Keluhan Tambahan
Seorang anak perempuan berusia 5 tahun dibawa oleh ibunya ke RS dengan keluhan
bengkak pada rahang bawah sebelah kiri sejak 2 hari SMRS. Bengkak tampak semakin
membesar, teraba lunak, dan terasa nyeri terutama saat membuka mulut. Kulit pada area
pembengkakan tampak kemerahan.
Demam muncul sejak 6 hari SMRS. Demam timbul secara mendadak, naik turun tidak
menentu sepanjang hari. Biasanya demam turun setelah diberikan obat paracetamol oleh ibunya.
OS mengeluh adanya nyeri pada kepala yang hilang timbul disertai nyeri pada daerah betis.
Sejak sakit, nafsu makan OS menjadi turun. Tidak terdapat keluhan pada BAB dan BAK-nya.
OS tidak pernah sakit seperti ini sebelumnya. Di sekolah, banyak teman-temannya yang
menderita sakit ini. OS telah mendapatkan imunisasi dasar lengkap hingga campak. Menurut
ibunya, pasien tidak diberi imunisasi MMR. OS tidak memiliki riwayat alergi maupun asma.
1
Lain-lain: Batuk pilek (+) Operasi (-) Kecelakaan (-)
Alergi
Asma
Tuberkulosis
Hipertensi
Diabetes
Kejang Demam
Epilepsi
Kelahiran
Tempat kelahiran : Puskesmas
Penolong persalinan : Bidan
Cara persalinan : Spontan
Masa gestasi : Cukup bulan (38 minggu)
Keadaan bayi : Berat badan lahir : 3600 gram
Panjang badan lahir : 50cm
Lingkar kepala : Tidak diketahui
Langsung menangis, tidak pucat/ biru/ kuning, tidak kejang
Nilai APGAR : Tidak diketahui
Kelainan bawaan : Tidak ada
RIWAYAT PERKEMBANGAN
2
Berbicara : 18 bulan
c. Emosi : Tidak ada gangguan
d. Sosialisasi : Bersosialisasi dengan sekitarnya
RIWAYAT IMUNISASI
BCG 2 bulan
DPT/ DT 2 bulan 4 bulan 6 bulan
Polio 0 bulan 2 bulan 4 bulan 6 bulan
Campak 9 bulan
Hepatitis B 0 bulan 1 bulan 6 bulan
MMR -
Tifoid -
PEMERIKSAAN FISIK
Pemeriksaan Umum
Tanda-tanda vital :
Data Antropometri
Berat badan : 20 kg
Panjang badan : 105 cm
Status gizi :
o BB/U : 20/18 x 100% = 111%
3
o TB/U : 105/112 x 100% = 93,75%
o BB/TB : 20/17 x 100% = 117,64%
o Kesan : Gizi baik
Lingkar kepala : 51 cm
Pemeriksaan Sistematis
Kepala :
Rambut dan kulit kepala : warna hitam mengkilap, distribusi merata, tidak mudah dicabut
Mata : konjungtiva anemis (-), sklera ikterik (-), pupil isokor, refleks
cahaya (+), sekret (-)
Telinga : bentuk normal, sekret (-), serumen (-), liang telinga lapang,
gendang telinga utuh
Hidung : bentuk normal, septum deviasi (-), sekret (-), krepitasi (-)
Leher : teraba pembesaran kelenjar parotis sebelah kiri, nyeri tekan (+), tidak teraba
pembesaran kelenjar tiroid, trakea lurus di tengah
Toraks :
Paru :
4
Inspeksi : pergerakan dada simetris saat statis dan dinamis, tidak ada bagian yang
tertinggal
Palpasi : tidak teraba massa, tidak ada pelebaran/ penyempitan sela iga, vokal
fremitus simetris
Perkusi : sonor pada kedua lapang paru
Auskultasi : suara napas vesikuler +/+, ronki -/-, wheezing -/-
Jantung :
Abdomen
Inspeksi : bentuk cembung, tidak ada pelebaran vena dan lesi kulit
