Anda di halaman 1dari 8

AKIBAT LAPINDO BRANTAS

A. Analisis DPSIR
Analisis DPSIR dilakukan dalam rangka memberikan informasi yang jelas dan
spesifik mengenai faktor pemicu (Driving force), tekanan terhadap lingkungan yang
dihasilkan (Pressure), keadaan lingkungan (State), dampak yang dihasilkan dari
perubahan lingkungan (Impact) dan Penanganan (Response).
Driving Force
Menyemburnya lumpur panas di lokasi pengeboran Lapindo Brantas Inc di
Dusun Balongnongo Desa Renokenongo, Kecamatan Porong, Kabupaten Sidoarjo,
Jawa Timur, sejak tanggal 29 mei 2009. Semburan lumpur panas selama ini
menyebabkan tergenangnya kawasan permukiman, pertanian, dan perindustrian di
tiga kecamatan di sekitarnya, serta mempengaruhi aktivitas perekonomian di jawa
timur.
Lumpur sangat berbahaya bagi kesehatan masyarakat. Kandungan logam berat
(Hg) air raksa, misalnya, mencapai 2,565 mg/liter Hg, padahal baku mutunya hanya
0,002 mg/liter Hg. Hal ini menyebabkan infeksi saluran pernapasan, iritasi kulit dan
kanker. Kandungan fenol bisa menyebabkan sel darah merah pecah (hemolisis),
jantung berdebar (cardiac aritmia), dan gangguan ginjal. Ini tidak sesuai dengan Pasal
20 UU No. 1 Tahun 2009 mengenai baku mutu lingkungan hidup.
Pressure
Mengingat Lapindo Brantas Inc. tidak memiliki AMDAL maka berdasarkan
UU No. 32 Tahun 2009 pasal 12 ayat ( 1 ), pemanfaatan sumber daya alam dilakukan
berdasarkan RPPLH. Dan dalam pasal 12 ayat ( 2 ) dikatakan bahwa dalam hal
RPPLH sebagaimana dimaksud pada ayat (1) belum tersusun, pemanfaatan sumber
daya alam dilaksanakan berdasarkan daya dukung dan daya tampung lingkungan
hidup dengan memperhatikan keberlanjutan proses dan fungsi lingkungan hidup,
keberlanjutan produktivitas lingkungan hidup, keselamatan, mutu hidup, dan
kesejahteraan masyarakat. Sedangkan kasus ini telah membuktikan bahwa Lapindo
Brantas Inc. karena kelalaiannya telah menyebabkan pencemaran.
Lumpur yang menyembur di Sidoarjo, bukan lumpur biasa melainkan lumpur
panas yang mengandung banyak bahan berbahaya. Apabila dibuang kelaut maka
dapat mencemari ekosistem laut.
State
Hasil penelitian mengenai kondisi area lumpur Lapindo membuktikan hal
yang mengejutkan. Meski sudah 11 tahun, semburan lumpur Lapindo yang terjadi di
Desa Renokenongo, Kecamatan Porong, Sidoarjo, sampai sekarang dampaknya masih
dirasakan warga.Selain korban yang kehilangan tempat tinggal, kondisi dan
lingkungan di sekitar daerah tersebut juga rusak.
Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Jawa Timur melakukan
penelitian terhadap tanah dan air di area semburan lumpur Lapindo. Dari hasil
penelitian, air dan tanah di area tersebut terbukti mengandung PAH atau Polycyclic
Aromatic Hydrocarbon sampai 2.000 kali di atas ambang batas normal.
Selain WALHI Jatim, tim kelayakan permukiman yang dibentuk Gubernur
Jatim juga melaporkan hal serupa. Level pencemaran udara oleh Hydrocarbon
mencapai tingkat 8 ribu sampai 220 ribu kali lipat di atas ambang batas. Selain tanah
dan air, hasil pemantauan kualitas udara WALHI menggunakan Eco Checker
menunjukkan kondisi gas sekitar area. Gas Hidrogen Sulfida (H2S) di sekitar lumpur
Lapindo mencapai angka 85 ppb (part per billion).
Dari data WALHI Jatim, korban di sekitar lumpur Lapindo memang terjangkit
beberapa penyakit. Penyakit tersebut seperti ISPA, gastrytis, infeksi kulit, diare, dan
penyakit lain. Oleh karena itu, WALHI Jatim berharap kepada Lapindo untuk
memberikan ganti rugi yang lebih dari sekadar rumah dan tanah yang tenggelam
karena lumpur panas, ke korban.
Pakar teknik kelautan Surabaya Prof Ir Mukhtasor M.Eng PhD menilai lumpur
di kawasan eksplorasi PT Lapindo Brantas di Porong, Sidoarjo yang kini dialirkan ke
sungai telah merusak pesisir dan laut.
