MKPB Massal1
MKPB Massal1
PENDAHULUAN
Seperti kita ketahui bahwa bencana merupakan kejadian yang mendadak, tidak
terduga dan dapat terjadi pada siapa saja, dimana saja, kapan saja serta mengakibatkan
kerusakan dan kerugian harata benda, korban manusia yang relative besar baik mati
maupun cedera.
Bencana dapat disebabkan karena alamiah seperti gunung meletus, banjir, tanah
longsor atau karena kesalahan manusia. Beberapa hal yang diakibatkan oleh kesalahan
manusia antara lain karena kelalaian yaitu kecelakaan lalu lintas udara, laut dan darat,
serta kebakaran dan runtuhnya gedung. Adapula bencana yang sengaja dilakukan oleh
manusia antara lain peledakan bom oleh teroris, pembakaran serta kerusuhan.
Beberapa macam bencana yang telah terjadi antara lain bencana alam, kecelakaan
lalu lintas darat, udara dan laut serta bom semuanya mengakibatkan banyak korban yang
meninggal. Identifikasi Korban Massal sangat penting mengingat kepastian seseorang
hidup dan mati sangat diperlukan untuk kepentingan hukum yang berkaitan dengan
Asuransi, Pensiun, Warisan, dan lain-lain.
Penanganan korban mati pada bencana selama ini belum mendapat perhatian yang
serius, penuh tantangan serta memerlukan dana, sarana dan prasarana yang cukup mahal
serta dibutuhkan profesionalisme dari para petugas yang menangani hal tersebut.
Selain itu terbatasnya sumber daya manusia yang menangani korban mati baik
dalam kuantitas maupun kualitas memerlukan perhatian khusus agar dapat memenuhi
kebutuhan saat ini.
1
material, disamping rusaknya lingkungan serta hasil-hasil pembangunan yang telah
dengan susah payah diusahakan.
Adanya korban penderita masal dari semua kejadian diatas, mulai dari yang ringan
sampai kepada yang terberat yakni korban meninggal membawa dampak yang tidak ringan
terhadap rumah sakit sebagai unsur kesehatan yang akan memberikan pertolongan medik
kepada korban. Karena biasanya terdapat ketidak seimbangan antara kejadian dan fasilitas
pertolongan, serta kapasitas daya tampung rumah sakit saat ini yang serba terbatas..
1.3 Tujuan
2
7. Untuk mengetahui Tindakan dan evakuasi medik korban massal
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Definisi
Bencana adalah Peristiwa atau rangkaian peristiwayang disebabkan oleh alam
atau manusiayang mengakibatkan korban danpenderitaan manusia, kerugian harta
benda,kerusakan lingkungan, kerusakan saranadan prasarana umum serta
menimbulkangangguan terhadap tata kehidupan danpenghidupan masyarakat dan
pembangunan nasional yang memerlukanbantuan dan pertolongan secara khus
Peristiwa atau rangkaian peristiwayang disebabkan oleh alam atau manusiayang
mengakibatkan korban danpenderitaan manusia, kerugian harta benda,kerusakan
lingkungan, kerusakan saranadan prasarana umum serta menimbulkangangguan terhadap
tata kehidupan danpenghidupan masyarakat danpembangunan nasional yang
memerlukanbantuan dan pertolongan secara khusus
Korban akibat kejadian dengan jumlah relatif banyak oleh karena sebabyang sama
dan perlu mendapatkanpertolongan kesehatan segera denganmenggunakan sarana,
fasilitas dan tenagayang lebih dari yang tersedia sehari-hari.
