakan kekerasan (pemukulan dan penyiksaan fisik) tidaklah arif,

karena hal itu hanya akan menyebabkan anak merasa tidak diperhatikan,

tidak disayangi. Akhirnya anak merasa trauma, bahkan putus asa. Penting

disadari orang tua bahwa anak dilahirkan ke dunia ini dilekati dengan

berbagai hak yang layak didapatkannya. Seorang anak memiliki hak untuk

mendapatkan pengasuhan yang baik, kasih sayang, dan perhatian. Anak

pun memiliki hak untuk mendapatkan pendidikan yang baik di keluarga

maupun di sekolah, juga nafkah (berupa pangan, sandang dan papan).

Bagaimanapun keadaannya, tidak wajib seorang anak menafkahi dirinya

sendiri, sehingga ia harus kehilangan banyak hak-haknya sebagai anak

karena harus membanting tulang untuk menghidupi diri (atau bahkan

keluarganya). Dalam kasus child abuse, siklus kekerasan dapat

berkembang dalam keluarga. Individu yang mengalami kekerasan dari

orang tuanya dulu, memiliki kecenderungan signifikan untuk melakukan

hal yang sama pada anak mereka nanti. Tingkah laku agresi dipelajari

melalui pengamatan dan imitasi, yang secara perlahan terintegrasi dalam

sistem kepribadian orang tua. Oleh karena itu penting bagi orang tua untuk

menyadari sepenuhnya bahwa perilaku mereka merupakan model rujukan

bagi anak-anaknya, sehingga mereka mampu menghindari perilaku yang

kurang baik.

Peran keluarga terutama orang tua di sini sangatlah penting. Perlindungan

dan kasih sayang seharusnya semakin ditingkatkan. Perekonomian yang


sulit jangan menjadikan anak sebagai bahan eksploitasi untuk mencari

uang. Masa anak masih dalam tahap belajar dan bermain serta mengenal

lingkungan. Hal tersebut adalah bekal mereka untuk mengahadapi

kehidupan yang selanjutnya ketika mereka beranjak dewasa kelak.

Pendidikan juga sangat wajib bagi anak, anak adalah tunas bangsa yang

harus lebih diperhatikan kembali. Orang tua juga wajib dalam mengawasi

lingkungan anak agar tidak menjadi korban kekerasan orang-orang yang

tidak bertanggung jawab.

2. Kedua, Guru. Peran seorang guru dituntut untuk menyadari bahwa

pendidikan di negara kita bukan saja untuk membuat anak pandai dan

pintar, tetapi harus juga dapat melatih mental anak didiknya. Peran guru

dalam memahami kondisi siswa sangat diperlukan. Sikap arif, bijaksana,

dan toleransi sangat diperlukan. Idealnya seorang guru mengenal betul

pribadi peserta didik, termasuk status sosial orang tua murid sehingga ia

dapat bertindak dan bersikap bijak.

3. Ketiga, Masyarakat. Anak-anak kita ini selain bersentuhan dengan orang

tua dan guru, mereka pun tidak bisa lepas dari berbagai persinggungan

dengan lingkungan masyarakat di mana dia berada. Untuk itu diperlukan

kesadaran dan kerjasama dari berbagai elemen di masyarakat untuk turut

memberikan nuansa pendidikan positif bagi anak-anak. Salah satu elemen

tersebut adalah pihak pengelola stasiun TV. Banyak riset menyimpulkan

bahwa pengaruh media (terutama TV) terhadap perilaku anak (sebagai

salah satu penikmat acara TV) cukup besar. Berbagai tayangan kriminal di

berbagai stasiun TV, tanpa kita sadari telah menampilkan potret-potret


kekerasan yang tentu akan berpengaruh pada pembentuk mental dan

pribadi anak. Penyelenggara siaran TV bertanggungjawab untuk

mendesain acaranya dengan acara yang banyak mengandung unsur

edukasi yang positif.

4. Keempat, Pemerintah. Pemerintah adalah pihak yang bertanggung jawab

penuh terhadap kemaslahatan rakyatnya, termasuk dalam hal ini adalah

menjamin masa depan bagi anak-anak kita sebagai generasi penerus.

Pemerintah harus memberikan ketegasan pada masyarakat mengenai

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, bila

perlu memberikan sosialisasi bahwa ada Undang-Undang bertujuan dalam

perlindungan anak serta dijelaskan juga sanksi terhadap yang melanggar

Undang-Undang tersebut. Pemerintah juga harus memberikan fasilitas

pelatihan dan pembelajaran anak. Maka pemerintah harus siap

menampung anak-anak yang terlantar sesuai dengan bunyi UUD 1945

pasal 34 ayat 1, Fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh

negara.

