Anda di halaman 1dari 21

LAPORAN INDIVIDU

16 Desember 2013
LAPORAN TUTORIAL
MODUL 1
JATUH
SISTEM GERIATRI

Disusun Oleh :

Nama : Fatimah
Stambuk : 10 777 002
Kelompok : 1 (Satu)
Tutor : dr. Ahmad Zaifullah

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS ALKHAIRAAT PALU
2013
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1. SKENARIO
Seorang perempuan umur 73 tahun masuk rumah sakit dengan
keluhan nyeri pada pangkal paha kanan terutama bila digerakkan
sehingga mengganggu aktivitas dan tidak bisa berjalan. Keadaan ini
dialami sejak 3 hari yang lalu setelah penderita jatuh terduduk di dalam
kamar mandi. Postur tubuh penderita bungkuk ke depan sejak beberapa
tahun terakhir ini. Beberapa hari terakhir ini penderita kedengaran
batuk-batuk tetapi sulit sekali mengeluarkan lendirnya terutama malam
hari dan juga nafsu makan beberapa minggu ini sangat menurun. Hasil
pemeriksaaan fisik : TD 170/90 mmhg, nadi 92x/menit, pernapasan
30x/menit, dan suhu 37,1 derajat celcius. Pemeriksaan auskultasi
terdengar bunyi tambahan ronkhi basah kasar di seluruh lapangan ke
dua paru. Penderita juga selama ini minum obat-obat kencing manis,
Tekanan darah tinggi dan rematik.

1.2. KATA SULIT :


1.2.1. Ronkhi basah kasar adalah ronkhi adalah karena adanya aliran
udara yang melewati cairan pada saat inspirasi dan ekspirasi.
1.2.2. kelainan yang ditandai oleh peradangan, degenerasi, atau
kekacauan metabolik struktur jaringan.
1.2.3. cairan yang diproduksi oleh sel-sel di dinding permukaan
saluran napas. Cairan tersebut akan diiringi oleh silia sehingga
saluran napas selalu terproteksi.

1.3. KATA KUNCI :


1.3.1. Perempuan 73 tahun.
1.3.2. Nyeri pada pangkal paha kanan dan tidak bisa berjalan.
1.3.3. Keadaan dialami sejak 3 hari lalu.
1.3.4. Postur tubuh bungkuk ke depan.
1.3.5. Batuk-batuk.
1.3.6. Nafsu makan menurun beberapa minggu ini.
1.3.7. Penderita jatuh duduk di kamar mandi.
1.3.8. Sulit mengeluarkan lendir pada malam hari.
1.3.9. TD 170/90 mmhg, nadi 92x/menit, pernapasan 30x/menit, suhu
37,1 derajat celcius.
1.3.10. Riwayat obat-obatan kencing manis, tekanan darah tinggi dan
rematik.
1.3.11. Auskultasi : ronkhi basah kasar ke2 lapangan paru.

1.4. PERTANYAAN
1.4.1. Jelaskan proses penuaan?
1.4.2. Jelaskan mengapa fungsi motorik terganggu sedangkan fungsi
sensorik tidak terganggu?
1.4.3. Jelaskan perubahan fisiologi apa yang terjadi pada penderita
lansia?
1.4.4. Jelaskan etiologi dan faktor resiko jatuh pada lansia?
1.4.5. Jelaskan pencegahan dan penatalaksaan pada pasien jatuh
lansia?
1.4.6. Jelaskan alur diagnosis pada pengelolaan lansia?
1.4.7. Apakah ada hubungan dan riwayat pengguna obat-obatan
Diabetes melitus, hipertensi, dan rematik jelaskan?
1.4.8. Komplikasi apa saja yang dapat ditimbulkan akibat jatuh?
1.4.9. Jelaskan penanganan awal dari skala prioritas pada skenario?
1.4.10. Apakah ada hubungan penyakit dahulu dengan jatuh?
1.4.11. Apakah ada hubungan batuk, anoreksia, dengan terjadinya
jatuh?
1.4.12. Jelaskan keadaan / penyakit apa yang menimbulkan nyeri pada
paha pangkal kanan atas?

1.5. DAFTAR MASALAH

DM

Nyeri Hipertensi

Jatuh
pneumoni anoreksia

Rematik
1.6. SKALA PRIORITAS MASALAH

1. Nyeri

2. Hipertensi

3. Anoreksia

4. Pneumoni
5. Diabetes Melitus
6. Rematik
BAB II
PEMBAHASAN

2.1. Penyebab-penyebab jatuh pada lansia


Penyebab jatuh pada lansia biasanya merupakan gabungan beberapa
faktor, Antara lain : (Kano. 1994; Reuben, 1996; Tinetti, 1992; Campbell, 1987;
Brocklchursl, 1987).
1. Kecelakaan : merupakan penyebab jatuh yang utama (30-50% kasus
jatuh pada lansia)
Murni kecelakaan misalnya terpeleset, tersandung
Gabungan Antara lingkungan yang jelek dengan kelainan akibat
proses menua misalnya karena mata kurang awas yang ada di
rumah tertabrak, lalu jatuh.
2. Nyeri kepala dan atau vertigo
3. Hipotensi orthostatic :
Hipovolemi / curah jantung rendah
Disfungsi otonom
Penurunan kembalinya darah vena ke jantung
Terlalu lama berbaring
Pengaruh obat-obat hipotensi
Hipptensi sesudah makan
4. Obat-obatan
Diuretic / antihipertensi
Antidepresan trisiklik
Sedative
Antipsikotik
Obat-obat hipoglikemik
Alkohol
5. Proses penyakit yang spesifik
Penyakit-penyakit akut seperti :
Kardiovaskuler :
o Aritmia
o Stenosis sinus carotis
o Sinkope sinus carotis
Neurologi
o TIA
o Stroke
o Serangan kejang
o Parkinson
o Kompresi saraf spinal karena spondilosis
o Penyakit cerebellum
6. Idiopatik (tidak jelas sebabnya)
7. Sinkope : kehilangan kesadaran secara tiba-tiba
Drop attack (serangan roboh)
Penurunana darah ke otak secara tiba-tiba
Terbakar matahari

2.2. Faktor-faktor lingkungan yang sering dihubungkan dengan


kecelakaan pada lansia :
1. Alat-alat atau perlengkapan rumah tangga yang sudah tua, tidak stabil,
atau tergeletak di bawah
2. Tempat tidur atau WC yang rendah/jongkok
3. Tempat berpegangan yang tidak kuat / tidak mudah dipegang
Lantai yang tidak datar baik atau trapnya menurun
Karpet yang tidak di lem dengan baik, keset yang tebal/menekuk
pinggirnya, dan benda-benda alas lantai yang licin atau mudah
tergeser
Lantai yang licin atau basah
Alat bantu jalan yang tidak tepat ukuran, berat, maupun cara
penggunaannya.

Faktor-faktor situasional yang mungkin mempresipitasi jatuh Antara


lain : (Ruben, 1996; Campbell, 1987)
1. Aktivitas
Sebagian besar jatuh terjadi pada saat lansia melakukan aktivitas
bisas seperti berjalan, naik atau turun tangga, mengganti posisi.
Hanya sedikit sekali (5%), jatuh terjadi pada saat lansia melakukan
aktivitas berbahaya seperti mendaki gunung atau olahraga berat.
Jatuh juga sering terjadi pada lansia dengan banyak kegiatan dan
olahraga, mungkin disebabkan oleh kelelahan atau terpapar bahaya
yang lebih banyak. Jatuh juga sering terjadi pada lansia yang imobil
(jarang bergerak) ketika tiba-tiba ingin pindah tempat atau mengambil
sesuatu tanpa pertolongan.
2. Lingkungan
Sekitar 70% jatuh pada lansia terjadi di rumah, 10% terjadi di tangga,
dengan kejadian jatuh saat turun tangga lebih banyak disbanding saat
naik, yang lainnya terjadi karena tersandung / menabrak benda
perlengkapan rumah tangga, lantai yang licin atau tak rata,
penerangan ruang yang kurang.
3. Penyakit akut
Dizziness dan syncope, sering menebabkan jatuh. Eksaserbasi akut
dari penyakit kronik yang diderita lansia juga sering menyebabkan
jatuh, misalnya sesak nafas akut pada penderita penyakit paru
obstruktif menahun, nyeri dada tiba-tiba pada penderita penyakit
jantung iskemik, dan lain-lain.

2.4. Komplikasi
Jatuh pada lansia menimbulkan komplikasi-komplikasi seperti tersebut di
bawah ini : (Kane, 1994; Van-der-Cammen, 1991)
1. Perlukaan (injury)
Rusaknya jaringan lunak yang terasa sangat sakit robek atau
tertariknya jaringan otak, robeknya arteri / vena
Patah tulang (fraktur)
o Pelvis
o Femur (terutama kalium)
o Humerus
o Lengan bawah
o Tungkai bawah
o Kista
Hematom subdural
2. Perawatan rumah sakit
Komplikasi akibat tidak dapat bergerak (imobilisasi)
Risiko penyakit-penyakit iatrigenik
3. Disabilitas
Penurunan mobilitas yang berhubungan dengan perlukaan fisik
Penurunan mibilitas akibat jatuh, kehilangan kepercayaan diri dan
pembatasan gerak
4. Risiko untuk dimasukkan dalam rumah perawatan (nursing home)
5. Mati
2.5. Pencegahan
Jatuh bukan merupakan konsekuensi dari lanjutnya usia, oleh karena itu
dapat dilakukan pencegahan (King, 2004). Berdasarkan guidline dari
American Geriatric Society, British Geriatric Society dan American Academy
of Orthopeic Surgeon Panel on Fall Prevention merekomendasikan bahwa
pasien lanjut usia harus dilakukan skrening jatuh setiap tahun dengan
evaluasi yang mendalam pada individu yang perna mengalami kejadian jatuh
baik sekali atau berulang (Fink HA, Wyman JF, Hanlon. JT, 2003);
(AGS/BGS/AAOS, 2007). Pada pasien lansia yang baru pertama kali jatuh
harus dilakukan evaluasi. Pada lansia yang jatuh berulang dilakukan
asesmen tentang obat-obatan yang digunakan, fungsi eksrenitas bawah,
fungsi neurologi dan kardiovaskuler (AGS/BGS/AAOS.2007).
Usaha pencegahan merupakan langkah yang harus dilakukan karena bila
sudah terjadi jatuh pasti terjadi komplikasi, meskipun ringan tetap
memberatkan.
Ada 2 usaha pokok untuk pencegahan ini, Antara lain : (Tinetti,19992;
Van-der,Cammen, 1991; Reuben, 1996).

Identifikasi faktor risiko


Pada setiap lansia perlu dilakukan pemeriksaan untuk mencari adanya
faktor intrinsik risiko jatuh, perlu dilakukan assesmen keadaan sensorik,
neurologik, muskuloskeletal dan penyakit sistemik yang sering mendasari/
menyebabkan jatuh.
Keadaan lingkungan rumah yang berbahaya dan dapat menyebabkan
jatuh harus dihilangkan. Penerangan rumah harus cukup tetapi tidak
menyilaukan. Lantai rumah datar, tidak licin, bersih dari benda-benda kecil
yang susah dilihat. Peralatan rumah tangga yang sudah tidak aman (lapuk,
dapat bergeser sendiri) sebaiknya diganti, peralatan rumah ini sebaiknya
diletakkan sedemikian rupa sehingga tidak mengganggu jalan / tempat
aktifitas lansia. Kamar mandi dibuat tidak licin, sebaiknya diberi pegangan
pada dindingnya, pintu yang mudah dibuka. WC sebaiknya dengan kloset
duduk dan diberi pegangan di dinding.
Banyak obat-obatan yang berperan terhadap jatuh. Mekanisme
tersering termasuk sedasi, hipotensi ortostatik, efek ekstrapiramidal, miopati
dan gangguan adaptasi visual pada penerangan yang redup. Obat-obatan
yang menyebabkan sedasi diantaranya golongan benzodiazepin (Diazepam,
chlordiazepoxide, flurozepam, desmethy-diazepam, oxazepam, lorazepam,
nitrazepam triazolam, alprazolam), antihistamin bersifat sedatif, narkotik
analgesik, trisiklik antidepresan (Amitriptyline, Imipramine), SSRI (Selective s
erotonin reuptake inhibitor) misalnya fluoxetine, setraline, antipsikotik,
antikonvulsan dan etanol (Trevor AJ, Way WL, 2002). Obat-obat yang
menyebahkan hipotensi ortostatik seperti antihipertensi, antiangina, obatantip
arkinson, trisiklik antidepresan dan antipsikotik. Obat-obat yang
menyebabkan efek ekstrapiramidal misalnya metoklopramide, antipsikotik,
SSRI. Obat-obatan yang menyebabkan miopati misalnya kortikosteroid,
colchisine, statin dosis tinggi terutama apabila dikombinasi dengan fibrat,
interferon. Obat yang menyebabkan miosis seperti pilocarpine untuk
pengobatan glaukoma. ketaatan minum obat juga mempengamhi terjadinya
jatuh. Pasien dengan obat yang banyak/polifarmasi rentan pula mempengaru
hi keseimbangan (Hile ES, Studenski SA, 2007).
Alat bantu berjalan yang dipakai lansia baik bempa tongkat, tripod,
kruk atau walker hams dibuat dari bahan yang kuat tetapi ringan, aman tidak
mudah bergeser serta sesuai dengan ukuran tinggi badan lansia.

Penilaian pola berjalan (gait) dan keseimbangan


a. Penilaian pola berjalan secara klinis
Salah satu bentuk aplikasi fungsional dari gerak tubuh adalah pola
jalan. Keseimbangan, kekuatan, dan fleksibilitas diperlukan untuk
mempertahankan postur yang baik. Ketiga elemen itu merupakan dasar
untuk mewujudkan pola jalan yang baik pada setiap individu.
Pola jalan yang normal dibagi 2 fase yaitu:
1. Fase pijakan (stance phase).
Fase ini adalah fase dimana kaki bersentuhan dengan pijakan.
Fase ini 60 persen dari durasi berjalan yang dibagi menjadi 3 yaitu:
a. Heel stroke yaitu saat tumit salah satu kaki menyentuh pijakan.
b. Mid stance yaitu saat kaki menyentuh pijakan.
c. Push off yaitu saat kaki meninggalkan pijakan.
Fase tersebut dapat dilihat dalam gambar 2 dibawah ini.

Gambar :Fase pijakan dalam berjalan dibagi atas (A) heel strike,
(B) midstance, dan (C) push-off (dikutip dari Ebnezar J,
2005)

2. Fase dimana kaki tidak menyentuh pijakan (swing phase).


Fase ini 40 persen dari durasi berjalan yang dibagi menjadi 3 yaitu:
a. Acceleration yaitu saat kaki ada di depan tubuh.
b. Swing through yaitu saat kaki berayun ke depan.
c. Deselerasi yaitu saat kaki kembali bersentuhan dengan pijakan.
Fase tersebut dapat dilihat pada gambar 3 dibawah ini (Ebnezar J,
2005)
Gambar 3. Swing phase dalam berjalan dibagi atas (A) Accel
eration, (B) Swing through, (C) Deselerasi (dikutip
dari Ebnezar J, 2005)

Dalam pola jalan lansia ada beberapa pembahan yang mungkin


terjadi, diantaranya sebagai berikut:
- Sedikit ada rigiditas pada anggota gerak terutama anggota gerak atas
lebih dari anggota gerak bawah. Rigiditas akan hilang apabila tubuh
bergerak.
- Gerakan otomatis menurun, amplitudo dan kecepatan berkurang,
seperti hilangnya anyunan tangan saat berjalan.
- Hilangnya kemampuan untuk memanfaatkan gravitasi sehingga kerja
otot meningkat.
- Hilangnya ketepatan dan kecepatan otot, khususnya otot penggerak
sendi panggul. Langkah lebih pendek agar merasa lebih aman.
- Penurunan perbandingan antara fase mengayun terhadap fase
menumpu
- Penurunan rotasi badan terjadi karena efek sekunder kekakuan sendi.
- Penurunan ayunan tungkai saat fase mengayun.
- Penurunan sudut antara tumit dan lantai.
- Penurunan irama jalan.
- Penurunan rotasi gelang bahu dan panggul.
- Penurunan kecepatan ayunan lengan dan tungkai.
B. Penilaian keseimbangan (Hile ES, Studenski SA, 2007)
Pemeriksaan keseimbangan seharusnya dilakukan saat berdiri secara
statis dan dinamik, termasuk pemeriksaan kemampuan untuk bertahan
terhadap ancaman baik iiitcmal dan eksternal. Pemeriksaan statis termasuk
lebar cara berdiri scndiri dan cara berdiri sempit dengan kedua kaki yang
nyaman tanpa dukungan ekstremitas atas, diikuti oleh berdiri dengan mata
tertutup untuk menghilangkan pengaruh visual untuk penderita gangguan
keseimbangan. Penghilangan input visual saat berdiri dengan kaki
menyampai (Tes Romberg) membutuhkan informasi somatosensorik dan
vestibular, sehingga meningkatnya goyangan menandakan adanya masalah
sensori perifer dan vestibuler. Bagi lansia yang dapat melakukan tes
Romberg dengan baik, tes statis yang lebih sulit seperti semitandem, tandem
dan satu kaki yang terangkat dapat dilakukan.
Kemampuan untuk mempertahankan postur berdiri sebagai respon
dari gangguan internal dapat dilakukan dengan meminta pasien untuk
melakukan tes pencapaian fungsional. Tes dinamik respon tubuh untuk
gangguan eksternal dapat dilakukan jika penderita lansia telah mampu untuk
melakukan tes keseimbangan statis lebar tanpa menggunakan alat bantu
atau bantuan ekstremitas atas. Tes reflek yang benar (The test of righting
reflexes), pemeriksa berdiri dibelakang pasien yang diminta untuk menarik
atau mendorong, dan bereaksi untuk mempertahankan tetap berdiri.
Pemeriksa kemudian secara cepat mendorong pelvis pasien pada bagian
belakang sambil menjaga pasien secara dekat. Kekuatan dorongan dengan
amplitudo yang cukup untuk mengubah pusat massakeluar dari dasar
landasan pasien. Respon yang kas, satu kaki akanberpindah ke belakang
secara cepat tanpa bantuan ekstremitas atas atau bantuan pemeriksa.
Respon yang abnormal disebut reaksi balok kayu / timber reaction yang
mana tidak ada usaha untuk menggerakkan kaki dan diperkirakan adanya
defisit sistem nervous sentral, sering bersama dengan komponen
ekstrapiramidal.

3. Mengatur / mengatasi faktor situasional


Faktor situasional yang bersifat serangan akut / eksaserbasi akut
penyaki yang diderita lansia dapat dicegah dengan pemeriksaan rutin
kesehatan lansia secara periodik. Faktor situasional bahaya lingkungan dapat
dicegah dengan mengusahakan perbaikan lingkungan seperti tersebut dialas.
Faktor situasional yang berupa aktifitas fisik dapat dibatasi sesuai dengan
kondisi kesehatan penderita. Perlu diberitahukan pada penderita aktifitas fisik
seberapa jauh yang aman bagi penderita, aktifitas tersebut tidak boleh
melampaui batasan yang diperbolehkan baginya sesuai hasil pemeriksaan
kondisi fisik. Bila lansia sehat dan tidak ada batasan aktifitas fisik, maka
dianjurkan lansia tidak melakukan aktifitas fisik yang sangat melelahkan atau
berisiko tinggi untuk terjadinya jatuh.

Pendekatan diagnostik
Direkomendasikan untuk melakukan asesmen pada semua lansia sebagai
bagian dari pemeriksaan rutin yang meliputi:
1. Semua lansia yang kontrol rutin di puskesmas atau dokter atau tenagakes
ehatan lain wajib untuk ditanya tentang jatuh minimal setahun sekali.
2. Semua lansia yang pemah dilaporkan jatuh satu kali wajib diobservasideng
an meminta untuk melakukan the get up and go tes. Apabila pasien dapat
melakukan tanpa kesulitan tidak memerlukan asesmen lanjutan.
3. Pasien yang mengalami kesulitan untuk melakukan tes itu memerlukan kaji
an yang lebih lanjut (AGS, ABS, AAOS, 2001).

Asesmen jatuh secara komprehensif dilakukan pada lansia yang memerlukan


perhatian medis karena jatuh yang baru saja terjadi, lansia yang jatuh
berulang, atau lansia yang menunjukkan abnormalitas gayaberjalan/
keseimbangan, dan lansia yang takut untuk jatuh. Asesmen dilakukan secara
individual (satu pasien berbeda dengan pasien yang lain) dan dilaksanakan
oleh klinisi yang mempunyai pengalaman dan keahlian yang tepat, bila
memungkinkan dimjuk ke getriatrician.
Assesmen jatuh merupakan bagian dari assesmen geriatri. Assesmen
jatuh meliputi :(Kane, 1994; Fischer, 1982).

A. Riwayat Penyakit (Jatuh)


Anamnesis dilakukan baik terhadap penderita ataupun saksi mata
jatuh atau keluarganya. Anamnesis ini meliputi:
1. Seputar jatuh : mencari penyebab jatuh misalnya terpeleset, tersandung,
berjalan, pembahan posisi badan, waktu mau berdiri dari jongkok, sedang
makan, sedang buang air kecil atau besar, sedang batuk atau bersin,
sedang menoleh tiba-tiba atau aktivitas lain.
2. Gejala yang menyertai : nyeri dada, berdebar-debar, nyeri kepala tiba-tiba,
vertigo, pingsan, lemas, konfusio, inkontinens, sesak nafas.
3. Kondisi komorbid yang relevan : pemah stroke, Parkinsonism,
osteoporosis, sering kejang, penyakit jantung, rematik, depresi, defisit
sensorik.
4. Review obat-obatan yang diminum : antihipertensi, diuretik, autonomik
bloker, antidepresan, hipnotik, anxiolitik, analgetik, psikotropik.
5. Review keadaan lingkungan : tempat jatuh, mmah maupun tempat- tempat
kegiatannya.

B. Pemeriksaan Fisik
1. Tanda vital: nadi, tensi, respirasi, suhu badan (panas / hipotermi)
2. Kepala dan leher : penumnan visus, penumnan pendengaran, nistagmus,
gerakan yang menginduksi ketidak seimbangan, bising.
3. Jantung : aritmia, kelainan katup.
4. Neurologi: pembahan status mental, defisit fokal, neuropati perifer,
kelemahan otot, instabilitas, kekakuan, tremor.
5. Muskuloskeletal : pembahan sendi, pembatasan gerak sendi, problem kaki
(podiatrik), deformitas.

C. Assesment Fungsional
Dilakukan observasi atau pencarian terhadap :
1. Fungsi gait dan keseimbangan : observasi pasien ketlka bangkit dari
duduk dikursi, ketika berjalan, ketika membelok atau berputar badan,
ketika mau duduk dibawah.
2. Mobilitas : dapat berjalan sendiri tanpa bantuan, menggunakan alat bantu,
memakai kursi roda atau dibantu.
3. Aktifitas kehidupan sehari-hari : mandi, berpakaian, bepergian, kontinens.

Penatalaksanaan (Reuben, 1996;Kane, 1994;Tinetti. 1992)


Tujuan penatalaksanaan ini untuk mencegah terjadinya jatuh berulang
dan menerapi komplikasi yang terjadi, mengembalikan fungsi AKS terbaik,
dan mengembalikan kepercayaan diri penderita.
The Panel on fall prevention telah merekomendasikan penanganan
jatuh pada masyarakat, sesudah melakukan asesmen secara menyeluruh,
mengidentifikasi abnormalitas dari komponen kontrol postural dan perfomien
fisik secara menyelumh dari keseimbangan dan cara berjalan, juga masalah
kesehatan, status fungsional, dan cara mendapatkan bantuan (Nnodim JO, Al
exander NB, 2005). Penyebab yang potensial berpengaruh dicatat dan
di rencanakan strategi penanganan baik intervensi secara farmakologi /
pembedahan & rehabilitasi seperti yang tercantum pada appendik F (Hile ES,
Studenski SA, 2007; Assesment & treatment).
Penatalaksanaan penderita jatuh dengan mengatasi atau
mengeliminasi faktor risiko, penyebab jatuh dan menangani komplikasinya.
Penatalaksanaan ini hams terpadu dan membutuhkan kerja tim yang terdiri
dari dokter (geriatrik, neurologik, bedah ortopedi, rehabilitasi medik, psikiatrik,
dll), sosialworker, arsitek dan keluarga penderita.
Penatalaksanaan bersifat individualis, artinya berbeda untuk setiap
kasus karena perbedaan faktor-faktor yang bersama-sama mengakibatkan
jatuh. Bila penyebab mempakan penyakit akut penanganannya menjadi lebih
mudah, sederhana, dan langsung bisa menghilangkan penyebab jatuh serta
efektif. Tetapi lebih banyak pasien jatuh karena kondisi kronik, multifaktorial
sehingga diperlukan terapi gabungan antara obat, rehabilitasi, perbaikan
lingkungan, dan perbaikan kebiasaan lansia itu. Pada kasus lain intervensi
diperlukan untuk mencegah terj ad inya jatuh ulangan, misalnya pembatasan
bepergian/aktifitas fisik, penggunaan alat bantu gerak.

A. Pengelolaan gangguan penglihatan (Nnodim JO, Alexander NB,


2005).
Peresepan lensa kaca mata harus dapat mengoreksi dengan tepat
gangguan ketajaman penglihatan. Kacamata dengan lensa tunggal lebih
dipilih dibandingkan dengan lensa multifokal karena menimbulkan gangguan
persepsi kedalaman dan kontras bagian tepi yang meningkatkan risiko jatuh.
Katarak yang dilakukan ekstraksi akan menumnkan risiko jatuh
meskipun katarak tunggal. Untuk gangguan adaptasi gelap terapi dengan
mengganti terapi glaukoma yang tidak menyebabkan miosis. Intervensi
gangguan penglihatan ini umumnya tidak efektif sebagai intervensi tunggal.
Penglihatan dapat berperan menumnkan risiko jatuh sebagai bagian program
penurunan risiko secara multifaktorial.

B. Pengelolaan gangguan keseimbangan


Latihan mempakan komponen yang paling berhasil dari program
Penumnan nsiko jatuh dan mempakan intervensi tunggal yang efektif
berdasarkan meta analisis. Pada lansia yang memiliki risiko tinggi untuk jatuh
kebutuhan dan lama latihan keseimbangan sangat individual.

C. Intervensi obat-obatan
Terapi obat-obatan pada pasien harus dikaji lebih lanjut. Obat-obatan
yang diberikan harus benar-benar diperlukan, obat-obatan yang terlalu
banyak akan meningkatkan risiko jatuh. Apabila memungkinkan terapi
nonfarmakologi hams dilakukan pertama kali. Benzodiazepin baik yang
kerja panjang maupun yang kerja singkat meningkatkan risiko jatuh demikian
juga trisiklik antidepresan dan golongan selective serotonin reuptake inhibitor
khususnya pada dosis tinggi. Obat-obat psikotropika harus dimulai dengan
dosis rendah dan kemudian dinaikkan perlahan (Nnodim JO, Alexander NB, 2
005).
Pemberian obat-obat penghilang sakit kronik secara terjadwal lebih
efektif dibandingkan pemberian bila diperlukan. Terapi ekstrapiramidal
dengan levodopa dan obatyang lain dapat memperbaiki mobilitas tetapi
sering tidak dapat memperbaiki instabilitas J(Hile ES, Studenski SA, 2007) .
Postural hipertensi dapat dikontrol dengan penyesuaian dosis obat,
kaus kaki kompresi, pembahan perilaku misalnya menghindari pembahan
posisi yang mendadak, latihan ROM (Range of Motion) aktif pada ekstremitas
bawah untuk meningkatkan venous return sebelum posisi berdiri.

D. Intervensi Lingkungan
Intervensi tunggal pada penelitian terkontrol mengatakan bahwa
modifikasi lingkungan akan meningkatkan keamanan, namun tidak
menumpukan risiko jatuh. Bagaimanapun intervensi lingkungan merupakan
bagian dari program multifaktorial, keamanan lingkungan difikirkan
berpengamh menurunkan risiko yang paling mudah dilakukan (Nnodim JO, Al
exander NB, 2005).

E. Pemakaian alas kaki


Berjalan dengan menggunakan kaus kaki sebaiknya dicegah. Sepatu
hams sesuai dengan ukuran kaki, kuat, dan mempunyai bentuk yang baik
dengan sol yang tidak licin, dan hak yang rendah. Alas kaki dengan tali
sepatu sering menyebabkan slip. Sepatu olah raga kurang menyebabkan
jatuh pada orang tua (Nnodim JO, Alexander NB, 2005).

F. Intervensi pendidikan/pengetahuan yang berhubungan jatuh


Data-data tentang intervensi ini sedikit tersedia. Satu penelitian acak
terkontrol yang dilakukan oleh Reinsch dan kawan-kawan yang mengikutkan
230 lansia yang hidup di masyarakat membandingkan tentang peningkatan
pengetahuan tentang jatuh yang dilakukan seminggu sekali dengan
peningkatan pengetahuan kesehatan yang tidak ada hubungan dengan jatuh.
Kedua intervensi ini setelah di ikuti selama l tahun mendapatkan bahwa
pengetahuan tentang jatuh saja tidak memberikan pengamh terhadap angka
kejadian jatuh (Fink HA, Wyman JF, Hanlon JT, 2003).
DAFTAR PUSTAKA

1. Martono, Hadi., Pranarka, Kris. 2011. Buku Ajar Boedhi Darmojo


GERIATRI (Ilmu Kesehatan Usia Lanjut). Balai Penerbit Fakultas
Kedokteran Universitas Idonesia : Jakarta.
2. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata MK, Setiati S. 2006. Ilmu
penyakit dalam. Ed 4. Vol II. Jakarta: Departemen Ilmu Penyakit Dalam
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
3. William, B. Ambrams., Berkow, Robert. 2013. The Merck Manual Geriatric.
Jilid 1. Jakarta: Binarupa Aksara Publiser.

Anda mungkin juga menyukai