Palpasi : tidak teraba massa dan pembesaran organ, nyeri tekan (-)
Perkusi : timpani pada seluruh perut
Auskultasi : bising usus (+)
Anus dan rektum : anus (+), tidak dilakukan pemeriksaan colok dubur
Anggota gerak : normotonus, akral hangat, CRT < 2 detik, edema (-)
Kulit : warna sawo matang, lesi kulit (-), turgor kulit baik
Pemeriksaan neurologis : tidak terdapat kelainan sensorik dan motorik, refleks fisiologis
(+), refleks patologis (-)
5
PEMERIKSAAN LABORATORIUM
27 Februari 2017
Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai rujukan
Darah Rutin
Elektrolit
Resume
Seorang anak perempuan berusia 5 tahun datang dengan keluhan demam sejak 6 hari
yang lalu, disertai nyeri kepala dan nyeri pada betis. Dua hari SMRS, tampak adanya
pembengkakan pada daerah rahang bawah kiri, teraba lunak dan nyeri. Kulit di area sekitarnya
tampak kemerahan. Terjadi pembesaran yang cepat dalam hitungan hari. Banyak teman
sekolahnya yang menderita sakit seperti ini. Dari pemeriksaan fisik, pasien tampak sakit sedang,
o
dengan frekuensi nadi 116x/ menit, frekuensi nafas 24x/ menit, dan suhu 38,4 C. Tampak
adanya pembesaran kelenjar parotis sebelah kiri dengan nyeri tekan (+). Pada pemeriksaan
laboratorium, tidak ditemukan adanya kelainan.
DIAGNOSIS KERJA
Parotitis epidemika
DIAGNOSIS BANDING
Parotitis supurativa
6
ANJURAN PEMERIKSAAN PENUNJANG
PROGNOSIS
Ad vitam : bonam
Ad functionam : bonam
Ad sanationam : bonam
PENATALAKSANAAN
KAEN IB 16 tpm
7
FOLLOW UP
28 Februari 2017
S: Demam hari ke-7 (+), bengkak pada rahang bawah kiri (+), nyeri (+), nyeri kepala (+)
A: Parotitis
1 Maret 2017
S: Demam (-), bengkak pada rahang bawah kiri (+), nyeri (+)
8
Ekstremitas: akral hangat, udem (-)
A: Parotitis
P: KAEN IB 16 tpm, paracetamol syr 3x2 cth, elkana syr 1x1 cth
ANALISA KASUS
Parotitis epidemika atau yang dikenal dengan mumps merupakan penyakit infeksi virus
yang menular. Penyebabnya adalah rubulavirus. Penyakit ini ditandai dengan adanya
pembengkakan pada kelenjar parotis yang didahului oleh demam.
Dari anamnesis, pasien mengalami demam sejak 6 hari SMRS dan terjadi pembengkakan
pada rahang bawah kiri yang disertai nyeri pada 2 hari SMRS. Pasien juga mengeluh adanya
nyeri kepala dan nyeri pada daerah betisnya. Teman-teman sekolahnya banyak yang menderita
sakit ini. Pasien telah mendapakan imunisasi dasar lengkap hingga campak.
Pada pengukuran suhu tubuh, OS mengalami demam (38,4 oC). Dari pemeriksaan fisik,
ditemukan adanya pembengkakan pada kelenjar parotis kiri, kulit tampak kemerahan, dan
terdapat nyeri tekan. Dari hasil pemeriksaan laboratorium tidak ditemukan adanya kelainan.
Tatalaksana yang diberikan bersifat simptomatis karena mumps bersifat self limiting
disease. OS diberikan paracetamol yang bersifat antipiretik dan analgetik. Perlunya tirah baring
serta asupan nutrisi yang adekuat untuk mempercepat proses penyembuhan.
