Malaria Cerebral
Malaria Cerebral
PENDAHULUAN
Penderita malaria dengan komplikasi umumnya digolongkan sebagai malaria berat
yang menurut WHO di definisikan sebagai infeksi Plasmodium falciparum dengan satu atau
lebih komplikasi. Salah satu komplikasinya adalah malaria serebral (1). Malaria serebral
merupakan komplikasi mayor yang paling sering menyebabkan kematian. Kematian akibat
malaria serebral berkisar 800 ribu orang per tahun diseluruh dunia, 89% dari jumlah ini
(2)
terjadi di Afrika dan 88% terjadi pada anak dibawah 5 tahun. . Meskipun malaria
merupakan penyakit infeksi parasit yang paling sering terjadi di dunia, namun keterlibatan
serebral jarang terjadi.
Pada malaria, Plasmodium falciparum dapat sampai ke sistem saraf pusat dengan cara
menginfeksi sel darah merah kemudian menyebabkan oklusi pada kapiler serebral. Gejala
(3)
neurologis muncul beberapa minggu setelah infeksi . Penyakit ini ditandai dengan koma
yang tidak bisa dibangunkan (GCS dibawah 7). Pada kasus yang lebih ringan dapat terjadi
gangguan kesadaran seperti apati,somnolen, delirium dan perubahan tingkah laku (1). Pada
tahap stadium akut, malaria serebral dapat menyebabkan kejang dan jarang gejala
abnormalitas neurologi fokal.
Diagnosis dapat ditegakkan dengan menemukan Plasmodium falciparum di sel darah
merah pada apusan darah tepi. Pada CSF mungkin memperlihatkan peningkatan tekanan,
xantochromia, pleositisis mononuklear dan peningkatan kadar protein (3).
EPIDEMIOLOGI
Pada tahun 2002, terdapat 515 juta kasus malaria di dunia; 25% di Asia Tenggara dan
70% di Afrika, terbanyak di sub-Sahara Afrika. Pada sebagian besar negara berkembang,
malaria biasanya terjadi pada imigran atau orang yang baru bepergian ke daerah endemik. Di
Sub-sahara Afrika, kasus ini paling sering di temukan pada anak-anak. Malaria ditemukan
sekitar 40% pada anak dan 10% diantaranya menderita malaria serebral. Jumlah kasus yang
ditemukan sekitar 1,12 kasus/1000 anak per tahun dengan angka kematian 18,6%. Malaria
yang disebabkan Plasmodium falciparum dapat menimbulkan komplikasi seperti anemia
berat,asidosis atau hipoglikemi dan komplikasi yang lebih berat.
Malaria berat yang terjadi pada area endemik malaria tergantung umur dan tingkat
penularan. Pada daerah dengan tingkat penularan tinggi, infeksi dan manifestasi klinis jarang
ditemukan pada anak hingga umur 6 bulan. Gejala yang ditimbulkan ringan karena masih
adanya imunitas pasif dari antibodi ibu. Pada daerah ini, masalah utama akibat penyakit ini
pada anak pada 2 tahun pertama kehidupan. Pada usia diatas 4 tahun, gejala klinis jarang
ditemukan dan bersifat ringan. Pada area tingkat penularan sedikit, puncak insiden malaria
berat terjadi pada usia yang lebih tua. Anemia berat terjadi pada anak dibawah 2 tahun dan
puncak terjadinya malaria cerebral terjadi setelahnya. penyebab perbedaan yang berkaitan
dengan usia tidak jelas. Infeksi berulang selama beberapa tahun memberikan perlindungan
terhadap penyakit. Kekebalan parsial berkembang tetapi menurun dengan tidak
adanya paparan terus-menerus (4).
ETIOLOGI
Penyebab infeksi malaria ialah Plasmodium yang pada manusia menginfeksi eritrosit
dan mengalami perkembangan aseksual di hati dan eritrosit. Pembiakan seksual terjadi pada
tubuh nyamuk anopheles betina. Plasmodium yang sering dijumpai adalah Plasmodium
vivax, Plasmodium falciparum, Plasmodium malariae, Plasmodium ovale (1).
Meskipun siklus hidup dari keempat spesies tersebut pada dasarnya sama, tetapi
terdapat beberapa perbedaan morfologis yang penting dalam diagnosis klinis (5).
Ketiga fenomena tersebut berperan dalam terjadinya obstruksi mikrovaskular, dan akan
menyebabkan tersumbatnya kapiler serta terganggunya sirkulasi darah di jaringan bagian distal
pada organ yang bersangkutan. Hal ini dapat menjelaskan patogenesis terjadinya kelainan
patologik dan berbagai jenis manifestasi klinik.