Selain itu sangatlah perlu dilakukan peningkatan pemberdayaan badan pemerintah

seperti Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI). KPAI merupakan lembaga

independen yang kedudukannya sejajar dengan komisi negara lainnya. KPAI

dibentuk pada 21 Juni 2004 dengan Keppres No. 95/M Tahun 2004 berdasarkan

amanat Keppres 77/2003 dan pasal 74 Undang-Undang No. 23 Tahun 2002.

Dalam keputusan Presiden tersebut, dinyatakan bahwa KPAI bertujuan untuk

meningkatkan efektifitas penyelenggaraan perlindungan anak. KPAI diharapkan

mampu secara aktif memperjuangkan kepentingan anak. KPAI bertugas


melakukan sosialisasi mengenai seluruh ketentuan peraturan perundang-undangan

yang berkaitan dengan perlindungan anak, mengumpulkan data dan informasi,

menerima pengaduan masyarakat, melakukan penelaahan, pemantauan, evaluasi,

dan pengawasan terhadap penyelenggaraan kepentingan anak. Selain itu KPAI

juga dituntut untuk memberikan laporan, saran, masukan, dan pertimbangan

kepada Presiden dalam rangka perlindungan anak.

Sejak awal didirikan, KPAI memperoleh dana untuk menjalankan segala

tugas, fungsi, dan program-programnya karena dana bersumber dari APBN (dari

Kantor Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Departemen Sosial) dan

APBD. Sumber dana juga mungkin berasal dari bantuan asing jika memang ada

lembaga asing atau organisasi internasional yang ingin bekerja sama dengan

KPAI. Pada kenyataannya selama ini KPAI kurang bisa berdaya guna. Hal ini

menyebabkan masyarakat lebih mengenal Komnas Anak daripada KPAI sehingga

perlu adanya upaya pemerintah dalam memaksimalkan kinerja KPAI. Bila perlu

KPAI bekerja sama dengan Komnas Anak karena Komnas Anak jam terbangnya

lebih tinggi dan lebih mengetahui seluk-beluk kasus kekerasan pada anak di

Indonesia. Sehingga kemungkinan besar kasus kekerasan pada anak bisa lebih

ditekan angka peningkatannya dari tahun ke tahun karena ada dua badan yang

langsung terjun di masyarakat.

Penjelasan-penjelasan solusi di atas diharapkan mampu efektif dalam

menangani juga mengantisipasi terjadinya kekerasan pada anak. Pengembangan

potensi anak juga diharapkan harus berkelanjutan dan terarah guna menjamin

pertumbuhan dan perkembangan anak, baik fisik, mental, spiritual maupun sosial.

Tindakan ini dimaksudkan untuk mewujudkan kehidupan terbaik bagi anak yang
diharapkan sebagai penerus bangsa yang potensial, tangguh, memiliki

nasionalisme yang dijiwai oleh akhlak mulia dan nilai Pancasila, serta

berkemauan keras menjaga kesatuan dan persatuan bangsa dan negara. Saatnya

semua lapisan masyarakat peduli pada anak.

D. Kesimpulan

Dari deskripsi yang dikemukakan pada pembahasan, dapat dikemukakan

kesimpulan penting, yaitu: upaya yang dilakukan dalam mengatasi masalah

perlindungan terhadap kekerasan anak dapat dilakukan melalui 2 bentuk, yaitu: 1)

melalui reformasi hukum; hal tersebut pertama kali dengan cara mentransformasi

paradigma hukum yang menjadi spirit upaya reformasi hukum tersebut. Spirit

untuk melakukan reformasi hukum dilandasi dengan paradigma pendekatan

berpusat pada kepentingan terbaik bagi anak (a child-centred approach) berbasis

pendekatan hak, 2) Melalui keberpihakan orang tua, guru sebagai pendidik,

masyarakat dan pemerintah dalam memberikan dan mewujudkan kehidupan

terbaik bagi anak yang diharapkan sebagai penerus bangsa yang potensial,

tangguh, memiliki nasionalisme yang dijiwai oleh akhlak mulia dan nilai

Pancasila, serta berkemauan keras menjaga kesatuan dan persatuan bangsa dan

negara.
MODUL KEKERASAN TERHADAP PEREMPUAN DIFABEL: SEBUAH
FENOMENA GUNUNG ES

A. Latar belakang

Menurut data dari Komnas Perempuan kurun waktu 2010 2012, ada 10.961

kasus kekerasan terhadap perempuan di Indonesia. Dari angka tersebut, 35%-nya

menimpa perempuan difabel. Itu adalah fenomena gunung es atas data yang

tercatat, sementara ada banyak kasus yang tidak tercatat.

