Anda di halaman 1dari 41

REFORMASI PERS SKARANG

-Masa Orde Baru dan Era Reformasi


Pada masa pemerintahan Presiden Soekarno dan masa pemerintahan Presiden
Soeharto sangat dibatasi oleh kepentingan pemerintah. Pers dipaksa untuk memuat setiap
berita harus tidak boleh bertentangan dengan pemerintah, di era pemerintahan Soekarno dan
Soeharto, kebebasan pers ada, tetapi lebih terbatas untuk memperkuat status quo, ketimbang
guna membangun keseimbangan antarfungsi eksekutif, legislatif, yudikatif, dan kontrol
publik (termasuk pers). Karenanya, tidak mengherankan bila kebebasan pers saat itu lebih
tampak sebagai wujud kebebasan (bebasnya) pemerintah, dibanding bebasnya pengelola
media dan konsumen pers, untuk menentukan corak dan arah isi pers.
Bagi Indonesia sendiri, pengekangan pemerintah terhadap pers di mulai tahun 1846,
yaitu ketika pemerintah kolonial Belanda mengharuskan adanya surat izin atau sensor atas
penerbitan pers di Batavia, Semarang, dan Surabaya. Sejak itu pula, pendapat tentang
kebebasan pers terbelah. Satu pihak menolak adanya surat izin terbit, sensor, dan
pembredelan, namun di pihak lain mengatakan bahwa kontrol terhadap pers perlu dilakukan.
Sebagai contoh adanya pembatasan terhadap pers dengan adanya SIUPP (Surat Izin Usaha
Penerbitan Pers) sesuai dengan Permenpen 01/1984 Pasal 33h. Dengan definisi pers yang
bebas dan bertanggung jawab, SIUPP merupakan lembaga yang menerbitkan pers dan
pembredelan.
Terjadinya pembredelan Tempo, Detik, Editor pada 21 Juni 1994, mengisyaratkan
ketidakmampuan sistem hukum pers mengembangkan konsep pers yang bebas dan
bertanggungjawab secara hukum. Ini adalah contoh pers yang otoriter yang di kembangkan
pada rezim orde baru.
Tak ada demokrasi tanpa kebebasan berpendapat. Kebebasan berpendapat merupakan
salah satu hak paling mendasar dalam kehidupan bernegara. Sesuai Prinsip Hukum dan
Demokrasi, bahwa perlindungan hukum dan kepastian hukum dalam menegakkan hukum
perlu ada keterbukaan dan pelibatan peran serta masyarakat. Untuk itu, kebebasan pers, hak
wartawan dalam menjalankan fungsi mencari dan menyebarkan informasi harus dipenuhi,
dihormati, dan dilindungi. Hal ini sesuai dengan UUD 45 Pasal 28 tentang kebebasan
berserikat, berkumpul dan berpendapat.
Suatu pencerahan datang kepada kebebasan pers, setelah runtuhnya rezim Soeharto
pada tahun 1998. Pada saat itu rakyat menginginkan adanya reformasi pada segala bidang
baik ekonomi, sosial, budaya yang pada masa orde baru terbelenggu. Tumbuhnya pers pada
masa reformasi merupakan hal yang menguntungkan bagi masyarakat. Kehadiran pers saat
ini dianggap sudah mampu mengisi kekosongan ruang publik yang menjadi celah antara
penguasa dan rakyat. Dalam kerangka ini, pers telah memainkan peran sentral dengan
memasok dan menyebarluaskan informasi yang diperluaskan untuk penentuan sikap, dan
memfasilitasi pembentukan opini publik dalam rangka mencapai konsensus bersama atau
mengontrol kekuasaan penyelenggara negara.
Peran inilah yang selama ini telah dimainkan dengan baik oleh pers Indonesia.
Setidaknya, antusias responden terhadap peran pers dalam mendorong pembentukan opini
publik yang berkaitan dengan persoalan-persoalan bangsa selama ini mencerminkan
keberhasilan tersebut.
Setelah reformasi bergulir tahun 1998, pers Indonesia mengalami perubahan yang luar
biasa dalam mengekspresikan kebebasan. Fenomena itu ditandai dengan munculnya media-
media baru cetak dan elektronik dengan berbagai kemasan dan segmen. Keberanian pers
dalam mengkritik penguasa juga menjadi ciri baru pers Indonesia.
Pers yang bebas merupakan salah satu komponen yang paling esensial dari masyarakat yang
demokratis, sebagai prasyarat bagi perkembangan sosial dan ekonomi yang baik.
Keseimbangan antara kebebasan pers dengan tanggung jawab sosial menjadi sesuatu hal yang
penting. Hal yang pertama dan utama, perlu dijaga jangan sampai muncul ada tirani media
terhadap publik. Sampai pada konteks ini, publik harus tetap mendapatkan informasi yang
benar, dan bukan benar sekadar menurut media. Pers diharapkan memberikan berita harus
dengan se-objektif mungkin, hal ini berguna agar tidak terjadi ketimpangan antara rakyat
dengan pemimpinnya mengenai informasi tentang jalannya pemerintahan.
Sungguh ironi, dalam sistem politik yang relatif terbuka saat ini, pers Indonesia cenderung
memperlihatkan performa dan sikap yang dilematis. Di satu sisi, kebebasan yang diperoleh
seiring tumbangnya rezim Orde Baru membuat media massa Indonesia leluasa
mengembangkan isi pemberitaan. Namun, di sisi lain, kebebasan tersebut juga sering kali
tereksploitasi oleh sebagian industri media untuk mendapatkan keuntungan sebanyak-
banyaknya dengan mengabaikan fungsinya sebagai instrumen pendidik masyarakat. Bukan
hanya sekedar celah antara rakyat dengan pemimpin, tetapi pers diharapkan dapat
memberikan pendidikan untuk masyarakat agar dapat membentuk karakter bangsa yang
bermoral. Kebebasan pers dikeluhkan, digugat dan dikecam banyak pihak karena berubah
menjadi kebablasan pers. Hal itu jelas sekali terlihat pada media-media yang menyajikan
berita politik dan hiburan (seks). Media-media tersebut cenderung mengumbar berita
provokatif, sensasional, ataupun terjebak mengumbar kecabulan.
Ada hal lain yang harus diperhatikan oleh pers, yaitu dalam membuat informasi jangan
melecehkan masalah agama, ras, suku, dan kebudayaan lain, biarlah hal ini berkembang
sesuai dengan apa yang mereka yakini.
Sayangnya, berkembangnya kebebasan pers juga membawa pengaruh pada masuknya
liberalisasi ekonomi dan budaya ke dunia media massa, yang sering kali mengabaikan unsur
pendidikan. Arus liberalisasi yang menerpa pers, menyebabkan Liberalisasi ekonomi juga
makin mengesankan bahwa semua acara atau pemuatan rubrik di media massa sangat kental
dengan upaya komersialisasi. Sosok idealisme nyaris tidak tercermin dalam tampilan media
massa saat ini. Sebagai dampak dari komersialisasi yang berlebihan dalam media massa saat
ini, eksploitasi terhadap semua hal yang mampu membangkitkan minat orang untuk
menonton atau membaca pun menjadi sajian sehari-hari.
Ide tentang kebebasan pers yang kemudian menjadi sebuah akidah pelaku industri
pers di Indonesia. Ada dua pandangan besar mengenai kebebasan pers ini. Satu sisi, yaitu
berlandaskan pada pandangan naturalistik atau libertarian, dan pandangan teori tanggung
jawab sosial.
Menurut pandangan libertarian, semenjak lahir manusia memiliki hak-hak alamiah
yang tidak dapat diganggu gugat oleh siapa pun, termasuk oleh pemerintahan. Dengan asumsi
seperti ini, teori libertarian menganggap sensor sebagai kejahatan. Hal ini dilandaskan pada
tiga argumen. Pertama, sensor melanggar hak alamiah manusia untuk berekspresi secara
bebas. Kedua, sensor memungkinkan tiran mengukuhkan kekuasaannya dengan
mengorbankan kepentingan orang banyak. Ketiga, sensor menghalangi upaya pencarian
kebenaran. Untuk menemukan kebenaran, manusia membutuhkan akses terhadap informasi
dan gagasan, bukan hanya yang disodorkan kepadanya.
Kebebasan pers sekarang yang dipimpin presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan
Wakil Presiden Jusuf Kalla, negara dan bangsa kita membutuhkan kebebasan pers yang
bertanggung jawab (free and responsible press). Sebuah perpaduan ideal antara kebebasan
pers dan kesadaran pengelola media massa (insan pers), khususnya untuk tidak berbuat
semena-mena dengan kemampuan, kekuatan serta kekuasaan media massa (the power of the
press). Di bawah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Wakil Presiden Jusuf Kalla,
kebebasan pers Indonesia idealnya dibangun di atas landasan kebersamaan kepentingan
pengelola media, dan kepentingan target pelayanannya, tidak peduli apakah mereka itu
mewakili kepentingan negara (pemerintah), atau kepentingan rakyat.
Dalam kerangka kebersamaan kepentingan dimaksud, diharap aktualisasi kebebasan pers
nasional kita, tidak hanya akan memenuhi kepentingan sepihak, baik kepentingan pengelola
(sumber), maupun teratas pada pemenuhan kepentingan sasaran (publik media). Pers harus
tanggap terhadap situasi publik, karena ketidakberdayaan publik untuk mengapresiasikan
pendapatnya kepada pemimpin pers harus berperan sebagai fasilitator untuk dapat
mengapresiasikan apa yang diinginkan.

Reformasi
Pada massa reformasi, pers bebas tanpa batasan pembaruan izin. SIUPP dihapus
sejalan dengan Departemen Penerangan yang ditiadakan lagi. Dengan kebebasan pers yang
diberikan negara, pers berkembang pesat dari segi ekonomi maupun politik hingga mencapai
segementasi pasar kecil sekalipun.
Tidak adanya SIUPP berarti siapa saja bisa membuat sebuah media massa. Ajaran
keseimbangan antara kebebasan dengan tanggung jawab pers di era reformasi tercermin
didalam UU Pers. Dalam p[raktiknya oleh sebagian penerbitan pers justru kebebasan lebih
diutamakan dari pada tanggung jawabnya. Akibatnya ada sebagian penerbitan pe rs terjebak
dalam atribsi pers kuning (yellow pers), pers pop (popular pers) dan pers kebablasan.
Namun sebagian lagi tetap mengutamakan mutu jurnalistik.
Mengenai kebijakan media didalam sistem pers pada zaman reformasi sepenuhnya berada di
tangan pemilik media. Kebijakan komunikasi dan pemerintah lebih berupa imbauan kepada
media agar mematuhi rambu-rambu etika dan hukum yang berlaku.
Dalam sistem pers otoriter (Orde baru dan Orde Lama) keredaksian ditentukan oleh
pemerintah. Sedangkan kebijakan Redaksi harus sesuai dengan kebijakan komunikasi
pemerintah.
Fenomena pers bebas muncul semenjak keberadaan era reformasi dan terutama
semenjak berlakunya UU No 40 Tahun 1999 tentang pers. Baik secara tegas maupun secara
implisit semua konsep pers bebas itu terdapat didalam sejumlah undang-undang baru antara
lain, UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM dan UU No 40 Tahun 1999 tentang pers.
Dengan masuknya paradigma kebebasan pers yang sangat luas di Indonesia saat ini ternyata
muncul akses yang cukup besar bahkan rawan. Terjadi banyak pelanggaran terhadap UU Pers
dan terhadap kode etik jurnalistik baik oleh kalangan pers itu sendiri, maupun oleh
masyarakat.
Sistem Pers Indonesia
Berdasarkan filosofi model teori media oleh Ralph Lowenstein, tipe sistem pers
Indonesia adalah Social Libertarian. Tipe Social Libertarian adalah sistem dimana media
massa bebas, tetapi ada kontrol minimal dari pemerintah untuk menghilangkan hambatan
pada saluran komunikasi dan menjamin pelaksanaan semangat filosofi liberal. Yang
dimaksud dengan kontrol minimal dari pemerintah adalah, media massa memiliki kebebasan
mutlak sebagai media yang menjalankan fungsinya dengan benar (Media Informasi, kontrol
sosial, hiburan, pendidikan, kontrol politik), namun pemerintah membatasi dengan
berkedudukan sebagai filter / penyaring (Komisi Penyiaran Indonesia).
PEMBAHASAN

A. Pengertian Pers
Asal kata jurnalistik itu sendiri adalah Journal atau Du Jour yang berarti hari, di mana
segala berita atau warga sehari termuat dalam lembaran yang tercetak. Karenanya kemajuan
teknologi sehingga ditemukan alat percetakan surat kabar dengan sistem silinder (rotasi),
maka istilah pers muncul.
Secara etimologis, kata pers dalam bahasa Belanda, atau perssdalam bahasa Inggris,
berasal dari bahasa Latin, yaitu pressaredari kata premere yang berarti tekan atau
cetak. Dalam pengertian umum, hal ini sesuai dengan apa yang dikatakan I.Taufik dalam
bukunya Sejarah dan Perkembangan Pers di Indonesia.Menurutnya, pers adalah suatu alat
yang terdiri dari dua lembar besi atau baja yang di antara kedua lembar tersebut dapat
diletakkan suatu barang (kertas), sehingga apa yang hendak ditulis atau digambar akan
tampak pada kertas tersebut dengan cara menekannya.
Dalam Ensiklopedia Nasional Indonesia jilid 13 disebutkan bahwa pers memiliki dua
arti, yaitu arti luas da arti sempit. Dalam arti luas, pers adalah seluruh media baik elektronik
maupun cetak yang menyampaikan laporan dalam bentuk fakta, ulasan, laporan, dan gambar
kepada masyarakat luas secara regular. Dalam arti sempit, pers hanya terbatas media cetak
seperti surat kabar harian, surat kabar mingguan, bulletin dan majalah. Secara yuridis formal,
pengertian pers disebutkan dalam pasal 1 ayat (1) UU No.40 tahun 1999 tentang pers yang
menjelaskan bahwa pers adalah lembaga sosila dan wahana komunikasi massa yang
melakukan kegiatan jurnalistik meliputi mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan,
mengolah, dan menyampaikan informasi, baik dalam bentuk tulisan, gambar, suara, suara dan
gambar, data dan grafik maupun dalam bentuk lainnya dengan menggunakan media cetak,
elektronik, dan segala jenis jalur yang tersedia.

