Anda di halaman 1dari 19

3

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tes Diagnostik


Tes skrining yang digunakan untuk mendiagnostikan HIV adalah ELISA.
Untuk mengidentifikasi antibodi terhadap HIV, tes ELISA sangat sensitif, tapi
tidak selalu spesifik, karena penyakit lain bisa juga menunjukan hasil postif.
Beberapa penyakit yang bisa menyebabkan false positif, antara lain adalah
penyakit autonomi, infeksi virus, atau keganasan hematonologi. Kehamilan
juga bisa menyebabkan false positif. Tes yang lain biasanya digunakan untuk
mengkonfirmasi hasil ELISA, antara lain Western Blot (WB), indirect
immunoflueresence assay(IFA) ataupun radio-immuno-precipitation assay
(RIPA).
Pada daerah daerah dimana prevelensi HIV sangat tinggi, dua kali hasil
ELISA positif ditambah gejala klinis bisa digunakan untuk mendiagnosis HIV.
Bila metode ini dipilih, maka akan lebih baik jika dipilih dua tipe tes ELISA
yang berbeda.
Wasrtern Blot merupakan elektroforesis gel poliakrilamid yang digunakan
untuk mendeteksi rantai protein yang spesifik terhadap DNA. Jika tidak ada
rantai protein yang ditemukan, berarti hasil tes negatif. Sedangkan bila hampir
atau semua rantai protein ditemukan, berarti Wasrtern Blot positif. Tes
Wasrtern Blot mungkin juga tidak bisa menyimpulkan seseorang menderita
HIV atau tidak. Oleh karena itu, tes harus diulangi lagi setelah dua minggu
dengan sampel yang sama. Jika tes Wasrtern Blot tetap tidak bisa
disimpulkan, maka tes Wasrtern Blot harus diulangi lagi setelah 6 bulan. Jika
tes tetap negatif maka pasien dianggap HIV negatif.
Beberapa tes cepat untuk deteksi HIV dikembangkan dengan
menggunakan teknologi serupa ELISA, dan hasilnya seakurat tes ELISA.
Keuntungan tes ini adalah hasilnya bisa didapat hanya dalam beberapa menit.
PCR (polymerase shain reaction) untuk DNA dan RNA virus HIV sangat
sensitif dan spesifik untu infeksi HIV. Tes ini sering digunakan bila hasil tes
yang lain tidak jelas.

3
4

2.2 Pemeriksaan Laboratorium


Begitu pasien diagnosis HIV, maka tingkat kerusakn kekebalan tubuh yang
dialami perlu ditentukan. Limfosit CD4 ( sel T_helper) merupakan salah satu
cara untuk mengetahui kuantitas fungsi imunologi pasien. CD4 juga berguna
untuk menetukan stadium klinis HIV. Tetapi bila pemeriksaan CD4 tidak
tersedia, total hitung limfosit bisa sangat berguna. WHO mengembangkan
kriteria stadium klinis berdasarkan total limfosit.
Pasien yang teinfeksi HIV hampir seluruhnya mengalami gangguan
hematologi. Neutropenia ( penurunan sel darah putih) bisa disebabkan karena
virus itu sendiri atau oabt obatan yang digunakan pada HIV. Bila ditemukan
anemi, biasanya anemia normositik dan normokromik. Pasien juga bisa
mengalami limfopenik ( ditandai dengan penurunan jumlah sel darah putih
dalam sirkulasi ).
Sejak ditemukannya HIV pada 1983, para ilmuan telah belajar banyak
tentang karakteristik dan patogenesis virus tersebut. Berdasarkan pengetahuan
ini telah dikembangkan sejumlah tes diagnostik yang sebagian masih bersifat
penelitian. Tes atau pemeriksaan laboratorium kini digunakan untuk
mendiagnosis HIV dan memantau perkembangan penyakit serta responnya
terhadap terapi pada orang terinfeksi HIV.