PATOFISIOLOGI
Patogenesis malaria serebral sampai saat ini belum diketahui secara pasti. Terdapat
beberapa faktor yang berperan dalam terjadinya malaria serebral antara lain edema otak,
peninggian tekanan intrakranial, hipoksia serebri obstruksi mikrovaskuler, dan sequestration.
Sel-sel darah merah yang mengandung parasit, alirannya menjadi lambat dalam
mikrosirkulasi otak karena deformabilitas eritrosit dan adanya perlengketan eritrosit pada
endotel kapiler. Kedua keadaan ini dapat menyebabkan hipoksia serebri. Selain itu pada
pemeriksaan postmortem, didapatkan kapiler-kapiler penuh dengan sel-sel darah merah yang
mengandung parasit malaria, petekie, dan makrofag berisi pigmen malaria (6).
Patogenesis malaria berat sangat kompleks karena dipengaruhi oleh berbagai faktor
yang terdiri dari faktor parasit, host dan sosial geografik. Faktor parasit tampaknya berperan
sangat besar untuk terjadinya malaria berat. Seluruh manifestasi klinis dari malaria
disebabkan oleh perkembangannya di darah. Parasit yang sedang tumbuh mengkonsumsi dan
menghancurkan protein sel dengan hebatnya terutama hemoglobin yang menyebabkan
terbentuknya pigmen malaria dan hemolisis dari sel darah merah yang terinfeksi. Selain itu
juga mengganggu sistem transportasi dari membran sel itu sendiri sehingga terjadi perubahan
bentuk menjadi lebih spheris . Ruptur dari sel akan mengeluarkan faktor penting dan toksin
seperti glikosifosfotidilnositol dari protein membran parasit, fosfoliopprotein, produk
membran sel darah merah, komponen yang sensitif pada protease dengan hemozoin, dan
toksin malaria . Toksin ini akan menginduksi terlepasnya sitokin seperti TNF dan IL 1 dari
makrofag sehingga terjadi demam. Selain itu sitokin pro inflamasi juga keluar seperti TNF
alpha dan Interferon alpha. Sitokin ini memberikan perlindungan terhadap stadium aseksual
parasit . sitokin ini juga dapat menginduksi penambahan dan produksi yang tidak terkontrol
dari nitrit oksida. Nitrit Oksida dapat berdifusi kedalam sawar darah otak dan mengganggu
fungsi sinaps yang mirip anastesi umum dan konsentrasi etanol yang tinggi yang menurunkan
(7).
kesadaran Di lain pihak kadar sitokin lokal di suatu organ yang tinggi dapat mengganggu
fungsi organ tersebut baik secara langsung maupun tidak langsung dengan meningkatkan atau
memperberat sitoadherens.
Pada malaria falciparum, semua sel darah merah di berbagai tingkat terinfeksi,
ditambah dengan adanya pembentukan sticky knobs (tonjolan) pada permukaan sel yang
disebabnya oleh Pf Erythrocyte Membrane Protein 1 (PEMP1). Sel darah merah yang
terinfeksi ini akan terikat pada sel endotel pada venula post capilary atau disebut sitoaderens.
Sel darah merah dan sel endotel ini akan membentuk rosettes dengan sel yang tidak
terinfeksi. Selain itu juga eritrosit terinfeksi ini dapat menyebabkan agregasi dengan
trombosit (clumping). Proses Knobs-cytoadherence-rosetting dan clumping ini
menghasilkan sekuestrasi parasit pada jaringan yang lebih dalam , jauh dari pembersihan
limpa dan membantu parasit untuk berkembang biak dengan aman. Selain itu akan
menghambat mikrosirkulasi yang menyebabkan hipoksia, asidosis laktat dan kerusakan
organ (8).
MANIFESTASI KLINIS
Malaria secara klinis ditandai dengan serangan demam paroksismal dan periodik,
disertai anemia, pembesaran limpa dan kadang-kadang dengan komplikasi pernisiosa seperti
ikterik, diare, black water fever, acutetubular necrosis, dan malaria cerebral.
Secara parasitologi dikenal 4 genus Plasmodium dengan karakteristik klinis yang
berbeda bentuk demamnya, yaitu :
1) Plasmodium vivax, secara klinis dikenal sebagai Malaria tertiana disebabkan serangan
demamnya yang timbul setiap 3 hari sekali.
2) Plasmodium malaria, secara klinis juga dikenal juga sebagai Malaria Quartana karena
serangan demamnya yang timbul setiap 4 hari sekali.
3) Plasmodium ovale, secara klinis dikenal juga sebagai Malaria Ovale dengan pola demam
tidak khas setiap 2-1 hari sekali.
4) Plasmodium falciparum, secara klinis dikenal sebagai Malaria tropicana atau Malaria
tertiana maligna sebab serangan demamnya yang biasanya timbul setiap 3 hari sekali dengan
gejala yang lebih berat dibandingkan infeksi oleh jenis plasmodium lainnya.
Malaria cerebral adalah suatu komplikasi berat dari infeksi Plasmodium falciparum
yang ditandai demam yang sangat tinggi, gangguan kesadaran, kejang yang terutama terjadi
pada anak, hemiplegi dan berakhir pada kematian jika tidak secepatnya ditangani.
Gambaran klinis pada malaria cerebral ditandai dengan:
1) fase Prodormal :Penderita mengeluh sakit pinggang, mialgia, demam yang hilang timbul
serta kadang-kadang menggigil, dan sakit kepala
2) Fase akut : gejala yang timbul menjadi bertambah berat dengan timbulnya komplikasi
seperti sakit kepala yang sangat hebat, mual, muntah, diare, batuk berdarah, gangguan
kesadaran, pingsan, kejang, hemiplegi dan dapat berakhir dengan kematian. Pada fase akut ini
dalam pemeriksaan fisik akan ditemukan cornea mata divergen, anemia, ikterik, purpura,
akan tetapi tidak ditemukan adanya tanda rangsang meningeal (9).
Gejala klinis yang terjadi pada malaria cerebral bebeda antara anak-anak dan dewasa.
(4)
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Laboratorium
a. Pemeriksaan mikroskopis
Pemeriksaan sediaan apus darah tebal dan darah tipis dapat ditemukan parasit Plasmodium.
Pemeriksaan ini dapat menghitung jumlah parasit dan identifikasi jenis parasit. Bila hasil
negatif diulang 6-12 jam.
b. SQBC(semi quantitative buffy coat)
Prinsip tes fluoresensi: yaitu adanya protein Plasmodium yang dapat mengikat acridine
orange yang akan mengidentifikasi eritrosit yang terinfeksi Plasmodium.
c. Rapid Manual Test
Tes ini mendeteksi antigen Plasmodium falciparum dengan menggunakan dipstick. Hasilnya
segera diketahui dalam 10 menit. Sensitifitasnya 73,3% dan spesifitasnya 82,5%.
d. PCR (Polymerase Chain Reaction)
Pemeriksaan ini merupakan pemeriksaan biomolekuler digunakan untuk mendeteksi DNA
spesifik parasit Plasmodium dalam darah. Metode ini sangat efektif untuk mendeteksi parasit
walaupun tingkat parasitemianya rendah.
PENATALAKSANAAN
Pengobatan Malaria Berat secara garis besar terdiri atas tiga komponen :
Pengobatan suportif (perawatan umum dan pengobatan simtomatis)
Menjaga keseimbangan cairan elektrolit dan keseimbangan asam basa. Karena pada malaria
terjadi gangguan hidrasi, maka sangat penting mengatasi keadaan hipovolemi ini. Selain
cairan perlu diperhatikan oksigenisasi dengan memperlihatkan tekanan O 2, lancarkan saluran
nafas dan kalau perlu dengan ventilasi bantu.
Bila suhu 40oC (hipertermia ) :a.kompres dingin intensif. b.pemberian antipiretik untuk
mencegah hipertermia,parasetamol 15mg/kgBB/kali diberikan setiap 4 jam.
Bila anemia diberikan transfusi darah, yaitu bila Hb<5g/dl atau hematokrit <15%. Pada
keadaan asidosis perbaikan anemi merupakan tindakan yang utama sebelum pemberian
koreksi bikarbonat.
Kejang diberi diazepam 10-20mg intravena diberikan secara perlahan, phenobarbital 100mg
um/kali (dewasa) di berikan 2 kali sehari
Pengobatan komplikasi
Gagal ginjal akut.
Hemodialisis atau hemofiltrasi dilakukan sesuai dengan indikasi umumnya. Dialisis dini akan
memperpbaiki prognosis.
Hipoglikemia (gula darah <50mg/dl)
Pada penderita dilakukan pemeriksaan darah tiap 4-6 jam. Bila terjadi hipoglikemi, berikan
suntik 50 ml dextrosa 40%i.v, dilanjutkan dengan infus dextrosa 10% dan gula darah tetap
dipantau tiap 4-6 jam. Monitor gula darah juga dilakukan pada penderita dengan
pengobattankuinin/kuinidin.
Posisikan pasien pada posisi setengah duduk 45o, berikan oksigen, berikan diuretik, hentikan
pemberian cairan intravena, lakukan intubasi, berikan tekanan akhir ekspirasi positif atau
tekanan udara positif kontinu hipoksemia mengancam jiwa.
Koma
Jaga jalan nafas, singkirkan penyebab lain dari koma (hipoglikemi, meningitis bakteri),
hindari pemakaian kortikosteroid, heparin dan adrenalin.
Syok
Suspek septikemia, pemeriksaan kultur darah, antimikroba parenteral, atasi gangguan
hemodinamik.
DIFERENSIAL DIAGNOSIS
1. Demam Tifoid; mempunyai banyak persamaan dengan gejala-gejalanya. Masih bisa
dibedakan dengan adanya gejala stomatitis dengan lidah tifoid yang khas, batuk-batuk,
meterorismus, dan bradikardi relatif yang kadang-kadang ditemukan pada demam tifoid.
Kultur darah untuk salmonella pada minggu pertama kadang-kadang bisa membantu
diagnosis. Widal bisa positif mulai minggu kedua, dianjurkan pemeriksaan berulang pada
titer yang masih rendah untuk membantu diagnosis. Kemungkinan adanya infeksi ganda
antara malaria dan demam tifoid kadang-kadang kita temukan juga.
2. Septikemia; perlu dicari sumber infeksi dari sistem pernapasan, saluran kencing, dan
genitalia, saluran makanan dan otak.
3. Ensefalitis dan atau meningitis; dapat disebabkan oleh bakteri spesifik maupun oleh virus.
Kelainan dalam pemeriksaan cairan lumbal akan membantu diagnosis.
4. Dengue Hemoragik Fever/ DSS; pola panas yang berbentuk pelana disertai syok dan tanda-
tanda perdarahan yang khas akan membantu diagnosis walaupun trombositopenia dapat juga
terjadi pada malaria falcifarum namun jarang sekali memberikan gejala perdarahan.
Hematokrit akan membantu diagnosis.
5. Abses hati amubik; hepatomegali yang sangat nyeri dan jarang sekali disertai ikterus dan
kenaikan enzim SGOT dan SGPT akan membantu diagnosis. Fosfatase alkalis dan gamma
GT kadang-kadang akan meningkat. USG akan membantu deteksi abses hati dengan tepat.
PROGNOSIS
Kecepatan atau Ketepatan Diagnosis dan Pengobatan : makin cepat dan tepat dalam
menegakkan diagnosis dan pengobatannya akan memperbaiki prognosisnya serta
memperkecil angka kematiannya.
Kegagalan fungsi organ dapat terjadi pada malaria berat terutama organ-organ vital
.semakin sedikit organ vital yang terganggu dan mengalami kegagalan dalam
fungsinya,semakin baik prognosisnya.
Kepadatan Parasit :Pada pemeriksaan hitung parasit (parasite count) semakin
padat/banyak jumlah parasitnya yang didapatkan bentuk skizon dalam pemeriksaan darah
tepinya.
DAFTAR PUSTAKA
1. Iskandar, Zulkarnain and Setiawan, Budi. Malaria Berat . [book auth.] Aru W Sudoyo,
et al. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. 4. Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia, 2006, Vol. 3, p. 1737.
2. Amante, Fiona H, et al. Immune-Mediated Mechanisms of Parasite Tissue. 2010, The
Journal of Immunology.
3. Greenberg, David A, Aminoff, Michael J and Simon, Roger P. Clinical Neurology. 5th
edition. Novato, San Francisco, and Portland : McGraw-Hill/Appleton & Lange, 2002.
4. Idro, Richard, Jenkins, Neil E and Newton, Charles RJC. Pathogenesis, clinical
features, and neurological outcome of. 2005, The Lancet Neurology, Vol. 4, pp. 827-840.
5. StafLaboratoriumParasitologi. DIKTAT BIOLOGI MIKROBA SUB MODUL
PARASITOLOGI. Malang : Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya, 2010.
6. Mubin, A Halim and S, Pain. Malaria Tropika dengan Berbagai Komplikasi.
UjungPandang : s.n., 1992, Cermin Dunia Kedokteran, Vol. 72, pp. 48-51.
7. anonymous. CEREBRAL MALARIA. [Online] [Cited: 12 4, 2011.]
http://www.brown.edu/Courses/Bio_160/Projects1999/malaria/cermal.html.
8. FKUP, IPD. Penatalaksanaan Malaria Berat. ILMU PENYAKIT DALAM Fakultas
Kedokteran Universitas Padjajaran. [Online] 2010. [Cited: December 12, 2011.]
http://internershs.com/home3/index.php?
option=com_content&task=view&id=49&Itemid=124&limit=1&limitstart=3.
9. Munthe, Celestinus Eigya.Malaria Cerebral. 2001, Cermin Dunia Kedokteran, Vol. 131,
pp. 5-6.
10. Mardjono, Mahar and Sidharta, Priguna. NEUROLOGI KLINIS DASAR. Jakarta :
Dian Rakyat, 2008.