Jika kita hitung lebih jauh, 35% dari 10.961 kasus adalah sekitar 3836

kasus. Jadi setiap tahunnya ada 1278 kasus kekerasan menimpa perempuan

difabel. Atau dengan kata lain, ada 3-4 kasus kekerasan yang menimpa perempuan

difabel setiap harinya.

Tingginya angka kekerasan terhadap perempuan difabel ini, memang harus

diakui. Memang, jika dibandingkan dengan kasus kekerasan yang menimpa

perempuan nondifabel, angka ini lebih rendah. Dari angka kasus kekerasan di

Komnas Perempuan tersebut, kekerasan terhadap perempuan nondifabel adalah

7125 kasus selama kurun waktu 3 tahun. Jadi setiap tahunnya terjadi kasus 2375

kasus atau 6-7 kasus kekerasan terhadap perempuan setiap harinya.

Meskipun dari sisi angka, kekerasan terhadap perempuan difabel bisa

dikatakan separo dari angka kekerasan yang menimpa perempuan nondifabel,

bukan berarti, kekerasan terhadap perempuan non difabel ini lebih penting untuk

didahulukan penanganannya dibandingkan dengan kekerasan terhadap perempuan

difabel. Karena dalam perspektif Hak Asasai Manusia (HAM), berapapun angka
yang tercatat, kasus kekerasan terhadap perempuan tetaplah sebuah kasus

kekerasan yang melanggar hak asasi manusia. Penanganan kasus kekerasan

terhadap perempuan, entah itu menimpa perempuan difabel ataupun perempuan

non difabel, perlu segera diseriusi, mengingat dampaknya terhadap perempuan

demikian besar. Sedemikian besar dampak kekerasan terhadap perempuan, sampai

seorang Noeleen Heyzer, mantan direktur eksekutif United Nations Development

Fund for Women (UNIFEM), menyatakan, Kekerasan terhadap perempuan

menghancurkan kehidupan orang, fragmen masyarakat, dan menghalangi negara-

negara untuk berkembang.

B. Rumusan Masalah

Dari deskripsi yang dipaparkan pada latar belakang, dapat diformulasikan

permasalahan yang akan menjadi kajian dalam penelitian ini, yaitu: Bagaimana

upaya yang dilakukan dalam mengatasi masalah perlindungan terhadap kekerasan

perempuan dalam tinjauan HAM?

C. Pembahasan

1. Hukum Belum Berperspektif Difabel

Kasus kekerasan terhadap perempuan difabel, senyatanya memang sangat minim

tertangani. Dalam diskusi yang diselenggarakan oleh Sasana Integrasi

bekerjasama dengan SPEKHAM, Surakarta pada tanggal 4 Februari 2014,

terungkap bahwa kasus kekerasan seksual terhadap perempuan difabel justru

jarang mendapatkan perhatian dari berbagai pihak yang terlibat dalam penanganan

tindak pidana kriminal. Para petugas hukum, seperti polisi, jaksa, hakim,
pengacara, masih jarang memberikan perhatian kepada perempuan difabel yang

mengalami kekerasan ini.

Persoalan lain yang lebih mendasar adalah adanya pemahaman yang

kurang terhadap perempuan difabel dari pihak keluarga korban maupun aparat

penegak hukum. Keluarga seringkali masih menyembunyikan anggota keluarga

yang mengalami disabilitas. Berbagai alasan dikemukakan pihak keluarga dalam

hal ini. Kecenderungannya, perasaan malu memiliki anggota keluarga difabel

masih menjadi alasan utama. Jika anggota keluarga yang mengalami disabilitas

adalah perempuan, maka semakin malulah pihak keluarga. Perempuan difabel,

oleh keluarganya sering kali tidak dihargai proses-proses yang terjadi dalam

kesehatan reproduksinya. Tidak adanya sama sekali penjelasan kesehatan

reproduksi terhadap perempuan difabel, menyebabkan perempuan tersebut juga

tidak memahami apa akibatnya jika alat-alat reproduksinya tidak terjaga. Bahkan

ketika terjadi perkosaan terhadap perempuan difabel, mereka sendiri tidak banyak

yang menyadari bahwa itu adalah sebuah tindakan yang melanggar berbagai

norma dan hak asasi manusia.