Pemeriksaan Hasil pada infeksi HIV


Tes Antibodi HIV
Hasil tes yang positif
ELISA
dipastikan dengan Western
blot
Western blot
Positif
Inderect immunofluorescence assay Hasil tes yang positif
(IFA) dipastikan dengan Western
blot
Radiommunoprecipitation assay Positif, lebih sfesifik dan

(RIFA) sensitif daripada Western blot


Pelacakan HIV
Antigen p24 Positif untuk protein virus
5

Reaksi rantain polimerase (PCR; yang bebas


Deteksi RNA atau DNA virus
Polymerase chain reaction)
HIV
Kultur sel mononuklear darah perifer
untuk HIV-1 Positif kalau dua kali uji
kadar (assay) secara berturut-
turut mendeteksi ezim
reverse transcriptase atau
Kultur sel kuantitatif antigen p24 dengan kadar
Kultur plasma kuantitatif yang meningkat.
Mengukur muatan virus
dalam sel.
Memgukur muatan virus
Mikroglobulin B2
lewat virus yang inveksius
dalam plasma
Neopterin serum Protein meningkat bersamaan
dengan berlanjutnya penyakit
Kadar meningkat dengan
berlanjutnya penyakit
Status Imun
# sel-sel CD4+ Munurun
% sel-sel CD4+ Menurun
Rasio CD4:CD8 menurun
Rasio CD4:CD8 Normal hingga menurun
Hitung sel darah putih Meningkat
Sel-sel T4 mengalami
Kadar imunoglobulin
penurunan kemampuan untuk
bereaksi terhadap antigen
Tes fungsi sel CD4+
Menurun hingga tidak
terdapat
Reaksi sensitifitas pada tes kulit
Tabel 2.1 Pemeriksaan laboratorium untuk mendiagnosis dan melacak virus HIV
serta status Imun.

2.2.1 Tes Antibodi HIV


Ada tiga buah tes untuk memastikan adanya antibodi terhadap HIV
dan membantu mendiagnosis infeksi HIV. Tes enzyme-linked
6

immunosorbent assay (ELISA) mengidentifikasi antibodi yang secara


sfesifik ditujukan pada virus HIV. Tes ELISA tidak menegakan diagnosis
penyakit AIDS tetapi lebih menunjukan bahwa seseorang pernah terkena
atau terinfeksi oleh virus HIV. Orang yang darahnya mengandung antibodi
untuk HIV disebut sebagai orang yang seropositif. Pakan Pemeriksaan
Western blot assay merupakan tes lainnya yang dapat mengenali antibodi
HIV dan digunakan untuk memastikan seropositifitas yang teridentifikasi
lewat prosedur ELISA. Indirect immunofluorescence assay (IFA) kini
sedang digunakan oleh sebagian dokter sebagai pengganti pemeriksaan
Western blot untuk memastikan seropositifitas. Tes lainnya, yaitu
Radioimmunoprecipitation assay (RIPA), lebih mendeteksi protein HIV
ketimbang antibodi.
2.2.2 Pelacakan HIV
Pemeriksaan p24 antigen capture assay sangat spesifik untuk HIV-
1. Namun demikian, kadar p24 pada penderita infeksi HIV yang
asimtommatik sangat rendah. Pemeriksaan p24 antigen capture assay telah
digunakan bersama dengan tes lainnya seperti CD4+ untuk mengevaluasi
efek terapi dari preparat antivirus. PCR dinamakan amplifikasi gen dipakai
untuk mendeteksi RNA virus HIV atau DNA provirus. Belakangan ini PCR
dipakai untuk mendeteksi virus HIV pada orang-orang dengan seronegatif
HIV yang beresiko tinggi sebelum timbulnya antibodi, disamping itu PCR
juga dipakai untuk memastikan hasil tes elisa yang positif. Pemeriksaan
kultur HIV atau kultur plasma kuantitatif dan viremia plasma merupakan tes
tambahan untuk mengukur beban virus (viral burden).