2.2 Penyebab
1. Alam : seperti : banjir, gempa bumi,tsunami dan lain sebagainya.
2. Teknologi : seperti : tabrakan kereta api,rubuhnya gedung dan lainsebagainya.
3. Konflik : seperti : konflik antar etnis,terorisme dan lain sebagainya
3
1. Merupakan bagian dari aktivitas yangbertujuan untuk
a. Memastikan tanda bahaya
b. Evaluasi besarnya maslaah
c. Memastikan sumber daya yang ada memperoleh dan dilakukan mobilisasi
2. Mencakup peringatan awal, penilaian situasi,dan penyebaran pesan siaga.
3. Inti dari proses penyiagaan adalah pusatkomunikasi
4
2.9 Triase
Triase adalah proses khusus memilah pasien berdasar beratnya cedera atau
penyakit (berdasarkan yang paling mungkin akan mengalami perburukan klinis segera)
untuk menentukan prioritas perawatan gawat darurat medik serta prioritas transportasi
(berdasarkan ketersediaan sarana untuk tindakan). Artinya memilih berdasar prioritas atau
penyebab ancaman hidup. Tindakan ini berdasarkan prioritas ABCDE yang merupakan
proses yang sinambung sepanjang pengelolaan gawat darurat medik. Proses triase inisial
harus dilakukan oleh petugas pertama yang tiba / berada ditempat dan tindakan ini harus
dinilai ulang terus menerus karena status triase pasien dapat berubah. Bila kondisi
memburuk atau membaik, lakukan retriase.
Triase harus mencatat tanda vital, perjalanan penyakit pra RS, mekanisme cedera,
usia, dan keadaan yang diketahui atau diduga membawa maut. Temuan yang
mengharuskan peningkatan pelayanan antaranya cedera multipel, usia ekstrim, cedera
neurologis berat, tanda vital tidak stabil, dan kelainan jatung-paru yang diderita
sebelumnya. Survei primer membantu menentukan kasus mana yang harus diutamakan
dalam satu kelompok triase (misal pasien obstruksi jalan nafas dapat perhatian lebih
dibanding amputasi traumatik yang stabil). Di UGD, disaat menilai pasien, saat
bersamaan juga dilakukan tindakan diagnostik, hingga waktu yang diperlukan untuk
menilai dan menstabilkan pasien berkurang.
Di institusi kecil, pra RS, atau bencana, sumber daya dan tenaga tidak memadai
hingga berpengaruh pada sistem triase. Tujuan triase berubah menjadi bagaimana
memaksimalkan jumlah pasien yang bisa diselamatkan sesuai dengan kondisi. Proses ini
berakibat pasien cedera serius harus diabaikan hingga pasien yang kurang kritis
distabilkan. Triase dalam keterbatasan sumber daya sulit dilaksanakan dengan baik. Saat
ini tidak ada standard nasional baku untuk triase. Metode triase yang dianjurkan bisa
secara METTAG (Triage tagging system) atau sistim triase Penuntun Lapangan START
(Simple Triage And Rapid Transportation). Terbatasnya tenaga dan sarana transportasi
saat bencana mengakibatkan kombinasi keduanya lebih layak digunakan.
1. Tag Triase
Tag (label berwarna dengan form data pasien) yang dipakai oleh petugas triase
untuk mengindentifikasi dan mencatat kondisi dan tindakan medik terhadap korban.
b. Prioritas Pertama (Merah) : Pasien cedera berat yang memerlukan penilaian cepat
serta tindakan medik dan transport segera untuk tetap hidup (misal : gagal nafas,
cedera torako-abdominal, cedera kepala atau maksilo-fasial berat, shok atau
perdarahan berat, luka bakar berat).
d. Prioritas Ketiga (Hijau) : Pasien degan cedera minor yang tidak membutuhkan
stabilisasi segera, memerlukan bantuan pertama sederhana namun memerlukan
penilaian ulang berkala (cedera jaringan lunak, fraktura dan dislokasi
ekstremitas, cedera maksilo-fasial tanpa gangguan jalan nafas, serta gawat
darurat psikologis).
Sebagian protokol yang kurang praktis membedakakan prioritas 0 sebagai
Prioritas Keempat (Biru) yaitu kelompok korban dengan cedera atau penyaki
kritis dan berpotensi fatal yang berarti tidak memerlukan tindakan dan
transportasi, dan Prioritas Kelima (Putih)yaitu kelompok yang sudah pasti tewas.
Bila pada Retriase ditemukan perubahan kelas, ganti tag / label yang sesuai dan
pindahkan kekelompok sesuai.
