Anda di halaman 1dari 28

BAB I

PENDAHULUAN

Anestesi berasal dari bahasa Yunani an- "tidak, tanpa" dan aesthetos,

"persepsi, kemampuan untuk merasa".Anestesi secara umum adalah suatu

tindakan menghilangkan rasa sakit ketika melakukan pembedahan dan berbagai

prosedur lainnya yang menimbulkan rasa sakit pada tubuh. Namun, obat-obat

anestesi tidak hanya menghilangkan rasa sakit akan tetapi juga menghilangkan

kesadaran. Selain itu, juga dibutuhkan relaksasi otot yang optimal agar operasi

dapat berjalan lancar. Istilah anestesi digunakan pertama kali oleh Oliver Wendel

Holmes Sr pada tahun 1846.

Maka ilmu anestesi dan reanimasi adalah cabang ilmu kedokteran yang

mempelajari tatalaksana untuk mematikan rasa, baik rasa nyeri, takut, dan rasa

tidak nyaman yang lain sehingga pasien nyaman dan ilmu yang mempelajari

tatalaksana untuk menjaga / mempertahankan hidup dan kehidupan pasien selama

operasi akibat obat anestesia dan mengembalikannya seperti keadaan semula.

Spinal anestesi atau blok spinal adalah tindakan penyuntikan obat anestesi

lokal ke dalam ruang subarachnoid (canalis spinalis) untuk menghambat impuls

nyeri dari suatu bagian tubuh untuk sementara (reversible) dengan cara

menghambat hantaran syaraf sensor, fungsi motorik dapat terpengaruh sebagian

atau seluruhnya namun penderita tetap sadar.


Kelenjar prostat adalah salah satu organ genitalia pria yang terletak

di sebelah inferior buli-buli dan membungkus uretra posterior. Bila

mengalami pembesaran, organ ini membuntu uretra pars prostatika dan

menyebabkan terhambatnya aliran urine keluar dari buli-buli. Sehingga

dapat dismpulkan bahwa BPH (benign prostatica hyperplasia) adalah

hyperplasia kelenjar periuretra yang mendesak jaringan prostate yang asli

ke perifer. Bentuknya sebesar buah kenari dengan berat normal pada orang

dewasa 20 gram.

Penyakit ini paling sering dialami oleh geriatri. Sehingga pada kali

ini saya akan membahas tentang bagaimana pemberian anastesi regional

pada pasien dengan diagnosis Benign Prostatica Hyperplasia (BPH).


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Anastesi Spinal

Anastesi spinal adalah salah satu metode anastesi yang diinduksi

dengan menyuntikkan sejumlah kecil obat anastesi lokal ke dalam cairan

cerebro-spinal (CSE). Anastesi spinal /subarakhnooid disebut juga sebagai

analgesi/blok spinal intradural atau blok intratekal. Anastesi spinal dihasilkan

bila kita menyuntikan obat analgesik lokal ke dalam ruang sub arachnoid di

daerah antara vertebra L2-L3atau L3-L4 atau L4-L5.

Spinal anastesi mudah untuk dilakukan dan memiliki potensi untuk

memberikan kondisi operasi yang sangat baik untuk operasi di bawah

umbilikus. Spinal anastesi dianjurkan untuk operasi dibawah umbilikus

misalnya hernia, ginekologis, operasi urologis dan setiap operasi pada

perineum atau alat kelamin.

Teknik anastesi secara garis besar dibagi menjadi dua macam, yaitu

anastesi umum dan anastesi regional. Anastesi umum bekerja untuk menekan

aksis hipotalamus-pituitari adrenal, sementara anastesi regional berfungsi

untuk menekan transmisi impuls nyeri dan menekan saraf otonom eferen ke

adrenal. Anastesi spinal sangat cocok untuk pasien yang berusia tua dan

orang-orang dengan penyakit sistemik seperti penyakit pernapasan kronis,

hati, ginjal, dan gangguan endokrin seperti diabetes. Banyak pasien dengan
penyakit katub pulmonalis atau hipertensi tidak terkontrol. Sangat cocok

untuk menangani pasien dengan trauma yang telah mendapatkan resusitasi

yang adekuat dan tidak mengalami hipovolemik.

Indikasi dari anastesi spinal meliputi bedah ekstremitas bawah, bedah

panggul, tindakan sekitar rektum perineum, bedah obstetrik-ginekologi,

bedah urologi, bedah abdomen bawah, pada bedah abdomen atas dan bawah

pediatrik biasanya dikombinasikan dengan ansthesia umum ringan.