2.3 Diagnosis HIV pada Bayi, Anak dan Dewasa

1. Diagnosis HIV

Diagnosis HIV pada orang dewasa


Dengan HIV pada orang dewasa mengikuti prinsip-prinsip khusus. Baik diagnosis
klinik maupun laboratorium dikembangkan untuk menetukan diagnosis negatif
atau positif. Tanda dan gejala pada infeksi HIV awal bisa sangat tidak spesifik dan
menyerupai infeksi virus lain yaitu : letargi, malaise, sakit tenggorokan, mialgia,
7

(nyeri otot), demam, dan berkeringat. Pasien mungkin mengalami beberapa gejala,
tetapi tidak mengalami keseluruhan gejala tersebut di atas. Pada stadium awal,
pemeriksaan laboratorium merupakan cara terbaik untuk mengetahui apakah
pasien terinfeksi virus HIV atau tidak.
ELISA merupakan tes yang baik, tetapi hasilnya mungkin masih akan negatif
sampai 6-12 minggu pasien setelah terinfeksi. Jika terdapat tanda-tanda infeksi
akut pada pasien dan hasil ELISA negatif, maka pemeriksaan ELISA perlu
diulang. Gejala infeksi akut yang mirip dengan gejala flu ini akan sembuh dan
pasien tidak menunjukkan tanda-tanda terinfeksi virus HIV samapai dengan
beberapa tahun. Periode ini disebut periode laten, virus HIV terus menyerang
kekebalan tubuh penderita meskipun tidak tampak tanda dan gejala infeksi HIV.
Stadium lanjut infeksi HIV dimulai ketika pasien mulai mengalami penyakit
AIDS . Gejala paling sering yang dijumpai pada stadium ini adalah penurunan
berat badan, diare dan kelemahan. Ada dua sistem klasifikasi yang bisa dipakai
yaitu menurut sistem klasifikasi WHO dan CDC.
Terdapat beberapa klasifikasi HIV/AIDS. Adapun sistem klasifikasi yang biasa
digunakan untuk dewasa dan remaja dengan infeksi HIV adalah menurut WHO
dan CDC (Centre for Diasease Control and Prevention).
Klasifikasi menurut CDC
CDC mengklasifikasi HIV/AIDS pada remaja (>13 tahun dan dewasa)
berdasarkan dua sistem, yaitu dengan melihat jumlah supresi kekebalan tubuh
ditunjukan oleh limfosit CD4+. Sistem ini didasarkan pada tiga kisaran CD4 + dan
tiga kategori klinis, yaitu:

Kategori 1 : 500 sel/l


Kategori 2 : 200-499 sel/l
Kategori 3 : 200 sel/l

Klasifikasi tersebut didasarkan pada jumlah limfosit CD4 + yang terendah dari
pasien. Klasifikasi CDC bisa digunakan untuk surveilans penyakit, penderita yang
dikategorikan kelas A3, B3, C1-3 dikategorikan AIDS. Sekali dilakukan
klasifikasi, maka pasien tidak dilakukan klasifikasi ulang, meskipun terjadi
perbaikan status imunologi misalnya peningkatan nilai CD4+ karena pengaruh
terapi atau faktor lain.
8

Tabel 3.1 Klasifikasi Klinis CD4 pasien remaja dan orang dewasa menurut CDC.

CD4 Kategori Klinis


Total % A B C
(Asimptomatik, (Simptomatik) (AIDS)
Infeksi Akut)
500/ml 29% A1 B1 C1
200-499 14-28 % A2 B2 C2
< 200 < 14 % A3 B3 C3
Sumber, Depkes, 2003

Kategori klinis A meliputi infeksi HIV tanpa gejala (asimptomatik), limfadenopati


generalisata yang menetap, dan infeksi HIV akut primer dengan penyakit penyerta
atau adanya riwayat infeksi HIV akut.
Kategori klinis B terdiri atas kondisi dengan gejala (simptomatik) pada remaja
atau orang dewasa yang terinfeksi HIV yang tidak termasuk dalam kategori C dan
memenuhi paling sedikit satu dari beberapa kriteria berikut:
a) Keadaan yang dihubungkan dengan infeksi HIV atau adanya kerusakan
kekebalan dengan perantara sel (Cell mediated immunit), atau;
b) Kondisi yang dianggap oleh dokter telah memerlukan penanganan klinis
atau membutuhkan penatalaksanaan akibat komplikasi infeksi HIV.
Contoh berikut ini termasuk dalam kategori tersebut, tetapi tidak terbatas
pada contoh ini saja.

Angiomatosis basilari.

Kandidiasis orofaringeal.

Kandidiasis vulvovaginal.

Displasia leher rahim.

Demam 38,5 atau diare lebih dari satu bulan.

