Anda di halaman 1dari 22

4.

HASIL DAN PEMBAHASAN


4.1 BPBAP SITUBONDO
4.1.1 Sejarah Berdiri
4.1.2 Deskripsi Lokasi Praktikum, Sarana dan Prasarana
4.2 Indukan Kerapu Macan
a. Klasifikasi dan Morfologi (Gambar Literatur)
Sistematika kerapu macan atau kerapu tiger menurut Randall (1987) dalam
Subyakto dan Cahyaningsih (2005) sebagai berikut:
Filum : Chordarta
Subfilum : Vertebrata
Kelas : Osteichtyes
Subkelas : Actinopterigi
Ordo : Percoidae
Famili : Serranidae
Genus : Epinephelus
Spesies : Epinephelus fuscogattatus
Ciri-ciri morfologi ikan kerapu macan antara lain bentuk tubuh pipih, yaitu
lebar tubuh lebih kecil dari pada panjang dan tinggi tubuh, rahang atas dan bawah
dilengkapi dengan gigi yang lancip dan kuat,mulut lebar, serong ke atas dengan
bibir bawah yang sedikit menonjol melebihi bibir atas, sirip ekor berbentuk bundar,
sirip punggung tunggal dan memanjang dimana bagian yang berjari-jari keras
kurang lebih sama dengan yang berjari-jari lunak, posisi sirip perut berada di
bawah sirip dada, serta badan ditutupi sirip kecil yang bersisik stenoid (Mariskha
dan Abdulgani, 2012).

Gambar 1. Indukan kerapu macan (Sugama et al. 2013).


Mariskha, P. R., dan Nurlita A. 2012. Aspek reproduksi ikan kerapu macan
(Epinephelus sexfasciatus) di perairan Glondonggede Tuban. Jurnal
Sains dan Seni ITS. 1 (1): 2301-2305.
Subyakto, S dan S. Cahyaningsih. 2005. Pembenihan Kerapu Skala Rumah
Tangga. Agromedia Pustaka: Jakarta. Hal 2.
Sugama, K., M. A. Rimmer, S. Ismi., I. Koesharyani, K. Suwirya., N.A. Giri dan V.
R. Alava. 2013. Pengelolaan Pembenihan Kerapu Macan
(Epinephelus fuscoguttatus): Suatu Panduan Praktik Terbaik.
Australian Centre for Internasional Agricultural Research: Canberra.
66 hal.
b. Habitat
Menurut Saparinto (2013), kerapu suka pada habitat dasar pasir berkarang
dan ada yang di daerah muara-muara sungai. Kerapu hidup pada perairan dangkal
berkedalaman 1-3 m, bahkan hingga 7-40 m. Di Indonesia, kerapu hampir ada di
daerah-daerah pantai yang memiliki karakteristik tersebut. Kondisi perairan untuk
pertumbuhan dan perkembangan kerapu, yaitu suhu air 28-32C, salinitas 28-35
ppt, pH 7,8-8,3, dan oksigen terlarut 5 ppm. Selain itu, tidak adanya bahan-bahan
pencemar dan berbahaya dalam perairan tersebut.
Saparinto, C. 2013. Bisnis Ikan Konsumsi di Lahan Sempit. Jakarta: Penebar
Swadaya. 196 hlm.
c. Kebiasaan Makan
Pakan yang diberikan berupa ikan rucah jenis selar, ekor kuning, belanak,
sarden, dan cumi-cumi sebanyak 5-7% dari bobot biomassa induk. Pakan
diberikan pada pagi hari antara pukul 07.00-08.00. Di samping itu, pemberian
multivitamin juga diberikan untuk menjaga kesehatan dan stamina induk
(Soemarjati et al., 2015).
Soemarjati, W., A. B. Muslim., R. Susiana dan C. Saparinto. 2015. Bisnis dan Budi
Daya Kerapu. Penebar Swadaya: Jakarta. 148 hal.
d. Reproduksi
Ikan kerapu macan termasuk dalam jenis ikan yang hermaprodit protogini.
Ikan ini memulai siklus reproduksinya sebagai ikan betina yang berfungsi
kemudian berubah menjadi ikan jantan yang berfungsi. Perubahan kelamin ini
dipengaruhi ukuran, umur, dan jenis. TKG ikan kerapu jantan lebih cepat matang
gonad dibandingkan ikan kerapu betina. Ikan kerapu jantan sudah bisa
mengeluarkan serma dalam waktu seminggu. Sedangkan ikan kerapu betina
membutuhkan waktu yang relatif lebih lama untuk matang gonad dan
mengeluarkan telur. Hal ini dikarenakan pada ikan betina dibutuhkan waktu yang
relatif lama untuk proses vitelogenesis (Mariskha dan Abdulgani, 2012).
Mariskha, P. R. dan N. Abdulgani. 2012. Aspek reproduksi ikan kerapu macan
(Epinephelus sexfasciatus) di perairan Glondonggede Tuban. Jurnal Sains
dan Seni ITS. 1(1): 27-31.
e. Pengelolaan Kualitas Air
pH
Menurut Mahyudi et al. (2015), pengukuran kualitas air dengan parameter
kimia antara lain nilai derajad keasaman atau pH. pH adalah suatu tingakat asam
basa suatu perairan. Peningkatan pH dipengaruhi oleh limbah organik maupun
anorganik yang di buang ke sungai. Air dengan nilai pH sekitar 6,5 7,5
merupakan air normal yang memenuhi syarat untuk suatu kehidupan. pH 7,5-8.1
masih dapat digunakan untuk sarana rekreasi, pembudidayaan ikan air tawar,
peternakan dan pertanian.
Mahyudi, Soemarno dan T. B. Prayogo. 2015. Analisis kualitas air dan strategi