B.Fungsi Pers
Dalam bab II pasal 3 ayat (1) UU No. 40 Tahun 1999 Tentang Pers disebutkan bahwa
Pers mempunyai fungsi sebagai media informasi, pendidikan, hiburan, dan kontrol sosial.
Sedangkan pada ayat (2) disebutkan bahwa, Pers nasional dapat berfungsi sebagai lembaga
ekonomi. Empat fungsi pers secara lebih jelas sebagai berikut :
1. Informasi (to inform)
Fungsi Pers sebagai media informasi adalah sarana untuk menyampaikan informasi
secepatnya kepada masyarakat luas. Berbagai keinginan, aspirasi, pendapat, sikap,
perasaan manusia bisa disebarkan melalui pers. Penyampaian informasi tersebut dengan
ketentuan bahwa informasi yang disampaikan harus memenuhi kriteria dasar yaitu aktual,
akurat, faktual, menarik, penting benar, lengkap, jelas, jujur, adil, berimbang, relevan,
bermanfaat, dan etis.
2. Pendidikan (to educated)
Fungsi penidikan ini antara lain membedakan pers sebagai lembaga kemasyarakatan
dengan lembaga kemasyarakatan yang lain. Sebagai lembaga ekonomi, pers memang
dituntut berorientasi komersial untuk memperoleh keuntungan finansial.
Pers sebagai media pendidikan ini mencakup semua sektor kehidupan baik ekonomi,
politik, sosial, maupun budaya. Pers memiliki tanggung jawab besar dalam memberikan
pendidikan politik sehingga masyarakat memahami model Pilkada yang baru kali pertama
digelar.
3. Hiburan (to entertaint)
Sebagai media hiburan, pers harus mampu memerankan dirinya sebagai wahana rekreasi
yang menyenangkan sekaligus yang menyehatkan bagi semua lapisan masyarakat.
Hiburan disini bukan dalam arti menyajikan tulisan-tulisan atau informasi-informasi
mengenai jnis-jenis hiburan yang disenangi masyarakat. Akan tetapi menghibur dalam arti
menarik pembaca dengan menyuguhkan hal-hal yang ringan di antara sekian banyak
informasi berita yang berat dan serius.
4. Kontrol Sosial (Social control)
Pers sebagai alat kontrol sosial adalah menyampaikan (memberitakan) peristiwa buruk,
keadaan yang tidak pada tempatnya dan ihwal yang menyalahi aturan, supaya peristiwa
buruk tersebut tidak terulang lagi. Selain itu kesadaran berbuat baik serta mentaati
peraturan semakin inggi, Hal ini juga demin menegakkan kebenaran dan keadilan.
Dengan fungsi kontrol sosial yang dimilikinya tersebut pers disebut sebagai institusi sosial
yang tak pernah tidur.

C. Perkembangan Pers di Indonesia


1. Pers di Era Kolonial (tahun 1744 sampai awal abad 19)
Era kolonial memiliki batasan hingga akhir abad 19. Pada mulanya pemerintahan
kolonial Belanda menerbitkan surat kabar berbahsa belanda kemudian masyarakat
Indo Raya dan Cian juga menerbitkan suratkabar dalam bahasa Belanda, Cina dan
bahasa daerah. Dalam era ini dapat diketahui bahwa Bataviasche Nuvelles en politique
Raisonnementen yang terbit pada Agustus 1744 di Batavia (Jakarta) merupakan surat
kabar pertama di Indonesia. Namun pada Juni 1776 surat kabar ini dibredel. Sampai
pertengahan abad 19, setidaknya ada 30 surat kabar yang dterbitkan dalam bahasa
Belanda, 27 suratkabar berbahasa Indonesia dan satu surat kabar berbahasa Jawa.
2. Pers di masa Penjajahan Jepang (1942 - 1945)
Era ini berlangsung dari 1942 hingga 1945. orang-orang surat kabar (pers) Indonesia
banyak yang berjuang tidak dengan ketajaman penanya melainkan dengan jalan lain
seperti organisasi keagamaan , pendidikan dan politik. Hal ini menunjukkan bahwa di
masa Jepang pers Indonesia tertekan. Surat kabar yang beredar pada zaman penjajahan
Belanda dilarang beredar. Pada era ini pers Indonesia mengalami kemajuan dalam hal
teknis namun juga mulai diberlakukannya izin penerbitan pers.
Selain itu Jepang juga mendirikan Jawa Shinbun Kai dan cabang kantor berita Domei
dengan menggabungkan dua kantor berita yang ada di Indonesia yakni Aneta dan
Antara. Selama masa ini, terbit beberapa media (harian), yaitu: Asia Raya di Jakarta,
Sinar Baru di Semarang, Suara Asia di Surabaya, Tjahaya di Bandung
3. Pers dimasa Orde Lama atau Pers Terpimpin (1957 - 1965)
Lebih kurang 10 hari setelah Dekrit Presiden RI menyatakan kembali ke UUD 1945,
tindakan tekanan pers terus berlangsung, yaitu pembredelan terhadap kantor berita PIA
dan surat kabar Republik, Pedoman, Berita Indonesia, dan Sin Po dilakukan oleh
penguasa perang Jakarta. Hal ini tercermin dari pidato Menteri Muda Penerangan
Maladi dalam menyambut HUT Proklamasi Kemerdckaan RI ke-14, antara lain: Hak
kebebasan individu disesuaikan dengan hak kolektif seluruh bangsa dalam
melaksanakan kedaulatan rakyat. Hak berpikir, menyatakan pendapat, dan memperoleh
penghasilan sebagaimana dijamin UUD 1945 harus ada batasnya: keamanan negara,
kepentingan bangsa, moral dan kepribadian Indonesia, serta tanggung jawab kepada
Tuhan Yang Maha Esa.
Awal tahun 1960 penekanan kebebasan pers diawali dengan peringatan Menteri Muda
Maladi bahwa langkah-langkah tegas akan dilakukan terhadap surat kabar, majalah-
majalah, dan kantor-kantor berita yang tidak menaati peraturan yang diperlukan dalam
usaha menerbitkan pers nasional. Masih tahun 1960 penguasa perang mulai
mengenakan sanksi-sanksi perizinan terhadap pers.
Tahun 1964 kondisi kebebasan pers makin buruk: digambarkan oleh E.C. Smith
dengan mengutip dari Army Handbook bahwa Kementerian Penerangan dan badan-
badannya mengontrol semua kegiatan pers. Perubahan ada hampir tidak lebih sekedar
perubahan sumber wewenang, karena sensor tetap ketat dan dilakukan secara sepihak.
4. Pers di era demokrasi Pancasila dan Orde lama
Awal masa kepemimpinan pemerintahan Orde Baru bahwa akan membuang jauh-jauh
praktik demokrasi terpimpin dan mengganti demokrasi Pancasila. Pernyataan ini
membuat semua tokoh bangsa Indonesia menyambut dengan antusias sehingga lahirlah
istilah pers Pancasila.
Pemerintah Orde Baru sangat menekankan pentingnya pemahaman tentang pers
pancasila. Dalam rumusan Sidang Pleno XXV Dewan Pers (Desember 1984), pers
pancasila adalah pers Indonesia dalam arti pers yang orientasi, sikap dan tingkab
lakunya didasarkan nilai-nilai pancasila dan UUD45 Hakikat pers pancasila adalah
pers yang sehat, yakni pers yang bebas dan bertanggung jawab dalam menjalankan
fungsinya sebagai penyebar informasi yang benar dan objektif, penyalur aspirasi
rakyat dan kontrol sosial yang konstruktif.
Masa bulan madu antara pers dan pemerintah ketika dipermanis dengan keluarnya
Undang-Undang Pokok Pers (UUPP) Nomor II tahun 1966, yang dijamin tidak ada
sensor dan pembredelan, serta penegasan bahwa setiap warga negara mempunyai hak
untuk menerbitkan pers yang bersifat kolektif dan tidak diperlukan surat ijin terbit.
Kemesraan ini hanya berlangsung kurang lebih delapan tahun karena sejak terjadinya
Peristiwa Malari (Peristiwa Lima Belas Januari 1974), kebebasan pers mengalami
set-back (kembali seperti zaman Orde Lama).
5. Pers di masa pasca Reformasi
Pada tanggal 21 Mei 1998 orde baru tumbang dan mulailah era reformasi. Tuntutan
reformasi bergema ke semua sektor kehidupan, termasuk sektor kehidupan pers.
Selama rezim orde lama dan ditambah dengan 32 tahun di bawah rezim orde baru, pers
Indonesia tidak berdaya karena senantiasa ada di bawah bayang-bayang ancaman
pencabutah surat izin terbit.
Sejak masa reformasi tahun 1998, pers nasional kembali menikmati kebebasan pers.
Hal ini sejalan dengan alam reformasi, keterbukaan, dan demokrasi yang
diperjuangkan rakyat Indonesia. Akibatnya, awal reformasi banyak bermunculan
penerbitan pers atau koran, majalah, atau tabloid baru. Di Era reformasi pemerintah
mengeluarkan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan
Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang pers. Hal ini disambut gembira
dikalangan pers, karena tercatat beberapa kemajuan penting dibanding dengan undang-
undang sebelumnya, yaitu Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1982 tentang Pokok-
Pokok Pers (UUPP).
Dalam Undang-Undang ini, dengan tegas dijamin adanya kemerdekaan pers sebagai
hak asasi warga negara (pasal 4). Itulah sebabnya mengapa tidak lagi disinggung perlu
tidaknya surat ijin terbit, yaitu terhadap pers nasional tidak dikenakan penyensoran,
pembredelan, dan pelarangan penyiaran sebagaimana tercantum dalam pasal 4 ayat 2.

Pada masa reformasi, Undang-Undang tentang pers No. 40 1999, maka pers nasional
melaksanakan peranan sebagai berikut:
Memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui dan mendapatkan informasi.

Menegakkan nilai dasar demokrasi, mendorong terwujudnya supremasi hukum dan


hak asasi manusia, serta menghormati kebhinekaan.

Mengembangkan pendapat umum berdasar informasi yang tepat, akurat, dan benar.

Melakukan pengawasan, kritik, koreksi, dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan
dengan kepentingan umum.

Memperjuangkan keadilan dan kebenaran.

Dalam mempertanggungjawabkan pemberitaan di depan hukum, wartawan mempunyai hak


tolak. Tujuannya agar wartawan dapat melindungi sumber informasi, dengan cara menolak
menyebutkan identitas sumber informasi. Hal ini digunakan jika wartawan dimintai
keterangan pejabat penyidik atau dimintai mnejadi saksi di pengadilan.
KESIMPULAN

Media adalah suatu alat yang digunakan seseorang untuk menyampaikan informasi
kepada masyarakat luas. Media massa juga merupakan media yang selalu menjadi perhatian
masyarakat. kehidupan masyarakat pada masa sekarang ini hampir tidak pernah lepas dari
media massa baik itu televisi, Koran, radio, atau internet.
Keefektifan serta peranannya yang begitu hebat menjadikan media massa menjadi salah satu
komponen penting bagi pembentukan kepribadian masyarakat.
Pers pada masa penjajahan baik Jepang maupun Belanda, masih sedikit dan diawasi
dengan ketat oleh pihak penjajah itu sendiri. Pers pada masa demokrasi liberal dan demokrasi
terpimpin (orde lama) mulai menikmati kebebasan pers yang lebih luas namun pers pada
masa orde lama lebih cenderung digunakan sebagai sarana untuk menyiarkan kebijakan
pemerintah maupun partai oposisi. Pers pada masa orde baru mirip pada masa orde lama, dan
banyak terjadi pembredelan media cetak yang tidak sesuai dengan selera presiden pada
masa reformasi kegiatan jurnalisme telah dilindungi Undang-Undang Penyiaran dan Kode
etik pers, selain itu pers juga menjadi lebih terbuka dalam menyampaikan pemberitaan karena
tidak ada lagi ancaman pembredelan seperti dulu.