Oral hairy leukoplakia.

Herpes zoster.

Purpura idiopatik trombositopenik.

Listeriosis.
9

Penyakit radang panggul.

Neuropati perifer.

Kategori klinis C meliputi gejala yang ditemukan pada pasien AIDS. Pada tahap
ini, individu yang terinfeksi HIV menunjukan perkembangan infeksi dan
keganasan yang mengancam kehidupan, misalnya:

Kandidiasis bronki, trakea, dan paru.

Kandidiasis esophagus.

Kanker leher rahim invasif.

Coccdiodomycosis menyebar atau di paru.

Kriptokokosis di paru.

Retinitis virus situmegalo.

Ensafalopati yang berhubungan dengan HIV.

Herpes simpleks dan ulkus lebih dari sebulan lamanya.

Bronkitis, esofagitis atau pneumonia.

Hispoplasmosis menyebar atau di luar paru.

Isosporiasi intestinal kronis lebih sebulan lamanya.

Sarkoma kaposi.

Limfoma burkitt.

Limfoma imunoblastik.

Limfoma primer di otak.

Mycobacterium avium complex atau M. Kansasii tersebar atau di luar paru.

Mikobakterium jenis lain atau jenis yang tidak dikenal menyebar atau di
luar paru.

Pneumonia Pneumocytis carinii.


10

Pneumonia yang berulang.

Leukoensefalopati multifokal progresif.

Toksoplasmosis di otakl.

Septokemia Salmonella yang berulang.

Klasifikasi menurut WHO

WHO mengklasifikasi HIV/AIDS menjadi klasifikasi laboratorium dan klinis.

a. Klasifiakasi Laboratorium

Tabel 3.2 Klasifikasi Laboratorium menurut WHO

Limfosit CD4+/mm3
Stadium Stadium Stadium Stadium
klinis 1: klinis 2: klinis 3: klinis 4:
Asimptomati Awal Intermediet Lanjut
k
>2000 >500
1A 2A 3A 4A
1000- 200-500
2000 1B 2B 3B 4B
<1000 <200
1C 2C 3C 4C

Sumber: Depkes RI, 2003

b. Klasifikasi klinis
Pada beberapa negara, pemeriksaan limfosit CD4+ tidak tersedia. Dalam
hal ini pasien bisa didiagnosis berdasarkan gejala klinis, yaitu berdasarkan
pada tanda dan gejala mayor dan minor. Dua gejala mayor di tambah dua
gejala minor didefinisikan sebagai infeksi HIV simptomatik.
Gejala mayor:
Penurunan berat badan 10%.
Demam memanjang atau lebih dari 1 bulan.
Diare kronis.
Tuberkulosis.
Gejala minor:
Kandidiasis orofaringeal.
11

Batuk menetap lebih dari satu bulan.


Kelemahan tubuh.
Berkeringat malam.
Hilang nafsu makan.
Infeksi kulit generalisata.
Limfadenopati generelisata.
Herpes zoster.
Infeski Herpes simplex kronis.
Pneumonia.
Sarkoma kaposi.
Beberapa penelitian menunjukkan reliaboilitas klasifikasi derajat klinis menurut
WHO bisa memprediksi morbiditas dan mortalitas pasien yang terinfeksi HIV.

Tabel 3.3 klasifikasi klinis infeksi HIV pada orang dewasa menurut WHO

Stadium Skala aktivitas gambaran klinis

I Asimptomatik, aktivitas normal

a. Asimptomatik.

b. Limfadenopati generalisata.

II Simptonik, aktivitas normal

a. Berat badan menurun <10%.

b. Kelainan kulit dan mukosa yang


ringan seperti, dermatitis seboroik,
prurigo, onikomikosis, ulkus oral
yang rekunen, dan kheilitis
angularis.

c. Herpes zoster dalam 5 tahun


terakhir.

d. Infeksi saluran nafas atas, seperti


sinusitis bakterialis.

III Pada umumnya lemah, aktivitas di tempat


tidur kurang dari 50%
12

a. Berat badan menurun > 10%.

b. Diare kronis yang berlangsung


lebih dari 1 bulan.

c. Demam berkepanjangan lebih dari


1 bulan.

d. Kandidiasis orofaringeal.

e. Oral hairy leukoplakia.

f. TB paru dalam tahun terakhir.

g. Infeksi bakterial yang berat seperti


pneumonia dan piomiositish.