pengendalian pencemaran air sungai metro di Kota Kepanjen Kabupaten
Malang. J. PAL. 6(2):105-114.
Suhu
Menurut Panji et al. (2014), Ikan kerapu merupakan komoditas ekonomis penting
yang banyak diminati masyarakat. Dalam kegiatan pembesaran kerapu jenis ini
memiliki mortalitas tinggi dimana sering kali disebabkan oleh faktor lingkungan dan
pasokan makanan. Variabel kualitas air yang cukup berpengaruh adalah suhu,
DO, salinitas dan PH air, pada kegiatan pembesaran suhu yang baik untuk
pertumbuhan kerapu berkisar antara 24-310C.
Sumber
Panji, B., Suminto dan D. Chilmawati. 2014. PENGARUH Chlorella sp. Dari hasil
pencucian bibit sel yang berbeda dalam feeding regimes terhadap pertumbuhan
dan kelulushidupan larva kerapu macan (epinephelus fuscoguttatus). Journal of
Aquaculture Management and Technology. 3(4): 289-298.
Salinitas
Salah satu faktor penentu keberhasilan budidaya kerapu macan adalah
salinitas. Salinitas dapat berubah-ubah salah satunya karena curah hujan. Curah
hujan yang terlalu tinggi menyebabkan berlimpahnya air dan menurunkan salinitas
sehingga ikan akan stress karena penurunan salinitas yag terlalu drastic. Salinitas
yang optimal untuk indukan kerapu macan adalah 28-35 ppt. (Soemarjati, et
al.,2015).
Soemarjati, W.,A.B Muslim., R. Susiana dan C. Saparinto. Bisnis dan Budi Daya
Kerapu. Jakarta : Penebar Swadaya. 148 hlm.
Dissolved Oxygen (DO)
Oksigen terlarut merupakan parameter yang paling kritis di dalam budidaya
ikan. Oksigen berasal dari proses difusi udara dan fotosintesis. Salah satu factor
yang mempengaruhi kadar oksigen terlarut adalah suhu. Peningkatan suhu dapat
mengakibatkan peningkatan kecepatan metabolisme dan respirasi organisme air,
sehingga akan berpengaruh terhadap pengurangan kadar oksigen terlarut dalam
perairan. Kadar oksigen yang baik untuk ikan kerapu macan (E. fuscoguttatus)
adalah > 5 mg/l (Haryanto, et al., 2014).
Haryanto, P., Pinandoyo dan R. W. Ariyati. 2014. Pengaruh dosis pemberian
pakan buatan yang berbeda terhadap pertumbuhan juvenil kerapu macan
(Epinephelus fuscoguttatus). Journal of Aquaculture Management and
Technology. 3(4): 58-66.
Kecerahan
Menurut Sudradjat (2015), sesuai dengan sifatnya yang sangat
dipengaruhi oleh kondisi perairan lingkungan bagi kegiatan budidaya laut dalam
karamba jaring apung sangat menentukan keberhasilan usaha. Pemilihan lokasi
yang baik harus mempertimbangkan aspek fisika, kimia dan biologi perairan yang
cocok untuk komoditas laut tersebut. Beberapa kriteria kualitas air dan lahan yang
optimum untuk budidaya ikan dalam KJA, diantaranya adalah kecerahan yang
cocok untuk budidaya di KJA adalah sebesar 3 meter.
Daftar Pustaka :
Sudradjat, Achmad. 2015. Budidaya 26 Komoditas Laut Unggul. Penebar
Swadaya. Jakarta. 188 hlm.
f. Konstruksi Kolam
Kolam pembudidayaan ikan ,pada umumnya pematang dan dasar kolam
tanah, hanya sebagian kecil yang pematang kolam dibuat dari bahan semen
(beton). Pintu pemasukan air ke kolam terdiri : bambu, pipa paralon, dan sebagian
lagi tidak gunakan bambu atau pipa paralon. Demikian pula untuk pintu
pengeluaran air dari kolam (untuk mengatur tinggi air di kolam) dan pintu untuk
panen (Koten, et al .,2015)
Koten ,E.,L.L.J.J.Mondoringin dan I.R.N.Salindeho. Evaluasi Usaha
Pembudidayaan Ikan di Desa Matungkas Kabupaten Minahasa Utara.Jurnal
budidaya Perairan.3(1):203-210.
g. Biosecurity
Biosecurity dalam suatu usaha budidaya yang bertujuan untuk menghindari
hal-hal yang bersifat negatif bagi hewan budidaya ke dalam wadah kolam
budidaya. Biosecurity dapat dilakukan dengan menggunakan pagar keliling yang
bertujuan untuk mencegah hewan berkeliaran di daerah budidaya. Biosecurity juga
dapat dilakukan dengan pemberian desinfektan di depan pintu masuk dan jalur
kolam yang bertujuan untuk menghindari penyebaran penyakit (Bazar et al., 2013)
4.3 Pembenihan Kerapu Tikus
a. Klasifikasi dan Morfologi (Gambar Literatur)
a. Klasifikasi dan Morfologi
Menurut Weber and Beofort (1940) dalam Putri et al (2013), taksonomi ikan
kerapu tikus adalah sebagai berikut:
Phylum : Chordata
Subphylum : Vertebrata
Class : Osteichthyes
Sub Class : Actinopterigi
Ordo : Percomorphi
Sub Ordo : Percoidea
Famili : Serranidae Gambar 1. Ikan Kerapu Tikus
Genus : Cromileptes (Murtidjo, 2002)

