Anda di halaman 1dari 16

BAB 1

LAPORAN PENDAHULUAN

1.1 Konsep Dasar Stroke Hemoragik


1.1.1 Definisi
Stroke Hemoragik adalah stroke yang terjadi karena perdarahan
subarachnoid, mungkin disebabkan oleh pecahnya pembuluh darah otak tertentu.
Biasanya terjadi saat pasien melakukan aktivitas atau saat aktif, namun juga pada
kondisi istirahat (Tarwoto, 2007).
Stroke adalah suatu keadaan yang timbul karena terjadigangguan peredaran
darah di otak yang menyebabkan terjadinya kematian jaringan otak sehingga
mengakibatkan seseorang menderita kelumpuhan atau kematian (Baticaca,
Fransisca, 2008).
Berdasarkan uraian diatas maka stroke secara umum yaitu sindrom klinis
dengan gejala gangguan fungsi otak secara fokal dan atau global yang
berlangsung 24 jam atau lebih dari 24 jam tanpa penyebab lain kecuali gangguan
pembuluh darah otakyang menyebabkan kematian tanpa adanya penyebab lain
yang jelas selain vaskular.
1.1.2 Etiologi
Secara umum penyebab stroke Menurut Tarwoto (2007) sebagai berikut:
1) Trombosis, terjadi penyempitan pembuluh darah otak akibat timbunan bekuan
darah (bekuan cairan dalam pembuluh darah otak).
2) Emboli, akibat penyumbatan pembuluh darah otak.
3) Hypoperfusi global
4) Perdarahan subarachnoid
5) Perdarahan intraserebral
Beberapa keadaan dibawah ini yang menyebabkan stroke menurut Fransisca
Baticaca (2008) dalam buku yang berjudul Asuhan Keperawatan Klien Dengan
Gangguan Sistem Persarafan adalah sebagai berikut:
1) Kekurangan suplai oksigen yang menuju otak.
2) Pecahnya pembuluh darah di otak karena kelumpuhan pembuluh darah otak.
3) Adanya sumbatan bekuan darah di otak.
1.1.3 Manifestasi klinis
Gejala klinis stroke hemoragik menurut Tarwoto (2007) berupa:
1) Defisit neurologis mendadak, didahului gejala prodnormal yang terjadi pada
saat istirahat atau bangun pagi.
2) Kadang-kadang tidak terjadi penurunan kesadaran.
3) Terjadi terutama pada usia >50 tahun namun adapula yang mengalami
serangan stroke pada usia muda.
4) Gejala neurologis yang timbul bergantung pada berat ringannya
gangguanpembuluh darah dan lokasinya.
Gejala stoke akut berupa:
1) Kelumpuhan wajah atau anggota badan (hemiparesis) yang timbul mendadak.
2) Gangguan sensibilitas pada satu anggota badan (gangguan hemisensorik)
3) Perubahan mendadak pada status mental (konfusi, derilium, letargi/somnolen,
stupor, atau koma)
4) Afasia (tidak lancer atau tidak dapat bicara)
5) Disartria (bicara pelo atau cadel)
6) Ataksia (tungkai atau anggota badan tidak tepat pada sasarannya)
7) Vertigo (mual muntah atau nyeri kepala).
8) Dispagia (kesulitan menelan)
1.1.4 Patofisiologi
Infark serebral adalah berkurangnya suplai darah ke area tertentu di
otak(Mutaqin, Arif. Pengantar Asuhan Keperawatan Klien Dengan Gangguan
Sistem Persarafan. 2008).Luasnya infark bergantung pada faktor-faktor seperti
lokasi dan besarnya pembuluh darah dan adekuatnya sirkulasi kolateral terhadap
area yang disuplai oleh pembuluh darah yang tersumbat.Suplai darah ke otak
dapat berubah (makin lambat atau cepat) pada gangguan lokal (thrombus, emboli,
perdarahan, dan spasme vaskular) atau karena gangguan umum (hipoksia karena
gangguan paru dan jantung).Aterosklerosis sering sebagai faktor penyebab infark
padaotak.Thrombus dapat berasal dari aterosklerotik, atau darah dapat beku pada
area yang stenosis, tempat aliran darah mengalami perlambatan atau terjadi
turbulensi.
Thrombus dapat pecah dari dinding pembuluh darah terbawa sebagai emboli
dalam aliran darah.Thrombus mengakibatkan iskemia jaringan otak yang disuplai
oleh pembuluh darah yang bersangkutan dan edema dan kongesti di sekitar
area.Area edema ini menyebabkan disfungsi yang lebih besar daripada area infark
itu sendiri. Edema dapat berkurang dalam beberapa jam atau kadang-kadang
sesudah beberapa hari. Dengan berkurangnya edema pasien mulai menunjukan
perbaikan.Oleh karena thrombosis biasanya tidak fatal, jika tidak terjadi
perdarahan massif.Oklusi pada pembuluh darah serebral oleh embolus
menyebabkan edema dan nekrosis di ikuti trombosis. Jika terjadi septik infeksi
akan meluas pada dinding pembuluh darah maka akan terjadi abses atau
ensefalitis, atau jika sisa infeksi berada pada pembuluh darah yang tersumbat
menyebabkan dilatasi aneurisma pembuluh darah. Hal ini akanmenyebabkan
perdarahan serebral, jika aneurisma pecah atau ruptur.
Perdarahan pada otak disebabkan oleh rupturarteriosklerotik dan hipertensi
pembuluh darah. Perdarahan intraserebral yang sangat luas akan lebih sering
menyebabkan kematian dibandingkan keseluruhan penyakit serebrovaskular,
karena perdarahan yang luas terjadi destruksi masa otak, peningkatan tekanan
intrakranial dan yang lebih berat dapat menyebabkan herniasi otak pada falk
serebri atau lewat foramen magnum.Kematian dapat disebabkan kematian
kompresi batang otak, hemisfer otak, dan perdarahan batang otak sekunder atau
ekstensi perdarahan ke batang otak. Perembesan darah ke ventrikel otak terjadi
pada sepertiga kasus perdarahan otak di nukleus kaudatus, thalamus, dan pons.
Jika sirkulasi serebral terhambat, dapat berkembang anoksia
serebral.Perubahan yang disebabkan oleh anoksia serebral dapat reversibel untuk
waktu 4-6 menit.Perubahan ireversibel jika anoksia lebih dari 10 menit.Anoksia
serebral dapat terjadi oleh karena gangguan yang bervariasi salah satunya henti
jantung.Selain kerusakan parenkim otak, akibat volume perdarahan yang relatif
banyak akan mengakibatkan peningkatan tekanan intrakranial dan penurunan
tekanan perfusi otak serta gangguan drainase otak.
WOC Stroke Hemoragik
Faktor faktor resiko stroke

