Anda di halaman 1dari 10

A.

Pengertian Peraturan Daerah


Sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, yang dimaksud dengan Peraturan Daerah
(Peraturan daerah) adalah peraturan perundang-undangan yang dibentuk oleh Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah dengan persetujuan bersama Kepala Daerah.
Definisi lain tentang Peraturan daerah berdasarkan ketentuan Undang- Undang
tentang Pemerintah Daerah adalah peraturan perundang undangan yang dibentuk bersama
oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dengan Kepala Daerah baik di Propinsi maupun di
Kabupaten/Kota. Dalam ketentuan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 (diperbarui
menjadi UU No.12 Tahun 2008) tentang Pemerintahan Daerah (UU Pemda), Peraturan
daerah dibentuk dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah Propinsi/Kabupaten/Kota
dan tugas pembantuan serta merupakan penjabaran lebih lanjut dari peraturan perundang-
undangan yang lebih tinggi dengan memperhatikan ciri khas masing-masing daerah[6].
Sesuai ketentuan Pasal 12 Undang Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, materi muatan Peraturan daerah adalah seluruh
materi muatan dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan dan
menampung kondisi khusus daerah serta penjabaran lebih lanjut Peraturan Perundang-
undangan yang lebih tinggi.
Rancangan Peraturan Daerah dapat berasal dari Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
(DPRD), Gubernur atau Bupati/Walikota. Apabila dalam satu kali masa sidang Gubernur atau
Bupati/Walikota dan DPRD menyampaikan rancangan Peraturan daerah dengan materi yang
sama, maka yang dibahas adalah rancangan. Peraturan daerah yang disampaikan oleh DPRD,
sedangkan rancangan Peraturan daerah yang disampaikan oleh Gubernur atau
Bupati/Walikota dipergunakan sebagai bahan persandingan. Program penyusunan Peraturan
daerah dilakukan dalam satu Program Legislasi Daerah[7], sehingga diharapkan tidak terjadi
tumpang tindih dalam penyiapan satu materi Peraturan daerah. Ada berbagai jenis Peraturan
daerah yang ditetapkan oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Kota dan Propinsi antara lain:
1. Pajak Daerah;
2. Retribusi Daerah;
3. Tata Ruang Wilayah Daerah;
4. APBD;
5. Rencana Program Jangka
6. Menengah Daerah;
7. Perangkat Daerah;
8. Pemerintahan Desa;
9. Pengaturan umum lainnya.