Spesies : Cromileptes altivelis


Putri, D. I. L., A. Tumulyadi dan Sukandar. 2013. Tingkah Laku Pemijahan,
Pembenihan, Pembesaran Ikan Kerapu Tikus (Cromileptes Altivelis) di Balai
Budidaya Air Payau Situbondo. PSPK STUDENT JOURNAL. 1(1): 11-15.
Ikan kerapu tikus memiliki bentuk badan yang lonjong dan agak gepeng.
Tubuh ikan kerapu tikus memiliki warna dasar abu-abu dengan bintik-bintik hitam
berukuran cukup besar dan terbatas jumlahnya. Warna badan bagian atas merah
sawo matang, di bagian bawah keputihan. Pada seluruh badan, baik kepala
sampai ujung ekor termasuk siripnya, terdapat noda-noda berwarna coklat tua
yang menyebar secara merata (Murtidjo, 2002)
Murtidjo, B. A. 2002. Budidaya Ikan Kerapu dalam Tambak. Yogyakarta: Kanisius.
60 hlm.
b. Habitat
Habitat favorit larva kerapu tikus muda adalah perairan pantai yang
pasirnya berkarang dan banyak ditumbuhi padang lamun (ladang terumbu
karang). Pada siang hari, larva kerapu biasanya tidak muncul ke permukaan air,
sebaliknya pada malam hari, larva kerapu banyak muncul ke permukaan air. Hal
ini sesuai dengan sifat kerapu sebagai organisme nocturnal, yakni pada siang hari
lebih banyak bersembunyi di liang-liang karang dan pada malam hari aktif
bergerak di kolom air untuk mencari makanan. (Subyakto, et al. 2003 dalam Putri.
et al. 2013).
Putri. D. I. L., A. Tumulyadi dan Sukandar. 2013. Tingkah laku pemijahan,
pembenihan, pembesaran ikan kerapu tikus (Cromileptes altivelis) di Balai
Budidaya Air Payau Situbondo. PSPK Student Journal. 1(1):11-15.
c. Kebiasaan Makan
Menurut Marzuqi, et al. (2012), peningkatan kualitas benih kerapu tikus dapat
dilakukan dengan perbaikan mutu pakan bernilai nutrisi lengkap dan seimbang
untuk mendukung pertumbuhan, kesehatan dan kelangsungan hidup benih kerapu
tikus. Informasi terhadap kebutuhan nutrient benih kerapu tikus masih terbatas dan
beberapa penelitian nutrisi terhadap juvenil telah diperoleh antara lain kebutuhan
protein sebesar 54,20%. Kebiasaan makanan dari larva ikan kerapu tikus adalah
zooplankton yaitu rotifer yang memiliki kandungan gizi yang mencukupi untuk
larva.
Sumber Pustaka:
Marzuqi, M., N. A. Giri dan K. Suwirya. 2012. Kebutuhan asam lemak -3 hufa
dalam pakan untuk pertumbuhan juvenil kerapu tikus (Cromileptes altivelis).
Jurnal Perikanan (J. Fish. Sci.). 7 (2): 115-120.
d. Reproduksi
Ikan kerapu tikus merupakan salah satu ikan yang memiliki keistimewaan
dalam pertumbuhan siklus reproduksinya. Kerapu Tikus termasuk dalam ikan
hermaprodit protogini yang mengalami perubahan kelamin dari betina ke jantan.
Perubahan tersebut terjadi setelah ikan betina berukuran di atas 2,5 kg pada saat
ikan berumur diatas 2-2,5 tahun. Ikan jantan mempunyai berat kisaran diatas 3 kg.
Ciri-ciri ikan kerapu jantan warnanya lebih terang dari pada ikan kerapu tikus yang
berkelamin betina (Putri el al., 2013).
Putri, D, I, l., Tumulyadi, A dan Sukandar. 2013. Tingkah laku pemijahan,
pembenihan, pembesaran ikan kerapu tikus (cromileptes altivelis) di balai
budidaya air payau situbondo. Pspk Student. 1 (1) : 11-15..
e. Pengelolaan Kualitas Air
pH
Menurut Soemarjati, et al. (2015), pemilihan lokasi menjadi hal yang
penting untuk diperhatikan dalam pembenihan kerapu. Faktor-faktor yang harus
diperhatikan dalam pemilihan lokasi pembenihan diantaranya adalah lokasi
pembenihan dan kualitas air yang mendukung. Lokasi pembenihan haruslah
berada ditepi pantai untuk memudahkan dalam memperoleh sumber air,
sedangkan kualitas air yang harus diperhatikan yaitu salinitas, suhu dan pH dari
air yang digunakan. Salinitas yang baik bagi usaha pembenihan kerapu yaitu 28-
35 ppt dengan suhu 30-31C. sementara itu untuk kadar PH yang optimal yaitu
berkisar antara 7,8-8,3.
Soemarjito, W., A. B. Muslim, R. Susiana dan C. Saparinto. 2015. Bisnis dan Budi
Daya Kerapu. Penebar Swadaya. Jakarta. 148 hlm.
Suhu
Budidaya ikan kerapu membutuhkan air yang memiliki kualitas baik. Suhu
perairan yang optimal untuk pembenihan ikan kerapu tikus yaitu sekitar 27-32C.
Secara umum, suhu perairan pada siang hari lebih tinggi daripada suhu pada
waktu malam hari dan pagi hari. Hal ini terjadi karena siang hari intensitas cahaya
yang masuk ke dalam suatu perairan lebih banyak.
Dody, S dan D. L. Rae,. Laju pertumbuhan ikan kerapu bebek yang
dipelihara dalam keramba jaring apung. Oseanografi dan Limnologi di
Indonesia.1(1):11-17
Salinitas
Suhu yang sesuai untuk ikan kerapu tikus yaitu 29 oC-32 oC dengan
salinitas 33 ppt. Rangsangan dari lingkungan yang dilakukan yaitu dengan
menurunkan ketinggian air pada pagi hari hingga sore dan menaikkan air kembali
pada sore hari. Pada saat pemijahan, juga dibutuhkan suasana yang tidak berisik
dan tenang. Selain itu, saat musim hujan juga mempengaruhi pemijahan ikan,
karena seringnya terjadi hujan yang deras maka pemijahan ikan kerapu tikus yang
berlangsung alami dapat terganggu namun pada umumnya Ikan kerapu tikus akan
memijah sepanjang tahun (Putri et al., 2013).
Putri, D.I.L., A. Tumulyadi dan Sukandar.2013.Tingkah laku pemijahan ,
pembenihan, pembesaran ikan kerapu tikus (Cromileptes altivelis) di Balai
Budidaya Air Payau Situbondo.PSPK Student Journal.1(1):11-15.
Dissolved Oxygen (DO)
Kerapu suka pada habitat dasar pasir berkarang dan ada yang di daerah
muara-muara sungai. Kerapu hidup pada perairan dangkal berkedalaman 1-3 m,
bahkan hingga 7-40 m. Di indonesia, kerapu hampir ada di daerah-daerah pantai
yang memiliki karakteristik berikut. Kondisi perairan untuk pertumbuhan dan
perkembangan kerapu, yaitu suhu air 28-32 0c, salinitas 28-35 ppt, pH 7,8-8,3,
dan oksigen terlarut 5 ppm. Selain itu, tidak adanya bahan-bahan pencemar dan
berbahaya dalam perairan tersebut ( Saparinto, 2013).
Saparinto, cahyo.2013. Bisnis Ikan Konsumsi Di Lahan Sempit. Penebar
Swadaya, Jakarta. 198 hlm.
Kecerahan
Parameter ekologi yang cocok untuk pertumbuhan ikan kerapu, yaitu
temperatur air antara 24 31 0C, salinitas antara 30 33 ppt, kandungan
oksigen terlarut lebih dari 3,5 ppm dan pH antara 7,8 8 (Yushimitsu et al.,
1986), sedangkan untuk pembenihan kerapu tikus, standar mutu air laut sesuai
dengan parameter kualitas air antara lain : suhu (28 32 0C), salinitas (30 33
ppt), kesadahan (80 120 mg/liter), pH ( 7 8), DO (> 5 ppm), Phosphate
(< 0,1 mg/liter), Amoniak (< 0,5 mg/liter), NO2(< 0,1 mg/liter, NO3(< 0,5
mg/liter) dan kecerahan maksimum. Untuk pemeliharaan induk kerapu bak
induk harus dilengkapi sistem air mengalir dengan laju pergantian air paling
sedikit 200 % perhari dengan salinitas 34 35 ppt dan suhu antara 27 31
0C(BBAP Situbondo, 2002 dalam Romadlon dan Sholihin, 2013)
Romadlon, A dan Sholihin. 2013. Aspek teknis penerapan cara pembenihan
ikan yang baik (cpib) pada ikan kerapu tikus (Cromileptes altivelis). Jurnal ilmu perikanan. 4 (2)
: 76-85.
f. Konstruksi Kolam
Menurut Mahyuddin (2010), hatchery adalah sebuah bangunan tertutup
yang berfungsi sebagai tempat memproduksi benih mulai dari pemijahan hingga
menghasilkan larva da benih. Idealnya, suatu hatchery didesain khusus agar
tempat penetasan telur dan pemeliharaan larva terlindungi dari perubahan suhu,
curah hujan, angin dan hama predator. Luas bangunan ikan, yaitu berkisar 20-
70m2.
Mahyuddin,K. 2010. Panduan Lengkap Agribisnis Patin. Penebar
Swadaya.Jakarta.
g. Biosecurity
Pencegahan hama dan penyakit dilakukan dengan pengelolaan kualitas
air, sanitasi tempat dan sarana produksi dan biosecurity. Hama dan penyakit dapat
muncul pada saat kondisi ikan dan lingkungan yang kurang baik. Biosecurity yang
digunakan adalah larutan kalium permanganat. Setiap pekerja yang masuk tempat
produksi wajib melewati dan mencelupkan alas kaki kedalam kolam
biosecurity.Sanitasi dilakukan dengan cara menyemprot lantai tempat produksi
dengan air tawar setiap hari dan setiap pekerja harus menjaga kebersihan diri dan
peralatan agar tidak terkontaminasi. Sanitasi menggunakan alkohol 70 % atau
sabun pencuci tangan untuk membersihkan tangan (Prakosa et al., 2013).
Prakosa, D.G., W. E. Kusuma dan S. S. Pramujo. 2013. Pembenihan ikan kerapu
tikus (Cromileptes altivelis) di instalasi pembenihan balai budidaya air
payau (BBAP) Situbondo, Jawa Timur. Jurnal ilmu perikanan. 4(2):1-9.
4.3 Pembesaran Udang Vaname
a. Klasifikasi dan Morfologi
Menurut Wyban et al (2000) dalam Rafiqie (2014), klasifikasi udang
vannamei (Litopenaeus vannamei) sebagai berikut :