Kontra indikasi absolut anastesi spinal seperti pasien menolak, infeksi

pada tempat suntikan, hipovolemia berat, syok, koagulapati atau mendapat

terapi koagulan, tekanan intrakranial meningkat, fasilitas resusitasi minim.

Kontra indikasi relatif yaitu infeksi sistemik, infeksi sekitar tempat

suntikan, kelainan neurologis, kelainan psikis, bedah lama, penbyakit jantung,

nyeri punggung kronik.

Anatomi Kolumna Vertebra

Pengetahuan yang baik tentang anatomi kolumna vertebralis merupakan

salah satu faktor keberhasilan tindakan anestesi spinal. Di samping itu,

pengetahuan tentang penyebaran analgesia lokal dalam cairan serebrospinal

dan level analgesia diperlukan untuk menjaga keamanan tindakan anestesi

spinal. Vertebra lumbalis merupakan vertebra yang paling penting dalam


spinal anestesi, karena sebagian besar penusukan pada spinal anestesi

dilakukan pada daerah ini.

Kolumna vertebralis terdiri dari 33 korpus vertebralis yang dibagi menjadi

5 bagian yaitu 7 servikal, 12 thorakal, 5 lumbal, 5 sakral dan 4 koksigeus.

Kolumna vertebralis mempunyai empat lengkungan yaitu daerah servikal dan

lumbal melengkung ke depan, daerah thorakal dan sakral melengkung ke

belakang sehingga pada waktu berbaring daerah tertinggi adalah L3, sedang

daerah terendah adalah L5. Segmen medulla spinalis terdiri dari 31 segmen :

8 segmen servikal, 12 thorakal, 5 lumbal, 5 sakral dan 1 koksigeus yang

dihubungkan dengan melekatnya kelompok- kelompok saraf. Panjang setiap

segmen berbeda-beda, seperti segmen tengah thorakal lebih kurang 2 kali

panjang segmen servikal atau lumbal atas. Terdapat dua pelebaran yang

berhubungan dengan saraf servikal atas dan bawah. Pelebaran servikal

merupakan asal serabut-serabut saraf dalam pleksus brakhialis. Pelebaran

lumbal sesuai dengan asal serabut saraf dalam pleksus lumbosakralis.

Hubungan antara segmen-segmen medulla spinalis dan korpus vertebralis

serta tulang belakang penting artinya dalam klinik untuk menentukan tinggi

lesi pada medulla spinalis dan juga untuk mencapainya pada pembedahan.

Lapisan yang harus ditembus untuk mencapai ruang subarakhnoid dari luar

yaitu kulit, subkutis, ligamentum supraspinosum, ligamentum flavum dan

duramater. Arakhnoid terletak antara duramater dan piamater serta mengikuti

otak sampai medulla spinalis dan melekat pada duramater. Antara arakhnoid

dan piamater terdapat ruang yang disebut ruang sub arakhnoid. Duramater
dan arakhnoid berakhir sebagai tabung pada vertebra sakral 2, sehingga

dibawah batas tersebut tidak terdapat cairan serebrospinal. Ruang sub

arakhnoid merupakan sebuah rongga yang terletak sepanjang tulang belakang

berisi cairan otak jaringan lemak, pembuluh darah dan serabut saraf spinal

yang berasal dari medulla spinalis. Pada orang dewasa medulla spinalis

berakhir pada sisi bawah vertebra lumbal.

Gambar 1. Kolumna Vertebralis

Gambar 2. Ligamentum Vertebralis


Komplikasi Anastesi Spinal

Komplikasi anastesi spinal dibagi menjadi komplikasi dini dan

komplikasi delayed.

a) Komplikasi tindakan:

1. Hipotensi berat : akibat blok simpatis terjadi venous pooling. Pada

orang dewasa dicegah dengan memberikan infus cairan elektrolit

1000 ml atau koloid 500 ml sebelum tindakan.

2. Bradikardi : dapat terjadi tanpa disertai hipotensi atau hipoksia.

Terjadi akibat blok sampai T-2.

3. Hipoventilasi : akibat paralisis saraf frenikus atau hipoperfusi pusat

kendali nafas.