Sejarah Pers Indonesia


0
Posted on Januari 20, 2013
Sejarah Pers Indonesia
Dari zaman Hindia Belanda Hingga Zaman Revolusi
Orang tidak dapat membajangkan lagi sekarang, bagaimana sekiranja hidup kita ini, bilamana
tidak ada surat kabar. (Parada Harahap Kedudukan Pers Di Masjarakat 1951)

Dr. De Haan dalam bukunya, Oud Batavia (G. Kolf Batavia 1923), mengungkap secara
sekilas tentang awal mula dimulainya dunia persuratkabaran di Indonesia, bahwa sejak abad
17 di Batavia sudah terbit sejumlah koran dan surat kabar. Dikatakannya, bahwa pada tahun
1676 di Batavia telah terbit sebuah koran bernama Kort Bericht Eropa (berita singkat dari
Eropa). Koran yang memuat berbagai berita dari Polandia, Prancis, Jerman, Belanda,
Spanyol, Inggris, dan Denmark ini, dicetak di Batavia oleh Abraham Van den Eede tahun
1676. Setelah itu terbit pula Bataviase Nouvelles pada bulan Oktober 1744, Vendu Nieuws
pada tanggal 23 Mei 1780, sedangkan Bataviasche Koloniale Courant tercatat sebagai surat
kabar pertama yang terbit di Batavia tahun 1810.
Sejak abad 17 dunia pers di Eropa memang sudah mulai dirintis. Sekalipun masih sangat
sederhana, baik penampilan maupun mutu pemberitaannya, surat kabar dan majalah sudah
merupakan suatu kebutuhan bagi masyarakat di masa itu. Bahkan, para pengusaha di masa itu
telah meramalkan bahwa dunia pers di masa mendatang merupakan lahan bisnis yang
menjanjikan. Oleh karena itu, tidak heran apabila para pengusaha persuratkabaran serta para
kuli tinta asal Belanda sejak masa awal pemerintahan VOC, sudah berani membuka usaha
dalam bidang penerbitan koran dan surat kabar di Batavia.
Walaupun demikian, tujuan mereka bukan cuma sekadar untuk memperoleh keuntungan
uang. Namun, mereka telah menyadari bahwa media masa disamping sebagai alat penyampai
berita kepada para pembacanya dan menambah pengetahuan, juga punya peran penting dalam
menyuarakan isi hati pemerintah, kelompok tertentu, dan rakyat pada umumnya. Apalagi,
orang Belanda yang selalu mengutamakan betapa pentingnya arti dokumentasi, segala hal
ihwal dan kabar berita yang terjadi di negeri leluhurnya maupun di negeri jajahannya, selalu
disimpan untuk berbagai keperluan.
Dengan kata lain media masa dimasa itu telah dipandang sebagai alat pencatat atau
pendokumentasian segala peristiwa yang terjadi di negeri kita yang amat perlu diketahui oleh
pemerintah pusat di Nederland maupun di Nederlandsch Indie serta orang-orang Belanda
pada umumnya. Dan apabila kita membuka kembali arsip majalah dan persuratkabaran yang
terbit di Indonesia antara awal abad 20 sampai masuknya Tentara Jepang, bisa kita diketahui
bahwa betapa cermatnya orang Belanda dalam pendokumentasian ini.
Dalam majalah Indie, Nedelandch Indie Oud en Nieuw, Kromo Blanda, Djawa, berbagai
Verslagen (Laporan) dan masih banyak lagi, telah memuat aneka berita dari mulai politik,
ekonomi, sosial, sejarah, kebudayaan, seni tradisional (musik, seni rupa, sastra, bangunan,
percandian, dan lain-lain) serta seribu satu macam peristiwa penting lainnya yang terjadi di
Indonesia.

R. M. Tirtoadisuryo pelopor kebebasan pers


Sampai akhir abad ke-19, koran yang terbit di Batavia hanya memakai bahasa Belanda. Dan
para pembacanya tentu saja masyarakat yang mengerti bahasa tersebut. Karena surat kabar
dimasa itu diatur oleh pihak Binnenland Bestuur (penguasa dalam negeri), kabar beritanya
boleh dikata kurang seru dan kering. Yang diberitakan cuma hal-hal yang biasa dan ringan,
dari aktivitas pemerintah yang monoton, kehidupan para raja, dan sultan di Jawa, sampai
berita ekonomi dan kriminal.
Namun memasuki abad 20, tepatnya di tahun 1903, koran mulai menghangat. Masalahnya
soal politik dan perbedaan paham antara pemerintah dan masyarakat mulai diberitakan.
Parada Harahap, tokoh pers terkemuka, dalam bukunya Kedudukan Pers Dalam Masjarakat
(1951) menulis, bahwa zaman menghangatnya koran ini, akibat dari adanya dicentralisatie
wetgeving (aturan yang dipusatkan). Akibatnya beberapa kota besar di kawasan Hindia
Belanda menjadi kota yang berpemerintahan otonom sehingga ada para petinggi pemerintah,
yang dijamin oleh hak onschenbaarheid (tidak bisa dituntut), berani mengkritik dan
mengoreksi kebijakan atasannya.
Kritik semacam itu biasanya dilontarkan pada sidang-sidang umum yang diselenggarakan
oleh pemerintah pusat atau daerah. Kritik dan koreksi ini kemudian dimuat di berbagai surat
kabar dalam ruangan Verslaag (Laporan) agar diketahui masyarakat. Berita-berita Verslaag ini
tentu saja menjadi santapan empuk bagi para wartawan. Berita itu kemudian telah mereka
bumbui dan didramatisasi sedemikian rupa sehingga jadilah suatu berita sensasi yang
menggegerkan. Namun, cara membumbui berita Verslaag semacam ini, lama-kelamaan
menjadi hal biasa. Bahkan, cara-cara demikian akhirnya disukai oleh para pengelolanya
karena bisa mendatangkan keuntungan dan berita sensasi memang disukai pembacanya.
Para petinggi pemerintah yang kena kritik juga tidak merasa jatuh martabatnya. Bahkan, ada
yang mengubah sikapnya dan membuat kebijaksanaan baru yang menguntungkan penduduk.
Keberanian menyatakan saran dan kritik ini akhirnya menular ke masyarakat. Tidak sedikit
koran yang menyajikan ruangan surat pembaca yang menampung curhat atau aspirasi
tentang berbagai hal dari para pembacanya. Bahkan, setelah dibentuknya Volksraad (DPR
buatan Belanda) pada tahun 1916, kritik yang membahas soal politik mulai marak.
Dunia pers semakin menghangat ketika terbitnya Medan Prijaji pada tahun 1903, sebuah
surat kabar pertama yang dikelola kaum pribumi. Munculnya surat kabar ini bisa dikatakan
merupakan masa permulaan bangsa kita terjun dalam dunia pers yang berbau politik.
Pemerintah Belanda menyebutnya Inheemsche Pers (Pers Bumiputra). Pemimpin redaksinya
yakni R. M. Tirtoadisuryo yang dijuluki Nestor Jurnalistik ini menyadari bahwa surat kabar
adalah alat penting untuk menyuarakan aspirasi masyarakat. Dia boleh dikata merupakan
bangsa kita yang memelopori kebebasan
Pers kaum pribumi
Sikapnya ini telah memengaruhi surat kabar bangsa pribumi yang terbit sesudah itu. Hal ini
terbukti dari keberanian dia menulis kalimat yang tertera di bawah judul koran tersebut,
Orgaan bagi bangsa jang terperintah di Hindia Olanda tempat membuka suaranja. Kata
terperintah di atas konon telah membuka mata masyarakat, bahwa bangsa pribumi adalah
bangsa yang dijajah. Boleh jadi Tuan Tirto terinspirasi oleh kebebasan berbicara para
pembesar pemerintah tersebut di atas. Rupanya dia berpendapat, bahwa yang bebas buka
suara bukan beliau-beliau saja, namun juga rakyat jelata alias kaum pribumi.
Hadirnya Medan Prijaji telah disambut hangat oleh bangsa kita, terutama kaum pergerakan
yang mendambakan kebebasan mengeluarkan pendapat. Buktinya tidak lama kemudian
Tjokroaminoto dari Sarikat Islam telah menerbitkan harian Oetoesan Hindia. Nama
Samaun (golongan kiri) muncul dengan korannya yang namanya cukup revolusioner yakni
Api, Halilintar dan Nyala. Suwardi Suryaningrat alias Ki Hajar Dewantara juga telah
mengeluarkan koran dengan nama yang tidak kalah galaknya, yakni Guntur Bergerak dan
Hindia Bergerak. Sementara itu di Padangsidempuan, Parada Harahap membuat harian Benih
Merdeka dan Sinar Merdeka pada tahun 1918 dan 1922. Dan, Bung Karno pun tidak
ketinggalan pula telah memimpin harian Suara Rakyat Indonesia dan Sinar Merdeka di tahun
1926. Tercatat pula nama harian Sinar Hindia yang kemudian diganti menjadi Sinar
Indonesia.
Masa Penjajahan Belanda
Pada tanggal 7 Agustus tahun 1744 telah terbit surat kabar yang dicetak bernamaBataviasche
Nouvelles en Politique Raisonnementes yang sering dipendekkan menjadi Bataviasche
Nouvelles. Surat kabar ini terbit hanya 1 tahun. Sebenarnya pada tahun 1615 Gubernur
Jenderal pertama VOC Jan Piterszoon Coen telah memerintahkan menerbitkan Memorie der
Nouvelles . penerbitan ini tidak dicetak tetapi ditulis tangan.Memorie der Nouvelles tidak
hanya dibaca orang di Betawi saja tetapi juga merupakan bacaan tetap para pejabat Belanda
di Ambon terbitan ini bertahan sampai tahun 1644 .Tanggal 5 Januari 1810 Gubernur Jenderal
Daendels menerbitkan sebuah surat kabar mingguan Bataviasche Koloniale Courant yang
memuat tentang peraturan-peraturan tentang penempatan jumlah tenaga untuk tata buku, juru
cetak, kepala pesuruh dan lain-lain, harga langganan juga telah ditulis di terbitan tersebut.
Pada tahun 1811 saat Hindia Belanda menjadi jajahan Inggris Bataviasche Koloniale Courant
tidak terbit lagi. Orang Inggris menerbitkan Java Government Gazette. Surat kabar ini sudah
memuat humor dan terbit antara 29 Februari 1812 sampai 13 Agustus 1814. Hal ini
dikarenakan pulau Jawa dan Sumatera harus dikembalikan kepada Belanda.
Belanda kemudian menerbitkan De Bataviasche Courant dan kemudian tahun 1828 diganti
dengan Javasche Courant memuat berita-berita resmi , juga berita pelelangan, kutipan dari
surat kabar di Eropa. Pernah memuat sajak Multatuli ( Eduard Douwes Dekker ) pada tahun
1845 .
Bulan Juli 1835 di Surabaya terbit Soerabajaasch Advertentieblad. Kemudian di Semarang
pada pertengahan abad 19 terbit Semarangsche Advertentieblad dan De Semarangsche
Courant dan kemudian Het Semarangsche Niuews en Advertentieblad . Surat kabar ini
merupakan harian pertama yang mempunyai lampiran bahasa lain misal , Jawa, Cina dan juga
Arab yang ditulis dengan huruf Jawa, Cina dan Arab. Tahun 1862 untuk pertama kali dibuka
jalan kereta api oleh Pemerintah Hindia Belanda maka untuk menghormati hal tersebut Het
Semarangsche Niuews en Advertentieblad berganti nama menjadi de Locomotief .
Surat kabar pada waktu jaman penjajahan ini tidak banyak memiliki arti politis tetapi hanya
merupakan surat kabar periklanan , dan sedikit berita jumlah oplaag yang dicetak hanya
sekitar 1000 1200 eksemplar .
Terbitnya Koran Berbahasa Jawa & Melayu
Bagi Surakarta dan seluruh Indonesia , surat kabar berbahasa Jawa yang tertua
adalahBromartani yang terbit pada tanggal 21 Maret 1855 di Surakarta yang dipimpin oleh
Carel Frederick Winter Junior seorang pecinta dan Juru Bahasa Jawa di Kraton Surakarta
jumlah pelanggan Bromartani mencapai 320 orang . Setelah C.F Winter meninggal tahun
1859 para sahabatnya di Solo menerbitkan surat kabar Djoeroemartani tahun 1865 yang
kemudian pada tahun 1870 diubah namanya menjadi Bromartani untuk mengenang CF
Winter . Surat ini terbit sampai tahun 1932.
Berbagai surat kabar berbahasa Melayu yang terbit saat itu hampir semua diusahakan,
dimiliki oleh peranakan Belanda. Tetapi sejak tahun 1880 mulai terbit surat kabar yang
dikelola peranakan Cina Melayu Pemberita Betawi , Bintang Surabaya, Bintang Betawi.
Kemudian diawal tahun 1900-an muncul Li Po (1901) ,Chabar Perniagaan ( 1903 ) , Ik Po
( 1904 ) , Sin Po ( 1910 )
Setelah orang Belanda dan Cina menerbitkan surat kabar maka bulan Januari 1904 Haji
Samanhudi tertarik untuk berjuang bidang penerbitan bekerjasama dengan Raden Mas
Djokomono , kemudian terbitlah Medan Prijaji sebuah surat kabar yang disebut sebagai
tonggak jurnalistik Indonesia. Surat Kabar ini dipimpin oleh Raden Mas Djokomono yang
terkenal dengan nama RM Tirto Adhie Soeryo .
Gerakan kebangsaan pada waktu itu telah memanfaatkan media koran dan majalah untuk
mengungkapkan gagasan mereka , pers nasional mencerminkan kehidupan gerakan
kebangsaan dan sekaligus menyebarkan gagasan idealisme para founding father kita . Pers
Indonesia mengambil sikap oposisi pada pemerintah Belanda dan berjuang untuk kebebasan
masyarakat Indonesia dari belenggu penjajah.
Setelah Medan Prijaji maka terbit pula Darmo Kondho, Fikiran Rajat , Soeloeh Rajat
Indonesia di luar Jawa surat kabar yang juga menyebarkan gagasan yang sama
misalnyaPenghantar ( Ambon) , Sinar Borneo ( Banjarmasin ), Persatoean ( Kalimantan )
,Pewarta Deli, Matahari ( Medan ) , Sinar Sumatera ( Padang )
Masa Penjajahan Jepang
Sewaktu Jepang datang beberapa surat kabar masih bisa diterbitkan tetapi kemudian ada
peraturan semua surat kabar ditutup. Hanya dikota besar diperbolehkan ada surat kabar
diantaranya Asia Raya (Jakarta), Sinar Baroe (Semarang), Soeara Asia ( Surabaya ) ,Kita
Sumatera Shimbun (Medan), Atjeh Simbun (Kutaradja) . Pada waktu itu surat kabar Belanda
tidak boleh terbit, wartawannya ditangkap dan dipenjara. Kemudian kantor Berita Antara
dilebur dalam kantor berita Jepang Domei . Pemerintah pendudukan Jepang lalu menerbitkan
suratkabar dan sebangsanya untuk kepentingan Pemerintah Pendudukan Balatentara Jepang .
Salah satunya adalah majalah Djawa Baroe yang berisi tentang propaganda Jepang .
Pada masa penjajahan Jepang di Bandung terbit surat kabar Tjahaya yang dipimpin S.
Bratanata. Koran ini pada tanggal 18 Agustus 1945 sempat memuat Undang-undang Dasar
RI. Isi dan wajah koran Tjahaya berubah menunjukan wajah republikein seratus persen .
Setelah Indonesia merdeka dan Jepang kalah perang , Jepang menerbitkan koran yang hendak
menghalangi kelancaran roda pemerintahan Indonesia yaitu Berita Gunseikanbu . Kemudian
para pelajar Kenkoku Gakuin (semacam sekolah pangreh praja )menerbitkan koran Berita
Indonesia untuk menyaingi koran terbitan Jepang tersebut .
Masa Perjuangan Kemerdekaan Indonesia.
Ketika kemerdekaan Indonesia dikumandangkan surat kabar yang terbit pertama adalah koran
Berita Indonesia (6 September) koran ini terbit secara teratur , kemudian majalah Tentera ,
dan disusul surat kabar Merdeka yang dipimpin oleh BM Diah . Pemerintah Indonesia juga
tak mau ketinggalan menerbitkan Negara Baroe yang dipimpin Parada Harahap, yang
kemudian juga menerbitkan Soeara Oemoem tetapi hanya sebentar bertahan.
Awal Desember 1945 terbit majalah tengah bulanan Pantja Raya kemudian disusul majalah
dan surat kabar lain diantaranya : Pembangoenan (Sutan Takdir Alisyahbana ) , Siasat ,
Pedoman. Mimbar Indonesia.
Di daerah selain Jakarta juga terbit koran diantaranya : Menara Merdeka (Ternate),Soeara
Indonesia, Pedoman (Makasar) , Soeara Merdeka (Bandung) , Soeara Rakjat ( Surabaya) ,
Kedaulatan Rakyat , Nasional (Yogyakarta) .
Soeloeh Rakyat ( Semarang) , Pewarta Deli , Suluh Merdeka, Mimbar Umum ( Sumatera
Utara ) , Sumatera Baru ( Palembang) , Pedoman Kita , Demokrasi ,Oetosan Soematera
( Padang ) , Semangat Merdeka (Aceh). Selain itu Kantor BeritaAntara juga telah ikut
berperan mendukung perjuangan kemerdekaan Indonesia
Perjuangan para wartawan untuk ikut menegakkan kemerdekaan Indonesia pada waktu sangat
nyata. Dalam tekanan pemerintah Jepang yang tidak mau melepaskan Indonesia merdeka dan
Belanda yang membonceng Sekutu untuk kembali menancapkan kekuasaannya maka pers
Indonesia pada waktu itu berdiri dibelakang kaum republikeinmenyokong terus menyuarakan
kemerdekaan Indonesia sehingga orang menyebut pers republiken . Untuk menandingi
tulisan-tulisan yang termuat pada koran republikenBelanda membuat koran tandingan
diantaranya De Courant (Bandung), De Locomotief(Semarang) , Java Bode (Jakarta) .
Saat Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta terpaksa pindah ke Yogyakarta
dan kemudian Yogyakarta menjadi ibu kota Republik Indonesia para wartawan pun juga
banyak yang ikut pindah ke Yogyakarta .
Ketika ibukota Republik Indonesia di Yogyakarta itulah tanggal 9 Februari 1946 para
wartawan berkumpul di gedung Sociteit atau Sasono Suko Solo ( sekarang Monumen Pers
Nasional ) mendirikan organisasi profesi Persatuan Wartawan Indonesia ( PWI ) . Ini
merupakan organisasi profesi wartawan pertama setelah diproklamasikannya kemerdekaan
Indonesia dengan Ketua Mr. R.M Sumanang Suryowinoto . Dan empat bulan kemudian
tepatnya 8 Juni 1946 berdiri Serikat Perusahaan Surat Kabar (SPS) di Yogyakarta. Hal ini
makin memperkokoh peran pers di awal berdirinya negara Indonesia.
Begitulah perjuangan pers di masa lalu walaupun kemerdekaan Indonesia telah terwujud
tetapi perjuangan menegakkan kemerdekaan terus berlangsung dan dalam perjuangan
mempertahankan kemerdekaan itu pers juga selalu ikut berperan serta lewat tulisan . (Tri
Octory Rustiana S.Sn )
Pers pasca kemerdekaan
Beberapa hari setelah teks proklamasi dibacakan Bung Karno, dari kota sampai ke pelosok
telah terjadi perebutan kekuasaan dalam berbagai bidang, termasuk pers. Yang direbut
terutama adalah peralatan percetakan. Perebutan kekuasan semacam ini telah terjadi di
perusahaan koran milik Jepang, yakni Soeara Asia (Surabaya), Tjahaja (Bandung) dan Sinar
Baroe (Semarang). Dan pada tanggal 19 Agustus 2605 (tahun Jepang) koran-koran tersebut
telah terbit dengan mengutamakan berita sekitar Indonesia Merdeka. Dalam koran-koran
Siaran Istimewa itu telah dimuat secara mencolok teks proklamasi. Kemudian beberapa berita
penting seperti Maklumat Kepada Seluruh Rakyat Indonesia, Republik Indonesia Sudah
Berdiri, Pernyataan Indonesia Merdeka, Kata Pembukaan Undang-Undang Dasar, dan
lagu Indonesia Raya.
Di bulan September sampai akhir tahun 1945, kondisi pers RI semakin kuat, yang ditandai
oleh mulai beredarnya Soeara Merdeka (Bandung) dan Berita Indonesia (Jakarta), Merdeka,
Independent, Indonesian News Bulletin, Warta Indonesia, dan The Voice of Free Indonesia.
Dimasa itulah koran dipakai alat untuk mempropagandakan kemerdekaan Indonesia.
Sekalipun masih mendapat ancaman dari tentara Jepang, namun dengan penuh keberanian
mereka tetap menjalankan tugasnya. Dalam masa klas pertama tahun 1947, pers Indonesia
terbagi dua. Golongan pertama tetap bertugas di kota yang diduduki Belanda. Dan golongan
kedua telah mengungsi ke pedalaman yang dikuasai RI. Sekalipun aktif di wilayah musuh,
yang selalu dibayangi ancaman pemberedelan dan bersaing dengan koran Belanda, golongan
pertama tetap menerbitkan koran yang berhaluan Republikein. Yang terkenal di masa itu
antara lain Merdeka, Waspada, dan Mimbar Umum. Demikian pula yang bergerilya ke
pedalaman, dengan peralatan dan bahan seadanya, koran mereka senantiasa menjaga agar
jiwa revolusi tetap menyala. Di masa itu telah beredar koran kaum gerilya, yakni Suara
Rakjat, Api Rakjat, Patriot, Penghela Rakjat, dan Menara. Koran-koran ini dicetak di atas
kertas merang atau stensil dengan perwajahan yang sangat sederhana.