Kingdom : Animalia

Filum : Anthropoda

Kelas : Crustacea

Ordo : Decapoda

Famili : Penaidae (Sudradjat, achmad dan wedjatmiko, 2010)

Genus : Litopenaeus

Spesies : Litopenaeus vannamei

Rafiqie, musyaffa. 2014. Penyakit udang vaname (Litopenaeus


vannnamei) di tambak PT Tanjung Bejo, Pajarakan Kabupaten Probolinggo.
Samakia : Jurnal Ilmu Perikanan. 5(1) : 20-24.

Menurut WWF (2014), Udang vanname memiliki karapas atau kulit luar
yang keras. Setiap udang berganti kulit, karapas akan lepas dan berganti karapas
yang baru. Pada pertumbuhan udang vanname dipengaruhi oleh frekuensi molting
atau ganti kulit dan pertumbuhan pada setip molting.

Tim perikanan WWF Indonesia. 2014. Budidaya Udang vanname. WWf Indonesia

b. Habitat
Keunggulan yang dimiliki udang vannamei masih merupakan keunggulan
ekonomis, belum/tidak meruakan keunggulan ekologis. Walaupun udang
vannamei, seperti udang lainnya adalah hewan berumur endek, tetapi peluang
udang ini berkembang di perairan Indonesia lebih terbuka apabila udang tersebut
dapat lolos ke perairan bebas. Hal ini karena udang vannamei sangat toleran
terhada salinitas ( kadar garam ) air sehingga memungkinkan dapat hidup dengan
baik di berbagai habitat (Kordi, 2008).

Kordi, M. G. H. K. 2008. Budidaya Perairan. Citra Aditya Bakti.


c. Kebiasaan Makan

kebiasaan makan (Feeding behaviour), Udang vannmie hidup dan mencari


makan di dasar perairan (benthic). Untuk pakan utama, sarana dan prasarana
yang lengkap baikkonstruksi maupun manajemen budidaya. Kandunganprotein
pakan udang buatan (pellet) cukup tinggi, yaitu sekitar40%. Sehingga proses
pembusukan (perombakan) pellet akanmenghasikan senyawa nitrogen anorganik
berupa NH3-N danNH4+ yang merupakan salah satu senyawa toksik bagi udang.
Kualitas pakan yang baik tergantung padakandungan protein, lemak, serat kasat
dan beberapanutrien lain yang perlukan bagi pertumbuhanudang. Nutrisipada
pakan seperti protein, lemak, karbohidrat,mineral dan vitamin menjadi faktor
penting yangmendukung kelangsungan hidup dan lajupertumbuhan pada udang
(Romadhona, et al., 2016).

Romadhona, B., B, Yulianto dan Sudarno. 2016. FLUKTUASI KANDUNGAN


AMONIA DAN BEBAN CEMARAN LINGKUNGAN TAMBAKUDANG
VANAME INTENSIF DENGAN TEKNIK PANEN PARSIAL DAN
PANEN TOTAL. Jurnal Saintek Perikanan. 11 (2): 84-93

d. Reproduksi

Beberapa penelitian menunjukkan bahwa frekuensi kematangan gonad dan


pemijahan induk udang dari alam lebih tinggi dibandingkan induk asal tambak
serta penurunan fekunditas telur dari setiap pemijahan signifikan terjadi pada
induk asal tambak dibandingkan induk alam (Primavera & Posadas, 1981).
Rendahnya performansi reproduksi induk asal tambak diduga berhubungan
dengan tidak lengkapnya komposisi nutrisi esensial dalam pakan yang diberikan
selama masa perkembangan gonad (fase prematurasi dan maturasi) di tambak.
Penurunan kualitas telur dan larva yang terjadi pada induk alam terutama setelah
pemijahan yang kedua kalinya juga diduga karena faktor nutrisi.
Laining,A., Usman, Muslimin, dan N. N.Palinggi. 2013. Performansi pertumbuhan
dan reproduksi udang windu Asal tambak yang diberi kombinasi pakan
yang berbeda. J. Ris. Akuakultur. 9 (1): 67-77

e. Pengelolaan Kualitas Air

PH

ph yang optimal untuk pemeliharaan induk udang vannamei adalah


berkisar antara 6,5-9 ppt. fluktuasi ph dapat menyebabkan induk udang menjadi
stress. Ph yang terlalu rendah menyebabkan tingkat toksik ammonia menjadi
tinggi. Pengukuran ph dilakukan satu minggu sekali. (Afrianto dan Abdul,2014)

Afrianto, S dan Abdul, M. 2014. Manajemen produksi nauplius udang vannamei


(Litopenaeus vannamei) di instalasi pembenihan udang Balai Perikanan
Budidaya Air Payau Gelung, Situbondo, Jawa Timur. Jurnal Ilmu
Perikanan. 5(2) : 53-64.