Ateroskleroses Hipergulasi, artesis Katup jantung rusak, miokard, infark, fibrilasi, endokarditis Aneuresma, Malformasi, ariovenous

Trombosis serebral Penyumbatan pembuluh darah otak oleh bekuan Pendarahan intraserebral
darah, lemak, dan udara

Penyumbatan pembuluh darah otak oleh bekuan


darah, lemak, dan udara

Emboli serebral
Pembuluh darah oklusi Perembesan darah ke
Iskemik jaringaan otak dalam parenkim otak
Edema dan kongesti Strok Penekanan jaringan otak
jaringan sekitar (cerebrovascular accident) Infark otak, edema
dan herniasi otak

Defisit Neorologis

Disfungsi bahasa
Infark serebral Kehilangan kontrol volunter Resiko peningkatan TIK dan komunikasi

Kaji kaeadaan jalan napas


Hemiasi falks serebri dan ke foramen magnum Lakukan suction sekret tiap 1 jam
Penurunan Perfusi Kolaborasi dengan dokter pemberian therapy
Jaringan serebral Hemiplegia dan hemiparesis Disatria disfasia/afasia, apraksia
Berikan oksigen sesuai indikasi
Kompresi batang otak

Kaji penyebab koma


Observasi TTV Kerusakan
Observasi tingkat kesadaran GCS mobilitas fisik Kerusakan
komunikasi verbal
Kolaborasi dengan dokter pemberian therapy

Koma Depresi saraf Kemampuan


kardiovaskular dan pernapasan
batuk menurun, kurang mobilitas fisik,
Disfungasi dan produksi
kandung sekret
kemih dan saluran pencernaan

Kelemahan
Intake nutrisi tidak adekuat
fisik umumKegagalan kardiovaskular dan pernapasan
Resiko bersihan jalan Gangguan eliminasi
napas tidak efektif uri dan alvi
Perubahan Ketidak
pemenuhan nutrisi kematian
mampuan
perawatan diri
(ADL)

Resiko tinggi Mengubah posisi tiap 2 jam


Penurunan tingkat kesadaran Penekanan jaringan setempat kerusakan Menjaga kebersihan kulit
integritas kulit