Berupa penilaian pasien 60 detik dengan mengamati ventilasi, perfusi, dan status
mental (RPM : R= status Respirasi ; P = status Perfusi ; M = status Mental) untuk
6
memastikan kelompok korban (lazimnya juga dengan tagging) yang memerlukan
transport segera atau tidak, atau yang tidak mungkin diselamatkan atau mati. Ini
memungkinkan penolong secara cepat mengidentifikasikan korban yang dengan
risiko besar akan kematian segera atau apakah tidak memerlukan transport segera.
Resusitasi diambulans.
Sistim METTAG atau sistim tagging dengan kode warna yang sejenis bisa
digunakan sebagai bagian dari Penuntun Lapangan START. Resusitasi di
ambulans atau di Area Tindakan Utama sesuai keadaan.
Bila jumlah korban serta parahnya cedera tidak melebihi kemampuan pusat
pelayanan, pasien dengan masalah mengancam jiwa dan cedera sistem berganda
ditindak lebih dulu. Bila jumlah korban serta parahnya cedera melebihi
kemampuan *) dst dibawah algoritma
2.12 Perimeter
Perimeter Terluar. Mengontrol kegiatan keluar masuk lokasi. Petugas keamanan
mengatur perimeter sekitar lokasi untuk mencegah masyarakat dan kendaraan masuk
kedaerah berbahaya. Perimeter seluas mungkin untuk mencegah yang tidak
berkepentingan masuk dan memudahkan kendaraan gawat darurat masuk dan keluar.
9
salah menempatkan atau memindahkan pasien secara tidak aman tanpa izin. Faktor lain
yang mempengaruhi kemantapan Zona Panas antaranya lontaran material, api, jalur
listrik, bangunan atau kendaraan yang tidak stabil atau berbahaya.
2.13 Keamanan.
Mengamankan penolong dan korban. Petugas keamanan mengatur semua
kegiatan dalam keadaan aman bagi petugas rescue, pemadaman api, evakuasi, bahan
berbahaya dll. Bila petugas keamanan melihat keadaan berpotensi bahaya yang bisa
membunuh penolong atau korban, ia punya wewenang menghentikan atau merubah
operasi untuk mecegah risiko lebih lanjut.
Semua anggota Tim Tanggap Pertama dapat bekerja bersama secara cepat dan
efektif dibawah satu sistem komando yang digunakan dan dimengerti, untuk
menyelamatkan hidup, untuk meminimalkan risiko cedera serta kerusakan.
2.14 Penilaian awal.
Penilaian awal mencakup protokol persiapan, triase, survei primer, resusitasi-
stabilisasi, survei sekunder dan tindakan definitif atau transfer ke RS sesuai.
Diagnostik absolut tidak dibutuhkan untuk menindak keadaan klinis kritis yang
diketakui pada awal proses. Bila tenaga terbatas jangan lakukan urutan langkah-
langkah survei primer. Kondisi pengancam jiwa diutamakan.
10
perkusi dada yang hipperresonans atau pekak, dan tampaknya instabilitas dinding dada
atau adanya defek yang mengganggu pernafasan. Tindakan bisa mulai pemberian oksigen
hingga pemasangan torakostomi pipa dan ventilasi mekanik. Nilai sirkulasi dengan
mencari hipovolemia, tamponade kardiak, sumber perdarahan eksternal.
Cedera spinal bisa diperiksa dengan mengamati gerak ekstremitas spontan dan usaha
bernafas spontan. Pupil yang tidak simetris dengan refleks cahaya terganggu atau hilang
serta adanya hemiparesis memerlukan tindakan atas herniasi otak dan hipertensi
intrakranial yang memerlukan konsultasi bedah saraf segera.
Tidak adanya gangguan kesadaran, adanya paraplegia atau kuadriplegia
menunjukkan cedera kord spinal hingga memerlukan kewaspadaan spinal dan pemberian
metilprednisolon bila masih 8 jam sejak cedera (kontroversial). Bila usaha inspirasi
terganggu atau diduga lesi tinggi kord leher, lakukan intubasi endotrakheal.
Tahap akhir survei primer adalah eksposur pasien dan mengontrol lingkungan segera
Buka seluruh pakaian untuk pemeriksaan lengkap. Pada saat yang sama mulai
tindakan pencegahan hipotermia yang iatrogenik biasa terjadi diruang ber AC, dengan
memberikan infus hangat, selimut, lampu pemanas, bila perlu selimut dengan pemanas.