Pemberedelan pertama
Kondisi pers kita sesudah proklamasi, memang jauh berbeda dibanding dimasa penjajahan
Belanda dan Jepang. Di masa itu orang enggan membaca koran, karena beritanya selalu
untuk kepentingan penguasa. Sedang pada masa kemerdekaan, koran apa saja selalu menjadi
rebutan masyarakat. Sehari setelah beberapa koran mengabarkan berita tentang pembacaan
teks proklamasi, maka hari-hari berikutnya masyarakat mulai memburunya. Mereka
tampaknya tidak mau ketinggalan mengikuti berita perkembangan negaranya yang baru
merdeka itu. Minat baca semakin meningkat dan orang mulai sadar akan kebutuhannya
terhadap media massa. Suasana seperti ini tentunya berdampak positif bagi para pengelola
media masa di masa itu. Usaha penerbitan koran pun mulai marak kembali, yang konon
diramaikan oleh irama gemercaknya suara alat cetak intertype atau mesin roneo. Sementara
itu para kuli tinta yang sibuk kian kemari memburu berita, semakin banyak jumlahnya. Untuk
menertibkan dan mempersatukan mereka, pada tahun 1946 atas inisiatif para wartawan telah
dilangsungkan kongres di Solo. Dalam kongres itu telah dibentuk persatuan wartawan dan
Mr. Sumanang, ditunjuk sebagai ketuanya.
Tercatat beberapa peristiwa penting dalam sejarah pers di masa revolusi yakni di tahun yang
sama telah didirikan Sari Pers di Jakarta oleh Pak Sastro dan kantor berita Antara dibuka
kembali, setelah selama tiga tahun dibekukan Jepang. Kantor Sari Pers setiap hari mencetak
ratusan koran stensilan yang memuat berbagai berita penting dari seluruh tanah air.
Dari hari ke hari berita di media massa silih berganti, dari pertempuran dan perundingan,
sampai pembangunan serta kabar berita yang penuh suka dan duka. Seperti berita di tahun
1945. Indonesia Merdeka telah disambut gembira, namun dibulan November muncul berita
duka, yakni tentara Inggris telah membantai ribuan rakyat dan para pejuang Indonesia serta
membumihanguskan kota Surabaya. Di tahun 1946 rakyat Indonesia telah memperingati hari
proklamasi dengan sangat meriah sebanyak dua kali, yakni pada tanggal 17 Februari, ketika
Indonesia Merdeka baru berumur setengah tahun dan tanggal 17 Agustus. Tahun 1946 ditutup
dengan munculnya berita musibah yang memenuhi halaman-halaman koran, yakni
pembunuhan 40.000 rakyat Sulsel oleh Gerombolan Westerling pada tanggal 11 Desember.
Tindakan kejam ini dilakukan pihak Belanda untuk melancarkan jalan menuju terbentuknya
negara boneka Indonesia Timur.
Memasuki tahun 1948 situasi dan kondisi negara RI memang mulai diwarnai oleh suasana
perpecahan. Di masa itu semakin terasa ada dua golongan yang saling bertentangan yakni
golongan kanan (Front Nasional) dan golongan ekstrem kiri (komunis) yang disebut FDR
(Front Demokrasi Rakyat). Puncak konflik ini ditandai oleh meletusnya pemberontakan
Peristiwa Madiun yang didalangi oleh PKI Muso. Peristiwa ini sempat mengguncang
pemerintah. Betapa tidak, sementara rakyat kita sedang sibuk menghadapi agresi Belanda,
tiba-tiba PKI menusuk dari belakang. Pidato Presiden Soekarno yang berbunyi: Pilih
Soekarno-Hatta atau Muso dengan PKI-nya sempat menjadi berita utama dalam setiap
koran. Di masa penuh konflik inilah untuk pertama kalinya terjadi pemberedelan koran dalam
sejarah pers RI. Tercatat beberapa koran dari pihak FDR seperti Patriot, Buruh, dan Suara Ibu
Kota telah dibreidel pemerintah. Sebaliknya, pihak FDR membalas dengan membungkam
koran Api Rakjat yang menyuarakan kepentingan Front Nasional. Sementara itu pihak militer
pun telah memberedel Suara Rakjat dengan alasan terlalu banyak mengeritik pihaknya.