B. Proses Penyusunan Peraturan Daerah


Dalam pelaksanaan otonomi daerah, pemerintah daerah membuat sejumlah peraturan
daerah. Pertaturan daerah tersebut biasa disingkat dengan istilah perda. Perda tersebut bisa
mengatur masalah administrasi, lingkungan hidup, ketertiban, pendidikan, sosial, dan lain-
lain. Perda tersebut pada dasarnya dibuat untuk kepentingan masyarakat. Proses penyusunan
peraturan daerah melalui beberapa tahap. Penyusunan peraturan daerah dimulai dengan
perumusan masalah yang akan diatur dalam perda tersebut. Masalah yang dimaksud adalah
masalah-masalah sosial atau publik. Pada umumnya masalah sosial dapat dibedakan menjadi
2 jenis, yaitu sebagai berikut.
1. Masalah sosial yang terjadi karena adanya perilaku dalam masyarakat yang
bermasalah. Misalnya: maraknya perjudian atau beredarnya minuman keras dalam
masyarakat sehingga membuat kehidupan masyarakat terganggu.
2. Masalah sosial yang disebabkan karena aturan hukum yang tidak lagi proporsional
dengan keadaan masyarakat. Misalnya, perda tentang retribusi pemeriksaan kesehatan yang
sangat memberatkan masyarakat kecil sehingga peraturan daerah tersebut harus diganti.
Pembuatan suatu peraturan, baik peraturan pusat maupun peraturan daerah, pada dasarnya
hampir sama mulai dari asas-asasnya, materi muatannya dan sebagainya. Tata cara
penyusunan peraturan daerah, antara lain:
a. Pengajuan peraturan daerah
Proses pengajuan peraturan daerah dapat dibedakan menjadi dua, yaitu:
1) Pengajuan peraturan daerah dari kepala daerah.
Proses pengajuan peraturan daerah dari kepala daerah, adalah sebagai berikut:
- Konsep rancangan perda disusun oleh dinas/biro/unit kerja yang berkaitan dengan perda
yang akan dibuat.
- Konsep yang telah disusun oleh dinas/biro/unit kerja tersebut diajukan kepada biro
hukum untuk diperiksa secara teknis seperti kesesuaian dengan peraturan perundangan lain
dan kesesuaian format perda.
- Biro hukum mengundang dinas/biro/unit kerja yang mengajukan rancangan perda dan
unit kerja lain untuk menyempurnakan konsep itu.
- Biro hukum menyusun penyempurnaan rancangan perda untuk diserahkan kepada
kepala daerah guna diadakan pemeriksaan (dibantu oleh sekretaris daerah).
- Konsep rancangan perda yang telah disetujui kepala daerah berubah menjadi
rancangan perda.
- Rancangan perda disampaikan oleh kepala daerah kepada ketua DPRD disertai nota
pengantar untuk memperoleh persetujuan dewan.
2) Pengajuan peraturan daerah dari DPRD
Proses pengajuan peraturan daerah dari DPRD adalah sebagai berikut:
- Usulan rancangan peraturan daerah dapat diajukan oleh sekurang-kurangnya lima
orang anggota.
- Usulan rancangan peraturan daerah itu disampaikan kepada pimpinan DPRD
kemudian dibawa ke Sidang Paripurna DPRD untuk dibahas.
- Pembahasan usulan rancangan peraturan daerah dalam sidang DPRD dilakukan oleh
anggota DPRD dan kepala daerah.
- Pembahasan rancangan peraturan daerah
Pembahasan rancangan peraturan daerah melalui empat tahapan pembicaraan, kecuali apabila
panitia musyawarah menentukan lain. Keempat tahapan pembicaraan tersebut adalah :
1) Tahap pertama
Tahap pertama dilakukan dalam Sidang Paripurna. Untuk rancangan perda dari kepala daerah
penyampaian dilakukan oleh kepala daerah, sedangkan penyampaian rancangan perda dari
DPRD dilakukan oleh pimpinan rapat gabungan komisi.
2) Tahap kedua
Tahap kedua merupakan tahap pemandangan umum. Untuk rancangan perda dari kepala
daerah, pemandangan umum dilakukan oleh anggota fraksi dan kepala daerah memberikan
jawaban atas pemandangan umum tersebut. Sebaliknya, untuk rancangan perda dari DPRD
maka tahap pemandangan umum dilakukan dengan cara mendengarkan pendapat kepala
daerah dan jawaban pimpinan komisi atas pendapat kepala daerah.
3) Tahap ketiga
Tahap ketiga merupakan tahap rapat komisi atau gabungan komisi yang disertai oleh kepala
daerah. Tahap ini dilakukan untuk mendapatkan kesepakatan tentang rancangan perda antara
kepala daerah dan DPRD.
4) Tahap keempat (rapat paripurna)
Tahap empat meliputi pengambilan keputusan dalam rapat paripurna yang didahului hal-hal
berikut :
- laporan hasil pembicaraan tahap III,
- pendapat akhir fraksi-fraksi,
- pemberian kesempatan kepada kepala daerah untuk menyampaikan pendapat/sambutan
terhadap pengambilan keputusan.
- Rancangan peraturan daerah yang sudah disetujui DPRD kemudian ditandatangani oleh
kepala daerah sehingga terbentuk peraturan daerah.

C. Mekanisme Pembuatan Perda


Pembuatan Perda dilakukan secara bersama-sama oleh Gubernur/Bupati/Walikota
dengan DPRD Tingkat I dan II.
Mekanisme pembuatannya adalah sebagai berikut:
1. Pertama, Pemerintah daerah tingkat I atau II mengajukan Rancangan Perda kepada
DPRD melalui Sekretaris DPRD I atu II.
2. Kedua, Sekretaris DPRD mengirim Rancangan Perda kepada pimpinan DPRD tingkat
I atau II.
3. Ketiga, Pimpinan DPRD tingkat I atau II mengirimkan Rancangan Perda tersebut
kepada komisi terkait.
4. Keempat, Pimpinan komisi membentuk panitia khusus (pansus) untuk membahas
Rancangan Perda usulan pemerintah atau inisiatif DPRD I atau II.
5. Kelima, Panitia khusus mengadakan dengar pendapat (hearing) dengan elemen-
elemen yang meliputi unsur pemerintah, profesional, pengusaha, partai politik, LSM,
ormas, OKP, tokoh masyarakat, dan unsur lain yang terkait di daerah.
6. Keenam, DPRD tingkat I atau II mengadakan sidang paripurna untuk mendengarkan
pandangan umum dari fraksi-fraksi yang selanjutnya menetapkan Rancangan Perda
menjadi Perda.[8]