Impact
Akibat Dampak luapan Lumpur Panas, mengakibatkan banyaknya lingkungan
fisikyang rusak. Lumpur menggenangi 16 desa di tiga kecamatan. Semula hanya
menggenangi empat desa dengan ketinggian sekitar 6 meter, yang membuat
dievakuasinya warga setempat untuk diungsikan serta rusaknya areal pertanian.
Luapan lumpur ini juga menggenangi sarana pendidikan dan Markas Koramil Porong.
Hingga bulan Agustus 2006, luapan lumpur ini telah menggenangi sejumlah
desa/kelurahan di Kecamatan Porong, Jabon, dan Tanggulangin, dengan total warga
yang dievakuasi sebanyak lebih dari 8.200 jiwa dan tak 25.000 jiwa mengungsi.
Karena tak kurang 10.426 unit rumah terendam lumpur dan 77 unit rumah ibadah
terendam lumpur.
Lahan dan ternak yang tercatat terkena dampak lumpur hingga Agustus 2006
antara lain: lahan tebu seluas 25,61 ha di Renokenongo, Jatirejo dan
Kedungcangkring; lahan padi seluas 172,39 ha di Siring, Renokenongo, Jatirejo,
Kedungbendo, Sentul, Besuki Jabon dan Pejarakan Jabon; serta 1.605 ekor unggas, 30
ekor kambing, 2 sapi dan 7 ekor kijang.
Rumah/tempat tinggal yang rusak akibat diterjang lumpur dan rusak sebanyak
1.683 unit. Rinciannya: Tempat tinggal 1.810 (Siring 142, Jatirejo 480, Renokenongo
428, Kedungbendo 590, Besuki 170), sekolah 18 (7 sekolah negeri), kantor 2 (Kantor
Koramil dan Kelurahan Jatirejo), pabrik 15, masjid dan musala 15 unit. Kerusakan
lingkungan terhadap wilayah yang tergenangi, termasuk areal persawahan.
Gas Metana yang beracun tersebut banyak menyebabkan penyakit bagi warga
yang menghirupnya. Tercatat dampak kesehatan di Puskesmas Porong menunjukkan
banyaknya penderita infeksi saluran pernafasan yang semakin meningkat sejak 2006
lalu hingga mencapai 52.543 orang di 2009. Dan juga penderita gastritis melonjak
hingga 22.189 orang di 2009 yang sebelumnya tercatat 7.416 di 2005.
Response
Upaya yang dilakukan untuk menanggulangi luapan lumpur lapindo adalah
dengan membangun tanggul desekitar luapan lumpur panas itu. Namun tanggul yang
dibangun bisa sewaktu-waktu jebol karena lumpur setiap hari terus meluap naik.
Hingga akhirnya direncanakan akan membangun beberapa waduk untuk membendung
lumpur tersebut. Namun rencana tersebut batal tanpa sebab yang jelas.
Ada beberapa pihak yang mengatakan bahwa luapan lumpur bisa diatasi
dengan melakukan beberapa skenario, namun hingga 2009 luapan tidak bisa
dihentikan yang artinya luapan ini adalah fenomena alam yang akan susah
ditanggulangi tanpa ijin Tuhan.
Beberapa skenario yang dikatakan diatas antara lain :
1. Menggunakan suatu sistem yang disebut Snubbing Unit yaitu sistem peralatan
bertenaga hidraulik yang umumnya digunakan untuk pekerjaan di dalam sumur
yang sudah ada. Rencananya Snubbing Unit digunakan untuk mencapai
rangkaian mata bor yang tertinggal didalam sumur, jika mata bor ditemukan maka
bor tersebut akan didorong masuk kedalam sumur lalu dasar sumur akan dututp
dengan semen dan lumpur berat. Tetapi rencana ini gagal karena bor gagal
didorong masuk kedalam sumur.
2. Rencana pengeboran miring menghindari mata bor yang tertinggal.Namun
rencana ini juga gagal hingga akhirnya sumur BPJ-1 ditutup secara permanen.
3. Pembuatan sumur-sumur baru di sekitar sumur BPJ-1. Ada tiga sumur yang
dibangun, yaitu sumur pertama dibangun sekitar 500 meter barat daya sumur BPJ-
1, sumur kedua dibangun sekitar 500 meter barat laut sumur BPJ-1, dan sumur
ketiga dibangun sekitar utara timur laut dari sumur BPJ-1. Sumur-sumur tersebut
digunakan untuk mengepung retakan-retakan tempat keluarnya lumpur. Rencana
ini gagal karena bermasalah dengan biaya yang begitu mahal dan memakan waktu
.
Kondisi Area Sekitar Tak Layak, Korban Lumpur Lapindo Juga Rasakan
Dampak Lingkungan dan Kesehatan
by Walhi Jatim