4. Trauma saraf

5. Mual dan muntah

6. Blok spinal tinggi atau total.

b) Komplikasi pasca tindakan :

1. Nyeri tempat suntikan

2. Nyeri punggung

3. Nyeri kepala akibat kebocoran cairan likuor

4. Retensio urine

5. Meningitis

c) Komplikasi intraoperatif :

1. Komplikasi kardiovaskular
Insiden terjadi hipotensi akibat anastesi spinal adalah 10-40%.

Hipotensi terjadi karena vasodilatasi akibat blok simpatis, yang

menyebabkan terjadi penurunan tekanan arteriola sistemik dan vena.

Makin tinggi blok makin berat hipotensi. Cardiac output akan

berkurang akibat dari penurunan venous return. Hipotensi yang

signifikan harus diobati dengan pemberian cairan intravena yang

sesuai dan penggunaan obat vasoaktif seperti efedrin atau

fenilefedrin.

Cardiac arest pernah dilaporkan pada pasien yang sehat pada saat

dilakukan anastesi spinal. Henti jantung bisa terjadintiba-tiba

biasanya karena terjadi bradikardi yang berat walaupun

hemodinamik pasien dalam keadaan yang stabil. Pada kasus seperti

ini, hipotensi atau hipoksia bukanlah penyebab utama dari cardiac

arest tetapi merupakan dari mekanisme reflek bradikardi dan asistol

yang disebut reflek Bezold-Jarisch.

Pencegahan hipotensi dilakukan dengan memberikan infuse cairan

kristaloid (NaCl, Ringer Laktat) secara cepat sebanyak 10-

15ml/kgBB dalam 10 menit segera setelah penyuntikan anasthesia

spinal. Bila dengan cairan infuse tersebut masih terjadi hipotensi

harus diobati dengan vasopresor seperti efedrin intravena. Bradikardi

dapat terjadi karena aliran darah balik berkurang atau karena blok

simpatis, dapat diatasi dengan sulfas atropine.


2. Blok spinal tinggi atau total

Anastesi spinal tinggi atau total terjadi akrena akibat dari kesalahan

perhitungan dosis yang diperlukan untuk satu suntikan. Komplikasi

yang bisa muncul dari hal ini adalah hipotensi, henti nafas,

penurunan kesadaran, paralisis motor, dan jika tidak diobati bisa

menyebabkan henti jantung. Akibat blok simpatetik yang cepat

dilatasi arterial dan kapasitas pembuluh darah vena, hipotensi adalah

komplikasi yang paling sering terjadi pada anastesi spinal. Hal ini

menyebabkan terjadi penurunan sirkulasi darah ke organ vital

terutama otak dan jantung yang cenderung menimbulkan sequel lain.

Penurunan sirkulasi ke serebral merupakan faktor penting yang

menyebabkan terjadi henti nafas pada anastesi spinal total. Selain itu,

terdapat kemungkinan pengurangan kerja otot nafas terjadi akibat

dari blok saraf somatic intercostal. Aktivitas saraf phrenik biasanya

dipertahankan. Berkurangnya aliran darah ke serebral mendorong

terjadinya penurunan kesadaran. Jika hipotensi ini tidak diatasi,

sirkulasi jantung akan berkurang seterusnya menyebabkan terjadinya

iskemik miokard yang mencetuskan aritmia jantung dan akhirnya

menyebabkan henti jantung. Pengobatan yang cepat sangat penting

dalam akhirnya menyebabkan henti jantung. Pengobatan yang cepat

sangat penting dalam mencegah terjadinya keadaan yang lebih

serius, termasuk pemberian cairan, vasopresor dan pemberian

oksigen bertekanan positif. Setelah tingkat anastesi berkurang,


pasien akan kembali ke dalam keadaan normal sperti sebelum

operasi. Namun, tidak ada sequel yang permanen disebabkan oleh

komplikasi ini jika diatasi dengan pengobatan yang cepat dan tepat.

3. Komplikasi respirasi

a. Analisa gas darah cukup memuaskan pada blok spinal tinggi, bila

fungsi paru-paru normal.

b. Penderita PPOM atau COPD merupakan kontra indiaksi untuk

blok spinal tinggi.

c. Apnae dapat disebabkan karena blok spinal yang terlalu tinggi

atau karena hipotensi berat dan iskemia medulla.

d. Kesulitan bicara, batuk kering yang persisten, sesak nafas

merupakan tanda-tanda tidak adekuatnya pernapasan ytang perlu

segera ditangani dengan pernapasan bantuan.

d) Komplikasi postoperative :

1. Komplikasi gastrointestinal

Nausea dan muntah karena hipotensi, hipoksia, tonus parasimpatis

berlebih, pemakaian obat narkotik, reflek karena traksi pada tragus

gastrointestinal serta komplikasi delayed.