Di sisi aparat penegak hukum, pemahaman terhadap para difabel ini masih

sangatlah lemah. Psikologi perempuan difabel merupakan wilayah yang tidak

pernah diperhatikan oleh aparat penegak hukum. Bagaimana bisa melakukan

penanganan dengan pendekatan psikologi, jika tentang perempuan difabel saja

aparat penegak hukum ini tidak mengetahuinya. Penanganan kasus lebih

menggunakan pendekatan hukum murni. Terbukti bersalah atau tidak, dengan

alat-alat bukti yang minim dan seringkali menjadi dikaburkan keberadaannya.

Kondisi ini, menyebabkan para pelaku kekerasan terhadap perempuan difabel,


melenggang bebas tanpa diberi hukuman apapun, karena tidak terbukti bersalah.

Tidak jarang, justru terjadi kriminalisasi terhadap perempuan difabel korban

kekerasan seksual. Beberapa kasus memperlihatkan hal tersebut, di mana seorang

perempuan difabel, netra, malah dituduh sebagai perempuan penggoda oleh laki-

laki pemerkosanya. Proses hukumnya menjadi terbalik, si perempuan difabel

menjadi tersangka dan laki-lakinya itu malah di posisi korban. Tentu saja ini

sangat naif dan memprihatinkan. Hanya karena manusia itu berjenis kelamin

perempuan dan difabel, keadilan menjadi diputar balikkan sedemikian rupa,

hingga tidak ada empati sedikitpun terhadapnya.

Penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan difabel perlu melihat

jenis disabilitasnya. Jenis disabilitas ini akan mempengaruhi cara penanganan

kasus dan jenis kebutuhan yang diperlukan oleh perempuan difabel sebagai

korban kekerasan. Jenis disabilitas netra tentu berbeda kebutuhannya dengan jenis

disabilitas rungu wicara. Begitu juga dengan disabilitas daksa akan berbeda

kebutuhannya dengan disabilitas lainnya. Ketidakmampuan aparat penegak

hukum memahami dan mentransfernya ke dalam lembaga hukum menyebabkan

ketersediaan alat-alat bantu yang dibutuhkan oleh perempuan difabel tidak

terlayani dengan baik. Tentu saja, proses peradilan menjadi tidak imbang dan

terjadi power over bagi aparat penegak hukum dan tersangka, serta terjadi

powerless yang sangat parah pada korban. Ketika terjadi pendampingan kasus

oleh kalangan lembaga bantuan hukum ataupun paralegal, tetap saja, penanganan

kasus menjadi sangat lama dan banyak benturan-benturan yang terjadi.

Membutuhkan energi tersendiri baik dari sisi korban maupun sisi pendampingnya.
2. Alternatif Solusi

Melihat persoalan-persoalan peliknya penyelesaian kasus kekerasan

terhadap perempuan difabel, beberapa alternatif usulan solusi bisa dikemukakan.

Di antaranya adalah,

1. pertama, pelibatan organisasi perempuan dalam penyelesaikan kasus-kasus

kekerasan terhadap perempuan. Tidak dapat dipungkiri, bahwa

perempuanlah yang lebih memahami persoalan perempuan. Perempuan

difabel juga lebih memahami persoalan perempuan difabel. Sebagaimana

termaktub dalam hasil pertemuan Forum Kepemimpinan Internasional

bagi Perempuan Difabel pada bulan Juni 1997. Bunyi dari hasil pertemuan

tersebut adalah adanya tuntutan, agar special rapporteur PBB yang

menangani isu kekerasan terhadap perempuan menjadikan kekerasan

terhadap perempuan difabel sebagai sebuah isu yang cukup serius dengan

menjalin kerjasama penuh dengan organisasi perempuan difabel. Di

Indonesia sendiri, organisasi perempuan difabel bisa dikatakan masih

minim keberadaannya. Satu organisasi perempuan difabel yang eksis dari

tingkat pusat sampai tingkat kabupaten kota adalah Himpunan Wanita

Difabel Indonesia (HWDI). Dalam hal penanganan kekerasan terhadap

perempuan difabel, apakah HWDI sudah dilibatkan?

2. Kedua, pendidikan kesehatan reproduksi nampaknya mutlak perlu

diberikan kepada para perempuan difabel. Hal ini merupakan alternatif

pencegahan terjadinya kekerasan terhadap perempuan. Dengan

pemahaman terhadap kesehatan reproduksi, sesederhana apapun


pemahaman tersebut, perempuan bisa mengantisipasi dan lebih berhati-

hati terhadap adanya tindakan kekerasan terhadap dirinya.

3. Ketiga, pola rehabilitasi berbasis masyarakat masih relevan untuk

mencegah terjadinya tindak kekerasan terhadap perempuan disabilitas.