Pers dan pemerintah


Pada tahun 1946, pihak pemerintah mulai merintis hubungan dengan pers. Di masa itu telah
disusun peraturan yang tercantum dalam Dewan Pertahanan Negara Nomor 11 Tahun 1946
yang mengatur soal percetakan, pengumuman, dan penerbitan. Kemudian diadakan juga
beberapa perubahan aturan yang tercantum dalam Wetboek van Strafrecht (UU bikinan
Belanda), seperti drukpersreglement tahun 1856, persbreidel ordonnantie 1931 yang
mengatur tentang kejahatan dari pers, penghinaan, hasutan, pemberitaan bohong dan
sebagainya. Namun upaya ini pelaksanaannya tertunda karena invasi dari pihak Belanda.
Barulah setelah Indonesia memperoleh kedaulatannya di tahun 1949, pembenahan dalam
bidang pers dilanjutkan kembali.
Di saat itu telah terjadi peristiwa bersatunya kembali golongan insan pers yang bergerak di
kota yang dikuasai Belanda dengan golongan yang bergerak di daerah gerilya. Hubungan itu
meliputi soal perundang-undangan, kebijaksanaan pemerintah terhadap kepentingan pers
dalam hal aspek sosial ekonomi maupun aspek politisnya.
Dalam UUD pasal 19 contohnya, telah dicantumkan kalimat, setiap orang berhak atas
kebebasan mempunyai dan mengeluarkan pendapat. Pelaksanaan UUD pasal 19 tersebut
telah diusulkan dalam sidang Komite Nasional Pusat Pleno VI Yogya tanggal 7 Desember
1949 yang intinya, Pemerintah RI agar memperjuangkan pelaksanaan kebebasan pers yang
mencakup memberi perlindungan kepada pers nasional, memberi fasilitas yang dibutuhkan
perusahaan surat kabar, dan mengakui kantor berita Antara sebagai kantor berita nasional
yang patut memperoleh fasilitas dan perlindungan.
Usulan di atas kemudian dijawab. Pemerintah RI sudah mulai merencanakan segala peraturan
mengenai pers dan berupaya sekerasnya untuk melaksanakan hak asasi demokrasi. Hubungan
antara pemerintah dan pers lebih dipererat dengan cara membentuk Panitia Pers pada tanggal
15 Maret 1950, penambahan halaman koran, persediaan kertas dan bahan-bahan yang
diperlukan, tanpa ada ikatan apapun yang mengurangi kemerdekaan pers. Untuk
meningkatkan nilai dan mutu jurnalistik, maka para wartawan diberi kesempatan untuk
memperdalam ilmunya. Dan diupayakan pula agar kedudukan kantor berita Antara lebih
terasa sebagai mitra dari para pengelola surat kabar.
Upaya di atas telah memungkinkan terciptanya iklim pers yang tertib dan menguntungkan
semua pihak. Jumlah perusahaan koran pun dari tahun ke tahun semakin meningkat. Buktinya
dalam kurun waktu empat tahun sesudah 1949, jumlah surat kabar berbahasa Indonesia,
Belanda, dan Cina naik, dari 70 menjadi 101 buah. Sekalipun demikian bukan berarti mutu
jurnalistiknya ikut meningkat. Untuk itu, Ruslan Abdulgani dalam tulisannya Pers Nasional
dan Funksi Sosialnya telah menulis sebagai berikut, Mempertinggi mutu journalistiek pada
umumnja harus diartikan mempertinggi kwaliteit apa jang ditulis: hal ini dapat ditjapai bila
wartawan berkesempatan tjukup memperlengkapi dirinja dengan pengetahuan tentang
keadaan jang hendak ditulis, dan pelbagai ilmu pengetahuan seperti ilmu politik, sociologie,
ekomomi, psychologie, sedjarah dan ketatanegaraan.
Selanjutnya, pada jaman pendudukan Jepang., untuk wilayah Jawa dan Madura diterapkan
Undang-undang No.16 yang memberlakukan sistem lisensi dan sensor preventif. Setiap
penerbitan cetak harus memiliki ijin terbit serta melarang penerbitan yang dinilai memusuhi
Jepang. Aturan itu masih diperkuat lagi dengan menempatkan shidooin (penasehat) dalam
staf redaksi setiap surat kabar. Tugas penasehat ini sesungguhnya adalah mengontrol dan
menyensor, bahkan adakalanya menulis artikel-artikel dengan memakai nama para anggota
redaksi.
Sejumlah aturan yang diterapkan pada era penjajahan itu ternyata tetap dipelihara
oleh pemerintahan Republik Indonesia, setelah memproklamasikan kemerdekaan. Misalnya
ketentuan yang tertuang dalam Persbreidel Ordonnantie, terus dipakai dan secara formal baru
diganti pada 1954. Mengikuti perkembangan politik, pada 14 September 1956, Kepala Staf
Angkatan Darat, selaku Penguasa Militer, mengeluarkan peraturan No. PKM/001/0/1956.
Pasal 1 peraturan ini menegaskan larangan untuk mencetak, menerbitkan dan menyebarkan
serta memiliki tulisan, gambar, klise atau lukisan yang memuat atau mengandung kecaman
atau penghinaan terhadap presiden dan wakil presiden. Larangan itu juga berlaku bagi tulisan
dan gambar yang dinilai mengandung perenyataan permusuhan, kebencian atau penghinaan.
Ketentuan yang sangat mirip dengan Haatzaai
Artikelen ini, kemudian dicabut setelah diprotes kalangan pers. Mengikuti penerapan situasi
darurat perang (SOB), Penguasa Militer Daerah Jakarta Raya mengeluarkan ketentuan ijin
terbit pada 1 Oktober 1958. Pembredelan pers di era Soekarno banyak terjadi setelah
pemberlakuan SOB, 14 Maret 1957, termasuk penahanan sejumlah wartawan. Aturan soal ijin
terbit bagi harian dan majalah kemudian dipertegas dengan Penpres No.6/1963. Selain Surat
Ijin terbit, setelah meletus Peristiwa Gerakan 30 september 1965, berlaku pula Surat Ijin
Cetak (SIC) yang dikeluarkan oleh Pelaksana
Khusus (Laksus) Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban Daerah
(Kopkamtibda). Pers Indonesia saat itu dikepung dengan ketentuan SIT, SIC, serta ada lagi:
Surat Ijin Pembagian Kertas (SIPK), kertas tidak akan diberikan kepada media yang dinilai
tidak patuh.
Era Orde Baru: Bredel Enggan Berlalu
Aturan yang menindas pers itu terus dilestarikan pada era Soeharto, represi sudah dijalankan
bahkan sejak pada awal era Orde Baruorde yang menjanjikan keterbukaan. Sejumlah
Koran menjadi korban, antara lain majalah Sendi terjerat delik pers, pada 1972, karena
memuat tulisan yang dianggap menghina Kepala Negara dan keluarga. Surat ijin terbit Sendi
dicabut, pemimpin redaksi-nya dituntut di pengadilan. Setahun kemudian, 1973, Sinar
Harapan, dilarang terbit seminggu karena dianggap membocorkan rahasia negara akibat
menyiarkan Rencana Anggaran Belanja yang belum dibicarakan di parlemen (dalam
Soebagijo I.N, Sejarah Pers Indonesia, Jakarta: Dewan Pers, 1977, hal.
181)
Pada 1974, setelah meledak Persitiwa Malari, sebanyak 12 penerbitan pers dibredel, melalui
pencabutan Surat Ijin Terbit (SIT). Pers dituduh telah menjurus ke arah usaha-usaha
melemahkan sendi-sendi kehidupan nasional, dengan mengobarkan isu-isu seperti modal
asing, korupsi, dwi fungsi, kebobrokan aparat pemerintah, pertarungan tingkat tinggi;
merusak kepercayaan masyarakat pada kepemimpinan nasional; menghasut rakyat untuk
bergerak mengganggu ketertiban dan keamanan negara; menciptakan peluang untuk
mematangkan situasi yang menjurus pada perbuatan makar. Pencabutan SIT ini dipertegas
dengan pencabutan Surat Ijin Cetak (SIC) yang
dikeluarkan oleh Laksus Kopkamtib Jaya
Pemberangusan terhadap pers kembali terjadi pada 1978, berkaitan dengan maraknya aksi
mahasiswa menentang pencalonan Soeharto sebagai presiden. Sebanyak tujuh surat kabar di
Jakarta (Kompas, Sinar Harapan, Merdeka, Pelita, The Indonesian Times, Sinar Pagi dan Pos
Sore) dibekukan penerbitannya untuk sementara waktu hanya melalui telepon, kepada
pemimpin nasional (Soeharto).
Kisah pembredelan di era Soeharto terus berlanjut. Era 1980-an meminta korban antara lain:
pada 1982 majalah Tempo ditutup untuk sementara waktu, ketika menulis peristiwa
kerusuhan kampanye pemilu di Lapangan Banteng. Koran Jurnal Ekuin, dilarang terbit pada
Maret 1983 oleh Kopkamtib akibat menyiarkan berita penurunan patokan harga ekspor
minyak Indonesia yang merupakan informasi off the record. Korban berikutnya adalah
majalah Expo (Januari 1984) setelah memuat serial tulisan mengenai Seratus Milyader
Indonesia. Tulisan tersebut dinilai telah melakukan penyimpangan terhadap ketentuan
perundangan yang mengatur manajemen penerbitan pers.
Dua bulan kemudian giliran majalah Topik akibat menulis editorial Mencari Golongan
Miskin (Topik, 14 Februari 1984) dan menurunkan wawancara imajiner dengan Presiden
Soeharto berjudul Eben menemui Pak Harto. Tulisan pertama dinilai cenderung beraliran
ekstrim kiri dan ingin mengobarkan pertentang kelas, sedangkan tulisan kedua dianggap
bernada sinis, insinuatif dan tidak mencerminkan pers bebas dan bertanggungjawab. Bulan
Mei 1984, majalah Fokus dilarang terbit dan dicabut SIT-nya setelah menurunkan tulisan
yang dianggap dapat mempertajam prasangka sosial.
Berikutnya, pada 9 Oktober 1986, koran Sinar Harapan dilarang terbit Deretan
pembredelanitu terus berlanjut dengan korban koran Prioritas, tabloid Monitor, majalah
Senang, hingga pada 21 Juni 1994 ketika pemerintah membunuh Tempo, Editor
dan Detik

Pers Pancasila: Produk Asli Indonesia


Pada era Orde Baru, pemerintahan Soeharto secara cerdik berhasil merumuskan sistem pers
baru yang orisinil yakni Pers Pancasila, satu labelisasi gaya Indonesia dari konsep
development journalism (atau dalam kategori Siebert, Peterson, dan Schramm termasuk
dalam jenis social responsibility pers). Konsep Pers Pembangunan atau Pers Pancasila
(sering didefinisikan sebagai bukan pers liberal juga bukan pers komunis) secara resmi
dirumuskan pertama kali dalam Sidang Pleno Dewan Pers ke-25 di Solo pada pertengahan
1980-an.
Rumusan tersebut berbunyi: Pers Pembangunan adalah Pers Pancasila , dalam arti pers yang
orientasi sikap dan tingkah lakunya berdasar nilai-nilai Pancasila dan UUD 45. Pers
Pembangunan adalah Pers Pancasila, dalam arti mengamalkan Pancasila dan UUD 45 dalam
pembangunan berbagai aspek kehidupan bermasyarakat, berbangsa, bernegara, termasuk
pembangunan pers itu sendiri. Hakekat Pers Pancasila adalah pers yang sehat, yakni pers
yang bebas dan bertanggungjawab dalam menjalankan fungsinya sebagai penyebar informasi
yang benar dan obyektif, penyalur aspirasi rakyat dan kontrol sosial yang konstruktif. Melalui
hakekat dan fungsi itu Pers Pancasila mengembangkan suasana saling percaya menuju
masyarakat terbuka yang demokratis dan bertanggungjawab.
Istilah Pers Pancasila merupakan cerminan keinginan politik yang kuat dan ideologisasi
korporatis saat itu yang menghendaki pers sebagai alat pemerintah. Akibatnya fungsi pers
sebagai penyebar informasi yang benar dan obyektif, penyalur aspirasi rakyat dan kontrol
sosial yang konstruktifseperti didefinisikan dalam Pers Pancasila, tidak bias terwujud.
Pers Indonesia periode akhir 1970-an hingga 1998 semata-mata menjadi corong (mouthpiece)
pemerintah, kehilangan independensi dan fungsi kontrolnya.
Berbagai pembatasan yang dibuat rezim Soeharto membuat wartawan tak bebas menulis.
Pada era ini lah muncul apa yang disebutsecara sinissebagai budaya telepon.
Peringatan melalui telepon ini bias dilakukan oleh siapa saja di kalangan aparat pemerintah,
untuk mencegah media menulis laporan tertentu yang tidak disukai pemerintah. Selain itu
pada pertengahan 1980-an juga mulai lazim kebiasaan pejabat militer dan pemerintah
berkunjung ke kantor redaksi media cetak untuk memberikan informasi penting dan
ketentuan tak tertulis apa yang boleh dan tidak boleh ditulis. Berbagai bentuk sensorsip ini
mendorong pengelola media menggunakan gaya bahasa eufimistik untuk menghindarkan
teguran dan pembredelan. Lebih jauh lagi pers Indonesia semakin pintar untuk melakukan
swa-sensor (self censorship). Akibatnya sebagian besar media cetak saat itu bisa dikatakan
menjadi corong pemerintah. Apapun yang dikatakan pejabat tinggi pemerintah dan militer
akan dicetak dan dijadikan laporan utama (headline) oleh pers.
Pers dan wartawan yang tidak bebas, ikut mengajarkan rasa takut terhadap kebebasan pada
masyarakat. Atau setidaknya mereka bersikap masa bodoh, sejauh keuntungan ekonomi
masih diperoleh. Di era rezim Soeharto, sejak pertengahan 1980-an, pers Indonesia mulai
mencicipi buah keuntungan era pers industri. Dalam pers industri, bisnis informasi ternyata
menjanjikan keuntungan besar, dan tingkat kesejahteraan wartawan menjadi semakin baik.
Namun keuntungan finansial itu berbanding terbalik dengan kepedulian sosial yang makin
menumpul. Peningkatan oplah dan perolehan iklan menjadi tujuan. Akibatnya yang menjadi
prioritas pers Indonesiadidukung pertumbuhan ekonomi yang tinggi adalah perolehan
keuntungan, bukan kualitas berita.
Konsentrasi untuk mendapat keuntungan besar dan kesejahteraan materi dari bisnis pers
menjadi semacam eskapisme bagi wartawan. Karena dalam situasi represif, sulit bagi
wartawan untuk bisa mengeksplorasi kemampuan jurnalistiknya. Apalagi dengan adanya
hantu pencabutan lisensi Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP). Izin SIUPP benar-
benar seperti nyawa bagi pers, dan pemerintah adalah malaikat yang siap mencabut nyawa itu
setiap waktu. Pencabutan SIUPP menjadi momok yang menakutkan bagi pers.
Terlebih-lebih saat itu sangat sulit untuk memperoleh SIUPP. Kriteria untuk mendapat SIUPP
tidak jelas, dan menjadi rahasia umum, kalangan yang dekat dengan kekuasaan saja lah yang
bisa mendapat SIUPP baru. Sehingga muncul dugaan SIUPP sengaja dijadikan alat untuk
menyeleksi kepemilikan pers. Selain itu, ketika pemerintah (Departemen Penerangan), pada
akhir 1980an, memutuskan untuk tidak lagi menerbitkan SIUPP baru, selembar kertas
perizinan itu nilainya menjadi amat mahal untuk diperjualbelikan. Melalui sistem lisensi ini
lah negara (pemerintah) menguasai ruang publik, bukan saja media massa harus mendapat
ijin agar terbit, rapat-rapat dan pertemuan publik (lebih dari lima orang) juga harus mendapat
ijin.
Ruang publik tersebut adalah wilayah yang bebas dari kontrol negara dan modal. Setiap
anggota masyarakat dapat saling berinteraksi, belajar dan berdebat tentang masalah-masalah
publik tanpa perlu risau adanya campur tangan penguasa (politik dan ekonomi). Dan media
massa merupakan salah satu ruang publik yang paling efektif untuk sarana itu. Namun, di
Indonesia, ruang publik (media) telah dikuasai negara, akibatnya dalam praktek jurnalisme di
Indonesia, para wartawan lebih menempatkan ucapan pejabat, jenderal dan tokoh bisnis.
Selain karena demi keamanan kelanjutan penerbitan, juga berangsur-angsur muncul anggapan
bahwa ucapan pejabat pemerintah memberikan legitimasi yang kuat terhadap berita.
Praktek jurnalisme semacam itu (news talking) selain aman juga lebih mudah dilakukan oleh
para wartawanjuga menguntungkan bagi perusahaan pers, karena meminimalisir biaya
yang harus dikeluarkan dalam proses peliputan berita. Sebaliknya, praktek news talking
memberikan peluang besar bagi para politisi (dan pengamat) untuk memanipulasi berita.
Akibat lebih jauh dari praktek jurnalisme ini adalah trend menonjolnya peran hubungan
masyarakat (Humas) kantor pemerintah dan perusahaan swasta yang siap menyediakan
segala informasi untuk membantu kerja wartawan.
Dengan maraknya jurnalisme humas, menyebabkan masyarakat semakin sulit memperoleh
informasi yang benar tentang berbagai persoalan. Satu penelitian yang diadakan oleh Rizal
Mallarangeng pada awal 1990 terhadap dua harian berpengaruh di Indonesia (Kompas dan
Suara Karya) memperlihatkan besarnya ketergantungan dua media tersebut terhadap
narasumber pejabat pemerintah atau birokrat. Sekitar 89,1 % berita Suara Karya dan 69,1 %
berita bersumber dari pernyataan birokrat dan pejabat. Sedangkan menyangkut orientasi
pemberitaan, sekitar 86,6% berita Suara Karya dan 78.9% berita di Kompas berisi dukungan
terhadap kebijakan pemerintah.