IV Pada umumnya sangat lemah, aktivitas di


tempat tidur lebih dari 50%

a. HIV wasting sydrome seperti yang


didefinisikan oleh CDC.

b. Pneumonia Pneumonia carinii.

c. Toksoplasmosis otak.

d. Diare kriptokosis ekstrapulmonal


lebih dari 1 bulan.

e. Kriptokokosis ekstrapulmonal.

f. Renitis virus sitomegalo.

g. Herpes simplex mukotan > 1


bulan

h. Leukoensefalopati multifokal
progresf.

i. Mikosis diseminata seperti


histoplasmosis.

j. Kandidiasis di esophagus, trakea,


bronkus, dan paru.

k. Mikobakterius atipikal diseminata

l. Septisemia salmonelosis
nontifoid.
13

m. Tuberkulosis di luar paru.

n. Limfoma

o. Sarkoma kaposi.

p. Ensefalopati HIV**

Keterangan tabel mengenai gangguan klinis lain yang diakibatkan oleh HIV
adalah:

a. HIV wasting sydrome

Berat badan turun lebih dari 10% ditambah diare kronis lebih dari 1 bulan
atau demam lebih dari satu bulan yang tidak disebabkan oleh penyakit
lain.

b. Ensefalopati

Gangguan kognitif dan atau disfungsi motorik yang menggangu aktivitas


hidup sehari-hari dan bertambah buruk dalam beberapa minggu atau satu
bulan yang tidak disertai penyakit penyerta lain selain HIV.

2. Diagnostik HIV pada bayi


Penyebaran virus HIV / AIDS disejumlah provinsi ditanah air dalam
beberaoa tahun terakhir telah memasuki populasi umum, yakni kaum ibu
dan bayi. Setiap hari, hampir 1800 bayi didunia telah terinfeksi HIV.
Diindonesia, jika tanpa intervensi diperkirakan 3000 bayi lahir dengan
HIV pertahun. Biasanya bayi dam terinfeksi HIV melalui :
a. Penularan dari ibu kepada anak
1) Dari ibu kepada anak dalam kandunganya ( anterpartum)
2) Selama persalinan ( intrapartum)
3) Bayi baru lahir terpajan oleh cairan tubuh ibu yang terinfeksi (
postpartum)
4) Bayi tertular melalui pemberian ASI
b. Penularan melalui darah
1) Transfusi darah atau produk darah yang tercear HIV
2) Penggunaan alat yang tidak steril disarana pelayanan kesehatan
14

3) Penggunaan alat yang tidak steril disarana pelayan kesehatan


tradisional misalnya tindik, sirkumsisi, dll.
c. Penularan melalui hubungan seks
1) Pelecehan seksual pada anak
2) Pelacuran anak

Bayi yang tertular HIV dari ibu bisa saja tampak normal secara klinis
selama peridoe neonatal. Penyakit penanda AIDS tersering ditemukan
pada anak adala pneumonia yang disebabkan Pneumocyti carinii. Gejala
umum yang ditemukan pada bayi denga infeksi HIV adalah gangguan
tumbuh kembang, kandidiasi oral, diare kronis, atau hepatosplenomegali
(pembesaan hepar dan lien).

Mengingat antibodi ibu bisa dideteksi pada bayi sampai bayi


beusia 18 bulan, maka tes ELISA dan Western Blot akan positif meskipun
bayi tidak terinfeksi HIV karena tes ini berdasarkan ada atau tidaknya
antibodi terhadap virus HIV. Tes paling spesifik untuk mengidentifikasi
HIV adalah PCR untuk DNA HIV. Kultu HIV yang poitif juga
menunjukan pasien terinfeksi HIV. Untuk pemeriksaan PCR pada dua saat
berlaina. DNA PCR pertama diambil saat bayi berusia 1 bulam karena tes
ini kurang sensitif selam periode satu bukan setelah lahir. CDC
merekomendasikan pemeriksaan DNA PCR setidaknya diulang pada saat
bayi berusia empat bulan. Jika tes ini negatif, maka bayi terinfeksi HIV.
Tetapi bila bayi tersebut mendapatkan ASI maka bayi berisiko tertular HIV
sehingga tes PCR perlu diulang diulang setelah bayi disapih. Pada usia 18
bulan, pemeriksaan ELISA bisa dilakukan pada bayi bila tidak tersedia
saran pemeriksaan lain.