Pada kasus-kasus yang terjadi, pelaku kekerasan lebih banyak orang-orang

dekat korban. Dengan memberikan pemahaman terhadap masyarakat

sekitar difabel, diharapkan masyarakat berperan untuk mencegah tindak

kekerasan terhadap perempuan difabel. Hal ini juga terkait dengan

pelaksanaan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah

Tangga (UU PKDRT), di mana diharapkan, masyarakat berperan aktif

dalam mencegah terjadinya kekerasan dalam rumah tangga, termasuk

kekerasan yang menimpa perempuan difabel.

4. Keempat, pengarusutamaan difabilitas terhadap kelembagaan dan aparat

penegak hukum, memang menjadi hal yang mutlak perlu dilakukan. Hal

perspektif disabilitas menjadi landasan utama bagi penegak hukum ketika

menangani kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan difabel.

E. Kesimpulan

Dari deskripsi yang dikemukakan pada pembahasan, dapat dikemukakan

kesimpulan penting, yaitu: upaya yang dilakukan dalam mengatasi masalah

perlindungan terhadap kekerasan perempuan dapat dilakukan melalui 2 bentuk,

yaitu: 1) melalui reformasi hukum; hal tersebut pertama kali dengan cara

mentransformasi paradigma hukum yang menjadi spirit upaya reformasi hukum

tersebut. Spirit untuk melakukan reformasi hukum dilandasi dengan paradigma


pendekatan berpusat pada kepentingan terbaik bagi perempuan (a child-centred

approach) berbasis pendekatan hak, 2) Melalui keberpihakan orang tua, guru

sebagai pendidik, masyarakat dan pemerintah dalam memberikan dan

mewujudkan kehidupan terbaik bagi anak yang diharapkan sebagai penerus

bangsa yang potensial, tangguh, memiliki nasionalisme yang dijiwai oleh akhlak

mulia dan nilai Pancasila, serta berkemauan keras menjaga kesatuan dan persatuan

bangsa dan negara.

MODUL IMPLIKASI KETIDAKSETARAAN GENDER: KEKERASAN


TERHADAP PEREMPUAN

A. Latar Belakang

Tahukah anda bahwa penyebab tingginya angka kekerasan terhadap

perempuan di Indonesia adalah akibat konsep ketidaksetaraan gender? Masyarakat

Indonesia yang patriarki ini masih mencampur adukan konsep seks dengan gender

sehingga perempuan dianggap memiliki peran sosial yang lebih rendah. Padahal,

seks dan gender jelas berbeda.

Seks adalah jenis kelamin, yaitu kondisi biologis sebagai laki-laki dan

perempuan, dengan karakteristik dan fungsinya masing-masing dan dibawa sejak

lahir (kodrat). Laki-laki memiliki penis, buah zakar, menghasilkan sperma, dapat

mimpi basah. Perempuan memiliki vagina, rahim, menghasilkan sel telur/ovum,

buah dada. Sedangkan gender adalah bentukan, konstruksi atau interpretasi

masyarakat atas perbedaan kondisi biologis laki-laki dan perempuan. Masyarakat

biasa memyebutkan gender sebagai jenis kelamin sosial. Gender bukan sesuatu
yang dibawa atau ditetapkan sejak lahir, namun dibentuk, dikembangkan, dan

dimantapkan oleh masyarakat. Contoh:

1. Sifat: laki-laki memiliki sifat rasional dalam berpikir, tegas, percaya diri;

sedangkan perempuan memiliki sifat lembut, emosional, sabar.

2. Peran: laki-laki sebagai pencari nafkah, bekerja di area publik; sedangkan

perempuan sebagai ibu rumah tangga yang mengurus anak-anak dan

mengerjakan pekerjaan rumah tangga.

3. Posisi: laki-laki sebagai pemimpin, pembuat keputusan; sedangkan perempuan

sebagai pendukung dimana posisinya lebih rendah atau dibawah laki-laki.

4. Nilai: laki-laki dinilai lebih penting dan utama dibandingkan perempuan

karena dianggap kelak sebagai kepala rumah tangga, pencari nafkah, dan pada

budaya tertentu akan menjadi penerus nama keluarga; oleh karena itu laki-laki

lebih diharapkan lahir dalam keluarga dan diutamakan memperoleh

pendidikan dibandingkan perempuan.

B. Rumusan Masalah

Dari deskripsi yang dipaparkan pada latar belakang, dapat diformulasikan

permasalahan yang akan menjadi kajian dalam penelitian ini, yaitu: Bagaimana

upaya yang dilakukan dalam mengatasi masalah perlindungan terhadap kekerasan

perempuan dalam tinjauan HAM?