Mutaqin, Arif. Pengantar Asuhan Keperawatan Klien Dengan Gangguan Sistem


Persarafan (2008)
1.1.5 Komplikasi
Komplikasi stroke menurut Tarwoto (2007) adalah sebagai berikut:
1) Hipertensi/hipotensi
2) Peningkatan tekanan intrakranial (TIK)
3) Kontraktur
4) Tonus otot abnormal
5) Thrombosis vena
6) Malnutrisi
7) Inkontinensia urine, bowel
Adapun komplikasi stroke menurut FransiscaBaticaca (2008) sebagai berikut:
1) Gangguan otak yang berat
2) Kematian bila tidak dapat mengontrol respons pernapasan atau kardiovaskular.
1.1.6 Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang pada pasien stroke sebagai berikut:
1) Computerized Tomografi Scaning (CT Scan)
CT scan berfungsi mengetahui area infark, edema hematoma, struktur dan sistem
ventrikel otak.
2) Magnetic Resonance Imaging (MRI)
MRI berfungsi untuk menunjukan daerah yang mengalami infark, hemoragik, malformasi
arteriovena.
3) Elektro Encephalografi (EEG)
EEG berfungsi untuk mengidentifikasi masalah didasarkan pada gelombang otak dan
mungkin memperlihatkan daerah lesi yang spesifik.
4) Angiografi Serebral
Angiografi serebralberfungsi untuk membantu menentukan penyebab stroke secara
spesifik seperti perdarahan, obstruksi arteri, adanya titik oklusi atau ruptur.
5) Sinar X tengkorak
Sinar X tengkorak berfungsi untuk mengetahui adanya tekanan normal, jika tekanan
meningkat dan cairan mengandung darah menunjukkan hemoragik subarachnoid atau
perdarahan intracranial.Kontraindikasi pada peningkatan intrakranial.

1.1.7 Penatalaksanaan Medis


Terapi stroke hemoragik pada serangan akut:
1) Saran operasi diikuti dengan pemeriksaan
2) Masukan pasien keunit perawatan saraf untuk dirawat dibagian bedah saraf
3) Penatalaksanaan umum di bagian bedah saraf
4) Penatalaksanaan khusus pada kasus :
(1) Subsrachnoid hemorrhage dan intraventricular hemorrhage
(2) Kombinasi antara parenchymatous dan Subsrachnoid hemorrhage
(3) Parenchymatous hemorrhage
5) Neurologis
(1) Pengawasan tekanan darah dan konsentrasinya
(2) Kontrol adanya edema yang dapat menyebabkan kematian jaringan otak
6) Terapi perdarahan dan perawatan pembuluh darah
(1) Antifibrinolitik untuk meningkatkan mikrosirkulasi dosis kecil
(2) Natrii Etamsylate
(3) Kalsium
(4) Profilaksis Vasospasme
7) Kontrol adanya edema yang dapat menyebabkan kematian jaringan otak
8) Pengawasan tekanan darah dan konsentrasinya.

1.2 Konsep Dasar Craniotomy

1.2.1 Definisi Craniotomy


Menurut Brown CV (2004), Craniotomy adalah operasi untuk m e m b u k a
tengkorak (tempurung kepala) dengan maksud untuk mengetahui dan
memperbaiki kerusakan otak.
Menurut Hamilton M (2007), Craniotomy adalah operasi pengangkatan
sebagian tengkorak.
Menurut Chesnut RM (2006), Craniotomy adalah prosedur untuk menghapus
luka di otak melalui lubang di tengkorak (kranium).
Berdasarkan pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa pengertian dari
Craniotomy adalah operasi membuka tengkorak (tempurung kepala)
untuk mengetahui dan memperbaiki kerusakan yang diakibatkan oleh adanya luka
yang ada di otak.
1.2.2 Indikasi Craniotomi
Operasi Craniotomy dilakukan untuk pengangkatan tumor pada otak,
untuk menghilangkan bekuan darah (hematoma), untuk mengendalikan perdarahan
dari pembuluh, darah lemah bocor (aneurisma serebral), untuk memperbaiki malformasi
arteriovenosa (koneksi abnormal dari pembuluh darah), untuk menguras abses otak, untuk
mengurangi tekanan di dalam tengkorak, untuk melakukan biopsi, atau untuk memeriksa
otak.
1.2.3 Manifestasi Klinis
Menurut Brunner dan Suddarth (2000:65) gejala-gejala yang ditimbulkan pada klien
dengan craniotomy dibagi menjadi 2 yaitu
1. Manifestasi klinik umum (akibat dari peningkatan TIK, obstruksi dari CSF), seperti sakit
kepala, nausea atau muntah proyektit, pusing, perubahan mental, kejang.
2. Manifestasi klinik lokal (akibat kompresi tumor pada bagian yang spesifik dari otak)
1) Perubahan penglihatan, misalnya: hemianopsia, nystagmus, diplopia, kebutaan,
tanda-tanda papil edema.
2) Perubahan bicara, misalnya: aphasia
3) Perubahan sensorik, misalnya: hilangnya sensasi nyeri, halusinasi sensorik.
4) Perubahan motorik, misalnya: ataksia, jatuh, kelemahan, dan paralisis.
5) Perubahan bowel atau bladder, misalnya: inkontinensia, retensia urin, dan konstipasi.
6) Perubahan dalam pendengaran, misalnya: tinnitus, deafness.
7) Perubahan dalam seksual.