Menentang Tirani: Mencari Alternatif


Pada era Soeharto terdapat tiga faktor utama penghambat kebebasan pers dan arus informasi:
adanya sistem perizinan terhadap pers (SIUPP), adanya wadah tunggal organisasi pers dan
wartawan, serta praktek intimidasi dan sensor terhadap pers. Faktor-faktor itu lah yang telah
berhasil menghambat arus informasi dan memandulkan potensi pers untuk menjadi lembaga
kontrol.
Wartawan Indonesia, selama 52 tahun, sejak Republik Indonesia berdiri, cuma mengenal satu
organisasi wartawan, Persatuan Wartawan Indonesia (PWI). Organisasi ini setiap kali
terperangkap dalam korporatisme negara. Negara mengkooptasi PWI dan menggunakannya
sebagai operator untuk merepresi dan mengintimidasi pers. Praktis, wartawan Indonesia tidak
memiliki organisasi yang bisa mewakili dalam memperjuangkan hak, melindungi dan
meningkatkan profesinya.
Sebaliknya, wartawan justru dikontrol dan dilumpuhkan secara sistematis oleh PWI.
Pemerintahan Soeharto telah menciptakan mekanisme kontrol efektif terhadap pers melalui
tekanan untuk self cencorship, peringatan, teguran dan pembredelan. Namun kontrol yang
paling efektif justru dilakukan oleh orang pers sendiri, melalui Dewan Pers serta PWI.
Pengurus dua organisasi ini dengan sadar memfungsikan diri sebagai operator pemerintah
dalam menekan pers.
Pada akhirnya tekanan memunculkan perlawanan, pemicunya justru pembredelan tiga media
terkemuka Tempo, Detik, dan Editor, pada 21 Juni 1994. Berbeda dari berbagai pembredelan
pers yang sering terjadi di Indonesia, penutupan tiga media itu, di luar dugaan, memunculkan
reaksi perlawanan masyarakat. Ratusan wartawan bergabung dengan mahasiswa dan aktivis
NGO melakukan demonstrasi pada hari-hari setelah pembredelan.
Khusus di kalangan wartawan, reaksi keras ditujukan kepada PWI. Sebagai satu-satunya
organisasi wartawan yang ada, PWI tidak memrotes pembredelan itu, sebaliknya malah bisa
memahami sikap yang diambil rezim Soeharto. Bukan rahasia lagi, PWI merupakan
kepanjangan birokrasi Departemen Penerangan. Sehingga, bukannya membela kepentingan,
hak-hak dan aspirasi wartawan, PWI justru menjadi mesin teror bagi wartawan. Kalangan
wartawan muda yang tidak puas atas sikap PWI ini pada 7 Agustus 1994 mendeklarasikan
terbentuknya AJI sebagai wujud sikap menolak wadah tunggal wartawan dan sebagai
organisasi alternatif bagi wartawan.
Berdirinya AJI segera mengguncangkan hegemoni PWI, ini terbukti Departemen Penerangan
dan PWI dengan sengit mencoba meniadakan kehadiran AJI. PWI memecat 13 anggotanya
yang terlibat di AJI serta meminta perusahaan pers tidak mempekerjakan wartawan AJI.
Belasan wartawan AJI disingkirkan dari kerja kewartawanan atau diminta mengundurkan
diri. Pemimpin redaksi yang dianggap tidak sejalan dengan garis pemerintah serta merta bisa
dicabut rekomendasinya dan hilang haknya sebagai pemimpin redaksi. Pokoknya orang AJI
tidak boleh jadi wartawan, mereka boleh kerja di perusahaan pers sebagai tukang sapu,
demikian ancam seorang pengurus PWI ketika mengintimidasi pemimpin redaksi D&R yang
diketahui mempekerjakan orang AJI.
Kelahiran AJI memang dipacu oleh pembredelan Juni 1994. Namun embrionya dimulai
ketika wartawan muda di sejumlah kota mendirikan forum-forum diskusi wartawan. Mereka
adalah Forum Wartawan Independen di Bandung, Forum Diskusi Wartawan Yogyakarta, Pers
Club di Surabaya, dan Solidaritas Jurnalis Independen di Jakarta. Forum-forum wartawan
yang berdiri awal 1990 an ini bersifat cair dan informal, karena untuk mendirikan organisasi
formal wartawan di luar PWI, saat itu, hampir mustahil. Forum-forum diskusi wartawan
semacam itu menjadi oase bagi kesumpekan wartawan yang menyadari mereka tak memiliki
organisasi yang bisa menyuarakan aspirasi mereka.
Kecenderungan Rezim Soeharto mengkooptasi dan cuma mengakui satu organisasi bagi
setiap sektor organisasi masyarakat, mulai mendapat perlawanan. Berdirinya organisasi
alternatif untuk menolak ketentuan pemerintah juga terjadi sektor lain. Di kalangan buruh,
pada 1992, berdiri Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (SBSI) sebagai tandingan terhadap
Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI) milik pemerintah. Untuk menandingi Dharma
Wanita, telah muncul sejumlah kelompok NGO perempuan. Di kalangan mahasiswa,
dibentuk berbagai komiteatau kelompok solidaritas untuk menandingi organisasi
kemahasiswaan yang diakui pemerintah.
Berbagai kelompok alternatif itu menggalang jaringan oposisi. Mencoba tampil di lingkup
politik mengambil alih fungsi partai politik dan parlemen yang telah bungkam lembaga
eksekutif. AJI membangun jaringan di kalangan wartawan muda di berbagai daerah, juga
melakukan training dan pelatihan kepada aktivis pers mahasiswa, serta mengorganisir aksi.
Selain menjadi organisasi alternatif, AJI juga menerbitkan media alternatif tanpa SIUPP,
Independen, sebagai sikap menolak politik perizinan. Selain Independen terdapat media yang
aktif menyebarkan informasi alternative seperti yang diterbitkan Pijar Indonesia, Kabar dari
Pijar, media-media kampus serta bulletin terbitan NGO. Berbagi media tanpa SIUPP itu
menjadi alternatif bagi pembaca yang tidak puas dengan isi berita media mainstream. Semula
Independen diterbitkan sebagai newsletter bagi anggota AJI, dengan berita mengenai seputar
pers. Pada perkembangannya Independen juga menyediakan ruang untuk berita-berita umum,
khususnya untuk fakta-fakta yang tidak bisa disiarkan oleh pers mainstream. Independen
menampung berita-berita hasil reportase wartawan AJI, yang tidak mungkin dicetak oleh pers
mainstream.
Salah satu laporan investigatif Independen yang banyak mendapat reaksi adalah edisi nomor
10, terbit menjelang Hari Pers Nasional, Februari 1995. Dalam edisi itu, Independen
mengungkap kepemilikan saham-saham Menteri Penerangan (saat itu) Harmoko dan
keluarganya di beberapa media massa. Bagi kalangan pers, kabar Menteri Penerangan
Harmoko memiliki saham di berbagai perusahaan pers, sudah banyak diperbincangkan,
meskipun bisik-bisik.
Hantaman Krisis: Pers Menggeliat
Pers Indonesia semakin kehilangan nyali pasca pembredelan Tempo, Detik dan Editor.
Khususnya periode setelah terjadi huru-hara Peristiwa penyerbuan kantor PDI, 27 Juli 1996
sampai dengan Pemilu 1997. Pers mainstream cuma berharap agar tetap selamat di hadapan
kekuasaan yang gampang marah, akibat konfigurasi politik yang bergeser, sambil mengais
keuntungan dari peluang pertumbuhan ekonomi yang menjanjikan.
Pers mainstream yang mati suri selama tiga tahun (1994-1997), mulai menggeliat bangun
pada awal 1998. Badai krisis moneter yang ikut melanda Indonesia pada akhir 1997
mempengaruhi kinerja pers. Banyak pers yang terancam bangkrut akibat nilai rupiah yang
terjun bebas, mengakibatkan ongkos produksi harga kertas dan tinta mengangkasa.
Manajemen penerbitan pers menerapkan penghematan total: jumlah halaman koran
dikurangi, gaji wartawan dipangkas sampai ancaman pemutusan hubungan kerja (PHK) bagi
wartawan.
Dalam kondisi sulit akibat krisis moneter ini Pers Indonesia semakin ditekan. Ramainya aksi
demonstrasi mahasiswa menuntut reformasi, yang kemudian menjadi berita di berbagai
media, memicu tuduhan pemerintah bahwa Pers Indonesia tidak proporsional dalam
memberikan gambaran sesungguhnya tentang situasi akhir-akhir ini. Intimidasi terhadap pers
pada awal 1998 langsung disuarakan oleh Presiden Soeharto.
Bulan Januari 1998, Soeharto menuduh pemberitaan pers sebagai penyebab kepanikan
masyarakat yang menyerbu toko dan supermarket untuk memborong bahan kebutuhan pokok
(panic buying). Bulan Februari, seusai penandatanganan nota kesepakatan dengan
International Monetary Fund (IMF), Soeharto menuduh pers Indonesia telah memanas-
manasi situasi berkaitan dengan krisis moneter yang sedang terjadi dan menyebabkan rupiah
semakin turun. Pernyataan itu ditegaskan lagi dalam sambutan pidato pertanggungjawaban
presiden di depan Sidang Umum MPR, Maret 1998. Berbagai tekanan kepada pers itu tidak
berujung pada pembredelan, mengingat pemerintahan Soeharto mulai goyah legitimasinya.
Namun rezim yang mulai sekarat itu masih mencoba menggertak pers dengan kasus sampul
Soeharto sebagai Raja Sekop di majalah D&R, awal Maret 1998. Menteri Penerangan
Hartono bermaksud menuntut D&R ke pengadilan karena melakukan penghinaan terhadap
kepala negara, melecehkan konstitusi dan menurunkan martabat bangsa. Namun sebelum
pengadilan berlangsung, D&R sudah terlebih dulu divonis. PWI menskorsing pemimpin
redaksi D&R selama dua tahun. Kasus D&R ini kemudian mengambang dan tidak ada
penyelesaiannya.

Berkah Internet: Pertarungan di Alam Maya


Sejak 1995, Internet memainkan peran penting dalam penyebaran informasi di kalangan
aktivis dan pengakses internet. Demam internet di Indonesia dijangkitkan oleh kehadiran
Apakabar, mailing-list yang dikelola oleh John McDougall dari Amerika. Melalui Apakabar
berbagai pandangan disebarkan, dari yang paling radikal hingga puritan, dari aktivis pro-
demokrasi sampai aparat intel-militer. Selain berisi polemik berbagai pendapat dan
pandangan, Apakabar juga menyebarkan informasi dari media massa, dalam dan luar negeri,
yang berkaitan dengan situasi terbaru di Indonesia.
Sukses Apakabar ini kemudian diikuti munculnya berbagai situs internet dan mailing-list
yang dikelola para aktivis di Indonesia. Para wartawan eks-Tempo mengelola Tempo
Interaktif, diikuti sejumlah mailing list seperti SiaR, KDPnet, AJInews, X-pos,
Demidemokrasi, Indo-News.com, dll. Informasi yang disebarkan melalui internet mampu
memuaskan masyarakat yang haus informasi, materi dari internet seringkali di down-load dan
difotokopi sehingga bisa dibaca oleh mereka yang tidak memiliki akses ke internet.
Selain itu, sensor yang menjadi kebiasaan rezim Soeharto, dengan mem-black out halaman
koran atau majalah asing yang memuat tentang Indonesia, tidak bisa diterapkan di internet.
Materi yang paling banyak beredar di internet adalah menyangkut kekayaan Soeharto dan
praktek KKN rezim Orde Baru, disamping diskusi tentang demokrasi, hak asasi manusia serta
menebarkan gagasan oposisi. Selain itu melalui internet aktivis pro-demokrasi juga saling
berbagi informasi serta melakukan koordinasi, seperti menentukan waktu dan tempat aksi
unjuk rasa.
Setelah rezim Soeharto tumbang, media on-line yang berorientasi profit semakin tumbuh
menjamur, seperti detik.com, mandiri.com, satunet.com, berpolitik.com, astaga.com.
disamping itu sebagian besar media mainstream, seperti Kompas, Suara Pembaruan,
Republika, Forum, dll., juga memiliki versi on-line.
Pers pasca jatuhnya Soeharto
Presiden Soeharto turun pada 21 Mei 1998, akibat krisis ekonomi dan karena arus informasi
yang mengungkap kebobrokan pemerintahannya mengalir tanpa bisa dibendung melalui
media alternatif dan internet. Selain itu, pers juga tidak lagi mau dibungkam. Saat-saat
terakhir menjelang keruntuhannya, Presiden Soeharto mencoba mengintimidasi pers, dengan
menuduh pers tidak proporsional dan melakukan disinformasi. Soeharto marah karena pers
selalu menempatkan aksi demonstrasi mahasiswa dan tuntutan reformasi di halaman pertama.
Biasanya pers Indonesia akan ciut nyalinya jika Soeharto marah, namun situasi memang
sedang berubah.
Perubahan pun terbuka dengan mundurnya Soeharto. Bagi para jurnalis itu berarti peluang
terwujudnya jaminan kebebasan pers. Menteri Penerangan yang baru, Junus Josfiah, segera
merevisi ketentuan perizinan (SIUPP) dan mencabut ketentuan wadah tunggal organisasi
wartawan.
Pemerintah tidak lagi bisa sewenang-wenang mencabut SIUPPyang menjadi sangat mudah
diperoleh. Lebih dari 1.600 SIUPP baru dikeluarkan periode Mei 1998-Agustus 1999,
sebelum ketentuan SIUPP akhirnya dicabut, dengan disahkannya UU No.40 tahun 1999
tentang Pers pada September 1999. Bandingkan dengan era Soeharto yang cuma
mengeluarkan 241 perizinan selama 32 tahun kekuasaannya.
Perubahan lain yang drastis adalah diakuinya hak wartawan untuk mendirikan organisasi baru
di luar PWI. AJI setelah empat tahun diperlakukan sebagai organisasi ilegal, mulai diakui
keberadaannya. Diikuti dengan lahirnya berbagai organisai wartawan baru seperti Ikatan
Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI), PWI Reformasi, Pewarta Foto Indonesia (PFI) dan lain-
lain, yang jumlahnya mencapai 40. Memang terkesan ada inflasi organisasi wartawan dan
penerbitan baru.
Tapi ini gejala wajar, semacam demam kebebasan yang sedang dirayakan masyarakat
(sebagaimana munculnya partai-partai politik baru, yang jumlahnya pernah mencapai 108
partai dari semula 3 partai). Para wartawan yang lama terkungkung dalam satu wadah
organisasi, menemukan momentum untuk mengaktualisasikan diri. Penerbitan pers yang
semula dibatasi perizinan kemudian leluasa menerbitkan media. Di kota-kota kabupaten,
bahkan kecamatan, terbit tabloid baru. Di Ujung Pandang, misalnya, yang semula cuma
memiliki 5 penerbitan pers, kurang dari setahun melonjak mencapai lebih dari 45 penerbitan
pers.
Banyak pengusaha dadakan menerbitkan penerbitan pers dengan nama-nama yang aneh
atau lucu, yang mengesankan kurang serius, seperti Deru, Dobrak, Pantura, Amien Pos, Mega
Pos, Posmo, X-file, Gugat (tabloid ini bermotto: trial by the press) Terbukti kemudian,
banyak media yang cuma bertahan satu atau dua bulan, dan berhenti terbit.
Fenomena lain yang muncul, dan sempat memunculkan kekhawatiran kembalinya media
partisan, adalah terbitnya sejumlah tabloid yang berafiliasi dengan partai politik. Media
partai itu antara lain Amanat milik Partai Amanat Nasional (PAN), Duta Masyarakat milik
Partai Kebangkitan bangsa (PKB), Demokrat dikelola oleh Partai Demokrasi-Perjuangan
(PDI-P), Abadi milik Partai Bulan Bintang (PBB) dan Siaga yang dianggap corong Partai
Golkar.
Berbeda dengan media partisan era demokrasi liberal pada tahun 1950-an, yang murni
merupakan alat partai politik, media partisan jaman reformasi kali ini terbit dengan motif
utama bisnis ketimbang politik, karena kelompok Jawa Pos Grup (Dahlan Iskan) lah yang
mendanai penerbitan empat media parpol itu.
Pers Indonesia memang bisa lebih longgar menyampaikan informasi di era Presiden Habibie,
namun kebebasan pers yang baru saja dinikmati itu bukan tanpa ancaman. Karakter rezim
Habibie sulit diprediksi, mengingat sebagian besar pejabat pemerintah adalah orang-orang
Soeharto juga. Sejumlah contoh menunjukkan rezim baru Habibie berupaya mengontrol
pers. Pada bulan Juni 1998, Habibie melontarkan gagasan untuk menerapkan sistem lisensi
pada wartawan, dan sebulan kemudian dia mengeluarkan Peraturan Pemerintah untuk
mengatur Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat (kedua usulan itu bias digagalkan, berkat
gencarnya perlawanan melalui aksi oposisi).
Habibie juga meminta militer menindak keras aksi-aksi demonstrasi masyarakat. Bulan Juli
1998, acara Talk Show di stasiun Indosiar dihentikan secara tiba-tiba, oleh Menteri Sekretaris
Negara (saat itu) Akbar Tanjung, ketika acara sedang disiarkan, karena dianggap terlalu lugas
dalam mengritik Habibie. Tabloid Detak dan harian Merdeka dituntut oleh Menteri Dalam
Negeri Syarwan Hamid, karena membongkar keterlibatan Syarwan dalam Peristiwa 27 Juli
1996 (penyerbuan kantor PDI).. Majalah Tajuk dituntut oleh Kodam Jaya atas tulisan tentang
keterlibatan militer dalam kerusuhan 13-15 Mei 1998. Pemberitaan media yang gencar
menyangkut penyadapan percakapan telepon antara Presiden Habibie dengan Jaksa Agung
Andi M. Ghalib, telah menyebabkan beberapa pemimpin redaksi diperiksa oleh kepolisian.
Pada era ini jurnalisme radio mulai semarak, stasiun radio di Jakarta seperti Elshinta, Sonora
dan Trijaya FM mulai memproduksi laporan berita. Langkah itu diikuti sejumlah stasiun
radio di daerah seperti Nikoya, Banda Aceh. Permohonan untuk pendirian stasiun radio baru
mencapai 32. Sedangkan untuk media televisi, meskipun lima stasiun TV yang terbelit utang,
Departeman Penerangan sampai Maret 1999 mengeluarkan ijin siaran untuk delapan stasiun
baru, enam diantaranya untuk siaran nasional.Persoalannya frekwensi yang tersedia untuk
siaran nasional tinggal satu.
Dengan kemudahan memperoleh ijin menerbitkan media, berakibat muncul konflik
manajemen di sejumlah media. Misalnya, sebagian awak majalah Gatra hengkang
mendirikan Gamma (Desember 1998), aksi serupa juga terjadi di harian Suara Pembaruan
dengan terbitnya Suara Bangsa. Koran tertua Merdeka yang sebagian sahamnya diambil oleh
oleh Jawa Pos Grup, ternyata menjadi bumerang, manajemen milik Dahlan Iskan itu
kemudian menerbitkan Rakyat Merdeka setelah muncul ketidaksepahaman dalama
manajerial.
Era kebebasan pers juga memunculkan ekses-ekses sensasionalisme, banyak tabloid baru
menulis laporan spekulatif dan tidak mengindahkan kode etik, termasuk ramainya penerbitan
media yang mengusung erotisme (cenderung pornografis). Sejumlah pemimpin redaksi
tabloid erotis sempat di seret ke pengadilan pada Juni 1999, termasuk pemimpin redaksi
majalah Matra, Riantiarno, yang divonis hukuman percobaan. Gaya jurnalisme agresif
misalnya dipraktekkan oleh tabloid Warta Republik secara vulgar. Tabloid baru itu pada
terbitan edisi Desember 1999 melaporkan persaingan mantan Wakil Presiden, Try Sutrisno,
dan mantan Menteri Pertahanan, Edy Sudrajat, memperebutkan cinta seorang janda. Laporan
itu semata-mata bersandar pada rumor, Warta Republik tidak berupaya melakukan konfirmasi
atau wawancara kepada tiga figur tersebut.
Kebebasan pers Indonesia, kemudian, banyak dikecam sebagai kelewat batas dan chaotic.
Keprihatinan terhadap rendahnya penghargaan pada etika pers, khususnya untuk tabloid-
tabloid baru, ramai disuarakan. Sebagai reaksi atas kondisi pers yang terkesan liar dan tak
terkontrol itu bermunculan lembaga-lembaga yang menerbitkan jurnal pengawas media
(media watch). Pada saat yang sama pers Indonesia memang tidak memiliki lembaga yang
mampu mengawasi etika pers. Dewan Pers (bentukan pemerintah), yang seharusnya
berfungsi sebagai lembaga pengontrol, tidak bisa berfungsi, karena kehilangan legitimasinya.
Untuk merespon suara kecaman terhadap pers itu, Dewan Pers bersama sejumlah organisasi
wartawan berupaya merumuskan kode etik bersamayang menjadi patokan untuk seluruh
organisasi wartawan. Kode Etik Wartawan Indonesia (KEWI) itu, setelah melalui proses
perdebatan yang cukup panjang, akhirnya bisa disepakati dan ditandatangani oleh wakil dari
26 organisasi wartawan pada 6 Agustus 1999.
Sementara itu, masyarakat pers Indonesia, sejak bergulirnya reformasi mulai menggagas
untuk menyusun Undang-undang Pers baru guna membentengi kemerdekaan pers yang
diperoleh. Sejumlah aktivis, pakar komunikasi, wartawan dan pengurus organisasi pers, pada
akhir 1998 membentuk forum Masyarakat Pers dan Penyiaran Indonesia (MPPI) yang
kemudian menjadi motor penyusunan UU Pers baru. Setelah melalui rangkaian diskusi dan
lobi panjang, akhirnya disahkan Undang-Undang No 40 tahun 1999 tentang Pers (UU Pers
1999) pada 23 September 1999.
Dalam UU Pers 1999, Bab V Pasal 15, disebutkan tentang perlunya dibentuk Dewan Pers
yang independen sebagai upaya mengembangkan kemerdekaan pers. Selanjutnya Dewan Pers
(lama) memfasilitasi proses pembentukan Dewan Pers Baru yang beranggotakan wakil-wakil
wartawan, perusahaan pers dan tokoh masyarakat. Proses pembentukan Dewan Pers baru
cukup rumit, khususnya dalam menentukan perwakilan dari wartawan, mengingat besarnya
jumlah organisasi wartawan. Terdapat 121 nama calon anggota Dewan Pers yang diajukan
oleh 33 organisasi wartawan dan tujuh organisasi perusahaan pers. Akhirnya, pada 22
Februari 2000 Badan Pekerja memutuskan sembilan nama sebagai pengurus Dewan Pers
periode 2000-2003.
Pers dalam Ancaman Massa
Pers Indonesia memasuki fase baru, setelah sekian lama terpuruk dalam cengkeraman kontrol
kekuasaan Soeharto, kini cengkeraman itu berwujud melalui ancaman publik. Tekanan dan
ancaman di era Soeharto sangat efektif meskipun tidak langsung (remote) sedangkan
ancaman massa bersifat fisik, sehingga lebih nyata. Pemakaian sarana koersif untuk menekan
dan mengancam pers melalui pencabutan SIUPP meskipun lebih fatal, tetap terasa bukan
ancaman nyata, sementara ancaman kekerasan dan teror massa jauh lebih konkrit dampaknya.
Era reformasi telah membuka kesempatan bagi pers Indonesia untuk mengekplorasi
kebebasan. Dampak yang kemudian terlihat, kebebasan itu untuk sebagian media, bukannya
diekplorasi melainkan dieksploitasi. Sejumlah kebingungan dan kejengkelan terhadap
kebebasan pers di era reformasi ini bisa dipahami. Kini media bebas untuk mengumbar
sensasi, informasi yang diedarkan adalah yang bernilai jual tinggi, dikemas dengan gaya
sensasi. Akibat ketiadaan otoritas yang memiliki kewenangan untuk menegur atau menindak
pers, maka publik kemudian menjalankan aksi menghukum pers sesuai tolok ukur mereka
sendiri.
Era reformasi kini telah memproduksi media massa berorientasi populis, mengangkat soal-
soal yang digunjingkan masyarakat. Akibatnya seringkali media massa menyebarkan
informasi yang sebenarnya berkualifikasi isu, rumor bahkan dugaan-dugaan (hingga cacian
dan hujatan). Pada ekstrim yang lain terdapat pula pers yang diterbitkan untuk tujuan politis:
mempengaruhi dan membujuk pembacanya agar sepakat dan ikut dengan ideologi dan tujuan
politisnya, atau bahkan menyerang dan membungkam pihak lawan.
Media massa sebagai penyalur informasi mengemas apapun yang bias diinformasikan,
asalkan itu menyenangkan dan sedang menjadi gunjingan publik. Gaya media semacam ini
kemudian mendapat reaksi sepadan dari kelompok masyarakat tertentu yang cenderung
radikal dan tertutup, atau kelompok-kelompok yang mengklaim kebenaran sebagai milik
mereka. Jika pemberitaan media tidak menyenangkan pihaknya atau kelompoknya, maka
jalan pintasnya adalah melabrak dan mengancamyang ternyata memang terbukti
sangat efektif.Kasus pendudukan Jawa Pos (6 Mei 2000) menunjukkan, betapa pers tidak
berdaya manakala gerombolan orang (massa Banser NU) memaksakan pendapatnya terhadap
koran tersebut. Jawa Pos bertekuk lutut dan tergopoh meminta maaf, menyatakan
pemberitaannya salah. Tidak ada pengujian secara adil dan logis menyangkut kesalahan atau
ketidaksalahan Jawa Pos terhadap berita menyangkut Presiden Abdurrahman Wahid atau NU.
Kisah lain menimpa SCTV, stasiun TV swasta itu harus menghentikan penayangan opera
sabun yang sangat populer, Esmeralda, setelah 60 orang dari Front Pembela Islam (FPI)
berunjukrasa ke SCTV (4 Mei). Telenovela itu dianggap secara sengaja menghina Islam,
memberikan gambaran palsu dan menyesatkan kepada penontonnya, karena salah satu tokoh
dalam film tersebut bernama Fatimah. Di kalangan Islam, Fatimah dikenal sebagai nama putri
Nabi Muhammad SAW dan figur yang dihormati, sementara Fatimah dalam Esmeralda
merupakan antagonis yang berperangai buruk. Tawaran SCTV untuk mengganti nama tokoh
Fatimah ditolak FPI, vonis telah diputus: Esmeralda yang digemari banyak penonton itu tidak
boleh disiarkan.
Sebelumnya sejumlah wartawan dan media sempat merasa terteror dengan perangai
kelompok yang menamakan diri Laskar Jihad. Organisasi ini telah mengancam, melakukan
kekerasan terhadap wartawan yang ingin meliput kegiatannya. Selain mengancam secara fisik
maupun teror psikologi, lascar yang gemar mengacungkan pedang itu juga diskriminatif
terhadap wartawan perempuan dan wartawan non muslim. Tiga wartawan sempat disekap dan
dianiaya di lokasi kamp latihan mereka di Desa Kayumanis, Kecamatan Tanah Sareal Bogor
(9 April).
Tabloid Semanggi beberapa waktu sebelumnya pernah diancam dibakar oleh Laskar Jihad
karena pemasangan foto kelompok ini pada edisi No. 19. Laskar ini merasa tersinggung
karena fotonya dimuat dalam pemberitaan mengenai NII. Laskar Jihad menuntut agar tabloid
Semanggi meminta maaf dan mengklarifikasi. Ancaman serupa menimpa harian Radar
Bogor. Koran ini, pada 9 April, didatangi satu truk anggota Laskar Jihad dengan membawa
senjata pedang dan pisau komando. Mereka marah karena Radar Bogor dinilai telah
menyebarkan berita yang mengadu domba antara laskar jihad dengan masyarakat Kayumanis
(lokasi latihan) dan aparat keamanan setempat. Tekanan massa Front Pemuda Islam Surakarta
(FPIS) terhadap Radio PTPN Rasitania, Solo, sempat menghentikan siaran radio tersebut
selama 27 jam. Sekitar 300 anggota FPIS protes atas siaran dialog interaktif berjudul Usaha
Mengatasi Konflik Antar Umat Beragama pada 24 Februari.
Kebebasan pers: Pers Mengatur Sendiri
Kebebasan memunculkan berbagai persoalannya sendiri, yang lebih kompleks ketimbang era
tirani kekuasaan.. Kebebasan Pers yang kini berkembang di Indonesia, telah ditanggapi
secara negatif oleh sejumlah pihak, karena dianggap telah bebas terlampau jauh. .Ekses
negatif kebebasan pers saat ini terlihat semakin nyata dengan banyak bermunculannya media
partisan, sensasional, termasuk yang menonjolkan erotika. Fenomena lainnya adalah
munculnya banyak media yang mengusung asas jurnalisme alakadarnya dan kurang
menghargai etika. Banyak pula muncul pemodal melakukan akrobat dalam bisnis pers:
menerbitkan media, dua bulan kemudian ditutup lantaran tidak laku, kemudian menerbitkan
media baru lainnya.
Seserius apakah ekses negatif kebebasan pers saat ini? Memang ada soal ketika menyangkut
pemberitaan konflik antar golongan atau etnis (seperti kasus Ambon), sebagian media telah
memposisikan diri sebagai corong kelompok tertentu. Ada pula media yang diterbitkan
semata-mata sebagai alat menyerang atau membela orang-orang tertentu. Namun justru itu
lah resiko demokrasi: munculnya sejumlah pers yang buruk. Sebagaimana bertebaran pula
gagasan-gagasan buruk. Tantangan di Indonesia kini adalah, pers yang bermutu dituntut
untuk mengarahkan dan memperluas pembacanya, justru agar masyarakat tidak membaca
media yang buruk. Agar dalam market place of ideas ide-ide baik menang terhadap gagasan
buruk.
Setelah halangan struktural kebebasan pers (regulasi pemerintah) berhasil disingkirkan, maka
kebebasan pers itu semata-mata berhadapan dengan batas toleransi masyarakat. Opini publik
lah yang akan membatasi, sejauh mana pers boleh bebas Tidak bisa dielakkan bakal ada
benturan kepentingan dan memunculkan ketidakpuasan satu pihak Ketika kebebasan
berpendapat seseorang merugikan pihak lain, maka satu-satunya penyelesaian adalah melalui
pengadilanyang diharapkan bisa mengeluarkan keputusan yang bijaksanasetelah melalui
perdebatan yang luas. Sayangnya, ditengah Kegan rungan terhadap kebebasan yang
menggebu saat ini, hukum belum siap mengantisipasinyabaik hukum untuk menggebuk
pelaku kekerasan maupun menindak media yang kurang ajar. Akibatnya tirani masih bias
bersimaharajalela, dan pers menjadi sasaran empuk untuk melampiaskan kejengkelan akan
kebebasan.
Situasi itu merupakan produk langsung dari hukum yang vakum. Bukan saja aparatnya
sedang kehilangan wibawa, melainkan perangkat aturannya juga belum tersedia secara
memadai. Oleh karena itu, pers Indonesia dituntut untuk bisa
mengatur atau mengontrol sendiri (self regulated), sesama sejawat pers saling mengingatkan.
Atau setidaknya mematuhi ketentuan yang diatur dalam kode etik pers, dan menempatkan
lembaga semacam Dewan Pers menjadi polisi yang diikuti teguran atau peringatannya. Jika
tidak, apa boleh buat, control masyarakat, seperti pendudukan kantor media, akibat tidak puas
atas pemberitaan pers bakal akan terus terjadi.