C. Pembahasan

1. MENGAPA GENDER DIPERMASALAHKAN?

Banyak orang menjadi rancu setelah membaca definisi gender. Gender

sebagai konstruksi sosial seharusnya tidak perlu dipermasalahkan apabila tidak

menimbulkan ketidakadilan terhadap salah satu jenis kelamin tertentu. Namun

pada kenyataannya, seringkali perbedaan jenis kelamin laki-laki dan perempuan

melahirkan peran gender, yaitu pembagian tugas yang lebih banyak merugikan

perempuan di dalam keluarga dan masyarakat. Padahal pembatasan dan

pembagian peran gender tidak menunjukkan suatu kejelasan yang pasti tentang

manakah yang menjadi peran dan tugas perempuan ataupun laki-laki, karena

sebenarnya pembagian peran dan tugas itu dapat dilakukan keduanya. Dengan

adanya pembagian tugas yang baik dan seimbang dimana tidak mengabaikan hak

perempuan ataupun laki-laki, gender tidak akan menjadi masalah sebab peran

laki-laki dan perempuan akan menguntungkan kedua belah pihak.

Gender menjadi masalah apabila:

1. Perempuan tidak dapat berkembang karena hanya diberi peran dalam urusan

rumah tangga dan tidak diberi kesempatan serta peluang untuk peran-peran

yang produktif

2. Laki-laki dibebani pekerjaan, tugas, tanggungjawab yang terlalu berat dan

dituntut untuk lebih mampu dan lebih kuat dalam banyak hal

3. Anak perempuan tidak mendapat pendidikan formal yang sama tingginya

seperti yang diterima oleh anak laki-laki dengan berbagai macam alasan
4. Perempuan menjadi tergantung nafkah suami sehingga tidak memiliki

keterampilan dan pengalaman yang sebanding dengan laki-laki

5. Dalam keluarga kurang mampu, perempuan melakukan pekerjaan ganda baik

mengurus pekerjaan rumah tangga maupun mencari nafkah dengan

keterampilan dan pengetahuan terbatas

6. Masih terdapat kebijakan perangkat hukum dan perundang-undangan yang

bias gender

2. KETIDAKSETARAAN GENDER

Ketidaksetaraan gender adalah perbedaaan peran dan fungsi antara laki-

laki dan perempuan yang tidak adil atau tidak seimbang. Ketidaksetaraan gender

dapat dilihat dari:

a. Stereotipe

Stereotipe berarti pemberian citra baku atau label atau cap kepada

seseorang/kelompok yang didasarkan pada suatu anggapan yang salah dan

umumnya negatif serta merugikan. Seringkali pelabelan negatif ditunjukkan

kepada perempuan. Contoh: perempuan dianggap penggoda, cengeng, emosional,

tidak mampu memimpin, dianggap sebagai ibu rumah tangga dan hanya pencari

nafkah tambahan.

b. Sub-ordinasi

Subordinasi adalah suatu penilaian atau anggapan bahwa suatu peran yang

dilakukan oleh satu jenis kelamin lebih rendah dari yang lainnya. Nilai-nilai yang
berlaku di masyarakat, telah memisahkan dan memilah peran-peran gender, laki-

laki dan perempuan.Perempuan dianggap bertanggung jawab dan memiliki peran

dalam urusan domestik atau reproduksi, sementara laki-laki dalam urusan publik

atau produksi. Pertanyaannya adalah, apakah peran dan fungsi dalam urusan

domestik dan reproduksi mendapat penghargaan yang sama dengan peran publik

dan produksi? Jika jawabannya tidak sama maka ketidaksetaraan/ketidakadilan

masih berlangsung.

Contoh: laki-laki lebih banyak bekerja pada posisi pengambil keputusan

dibandingkan perempuan; dalam pengupahan perempuan yang menikah dianggap

sebagai lajang, karena mendapat nafkah dari suami dan terkadang terkena

potongan pajak, jumlah keterwakilan perempuan dalam dunia poliktik masih

sedikit.

c. Beban kerja ganda atau multi beban

Beban ganda (double burden) artinya beban pekerjaan yang diterima salah satu

jenis kelamin lebih banyak dibandingkan jenis kelamin lainnya.

Peran reproduksi perempuan seringkali dianggap peran yang statis dan

permanen.Walaupun sudah ada peningkatan jumlah perempuan yang bekerja di

wilayah publik, namun tidak diiringi dengan berkurangnya beban mereka di

wilayah domestik. Upaya maksimal yang dilakukan mereka adalah

mensubstitusikan/mengalihkan pekerjaan domestik tersebut kepada pihak lain,

seperti pekerja rumah tangga atau anggota keluarga lainnya. Namun demikian,
tanggung jawabnya masih tetap berada di pundak perempuan.Akibatnya mereka

mengalami beban yang berlipat ganda.

d. Marginalisasi

Marginalisasi adalah proses peminggiran akibat perbedaan jenis kelamin dan

biasanya dikenakan kepada perempuan, akibatnya adalah perempuan menjadi

tidak memiliki peran yang penting dan tidak diperhatikan kebutuhannya.