1.3 Manajemen Keperawatan

1.3.1 Pengkajian
Keadaan umum: umumnya pasien stroke mengalami penurunan kesadaran,
kadang mengalami gangguan bicara yaitu sulit dimengerti, kadang tidak bisa bicara
dan pada tanda-tanda vital: tekanan darah meningkat, dan denyut nadi bervariasi.
1. Pengkajian Primer
1) Airway
Adanya sumbatan/obstruksi jalan napas oleh adanya penumpukan sekret akibat
kelemahan reflek batuk
2) Breathing
Kelemahan menelan/ batuk/ melindungi jalan napas, timbulnya pernapasan yang
sulit dan / atau tak teratur, suara nafas terdengar ronchi /aspirasi.
3) Circulation
TD dapat normal atau meningkat, hipotensi terjadi pada tahap lanjut, takikardi,
bunyi jantung normal pada tahap dini, disritmia, kulit dan membran mukosa pucat,
dingin, sianosis pada tahap lanjut
4) Disabilitiy
Yang dinilai adalah tingkat kesadaran dan reaksi pupil. Tingkat kesadaran sopor, GCS:
M=2 V=2 E=2. Pupil isokor.
5) Eksposure
Pasien harus dibuka pakaiannya, misalnya ditemukan luka lecet, adanya odema dll.
2. Pengkajian Sekunder
1) B1 (Breathing): batuk, peningkatan produksi sputum, sesak napas, penggunaan otot bantu
napas, dan peningkatan frekuensi pernapasan.
2) B2 (Blood): renjatan (syock hipovolemik) yang sering terjadi pada pasien stroke. Tekanan
darah biasanya terjadi peningkatan dan dapat terjadi hipertensi massif (tekanan darah
>200 mmHg).
3) B3 (Brain): defisit neurologis (tergantung pada lokasi lesi/pembuluh darah mana yang
tersumbat), ukuran area perfusinya tidak adekuat, dan aliran darah kolateral (sekunder
atau aksesori).
4) B4 (Bladder): inkontinensia urine sementara karena konfusi, ketidakmampuan
mengendalikan kandung kemih karena kerusakan kontrol motorik dan postural.
5) B5 (Bowel): kesulitan menelan, nafsu makan menurun, mual muntah pada fase akut. Pola
defekasi biasnya terjadi konstipasi akibat penurunan peristaltik usus.
6) B6 (Bone): kehilangan kontrol volunter terhadap gerakan motorik. Disfungsi motorik
yang paling umum adalah hemiplegia (paralisis pada salah satu sisi) karena lesi pada sisi
otak yang berlawanan. Hemiparesis atau kelemahan salah satu sisi tubuh. Pada kulit, jika
pasien kurang oksigen, kulit akan pucat dan jika kekurangan cairan maka turgor kulit
akan buruk. Adanya kesulitan untuk beraktivitas karena kelemahan, kehilangan sensori
atau paralise/hemiplegi, serta mudah lelah menyebabkan masalah pada pola aktivitas dan
istirahat.
1.3.2 Diagnosa Keperawatan
Diagnosis keperawatan adalah sebuah label singkat, mengambaarkan kondidi
pasien yang diobservasi di lapangan. Kondisi ini dapat berupa masalah-masalah
aktual atau potensial (Wilkinson, Judith.Buku Saku Diagnosis Keperawatan. 2007).
Diagnosa keperawatan yang mungkin muncul pada pasien dengan dengan stroke
hemoragik yaitu sebagai berikut:
1) Gangguan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan peningkatan tekanan intrakranial
(TIK)
2) Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan kelemahan otot.
3) Ketidakseimbangan nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan kelemahan
otot dalam mengunyah dan menelan.
4) Defisit perawatan diri berhubungan dengan kelemahan neuromuskular, menurunnya
kekuatan dan kesadaran, kehilangan kontrol otot/koordinasi.
5) Risiko gangguan integritas kulit berhubungan dengan tirah baring yang lama.
6) Ketidakefektifan bersihan jalan napas yang berhubungan dengan akumulasi sekret,
kemampuan batuk menurun, penurunan mobilitas fisik sekunder, perubahan tingkat
kesadaran.
7) Gangguan eliminasi alvi (konstipasi) berhubungan dengan imobilisasi, asupan cairan
yang tidak adekuat.