Suhu

Menurut Sahrijanna dan Sahabuddin (2014), hasil pengamatan terhadap


peubah kualitas air yang di peroleh selama penelitian rata-rata 26,79o C. Suhu
sangat berpengaruh terhadap komsumsi oksigen, pertumbuhan, sintasan udang
dalam lingkungan budidaya perairan. Nilai suhu yang didapatkan dalam penelitian
ini masih dalam kategori yang optimal dalam pertumbuhan dan sintasan udang.),
keberhasilan dalam budidaya udang suhu berkisar antara 20-30 C.
Sahrijanna, Andi dan Sahabuddin. 2014. Kajian kualitas air pada budidaya udang
vaname (Litopenaeus vannamei) dengan sistem pergiliran pakan di
tambak intensif. Prosiding Forum Inovasi Teknologi Akuakultur

Salinitas

Hasil pengukuran salinitas selama penelitian berkisar 31-34 ppt. Nilai ini
tergolong baik dan masih dalam batas toleransi larva L.vannamei. Salinitas optimal
untuk udang vaname berkisar antara 5-35 ppt. Udang vaname dapat tumbuh pada
perairan dengan salinitas berkisar 0,5-38,3 ppt. Apabila salinitas tidak dalam
kondisi yang optimal maka akan mempengaruhi kebutuhan nutrisi yang dibutuhkan
oleh udang vaname sendiri (Yustianti et al., 2013).
Yustianti, M.N. Ibrahim dan Ruslaini. 2013. Pertumbuhan dan Sintasan Larva
Udang Vaname (Litopenaeus vannamei) Melalui Substitusi Tepung Ikan
dengan Tepung Usus Ayam. Jurnal Mina Laut Indonesia. 1(1): 93-103.

Dissolved Oxygen
Menurut Ferreira et al. (2011) dalam Fendjalang et al. (2016), Oksigen
merupakan salah satu faktor pembatas terhadap kehidupan dalam air, sehingga
bila ketersediaannya dalam air tidak mencukupi kebutuhan biota budidaya, maka
segala aktivitas biota akan terhambat. Kadar DO yang diperlukan dalam
pertumbuhan udang dalam kegiatan budidaya antara 4,0-6,0 mg/L. Pertumbuhan
udang akan terhambat dan dilanjutkan dengan kematian jika kadar DO dalam
perairan dibawah 2,0 mg/L.

Fendjalang, S. N. M., T. Budiardi, E. Supriyono dan I. Effendi. 2016.


Produksi udang vaname Litopenaeus vannamei pada karamba jarring
apung dengan padat tebar berbeda di Selat Kepulauan Seribu. Jurnal Ilmu
dan Teknologi Kelautan Tropis. 8(1):201-214
Kecerahan
Menurut Romadhona et al. (2016), kecerahan air yang disarankan untuk
budidaya vaname ditambak dalam SNI 01-7246-2006 adalah 30-40 cm. Nilai
kecerahan lebih dari 40 cm dinyatakan sebagai kecerahan terlalu tinggi ditandai
dengan dasar tambak terlihat dengan kasat mata. Nilai kecerahan < 20 cm,
merupakan indikasi perairan budidaya udang vaname terlalu keruh. Berkurangnya
kecerahan air tambak diakibatkan bahan organic seperti plankton dan anorganik
baik yang tersuspensi maupun terlarut seperti lumpur, pasir halus dan oleh
mikroorganisme.
Romadhona, B., B. Yulianto dan Sudarno. 2016. Fluktuasi kandungan
ammonia dan beban cemaran lingkungan tambak udang vaname intensif
dengan teknik panen parsial dan panen total. Jurnal Saintek Perikanan.
11(2) : 84-93
f. Konstruksi Kolam
Menurut WWF-Indonesia (2014), Kontruksi tambak harus mampu
mendukung proses budidaya dan memiliki desain yang sesuai. Desain kontruksi
tambak udang terdiri dari petakkan dan saluran tambak, baik untuk pemasukan
maupun pengeluaran. Ketinggian pematang sebaiknya 2,5 m dengan lebar 1,5 -
2 m. Dengan konstruksi tersebut, pematang mampu menampung air dengan
kedalaman sekitar 1 m serta memungkinkan untuk penanaman mangrove di
pematang. Ukuran luasan petak (muka air) tambak umumnya 0,3 - 0,5 ha,
berbentuk segi panjang atau bujur sangkar. Ukuran petakan tambak diupayakan
tidak terlalu besar untuk memudahkan pengawasan dan pemeliharaan.
WWF-Indonesia.2014. Seri Panduan Budidaya Skala Kecil Budidaya Udang
Vannamei. Tim Perikanan WWF-Indonesia. 22 hlm.
g. Biosecurity
Manajemen kesehatan dalam usaha budidaya sangat penting untuk
keberhasilan tersebut. Penerapan yang dilakukan oleh kalangan pembudidaya
menangani kesehatan hasil budidaya masih sangat kecil karena pembudidaya
masih menanggap hal tersebut tidak terlalu penting. Penerapan biosecurity akan
membantu proses manajemen kesehatan tersebut terhadap hewan yang
dibudidaya. Pada budidaya udang, kesehatan menjadi keharusan terutama
smakin intensifnya dan bervariasinya metode budidaya yang digunakan. Tahapan
pelaksanaan biosecurity dikenal dengan biosekuritas yang menjadi alternatif baru
dalam pengelolaan budidaya udang. Penerapan biosekuritas akan terjaga dengan
bantuan teknologi yang mendukung budidaya dan kualitasnya.

Hudaidah, S., A. Kahfi, G. Ayu, Akbaidar, Wardiyanto, Y. T. Adiputra. 2014.


Modifikasi biosekuritas, peningkatan performa tambak dan
keberlanjutan budidaya udang vaname (Litopenaeus vannamei) di
Kabupaten Pesawaran Provinsi Lampung. Jurnal Ilmu Perikanan dan
Sumberdaya Perairan. 169-176

4.5 Pakan Alami Skeletonema

a. Klasifikasi dan Morfologi

Menurut Armanda (2013), Skeletonema costatum adalah jenis diatom yang


memiliki klasifikasi sebagai berikut :

Filum : Heterokontophyta

Kelas : Bacillariophyceae

Ordo : Centrales

Genus : Skeletonema
Spesies : Skeletonema costatum ( Hoek, et al., 1998).

Armanda, D.T.2013. Pertumbuhan kultur mikroalga diatom Skeletonema costatum


(Greville) Cleve isolate Jepara pada medium f/2 dan medium Conway.
Bioma. 2(1) : 49-63.