2. Nyeri kepala

`Komplikasi yang paling sering dikeluhkan oleh pasien adalah

nyeri kepala. Nyeri kepala bisa terjadi selepas anastesi spinal atau

tusukan pada dural pada anastesi epidural. Insiden ini terjadi


tergantung beberapa faktor seperti ukuran jarum yang digunakan.

Semakin besar ukuran jarum semakin besar resiko untuk terjadi nyeri

kepala. Nyeri kepala yang berdenyut biasanya muncul diarea

oksipital dan menjalar ke retro orbital, dan sering disertai dengan

tanda menigismus, diplopia, mual dan muntah.

Tanda yang paling signifikan nyeri kepala spinaladalah nyeri

makin bertambah bila pasien dipindahkan atau berubah posisi dari

tiduran/supinasi ke posisi duduk, dan akan berkurang bila pasien

berbaring. Terapi konservatif dalam waktu 24-48 jam harus di coba

terlebih dahulu seperti tirah baring, rehidrasi, analgesic. Tekanan

pada vena cava akan menyebabkan terjadinya perbendungan dari

plexus vena pelvik dan epidural, seterusnya menghentikan tekanan

extradural. Jika terapi konservatif tidak efektif, terapi yang aktif

seperti suntikan salin kedalam epidural untuk menghentikan

kebocoran.

3. Nyeri punggung

Komplikasi kedua yang paling sering adalah nyeri punggung akibat

tusukan jarum yang menyebabkan trauma pada periosteal atau ruptur

dari struktur ligament dengan atau tanpa hematoma

intraligamentous. Nyeri punggung akibat dari trauma suntikan jarum

dapat di obati secara simptomatik dan akan hilang dalam beberapa

waktu yang sangat singkat.


4. Komplikasi neurologis

Insidensi defisit neurologi berat dari anastesi spinal adalah rendah.

Komplikasi neurologik yang paling benign adalah meningitis

aseptik. Sindrom ini muncul dalam waktu 24 jam setelah anastesi

spinal. Dintandai dengan demam, rigiditas nuchal, dan fotofobia.

Meningitis aseptic hanya memerlukan pengobatan simptomatik dan

biasanya akan menghilang dalam beberaqpa hari.

B. Benign Prostatica Hyperplasia

Kelenjar prostat adalah salah satu organ genitalia pria yang terletak

di sebelah inferior buli-buli dan membungkus uretra posterior. Bila

mengalami pembesaran, organ ini membuntu uretra pars prostatika dan

menyebabkan terhambatnya aliran urine keluar dari buli-buli. Sehingga

dapat dismpulkan bahwa BPH (benign prostatica hyperplasia) adalah

hyperplasia kelenjar periuretra yang mendesak jaringan prostate yang asli

ke perifer. Bentuknya sebesar buah kenari dengan berat normal pada orang

dewasa 20 gram.

Penyebab BPH belum diketahui secara pasti, kemungkinana karena faktor

umur dan hormone androgen. Ada beberapa teori yang mengemukakan

tantang BPH, diantranya :

1. Teori Dehidrotestoteron

2. Teori hormon, ketidak seimbangan antara estrogen-testosteron

3. Faktor interaksi stroma dan epitel


4. Berkurangnya kematian sel prostat.

Pembesaran prostat menyebabkan penyempitan lumen uretra prostatika

dan menghambat aliran urine. Keadaan ini menyebabkan peningkatan

tekanan intravesika. Untuk dapat mengeluarkan urine, buli-buli harus

berkontraksi lebih kuat guna melawan tahanan itu. Kontraksi yang terus

menerus ini menyebabkan perubahan anatomic buli-buli, berupa hipertrofi

otot detrusor, trabekulasi, terbentuknya selula, sakula dan divertikel buli-

buli. Perubahan struktur pada buli-buli tersebut, oleh pasien dirasakan

sebagai keluhan pada saluran kencing sebelah bawah atau lower urinary

tract symptom (LUTS) yang dahulu dikenal dengan gejala prostatismus.