1.3.3 Intervensi
Perencanaan keperawatan adalah pendeskripsian utuh perilaku spesifik yang di
harapkan dari pasien atau tindakan yang harus dilakukan oleh perawat.Sesuai dengan
diagnosa keperawatan yang diangkat dalam kasus Stroke Hemoragik maka intervensi
keperawatan meliputi:
1.3.3.1 Diagnosa 1: Gangguan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan peningkatan
tekanan intrakranial (TIK).
Tujuan: Dalam waktu 3x24 jam tidak terjadi peningkatan TIK pada pasien.
Kriteria Hasil: Pasien tidak gelisah, pasien tampak nyaman, nilai GCS : 4, 5, 6
Intervensi:
1) Kaji faktor penyebab dari situasi/keadaan individu/penyebab koma/ penurunan perfusi
jaringan dan penyebab peningkatan TIK.
Rasional: Deteksi dini untuk memprioritaskan intervensi
2) Monitor tanda-tanda vital setiap 4 jam
Suatu keadaan normal bila sirkulasi serebral terpelihara dengan baik
3) Evaluasi pupil
Reaksi pupil dan pergerakan kembali bola mata merupakan tanda dari gangguan
nervus/saraf jika batang otak terkoyak.
4) Monitor temperatur dan pengaturan suhu lingkungan.
Panas merupakan reflek dari hipotalamus. Peningkatan kebutuhan oksigen akan
menunjang peningkatan TIK.
5) Kurangi rangsangan ekstra dan berikan rasa nyaman seperti masase punggung,
lingkungan yang tenang, sentuhan yang ramah dan suasana/pembicaraan yang tidak
gaduh.
Memberikan suasana yang tegang dapat mengurangi respons psikologis dan memberikan
istirahat untuk mempertahankan TIK yang rendah.
6) Kaji peningkatan istirahat dan tingkah laku pada pagi hari.
Tingkah nonverbal ini dapat merupakan indikasi peningkatan TIK atau memberikan
reflek nyeri di mana pasien tidak mampu mengungkapkan keluhan secara verbal, nyeri
yang tidak menurun dapat meningkatkan TIK.
7) Observasi tingkat kesadaran GCS.
Prubahan kesadaran menunjukkan peningkatan TIK dan berguna menentukan lokasi
perkembangan penyakit.
1.3.3.2 Diagnosa 2: Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan kelemahan otot.
Tujuan: Dalam waktu 2x24 jam pasien mampu melaksanakan aktivitas fisik sesuai
dengan kemampuannya.
Kriteria Hasil: Meningkatnya kekuatan
Intervensi:

1) Kaji mobilitas yang ada dan observasi terhadap peningkatan kerusakan. Kaji secara teratur
fungsi motorik.
Rasional: Mengetahui tingkat kemampuan pasien dalam melakukan aktivitas
2) Ubah posisi pasien tiap 2 jam.
Menurunkan risiko terjadinya iskemia jaringan akibat sirkulasi darah yang jelek pada
daerah yang tertekan.
3) Ajarkan pasien untuk melakukan latihan gerakan aktif pada ekstremitas yang tidak sakit.
Gerakan aktif memberikan massa, tonus dan kekuatan otot, serta memperbaiki fungsi
jantung dan pernapasan
4) Lakukan gerakan pasif pada ekstremitas yang sakit.
Otot volunter akan kehilangan tonus dan kekuatannya bila tidak dilatih untuk digerakan.
5) Bantu pasien melakukan latihan ROM, perawatan diri sesuai toleransi.
Untuk memelihara fleksibilitas sesuai kemampuan
6) Bantu pasien dalam memenuhi ADL seperti bantu pasien mandi, mengganti pakaian,
menyisir rambut, mengganti pengalas tempat tidur.
Memandikan pasien merupakan salah satu cara memperkecil infeksi nasokomial. Agar
terlihat rapi. Menyisir rambut merupakan bentuk fisioterapi.Merupakan salah satu
kebutuhan fisiologis manusia.
7) Kolaborasi dengan ahli fisioterapi untuk latihan fisik pasien.
Peningkatan kemampuan dalam mobilitasi ekstremitas dapat ditingkatkan dengan latihan
fisik dari tim fisioterapi.