Prosedur lain adalah tindakan monitoring dan diagnostik yang dilakukan bersama survei
primer. Pasang lead ECG dan monitor ventilator, segera pasang oksimeter denyut.
Monitor memberi data penuntun resusitasi. Setelah jalan nafas aman, pasang pipa
nasogastrik untuk dekompresi lambung serta mengurangi kemungkinan aspirasi cairan
lambung. Katater Foley kontraindikasi bila urethra cedera (darah pada meatus, ekimosis
skrotum / labia major, prostat terdorong keatas). Lakukan urethrogram untuk
menyingkirkan cedera urethral sebelum kateterisasi.
Resusitasi dan penilaian komprehensif
1. Fase Resusitasi.
Sepanjang survei primer, saat menegakkan diagnosis dan melakukan intervensi,
lanjutkan sampai kondisi pasien stabil, tindakan diagnosis sudah lengkap, dan
prosedur resusitatif serta tindakan bedah sudah selesai. Usaha ini termasuk
kedalamnya monitoring tanda vital, merawat jalan nafas serta bantuan pernafasan dan
oksigenasi bila perlu, serta memberikan resusitasi cairan atau produk darah.
Pasien dengan cedera multipel perlu beberapa liter kristaloid dalam 24 jam
untuk mempertahankan volume intravaskuler, perfusi jaringan dan organ vital, serta
keluaran urin. Berikan darah bila hipovolemia tidak terkontrol oleh cairan. Perdarahan
yang tidak terkontrol dengan penekanan dan pemberian produk darah, operasi. Titik
11
capai resusitasi adalah tanda vital normal, tidak ada lagi kehilangan darah, keluaran
urin normal 0,5-1 cc/kg/jam, dan tidak ada bukti disfungsi end-organ. Parameter
(kadar laktat darah, defisit basa pada gas darah arteri) bisa membantu.
12
hingga mobilisasi otogen cairan ekstravaskuler atau pemberian cairan resusitasi IV
dimulai.
Urinalisis dipstick untuk menyingkirkan hematuria tersembunyi. Skrining
urin untuk penyalahguna obat dan alkohol, serta glukosa, untuk mengetahui penyebab
penurunan kesadaran yang dapat diperbaiki. Pada kebanyakan trauma, elektrolit
serum, parameter koagulasi, hitung jenis darah, dan pemeriksaan laboratorium umum
lainnya kurang berguna saat 1-2 jam pertama dibanding setelah stabilisasi dan
resusitasi.
13
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Indonesia adalah super market bencana. Semua petugas medis bisa terlibat
dalam pengelolaan bencana. Semua petugas wajib melaksanakan Sistim Komando
Bencana dan berpegang pada SPGDT-S/B pada semua keadaan gawat darurat medis
baik dalam keadaan bencana atau sehari-hari. Semua petugas harus waspada dan
memiliki pengetahuan sempurna dalam peran khusus dan pertanggung-jawabannya
dalam usaha penyelamatan pasien.
Karena banyak keadaan bencana yang kompleks, dianjurkan bahwa semua
petugas harus berperan-serta dan menerima pelatihan tambahan dalam pengelolaan
bencana agar lebih terampil dan mampu saat bencana sebenarnya.
3.2 Saran
Pada saat terjadinya bencana biasanya begitu banyak pihak yang menaruh perhatian
dan mengulurkan tangan memberikan bantuan tenaga, moril maupun material.
Banyaknya bantuan yang datang sebenarnya merupakan sebuah keuntungan yang harus
dikelola dengan baik, agar setiap bantuan yang masuk dapat tepat guna, tepat sasaran,
tepat manfaat, dan terjadi efisiensi. Dengan demikian diharapkan pelaksanaan
manajemen logistik dan peralatan dapat berjalan secara efektif dan efisien dan
terkoordinasi dengan baik.
DAFTAR PUSTAKA
14
Dirjen Bina Yanmed Depkes RI. 2006. Sistem Penanggulangan Gawat Darurat Terpadu
(SPGDT). Jakarta : EGC.
Efendi,Ferry. 2009. Kesehatan Komunitas Teori dan praktik dalam keperawatan. Jakarta:
Salemba Medika.
15