Tekanan intravesikel yang tinggi keseluruh bagian buli-buli tidak

terkecuali pada kedua muara ureter. Tekanan pada kedua muara ureter ini

dapat menimbulkan aliran balik urine dari buli0buli ke ureter atau terjadi

refluks vesiko ureter. Keadaan ini jika berlangsung terus menerus akan

mengakibatkan hidroureter, hidronefrosis, bahkan akhirnya dapat jatuh ke

dalam gagal ginjal.

Obstruksi prostate dapat menimbulkan keluhan pada saluran kemih

maupun di luar saluran kemih.

1. Gejala pada saluran kemih bagian bawah


Biasanya gejala-gejala dari pembesaran prostate jinak dikenal

sebagai Lower Urinary Tract Symptom (LUTS) dibedakan menjadi

gejala obstruktif.

a. Gejala iritatif : sering miksie, nokturia, urgensi, disuria.

b. Gejala obstruktif : pancaran melemah, rasa tidak puas sehabis

miksie, hesistensy, straining, intermitency, waktu miksi

memanjang akhirnya retensi urine dan inkontinen karena

overflow.

Tabel 1.1 skor Madsen- Inversene dalam bahasa Indonesia

Pertanyaan 0 1 2 3 4

Pancaran Normal Berubah Lemah Menetes


-ubah
Mengedan Tidak Ya
saat
berkemih
Harus Tidak Ya
menunggu
saat akan
miksie
BAK Tidak Ya
terputus-
putus
BAK tidak Tidak tahu Berubah Ya 1x 1
puas -ubah
x

Inkontenesi Ya
a
Kencing Tidak ada Ringan Sedan Berat
sulit untuk g
di tunda
Kencing 0-1 2 3-4 4
malam hari
Kencing 3 Tiap 2-3 Setiap < 1 jam
siang hari jam jam 1-2 seklai
sek sekali jam
ali sekali

Gejala dan tanda pada pasien yang telah lanjut penyakitnya,

misalnya gagal ginjal dapat ditemukan uremia, kenaikan TF, RR, nadi,

ujung kuku yang pucat, tanda-tanda penurunan mental serta neurografi

perifer.

Pemeriksaan penis dan uretra penting untuk mencari etiologi dan

menyingkirkan diagnosa banidng sperti striktur, karsinoma, stenosis

meatus atau fimosis, pemeriksaan yang lain yang paling penting adalah

pemeriksaan colok dubur.

Analisa urine dan pemeriksaaan mikroskopik urine penting melihat

adanya sel leukosit, bakteri, infeksi. Pemeriksaan laboratorium seperti

elektrolit, ureum, creatinin, merupakan informasi, dasar untuk

menegetahui fungsi ginjal dan status metabolik. Pemeriksaan PSA (

Prostate Spesifik Antigen) sebagai dasar penentuan perlunya biopsi atau

deteksi dini keganasan. Nilai PSA < 4 ng/ml berarti tidak perlu biopsi,

nilai PSA 4-10 ng/ml perlu dihitung PSAD ( Prostate Spesific Antigen

Density). Bila PSAD > 0.15atau nilai PSA > 10 ng/ml biopsi prostat.

Pemeriksaan radiologi yang bisa dilakukan yaitu polos abdomen,

pielografi intravena, USG, sistoskopi.


BAB III

LAPORAN KASUS
A. Identitas pasien

1. Nama : Tn.S

2. Usia : 60 tahun

3. Jenis kelamin : laki-laki

4. Pekerjaan : Swasta

5. Tanggal masuk : 23 november 2015

6. Tanggal operasi : 3 Desember 2015

7. Tanggal pengambilan data : 3 Desember 2015

8. Ruangan: Pav : OK Elective

9. Rumah sakit : RSU ANUTAPURA

B. Anamnesis

1. Keluhan utama:

Sulit buang air kecil

2. Riwayat penyakit sekarang:

Pasien masuk Rumah sakit dengan keluhan buang air kecil tidak lancar,

nyeri pada perut bagian bawah, perut terasa penuh. Keluhan ini dirasakan

pasien sejak kemarin pagi. Pasien juga mengeluhkan nafsu makan menurun

dan nyeri ulu hati.

3. Riwayat penyakit terdahulu:h

Pasien sudah mengalami keluhan tersebut sejak beberapa bulan yang lalu

dan terasa berat sejak beberapa minggu terakhir.


- Riwayat Diabetes Melitus disangkal

- Riwayat Hipertensi ada

- Riwayat alergi disangkal

- Riwayat sesak napas disangkal

4. Riwayat penyakit keluarga

Tidak ada anggota keluarga yang memiliki keluhan yang sama dengan

pasien.