Sel berbentuk silindris dengan ujung membulat. Sel membentuk rantai


lurus panjang, disatukan oleh garis marjinal halus, sejajar dengan sumbu yang
membujur. Duri lurus dan ramping dan bersatu dengan duri lainnya membentuk
persimpangan,terdapat dua kromatofor per sel. Inti terletak di pusat. Terdapat
Rantai sel paling atas dengan dua kloroplas. S. costatum memiliki katup kecil,
bentuk lensa dengan ujung bulat dan membentuk rantai panjang dan ramping
dengan bentuk duri marginal. (Khumar dan Ashok,2014).
Kumar, S.S dan V.A. Prabu. Culture of the phytoplankton Skeletonema costatum,
Cleve,1873. International Journal of Current Microbiology and Apllied
Science. 3(11) : 129-136.

(Ckecroun, et al.,2014)

Chekroun, K.B., E. Sanchez and M. Baghour. 2014. The role algae in


bioremediation of organic pollutans. International Research Journal of Public
and Environment Health. 1(2) : 19-32.

b. habitat
S. costatum bersifat eurihaline sehingga mampu hidup di laut, pantai dan
muara sungai. S. costatum mampu tumbuh pada kisaran salinitas yang luas yaitu
15-34 ppt dan salinitas yang paling baik untuk pertumbuhan adalah 20-30
ppt.Tinggi rendahnya salinitas akan mempengaruhi tekanan osmotik sel alga.
Salinitas merupakan salah satu faktor yang sangat menentukan perkembangan
fitoplankton, terutama dalam mempertahankan tekanan osmosis antara
protoplasma sel dengan air sebagai lingkungannya (Supriyantini, 2013).

Supriyanti, E. 2013. Pengaruh Salinitas terhadap Kandungan Nutrisi


Skeletonema costatum. Buletin Oseanografi Marina. 2: 51-57
c. Kebiasaan Makan

Menurut Sambu, et al. (2016), Skeletonema costatum dikenal sebagai


fitoplankton golongan diatom yang menjadi makanan utama zooplankton. Hal
tersebut ditandai dengan adanya sel dinding silika dan pigmen hijau atau klorofil
untuk memproduksi makanannya sendiri melalui proses fotosintesis (autotrof).
Untuk mendapatkan produktivitas optimal dan mendapatkan kalitas biomassa
yang baik pada kultur Skeletonema costatum maka sangat penting untuk
menambahka pupuk dalam media. Fitoplankton ini dapat memanfaatkan zat hara
lebih tinggi dari jenis diatom lainnya dalam penyerapan nutrien. Pertumbuhan
Skeletonema costatum dipengauhi oleh nutrisi yang ada di lingkungan hidupnya.
Oleh karena iu diperlukan pupuk di media kultur untuk menunjang ketersediaan
unsur hara baik mikro maupun makro.

Sambu ,A.H., Abdul M dan Andi S. 2016. Optimasi pemberian Skeletonema


costatum yang dipupuk cairan rumen dengan kepadatan yang berbeda
terhadap sintasan larva udang vannamei (Litopenaeus vannamei) stadia
zoea sampai mysis. Jurnal Octopus Perikanan. 5(1): 451-455
d. Reproduksi

Skeletonema costatum adalah diatom yang merupakan alga unisel


filamentik yang selnya berbentuk kotak yang terdiri atas epitheca (bagian yang
lebih besar) dan hypotheca (bagian yang lebih kecil) yang bertangkup menjadi
satu. Spesies ini tergolong pennate diatom yang berkembang biak secara isogami.
Bagian hypothecanya berlubang-lubang yang polanya khas dan indah yang
tersusun atas silicon oksida (SiO2) dengan diameter sel 4 15 mikron. Setiap sel
diatom dipenuhi sitoplasma. Warna sel hijau kecoklatan dan pada setiap sel
memiliki frustula yang menghasilkan skeletal eksternal. Karotenoid dan diatomin
merupakan pigmen yang dominan pada jenis ini (Armanda, 2013).
Armanda, D.E. 2013. Pertumbuhan kultur mikroalga diatom Skeletonema
costatum (Grevile) Cleve isolat Jepara pada medium f/2 dan medium
conway. Bioma. 2(1): 1-15. IAIN Wali Songo.

e. Pengelolaan Kualitas Air

pH

Faktor-faktor lingkungan yang berpengaruh terhadap pertumbuhan


mikroalga antara lain cahaya, temperatur, salinitas, tekanan osmose, dan pH air,
yang bisa jadi memacu atau menghambat pertumbuhan. Kondisi optimum
pertumbuhan Skeletonema costatum adalah pada temperatur 20-25C, salinitas
17-25 ppt, pH 7-8, serta kadar Vitamin B 12 minimum 5 13,8 molekul / m.
Sedangkan pada medium f/2 dengan temperatur 251C, pH 8,30,2, dan salinitas
25 ppt, S. costatum bisa mencapai kecepatan pertumbuhan () sebesar 0,69
sel/hari. Kecepatan pertumbuhan ini tergolong tinggi dibandingkan diatom jenis
lain.

Armanda.D.T. 2013.Pertumbuhan Kultur Mikroalga Diatom Skeletonema


Costatum (Greville) Cleve Isolat Jepara Pada Medium F/2 Dan Medium
Conway.Bioma. 2 (9):49-63.
Suhu

Menurut Nastiti dan Hartati (2013), suhu optimal untuk pertumbuhan


fitoplankton secara umum berkisar antara 20-24oC. Hampir semua jenis
fitoplankton toleran terhadap suhu antara 16-36oC. kisaran suhu optimum bagi
pertumbuhan fitoplankton adalah 20-30oC. Suhu di bawah 16oC dapat
menghambat kecepatan pertumbuhan sedangkan suhu lebih 36oC menyebabkan
kematian pada jenis fitoplankton tertentu. Berdasarkan kriteria tersebut maka
dapat diketahui suhu air di beberapa stasiun mendukung kehidupan
fitoplankton.
Nastiti, A. S dan A. T. Hartati. 2013. Struktur komunitas plankton dan kondisi
lingkungan perairan di teluk jakarta. BAWAL. 5(3) : 131-150.
salinitas

Salinitas merupakan salah satu factor lingkungan yang berpengaruh bagi


pertumbuhan S. costatum. Salinitas media berkaitan dengan kemampuan
mikroalga untuk mempertahankan tekanan osmotic antara protoplasma dengan
lingkungan hidupnya. S. costatum bersifat euryhaline sehingga mampu hidup di
laut, pantai dan muara Skeletonema costatum mampu tumbuh pada kisaran
salinitas yang luas yaitu 15-34 ppt. Salinitas yang paling baik untuk pertumbuhan
adalah 20-30 ppt (Laigh dan Helm, 1981 dalam Supriyantini, 2013).

Supriyantini, E. 2013. Pengaruh salinitas terhadap kandungan nutrisi Skeletonema


costatum. Buletin Oseanografi Marina. 2: 51-47.

DO

Menurut Fathurrahman dan Aunurohim (2014), kadar oksigen (DO) terlarut


yang baik untuk keperluan budidaya laut menurut beberapa pustaka sangat
bervariasi. Oksigen terlarut untuk budidaya laut harus lebih besar dari 4 ppm.
Berdasarkan pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa kisaran tersebut sudah
termasuk dalam kisaran yang baik dalam suatu perairan. Hal ini ditunjukkan pada
adanya fitoplankton yang hidup diperairan tersebut. Seperti contohnya
Skeletonema sp, Chaetoceros, Thalassionema dan Pseudonitzschia merupakan
jenis fitoplankton yang dibutuhkan oleh kerang mutiara sebagai sumber makanan
terlebih jumlah mereka yang masuk kategori melimpah yaitu diatas 104 ind/L.

Fathurrahman dan Aunurohim.2014. Kajian Komposisi Fitoplankton dan


Hubungannya dengan Lokasi Budidaya Kerang Mutiara (Pinctada Maxima)
di Perairan Sekotong, Nusa Tenggara Barat. Jurnal Teknik Pomits. 3(2).93-
98.
Kecerahan (Syahreza Almahdi)
f. Konsruksi kolam

Bak untuk kultur alga dan pakan alami dapat ditempatkan di luar bangunan
utama sehingga kultur alga juga dapat memanfaatkan sinar matahari. Bak yang
digunakan adalah bak beton/intensif berbentuk persegi panjang dengan sudut
yang melengkung yang dilengkapi dengan instalasi oksigen (aerasi), pipa inlet,
dan outlet. Bak beton dengan sudut yang melengkung dapat mempermudah
ketika proses pembersihan bak/ sterilisasi wadah. Instalasi oksigen (aerasi) yang
digunakan dalam kultur massal Chlorella sp. adalah 4 titik untuk ukuran bak yang
berkapasitas 10 ton dan 15 ton sedangkan untuk bak yang berkapasitas 20 ton
adalah sebanyak 9 titik. Pipa inlet dilengkapi dengan stop kran (Prayogo,2015).
Prayogo I. dan Arifin M.2015. Teknik Kultur Pakan Alami Chlorella sp. Dan Rotifera
sp Skala Massal Dan Manajemen Pemberian Pakan Alami Pada Larva
Kerapu Cantang. JSAPI. 6(2):125-134.
g. biosecurity farid damayanti msp masih salah tak suruh ganti blm diganti
4.6 KJA Kakap Putih
a. Klasifikasi dan Morfologi

Menurut Sudrajat (2015), kakap putih dapat diklasifikasikan sebagai


berikut:

Famili : Centropomidae

Spesies : Lates calcarifer

Nama dagang : barramundi, seabass

Nama local : salamata, pelak, petakan, cabek, dubit tekong, kaca-kaca

Sudrajat, A. 2015. Budidaya 26 Komoditas Laut Unggul. Penebar Swadaya.


Jakarta

Ikan jenis ini memiliki tubuh memanjang dan padat. Kepala menjorong,
dengan profil dorsal yang cekung menjadi cembung di depan sayap dorsal. Ikan
jenis ini juga bermulut besar, rahang atas panjang hingga mencapai belakang
mata; gigi villiform, ti dak dijumpai gigi canine. Tulang keras pada tepi bawah dari
preoperculum, operculum dengan tulang kecil, dan dengan sirip bergerigi di atas
garis lateral (Fahmawati, 2014).

Fahmawati, Y. 2014. Jenis Budidaya Perikanan Laut. Mitra Edukasi Indonesia.


Bandung

b. Pemilihan Lokasi

Pemilihan lokasi yang tepat dan baik merupakan salah satu faktor penentu
keberhasilan usahan budidaya laut disamping ketersedian benih, pakan serta
terjaminnya pasar dan harga. Pemilihan lokasi harus mempertimbangkan faktor
lingkungan dan kualitas air. Kelayakan lokasi merupakan hasil kesesuaian di
antara persyaratan hidup dan berkembangnya suatu komoditas budidaya
terhadap lingkungan fisik perairan. Lingkungan fisik yang dimaksud meliputi
kondisi oseanografi dan kualitas perairan serta topografi dasar laut. Pemilihan
lokasi harus mempertimbangkan factor lingkungan dan kualitas air. Kelayakan
lokasi merupakan hasil kesesuaian di antara persyaratan hidup dan
berkembangnya suatu komoditas budidaya terhadap lingkungan fisik perairan.
Lingkungan fisik yang dimaksud meliputi kondisi oseanografi dan kualitas perairan
serta topografi dasar laut.
Junaidi M. Affan.2012. Identifikasi lokasi untuk pengembangan budidaya
keramba jaring apung (KJA) berdasarkan faktor lingkungan dan kualitas
air di perairan pantai timur Bangka Tengah.DEPIK. 1(1):78-85
c. Sarana Budidaya
KJA ditempatkan di lokasi budidaya secara berjejer antara satu unit dengan
unit KJA lainnya dan saling menyambung, tujuannya untuk mempermudah pemilik
atau penjaga KJA dalam memelihara serta mengawasinya. Budidaya ikan sistem
KJA dalam operasionalnya dilengkapi dengan fasilitas pendukung yang terdiri atas
rumah jaga, tempat pakan, dan kolam karantina. Keramba jaring apung terdiri atas
keramba (jaring) dan rangka (rakit dan besi) dengan ukuran yang seragam. Satu
unit KJA terdiri atas 4 petak (kolam) dan dibangun dari beberapa bagian rangka
yang dilengkapi dengan dua lapis jaring. (Ardi, 2013).
Ardi, I. 2013. Budidaya ikan sistem keramba jaring apung guna menjaga
keberlanjutan lingkungan perairan waduk cirata. Media Akuakultur. 8 (1) :
23-29.
d. Manajemen Pakan
Menurut Rejeki , et al (2013), pembesaran ikan secara komersial
menggunakan jaring apung masih sedikit, sedangkan potensi kegiatan budidaya
di perairan tawar umum peluangnya masih besar. Pada pembesran ikan di KJA
perlu adanya manajemn pemberian pakan. Pemberian pakan dilakukan tiga kali
sehari sebanyak 3% dari bobot biomassa. konsumsi dan konversi pakan (FCR)
ikan menunjukkan bahwa makin tinggi kepadatan ikan atau makin besar biomasa
terlihat jumlah pakan yang dikonsumsi oleh ikan semakin banyak. Hal yang sama,
makin tinggi kepadatan ikan nilai FCR makin tinggi.
Rejeki,S., S.Hastuti dan T.Elfitasari. 2013. Uji Coba Budidaya Nila Larasati Di
Karamba Jaring Apung Dengan Padat Tebar Berbeda. Jurnal Saintek
Perikanan . 9(1) : 29-39
e. Pengelolaan Kualitas Air
pH
Menurut hasil pengukuran kualitas air yang dilakukan, dapat disimpulkan
bahwa parameter kualitas air yang dianggap memenuhi persyaratan. Untuk
budidaya ikan kakap putih Menurut Anggie dan Khalil (2013), persyaratan pH
kualitas air pada budidaya ikan kakap adalah 8. air yang digunakan sebaiknya
bersuhu 23,80C 300C, salinitas 33-35 ppt, oksigen terlarut 5,6-7,1 ppm dan
kecerahan 3,5-5,5 m, dengan demikian kualitas air pada keramba jaring apung
secara umum dianggap telah layak sebagi media budidaya ikan kakap putih.

Anggie. A dan M. Khalil. 2013. Efek pemberian atraktan kerang darah (Anadara
granosa) dan udang windu (Panaeus monodon) terhadap daya konsumsi
pakan ikan kakap putih (Lates calcalifer). Samudera. 7-2

Suhu
Menurut Badrudin (2015), usaha budidaya kakap putih perlu disesuaikan
dengan kondisi lingkungan yang ada di sekitar daerah tersebut untuk mengurangi
resiko akibat kondisi lingkungan yang kurang baik bagi budidaya, misalnya kondisi
cuaca yang fluktuatif. Perencanaan yang baik dapat meningkatkan keberhasilan
usaha. Salah satu hal yang sangat penting dalam perencanaan awal budidaya
kakap putih adalah pemilihan lokasi. lokasi yang sesuai setidaknya memiliki
kualitas air yang sesuai. Parameter yang sesuai untuk budidaya kakap putih salah
satunya yaitu suhu yang berkisar antara 27-30C.

Badrudin. 2015. Better Management Practices Seri Panduan Perikanan Skala


Kecil Budidaya Ikan Kakap Putih (Lates calcalifer, Bloch., 1790). WWF-
Indonesia.

DO
kisaran nilai pH untuk budidaya ikan kakap putih yaitu 7,5-8,5. Suhu
optimal bagi kehidupan dan pertumbuhan ikan kakap putih adalah 25-300 C,
sesuai dengan kisaran suhu selama penelitian yaitu 27,930 C. Oksigen terlarut
ikan kakap putih dewasa membutuhkan oksigen terlarut 6,5-12,5 mg/l, sesuai
dengan nilai oksigen terlarut selama penelitian yaitu 6,55 mg/l. Kisaran
pengukuran parameter kualitas air selama penelitian berada dalam rentang kondisi
yang layak untuk pemeliharaan ikan kakap putih.

Rizka. R., I. W. Sutresna., N. Diniarti., A.I. Supii.2013. PENGARUH PERUBAHAN


SALINITAS TERHADAP PERTUMBUHAN DAN SINTASAN IKAN KAKAP
PUTIH (Lates calcarifer Bloch). Jurnal KELAUTAN, Volume 6, No.1 : 1907-
9931.

Kecerahan
Menurut Noor et al. (2016), ikan yang dapat dibudidayakan dan
dikembangkan yaitu jenis ikan kakap putih (Lates calcarifer). Kakap putih dapat
dilakukan budidaya polikultur dengan kerang hijau pada keramba. Tingkat
kecerahan pada polikultur budidaya ikan kakap putih dengan kerang hijau adalah
30,3 cm. Nilai kecerahan yang tinggi akan menghasilkan nilai kekeruhan yang
rendah di suatu perairan dan menghasilkan hubungan yang terbalik antara
kecerahan dengan TSS. Kekeruhan yang rendah tidak baik untuk budidaya kerang
karena mengindikadikan fitoplankton di perairan.

Noor, N.M., A. D. Astuti, E. Efendi dan S. Hudaidah. 2016. Performance of green


mussel (Perna viridis) in monoculture and polyculture system within sea
bass (lates calcarifer). Aquasains. 389-399.

f. Konstruksi
Menurut Fadhliani, et al. (2015), kurungan atau wadah untuk memelihara ikan,
disarankan terbuat dari bahan polyethilene (PE) karena bahan ini disamping tahan
terhadap pengaruh lingkungan juga harganya relatif murah jika dibandingkan
dengan bahan lainnya. Bentuk kurungan bujur sangkar dengan ukuran 3x3x3 m 3.
Ukuran mata jaring disesuaikan dnegan ukuran ikan yang dibudiayakan.
Pemasangan kurungan pada kerangka dilakukan dengan cara mengikat ujung tali
ris atas pada sudut rakit. Agar kurungan membentuk kubus/kotak digunakan
pemberat yang diikatkan pada keempat sudut tali ris bawah. Selanjutnya pemberat
diikatkan ke kerangka untuk mempermudah pekerjaan
pengangkatan/penggantian untuk mencegah kemungknan lolosnya ikan atau
mencegah serangan hewan pemangsa, pada bagian atas kurungan sebaiknya
diberi tutup dari bahan jaring.

Fadhlianii, M. Sayuti dan D. K. Sofyan. 2015. Usaha meningkatkan pendapatan


nelayan dengan menggunakan keramba jaring apung pada budidaya kerapu.
Malikussaleh Industrial Engineering Journal. 4(1): 24-29.

g. Hama dan penyakit

Proses budidaya kakap putih (Lates calcarifer) mengalami berbagai


macam kendala. Salah satu masalah yang sering timbul dalam budidaya kakap
putihadalah infeksi penyakit bakterial. Jenis bakteri yang sering menyerang kakap
putih adalah Vibrio alginolyticus (Novriadi, 2010). Penanganan penyakit jenis
bakteri dapat diberi antibiotik, namun penggunaan antibiotic dapat menyebabkan
resistensi pada bakteri dan residunya berbahaya untuk manusia. Oleh karena
itu,berbagai bahan herbal digunakan dalam pencegahan penyakit jenis bakterial.
Bahan herbal difungsikan dalam memicu sistem imun non spesifik ikan sehingga
mampu menahan serangan akibat bakteri.Salah satu bahan alami yang digunakan
untuk pencegahan penyakit ini adalah ekstrak jintan hitam (Nigella sativa)
(Fauzy,2014).

Fauzy, A., Tarsim dan A. Setyawan. 2014. HISTOPATOLOGI ORGAN KAKAP


PUTIH(Lates calcalifer) DENGAN INFEKSI Vibrio alginolyticus DAN
JINTAN HITAM (Nigella sativa) SEBAGAI IMUNOSTIMULAN. 3(1):319-
326

h. Pemanenan

Anda mungkin juga menyukai