1.3.3.3 Diagnosa 3: Ketidakseimbangan nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan


dengan kelemahan otot dalam mengunyah dan menelan.
Tujuan: Dalam waktu 2x24 jam kebutuhan nutrisi pasien terpenuhi
Kriteria Hasil: Turgor baik, Asupan dapat masuk sesuai kebutuhan, Terdapat
kemampuan menelan.
Intervensi:
1) Observasi tekstur, turgor kulit.
Rasional: Mengetahui status nutrisi pasien.
2) Lakukan oral hygiene.
Kebersihan mulut merangsang nafsu makan
3) Observasi intake dan output nutrisi.
Mengetahui keseimbangan nutrisi pasien.
4) Tentukan kemampuan pasien dalam mengunyah, menelan, dan refleks batuk.
Untuk menetapkan jenis makana yang akan diberikan pada pasien.
5) Berikan makana dengan perlahan pada lingkungan yang tenang.
Pasien dapat berkonsentrasi pada mekanisme makan tanpa adanya distraksi/gangguan dari
luar.
6) Kolaborasi dengan tim dokter untuk memberikan cairan melalui IV atau makanan melalui
selang.
Mungkin diperlukan untuk memberikan cairan pengganti dan juga makanan jika pasien
tidak mampu untuk memasukan segala sesuatu melalui mulut.

1.3.3.4 Diagnosa 4: Defisit perawatan diri berhubungan dengan kelemahan neuromuskular,


menurunnya kekuatan dan kesadaran, kehilangan control otot/koordinasi.
Tujuan: dalam waktu 2x24 jam terjadi peningkatan perilaku dalam perawatan diri
Kriteria Hasil: pasien dapat menunjukkan perubahan gaya hidup untuk kebutuhan
merawat diri, pasien mampu melakukan aktivitas perawatan diri sesuai dengan
tingkat kemampuan, mengidentifikasi personal/masyarakat yang dapat membantu.
Intervensi:
1) Kaji kemampuan dan tingkat penurunan dalam skala 0-4 untuk melakukan ADL.
Rasional:Membantu dalam mengantisipasi dan merencanakan pertemuan kebutuhan
individual.
2) Hindari apa yang tidak dapat dilakukan pasiendan bantu bila perlu.
Pasien dalam keadaan cemas dan tergantung hal ini dilakukan untuk mencegah frustasi
dan harga diri klien
3) Menyadarkan tingkah laku/sugesti tindakan pada perlindungan kelemahan.
Pertahankan dukungan pola pikir izinkan pasien melakukan tugas, beri umpan balik,
positif untuk usahanya.Pasien memerlukan empati, tetapi perlu mengetahui perawatan
yang konsisten dalam menangani pasien.sekaligus meningkatkan harga diri,
memandirikan pasien, dan menganjurkan pasien untuk terus mencoba.
4) Rencanakan tindakan untuk defisit penglihatan seperti tempatkan makanan dan peralatan
dalam suatu tempat, dekatkan tempat tidur ke dinding.
Pasien akan mampu melihat dan memakan makanan, akan mampu melihat keluar
masuknya orang ke ruangan.
5) Tempatkan perabotan ke dinding, jauhkan dari jalan.
Menjaga keamanan pasien bergerak di sekitar tempat tidur dan menurunkan risiko
tertimpa perabotan
6) Beri kesempatan untuk menolong diri seperti menggunakan kombinasi pisau garpu, sikat
dengan pegangan panjang, ekstensi untuk berpijak pada lantai atau ke toilet, kursi untuk
mandi. Mengurangi ketergantungan.
7) Kaji kemampuan komunikasi untuk BAK. Kemampuan menggunakan urinal, pispot.
Antarkan ke kamar mandi bila kondisi memungkinkan.
Ketidakmampuan berkomunikasi dengan perawat dapat menimbulkan masalah
pengosongan kandung kemih oleh karena masalah neurogenik.
8) Identifikasi kebiasaan BAB. Anjurkan minum dan meningkatkan aktivitas.
Meningkatkan latihan dan membantu mencegah konstipasi.
9) Kolaborasi:
Pemberian supositoria dan pelumas feses/pencahar.
Pertolongan utama terhadap fungsi usus atau defekasi
10) Konsul ke dokter terapi okupasi.
Untuk mengembangkan terapi dan melengkapi kebutuhan khusus

1.3.3.5 Diagnosa 5: Risiko gangguan integritas kulit berhubungan dengan tirah baring yang
lama.
Tujuan: dalam waktu 2x24 jam pasien mampu mempertahankan keutuhan kulit
Kriteria Hasil:Pasien mampu berpartisispasi terhadap pencegahan luka, mengetahui
penyebab dan cara pencegahan luka, tidak ada tanda-tanda kemerahan atau luka.
Intervensi:
1) Anjurkan untuk melakukan latihan ROM (range of motion) dan mobilisasi jika mungkin.
Rasional:Meningkatkan aliran darah ke semua daerah.
2) Ubah posisi tiap 2 jam.
Menghindari tekanan dan meningkatkan aliran darah.
3) Gunakan bantal air atau pengganjal yang lunak di bawah daerah-daerah yang menonjol.
Menghindari tekanan yang berlebih pada daerah yang menonjol
4) Lakukan masase pada daerah yang menonjol yang baru mengalami tekanan pada waktu
berubah posisi.
Menghindari kerusakan kapiler.
5) Observasi terhadap eritema dan kepucatan dan palpasi area sekitar terhadap kehangatan
dan pelunakan jaringan tiap mengubah posisi.
Hangat dan pelunakan adalah tanda kerusakan jaringan
6) Jaga kebersihan kulit dan seminimal mungkin hindari trauma, panas terhadap kulit.
Mempertahankan kulit
1.3.3.6 Diagnosa 6: Ketidakefektifan bersihan jalan napas yang berhubungan dengan
akumulasi sekret, kemampuan batuk menurun, penurunan mobilitas fisik sekunder,
perubahan tingkat kesadaran.
Tujuan: dalam waktu 2x24 jam pasien mampu meningkatkan dan mempertahankan
keefektifan jalan napas agar tetap bersih dan mencegah aspirasi.
Kriteria Hasil: bunyi napas terdengar bersih, ronkhi tidak terdengar, menunjukan
batuk yang efektif.
Intervensi:
1) Kaji keadaan jalan napas
Rasional: obstruksi mungkin dapat disebabkan oleh akumulasi sekret, sisa cairan mukus,
perdarahan, bronkospasme, dan/atau posisi dari trakeostomi yang berubah.
2) Evaluasi pergerakan dada dan auskultasi suara napas pada kedua paru.
Pergerakan dada yang simetris dengan suara napas yang keluar dari paru-paru
menandakan jalan napas bagian bawah tersumbat dapat terjadi pada
pneumonia/atelaktasis akan menimbulkan perubahan suara napas seperti ronkhi atau
mengi.
3) Berikan minuman hangat jika keadaan memungkinkan.
Membantu pengenceran sekret, mempermudah pengeluaran sekret.
4) Atur/ubah posisi secara teratur (tiap 2 jam)
Mengatur pengeluaran sekret dan ventilasi segmen paru-paru, mengurangi risiko
atelaktasis.
5) Jelaskan kepada pasien tentang kegunaan batuk yang efektif dan mengapa terdapat
penumpukan sekret di saluran pernapasan.
Pengetahuan yang diharapkan akan membantu mengembangkan kepatuhan klien terhadap
rencana terapeutik.
6) Ajarkan pasien metode yang tepat untuk mengontrol batuk.
Batuk yang tidak terkontrol adalah melelahkan dan tidak efektif, menyebabkan frustasi.
7) Latihan napas dalam dan perlahan saat duduk setegak mungkin.
Memungkinkan ekspansi paru lebih luas.
8) Lakukan pernapasan diafragma.
Pernapasan diafragma menurunkan frekuensi napas dan meningkatkan ventilasi alveolar.
9) Tahan napas selama 3-5 detik kemudian secara perlahan-lahan, keluarkan sebanyak
mungkin melalui mulut.
Meningkatkan volume udara dalam paru-paru mempermudah pengeluaran sekresi sekret.
10) Lakukan napas kedua, tahan dan batukkan dari dada dengan melakukan 2 batuk pendek
dan kuat.
Pengkajian ini membantu mengevaluasi keefektifan upaya batuk pasien.
11) Auskultasi paru sebelum dan sesudah pasien batuk.
Sekresi kental sulit untuk diencerkan dan dapat menyebabkan sumbatan mukus, yang
mengarah pada atelaktasis.
12) Ajarkan pasien tindakan untuk menurunkan viskositas sekresi: mempertahankan hidrasi
yang adekuat; meningkatkan masukan cairan 1000-1500 cc/hari bila tidak kontraindikasi.
Upaya untuk menghindari pengentalan dari sekret pada saluran napas bagian atas.
13) Kolaborasi: pemberian obat-obat bronkodilator sesuai indikasi.
Mengatur ventilasi dan melepaskan sekret karena relaksasi otot/bronkospasme.

1.3.3.7 Diagnosa 7: Gangguan eliminasi alvi (konstipasi) berhubungan dengan imobilisasi,


asupan cairan yang tidak adekuat.
Tujuan: dalam waktu 2x24 jam pemenuhan eliminasi alvi terpenuhi.
Kriteria Hasil:pasien dapat defekasi secara spontan dan lancar tanpa menggunakan
obat, konsistensi feses lembek berbentuk, bising usus normal.
Intervensi:
1) Berikan penjelasan pada pasien dan keluarga tentang penyebab konstipasi.
Rasional: Pasien dan keluarga dapat mengerti tentang penyebab konstipasi.
2) Auskultasi bising usus.
Bising usus menandakan sifat aktivitas peristaltik.
3) Anjurkan pada pasien untuk makan-makanan yang mengandung serat.
Diet seimbang tinggi kandungan serat merangsang peristaltik dan eliminasi regular.
4) Bila pasien mampu minum, berikan asupan cairan yang cukup (2 liter/hari) jika tidak ada
kontraindikasi.
Masukan cairan adekuat membantu mempertahankan konsistensi feses yang sesuai pada
usus dan membantu eliminasi regular.
5) Lakukan mobilisasi sesuai dengan keadaan pasien.
Aktivitas fisik regular membantu eliminasi dengan memperbaiki tonus otot abdomen dan
merangsang nafsu makan dan peristaltik.
6) Kolaborasi: dengan tim medis dalam pemberian pelunak feses (laksatif, enema,
supositoria).
1.3.4 Implementasi
Pelaksanaan merupakan tahap keempat dalam proses keperawatan dengan
melaksanakan berbagai strategi keperawatan (tindakan keperawatan) yang telah
direncanakan dalam rencana tindakan keperawatan. Dalam tahap ini perawat perawat
menggunakan kemampuan yang dimiliki dalam melaksanakan tindakan keperawatan
terhadap pasien dengan Stroke hemoragik. Perawat harus mengetahui berbagai hal
diantaranya bahaya-bahaya fisik dan perlindungan pada pasien, teknik komunikasi,
kemampuan dalam prosedur tindakan, pemahaman tentang hak-hak dari pasien serta
dalam memahami tingkat perkembangan pasien.

1.3.5 Evaluasi
Evaluasi di maksudkan untuk pencapaian tujuan dalam asuhan keperawatan
yang telah di lakukan pasien. Evaluasi merupakan langkah terakhir dari proses
keparawatan dan berasal dari hasil yang ditetapkan dalam rencana keperawatan.
Hasil yang diharapkan setelah dilakukan implementasi keperawatan meliputi:
1) Pasien tidak terjadi peningkatan TIK.
(1) Pasien tidak gelisah,
(2) pasien tampak nyaman,
(3) nilai GCS normal dengan total nilai 15 yaitu kesadaran penuh
(4)TTV dalam batas normal.
2) Pasien mampu melaksanakan aktivitas fisik sesuai dengan kemampuannya.
Meningkatnya kekuatan
3) Kebutuhan nutrisi pasien terpenuhi
(1) Turgor baik,
(2) Asupan dapat masuk sesuai kebutuhan
(3) Terdapat kemampuan menelan..
4) Memperlihatkan tidak adanya defisit perawatan diri.
(1) Menunjukkan perubahan gaya hidup untuk kebutuhan merawat diri.
(2) Pasien mampu melakukan aktivitas perawatan diri sesuai dengan tingkat kemampuan.
5) Mendemonstrasikan integritas kulit adekuat
(1) Pasien mampu berpartisispasi terhadap pencegahan luka
(2) Pasien mengetahui penyebab dan cara pencegahan luka.
(3) Tidak ada tanda-tanda kemerahan atau luka.
6) Pasien mampu meningkatkan dan mempertahankan keefektifan jalan napas agar tetap
bersih dan mencegah aspirasi.
(1) Bunyi napas terdengar bersih,
(2) Ronkhi tidak terdengar,
(3) Menunjukan batuk yang efektif.
7) Pemenuhan eliminasi alvi terpenuhi
(1) Pasien dapat defekasi secara spontan dan lancer tanpa menggunakan obat,
(2) Konsistensi feses lembek berbentuk
(3) Bising usus normal.

DAFTAR PUSTAKA

Baticaca, Fransisca (2008). Asuhan Keperawatan Klien Dengan Gangguan Sistem


Persarafan. Jakarta: Salemba Medika

Judith, Wilkinson (2007). Buku Saku Diagnosis Keperawatan. Jakarta: EGC

Mutaqin, Arif (2008). Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien Dengan Gangguan Sistem
Persarafan. Jakarta: CV Sagung Seto

Mutaqin, Arif (2008). Pengantar Asuhan Keperawatan Klien Dengan Gangguan Sistem
Persarafan. Jakarta: Salemba Medika
Tarwoto, dkk (2007). Keperawatan Medikal Bedah Gangguan Sistem Persarafan. Jakarta:
Salemba Medika

https://www.scribd.com/doc/259634741/Laporan-Pendahuluan-Post-Craniotomy. Diakses
pada tanggal 30 mei 2017. Jam 15.00 wib

Anda mungkin juga menyukai