Dari hasil follow up beberapa hari, pasien telah mengalami perbaikan. Biasanya
pembengkakan akan menghilang dalam 3-7 hari. Setelah dipulangkan dari rumah sakit, pasien
dianjurkan untuk tetap beristirahat dirumah serta untuk mencegah terjadinya penularan.
9
TINJAUAN PUSTAKA
Pendahuluan
Parotitis epidemika atau yang sering disebut gondongan merupakan penyakit infeksi akut
yang disebabkan oleh virus dengan predileksi pada jaringan kelenjar dan saraf. Parotitis bersifat
self limiting disease, yang banyak ditemukan pada anak-anak usia sekolah. Setelah
ditemukannya vaksin untuk parotitis, kejadian penyakit ini mulai menurun. Parotitis menyebar
melalui kontak langsung dengan air liur yang terinfeksi maupun menghirup virus yang telah
dibatukkan atau dibersinkan ke udara oleh seseorang yang dapat menularkan penyakit.1
Epidemiologi
10
5 kasus/ tahun setelah tahun 2000. Selama tahun 2008 hanya didapatkan satu kasus parotitis
epidemika.2
Penyebaran terjadi dari manusia ke manusia lewat kontak langsung droplet, seperti saliva
ataupun bahan-bahan yang tercemar oleh saliva terinfeksi, yang kemudian terhirup oleh orang
sehat melalui saluran pernafasan. Orang yang terinfeksi menyebarkan virusnya melalui batuk,
bersin, berbicara, menggunakan alat makan bersama, menyentuh benda dengan tangan kotor
yang kemudian tersentuh oleh orang lain.3 Penularan terjadi 24 jam sebelum pembengkakan
kelenjar ludah dan 3 hari setelah pembengkakan menghilang.
Etiologi
Penyebab dari parotitis epidemika adalah Rubulavirus, virus RNA untai tunggal negatif
sense dengan ukuran 100-600 nm, termasuk dalam genus Paramyxovirus, dan famili
Paramyxoviridae. Rubulavirus dapat ditemukan di saliva, cairan serebrospinal, urin, darah, dan
jaringan yang terinfeksi. Bahan kimia (eter, formalin, kloroform), panas, dan sinar ultraviolet
dapat menginaktivasi virus ini.4,5
Patogenesis
Virus masuk ke dalam tubuh melalui hidung atau mulut, yang kemudian bereplikasi pada
mukosa saluran nafas bagian atas dan menyebar ke kelenjar limfe lokal. Terjadi viremia umum
yang berlangsung 3-5 hari. Kemudian virus berkembang biak di kelenjar parotis, ovarium,
pankreas, tiroid, ginjal, jantung maupun otak. Apabila virus berhasil mencapai sistem saraf pusat
dan bermultiplikasi, dapat menyebabkan meningoensefalitis.
Parotitis epidemika menyebabkan peningkatan pada IgM dan IgG, yang terdeteksi
melalui pemeriksaan Enzyme Linked Immunosorbent Assay (ELISA). IgM meningkat pada
stadium awal infeksi, mencapai puncaknya pada minggu pertama, dan bertahan selama 5-6
bulan. Sedangkan IgG muncul pada akhir minggu pertama, mencapai puncaknya pada 3 minggu
kemudian, dan bertahan seumur hidup.
Gejala Klinis
11
Lama masa inkubasi dari parotitis epidemika adalah 14-24 hari. Pada awalnya, muncul
gejala prodromal seperti perasaan lesu, nyeri otot, sakit kepala, nafsu makan menurun, demam,
dan adanya pembesaran yang cepat satu/ dua kelenjar parotis maupun kelenjar submaksilaris dan
sublingual. Anak kemudian akan mengeluh adanya sakit telinga dan sakit rahang, yang
diperberat jika mengunyah makanan. Dalam beberapa hari, kelenjar parotis mengalami
pembesaran yang cepat dengan ukuran maksimal dalam 1-3 hari. Hal ini menyebabkan aurikula
akan terangkat dan terdorong ke lateral. Terdapat rasa nyeri yang hebat selama masa pembesaran
kelenjar. Setelah mencapai ukuran maksimum, rasa nyeri akan berkurang. Daerah yang
membengkak tampak kemerahan, teraba lunak dan nyeri tekan. Pembengkakan akan menghilang
dalam 3-7 hari. Kadang ditemukan adanya edema laring dan palatum mole sehingga tonsil
terdorong ke tengah.