Humor dari Kegelisahan ala Raditya Dika


0
Posted on November 26, 2012
Dalam sebuah petikan Alkitab dituliskan hati yang gembira adalah obat, tetapi hati yang
sedih remukan tulang. Sebuah pesan, betapa kegembiraan itu adalah sesuatu yang
menyehatkan, bahkan kesembuhan penyakit juga tergantung dari suasana hati. Hal senada
juga di ungkapkan oleh Susilo, pemeran Den Baguse Ngarso dalam acara Bangun Desa yang
ditayangkan TVRI pada awal tahun 90an. Menurut Susilo, anugerah terbesar yang diberikan
Tuhan kepada manusia adalah tertawa. Tertawa, hanya dimiliki manusia, sedangkan hewan
hanyalah ekspresi meringkik, meringis atau mendesis.

Panen Humor Lewat Kegelisahan (dok.pribadi)

14/5/2012 di BU UKSW, Salatiga, sebuah kesempatan langka bisa bertemu dan bertatap
muka langsung dengan seorang tokoh yang menurut saya bisa menanam benih cerita humor
dan berbuah tertawa. Raditya Dika, siapa tidak mengenal dia, seorang penulis novel hebat,
artis dan komedian. Sekarang yang terkenal dari dia adalah sebagai comics dalam stand up
comedy. Dalam acara talk show yang bertajuk Kreatif Menulis, Rejeki Tak Akan Habis,
mengajarkan audiens bagaimana cara menulis yang kreatif dan mendatangkan rejeki.

Disela-sela pemaparannya lewat slide-slide presentasi, kejenakaan Raditya Dika menjadi ciri
khasnya, lewat lelucon yang dibuat secara spontanitas. Genre tulisan Radit yang berbabu
humor, maka tak salah dia memaparkan bagaiaman brain storming untuk menciptakan tulisan
jenaka yang mampu mengocok perut pembacanya. Dari pemaparan Radit, sebenarnya sangat-
sangat sederhana mencari benih-benih lelucon yang siap ditanam untuk dipanen menjadi
buah-buah tertawa.

Secara umum sumber komedi dibagi menjadi dua, yakni: observatif dan situasional.
Obesvatif merupakan lelucon yang didapat dari pengamatan kita dari berbgai sudut pandang
dan dicari sudut-sudut mana yang dianggap lucu dan layak dijadikan lelucon. Komedi
situasional, berangkat dari kejadian-kejadian dan ditangkap apa yang lucu. Setelah mendapat
sumber bahan, lalu diolah menjadi bahan humor.

Radit mengungkapkan, buku Kambing Jantan hingga Manusia Setengah Salmon, berangkat
dari kegelisahan Dia. Kegelisahan yang disulap lewat tulisan dan disarikan lewat kejenakaan,
sehingga bukan kesedihan yang ada tetapi sebuha kelucuan. Memang acapkali terlihat
konyol, bodoh, tetapi disitulah esensi mencari benih-benih humor yang nantinya bisa
dipanen. Radit mencontohkan bagaimana kegelisahan Dia mengenai film-film horor di
Indonesia, yang nantinya bisa dijadikan bahan leluconnya. Contohnya 3 pocong idiot sudah
dipocong, idiot lagi, suruh sekolah napa?.

Inti dari kelucuan yang berangkat dari kegelisahan, tak ada artinya jika tidak dibagikan
kepada orang lain. tak mungkin kan akan ditertawakan sendiri, kelucuan tersebut..? kata
Dia. Untuk membagikan kelucuan tersebut, bisa kita bercerita, stand up comedy atau
dituliskan dalam sebuah buku. Bagi yang pede ditertawakan diatas panggung, nekat saya
menjadi comics, bagi yang tidak tahan silahkan menulis dan biarkan orang lain
menertawakan lewat tulisan.

Berbicara mengenali tulisan, Radit mengungkapkan bagaimana Dia 5 kali ditolak penerbit
dan memaksa 6 kali melakukan revisi tulisan. Bukan perkara yang mudah untuk menulis,
tetapi harus dipaksa dan dipaksakan. Apapun hasinya tulisanmu, tetaplah menulis walaupun
awalnya jelek kata Dia. Dia juga mengatakan jika tidak mood menulis, jangan berhenti,
tetapi paksa untuk menulisa, walau satu dua kalimat. lebih baik 1 atau 2 kalimat, yang nanti
bisa disunting, daripada nol atau tidak sama sekali.
Sebuah kesimpulan dari Raditya Dika its not what you say, its how you say it, bukan apa
yang anda katakan, tetapi bagaimana cara anda mengatakannya. Sebuah kesimpulan
sederhana, bagaimana mengolah hal-hal yang kecil, sederhana menjadi sebuah lelucon
terlebih lagi bisa dibagikan baik lewat stand up comedy atau tulisan. Pesan Dia, berikan
humor yang cerdas dan postif, sehingga orang lain bisa tertawa dan menilai serta
mengapresiasi lelucon-lelucon kita dengan baik. Pelajaran berharga bagaimana mencari
benih-benih humor agar bisa melemparkan buah-buah tertawa kepada orang lain.

Bukti carut marut PSSI


0
Posted on November 26, 2012
Minggu, 25 November 2012, 19:13 WIB
Timnas Indonesia Piala AFF 2012 (VIVAnews/Fernando Randy)
VIVAbola Indonesia nyaris dipermalukan Laos di laga pertama penyisihan grup B Piala
AFF di Stadion Bukit Jalil, Minggu 25 November 2012. Skuad Garuda yang sempat
tertinggal dua kali oleh Laos bisa memaksakan hasil imbang 2-2.
Indonesia tertinggal lebih dulu di menit 30 melalui penalti Khampheng Sayavutthi. Wasit
memberikan hadiah penalti setelah kiper Indonesia, Endra Prasetyo melakukan pelanggaran
di area terlarang. Wasit bahkan memberikan kartu merah kepada Endra.

Tiga menit berselang, giliran Laos terpaksa bermain dengan 10 pemain. Wasit mengganjar
kartu merah kepada Sopa Saysana karena melakukan pelanggaran keras kepada Andik
Vermansyah.

Akhir babak pertama, Indonesia bisa menyamakan kedudukan. Tepatnya di menit 43,
tendangan penjuru Tony Cusell berhasil ditanduk Bepe yang membentur tiang dan bola
rebound langsung disundul oleh Raphael Maitimo.

Di babak kedua, Laos kembali unggul di menit 79. Berawal dari kesalahan Wahyu yang
kehilangan bola, Keongviengphet segera menggiring bola dan melewati hadangan Novan
Setya, dan langsung menceploskan bola ke gawang Wahyu Tri.
Indonesia kembali menyamakan kedudukan di menit 89. Berawal dari tembakan Andik ke
gawang Laos dari sisi kiri pertahanan Laos. Berhasil ditepis kiper Laos namun bola muntah
langsung disambar Vendry Mofu. Skor 2-2 bertahan hingga laga usai.

Susunan Pemain:
Indonesia: Endra Prasetyo, Hamdi Ramdhan (Fachrudin Wahyudi, 71), Wahyu Wijiastanto,
Raphael Maitimo, Novan Sasongko, Oktovianus Maniani (Wahyu Tri Nugroho, 29), Taufiq,
Andik Vermansyah, Tony Cusell, Irfan Bachdim, Bambang Pamungkas (Vendry Mofu, 65)
Laos: Sengphachan, Ketsada, Khampoumy, Soukaphone, Visay (Sihavong, 72), Phatthana,
Vilayout (Keovingphet Liththideth, 31), Sopha, Viengsavanh (Kanlaya Sysomvang, 88),
Kovanh, Khampheng
Hello world!
0
Posted on Juli 30, 2012
Welcome to WordPress.com! This is your very first post. Click the Edit link to modify or
delete it, orstart a new post. If you like, use this post to tell readers why you started this blog
and what you plan to do with it.
Happy blogging!

Cari

Pos-pos Terakhir

Sejarah Pers Indonesia


Humor dari Kegelisahan ala Raditya Dika
Bukti carut marut PSSI
Hello world!

Arsip

Januari 2013
November 2012
Juli 2012

Kategori

Uncategorized
Meta

Mendaftar
Masuk log
RSS Entri
RSS Komentar
WordPress.com
melobi
Buat situs web atau blog gratis di WordPress.com. The Monster Theme.
Ikuti

Follow melobi

Get every new post delivered to your Inbox.

Sign me up

Buat situs dengan WordPress.com

Anda mungkin juga menyukai