3. Diagnosis HIV pada anak


Anak anak berusia lebih dari 18 bulan didiagnosis dengan
menggunakan kombinasi antara gejala klinis dan pemeriksaan
laboratorium. Anak dengan HIV sering mengalami infeksi bakteri kambuh
kambuhan, gagal tumbuh atau wasting, limfadenopati menetap,
keterlambatan berkembang, sariawan pada mulut dan faring. Anak usia
lebih dari 18 bulan bisa didiagnosis dengan ELISA dan tes konfirmasi lain
15

seperti pada orang dewasa. Terdapat dua klasifikasi yang bisa digunakan
untuk mendiagnosis bayi dan anak dengan HIV yaitu menurut CDC dan
WHO.
a. Klaifikasi CDC
CDC mengembangkan klasifikai HIV pada bayi dan anak berdasarkan
hitungan limfosit CD4+ dan manifestasika klinis penyakit. Pasien
dikategorikan berdasarkan derajat omunosuprei ( 1, 2 atau 3) dan kategori
klinis ( N, A, B, C, A) klasifikasi ini memungkinkan adanya surveinlas
serta perawatan pasien yang lebih baik. Pada klasifikasi pediatri, kategori
E berarti bayi terinfeksi HIV secara vertikal dari ibu, tapi statusnya masih
belum jelas. Bila jumlah limfosit CD4 + tidak ada tanda tanda infeksi
HIV, maka bayi dan anak tersebut diklasifikasikan dalam N1.
Anak yang masuk dalam kategori C diklasifikasikan dalam AIDS.
Penyakit paru seperti limfoid intertitial pneumonitis ( LIP) dan pulmonary
lymphoid hyprerplasia (PLH) menandakan bahwa si anak telah teinfeksi
AIDS, tetapi bukan pada orang dewasa. Kedua penyakit ini
diklasifikasikan CDC dalam kategori B. Beberapa penyakit lain seperti
virus sitomegalo. Herpes simplex dan toksoplasmosis otak hanya
menunjukan AIDS pada anak usia lebih dari satu bukan dan orang dewasa.
Klasifikasi klinis dan imunologi ini bersifat eksklusif, sekali pasien
diklasifikasikan dala suatu kategori, maka klasifikasi ini tidak berubah
meskipun diklasifikasikan dalam suatu kategori, maka klasifikasi ini tidak
berubah meskipun telah terjadi perbaikan status karena pemberian terapi
atau faktor lain. Seorang bayi yang terinfeksi HIV dari ibunya
dikategorikan salam status E, status ini menjadi awalan untuk kode
klasifikasi yang sesuai (misalnya EN1).

Tabel 3.4 : Klasifikasi HIV pada pediatri 1994 kategori imonologi


berdasarkan usia, CD4 dan Presentasinya.

Kategori <12 bulan 1 -5 tahun 6 12 tahun


umum No/mm3 (%) No/mm3 (%) No/mm3 (%)
Kategori 1 : 1500 (25%) 1000 (25%) 500 (25%
tidak ada )
supresi
Kategori 2 : 750 (15- 500-999 (15- 200-499 (15-
supresi sedang 1499 24%) 24%) 24%)
16

Kategori 3 : < 750 (15%) <500 (<15%) <200 (<15%


supresi berat )

Kategori N : Gejala Ringan


Anak yang tidak mempunyai tanda dan gejala sebagai akibat terinfeksi HIV atau
hanya mempunyai satu keadaan yan terdapat pada kategori A.
Kategori A : gejala sedang
Anak dengan 2 atau leih kriteria dibawah ini tetapi tidak menunjukan adanya
kondisi yang tertera pada kategori B dan C :
a) Limfadenopati (0,5 cm) atau lebih pada 2 lokasi )
b) Hepatomegali
c) Splenomegali
d) Dermatitis
e) Parotitis
f) Infeksi pernapasan bagian atas menetap atau berulang , sinusitis, atau otitis
media
Kategori B : gejala sedang
Anak dengan gejala selain daripada yang terasa pada kategori A atau C yang
menunjukan adanya infeksi HIV, contohnya adalah sebagai berikut:
a) Anemia (<8g/dll), neutopenia (<1000.mm3), atau trombositopenia
(100.000/ mm3) menetap >30 hari.
b) Meningitis bakterial, pneumnia atau sepsis (episode tunngal)
c) Kandidiasis orofaringeal yang menetap (>2 bulan) pada anak usia >6 bulan
d) Kardiomiopati
e) Infeksi virus sitomegalo yang muncul sebelum usia satu bulan
f) Diare kronis atau berulang
g) Hepaitis
h) Stomatisis virus herpes simpelex berulang (> 2 episode dalam 1 tahun)
i) Bronkitis, pneumonitis atau esofagitis HSV yang muncul sebelum umur 1
bulan
j) Terserang Herpes zoster sampai 2 kali atau menyerang lebih dari 1
dermatom
k) Leiomiosarkoma
17

l) Pneumonia intersitial limfoid atau lymphoid hyperplasia complex


m) Nefropati
n) Norkardiosis
o) Demam ebih dari 1 bulan, toksoplasmosis yang muncul sebelum usia 1
bulan
p) Varisela Berat.
Kategori C : Gejala berat
Anak yang menunjukan gejala seperti yang tertera pada definisi kasu HIV, kecuali
pneumionia interstitial limfoid ( masuk kategori B)
a) Infeksi bakteri berat, sering atau kambuh kambuhan
b) Kandidiasis esofagus atau paru ( bronkusm trakeal dan paru)
c) Coccodiomicos, diluar paru
d) Cryptosporidiosi atau isosporiasis denga diare lebih dari 1 bulan
e) Penyakit sitomegali virus yang muncul pada usia >1bulan.
f) Ensepalopati
g) Histoplasmosis berat
h) Sarkoma kaposi
i) Limfoma, terutama di otak
j) Limfoma burkitt
k) Tuberkulosis
l) Spesies mikobakterium yang lain ( pada kulit, servikal, pembuluh limfa )
m) Kompleks Mycobakterium avium atau Micobakterium kansasii
n) Penumonia akibat Pneumcytis carinii
o) Leukoensefalopati multifokal progersif
p) Salmonella (nontyphoid)yang sering kambuh
q) Tokosplasmosis otak yang muncul pada usia > 1 bulan
r) Wasting syndrome:penurunan BB >10% BB menurun setidaknya 2
persentil kurva BB, <persentil ke 5 pada kurva tinggi badan disertai diare (
sedikitnya buang air besar 2 kali sehari selama >30 hari) demam >30 hari
terus menerus.

b. Klasifikasi WHO
18

WHO mengembangkan diagnosis HIV hanya berdasarkan penyakit klinis


dengan mengelompokan tanda dan gejala dalam kriteria mayor dan minor.
Seorang anak yang mempunyai 2 gejala mayor dan 2 gejala minor bisa
didiagnosis HIV meskipun tanpa pemeriksaan ELISA atau tes laboratorium
lain. Beberapa negara seperti swiss memodifikasi kriteria ini menjadi 2 gejala
mayor dansatu gejala minor atau 3 gejala minor dengan faktor resiko/paparan
HIV.
Berikut ini adalah tanda-tanda gejala mayor dan minor untuk
mendiagnosis HIV berdasarkan Klasifikasi WHO
Gejala mayor :
a) Gagal tumbuh atau penurunan berat badan
b) Diare kronis
c) Demam memanjang tanpa sebab
d) Tuberkolosis
Gejala minor
a) Limfadenopati generalisata
b) Kandidiasis oral
c) Batuk menetap
d) Distress pernapasan/pneumonia
e) Infeksi berulang
f) Infeksi kulit generalisata

Limfosit CD4+ pada anak anak


Anak yang terinfeksi HIV sering menderita penyakit yang parah saat
pertama kali dievaluasi, ada juga kemungkinan bahwa HIV tersebut telah
berkembang menjadi AIDS. Hal yang sama juga terjadi pada orang dewasa. Pada
bayi dan anak anak, normalnya nilai lomfosit CD4 + lebih tinggi daripada orang
dewasa, tapi nilai pada orang dewasa saat anak telah mencapai usia 6 tahun.
CDC telah mengembangkan sistem untuj mengklasifikasika HIV pada
anak. Klasifikasik ini berdasarkan kategori klinis dan imunologis (Tabel 3.5 dan
3.6). kategori klinis dan imonologis ini dapat digunakan untuk mengevaluasi
status HIVpada anak anak dan untuk menetukan pengobatan yang tepat.
19

Tabel 3.5 Sistem klasifikasi kategori klinis dan imunologi HIV pada
remaja/dewasa

Kategori umum Kategori klinis Kategori klinis Kategori klinis


A B C
1. 500 sel/l A1 B1 C1
2. 200-499 A2 B2 C2
sel/l
3. < 200 sel/l A3 B3 C3

Salah satu kategori klinis yang dikombinasikan dengan kategori imun diklasifikasi
sebagai AIDS; salah satu kategori imun yang di kombinasikan dengan kategori
klinis C di klasifikasikan sebagai AIDS.
Tabel 3.6 sistem klasifikasi kategori imunologi pada anak-anak usia 12 tahun

Kategori umum < 12 bulan Anak usia 1-5 Anak usia 6-12
tahun tahun
Kategori 1: >1500/L (25%) >1000/L (25%) >500/L (25%)
No supresion
Kategori 2: 750-1499/L (15- 500-999/L (15- 200-499/L (15-
Mild supresion 25%) 24%) 24%)
Kategori 3: <750/L (<15%) <500/L (<15%) <200/L (<15%)
Severe supresion
Sumber: CDC, (1994)

Untuk semua sistem klasifikasi kategori klinis pada anak-anak dibawah usia 13
tahun dapat dilihat pada tabel di bawah ini:
Tabel 3.7 Sistem Klasifikasi kategori klinis HIV pada anak-anak

Kategori Imunogis N : No A : Mild B : Moderate C : Severe


Signs Signs signs Signs
Or Or Or Or
Symtomsa Symtomsb Symptomsc Symptomsd
No imunosupression N1 A1 B1 C1
Moderate Supresion N2 A2 B2 C2
Suvere N3 A3 B3 C3
Imunosupression
a
Tanpa tanda dan gejala atau hanya salah satu dalam kategori A
b
Dua atau lebih dari berikut ini: limfadenopati, hepatomegali, splenomegali,
dermatitis, parotitis, infeksi saluran pernafasan atas atau sinusitis, otitis media
20

c
Kondisi simptomatik yang tidak masuk dalam kategori A maupun C.
d
AIDS dengan perkecualian dari LIP yaitu bagi yang masih di kategori B.

BAB 3
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Pada umumnya, penanganan pasien HIV memerlukan tindakan yang
hampir sama. Namun berdasarkan fakta klinis saat pasien control ke rumah
sakit menunjukkan adanya perbedaan respon imunitas (CD4). Hal tersebut
21

menunjukkan terdapat factor lain yang berpengaruh, dan factor yang diduga
sangat berpengaruh adalah stress.
Tes skrining yang digunakan untuk mendiagnostikan HIV adalah ELISA.
Untuk mengidentifikasi antibodi terhadap HIV, tes ELISA sangat sensitif, tapi
tidak selalu spesifik, karena penyakit lain bisa juga menunjukan hasil postif.
Beberapa penyakit yang bisa menyebabkan false positif, antara lain adalah
penyakit autonomi, infeksi virus, atau keganasan hematonologi. Kehamilan
juga bisa menyebabkan false positif. Tes yang lain biasanya digunakan untuk
mengkonfirmasi hasil ELISA, antara lain Western Blot (WB), indirect
immunoflueresence assay(IFA) ataupun radio-immuno-precipitation assay
(RIPA).

3.2 Saran
Diharapkan ini bisa memberikan masukan bagi rekan-rekan mahasiswa calon
perawat, sebagai bekal untuk dapat memahami mengenai konsep dasar HIV /
AIDS.

20

Anda mungkin juga menyukai