D. Pembentukan Perda Yang Baik


1. Asas Pembentukan Perda
Pembentukan Perda yang baik harus berdasarkan pada asas pembentukan peraturan
perundang-undangan sebagai berikut:
a) kejelasan tujuan, yaitu bahwa setiap pembentukan peraturan perundang undangan
harus mempunyai tujuan yang jelas yang hendak dicapai.
b) kelembagaan atau organ pembentuk yang tepat, yaitu setiap jenis peraturan
perundang-undangan harus dibuat oleh lembaga/pejabat pembentuk peraturan
perundang-undangan yang berwenang dan dapat dibatalkan atau batal demi hukum
bila dibuat oleh lembaga/pejabat yang tidak berwenang.
c) kesesuaian antara jenis dan materi muatan, yaitu dalam pembentukan peraturan
perundang-undangan harus benar-benar memperhatikan materi muatan yang tepat
dengan jenis peraturan perundang-undangan.
d) dapat dilaksanakan, yaitu bahwa setiap pembentukan peraturan perundang undangan
harus memperhatikan efektifitas peraturan perundang-undangan tersebut di dalam
masyarakat, baik secara filosofis, yuridis maupun sosiologis.
e) kedayagunaan dan kehasilgunaan, yaitu setiap peraturan perundang undangan dibuat
karena memang benarbenar dibutuhkan dan bermanfaat dalam mengatur kehidupan
bermasayarakat, berbangsa dan bernegara.
f) kejelasan rumusan, yaitu setiap peraturan perundang-undangan harus memenuhi
persyaratan teknis penyusunan, sistematika dan pilihan kata atau terminologi, serta
bahasa hukumnya jelas dan mudah dimengerti sehingga tidak menimbulkan berbagai
macam interpretasi dalam pelaksanaannya.
g) keterbukaan, yaitu dalam proses pembentukan peraturan perundang-undangan mulai
dari perencanaan, persiapan, penyusunan dan pembahasan bersifat transparan dan
terbuka. Dengan demikian seluruh lapisan masyarakat mempunyai kesempatan
seluas-luasnya untuk memberikan masukan dalam proses pembuatan peraturan
perundang-undangan.
Di samping itu materi muatan Perda harus mengandung asas-asas sebagai berikut:
a) asas pengayoman, bahwa setiap materi muatan Perda harus berfungsi memberikan
perlindungan dalam rangka menciptakan ketentraman masyarakat.
b) asas kemanusiaan, bahwa setiap materi muatan Perda harus mencerminkan
perlindungan dan penghormatan hak-hak asasi manusia serta harkat dan martabat
setiap warga Negara dan penduduk Indonesia secara proporsional.
c) asas kebangsaan, bahwa setiap muatan Perda harus mencerminkan sifat dan watak
bangsa Indonesia yang pluralistic (kebhinnekaan) dengan tetap menjaga prinsip
negara kesatuan Republik Indonesia.
d) asas kekeluargaan, bahwa setiap materi muatan Perda harus
mencerminkanmusyawarah untuk mencapai mufakat dalam setiap pengambilan
keputusan.
e) asas kenusantaraan, bahwa setiap materi muatan Perda senantiasa memperhatikan
kepentingan seluruh wilayah Indonesia dan materi muatan Perda merupakan bagian
dari sistem hukum nasional yang berdasarkan Pancasila.
f) asas bhinneka tunggal ika, bahwa setiap materi muatan Perda harus memperhatikan
keragaman penduduk, agama, suku dan golongan, kondisi daerah dan budaya
khususnya yang menyangkut masalah-masalah sensitif dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
g) asas keadilan, bahwa setiap materi muatan Perda harus mencerminkan keadilan secara
proporsional bagi setiap warga negara tanpa kecuali.
h) asas kesamaan dalam hukum dan pemerintahan, bahwa setiap materi muatan Perda
tidak boleh berisi hal-hal yang bersifat membedakan berdasarkan latar belakang,
antara lain agama, suku, ras, golongan, gender atau status sosial.
i) asas ketertiban dan kepastian hukum, bahwa setiap materi muatan Perda harus dapat
menimbulkan ketertiban dalam masyarakat melalui jaminan adanya kepastian hukum.
j) asas keseimbangan, keserasian dan keselarasan, bahwa setiap materi muatan Perda
harus mencerminkan keseimbangan, keserasian dan keselarasan antara kepentingan
individu dan masyarakat dengan kepentingan bangsa dan negara.
k) asas lain sesuai substansi Perda yang bersangkutan.
l) Selain asas dan materi muatan di atas, DPRD dan Pemerintah Daerah dalam
menetapkan Perda harus mempertimbangkan keunggulan lokal /daerah, sehingga
mempunyai daya saing dalam pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat
daerahnya.
Prinsip dalam menetapkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) dalam menunjang
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) adalah bertujuan untuk meningkatkan
kesejahteraan masyarakat melalui mekanisme APBD, namun demikian untuk mencapai
tujuan kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat daerah bukan hanya melalui mekanisme
tersebut tetapi juga dengan meningkatkan daya saing dengan memperhatikan potensi dan
keunggulan lokal/daerah, memberikan insentif (kemudahan dalam perijinan, mengurangi
beban Pajak Daerah), sehingga dunia usaha dapat tumbuh dan berkembang di daerahnya dan
memberikan peluang menampung tenaga kerja dan meningkatkan PDRB masyarakat
daerahnya.