Contoh: dalam pertemuan kemasyarakatan, perempuan jarang dilibatkan dan

ditempatkan di belakang yang bertugas di bidang pelayanan; perempuan dianggap

sebagai pencari nafkah tambahan sehingga bila terjadi pengurangan pegawai di

sektor formal maka perusahaan akan mendahulukan perempuan untuk di PHK.

e. Kekerasan

Peran gender telah membedakan karakter perempuan dan laki-laki. Perempuan

dianggap feminin dan laki-laki maskulin.Karakter ini kemudian mewujud dalam

ciri-ciri psikologis, seperti laki-laki dianggap gagah, kuat, berani dan

sebagainya.Sebaliknya perempuan dianggap lembut, lemah, penurut dan

sebagainya.

Sebenarnya tidak ada yang salah dengan pembedaan itu.Namun ternyata

pembedaan karakter tersebut melahirkan tindakan kekerasan.Dengan anggapan

bahwa perempuan itu lemah, itu diartikan sebagai alasan untuk diperlakukan

semena-mena, berupa tindakan kekerasan.


Contoh: kekerasan fisik yang dilakukan suami kepada istrinya, pelecehan seksual

di tempat kerja, eksploitas seksual terhadap perempuan, melarang istri bekerja

kantoran.

3. KEKERASAN TERHADAP PEREMPUAN

Kekerasan terhadap perempuan adalah adalah setiap tindakan berdasarkan

perbedaan jenis kelamin yang berakibat atau mungkin berakibat kesengsaraan

atau penderitaan perempuan secara fisik, seksual atau psikologis, termasuk

ancaman tindakan tertentu, pemaksaan atau perampasan kemerdekaan secara

sewenang-wenang, baik yang terjadi di ranah publik atau dalam kehidupan

pribadi.

Kekerasan berbasis gender adalah tindak kekerasan yang berhubungan dengan

relasi laki-laki dan perempuan atau jenis kelamin/seks.

Penyebab terjadinya kekerasan terhadap perempuan dapat digambarkan dengan

POHON KEKERASAN terhadap PEREMPUAN, yaitu pohon besar yang memiliki

akar kuat, batang yang besar, dan daun lebat serta berbuah.

Akar: hal-hal yang dianggap menjadi akar atau penyebab terjadinya kekerasan

terhadap perempuan, seperti budaya patriarkhi serta nilai norma sosial dalam

masyarakat

Batang dan ranting: bagaimana budaya dan nilai tumbuh dan langgeng melalui

pengasuhan, pendidikan, media


Daun dan buah: bentuk-bentuk kekerasan terhadap perempuan serta dampak-

dampaknya, seperti KDRT, perdagangan orang, kekerasan seksual yang

mengakibatkan kesengsaraan kepada perempuan

4. SOLUSI: KESETARAAN DAN KEADILAN GENDER

Masalah kekerasan terhadap perempuan dapat diselesaikan apabila kesetaraan dan

keadilan gender telah terpenuhi.

Kesetaraan gender adalah kondisi kehidupan yang selaras dan serasi antara laki-

laki dan perempuan dalam hidup berkeluarga dan bermasyarakat. Selaras artinya

searah dan sejalan, serasi artinya cocok dan sesuai. Sejalan dan sesuai dalam

memperoleh akses, peran, kontrol, dan manfaat antara laki-laki dan perempuan.

Keadilan gender adalah kondisi yang seimbang antara hak dan kewajiban yang

dilaksanakan antara laki-laki dan perempuan dalam hidup berkeluarga dan

bermasyarakat. Keadilan gender tidak hanya terbatas pada ketentuan hukum

(justice) tetapi lebih pada rasa keadilan (equity). Keadilan gender harus mencakup

aspek aspek justice dan equity secara seimbang.

Dengan demikian, mari dukung tercapainya kesetaraan dan keadilan gender untuk

menghentikan kekerasan terhadap perempuan berbasis gender.


DAFTAR PUSTAKA

Ahmad, Zainal Abidin. 1973, Piagam Nabi Muhammad SAW; Konstitusi Negara

Tertulis yang Pertama di Dunia. Jakarta Bulan Bintang.