Pembengkakan pada kelenjar submaksilaris memiliki intensitas nyeri yang lebih ringan
namun menghilang lebih lambat. Pembesaran pada kelenjar sublingual paling jarang terjadi,
biasanya bilateral dan pembengkakan mulai dari regio submental dan dasar mulut.
Orkitis-epididimis merupakan gejala yang cukup sering terjadi pada laki-laki yang telah
pubertas. Pembengkakan biasanya muncul pada minggu pertama. Orkitis didahului dengan
demam tinggi, menggigil, sakit kepala, mual, muntah, dan nyeri perut bagian bawah. Testis
mengalami pembengkakan yang cepat, hingga 4 kali dari ukuran normal. Terasa nyeri pada testis
yang diserang, dengan kulit disekitarnya tampak edema dan merah. Komplikasi yang jarang
terjadi adalah impotensi hingga sterilitas. Pada anak perempuan yang mengeluh nyeri perut
bagian bawah pertimbangkan adanya oovoritis.
Bila terjadi meningoensefalitis maka timbul gejala berupa sakit kepala, demam, kaku
kuduk, mual, muntah, gangguan kesadaran, screaming attack, kejang, dan kadang disertai
dengan kelainan neurologis.
Diagnosis
12
Pemeriksaan laboratorium yang dapat dilakukan untuk menunjang diagnosis yaitu:
Tatalaksana
Parotitis epidemika merupakan penyakit yang dapat sembuh sendiri. Pengobatan yang
diberikan pada parotitis difokuskan pada menghilangkan gejala yang ada hingga system imun
tubuh yang melawan infeksi virusnnya. Terapi yang diberikan berupa istirahat yang cukup,
hidrasi adekuat dan asupan nutrisi yang cukup. Hindari minuman yang asam karena dapat
mengiritasi kelenjar parotis dan makan makanan yang tidak memerlukan banyak menguyah.
Dapat diberikan paracetamol untuk mengurangi rasa nyeri pada daerah pembengkakan kelenjar.
Untuk mempercepat proses penyembuhan, dapat dilakukan kompres hangat. Tidak ada antivirus
yang tepat digunakan untuk penyakit ini.6
Komplikasi
Komplikasi dari parotitis epidemika jarang terjadi. Namun apabila telah terjadi
komplikasi maka dapat berakibat fatal. Berikut komplikasi dari parotitis, yaitu:
Ketulian yang disebabkan oleh neuritis pada saraf pendengaran. Ketulian bersifat
permanen, biasanya diawali dengan gejala tinnitus, ataxia, dan muntah.
Komplikasi pada neurologis yaitu mielitis dan neuritis saraf fasialis. Komplikasi yang
terjadi pasca ensefalitis adalah epilepsi, gangguan motorik, retardasi mental, iritabel,
emosi tidak stabil, dan hidrosefalus.
13
Diabetes mellitus. Patogenesis timbulnya diabetes hingga saat ini masih belum jelas.
Virus parotitis dapat merusak sel beta pankreas, namun kerusakan pankreas belum pernah
terdokumentasikan.
Miokarditis pernah dilaporkan namun sangat jarang. Pada EKG, terdapat depresi segmen
ST, perubahan gelombang T, dan pemanjangan interval PR. Gejala yang timbul berupa
bradikardia dan kelelahan.
Artritis sangat jarang ditemukan pada anak-anak, lebih banyak pada dewasa. Nyeri pada
lutut, pergelangan kaki dan tangan, serta bahu paling sering dikeluhkan. Gejala akan
hilang dalam beberapa hari hingga bulan.
Tiroiditis biasa ditemukan 1 minggu setelah onset parotitis. Ditandai adanya
pembengkakan pada kelenjar tiroid dan peningkatan antibodi antitiroid.
Prognosis
Secara umum, prognosis dari parotitis epidemika adalah baik karena dapat sembuh
sendiri. Terjadinya komplikasi seperti ketulian, sterilitas, dan adanya sekuele dari
meningoensefalitis jarang terjadi.
Pencegahan
Untuk mencegah terkena parotitis epidemika, maka dapat diberikan imunisasi aktif dari
virus hidup yang dilemahkan. Tersedia vaksin dalam bentuk monovalen maupun kombinasi
dengan vaksin campak dan rubella yang disebut MMR. Penggunaan vaksin kombinasi maupun
monovalen, menghasilkan respon imun yang sama.
Di Indonesia, diberikan vaksin MMR pada anak usia 12-18 bulan secara intramuskuler
dengan dosis 0.5 ml, dan diulang pada usia 4-6 tahun. Vaksin kedua ini dapat diberikan sebelum
usia 4 tahun, dan diberikan sekurang-kurangnya 28 hari setelah dosis pertama. Vaksin ini efektif
dalam meningkatkan kadar antibodi didalam tubuh dan memberikan perlindungan hingga
90%.7,8,9
Pada penderita parotitis diharapkan tetap tinggal di rumah selama sembilan hari setelah
pembengkakan mulai untuk mencegah terjadinya penularan virus ke orang lain. 10 Pencegahan
lain yang dapat dilakukan yaitu rutin mencuci tangan serta menggunakan tissue untuk menutupi
mulut dan hidung ketika batuk maupun bersin
14
Daftar Pustaka
1. Soedarmo SSP, Garna H, Hadinegoro SRS, dkk. Buku ajar infeksi dan pediatri tropis.
Edisi ke-2. Jakarta: Badan Penerbit IDAI; 2008. h.195-203.
2. Pudjiadi MTS, Hadinegoro SRS. Orkitis pada infeksi parotitis epidemika. Sari Pediatri
Vol. 11 No. 1 [serial online] 2009 June [cited 2017 March 16]: 47-51. Available:
http://saripediatri.idai.or.id/
3. Centers for disease control and prevention. Mumps. CDC. 2015 May. Available:
https://www.cdc.gov/mumps/about/
4. Defendi GL. Mumps. Medscape. 2016 April. Available: http://reference.medscape.com/
5. White SJ, Boldt KL, Holditch SJ, dkk. Measles, Mumps, and Rubella. NCBI Clin Obstet
Gynecol Vol. 55 No. 2 [serial online] 2012 June [cited 2017 March 16]: 55059.
Available: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/
6. NHS Choices. Mumps. NHS-UK. 2015 August. Available:
http://www.nhs.uk/Conditions/Mumps/
7. Marcdante KJ, Kliegman RM, Jenson HB, dkk. Nelson ilmu kesehatan anak esensial.
Edisi ke-6. Jakarta: Saunders Elseviers; 2014. h. 392.
8. Ranu IGN, Suyitno H, Hadinegoro SRS, dkk. Pedoman imunisasi di Indonesia. Edisi ke-
5. Jakarta: Balai Penerbit IDAI; 2014. h. 322-29.
9. Rubin S, Kennedy R, Poland G. Emerging Mumps Infection. The Pediatric Infectious
Disease Journal Vol. 35 No. 7 [serial online] 2016 July [cited 2017 March 16]: 799-801.
Available: http://journals.lww.com/
10. Communicable diseases. Mumps. NSW government [serial online] 2013 August. [cited
2017 March 16]: 1-2. Available: http://www.mhcs.health.nsw.gov.au/
15