E. Mekanisme Pengawasan Perda


Dalam rangka pemberdayaan otonomi daerah pemerintah pusat berwenang melakukan
pembinaan dan pengawasan terhadap penyelenggaraan pemerintahan daerah sesuai amanat
Pasal 217 dan 218 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 (UU No.12 Tahun 2008) tentang
Pemerintahan Daerah. Bulan Desember 2005 ditetapkan Peraturan Pemerintah Nomor 79
Tahun 2005 tentang Pedoman Pembinaan dan Pengawasan atas Penyelenggaraan
Pemerintahan Daerah. Pembinaan dan pengawasandimaksudkan agar kewenangan daerah
otonom dalam menyelenggarakan desentralisasi tidak mengarah kepada kedaulatan.
Di samping Pemda merupakan sub sistem dalam penyelenggaraan pemerintahan
negara, secara implisit pembinaan dan pengawasan terhadap Pemda merupakan bagian
integral dari sistem penyelenggaraan negara, maka harus berjalan sesuai dengan rencana dan
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku dalam kerangka NKRI. Peraturan
Pemerintah Nomor 79 Tahun 2005 secara tegas memberikan kewenangan kepada pemerintah
pusat untuk melaksanakan pembinaan dan pengawasan atas penyelenggaraan Pemerintah
Daerah, Menteri dan Pimpinan LPND melakukan pembinaan sesuai dengan kewenangan
masing-masing yang meliputi pemberian pedoman. Bimbingan, pelatihan, arahan dan
pengawasan yang dikoordinasikan kepada Menteri Dalam Negeri. Pemerintah dapat
melimpahkan pembinaan atas penyelenggaraan pemerintahan Kabupaten di daerah sesuai
dengan peraturan perundangundangan. Pembinaan yang dilakukan oleh Gubernur terhadap
peraturan Kabupaten dan Kota dilaporkan kepada Presiden melalui Mendagri dengan
tembusan kepada Departemen/Lembaga Pemerintahan Non Departemen terkait.
Pengawasan Kebijakan Daerah berdasarkan UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang
Pemerintahan Daerah sejalan dengan Pengawasan Perda Pajak Daerah dan Retribusi Daerah
yang diatur dengan UU Nomor 18 Tahun 1997 sebagaimana diubah dengan UU Nomor 34
Tahun 2000. Pengawasan dilakukan secara represif dengan memberikan kewenangan seluas-
luasnya kepada Pemda untuk menetapkan Perda baik yang bersifat limitatif maupun Perda
lain berdasarkan kriteria yang ditetapkan Pemerintah. Karena tidak disertai dengan sanksi
dalam kedua Undang-Undang tersebut, peluang ini dimanfaatkan oleh Pemerintah Daerah
untuk menetapkan Perda yang berkaitan dengan pendapatan dan membebani dunia usaha
dengan tidak menyampaikan Perda dimaksud kepada Pemerintah Pusat.
Berbeda dengan Pengawasan Kebijakan Daerah yang diatur dalam UU Nomor 22
Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan UU Nomor 18 Tahun 1997 sebagaimana telah
diubah dengan UU Nomor 34 Tahun 2000 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah,
Pengawasan atas penyelenggaraan Pemerintah Daerah berdasarkan UU Nomor 32 Tahun
2004 dan PP Nomor 79 Tahun 2005 dilakukan secara:
a. preventif, terhadap kebijakan Pemerintah Daerah yang menyangkut Pajak
Daerah, Retribusi Daerah, Tata Ruang Daerah dan APBD;
b. represif, terhadap kebijakan berupa Peraturan Daerah dan Peraturan Kepala
Daerah selain yang menyangkut Pajak Daerah, Retribusi Daerah, Tata Ruang
Daerah dan APBD;
c. fungsional, terhadap pelaksanaan kebijakan Pemerintah Daerah;
d. pengawasan legislatif terhadap pelaksanaan kebijakan daerah;
e. pengawasan terhadap penyelenggaraan Pemerintahan Daerah oleh masyarakat.
Mengenai jenis-jenis pengawasan dapat diuraikan sebagai berikut :
1) Pengawasan Preventif Rancangan Perda Propinsi:
a. Rancangan Perda Provinsi tentang Pajak Daerah, Retribusi Daerah, APBD dan
Tata Ruang Wilayah Daerah yang telah disetujui bersama DPRD dan
Gubernur sebelum ditetapkan oleh Gubernur paling lambat 3 (tiga) hari Dalam
Negeri untuk dievaluasi.
b. Menteri Dalam Negeri melakukan Evaluasi Rancangan Perda Propinsi tentang
Pajak Daerah, Retribusi Daerah, APBD dan Tata Ruang Wilayah
Daerahdalam waktu 15 (lima belas) hari setelah menerimaRancangan Perda
Provinsi.
c. Menteri Dalam Negeri dalam melakukan evaluasi Rancangan Perda Pajak
Daerah, Retribusi Daerah berkoordinasi dengan Menteri Keuangan, sedangkan
Rancangan Perda Tata Ruang Wilayah Daerah berkoordinasi dengan Menteri
Pekerjaan Umum dan Badan Koordinasi Tata Ruang Nasional.
d. Menteri Dalam Negeri menyampaikan hasil evaluasi kepada Gubernur untuk
melakukan penyempurnaan Rancangan Perda sesuai dengan hasil evaluasi.
e. Gubernur melakukan penyempurnaan bersama dengan DPRD dalam waktu 7
(tujuh) hari setelah diterima hasil evaluasi.
f. Apabila Gubernur dan DPRD tidak melakukan penyempurnaan dan
tetapmenetapkan menjadi Perda, Menteri Dalam Negeri dapat membatalkan
Perda dengan Peraturan Menteri.
g. Gubernur menetapkan rancangan Perda setelah mendapat persetujuan bersama
dari DPRD sesuai dengan hasil evaluasi menjadi Perda.
h. Paling lama 7 (tujuh) hari setelah Perda ditetapkan, disampaikan kepada
Menteri Dalam Negeri.
2. Pengawasan Preventif Rancangan Perda Kabupaten/Kota:
a. Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota tentang Pajak Daerah, Retribusi Daerah,
APBD dan Tata Ruang Wilayah Daerah yang telah disetujui bersama DPRD dan
Bupati/Walikota sebelum ditetapkan oleh Bupati/Walikota paling lambat 3 (tiga) hari
disampaikan kepada Gubernur untuk dievaluasi.
b. Gubernur melakukan Evaluasi Rancangan Perda Kabupaten/Kota tentang Pajak Daerah,
Retribusi Daerah, APBD dan Tata Ruang Wilayah Daerah dalam waktu 15 (lima belas) hari
setelah menerima rancangan Perda Kabupaten/Kota.
c. Gubernur dalam melakukan evaluasi Rancangan Perda Pajak Daerah dan Retribusi
Daerah berkoordinasi dengan Menteri Keuangan; sedangkan Rancangan Perda Tata Ruang
Wilayah Daerah berkoordinasi dengan Menteri Pekerjaan Umum dan Badan Koordinasi Tata
Ruang Nasional.
d. Gubernur menyampaikan hasil evaluasi kepada Bupati/Walikota untuk melakukan
penyempurnaan Rancangan Perda sesuai dengan hasil evaluasi.
e. Bupati/Walikota melakukan penyempurnaan bersama dengan DPRD dalam waktu 7
(tujuh) hari setelah diterima hasil evaluasi.
f. Apabila Bupati/Walikota dan DPRD tidak melakukan penyempurnaan dan tetap
menetapkan menjadi Perda, Gubernur dapat membatalkan Perda dengan Peraturan Gubernur.
g. Bupati/Walikota menetapkan rancangan Perda setelah mendapat persetujuan bersama
DPRD sesuai dengan hasil evaluasi menjadi Perda.
h. Paling lama 7 (tujuh) hari setelah Perda ditetapkan, disampaikan kepada Gubernur dan
Menteri Dalam Negeri.