C. Pemeriksaan fisik

1. Keadaan umum: Tampak sakit sedang

Physical status American Society Anesthesiologist: 2

2. Kesadaran: compos mentis (GCS: 15)

3. Tanda vital:

- TD: 130/90 mmHg

- N: 84x/menit reguler

- R: 20 x/menit

- S: 36,4C

4. Pemeriksaan kepala:

- Kepala : Bentuk normocephali

- Mata : Konjugtiva anemis (-)/(-), sklera (-)/(-)

- Hidung : Bentuk normal, darah (-), lendir (-)

- Telinga : Bentuk normal, darah (-)

- Mulut : Bentuk normal, warna bibir normal, tonsil T1/T2

hiperemis, skor mallampati 2


5. Pemeriksaan leher

- Pembesaran kelenjar tiroid (-), pembesaran kelenjar getah bening (-).

6. Pemeriksaan thorax

- Inspeksi : Ekspansi dada simetris, jejas (-), ictus cordis tidak terlihat

- Palpasi : Nyeri tekan (-), vokal fremitus normal kanan=kiri,

krepitasi (-), ictus cordis teraba di SIC V linea midclavicula sinistra

- Perkusi : Perkusi paru sonor, batas jantung normal

- Auskultasi : Bunyi paru vesikuler, Rhonkhi -/-, Wheezing -/-, bunyi

jantung S1/S2 murni reguler, murmur (-).

7. Pemeriksaan abdomen

- Inspeksi : Permukaan cembung, pelebaran vena (-)

- Auskultasi : Peristaltik usus (+), kesan normal

- Perkusi : Tympani 4 kuadran

- Palpasi : Organomegali (-), nyeri tekan pada ul

8. Pemeriksaan ekstremitas

- Superior: akral hangat, edema (-)/(-)

- Inferior: akral hangat, edema (-)/(-).

D. Pemeriksaan penunjang

- Pemeriksaan darah rutin

WBC : 21,6 x 103L(4,8 10,8)

RBC : 4,6 x 106L(3,8 4,8)

HGB : 13,6 g/dl (11 16)

HCT :39,6 % (37 47)


PLT : 246 x 103L(150 500)

- HbsAg : Non Reaktif

- SGOT : 23 U/L

- SGPT : 13 U/L

- Ureum : 24 mg/dl

- Creatinin : 1,36 mg/dl

- GDS : 178 Mg/dl

- Foto thoraks :

Kesan : Bronkitis dan Cardiomegali dengan dilatatio, elongatio et

atherosclerosis aortae.

E. Diagnosis

BPH

F. Kesimpulan

Berdasarkan status fisik, diklasifikasikan dalam PS ASA II

G. Penatalaksaan

1. Medikamentosa

IVFD RL 18 tpm

2. Tindakan

Open Prostatectomy

H. Laporan anestesi:

1. Diagnosis pra bedah: BPH

2. Diagnosis pasca bedah: BPH

3. Penatalaksanaan pre operasi:


a. IVFD RL 500 cc

4. Penatalaksanaan anestesia

a. Jenis pembedahan: Open Prostatectomy

b. Jenis anestesia: Regional Anasthesia

c. Teknik anestesia: SAB L3/L4

d. Mulai anestesi: 3 Desember 2015 jam 10.55 WITA

e. Mulai operasi: 3 Desember 2015 jam 11.00 WITA

f. Premedikasi:

o Inj Midazolam 5 mg

g. Medikasi : Bupivacaine

h. Maintanance: O2 3 Lpm

i. Relaksasi: -

j. Respirasi: spontan respirasi

k. Posisi :

l. Cairan durante operasi: RL 500 cc 2 kolf

m. Catatan anestesia selama pembedahan

n. Lama anestesia: 10.55 11.30

o. Lama operasi: 11.00 11.30

p. Tekanan darah dan frekuensi nadi terlampir

q. Perdarahan : 300cc

r. Urin tampung : 250cc

s. Aldert score :
Aspek penilaian Skor Pasien

GERAKAN :