30 May 2017

TRIBUNJATIM. COM, SURABAYA Hasil penelitian mengenai kondisi area lumpur


Lapindo membuktikan hal yang mengejutkan. Meski sudah 11 tahun, semburan lumpur
Lapindo yang terjadi di Desa Renokenongo, Kecamatan Porong, Sidoarjo, sampai sekarang
dampaknya masih dirasakan warga.Selain korban yang kehilangan tempat tinggal, kondisi
dan lingkungan di sekitar daerah tersebut juga rusak.

Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Jawa Timur melakukan penelitian terhadap
tanah dan air di area semburan lumpur Lapindo. Dari hasil penelitian, air dan tanah di area
tersebut terbukti mengandung PAH atau Polycyclic Aromatic Hydrocarbon sampai 2.000 kali
di atas ambang batas normal.

Kalau menurut UNEP PBB, PAH itu senyawa berbahaya yang bersifat karsiogenik atau zat
pemicu kanker, ujar Direktur WALHI Jatim, Rere Christianto, Senin (29/5/2017).

Selain WALHI Jatim, tim kelayakan permukiman yang dibentuk Gubernur Jatim juga
melaporkan hal serupa. Level pencemaran udara oleh Hydrocarbon mencapai tingkat 8 ribu
sampai 220 ribu kali lipat di atas ambang batas. Selain tanah dan air, hasil pemantauan
kualitas udara WALHI menggunakan Eco Checker menunjukkan kondisi gas sekitar area.
Gas Hidrogen Sulfida (H2S) di sekitar lumpur Lapindo mencapai angka 85 ppb (part per
billion).

WALHI Jatim pun membandingkan hasil pengukuran itu dengan udara di sekitar kantor
WALHI Jatim di Jalan Karah, Surabaya. Di Jalan Karah, angka H2Snya menunjukkan
sebesar lebih kurang 35ppb saja.
H2S merupakan gas beracun, kalau terus terpapar dan terakumulasi di dalam tubuh, tentu
bukan hal yang sehat, tambah Rere.

Dari data WALHI Jatim, korban di sekitar lumpur Lapindo memang terjangkit beberapa
penyakit. Penyakit tersebut seperti ISPA, gastrytis, infeksi kulit, diare, dan penyakit lain.
Oleh karena itu, WALHI Jatim berharap kepada Lapindo untuk memberikan ganti rugi yang
lebih dari sekadar rumah dan tanah yang tenggelam karena lumpur panas, ke korban.