3. Pengawasan Represif Perda Propinsi, Kabupaten/Kota:
a. Perda disampaikan kepada Menteri Dalam Negeri paling lama 7 (tujuh) hari setelah
ditetapkan.
b. Pemerintah melakukan pengkajian/klarifikasi terhadap Perda dalam waktu 60 hari.
c. Perda yang bertentangan dengan kepentingan umum dan peraturan perundangundangan
yang lebih tinggi dapat dibatalkan dengan Peraturan Presiden.
d. Apabila Gubernur, Bupati/Walikota keberatan terhadap Pembatalan Perda; Gubernur,
Bupati/Walikota dapat mengajukan keberatan kepada Mahkamah Agung dalam tenggang
waktu 180( seratus delapan puluh) hari setelah pembatalan.
4. Pengkajian dan Evaluasi Perda: Rancangan Perda APBD, Pajak Daerah, Retribusi
Daerah dan Tata Ruang Wilayah Daerah dilakukan evaluasi sebagai berikut:
a. Rancangan Perda disampaikan oleh Gubernur kepada Menteri Dalam Negeri melalui Biro
Hukum Sekretariat Jenderal.
b. Biro Hukum mendistribusikan rancangan Perda kepada komponen terkait di lingkungan
Departemen Dalam Negeri.
c. komponen terkait melakukan pengkajian dan evaluasi rancangan rancangan Perda
bersama tim yang terdiri dari Biro Hukum, Inspektorat Jenderal dan komponen terkait.
d. hasil pengkajian dan evaluasi disampaikan kepada Menteri Dalam Negeri melalui Biro
Hukum Sekretariat Jenderal.
e. hasil evaluasi yang telah ditandatangani Menteri Dalam Negeri disampaikan kepada
Gubernur oleh Biro Hukum.
5. Pembatalan Perda yang tidak sesuai dengan hasil evaluasi:
a. Perda yang diterima oleh Biro Hukum disesuaikan dengan hasil evaluasi Menteri.
b. Apabila Perda yang ditetapkan tidak sesuai dengan hasil evaluasi Menteri Dalam
Negeri, Biro Hukum menyiapkan rancangan Peraturan Menteri Dalam Negeri tentang
Pembatalan Perda setelah berkoordinasi dengan komponen terkait (OTDA, BAKD, PUM,
BANGDA).
c. Apabila Perda telah sesuai dengan hasil evaluasi Menteri Dalam Negeri dilakukan
klarifikasi dalam jangka waktu 60 (enam puluh) hari.
d. Apabila hasil klarifikasi Perda bertentangan dengan kepentingan umum dan peraturan
perundangundangan yang lebih tinggi maka Menteri Dalam Negeri menyiapkan rancangan
Peraturan Presiden setelah berkoordinasi dengan instansi terkait dan menyampaikan kepada
Presiden melalui Menteri Sekretaris Kabinet.
e. Peraturan Presiden tentang Pembatalan Perdadisampaikan kepada Gubernur oleh Menteri
Dalam Negeri melalui Biro Hukum Sekretariat Jenderal.
6. Perda yang sudah dibatalkan: Sejak tahun 2002 sampai dengan tahun 2012 ada 2.079
Perda yang dibatalkan yang terdiri dari:
a. Tahun 2002 sebanyak 19 (sembilan belas) Perda
b. Tahun 2003 sebanyak 105 (seratus lima) Perda
c. Tahun 2004 sebanyak 236 (dua ratus tiga puluh enam) Perda
d. Tahun 2005 sebanyak 136 (seratus tiga puluh enam) Perda
e. Tahun 2006 sebanyak 117 (seratus tujuh belas) Perda
f. Tahun 2007 sebanyak 60 (enam puluh) Perda.
g. Tahun 2008 sebanyak 229 (dua ratus dua puluh sembilan) Perda
h. Tahun 2009 sebanyak 246 (dua ratus empat puluh enam) Perda
i. Tahun 2010 sebanyak 407 (empat ratus tujuh) Perda
j. Tahun 2011 sebanyak 351 (tiga ratus lima puluh satu) Perda
k. Tahun 2012 sebanyak 173 (seratus tujuh puluh tiga) Perda
10/makalah-pembentukan-perda-peraturan.html

Anda mungkin juga menyukai