Dapat menggerakan ke 4 ekstremitasnya sendiri atau dengan


perintah 2

Dapat menggerakkan ke 2 ekstremitasnya sendiri atau dengan 1 1


perintah 0
Tidak dapat menggerakkan ekstremitasnya sendiri atau
dengan perintah

PERNAPASAN

Bernapas dalam dan kuat serta batuk 2 2

Bernapas berat atau dispnu 1

Apnu atau napas dibantu 0

TEKANAN DARAH

Sama dengan nilai awal + 20% 2


2
Berbeda lebih dari 20-50% dari nilai awal 1

Berbeda lebih dari 50% dari nilai awal 0

KESADARAN

Sadar penuh 2
2
Tidak sadar, ada reaksi terhadap rangsangan 1

Tidak sadar, tidak ada reaksi terhadap rangsangan 0

WARNA KULIT

Merah 2

Pucat , ikterus, dan lain-lain 1 2

Sianosis 0

Total skor 9
BAB IV

PEMBAHASAN

A. Pre Operatif

Pasien datang dengan keluhan sulit buang air kecil sejak kemarin

pagi. Pasien diputuskan untuk dirawat di bangsal. Setelah keadaan umum

pasien membaik, pasien dipersiapkan untuk operasi.

Sebelum dilakukan operasi, dilakukan pemeriksaan pre operasi

yang meliputi anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang

untuk menentukan status fisik ASA dan resiko. Diputuskan kondisi fisik

pasien termasuk kedalam ASA II ( pasien geriatri dan Hipertensi

Terkontrol), serta ditentukan rencana jenis anestesi yang akan dilakukan

yaitu regional anestesi dengan tekhnik Subarachnoid Block.

Pasien yang akan menjalani operasi open prostatectomy umumnya

adalah pasien geriatri, untuk itu penting dilakukan evaluasi ketat terhadap

fungsi kardiovaskular, respirasi dan ginjal. Pasien-pasien ini dilaporkan

mempunyai prevalensi yang cukup tinggi untuk mengalami ganggguan

kardiovaskular dan respirasi. Hal lain yang perlu diperhatikan pada

pembedahan ini adalah darah harus selalu tersedia karena perdarahan

prostate dapat sangat sulit dikontrol, terutama pada pasien yang kelenjar

prostatenya > 40 gram.

Jenis anastesi yang dipilih adalah regional anastesi dengan cara

anastesi spinal. Anastesi regional baik spinal maupun epidural dengan blok

saraf tinggi memberikan efek anastesi yang memuaskan dan kondisi


operasi yang optimal bagi open prostatectomy. Dibanding dengan general

anastesi, regional anastesi dapat menurunkan insidens terjadinya post

operative venous trombosis.

Sebelum melakukan operasi terlebih dahulu diberikan premedikasi

pada pasien yang akan di operasi. Pada pasien ini diberikan midazolam 5

mg sebagai premedikasi. Midazolam mempunyai sifat anxiolitik, sedatif,

anti konvulsif, dan anterograde amnesia. Telah diketahui bahwa tujuan

pemberian premedikasi adalah untuk mengurangi respon terhadap stres

hormon endogen, mengurangi obat induksi maupun rumatan. Penggunaan

midazolam untuk premedikasi pada anak-anak maupun usia lanjut

memberikan hasil yang baik.

B. Durante Operatif

Prosedur pembedahan ini adalah membuka perlekatan prostat

dengan vesika urinaria kemudian mereseksi kelenjar prostat yang

membesar, selalu memerlukan caiiran irigasi kontinue dalam jumlah yang

besar.

Teknik anastesi yang digunakan adalah spinal anastesi dengan

alasan operasi yang dilakukan pada bagian tubuh inferior, sehingga cukup

memblok bagian tubuh inferior saja. Anastesi regional yang paling popular

adalah sub Arachnoid block (SAB) atau anastesi spinal. Teknik ini mudah,

awitannya cepat, dan harganya murah.

Obat anastesi yang diberikan pada pasien ini adalah bupivacaine

Hcl 0,5 %. Bupivacaine merupakan anestesi lokal golongan amino amida.


Bupivacaine mencegah konduksi rangsang saraf dengan menghambat

aliran ion, meningkatkan ambang eksitasi elekton, memperlambat

perambatan rangsang saraf dan menurunkan kenaikan potensial aksi.

Penggunaan Bupivacaine untuk anestesi spinal adalah 2-3 jam, dan

memberika relaksasi otot perut derajat sedang (moderate). Efek blockade

motorik pada otot perut menjadikan obat ini sesuai untuk digunakan pada

operasi-operasi daerah tubuh bagian inferior. Lama blokade motorik ini

tidak melebihi durasi analgesiknya.