Ganti rugi ini seperti sebatas jual beli tanah dan bangunan antara korban dengan Lapindo
atau pemerintah saja. Hak-hak yang lain seolah terabaikan tutup Rere.
Kerusakan Pesisir, Laut Akibat Lumpur Lapindo
5 Bulan Rp2 Triliun
Selasa, 28 September 2010 19:09 WIB | 5.428 Views

(ANTARA/Sapto HP)

Surabaya (ANTARA News) - Pakar teknik kelautan Surabaya Prof Ir Mukhtasor M.Eng PhD
menilai lumpur di kawasan eksplorasi PT Lapindo Brantas di Porong, Sidoarjo yang kini
dialirkan ke sungai telah merusak pesisir dan laut.
"Kerusakan pesisir dan laut selama lima bulan pertama semburan (29 Mei 2006-31 Oktober
2006) menyebabkan kerugian Rp2 triliun," kata guru besar ke-96 ITS Surabaya di kampus
setempat, Selasa. Menjelang pengukuhan dirinya pada 12 Oktober mendatang, guru besar
pencemaran laut itu menyatakan kerugian selama lima bulan pertama itu mencapai Rp5
triliun dengan Rp2 triliun di antaranya merupakan kerugian kerusakan pesisir dan laut.
"Tentunya, nilai kerugian itu lebih besar lagi setelah empat tahun berlalu dan kerusakan
pesisir dan laut pun lebih dahsyat lagi, karena lumpur dialirkan ke Laut Jawa melalui Sungai
Porong," katanya.
Anggota Dewan Energi Nasional itu mengatakan kerusakan pesisir dan laut dapat dikatakan
lebih dahsyat karena lumpur yang berada di laut akan menghalangi sinar matahari masuk ke
dasar laut.,"Dengan berkurangnya sinar matahari sampai ke dasar laut, maka kehidupan
plankton pun terganggu, sehingga kehidupan di dasar laut pun akan rusak," kata dosen Teknik
Kelautan FTK ITS Surabaya itu.

Menurut dia, Kementerian Kelautan dan Perikanan sebenarnya mencanangkan Indonesia


menjadi negara produsen perikanan terbesar di dunia pada 2015.
"Pencanangan itu akan sulit atau bahkan mustahil tercapai bila pencemaran laut tidak
terkendali, apalagi Uni Eropa sudah pernah menolak perikanan kita pada tahun 2006-2007
karena mercury (Hg), cadmium (Cd), dan timbal (Pb)," katanya.
Ia menegaskan bahwa pengelolaan pencemaran atau lingkungan seringkali dianggap sebagai
pemborosan, padahal kerugian sosial sebagai dampak kerusakan lingkungan akan lebih besar.
"Buktinya adalah catatan Bank Dunia terhadap pertumbuhan ekonomi di China yang
mencapai 9 persen, namun bila dihitung dengan masyarakat yang sakit dan miskin akibat
kerusakan lingkungan yang mencapai 5,78 persen, maka pertumbuhan tinggal 3 persen,"
katanya.
Ia menambahkan hal penting terkait pencemaran laut di Indonesia saat ini adalah tumpahan
minyak di Laut Timor pada Agustus 2009 yang menumpahkan 500.000 liter minyak mentah
perhari.
"Minyak tumpah di Mexico yang mencapai 5.000 barel saja menyebabkan kerugian Rp10
triliun, tentu kerugian kita lebih besar, tapi kita kesulitan mengajukan klaim, karena kita
belum mempunyai kelembagaan yang serius. Kasus lumpur Lapindo membuktikan kita masih
berpikir politis, bukan berpikir dampak lingkungan," katanya. (ANT/K004)

Editor: B Kunto Wibisono

Anda mungkin juga menyukai