Anwar, Yesmil. 2004. Saat Menuai Kejahatan: Sebuah Pendekatan Sosiokultural

Kriminologi, Hukum. Bandung: UNPAD Press.

Arief, Dikdik M. dan Mansur Elisatris Gultom, 2007. Urgensi Perlindungan

Korban Kejahatan, Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI., 1989, Kamus Besar Bahasa

Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.

Gharini, Putrika P.R. 2004, Kekerasan Pada Anak: Efek Psikis, Fisik, dan

Tinjauan Agama. Makalah ini disampaikan pada Seminar Online

Kharisma.

Gosita, Arif. 1989. Masalah Perlindungan Anak. Jakarta: Akademika Pressindo.

Joni, Muhammad. 1999, Aspek Hukum Perlindungan Anak Dalam Perspektif

Konvensi Hak Anak . Bandung: Citra Aditya Bakti.

Kementerian Pemberdayaan Perempuan RI dan Departemen Sosial RI., 2003,

UndangUndang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2002

Tentang Perlindungan Anak. Cet. I; Jakarta : UNICEF.

Laporan UNICEF tahun 1995, 1999, Aspek Hukum Perlindungan Anak dalam

Perspektif Konvensi Hak Anak. Bandung, PT Citra Aditya Bakti.

Lia, Padma P. S. dan Dian, Tamarika R., 2009, Anak dan Instrumen Perlindungan

Hukum di Indonesia, dalam http:// duniaparenting.com. diakses

tanggal 20 Maret 2010 pukul 19.17 pm


Muzaffar, Chandra. 1995, Hak Asasi Manusia dalam Tata Dunia Baru;

Menggugat Dominasi Global Barat. Cet. I; Bandung: Pustaka

Pelajar.

Nanda, 2007, Komnas Anak Catat 1.124 Kasus Kekerasan Terhadap Anak, dalam

http//www.kapanlagi.com, 2007, diakses tanggal 20 Maret 2010

pukul 03.37 pm.

Nasution, Harun dan Bahtiar Efendy. peny, 1987, Hak Asasi Manusia Dalam

Islam. Jakarta : Pustaka Firdaus.

Sahetapy, J. E. 2007, Yang Memberi Teladan dan Menjaga Nurani Hukum dan

Politik, Jakarta: Komisi Hukum Nasional Republik Indonesia.

Salim, Abdul Muin, 1994, Konsepsi Kekuasaan Politik dalam al-Quran. Jakarta:

Raja Grafindo Persada.

Sasmita, Dian. 2009. Anak-anak Dibalik Terali Besi, artikel, Jakarta.

Sirait, Aris Merdeka. 2007, Peran Strategi Perlindungan Anak. Republika. Sabtu,

3 Maret 2007.

Soekresno Emmy. 2007, Mengenali Dan Mencegah Terjadinya Tindak Kekerasan

Terhadap Anak. Sumber : Komisi Perlindungan Anak Indonesia.

Soeryabrata, Soemadi. 1982, Psikologi Perkembangan, Jilid II, Cet: VII,.

Yogyakarta: Rake Press.

Thaha, Idris. 2004, Demokrasi Religius: Pemikiran Politik Nurcholish Madjid dan

M. Amien Rais,. Jakarta: Penerbit Teraju.

Tilaar, H.A.R. 2001, Dimensi-Dimensi Hak Asasi Manusia dalam Kurikulum

Persekolahan Indonesia. Bandung: P.T. Alumni.


Tim Editor, 1983, Percikan Permenungan Filsafat dan Kata-Kata Mutiara,

Jakarta: Mitra Utama.

Tunggal, Hadi Setia. 2000, PBB dan Hak-Hak Asasi Manusia,. Jakarta:

Harvarinda.

Undang-Undang Dasar 1945

Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam

Rumah Tangga

Undang-Undang No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak

Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak

Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.

Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak

Undang-Undang No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban.

Wadong, Maulana Hassan. 2000, Pengantar Advokasi dan Hukum Perlindungan

Anak . Jakarta: PT. Gramedia Indonesia.

Wahyono, Agung dan Ny Siti Rahayu. 1993. Tinjauan Tentang Peradilan Anak di

Indonesia.. Cet. I; Jakarta: Sinar Grafika.

Waluyo, Bambang. 2011. Viktimologi Perlindungan Saksi dan Korban, Jakarta:

Sinar Grafika.

Yulia, Rena. 2010. Viktimologi Perlindungan Hukum Terhadap Korban

Kejahatan, Bandung: Graha Ilmu.

Yuwono, Trisno. 1994. Kamus Lengkap Bahasa Indonesia Praktis, Surabaya:

Arkola.

Anda mungkin juga menyukai