Bupivakain bekerja menstabilkan membran neuron dengan cara

menginhibisi perubahan ionik secara terus menerus yang diperlukan dalam

memulai dan menghantarkan impuls. Kemajuan anastesi yang

berhubungan dengan diameter, mielinisasi dan kecepatan hantaran dari

serat saraf yang terkena menunjukkan urutan kehilangan fungsi sebagai

berikut : otonomik, nyeri, suhu, raba, propriosepsi, tonus otot skelet.

Eliminasi bupivakain terjadi dihati dan melalui pernapasan paru-paru.

Pada saat intraoperatif, dimenit ke 15 tekanan darah pasien sempat

mengalami penurunan yaitu 94/56 mmHg dan diberikan ephedrin

sebanyak 10 mg. Setelah pemberian ephedrin tekanan darah pasien

kembali naik menjadi 105/67. Sampai post operatif tidak ada kelainan atau

penyakit yang bermakna.


C. Post Operatif

Pada saat post operatif kondisi pasien cukup dalam keadaan baik.

Operasi berakhir dengan tanda vitall TD : 130/90 mmHg, N:70 x/menit,

saturasi O2 100 %. Selesai operasi pasien dipindahkan ke Recovery Room,

pasien segera diberi bantuan oksigenase melalui canul O2 3 liter/menit,

melanjutkan pemberian cairan dan diobeservasi setiap 15 menit. Dinilai

pernapasan, tekanan darah dan nadi.

Untuk manajamen cairan pada pasien ini adalah :

Pre operatif

Rehidrasi cairan ( dehidrasi derajat sedang ) :

8% x BB = 8% x 65 = 5,6 L ( 5600 ml yang dibagi menjadi 2800

ml 8 jam I dan 2800 ml untuk 16 jam berikutnya. Cairan rehidrasi

diberikan sebanyak 500 ml sebelum dilakukan operasi dan jumlah

sisa cairan rehidrasi yang akan diberikan 8 jam I yaitu 2300 ml.

Perioperatif

o Cairan maintanance : 10 kg pertama : 10 kg x 4 cc = 40cc

10 kg kedua : 10 kg x 2cc = 20 cc

Sisa berat badan : 50 kg x 1 cc= 50

cc

Total 110 cc/ jam ( 2410 ml/24 jam )


Pengganti Puasa

Lama jam puasa ( 10 jam ) x maintanance ( 110 cc) = 1100 cc

Saat mulai puasa sampai pasien akan diberikan cairan rehidrasi,

pasien mendapatkan cairan 1000 ml dan dianggap sebagai

pengganti puasa sehingga sisa cairan untuk pengganti puasa 100

cc.

Stress operasi

untuk pengganti cairan sequestra diberikan sesuai derajat operasi.

Pada kasus ini termasuk operasi besar karena merupakan operasi

open prostatectomy.

8% x 70 kg = 560 ml

Kebutuhan cairan pada jam I:

M + SO + (PP)

110 + 560 + 100 = 720 ml

Kebutuhan cairan pada jam II

M + SO + (PP)

110 + 560 + 100 = 695 ml

Jadi, total cairan yang harus diberikan durante operasi jam I dan II

yaitu 1415 ml. Pada saat durante operatif, jumlah cairan yang diberikan

adalah sejumlah 1000 ml. Sehingga sisa cairan yang akan diberikan pada

saat post operatif yaitu 415 ml.


Post Operatif

Kebutuhan cairan pasien dalam 24 jam post operasi

= 50 cc/kg BB/24 jam

= 50 cc x 70 kg

= 3500 cc/24 jam

Tanda Vital Durante Operatif

140

120

100

80
sistol

60 diastol
nadi
40

20

0
DAFTAR PUSTAKA

Boulton, BT. CE . 1994. Anastesiologi Edisi 10. EGC. Jakarta

Buku ajar Ilmu Bedah/ editor, R Sjamsuhidajat, Wim De Jong. Edisi 2,

Jakarta : EGC. 2004.

Michael B. Dubson. Penuntut Praktis Anastesi. EGC. Jakarta 1994

Mulroy MF. 202. Regional Anasthesia, 3rd edition. Philadelpia. Lupincout

Williams & Wilkins.

Purnomo, Basuki. Dasar-Dasar Urologi. Sagung Seto, Jakarta. 2007

Soenarto, RF. 2012. Buku Ajar Anastesiologi. Departemen Anastesiologi

dan Intensive Care Unit. Universitas Indonesia. Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai